Pemantauan Efektivitas Gentamisin Dosis Berganda Intravenus Terhadap Pasien Pneumonia Komuniti (Community Aquired Pneumonia) Di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

(1)

PEMANTAUAN EFEKTIVITAS GENTAMISIN DOSIS

BERGANDA INTRAVENUS TERHADAP PASIEN PNEUMONIA

KOMUNITI (COMMUNITY AQUIRED PNEUMONIA)

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

AMINAH DALIMUNTHE 067014001/FM

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PEMANTAUAN EFEKTIVITAS GENTAMISIN DOSIS

BERGANDA INTRAVENUS TERHADAP PASIEN PNEUMONIA

KOMUNITI (COMMUNITY AQUIRED PNEUMONIA)

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Farmasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AMINAH DALIMUNTHE 067014001/FM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PEMANTAUAN EFEKTIVITAS GENTAMISIN DOSIS BERGANDA INTRAVENUS TERHADAP PASIEN PNEUMONIA KOMUNITI (COMMUNITY AQUIRED

PNEUMONIA) DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.

ADAM MALIK MEDAN Nama Mahasiswa : Aminah Dalimunthe Nomor Pokok : 067014001

Program Studi : Ilmu Farmasi

Menyetujui, Komisi Pembimbing :

(Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.) Ketua

(dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K).) (Prof. Dr. Adi Koesoema Aman., SpPK-KH., FISH.)

Anggota Anggota

Ketua Program studi, Direktur,


(4)

ABSTRAK

Telah dilakukan studi pemantauan efektivitas gentamisin dosis berganda intravenus terhadap 3 orang pasien pneumonia komuniti (community aquired pneumonia) di rumah sakit H. Adam Malik Medan Departemen Pulmunologi dan Saluran Pernafasan. Gentamisin diberikan secara intravenus bolus dosis 80 mg tiap 12 jam. Pengamatan kadar gentamisin dalam darah dilakukan dengan mengumpulkan cuplikan serum sebanyak 3 kali, yaitu 30 menit setelah injeksi pertama saat steady state untuk menentukan konsentrasi maksimum, 6 jam setelah injeksi untuk menentukan manifestasi klinis dan 5 menit sebelum injeksi berikutnya untuk menentukan konsentrasi minimum. Sebelum dan selama terapi gentamisin, penderita menjalani pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal (BUN dan serum kreatinin) dan uji sensitivitas mikroba.

Berdasarkan hasil pengujian konsentrasi gentamisin dalam darah menggunakan Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 Roche diperoleh data bahwa pasien DI mempunyai Cmaks = 8,41 mcg/ml, C6jam = 6,83 mcg/ml dan Cmin =

2,41 cmg/ml; pasien RS mempunyai Cmaks = 6,72 mcg/ml, C6jam = 2,0 mcg/ml dan

Cmin = 1,1 mcg/ml; pasien SS mempunyai Cmaks = 4,32 mcg/ml, C6jam = 1,35 mcg/ml

dan Cmin = 0,9 mcg/ml.

Dosis individu ditetapkan berdasarkan metode keadaan mantap dan diperoleh dosis untuk pasien DI adalah 60 mg, RS sebesar 100 mg dan SS sebesar 150 mg sehingga Cmaks berada dalam range terapi sehingga efektif melawan penyebab infeksi

dengan efek samping yang minimal.

Berdasarkan studi ini dapat disimpulkan bahwa pemberian gentamisin dosis 80 mg tiap 12 jam tanpa mempertimbangkan berat badan dan fungsi ginjal akan menyebabkan variabilitas yang besar dalam pencapaian konsentrasi terapetik


(5)

ABSTRACT

It has been carried out a monitoring study on the effect of gentamycin multi dose of intravenous toward 3 patients of community aquired pneumonia disease at Pulmonology and Respiratory Department RSUP H. Adam Malik Medan. The Gentamycin is given bolus intravenously dose 80 mg every 12 hours. Concentration in the patient blood by using aliquot serum is done as much as 3 times that is 30 minutes after the first dose in steady state, and called as maximum concentration (Cmax). The second aliquot is taken on 6 hours after injection of the first dose to find

out clinical maniftation, and the third aliquot is taken 5 minutes before injection of the second dose called as minimum concentration (Cmin). Before and during

gentamycin therapeutic, the patient undergo laboratory examination covering complete blood, kidney faal (BUN and serum creatinin) and microba sensitivity culture test.

Based on the examination of gentamycin concentration in blood by using Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 Roche, it is found the result that DI, the first patient has Cmax = 8,41 mcg/ml, C6hours = 6,83 mcg/ml and Cmin = 2,41

cmg/ml; RS, the second patient hasCmax = 6,72 mcg/ml, C6hours = 2,0 mcg/ml and Cmin

= 1,1 mcg/ml; SS, the third patient has Cmax = 4,32 mcg/ml, C6hours = 1,35 mcg/ml and

Cmin = 0,9 mcg/ml.

Individual dose is determined based on steady state method and it is found that the dose need by DI patient is 60 mg, RS patient is 100 mg and SS patient is 150 mg so that Cmax is in therapeutic range to be affect to face infection cause with

minimal side effect.

Based on this study, it can be conclude that the giving of gentamycin dose 80 mg every 12 hours without considering the body weight and kidney fuction cause big variability toward the achievement of therapeutic concentration.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pemantauan Efektivitas Gentamisin Dosis Berganda Intravenus Terhadap Pasien Pneumonia Komuniti (Community Aquired Pneumonia) di Rumah sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Rektor USU Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&h, Sp.A(K) yang telah memberikan bantuan moril dan material.

2. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Bapak dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K). dan Bapak Prof. Dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-FISH. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu memberikan saran, koreksi dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Ayahanda Alm.H. Abdul kadir Dalimunthe dan Ibunda Hj. Yusrah Daulay yang telah membesarkan, merawat dan mendidik penulis sejak kecil hingga kini.

4. Kedua mertua, H. Thamrin Lubis dan Hj. Dumora harahap yang telah memberikan semangat dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini.

5. Suami tercinta Muhammad Husni Lubis, S.Si. serta ananda tersayang Hanifah Lubis dan Muhammad Arif Lubis yang telah dengan sabar mendorong, membantu, memberikan semangat, kasih sayang dan doa untuk terus berkarya.


(7)

6. Abangda Abdul Rahman Dalimunthe, SE.Ak, M.Si beserta keluarga, Afifuddin Dalimunthe, SP., MP.beserta keluarga, adinda Alfi Syahrin Dalimunthe, ST., Saibun Hamdi Dalimunthe, S.Psi., Masdalifah Dalimunthe, SE dan Muhammad Nur Dalimunthe, Amd yang telah banyak memberi dorongan, semangat, doa dan masukkan dalam segala hal.

7. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi dan Bapak Dr. Karsono, Apt yang telah memberikan banyak motivasi dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

8. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Farmasi atas bimbingannya selama penulis menjalani pendidikan

9. Bapak Drs. Lian Dalimunthe, M.Ec dan keluarga yang telah memberikan perhatian, semangat dan dorongan untuk terus berjuang mencapai yang terbaik. 10.Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan dan seluruh staf yang telah membantu

dalam melaksanakan penelitian.

11.Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, S.Si, Apt atas kesabaran, semangat dan dorongan untuk menyelesaikan pendidikan bersama-sama

12.Rekan-rekan SPs Program Studi Farmasi, khususnya stambuk 06 atas kerjasama dan kekompakannya selama pendidikan dan selamanya

13.Seluruh pegawai Pascasarjana yang telah banyak membantu selama menjalani pendidikan.


(8)

14.Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu mendapatkan masukkan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, November 2008 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………... iv

ABSTRACT……… v

KATA PENGANTAR ... vi RIWAYAT HIDUP………

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ...

ix x xii DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xiv BAB I. PENDAHULUAN ...

1.1 Latar Belakang ... 1.2 Kerangka Konseptual dan Operasional ... 1.3 Rumusan Masalah ... 1.4 Hipotesis Penelitian ... 1.5 Tujuan Penelitian ... 1.6 Manfaat Penelitian………... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1 Pneumonia... 2.2 Tinjauan Umum Antibiotik Golongan Aminoglikosida...

1 1 4 6 6 7 7 8 8 13 2.2.1 Aminoglikosida ...

2.2.2 Gentamisin……….. ...

13 15 2.3 Farmakokinetika Gentamisin Intravenus...

2.3.1Farmakokinetika Gentamisin Intravenus Dosis Tunggal... 2.3.2Farmakokinetika Gentamisin Intravenus Dosis Ganda

(Multiple Dose)…...

18 18 21


(10)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 3.2 Alat ... 3.3 Bahan ... 3.4 Rancangan Penelitian... 3.4.1 Subjek Penelitian…... 3.4.2 Prosedur Penelitian…... 3.5 Tehnik Analisa ... 3.5.1 Persiapan Cuplikan……... 3.5.2 Prosedur Pemeriksaan…...

3.5.3 Penetapan Kadar Gentamisin dalam Serum dengan Metode Fluorescence Polarization Immuno Assay... 3.5.4 Penetapan Kadar Kreatinin dalam Serum (Metode

Jaffe’)... 3.5.5 Penetapan Kadar Ureum dalam Serum (Metode

Barthelot)... 3.6 Pengolahan Data……... 3.6.1 Data Fisik dan Pemeriksaan Laboratorium (Faal Ginjal)... 3.6.2 Diagnosis dan Terapi Gentamisin... 3.6.3 Pengamatan Kadar Gentamisin dalam Cuplikan Serum... 3.6.4 Usulan Rekomendasi Dosis Individual...

23 23 23 24 24 24 25 27 27 27 27 29 29 29 29 29 30 30

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 4.1 Data Karakteristik Fisik Pasien, Pemeriksaan Kreatinin dan Laju Endap Darah... 4.2 Uji Kultur... 4.3 Diagnosis... 4.4 Pengamatan Efek Samping Obat... 4.5 Analisis Dosis Injeksi Gentamisin Intravena Bolus dan Kadar

Gentamisin Dalam Darah... 4.6 Rekomendasi Dosis Individual... BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 5.1 Kesimpulan... 5.2 Saran... 31 31 36 38 38 40 42 45 45 45 DAFTAR PUSTAKA ... 46


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1 Pedoman Terapi Empiris menurut PDPI...

