Pemantauan Efektivitas Terapi Gentamisin Dosis Berganda Bolus Intravenus Terhadap Infeksi Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis

(1)

PEMANTAUAN EFEKTIVITAS TERAPI GENTAMISIN DOSIS

BERGANDA BOLUS INTRAVENUS TERHADAP INFEKSI PADA

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

TESIS

Oleh

POPPY ANJELISA Z. HASIBUAN

067014004/FM

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PEMANTAUAN EFEKTIVITAS TERAPI GENTAMISIN DOSIS

BERGANDA BOLUS INTRAVENUS TERHADAP INFEKSI PADA

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Farmasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

POPPY ANJELISA Z. HASIBUAN

067014004/FM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PEMANTAUAN EFEKTIVITAS TERAPI GENTAMISIN DOSIS BERGANDA BOLUS INTRAVENUS TERHADAP INFEKSI PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS Nama Mahasiswa : Poppy Anjelisa Z. Hasibuan

Nomor Pokok : 067014004 Program Studi : Ilmu Farmasi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) Ketua

(Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.) Anggota

(Prof. dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH., FISH.) Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc.)


(4)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian terhadap efektifitas terapi gentamisin dosis populasi 80 mg pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis di departemen Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan RSUP. H. Adam Malik Medan. Gentamisin diberikan secara intravenus bolus tiap 12 jam pada 3 orang penderita yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diamati kadarnya di dalam darah penderita. Pengamatan terhadap kadar gentamisin dalam darah dilakukan dengan menggunakan cuplikan serum yang diambil pada 30 menit setelah dosis ke-1 dalam keadaan tunak, dan dinyatakan sebagai konsentrasi maksimum (Cmax). Cuplikan kedua diambil pada 6 jam setelah injeksi dosis ke-1 untuk mengetahui manifestasi klinis, dan cuplikan ketiga diambil 5 menit sebelum injeksi dosis ke-2 yang dinyatakan sebagai konsentrasi minimum (Cmin). Sebelum dan selama terapi gentamisin, penderita menjalani pemeriksaan laboratorium meliputi darah lengkap, faal ginjal (BUN dan kreatinin serum) dan uji kultur resistensi mikroba.

Berdasarkan pemeriksaan kadar gentamisin dalam darah menggunakan alat Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 Roche diperoleh hasil bahwa

penderita MU memiliki Cmax = 4.51 mcg/ml; C6jam= 3.08 mcg/ml; Cmin = 1.34

mcg/ml, penderita SU memiliki Cmax = 4.13 mcg/ml; C6jam= 1.42 mcg/ml, Cmin =

0.52 mcg/ml, penderita MR memiliki Cmax = 5.22 mcg/ml; C6jam= 0.94 mcg/ml,

Cmin = 0.41 mcg/ml. Dilakukan perhitungan dosis individual menggunakan rumus Kaedah Keadaan Mantap dan diperoleh hasil bahwa dosis yang dibutuhkan MU adalah sebesar 140 mg, SU sebesar 150 mg, dan MR sebesar 120 mg untuk memperoleh Cmax yang memenuhi range terapi dan efektif terhadap penyembuhan infeksi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian gentamisin dosis 80 mg tiap 12 jam tanpa pertimbangan berat badan dan fungsi ginjal menghasilkan variabilitas yang besar terhadap pencapaian kadar terapi.


(5)

ABSTRACT

It has been carried out a study on the effect of therapeutic drug monitoring of gentamisin population dose 80 mg toward chronic obstructive pulmonary disease at Pulmonology and Respiratory department RSUP.H Adam Malik Medan,. The gentamycin is given bolus intravenously every 12 hours toward 3 sufferer who meet inclusion criteria then the concentration of gentamycin in the blood is done by using aliquot serum taken on 30 minutes after the first dose in steady state, and called as maximum concentration (Cmax). The second aliquot is taken on 6 hours after injection of the first dose to find out clinic manifestation, and the third aliquot is taken 5 minutes before injection of the second dose called as minimum consentration (Cmin). Before and during gentamycin therapeutic, the sufferer undergo laboratory examination covering complete blood, kidney faal (BUN and serum creatinin) and microba resistancy culture test.