2.2 Penggunaan Antibiotik berdasarkan Bakteri Penyebab

Pneumonia... 4.1 Data Karakteristik Fisik pasien... 4.2 Data Pemeriksaan Leukosit... 4.3 Data Pemeriksaan LED... 4.4 Data Pemeriksaan Kreatinin, Ureum, Kreatinin Llirens Dan Blood

Urea Nitrogen Dalam Darah Penderita Sebelum Dan Sesudah Injeksi Gentamisin 80 mg/12 jam... 4.5 Hasil Uji Kultur Penderita... 4.6 Data Efek Samping Setelah Injeksi Gentamisin... 4.7 Data Pemeriksaan Kadar Gentamisin Dalam Darah Setelah Injeksi

Bolus Intravena Gentamisin 80mg/12 jam... 4.8 Data Hasil Perhitungan Penentuan Dosis Regimen Individu

Gentamisin...

11

12 31 32 33

36 37 39

41


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1.1 Kerangka Konsep Penelitian... 5 2.1 Model Kompartemen Satu Terbuka...

2.2 Model Kompartemen Dua Terbuka... 2.3 Model Kompartemen Tiga Terbuka... 2.4 Kurva Interval Dosis Ganda... 4.1 Grafik Kadar Gentamisin Dalam Darah Terhadap waktu, Dosis 80 mg

Dengan Interval Waktu 12 Jam...

18 19 20 22


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Penjelasan Kepada Subjek Penelitian ... 50

2. Persetujuan Setelah Penjelasan (’Informed Consent’) ... 52

3. Lembar Pengumpul Data (1) ... 53

4. Uji Sensitivitas dan Resistensi Mikroba ... 54

5. Lembar Pengumpul Data (2)... 58 6. Lembar Pengumpul Data (3) ...

7. Contoh Perhitungan Dosis Regimen Individual Metode Keadaan mantap... 8. Daftar Obat yang Digunakan Pasien Pada Saat injeksi Gentamisin... 9. Perhitungan Kreatinin Klirens Metode Cockraft Gault... 10. Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian... 11. Hasil Pemeriksaan Kadar Gentamisin Dalam Darah... 12. Hasil Pemeriksaan Kadar Kreatinin Dalam Darah...

59

60 63 64 65 66 76


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejalan dengan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 serta semakin kompleksnya upaya kesehatan terutama berkaitan dengan drug therapy dan paradigma baru pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien untuk meningkatkan quality of life pasien maka sistem farmasi klinis dalam konteks pemantauan terapi obat perlu dilakukan agar efek terapeutik optimal dengan resiko dan biaya minimal serta menghormati pilihan pasien (Aslam, 2003).

Farmasi klinis menurut Clinical Resource and Audit Group (1996) merupakan A discipline concerned with the application of pharmaceutical expertise to help maximize drug efficacy and minimize drug toxicity in individual patien. Salah satu aplikasi farmasi klinis adalah pemantauan kadar obat dalam darah dan monitoring efek samping obat (Aslam, 2003).

Monitoring terapi obat (Therapeutic Drug Monitoring = TDM) merupakan sistem pelayanan penting saat ini terutama bagi penyakit-penyakit akut dan kronis di rumah sakit (Taylor,1995). Monitoring terapi obat dilakukan dengan cara menentukan kadar obat dalam darah yang akan menentukan keberhasilan terapi. Dengan pemantauan kadar obat dalam darah akan diketahui apakah dosis yang diberikan mencapai kadar optimum yang diperlukan untuk berinteraksi pada site of action, sebab kadar obat dalam darah adalah ekivalen dengan kadar obat pada site of


(15)

action (reseptor), sehingga dihasilkan respon terapeutik yang optimal dengan efek merugikan yang minimal.

Monitoring terapi obat digunakan untuk memantau penggunaan obat yang mempunyai range terapi sempit seperti digoksin, antibiotik aminoglikosida atau obat-obat yang mempunyai parameter farmakokinetik yang bervariasi.

Infeksi saluran nafas bawah merupakan penyakit utama yang melanda masyarakat negara berkembang dan maju. Data SEAMIC Health Statistic 2001 menunjukkan bahwa influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia dan Thailand, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, serta nomor 3 di Singapore dan Vietnam. Laporan WHO 1999 menyatakan bahwa penyebab kematian tertinggi di dunia akibat infeksi adalah influenza dan pneumonia (PDPI, 2005).

Hasil Survei Kesehatan Rumah tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran nafas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Infeksi merupakan penyakit utama di SMF Paru RSUP Persahabatan, 58% penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6% kasus nontuberkulosis sedangkan pada penderita rawat inap 58,8% kasus infeksi dan 14,6% kasus nontuberkulosis. Di RSUP H.Adam Malik 53,8% kasus infeksi dan 28,6% kasus nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Sutomo Surabaya terdapat 180 kasus pneumonia komuniti dengan angka kematian 20-35% (PDPI, 2005).


(16)

Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit). Dalam keadaan sehat , tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru disebakan adanya mekanisme pertahanan paru. Jika terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menyebabkan infeksi (PDPI, 2005).

Antibiotik merupakan kelompok obat yang digunakan untuk memerangi infeksi. Penggunaan antibiotika secara luas tanpa dosis regimen yang benar akan menimbulkan resistensi kuman terhadap antibiotika atau bahkan terjadi superinfeksi, meningkatnya toksisitas dan efek samping obat, menurunnya efektivitas dan biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi, hal ini tentu merugikan penderita khususnya dan masyarakat pada umumnya (Katzung, 1998).

Gentamisin adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang mempunyai potensi tinggi dan berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif dengan sifat bakterisid .Gentamisin mempunyai rentang terapi sempit, bersifat nefrotoksik dan ototoksik serta mempunyai variabilitas farmakokinetik interindividu cukup lebar, maka pemantauan kadar obat dalam darah pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal adalah suatu kebutuhan agar keamanan dan efikasi terapi tercapai. Hal ini juga penting karena profil dosis dan kadar gentamisin dalam darah sukar diprediksi, terutama kadar puncak obat dan waktu paruh eliminasi (Peak – serum levels dan elimination half – life (AHFS, 2005).


(17)

Efektivitas optimal gentamisin diperoleh apabila kadar puncak dalam serum (peak serum levels) berada dalam rentang 5 – 10 µg/ml. Kadar puncak yang tinggi secara terus menerus (lebih besar atau sama dengan 10 µg/ml) menyebabkan nefrotoksisitas dan ototoksisitas (AHFS, 2005).

Penelitian Pane (2007) menunjukkan bahwa terdapat variabilitas yang cukup besar terhadap tercapainya kadar terapeutik gentamisin pada penggunaannya sebagai terapeutik atau bakterisida pada infeksi pascabedah ortopedi yang mikrobanya telah resisten terhadap antibiotika lainnya. Berdasarkan atas kepentingan pemantauan obat seperti yang tertera pada Keputusan Menteri KesehatanRI tahun 2004 dan Global Alliance For Patient Safety WHO tahun 2004, maka perlu dilakukan penelitian dengan memantau kadar gentamisin terhadap infeksi pneumonia untuk mendapatkan profil antibiotika sehingga dapat dijadikan pedoman untuk mengoptimalkan penggunaannya di rumah sakit.

1.2 Kerangka Konseptual dan Operasional

Pemberian gentamisin dosis lazim 80 mg dalam bentuk dosis berganda bolus intravenus akan menghasilkan kadar puncak dan kadar lembah. Efek terapi dihasilkan jika kadar tersebut berada di antara kadar aman maksimum dan kadar efektif minimum (Shargel, 1993). Dosis empirik 80 mg bagi setiap penderita dengan berat badan bervariasi, akan menghasilkan dosis mg/kg BB/hari yang juga bervariasi. Keadaan ginjal penderita (serum kreatinin sebagai indikator) merupakan faktor


(18)

individu yang paling menentukan dalam pencapaian kadar tersebut. Pemantauan kadar gentamisin dalam darah dilakukan berdasarkan parameter farmakokinetik dengan cara :

a. mengkumpulkan cuplikan pada kadar lembah dan kadar puncak.

b. mengkumpulkan cuplikan pada waktu pertengahan (6 jam setelah pemberian) untuk mengetahui kecukupan kadar obat dalam darah

c. mengamati efek samping spesifik yang terjadi (gangguan pendengaran, vertigo, nefrotoksisitas) pada penderita selama penelitian berlangsung.

Secara diagramatis, kerangka konsep penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1. Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Kadar gentamisin dalam serum pada interval yang aman

Gentamisin sebagai terapi

Cmaks Cmin

Kadar BUN, SCr

Efek samping Kadar efektif gentamisin sebagai terapi infeksi paru

Vertigo

Telinga berdengung Gentamisin bolus

intravenous dosis berganda 80 mg tiap 12 jam


(19)

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah:

a. apakah pemberian gentamisin intravena bolus dosis 80 mg tanpa perhitungan berat badan memberi kadar efektif sebagai pengobatan pada pasien pneumonia? b. apakah penggunaan gentamisin dosis berganda 80 mg menghasilkan kadar serum

dalam rentang terapi yang aman?

c. apakah pada penggunaan gentamisin dalam terapi pneumonia menimbulkan efek samping obat (ESO) yang dapat diamati?

1.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: a pemberian dosis lazim gentamisin tanpa mempertimbangkan faktor individu yang

berpengaruh yaitu berat badan dan fungsi ginjal akan menghasilkan variabilitas yang besar terhadap pencapaian kadar terapetik obat.

b terdapat variabilitas individu dengan hubungan kadar gentamisin dalam serum dan respon klinis yang ditimbulkan.


(20)

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a menentukan besarnya kadar puncak (Cmax) dan lembah (Cmin) gentamisin dalam serum pada pemberian dosis berganda

b mengetahui kecukupan kadar serum gentamisin dosis 80 mg pada pengobatan pasien penderita pneumonia

c mengamati ESO pada penggunaan gentamisin dosis berganda pada pengobatan pasien penderita pneumonia.

1.6Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan untuk penentuan regimen dosis serta pemantauan efek samping obat pada penderita yang mendapat pengobatan gentamisin dan sekaligus membudayakan pemantauan terapetik obat dalam serum dalam rangka pengobatan yang rasional bagi penderita.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa.

Infeksi paru terjadi karena mikroorganisme sampai dan merusak permukaan epitel saluran pernafasan. Mikroorganisme mencapai permukaan saluran pernafasan dengan cara inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol atau kolonisasi pada permukaan mukosa. Mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema (PDPI, 2005).

Diagnosis pneumonia menurut American Thoracic Society (ATS) 1996 antara lain batuk, nyeri dada, demam, sulit bernafas, peningkatan produksi sputum, leukositosis, leukopeni dan nampak gambaran infiltrat pada foto dada (Hisyam, 2003).

Secara klinis pneumonia dibagi menjadi :

a. Community acquired pneumonia

Community acquired pneumonia adalah suatu penyakit yang dimulai di luar rumah sakit atau didiagnosis dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit pada pasien


(22)

yang tidak tinggal dalam fasilitas perawatan selama 14 hari atau lebih (Tierney, 2002).

Etiologi pneumonia komuniti adalah coccus gram positif seperti Pneumococcus dan Staphylococcus, basil gram negative seperti Haemofilus influenza, bakteri aneorob dan virus (Danusantoso, 2000).

Community acquired pneumonia terbagi 2 jenis, yaitu:

i. pneumonia atipik adalah pneumonia disebabkan oleh virus, mycoplasma dan legionella.

ii. pneumonia bakterial disebabkan oleh Stapillococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, dan Stapillococcus aureus.

Berdasarkan patologi anatomi ada 3 stadium pneumonia, yaitu : i. stadium prodromal

Pada stadium prodromal alveolus mulai terisi sekrit akibat infeksi kuman patogen. Setelah 1 minggu, alveolus akan penuh dan padat dengan sel-sel leukosit terutama PNM. Keluhan yang terjadi berupa demam, nyeri otot, hilangnya nafsu makan serta batuk. Berdasarkan pemeriksaan fisik, terdapat ronki basah halus pada paru yang terserang.

ii. stadium hepatisasi

Stadium hepatisasi merupakan stadium lanjutan dari stadium prodromal,dimana hati akan penuh dan padat dengan sel-sel leukosit terutama PNM. Pada stadium ini keadaan penderita semakin parah ditandai demam tinggi, menggigil, sesak nafas,


(23)

nyeri dada, batuk semakin parah namun dahak sulit dikeluarkan. Kebanyakan penderita meninggal dalam stadium ini jika tidak mendapatkan pengobatan semestinya.

iii. stadium resolusi

Stadium revolusi terjadi pada minggu ketiga dimana isi alveolus melunak dan berubah menjadi dahak. Pada stadium ini, kondisi penderita mulai membaik, demam turun, sesak berkurang (Danusantoso, 2000).

b. Hospital acquired (nosocomial) pneumonia

Hospital acquired (nosocomial) pneumonia terjadi pada pasien yang berada dalam perawatan rumah sakit lebih dari 48 jam atau 72 jam, yang tidak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit. Organisme penyebab Hospital acquired (nosocomial) pneumonia antara lain Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aeruginosa, enterobakter, Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli (Tierney, 2002).

c. Pneumonia pada immunocompromised host

Pneumonia ini terjadi pada pasien immunocompromised, disebabkan oleh bakteri, mikobakteria, jamur, protozoa, cacing atau virus. Ada dua tanda klinis untuk diagnosis pneumonia ini, yaitu tingkat imunitas pasien dan penyebab pneumonia (Tierney, 2002).

Prinsip pengobatan dilakukan secara empiris dengan antibiotik berspektrum luas apabila belum ditemukan kuman penyebab, oleh karena itu harus dengan cepat


(24)

mencakup semua patogen yang sering terdapat pada sisi infeksi. Bila penyebab patogen telah dipastikan maka terapi defenitif harus dilakukan dengan menggunakan antibiotik yang lebih spesifik. Tujuan pemilihan antibiotik adalah untuk mendapatkan antibiotik yang aktif sesuai dengan patogen, toksisitas kecil serta efek alergi minimal (Hisyam,2003).

Berdasarkan pedoman terapi empiris menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (Table 2.1), maka gentamisin merupakan salah satu antibiotik yang digunakan untuk terapi pneumonia.

Tabel 2.1. Pedoman Terapi Empiris menurut PDPI Rawat jalan • Tanpa faktor modifikasi:

o Golongan -laktam, atau

o -laktam + anti -laktamase • Dengan faktor modifikasi:

o Golongan -laktam + anti -laktamase, atau

o Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)

• Jika dicurigai pneumonia atipik:

o Makrolid baru (roksitromisin, klaritomisin, azitromisin)

Rawat inap • Tanpa faktor modifikasi:

o Golongan laktam atau laktam + anti -laktamase intravena (iv), atau

o Sefalosporin generasi ke-2, generasi ke-3 iv, atau

o Fluorokuinolon respirasi iv • Dengan faktor modifikasi:

o Sefalosporin generasi ke-2, generasi ke-3 iv, atau

o Fluorokuinolon respirasi iv

• Jika dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru

Rawat intensif • Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas:


(25)

Lanjutan Tabel 2.1

ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv

• Dengan faktor modifikasi:

o Sefalosporin anti Pseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin) iv atau

o aminoglikosida iv

• Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik:

o Sefalosporin anti Pseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv

Berdasarkan mikroorganisme penyebab, PDPI mengklasifikasikan penggunaan antibiotik sebagai berikut:

Tabel 2.2 Penggunaan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia

Mikroorganisme Antibiotik Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia Golongan Penisilin

TMP-SMZ Makrolida

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae Betalaktam oral dosis tinggi (rawat jalan) Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi Makrolida baru dosis tinggi

Fluorokuinolon Pseudomonas aeroginosa Aminoglikosida

Seftazidim, Sefepim Tikarsilin, Piperasilin

Karbapenem, Meropenem, Imipenem Siprofloksasin, Levofloksasin

Methicilin resistent Staphylococcus aureus Vankomisin Teikoplanin Linezolid Hemophilus influenza TMP-SMZ

Azitromisin


(26)

Legionella Makrolida Flourokuinolon Rifampisin Mycoplasma pneumoniae Doksisiklin

Makrolida Flourokuinolon Lanjutan Tabel 2.2

Chlamydia pneumoniae Doksisiklin Makrolida Flourokuinolon

2.2 Tinjauan Umum Antibiotik Golongan Aminoglikosida 2.2. 1 Aminoglikosida

Aminoglikosida adalah golongan antibiotik bakterisid yang aktif melawan bakteri aerobik, gram negatif seperti Pseudomonas, Acinetobacter , Enterobakter dan gram positif. Penggunaannya tidak efektif melawan bakteri anaerobik, jamur dan virus. Antibiotik golongan ini antara lain amikasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, streptomisin tobramisin dan apramisin (www.aminoglycoside-wikipedia.com, 2008)

Pada strukturnya, aminoglikosida mempunyai cincin heksosa, di mana berbagai gula amino dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Senyawa ini larut dalam air, stabil dalam larutan, dan lebih aktif pada pH alkali dibandingkan pH asam (Katzung, 2004).

. Mekanisme kerja aminoglikosida adalah dengan cara mengikat protein ribosom bakteri subunit 30 S. Penghambatan sintesis protein terjadi dengan 3 cara


(27)

yaitu (a) mengganggu kompleks awal pembentukan peptida, (b) menginduksi salah baca mRNA yang mengakibatkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida sehingga menyebabkan terbentuknya protein toksik, (c) menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi monosom nonfungsional sehingga mengakibatkan kematian sel (Katzung, 2004).

Aminoglikosida diabsorpsi sangat sedikit pada saluran pencernaan dan terikat pada protein plasma sebesar 10%. Setelah suntikan intramuskular, aminoglikosida diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak dalam darah 30-90 menit (AHFS, 2005).

Aminoglikosida merupakan obat polar, umumnya terdistribusi secara merata pada cairan ekstraseluler, cairan sinyovial, peritonial dan pleural. Konsentrasi tinggi aminoglikosida ditemukan di ginjal terutama pada bagian corteks. Penetrasi golongan ini jelak pada mata dan sistem saraf pusat. Konsentrasi aminoglikosida pada sekresi air liur dan bronkial sangat bervariasi

Aminoglikosida diekskresi dalam keadaan utuh melalui filtrasi glomerular ginjal. 80-90% dosis pemberian terdapat dalam urin dan sedikit diekskresikan melalui saluran empedu. Waktu paruh pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 2-3 jam (www. aminoglycoside-antibiotics.com, 2008)

Aktivitas aminoglikosida akan diinaktivasi bila diberikan bersama penisilin antipseudomonas seperti karbenisilin, tikarsilin, mezlosislin, azlosilin, dan piperazilin yang umum diberikan dalam dosis besar. Oleh karena itu, harus dihindari


(28)

mencampur aminoglikosida dan penisilin dalam larutan infus dan sebaiknya diberikan melalui intravena kateter yang terpisah (AHFS, 2005; Stockley,1994).

Antibiotik aminoglikosida digunakan untuk pengobatan pneumonia, infeksi saluran kemih, peritonel, skeletal, dan infeksi pada jaringan lunak (Robinson dkk., 1986). Efek samping yang disebabkan oleh golongan aminoglikosida adalah berupa ototoksisitas dan nefrotoksisitas (AHFS, 2005). Nefrotoksisitas aminoglikosida meningkat jika diberikan bersama diuretik seperti furosemid, asam etakrinat atau antimikroba nefrotoksik lain (vankomisin dan amfoterisin). Manifestasi ototoksisitas berupa kerusakan pendengaran, tinitus dan kerusakan vestibuler seperti vertigo, ataksia dan kehilangan keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan serum kreatinin dan kreatinin klirens. Blokade neuromuskuler terjadi pada penggunaan aminoglikosida dosis tinggi (AHFS, 2005)

2.2.2 Gentamisin

Gentamisin adalah aminoglikosida yang diisolasi dari Micromonospora purpurea, berbentuk serbuk putih kekuningan, mudah larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol 95% (AHFS., 2005).

Penggunaannya terutama pada terapi empiris infeksi berat misalnya sepsis dan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri gram negative khususnya Pseudomonas aeruginosae, Enterobacter,Sserratia, Proteus, Acinetobacter, dan Klebsiella (Neal, 2006). Gentamisin tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk terapi pneumonia, sebab penetrasinya ke jaringan paru yang terinfeksi buruk dan kondisi


(29)

setempat dengan tekanan oksigen yang rendah turut andil memperburuk aktivitas antibakteri ini (Katzung, 2004).