Based on the examination of gentamycin concentration in the blood by using Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 Roche, it is found the result that MU, the first sufferer has Cmax = 4.51 mcg/ml; C6hours= 3.08 mcg/ml; Cmin= 1.34 mcg/ml, SU the second sufferer has Cmax= 4.13 mcg/ml; C6hours= 1.42 mcg/ml, Cmin= 0.52 mcg/ml, MR, the third sufferer had Cmax= 5.22 mcg/ml; C6hours= 0.94 mcg/ml, Cmin= 0.41 mcg/ml.

It is calculated on individual dose by steady state formulation had shown and the result that the dose need for MU is 140 mg, SU is 150 mg and MR is 120 mg to get Cmax meeting the therapeutic range and effective toward the infection recovery.

The result the of study shows that therapy of gentamycin 80 mg every 12 hours without considering of body weight and kidney function cause big variability toward the achievement of therapeutic consentration.

Key words: gentamycin, therapeutic drug monitoring, chronic obstructive pulmonary disease


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dihaturkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Magister Science pada Program Studi Farmasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penentuan dosis regimen terapi yang tepat serta pemantauan efek samping obat di rumah sakit. Banyak sekali bantuan dari berbagai pihak yang penulis dapatkan selama menjalani pendidikan, melaksanakan penelitian dan menyusun tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara: Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa B., MSc.

2. Ketua Program Studi Farmasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara:

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.

3. Komisi pembimbing: Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Prof. Dr. Urip

Harahap, Apt., dan Prof. dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH., FISH., yang telah memberikan bimbingan, arahan, perhatian serta dukungan semangat dari awal hingga selesainya tesis ini.

4. Komisi penguji: Dr. Karsono, Apt., dan Dr. Edy Suwarso, Apt. yang telah

memberikan saran yang bermanfaat bagi perbaikan tesis ini.

5. Kedua orangtua penulis: drs. Syafaruddin Hsb dan Nurhaida Wahab, yang telah

mendidik dan menanamkan nilai-nilai luhur, memberi semangat, kekuatan, doa dan kasih sayang.

6. Ibunda-ibunda tersayang: Hj. Yusriah Wahab dan Nismawati Wahab yang telah


(7)

ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kasih sayang, perhatian dan doanya, semoga ibunda panjang umur, murah rezeki dan sehat selalu.

7. Ayahanda: Ir. Ridwan H. Daud dan Parlaungan Lubis, SH., MSi., terima kasih

atas perhatian, pendidikan dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan ayahanda.

8. Kedua mertua penulis: (Alm) Noerman Effendi dan Maryati, yang telah mendidik

dan membesarkan suami penulis sehingga menjadi seorang suami yang bertanggungjawab, penuh perhatian dan kasih sayang.

9. Suami tercinta: Herry Bambang, S.Si, terima kasih atas cinta, perhatian,

kesabaran, pengertian dan pengorbanannya. You’re all I need.

10.Adik-adikku: Donny Yamin, SE., Petty Angelia, SS., T. Ismail Husny, SE dan

Aisyah, SPd., terima kasih atas bantuannya selama ini. Berkat semangat dari kalian penulis dapat melewati semua ini.

11.Para sahabatku: Aminah Dalimunthe, S.Si., Apt., Dian Irawati, ST., dr. Rina

Amelia, terima kasih telah menjadi teman yang baik di kala suka dan duka. Semoga persahabatan kita terus berlanjut selamanya.

12.Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu mendapatkan masukan demi kesempurnaannya. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran membangun sehingga akan bermanfaat di masa yang akan datang.