Gentamisin akan berdifusi secara bebas melalui kanal air membran luar bakteri gram negatif, lalu masuk ke ruang periplasmik dan kemudian terikat dengan reseptor pada subunit ribosom 30S dan menghambat sintesis protein (Golan dkk., 2005). Gentamisin terdistribusi secara luas dalam tubuh, dapat memasuki cairan serobrospinal bila selaput otak mengalami inflamasi, dapat menembus plasenta namun tidak terdapat dalam air susu ibu dalam jumlah yang signifikan (AHFS., 2005). Kadar serum tertinggi dicapai dalam 30 menit setelah pemberian intravenus, dengan waktu paruh ± 2 jam (Katzung, 2004).

Konsentrasi serum gentamisin dan fungsi ginjal harus dipantau apabila diberikan lebih dari beberapa hari. Untuk pasien yang menerima pemberian dosis tiap 8 jam, konsentrasi puncak yang diharapkan adalah 5-10 µg/ml dan konsentrasi lembah 1-2 µg/ml. Konsentrasi lembah di atas 2 µg/ml mengindikasikan akumulasi obat dan dikaitkan dengan toksisitas. Dengan demikian, dosis harus dikurangi atau interval diperpanjang (Niazi,1979)

Gentamisin menyebabkan efek samping berupa reaksi hipersensitivitas, ototoksisitas, nefrotoksisitas dan blockade neuromukcular. Reaksi hipersensitivitas , alergi berupa rash dan demam dapat terjadi namun jarang pada penderita yang tidak pernah menggunakan gentamisin sebelumnya. Resistensi silang dapat terjadi di antara


(30)

aminoglikosida. Syok anafilaksis pernah terjadi namun sangat jarang (AHFS, 2005: Stockley, 1994).

Nefrotoksisitas menimbulkan kerusakkan pada ginjal biasanya ringan, meskipun nekrosis tubular akut dan interstitial nefritis pernah terjadi. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR = glomerular filtration rate) terjadi setelah beberapa hari dan terus berlangsung meskipun penggunaanya telah dihentikan. Gangguan elektrolit seperti hipomagnesia, hipokalsemia, dan hipokalemia pernah terjadi. Nefrotoksisitas dapat dilihat dari hasil peningkatan serum kreatinin yang lebih besar atau sama dengan 0,5 mg/ml (jika nilai serum kreatinin awal adalah normal). Faktor-faktor yang mempengaruhi nefrotoksisitas adalah umur, renal insufficiency, kadar lembah yang tinggi, kadar puncak yang tinggi, total dosis perhari, dosis kumulatif adanya obat-obat nefrotoksik yang diberikan secara bersamaan, jenis kelamin, ama pengobatan dan sepsis (AHFS, 2005: Hermsen, 2007).

Ototoksisitas terjadi akibat pengaruh gentamisin terhadap vestibulas auditori cabang dari nervus ke delapan. Ototoksisitasnya mempengaruhi kokhlea, manifestasinya adalah hilangnya pendengaran dan tinnitus yang mungkin permanen, kadang-kadang berupa rasa sakit pada telinga. Manifestasi pada sistem vestibular adalah dizzines atau vertigo, ataxsia atau nystagmus. Pemantauan audiometri direkomendasikan pada penderita yang menerima aminoglikosida lebih dari 7-10 hari (AHFS, 2005).


(31)

Penggunaan gentamisin dan diuretika seperti asam etakrinat dan furosemid, amfoterisin B, klindamisin, vankomisin, dan sisplatin meningkatkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas. (Stockley, 1994). Secara farmakologis gentamisin mempunyai aktivitas antimikroba yang sinergis dengan penisilin dan vankomisin (Neal, 2005). Gentamisin menyebabkan nefrotoksik dengan cara menghambat sintesis protein pada sel tubuli proksimal ginjal sehingga terjadi nekrosis tubular akut yang mengakibatkan gagal ginjal akut (www.gentamicyn-wikipedia.com, 2008).

Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60mg/1,5 ml; 80 mg/2 ml; 120 mg/3ml dan 280 mg/2 ml (Ganiswarna, 1995)

2.3 Farmakokinetika Gentamisin Intravenus

2.3.1 Farmakokinetika Gentamisin Intravenus Dosis Tunggal

Jika suatu obat diberikan dalam bentuk bolus intravenus, seluruh dosis obat masuk ke dalam tubuh dengan segera dan kinetika obat diasumsikan berdasarkan kompartemen satu terbuka. Obat akan didistribusikan ke semua jaringan tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara cepat mencapai kesetimbangan (Shargel, 1993).

Model kompartemen satu terbuka menggaggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mengambarkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan tetapi konsentrasi obat dalam jaringan tidak sama pada berbagai waktu (Kiang, 1990).

Prinsip penggunaan model kompartemen satu adalah tubuh merupakan kompartemen satu dengan volume = Vd, dengan kadar obat setiap waktu yang


(32)

dinyatakan dengan Cp, fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat berlangsung menurut reaksi orde pertama dengan tetapan laju eliminasi (Kel) yang meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan tetapan laju ekskresi (Ke) (Shargel,1999).

Secara skematis, model kompartemen satu terbuka ditunjukkan pada Gambar 2.1. iv kel = km+ ke

Dosis Eliminasi

Tubuh Vd.Cp

Sumber : Shargel, (1985)

Gambar 2.1 Model kompartemen Satu Terbuka

Keterangan : Vd = Volume distribusi

Cp = Konsentrasi obat dalam darah kel = konstanta laju eliminasi km = kontanta laju metabolisme ke = konstanta laju ekskresi

Model kompartemen dua mengambarkan terdistribusi obat ke dalam ke dua kompatemen yaitu kompartemen sentral dan kompartemen jaringan (Gambar 2.2) . Model ini menganggap obat dieliminasi oleh kompartemen sentral.

Konsentrasi obat dalam plasma menurun dengan cepat setelah penyuntikan intravenus karena obat terdistribusi ke jaringan lain. Penurunan konsentrasi obat awal yang cepat pada kompartemen sentral disebut fase distribusi, pada waktu tertentu obat


(33)

akan berada dalam kesetimbangan dan hilangnya obat dari kompatemen sentral mengikuti reaksi orde ke satu, disebut fase eliminasi (Shargel, 1999).

iv k12

Dosis

k21

k

Kompartemen jaringan Dt,Vt, Ct Kompartemen sentral

Dp, Vp, Cp

Sumber : Shargel, (1985)

Gambar 2.2 Model kompartemen dua Terbuka

Keterangan : Dp = dosis obat pada kompartemen sentral

Vp = volume distribusi obat pada kompatemen sentral Cp = konsentrasi obat pada kompartemen sentral Dt = dosis obat pada kompartemen jaringan

Vt = volume distribusi obat pada kompatemen jaringan Ct = konsentrasi obat pada kompartemen jaringan

Model kompartemen tiga adalah perluasan dari model kompartemen dua dengan tambahan kompartemen jaringan dalam seperti tulang dan lemak. Suatu obat yang mengikuti kompartemen tiga, terdistribusi cepat dalam kompartemen sentral,


(34)

kurang cepat pada kompartemen dua dan lambat pada kompartemen tiga (Gambar 2.3).

k21 K k31

Komparten sentral Dp, Vp, Cp

Ko mpartemen jaringan dalam Ddt, Vdt, Cdt Kompartemen

jaringan Dt, Vt, Ct

Sumber : Shargel, (1985)

Gambar 2.3 Model kompartemen Tiga Terbuka

Keterangan : Ddt = dosis obat pada kompartemen jaringan dalam

Vdt = volume distribusi obat pada kompatemen jaringan dalam Cdt = konsentrasi obat pada kompartemen jaringan dalam

2.3.2 Farmakokinetika Gentamisin Intravenus Dosis Ganda (Multiple Dose) Tujuan pemberian obat dosis berganda adalah untuk memperpanjang aktivitas terapetik, karena kadar obat dalam plasma harus dipertahankan untuk mencapai efektivitas klinis yang optimal. Kadar efektif minimum antibiotik yang diinginkan dapat ditentukan agar berada dalam batasan kadar plasma terapetik minimum dan kadar plasma non-toksik minimum (Shargel, 1999).

Jika suatu obat diberikan dengan dosis dan jarak waktu pemberian dosis yang tetap, maka jumlah obat dalam tubuh akan naik dan kemudian plateu. Jika dosis kedua diberikan dalam jarak waktu yang lebih panjang dari waktu yang diperlukan


(35)

untuk mengeliminasi dosis sebelumnya, maka obat tidak akan terakumulasi. Jika dosis yang sama diberikan berulang pada frekwensi konstan, maka akan diperoleh kurva kadar plasma-waktu plateu atau keadaan tunak. Pada keadaan tunak tercapai, Cmax dan Cmin adalah konstan dan tetap tidak berubah dari dosis ke dosis. Konsentrasi maksimum harus selalu berada di bawah kadar toksik minimum sebab Cmax merupakan suatu petunjuk yang baik akumulasi obat. Jika pada keadaan tunak obat menghasilkan Cmax yang sama dengan Cmax setelah pemberian dosis pertama, maka berarti tidak ada akumulasi obat. Jika Cmax lebih besar dari Cmax dosis pertama maka berarti ada akumulasi yang bermakna (Gambar 2.4) (Shargel, 1999; Ritschel, 1992).

Khusus untuk gentamisin, ada tidaknya akumulasi obat lebih jelas terlihat pada Cmin, sebab Cmin mencerminkan keadaan obat dalam jaringan yang sebenarnya (Jolley, et.al., 1981).


(36)

Akumulasi: obat tidak seluruhnya dieliminasi selama interval pemberian

Steady state: obat yang masuk sama banyak dengan yang tereliminasi selama interval pemberian

Sumber : Shargel, (1985)

Gambar 2.4 Kurva interval dosis ganda


(37)

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Berdasarkan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini adalah penelitian klinis. Penelitian dilakukan pada pasien yang menderita pneumonia. Jumlah subjek penelitian ditentukan secara consecutive sampling. Consecutive sampling merupakan sampling non-probability, di mana jumlah subjek ditentukan dari subjek yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dan eklusi (Sastroasmoro dkk., 2002). Penelitian ini bersifat studi observasi dengan melakukan pengamatan sewaktu (cross sectional).

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap A (Rindu A) Departemen Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan, RSUP. H. Adam Malik Medan, setelah mendapat persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan yang beralamat di Fakultas Kedokteran USU, selama ± 3 bulan.

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 dari Roche Laboratories USA. b. Alat centrifuge (Beckman model Tj-6)


(39)

d. Clinipet 100 µl

e. Vortex mixer (Heidoph, type REAXI). f. Tabung venoject

g. Syring 3 ml

3.3 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Injeksi gentamisisn sulfat ampul 80 mg

b. Dapar pengencer (monoclonal antibody dalam dapar pospat) c. Pereaksi TDx gentamisin yang terdiri dari

S : antiserum gentamisin

T : gentamisisn fluorescein tracer

d. Kalibrator gentamisin COBAS-FP terdiri dari 3,5 ml Cat. No. 20717622 system-ID 071762 2

e. Kontrol multianalyte 200 ml cat. No.20720720 system-ID 07 2072 0

3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian penelitian ini memenuhi persyaratan berikut:


(40)

i. pria

ii. berusia 20-70 tahun

iii. menyatakan bersedia ikut dalam penelitian ini iv. fungsi ginjal normal

v. tidak mengalami alergi terhadap antibiotik khususnya golongan aminoglikosida vi. memiliki kadar kreatinin, BUN dan SCr yang normal.

b. Kriteria Eklusi

Pasien tidak diperkenankan ikut dalam penelitian ini jika mengalami: i. gangguan pada ginjal dan hati

ii. gangguan pendengaran

iii. penyakit-penyakit lain yang beresiko tinggi menyebabkan terjadinya gangguan ginjal seperti hipertensi, diabetes nefropati, dan jantung koroner.

iv. hamil dan menyusui

3.4.2 Prosedur Penelitian

Pasien yang telah memenuhi persyaratan, mengisi lembaran persetujuan Informed Consent tanda setuju dikutsertakan dalam penelitian ini (Lampiran 2). Sebelum menerima terapi, semua pasien menjalani pemeriksaan anamnese, pemeriksaan fisik, foto toraks, laboratorium darah lengkap (FBC = full blood count) menggunakan Cell Counter Analyzer (Cell depin 3700 dari Abboat Diagnostic), faal


(41)

ginjal (BUN menggunakan metode Barthelot, SCr menggunakan metode Jaffe’) (Lampiran 3) dan uji sensitivitas mikroba (Lampiran 4).

Pasien diberi injeksi gentamisin 80 mg bolus intravenus berlahan-lahan selama 2-3 menit. Setelah keadaan steady state tercapai, cuplikan darah sebanyak 3 cc diambil dari vena perifer yaitu :

a tigapuluh menit sesudah pemberian gentamisin dosis pertama pada kondisi steady state untuk mengetahui kadar puncak obat (Cmax).

b enam jam sesudah pemberian dosis pertama pada kondisi steady state untuk mengetahui kecukupan kadar gentamisin dalam serum

c lima menit sebelum pemberian gentamisin dosis kedua pada kondisi steady state untuk mengetahui kadar lembah obat (Cmin).

Cuplikan darah didiamkan selama 15 menit dalam tabung tanpa penambahan antikoagulan hingga beku sempurna, serum dipisahkan dengan pemusingan 2500-3000 rpm selama 5-10 menit, serum dimasukkan ke dalam cup sampel dan disimpan dalam lemari pendingin pada temperatur 2-8 C sampai dilakukan penetapan kadar gentamisin dengan Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 Roche. Data yang diperoleh dimasukkan kedalam lembar pengumpul data (Lampiran 5). Selama penelitian berlangsung terapi lain tetap diberikan sesuai kebutuhan penderita.

Pemeriksaan kadar BUN dan SCr dilakukan selama pemberian terapi gentamisin. Keluhan-keluhan yang dialami penderita yang dikaitkan dengan efek samping obat dikumpulkan dan dicatat dalam lembaran data (Lampiran 6). Jika


(42)

ternyata ada keluhan efek samping obat pada telinga, maka penderita dikonsulkan ke bagian telinga hidung dan tenggorokan (THT).

3.5 Tehnik Analisis

3.5.1 Persiapan Cuplikan

Serum dari subjek penelitian yang telah disimpan dalam lemari pendingin dikeluarkan dan dibiarkan pada temperatur kamar selama 3-5 menit, kemudian dihomogenkan dengan vortex mixer.

3.5.2 Prosedur pemeriksaan

Sebelum penetapan kadar gentamisin dilakukan maka disiapkan: Cuvet : untuk tempat serum yang akan diperiksa

Air : untuk membilas cuvet pada saat rotor beroperasi Cleaner : untuk mencuci cuvet pada saat rotor beroperasi

3.5.3 Penetapan Kadar Gentamisin dalam Serum dengan Metode Fluorescence

Polarization Immuno Assay

Prinsip metode ini adalah reaksi antigen-antibodi, yaitu bersaing antara antigen yang tidak bertanda untuk mendapatkan tempat ikat pada antibodi spesifik. Pada reaksi ini antigen bertanda adalah larutan gentamisin fluorecein tracer, sedangkan antigen tidak bertanda adalah gentamisin dalam sampel serum (Cobas


(43)

Integra systems TDM, 2004). Apabila antigen bertanda terikat dengan antibodi, maka fluorophore tidak bebas berotasi sehingga bila dikenai cahaya akan terjadi polarisasi, dan apabila antigen bertanda bebas, maka rotasi yang terjadi akan lebih besar akibatnya molekul mengalami acak sehingga bila cahaya diemisikan akan terjadi depolarisasi. Jika kadar gentamisin dalam sampel serum rendah maka semakin kecil jumlah antigen bertanda yang terikat sehingga polarisasi yang dihasilkan rendah dan demikian sebaliknya.

Penetapan kadar gentamisin dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. diaktifkan tombol power monitor, tombol alat Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 dan Central processing unit (CPU).

b. dibiarkan selama 2-3 menit

c. alat akan mencuci jarum sampel dan jarum reagen selama 5-6 menit sambil menyesuaikan temperatur

d. dimasukkan serum pada rak ise dengan posisi dua dan D protein pada posisi delapan., rak ise masukkan ke dalam alat Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 - Roche.

e. alat siap untuk dioperasikan

f. untuk kalibrasi pada monitor kursor diarahkan pada posisi order, kalibrasi , parameter yang akan diperiksa, save klik secara berurutan.

g. untuk kontrol pada monitor kursor diarahkan pada posisi kualiti kontrol, parameter yang akan diperiksa, save klik secara berurutan.


(44)

h. untuk membaca hasil pemeriksaan klik start dan alat mulai bekerja, kemudian secara berurutan klik result, kalibrasi, parameter dan kontrol. i. dibaca hasil pemeriksaan pada monitor.

3.5.4 Penetapan Kadar Kreatinin dalam serum (Metode Jaffe’)

Serum ditambahkan NaOH lalu ditambahkan reagensia asam pikrat. Pada larutan basa, kreatinin akan membentuk kompleks yang berwarna kuning orange dengan asam pikrat. Intensitas warna yang terbentuk diukur secara kolorimetri.

3.5.5 Penetapan Kadar Ureum dalam Serum (Metode Barthelot)

Serum ditambahkan buffer dan enzim urease maka urea yang terdapat dalam serum akan terhidrolisis membentuk CO2 dan amonia. Lalu amonia akan bereaksi dengan a-ketoglutarat dan NADH dan enzim glutamat dehidrogenase (GLDH) menghasilkan glutamat yang diukur ssecara titrimetri.

3.6 Pengolahan Data

3.6.1 Data fisik dan Pemeriksaan Laboratorium (faal ginjal)

Data fisik penderita berupa jenis kelamin, umur, berat badan, hasil pemeriksaan BUN dan SCr sebelum dan selama terapi dicatat dalam lembar pengumpul data dan dilakukan tabulasi (Lampiran 3).


(45)

3.6.2 Diagnosis dan Terapi Gentamisin

Data diagnosis, pengamatan efek samping obat berupa keluhan yang dialami penderita berkaitan dengan kemungkinan efek samping obat akibat penggunaan gentamisin diamati pada saat dilakukan penelitian. Data dicatat dalam lembar pengumpul data dan ditabulasi (Lampiran 6).

3.6.3 Pengamatan Kadar Gentamisin dalam Cuplikan Serum

Kadar gentamisin dalam cuplikan serum diamati dengan menggunakan alat Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 – Roche yang dilakukan bersamaan dengan pembuatan kurva kalibrasi. Data yang diperoleh dicatat dalam lembar pengumpul data dan dilakukan tabulasi (Lampiran 5).

3.6.4 Usulan Rekomendasi Dosis Individual

Berdasarkan data kadar gentamisin dalam serum yang diperoleh (Cmax, C6jam, Cmin), dilakukan analisis kecukupan dosis pemberian gentamisin dikaitkan

dengan efektifitas dan keamanannya. Dari data ini dapat dibuat suatu rekomendasi dosis individu dengan cara menghitung.


(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian terhadap 3 subjek yang dirawat inap dan menjalani terapi gentamisin di RSUP H. Adam Malik bagian Paru dan Saluran Pernafasan, diperoleh hasil sebagaimana dipaparkan selanjutnya.

4.1 Data Karakteristik Fisik Pasien, Pemeriksaan Kreatinin dan Laju Endap Darah

Jumlah subjek yang sedang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan bagian Paru dan Saluran Pernafasan yang terinfeksi mikroba adalah sebanyak 3 orang. Ketiga penderita adalah laki-laki dengan rata-rata usia 49 tahun, berat badan 52 kg dan tinggi badan 163 cm (Tabel 4.1)

Tabel 4.1 Data karakteristik fisik pasien

No Nama Jenis Kelamin Usia (Thn) BB (kg) BB Ideal Brocca (kg) TB (cm)

1 DI Laki-laki 27 60 65,7 173

2 RS Laki-laki 66 54 54 160

3 SS Laki-laki 54 41 49,5 155

Rata rata 49 52 55,7 163

Keterangan : BB = berat badan TB = tinggi badan


(47)

Pneumonia merupakan peradangan parenkhim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus atau jamur). Timbulnya gejala konstitusional seperti demam, mengigil, dan nyeri kepala merupakan tanda adanya infeksi. Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menentukan benar-tidaknya infeksi dan penyebabnya (Sacher, 2004).