Medan, 17 Desember 2008 Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Poppy Anjelisa Z. Hasibuan

Tempat/Tgl Lahir : Medan, 10 Juni 1975

Agama : Islam

Riwayat Pendidikan :

1983 – 1989 : SD Muhammadiyah 01 Medan

1989 – 1991 : SMP Negeri 11 Medan

1991 – 1994 : SMA Negeri 1 Medan

1994 – 1999 : Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

1999 - 2000 : Program Pendidikan Profesi Apoteker, Jurusan

Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Riwayat Pekerjaan :

2000 – 2001 : Staf Pengajar Honorer pada Akademi Farmasi

Departemen Kesehatan RI

2000 – 2003 : Apoteker Pengelola Apotek ”Darussalam” Medan

2004 – 2005 : Apoteker Pengelola Apotek ”Rose Farma”

Panyabungan

2005 – saat ini : Staf Pengajar Tetap Departemen Farmaseutika Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ………. iii

RIWAYAT HIDUP ………. v

DAFTAR ISI ……… vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ………... ix

DAFTAR LAMPIRAN ……….... x

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Konseptual dan Operasional ... 5

1.3 Perumusan Masalah ... 6

1.4 Hipotesis Penelitian ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …... 9

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronis ……….. . 9

2.2 Infeksi ... 11

2.3 Penggunaan Antibiotik ... 13

2.4 Tinjauan Umum Antibiotika Golongan Aminoglikosida …………... 15

2.5 Gentamisin ……… ... 19

2.6 Pemantauan Efektifitas Terapetik ………... 23

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………... 31

3.1 Desain Penelitian ... ... 31

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.3 Subjek Penelitian ... 32

3.4 Alat ... ... 33

3.5 Bahan ... 33

3.6 Protokol Penelitian ………. 34


(10)

3.8 Analisis Data ……….. 37

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .………. 41

4.1 Data karakteristik fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium

penderita ……… 4.2 Diagnosis ……… 4.3 Pengamatan efek samping obat ………. 4.4 Analisis dosis injeksi gentamisin intravenus bolus dan kadar

gentamisin dalam darah ……… 4.5 Rekomendasi dosis individual ………

39 44 46 47 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .……….. 53


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Data Karakteristik Pasien ………... 39

4.2 Data Pemeriksaan Kreatinin dan Ureum ………. 42

4.3 Data Perhitungan Kreatinin Klirens dan BUN ……… 42

4.4 Data Diagnosis dan Obat Lain yang Diberikan Terhadap

Penderita ……….. 45

4.5 Data Pengamatan Efek Samping Terhadap Pasien ………. 46

4.6 Data Pemeriksaan Kadar Gentamisin dalam Darah Setelah

Injeksi Gentamisin Bolus Intravenus 80 mg per 12 jam …. 48

4.7 Data hasil perhitungan penentuan regimen dosis individual


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke

paradigma baru (drug and patient oriented) dengan filosofi pharmaceutical care

(pelayanan kefarmasian). Adapun fungsi pelayanan farmasi di rumah sakit dalam hal penggunaan obat adalah melakukan penentuan kadar obat dalam darah, pemantauan terapi obat, dan pengkajian obat (Kepmenkes, 2004).

Keberhasilan suatu pengobatan sangat tergantung dari pemilihan obat dan perancangan aturan dosis pemberian. Sesuai dengan konsep farmasi klinis yang menekankan keamanan dan ketepatan penggunaan obat oleh pasien, maka pemilihan obat dan produk obat harus didasarkan atas karakteristik pasien dan farmakokinetika obat. Farmasi klinis merupakan unsur pelayanan kefarmasian berorientasi pasien yang secara umum memberikan informasi mengenai dosis obat yang tepat, frekuensi pemberian obat yang didasarkan pada farmakokinetika obat, efek samping, interaksi, dan cara pemberian obat (Hadisahputra dan Harahap, 1999).