Karakteristik pertama pasien yang perlu diketahui adalah leukositosis. Hasil pemeriksaan leukosit penderita ditunjukan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data pemeriksaan leukosit

No Nama Jumlah leukosit (103/mm3) Normal (103/mm3)

1 DI 19,6

2 RS 6,2

3 SS 6,7

4-10

Berdasarkan data di atas nampak bahwa leukosit pasien DI jauh di atas normal sedangkan RS dan SS mempunyai jumlah leukosit normal. Ini mengindikasikan pasien DI mengalami infeksi. Kenaikan leukosit hingga 20.000 sel/mm3 mengindikasikan telah terjadi infeksi berat (Danusantoso, 2000). Meskipun demikian, leukosit normal atau rendah dapat juga disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi berat yang tidak menimbulkan respons leukosit, orang tua atau


(48)

dalam kondisi lemah (Dahlan, 2001) sehingga untuk penentuan lanjutan apakah terjadi infeksi maka dilakukan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED).

LED adalah gambaran komposisi darah dan perbandingan antara eritrosit dengan plasma, yaitu kecepatan turunnya sel darah merah dalam tabung uji selama waktu tertentu (teknik Westergren) (Sacher, 2004). LED merupakan petunjuk adanya perubahan protein plasma pada infeksi akut maupun kronik. Jika LED tinggi maka telah terjadi infeksi atau trauma. Hasil pemeriksaan LED penderita adalah 40-50 mm/jam (Tabel 4.3) dengan nilai normal 0-15 mm/jam (Widmann, 1983).

Tabel 4.3 Data pemeriksaan LED

No Nama LED (mm/jam) Normal (mm/jam)

1 DI 40

2 RS 40

3 SS 50

0-15

Karakteristik lain yang diperiksa dalam penelitian ini adalah kreatinin, ureum, kreatinin klirens dan BUN. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui fungsi ginjal pasien sebelum diberi injeksi gentamisin, 30 menit dan 360 menit serta 715 menit sesudah injeksi gentamisin (Tabel 4.4).

Kreatinin adalah hasil perombakan kreatin yaitu senyawa nitrogen yang terdapat pada otot (Sodeman, 2000). Jumlah kreatinin yang dihasilkan setara dengan


(49)

massa otot rangka seseorang. Nilai normal kreatinin adalah 0,6-1,3 mg/dl untuk laki-laki dan 0,5-1,0 mg/dl untuk perempuan (Sacher, 2004).

Pembentukan kreatinin harian adalah konstan kecuali jika terjadi cedera fisik atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan otot. Kreatinin diekskresikan melalui ginjal sehingga digunakan sebagai indikator kerusakan ginjal. Nilai kreatinin darah akan meningkat jika fungsi ginjal menurun (Sacher, 2004).

Hasil pemeriksaan kreatinin menunjukan kondisi ginjal ketiga pasien dalam keadaan normal sebab tidak nampak terjadi kenaikan nilai kreatinin yang bermakna yaitu melebihi 1 mg/dl. Kenaikan nilai kreatinin yang melebihi 1 mg/dl menunjukkan perubahan kecepatan filtrasi glomerulus sebesar 50% (Tjokronegoro, 2001).

Nilai kreatinin pasien DI ditemukan naik mendekati batas normal (1,3 mg/dl) dan berdasarkan penentuan konsentrasi minimum gentamisin dalam darah berada di atas nilai potensial toksik (2,41 mcg/ml), maka pasien DI berpotensi mengalami gangguan fungsi ginjal, dengan demikian efek samping terhadap pasien DI harus dipantau secara intensif dan diperlukan penyesuaian dosis. Nilai kreatinin saja tidak cukup untuk menggambarkan fungsi ginjal seseorang maka ditentukan nilai kretinin klirens.

Kreatinin klirens merupakan volume plasma yang diekskresi dan mengandung zat terlarut (kreatinin), zat terlarut tersebut masuk ke glomerulus atau dihilangkan dari plasma dan diekskresikan ke dalam urin (www.renal function-wikipedia.com, 2008). Nilai kreatinin klirens ditentukan menggunakan rumus Cockroft Gault


(50)

(Lampiran 9). Penurunan fungsi ginjal terjadi jika nilai kreatinin klirens menurun (Price, 2003).

Berdasarkan hasil perhitungan, nilai kreatinin klirens pasien DI berada di luar nilai normal (80-120 ml/menit). Peningkatan nilai kreatinin klirens dipengaruhi oleh umur, berat badan, jenis kelamin dan obat-obatan yang digunakan seperti ketoacid, simetidin/ranitidin dan trimetropim. Ranitidin (antihistmin penghambat reseptor H2)

digunakan untuk menghambat sekresi asam lambung yang berlebihan. Ranitidin dapat meningkatkan nilai kreatinin klirens pasien tetapi tidak menaikkan nilai BUN. Hal ini terjadi karena ranitidin menghambat sekresi kreatinin di tubular ginjal sehingga nilai kreatinin klirens akan meningkat (AHFS, 2005; www. Creatinin-Wikipedia.com, 2008). Nilai kreatinin klirens pasien RS dan SS berada dalam range nilai normal yang menunjukkan bahwa fungsi ginjal kedua pasien normal.

Nitrogen urea darah (BUN = blood urea nitrogen) merupakan angka yang menyatakan jumlah nitrogen dalam darah. Nitrogen dihasilkan dari peruraian urea dalam hati dan diekskresikan melalui ginjal (www.BUN-wikipedia.com, 2008). Nilai normal BUN adalah 9-18 mg/dl.

Kadar BUN dipengaruhi oleh jumlah protein seseorang. Kadar BUN yang sangat rendah mengindikasikan penyakit hati yang berat karena hati tidak mampu membentuk urea dari amonia dalam sirkulasi. Kadar BUN yang tinggi disebut uremia. Hal ini merupakan indikasi terjadinya gagal ginjal (Sacher, 2004).


(51)

Pemeriksaan BUN bersama kreatinin dimaksudkan untuk menentukan laju perfusi ginjal. Jika ratio BUN terhadap kreatinin lebih besar dari 20, maka terjadi penurunan laju perfusi ginjal. Jika ratio BUN terhadap kreatinin 10-20 menunjukkan kerusakan ginjal pada penggunaan antibiotika yang bersifat nefrotoksik atau disfungsi ginjal kronis akibat glomeronefritis.

Tabel 4.4 Data pemeriksaan kreatinin, ureum, kreatinin llirens dan Blood Urea Nitrogen dalam darah penderita sebelum dan sesudah injeksi gentamisin 80 mg/12 jam

Kreatinin (mg/dl) Ureum (mg/dl) Kreatinin Klirens (ml/menit) Blood Urea Nitrogen (mg/dl) Waktu (menit)

DI RS SS DI RS SS DI RS SS DI RS SS Sebelum

injeksi gentamisin

0,7 0,7 0,7 10 10 15 134 80 70 5 5 8

30 0,5 0,58 0,5 11 18 8,7 188 96 98 6 9 4

360 0,4 0,54 0,43 10 18 8,5 229 103 114 5 9 4 715 1,3 0,66 0,5 50 21,5 12,5 72 84 98 25 11 6 Nilai

Normal

0,7-1,4 10-50 80-120 9-18

Keterangan : Nilai Blood urea Nitrogen (BUN) = ½ nilai ureum

4.2 Uji Kultur

Uji kultur dilakukan untuk mengetahui mikroorganisme penyebab infeksi sehingga rasionalisasi pemberian antibiotik tercapai dan resistensi mikroba dapat dihindari. Sputum merupakan cairan mukus dalam saluran pernafasan. Pembentukan sputum yang berlebihan disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi atau infeksi pada membran mukosa. Warna, volume dan konsistensi sputum perlu diperhatikan sebagai


(52)

sumber informasi awal. Sputum berwarna kekuning-kuningan menunjukan adanya infeksi. Sputum berwarna hijau merupakan petunjuk adanya penimbunan nanah. Sputum berwarna merah muda dan berbusa mengindikasikan edema paru akut. Sputum berlendir dan berwarna abu-abu atau putih menunjukan bronkitis akut dan sputum berbau busuk merupakan indikasi abses paru atau bronkietas (Sacher, 2004).

Hasil uji kultur sputum ketiga pasien (Tabel 4.5; Lampiran 4) menunjukkan bahwa pasien DI menderita pneumonia yang disebabkan oleh Pseudomonas aeroginosa dan sensitif terhadap gentamisin. Pasien RS menderita pneumonia disebabkan oleh Pseudomonas sp dan sensitif terhadap gentamisin. Hasil uji kultur sputum pasien SS menunjukkan tidak ada bakteri penyebab infeksi, tetapi pasien SS diberi gentamisin dikarenakan kondisi pasien yang semakin hari semakin menurun (terapi empiris). Hal ini terjadi disebabkan kondisi pasien yang lemah serta sesak mengakibatkan sputum sulit dikeluarkan. Untuk penentuan mikroorganisme pasien SS, mestinya dilakukan uji kultur darah namun hal tersebut tidak dapat dilakukan karena pasien meninggal.

Tabel 4.5 Hasil uji kultur penderita

No Nama Mikroorganisme Penyebab Infeksi Sensitifitas Terhadap Gentamisin

1 DI Pseudomonas aeroginosa 1

2 RS Pseudomonas sp 1

3 SS Tidak ada pertumbuhan bakteri -


(53)

2 = Hampir resisten 3 = Resisten

4.3 Diagnosis

Diagnosis pada penelitian ini perlu diketahui untuk menentukan terjadinya infeksi dan ketepatan pemberian antibiotika. Berdasarkan anamnase, pemeriksaan fisik, data laboratorium dan uji kultur mikroba maka ketiga pasien didiagnosis menderita pneumonia. Terapi lain yang menyertai injeksi gentamisin pada pasien (Lampiran 8) menunjukkan tidak ada obat yang dapat mempengaruhi kadar gentamisin dalam darah. Pemberian antibiotik golongan sefalosforin pada pasien DI dan SS bertujuan untuk memperluas dan meningkatkan aktivitas gentamisin serta menurunkan toksisitas (Stockley, 1994; Katzung, 2004). Hal ini disebabkan karena efek sinergis kedua antibiotik. Antibiotik golongan sefalosforin atau penisilin bekerja merusak dinding sel bakteri sehingga meningkatkan permeabilitas dan memudahkan masuknya gentamisin ke dalam sel bakteri untuk berikatan dengan ribosom subunit 30s.

4.4 Pengamatan Efek samping Obat

Pengamatan efek samping obat perlu dilakukan karena efek sampingnya yang berbahaya (nefrotoksisitas dan ototoksisitas) dan perlu dihindari. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas terjadi akibat penggunaan gentamisin lebih dari 7-10 hari. Manifestasi


(54)

ototoksisitas ditunjukkan dengan kerusakan pendengaran, tinitus, kerusakan vestibuler yaang ditandai dengan vertigo, ataksia dan kehilangan keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar serum kreatinin atau penurunan nilai kreatinin klirens dengan indikasi awal peningkatan kadar lembah di atas 2 mcg/ml (Katzung, 2004).

Efek samping yang diamati dalam penelitian ini adalah reaksi hipersensitivitas (reaksi alergi), gangguan pendengaran, dan gangguan vestibular seperti vertigo, dizziness, ataksia atau nistagmus. Hasil pengamatan toksisitas auditori tidak ditemukan karena tidak ada keluhan gangguan pendengaran berupa sakit pada telinga atau hilangnya pendengaran (Tabel 4.6).

Tabel 4.6 Data efek samping setelah injeksi gentamisin

No Efek samping gentamisin yang dialami DI RS SS 1 Reaksi hipersensitivitas

Rash - - - - - - 2 Ototoksisitas

Tinnitus

Rasa sakit pada telinga Hilangnya pendengaran Dizzines

Vertigo (kepala pusing, mual, muntah, gangguan waktu berjalan, pusing ketika menutup mata) Ataxia Nistagmus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 3 Nefrotoksisitas

Peningkatan kretinin > 1 mg/dl Ratio BUN terhadap Kreatinin

- - - - - - - - - Keterangan : - : Tidak ada efek samping


(55)

Efek samping nefrotoksisitas berpotensi terjadi pada pasien DI sebab konsentrasi minimum gentamisin pasien berada di atas nilai potensial toksik yaitu 2 mcg/ml sedangkan pada pasien RS dan SS berada di bawah nilai potensial toksik.

Rasio BUN terhadap kreatinin pasien DI berada di antara 10-20. Hal ini menunjukkan kemungkinan terjadi kerusakan ginjal pada penggunaan antibiotika yang bersifat nefrotoksik sehingga dilakukan penyesuaian dosis untuk pasien DI.

4.5Analisis Dosis Injeksi Gentamisin Intravena Bolus dan Kadar Gentamisin Dalam Darah

Setiap pasien pada penelitian ini diberi injeksi gentamisin intravena bolus 80 mg tiap 12 jam. Konsentrasi gentamisin dalam darah ditentukan agar tidak melebihi nilai potensial toksik. Konsentasi maksimun yang melebihi 10 mcg/ml akan menyebabkan toksisitas sedangkan konsentrasi minimum yang melebihi 2 mcg/ml akan menyebabkan kumulasi obat dalam jaringan. Pada pengamatan konsentrasi maksimum dan minimum perlu diperhatikan ada tidaknya pengaruh dari obat lain yang digunakan. Dari hasil penelitian, tidak ditemukan interaksi obat yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan kadar gentamisin dengan metode TDx.

Data pemeriksaan kadar gentamisin dalam darah setelah injeksi bolus intravena dosis 80 mg interval 12 jam (Tabel 4.7 dan Gambar 4.1) menunjukkan konsentrasi maksimum pasien DI di bawah potensial toksik sedangkan konsentrasi minimum di atas potensial toksik. Hal ini menunjukkan dosis 80 mg per 12 jam untuk


(56)

pasien DI cukup untuk menghasilkan efek terapetik optimal namun kemungkinan terjadinya akumulasi obat di dalam tubuh, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis atau interval pemberian obat. Kadar gentamisin pasien RS dan SS berada di bawah nilai potensial toksis maksimum dan minimum. Konsentrasi maksimum kedua pasien di bawah konsentrasi optimal (8 mcg/ml), hal ini menunjukkan bahwa dosis gentamisin yang diberikan kurang sehingga konsentrasi maksimum yang diinginkan tidak tercapai. Akibatnya efek terapetik tidak optimal dan pasien semakin lama tinggal di rumah sakit.

Tabel 4.7 Data pemeriksaan kadar gentamisin dalam darah setelah injeksi bolus intravena gentamisin 80 mg/ 12 jam

Kadar Gentamisin (mcg/ml) Waktu (menit)

DI RS SS Potensial toksik

30 8,41 6,72 4,32 10 360 6,83 2 1,35

715 2,41 1,1 0,9 2

Berdasarkan konsentrasi maksimum dan minimum hasil pengukuran maka dihitung dosis regimen untuk tiap pasien. Pasien DI memerlukan pengurangan dosis karena meskipun konsentrsi maksimumnya (8,41 mcg/ml) mencapai kadar optimal namun konsentrasi minimumnya berpotensial toksik (2,41 mcg/ml) sedangkan pasien RS dan SS memerlukan tambahan dosis untuk mencapai kadar optimal.


(57)

0 2 4 6 8 10 12

0 200 400 600 800

Waktu (menit)

K

o

n

s

en

tr

as

i (

m

cg

/m

l)

DI RS SS Potensial Toksik

Gambar 4.1 Grafik kadar gentamisin dalam darah terhadap waktu, dosis 80 mg dengan interval waktu 12 jam

4.6 Rekomendasi Dosis Individual

Penentuan regimen dosis individual dilakukan untuk mengetahui ketepatan dosis penderita dengan efek terapetik optimal dan toksisitas minimal (Aslam, 2003).

Dosis individu pasien dalam penelitian ini ditentukan menggunakan metode keadaan mantap karena perhitungan metode ini sederhana dan praktis sehingga sesuai penggunaannya di rumah sakit (Hay, 1996). Hasil perhitungan dosis regimen tiap pasien ditunjukkan pada Tabel 4.8. Contoh perhitungan dosis regimen individu metode keadaan mantap ditunjukkan pada lampiran 7.


(58)

Tabel 4.8 Data hasil perhitungan penentuan dosis regimen individu gentamisin No Nama N DB (mg) Cmaks SS DB (mcg/ml) Cmin SS DB (mcg/ml)

1 DI 1,35 60 6,3 1,8

2 RS 1,35 100 8 1,4

3 SS 1,35 150 8 1,7

Keterangan : N = Dosis ke-N untuk mencapai keadaan steady state DB = Dosis baru

SS = Keadaan steady state

Berdasarkan penentuan kadar gentamisin dalam darah, pasien DI berpotensial toksik (terjadi akumulasi obat dalam tubuh) karena konsentrasi minimum pada keadaan steady state lebih besar 2 mcg/ml. Hal ini dapat dihindarkan dengan cara memperpanjang interval pemberian obat atau mengurangi dosis harian. Jika kadar obat terlalu tinggi maka interval dapat diperpanjang atau dosis dikurangi sedangkan jika kadar obat rendah, interval dapat diperpendek atau dosis ditambah (Katzung, 2004). Pasien DI memerlukan pengurangan dosis menjadi 60 mg/ 12 jam pemberian sehingga akan terhindar dari toksisitas.

Pasien RS dan SS memerlukan tambahan dosis untuk mencapai efek terapetik yang diharapkan. Hal ini disebabkan adanya variabilitas individu pada penderita. Penyesuaian dosis regimen individu merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan efek terapi yang optimal dengan efek samping seminimal mungkin secara individual


(59)

tetapi bukan populatif, namun demikian pengamatan respon klinis yang ditimbulkan mutlak harus dilakukan.


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ketiga penderita pneumonia yang dirawat inap di rumah sakit H. Adam Malik bagian Paru dan Saluran pernafasan dapat disimpulkan :

a penggunaan gentamisin dosis berganda 80 mg menghasilkan kadar serum dalam rentang terapi aman bagi penderita DI, RS, dan SS.

b penggunaan gentamisin dalam terapi pneumonia tidak menimbulkan efek samping obat (ESO) yang dapat diamati penderita DI, RS, dan SS.

c berdasarkan penentuan regimen dosis individu maka pasien DI memerlukan pengurangan dosis menjadi 60 mg, dosis pasien RS adalah 100 mg dan SS adalah 150 mg.

5.2 Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memantau parameter-parameter kesembuhan setelah pemberian gentamisin dosis baru sehingga aplikasi TDM (Therapeutic Drug Monitoring) akan jelas dan bermanfaat dalam proses penyembuhan.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Andreoli , E.T.(1997). Cecil Essential of Medicine. edisi 4. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Hal : 732-735

Barclay, et.al (1999). Once Daily Aminoglycoside Therapy. Is It Less Toxic Than Multiple Daily Dose and How Should It Be Monitored? Clin Pharmacokinet, Feb; 36(2):89-98, diakses tanggal 20 Desember 2007. Bartlett, J.G. (2001). Pedoman Terapi Penyakit Infeksi. Jakarta: EGC Penerbit Buku

Kedokteran. Hal: 8-15

Begg, et.al (1994). What Is The Evidence For Once-Daily Aminoglycoside therapy? Clin Pharmacokinet, Jul; 27(1):32-48, diakses tanggal 21 Desember 2007. Chambers, H.F. (2004). Aminoglycoside dan Spectinomycin. Dalam: Farmakologi

Dasar dan Klinik. Edisi 8. ed Katzung. Jakarta: Salemba Medika. Hal : 60-67

Christen, C. (2006). Clinical Pharmacy and Medication Safety. The Annals of Pharmacotherapy. 40: 2020-1. available from: www.theannals.com pada 17 oktober 2006

Craig, A.W., Middleton, S.W. (1997). Pharmacokinetic/Pharmacodinamic Parameter. Journal Clinical Infection Diseases. 1998. 26: 1-12

Danusantoso, H. (2000). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Penerbit Hipokrates. Hal : 74-83.

Ganiswara, S.G. (1995).Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK UI. Edisi 4. Jakarta. Hal: 661-674

Gerald, K Mc. (2005). American Society of Health System. Pharmacist American Hospital Formulary Service, America. Hal : 60-69

Hermsen, D.E (2007). Pharmacokinetic Training Packet for Pharmacists Nebraska

Medical Center. Available from:


(62)

Hisyam, B. (2003). Pneumonia Nosokomial Aspek Terapi. Dalam Pertemuan Ilmiah Nasional I. Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian IlmuPenyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 21-33

Juwono, R., Prayitno A. (2003). Terapi Antibiotik. Dalam: Farmasi Klinis. ed Aslam. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal: 321-325

Katzung, G.B. (1998). Basic & Clinical Pharmacology. Edisi 9. Singapore: Mc.Graw Hill. Hal: 635-640, 686-693

Kiang G, dkk. (1990). Farmakologi Am. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia. Hal : 89-148

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Morike, K. et.al (1997). Use of Aminoglycoside in Elderly Patients. Pharmacokinetics and Clinical Considerations. Drugs Aging, Apr;10(4):259—77. Diakses tanggal 21 Desember 2007

Neal, M.J. (2005). At a Glance Farmakologi Medik. Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal: 84-85.