(13)

Selama ini penggunaan obat dilakukan secara empiris berdasarkan pada hubungan dosis dan respons. Peningkatan dan penurunan dosis dilakukan dengan menginterpretasikan respons klinik yang timbul (Robinson dan Taylor, 1986). Akan tetapi adanya variasi farmakokinetika dan farmakodinamika mengakibatkan perancangan dosis pada setiap individu menjadi sulit. Oleh karena itu, penerapan farmakokinetika untuk perancangan dosis harus diikuti dengan evaluasi klinik dan pemantauan pada pasien. Untuk menilai respons penderita terhadap aturan dosis yang diberikan, beberapa rumah sakit menerapkan pelayanan Therapeutic Drug Monitoring (TDM). Pemantauan efektifitas terapetik atau therapeutic drug monitoring adalah suatu pengukuran kadar obat di dalam darah (http:www.en wikipedia.org/wiki/therapeutic drug monitoring, 2007). Pemantauan efektifitas terapetik dibutuhkan untuk menentukan dosis yang paling efektif atau untuk menghindari efek toksik pada obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit seperti halnya antibiotika golongan aminoglikosida (Zaske, dkk, 1986).

Penyakit infeksi dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas terutama pada individu dengan sistem imun yang buruk, kurang gizi, pada bayi, dan lanjut usia. Penyebab infeksi dapat berasal dari luar (eksogen) maupun dari dalam tubuh (endogen). Infeksi terjadi apabila tubuh, agen penginfeksi, dan faktor lingkungan seperti vektor (berupa serangga, tikus, ataupun pembawa lainnya) berinteraksi yang pada akhirnya menyebabkan agen penginfeksi masuk ke dalam tubuh (Bloch, 1997).


(14)

Penatalaksanaan infeksi saluran nafas akan berhasil dengan baik apabila diagnosis penyakit ditegakkan lebih dini dan perlu diberi antibiotika yang sesuai untuk kuman penginfeksi (Yunus, 2007). Salah satu penyakit paru yang mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi baik di negara industri maupun yang sedang berkembang adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penyakit ini dihubungkan dengan beberapa faktor risiko yang cukup banyak dan makin meningkat di Indonesia seperti asap rokok, polusi udara yang ada di kota-kota besar, daerah industri, pertambangan, kebakaran hutan dan sebagainya. Oleh sebab itu diperkirakan jumlah kasus PPOK pun akan meningkat tajam di masa yang akan datang (Babar, 2003).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit progresif yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang masuk sehingga tidak memenuhi, terjadi secara reversibel dan bergabung bersama respon inflamasi yang tidak normal pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas (Bourdet dan Williams, 2004). Pengobatan PPOK sangat tergantung pada beratnya penyakit. Obat-obat yang diberikan bertujuan memperkecil/menghilangkan keluhan dan gejala serta mencegah komplikasi. Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan eksaserbasi akut yang ditandai

dengan adanya sputum dan wheezing disebabkan oleh infeksi pada

trakhea-bronkiolus dan polusi udara, oleh karena itu perlu penggunaan antibiotika (Babar, 2003).


(15)

Antibiotika merupakan kelompok obat yang terbanyak digunakan khususnya dalam pengobatan di rumah sakit (Juwono dan Prayitno, 2003). Penggunaan antibiotika secara luas tanpa regimen dosis yang benar akan menimbulkan resistensi kuman, menyebabkan meningkatnya toksisitas dan efek samping obat, efektivitas obat menjadi rendah, dan biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi, sehingga merugikan penderita (Katzung, 1998).

Telah lama diketahui bahwa pemberian antibiotika dapat digunakan untuk tujuan terapetik maupun profilaksis. Salah satu antibiotika yang bersifat bakterisida dan banyak digunakan adalah golongan aminoglikosida. Gentamisin merupakan antibiotika golongan aminoglikosida yang berpotensi tinggi dan berspektrum luas karena sifat bakterisidanya yaitu mampu membunuh bakteri gram positif dan gram negatif (Gerald, 2005; Tjay, 2003).

Gentamisin dapat diberikan berupa bolus intravena yaitu pemberian secara injeksi yang langsung dengan kadar tinggi dalam waktu singkat (Lukas, 2006). Gentamisin dapat menimbulkan toksisitas oleh karena itu penyesuaian dosis harus didasarkan pada hasil pemantauan konsentrasinya di dalam darah (Cronberg, 1990). Penyesuaian dosis dilakukan untuk menghindari akumulasi obat dan toksisitas pada pasien dengan insufisiensi fungsi ginjal. Adapun cara yang dilakukan adalah dengan menaikkan interval antar dosis, tetapi dosisnya konstan ataupun mengurangi dosis, tetapi intervalnya konstan (Katzung, 2004).


(16)

Telah diketahui bahwa gentamisin sama halnya seperti aminoglikosida lain yaitu mempunyai rentang terapi yang sempit, bersifat nefrotoksik, ototoksik dan secara farmakokinetik mempunyai variabilitas interindividual, oleh karena itu kadarnya perlu dipantau dalam darah terutama pada penderita yang disertai gangguan fungsi ginjal agar efikasi dan keamanannya dapat dicapai (Taylor, 1995; Craig, 1997). Pemantauan kadar gentamisin dalam darah juga penting karena profil dosis–kadar obat dalam darah sukar diprediksi, terutama kadar puncak dan waktu paruh eliminasi (Peak – serum levels dan elimination half – life) (Gerald, 2005). Penelitian Pane (2007) menunjukkan bahwa terdapat variabilitas yang cukup besar terhadap pencapaian kadar terapi pada penggunaannya sebagai profilaksis pada pasien pasca bedah ortopedi. Berdasarkan atas kepentingan pemantauan obat seperti yang tertera pada Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2004 dan Global Alliance for Patient Safety dari WHO tahun 2004, maka perlu dilakukan penelitian pemantauan kadar gentamisin terhadap infeksi paru untuk mendapatkan profil antibiotika sehingga dapat dijadikan pedoman untuk mengoptimalkan penggunaannya di rumah sakit.

1.2 Kerangka Konseptual dan Operasional

Pemberian gentamisin dosis lazim 80 mg bolus intravenus dosis ganda untuk maksud terapi terhadap infeksi pada PPOK akan menghasilkan kadar puncak dan


(17)

kadar lembah. Efek terapi akan diperoleh bila kadar tersebut berada di antara kadar aman maksimum dan kadar efektif minimum (Ritschel, 1992; Shargel, 1985).

Dosis empirik 80 mg bagi setiap penderita dengan berat badan bervariasi, akan menghasilkan dosis mg/kg BB/hari yang juga bervariasi. Keadaan ginjal penderita merupakan faktor individual yang sangat menentukan dalam pencapaian kadar gentamisin dalam darah (Zairina, 1999). Oleh karena itu untuk pemantauan kadar gentamisin dalam darah diperlukan cara sebagai berikut :

a. dikumpulkan cuplikan antara kadar puncak dan kadar lembah.

b. efek samping spesifik yang terjadi berupa gangguan pendengaran, vertigo dan

lainnya dipantau selama penderita dirawat di rumah sakit dan jika ada keluhan gangguan pendengaran, maka penderita dikonsultasikan ke bagian telinga hidung tenggorokan (Hermsen, 2007; TDx assay, 1995; Zairina, 1999).

Secara skematis kerangka konsep penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gentamisin bolus intravenus dosis berganda 80 mg tiap 12 jam

Kadar efektif gentamisin sebagai terapi infeksi paru Kadar gentamisin dalam serum pada interval yang aman

Efek samping Vertigo

Telinga berdengung Kadar BUN, dan kreatinin serum Cmax

Cmin

Gentamisin sebagai terapi


(18)

Gambar 1.1. Kerangka Konsep Penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut:

a. apakah pemberian gentamisin dosis berganda bolus intravenus dosis 80 mg tiap 12 jam, tanpa mempertimbangkan berat badan dan fungsi ginjal akan menghasilkan variabilitas yang besar terhadap pencapaian kadar terapetik terhadap infeksi pada PPOK ?

b. apakah penggunaan gentamisin dosis berganda bolus intravenus 80 mg akan menghasilkan kadar serum yang memenuhi rentang terapi aman dan bervariasi?sis

c. apakah terdapat efek samping pada penggunaan gentamisin dosis 80 mg sebagai terapi terhadap infeksi pada PPOK?