Niazi, S. (1979). Textbook of Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics. USA. Appleton-Century-Crofts. Hal: 266-268.

PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia). (2005). Pneumonia Komuniti. Jakarta. Hal : 1-7

Price, S.A., Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal : 804-805

Ritschel, A.W.(1976). Biopharmaceutics. Edisi 1. Cincinnati: University of Cincinnati College Pharmacy California. Hal 210-212

Rodman D., et.al (1994). Extended Dosage Intervals for Aminoglycosides. Am J Hosp Pharm, Aug 15;51(16):2016-21

Rusdidjas. (2000). Standar Pelayanan Medis Komite Medik. Edisi I RSUP H. Adam Malik Medan. Hal: 73-75


(63)

Sacher, R.A., McPherson, R.A. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Hal :54-63, 389, 600-603.

Sastroasmoro, S., Ismael S., (2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung Seto. Hal: 75-81.

Shargel L, YU, C,B,A. (1985). Biofarmasetika dan Farmakokinetika, edisi 2, New York. Diterjemahkan oleh Fasih, Syamsiah, S. Joenoes, ZN. Surabaya: Universitas Airlangga. Hal : 45-78, 293

Siswandono, Soekardjo, B. (2000). Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 149-151.

Stockley, I.H. (1994). Drug Interactions a Source Book of Adverse Interaction, Their Mechanisms, Clinical Importance and Management Adverse Interaction. Edisi 3 England. Hal: 131-135

Taylor J.W. (1995). Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. Texas: Abbot Laboratories Irving. Hal: 285-315

Tierney, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. (2002) .Diagnosis dan Terapi Kedokteran (Penyakit Dalam). Jakarta. Penerbit Salemba Medika. Hal: 100-117

Tjai, T.H, Raharja, K. (2003). Obat-Obat Penting dan Khasiatnya. Edisi 5 cetakan kedua. Jakarta: PT. Gramedia. Hal: 74

Tjokronegoro, A., Utama, H. (2003). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta. Penerbit : Gaya Baru. Hal : 300-302

Whriskho R.E. (2004). Clinical Pharmacokinetics Therapeutic Drug Monitoring. A pdf file

Widmann, K.F. (1983). Clinical interpretation of Laboratory Test. Edisi 9. Pensylvania: Penerbit F.A. davis Company. Hal: 21-22, 528-539

Zaske, D., et.al.(1986). Aminoglycoside. Dalam: A Text Book For The Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. ed Taylor W.J. Texas: Abbott Laboratories. Hal: 285-315


(64)

…… . (2007). Therapeutic Drug Monitoring. Available from: http://en.wikipedia. org/wiki/therapeutic drug monitoring. Diakses tanggal 5 Januari 2008

……...(2008). Renal Function. Available from: www.renal function-wikipedia.com. Diakses tanggal : 3 Februari 2008

……...(2008). Creatinin. Available from: www. Creatinin-Wikipedia.com. Diakses tanggal 3 Februari 2008

……...(2008). Blood Urea Nitrogen (BUN). Available from: www.BUN-wikipedia.com. Diakses tanggal 3 Februari 2008


(1)

tetapi bukan populatif, namun demikian pengamatan respon klinis yang ditimbulkan mutlak harus dilakukan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ketiga penderita pneumonia yang dirawat inap di rumah sakit H. Adam Malik bagian Paru dan Saluran pernafasan dapat disimpulkan :

a penggunaan gentamisin dosis berganda 80 mg menghasilkan kadar serum dalam rentang terapi aman bagi penderita DI, RS, dan SS.

b penggunaan gentamisin dalam terapi pneumonia tidak menimbulkan efek samping obat (ESO) yang dapat diamati penderita DI, RS, dan SS.

c berdasarkan penentuan regimen dosis individu maka pasien DI memerlukan pengurangan dosis menjadi 60 mg, dosis pasien RS adalah 100 mg dan SS adalah 150 mg.

5.2 Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memantau parameter-parameter kesembuhan setelah pemberian gentamisin dosis baru sehingga aplikasi TDM (Therapeutic Drug Monitoring) akan jelas dan bermanfaat dalam proses penyembuhan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Andreoli , E.T.(1997). Cecil Essential of Medicine. edisi 4. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Hal : 732-735

Barclay, et.al (1999). Once Daily Aminoglycoside Therapy. Is It Less Toxic Than Multiple Daily Dose and How Should It Be Monitored? Clin Pharmacokinet, Feb; 36(2):89-98, diakses tanggal 20 Desember 2007. Bartlett, J.G. (2001). Pedoman Terapi Penyakit Infeksi. Jakarta: EGC Penerbit Buku

Kedokteran. Hal: 8-15

Begg, et.al (1994). What Is The Evidence For Once-Daily Aminoglycoside therapy? Clin Pharmacokinet, Jul; 27(1):32-48, diakses tanggal 21 Desember 2007. Chambers, H.F. (2004). Aminoglycoside dan Spectinomycin. Dalam: Farmakologi

Dasar dan Klinik. Edisi 8. ed Katzung. Jakarta: Salemba Medika. Hal : 60-67

Christen, C. (2006). Clinical Pharmacy and Medication Safety. The Annals of Pharmacotherapy. 40: 2020-1. available from: www.theannals.com pada 17 oktober 2006

Craig, A.W., Middleton, S.W. (1997). Pharmacokinetic/Pharmacodinamic Parameter. Journal Clinical Infection Diseases. 1998. 26: 1-12

Danusantoso, H. (2000). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Penerbit Hipokrates. Hal : 74-83.

Ganiswara, S.G. (1995).Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK UI. Edisi 4. Jakarta. Hal: 661-674

Gerald, K Mc. (2005). American Society of Health System. Pharmacist American Hospital Formulary Service, America. Hal : 60-69

Hermsen, D.E (2007). Pharmacokinetic Training Packet for Pharmacists Nebraska

Medical Center. Available from: www.pharmacists/hermsen@nebraskamed.com pada maret 2007


(4)

Hisyam, B. (2003). Pneumonia Nosokomial Aspek Terapi. Dalam Pertemuan Ilmiah Nasional I. Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian IlmuPenyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 21-33

Juwono, R., Prayitno A. (2003). Terapi Antibiotik. Dalam: Farmasi Klinis. ed Aslam. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal: 321-325

Katzung, G.B. (1998). Basic & Clinical Pharmacology. Edisi 9. Singapore: Mc.Graw Hill. Hal: 635-640, 686-693

Kiang G, dkk. (1990). Farmakologi Am. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia. Hal : 89-148

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Morike, K. et.al (1997). Use of Aminoglycoside in Elderly Patients. Pharmacokinetics and Clinical Considerations. Drugs Aging, Apr;10(4):259—77. Diakses tanggal 21 Desember 2007

Neal, M.J. (2005). At a Glance Farmakologi Medik. Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal: 84-85.

Niazi, S. (1979). Textbook of Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics. USA. Appleton-Century-Crofts. Hal: 266-268.

PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia). (2005). Pneumonia Komuniti. Jakarta. Hal : 1-7

Price, S.A., Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal : 804-805

Ritschel, A.W.(1976). Biopharmaceutics. Edisi 1. Cincinnati: University of Cincinnati College Pharmacy California. Hal 210-212

Rodman D., et.al (1994). Extended Dosage Intervals for Aminoglycosides. Am J Hosp Pharm, Aug 15;51(16):2016-21

Rusdidjas. (2000). Standar Pelayanan Medis Komite Medik. Edisi I RSUP H. Adam Malik Medan. Hal: 73-75


(5)

Sacher, R.A., McPherson, R.A. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Hal :54-63, 389, 600-603.

Sastroasmoro, S., Ismael S., (2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung Seto. Hal: 75-81.

Shargel L, YU, C,B,A. (1985). Biofarmasetika dan Farmakokinetika, edisi 2, New York. Diterjemahkan oleh Fasih, Syamsiah, S. Joenoes, ZN. Surabaya: Universitas Airlangga. Hal : 45-78, 293

Siswandono, Soekardjo, B. (2000). Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 149-151.

Stockley, I.H. (1994). Drug Interactions a Source Book of Adverse Interaction, Their Mechanisms, Clinical Importance and Management Adverse Interaction. Edisi 3 England. Hal: 131-135

Taylor J.W. (1995). Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. Texas: Abbot Laboratories Irving. Hal: 285-315

Tierney, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. (2002) .Diagnosis dan Terapi Kedokteran (Penyakit Dalam). Jakarta. Penerbit Salemba Medika. Hal: 100-117

Tjai, T.H, Raharja, K. (2003). Obat-Obat Penting dan Khasiatnya. Edisi 5 cetakan kedua. Jakarta: PT. Gramedia. Hal: 74

Tjokronegoro, A., Utama, H. (2003). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta. Penerbit : Gaya Baru. Hal : 300-302

Whriskho R.E. (2004). Clinical Pharmacokinetics Therapeutic Drug Monitoring. A pdf file

Widmann, K.F. (1983). Clinical interpretation of Laboratory Test. Edisi 9. Pensylvania: Penerbit F.A. davis Company. Hal: 21-22, 528-539

Zaske, D., et.al.(1986). Aminoglycoside. Dalam: A Text Book For The Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. ed Taylor W.J. Texas: Abbott Laboratories. Hal: 285-315


(6)

…… . (2007). Therapeutic Drug Monitoring. Available from: http://en.wikipedia. org/wiki/therapeutic drug monitoring. Diakses tanggal 5 Januari 2008

……...(2008). Renal Function. Available from: www.renal function-wikipedia.com. Diakses tanggal : 3 Februari 2008

……...(2008). Creatinin. Available from: www. Creatinin-Wikipedia.com. Diakses tanggal 3 Februari 2008

……...(2008). Blood Urea Nitrogen (BUN). Available from: www.BUN-wikipedia.com. Diakses tanggal 3 Februari 2008