1.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:


(19)

a. pemberian gentamisin dosis berganda bolus intravenus 80 mg terhadap infeksi pada penyakit paru obstruktif kronis tanpa mempertimbangkan berat badan dan fungsi ginjal akan menghasilkan variabilitas yang besar terhadap pencapaian kadar terapetik obat.

b. penggunaan gentamisin dosis berganda bolus intravenus 80 mg menghasilkan

kadar serum yang memenuhi rentang terapi aman meskipun terdapat variabilitas individual terkait kadar gentamisin dalam serum dan respons klinis yang ditimbulkan.

c. efek samping dapat terjadi pada penggunaan gentamisin dosis berganda bolus

intravenus 80 mg tersebut.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecukupan kadar gentamisin dalam serum dosis 80 mg pada pemberian dosis berganda bolus intravenus sebagai terapetik terhadap infeksi pada penyakit paru obstruktif kronis.

1.5.2 Tujuan Khusus


(20)

a. menentukan besarnya kadar puncak (Cmax) dan kadar lembah (Cmin) gentamisin dalam serum pada pemberian dosis berganda.

b. menentukan dosis individu berdasarkan besarnya kadar puncak (Cmax) dan

kadar lembah (Cmin) gentamisin dalam serum pada pemberian dosis berganda.

c. mengamati efek samping obat pada penggunaan gentamisin dosis berganda

sebagai terapetik.

1.6 Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan yang bermanfaat untuk penentuan dosis regimen terapi yang tepat serta pemantauan efek samping obat pada penderita yang mendapat pengobatan gentamisin dan sekaligus membudayakan pemantauan efek terapi obat dalam serum (Therapeutic Drug Monitoring) dalam rangka pengobatan yang rasional bagi penderita.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Obstruksi saluran napas paru dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang terdapat pada lumen, dinding atau di luar saluran napas. Kelainan pada lumen dapat disebabkan oleh sekret atau benda asing. Pada dinding saluran napas, kelainan terjadi akibat peradangan, tumor, hipertrofi, dan hiperplasia akibat iritasi kronik. Sedangkan kelainan di luar saluran napas dapat terjadi karena penekanan oleh tumor paru, dan pembesaran kelenjar. Obstruksi paru ini dikenal dengan penyakit paru obstruktif kronik (Yunus, 2003).

Menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease),

penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini umunya bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel asing atau gas beracun/ berbahaya (Bourdet dan Williams, 2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) berhubungan dengan bronkhitis kronis dan emfisema. Bronkhitis kronis ditandai oleh adanya sekresi mukus bronkhus yang berlebihan dan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih, dan berlangsung selama 2 tahun berturut-turut serta tidak disebabkan penyakit lain yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. Emfisema menunjukkan adanya abnormalitas,


(22)

terjadinya pembesaran permanen pada saluran udara bagian bawah sampai bronkiolus terminal dengan kerusakan pada dinding dan tanpa fibrosis yang nyata (Tierney, et al., 2002). Penyebab utama PPOK adalah merokok (asap rokok) karena hampir seluruh perokok mengalami penurunan fungsi paru meskipun hal ini tergantung pada dosis dan lama merokok. Komponen aktif dari tembakau akan mengaktivasi sel inflamatori yang akan menghasilkan serta melepaskan mediator inflamasi yang akan memicu obstruksi paru. Selain itu adanya predisposisi genetis, yaitu kurangnya α-1 antitripsin (AAT) suatu protein yang diproduksi oleh liver dan berperan sebagai pelindung paru-paru terhadap kerusakan sel yang ditimbulkan oleh elastase. Enzim elastase yang dilepaskan oleh neutrofil ini akan menyerang elastin (komponen terbesar dinding alveoli) sehingga saluran nafas kehilangan elastisitasnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya emfisema yang berkaitan dengan PPOK. Tekanan lingkungan ( meliputi abu limbah industri dan bahan kimia), infeksi saluran nafas, dan polusi udara juga dapat menjadi pencetus PPOK (Tierney, dkk, 2002; Bourdet dan Williams, 2003, Rab, 1996; Stark, dkk, 1990).

Berdasarkan atas bentuk klinis, PPOK terbagi atas 3 yaitu PPOK stabil, PPOK yang mengalami eksaserbasi dan, PPOK yang memerlukan ventilator. Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan eksaserbasi ditandai oleh batuk yang keras, panjang dan berulang, dispnea, sputum yang mengental, bronkospasme dan obstruksi mukus, serta adanya infeksi (Rab, 1996).


(23)

Kriteria klinis yang digunakan untuk PPOK eksaserbasi dibagi tiga grup: 1. Tipe I (eksaserbasi berat) yang ditandai dengan sesak yang bertambah, volume

sputum meningkat dan menjadi kental.

2. Tipe II (eksaserbasi sedang), didapati 2 gejala di atas.

3. Tipe III (eksaserbasi ringan) didapati satu gejala di atas ditambah infeksi saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi, atau peningkatan frekwensi pernafasan atau pun nadi.

Pemeriksaan laboratorium terhadap sputum, menunjukkan kuman terbanyak yang sering dijumpai pada eksaserbasi akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan Moxarella catarrhalis. Pemberian antibiotik hendaknya yang memiliki spektrum luas dan bisa menghadapi kuman-kuman tersebut. Lama pemberian antibiotik tergantung ringan-beratnya infeksi akan tetapi umumnya 7-14 hari (Babar, 2003).

2.2 Infeksi

Infeksi merupakan penyulit yang sering terjadi pada luka maupun tempat yang tidak luka. Infeksi dapat terjadi karena kuman dari permukaan tubuh masuk ke dalam luka (infeksi eksogen) atau dari rongga tubuh ke dalam luka (infeksi endogen). Sumber infeksi eksogen dapat berasal dari orang lain, instrumen, permukaan ruang rawat, lama tinggal di rumah sakit maupun kontaminasi melalui udara. Sumber infeksi endogen dapat berasal dari bakteria yang terdapat di saluran pernapasan, sistim gastrointestinal, dan saluran genitourinaria (Rapp, 2006).


(24)

Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan yang cukup banyak di Indonesia (Yunus, 1995). Menurut Bloch (1997), ada 2 jenis infeksi yaitu infeksi oportunistik dan infeksi nosokomial. Infeksi oportunistik terjadi disebabkan oleh flora normal atau komensal dalam usus yang bersifat non-patogen berubah menjadi patogen oleh karena adanya penurunan sistem imun. Contoh pada penderita AIDS yang mengalami penurunan sistem imun, agen penginfeksi akan mudah menyerang dan mengganggu simbiosis antara flora normal dengan tubuh yang menyebabkan flora normal akan berubah menjadi patogen. Peristiwa ini disebut kolonisasi. Bila perubahan flora normal ini terjadi di rumah sakit maka disebut infeksi nosokomial. Organisme penyebab infeksi nosokomial merupakan patogen yang sering menyebabkan resistensi terhadap kebanyakan antibiotika.

Salah satu penyakit yang banyak diderita masyarakat terutama adalah infeksi saluran pernafasan akut yang meliputi infeksi akut saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah (Rasmaliah, 2004). Berbagai penyebab terjadinya infeksi paru adalah melalui beberapa mekanisme yaitu kolonisasi, aspirasi sekret orofaring, inokulasi langsung, inhalasi, penyebaran langsung, dan secara hematogen.

Terjadinya infeksi melalui mekanisme kolonisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya penyakit paru obstruktif kronik, influenza dan penggunaan alkohol. Aspirasi kuman patogen di orofaring merupakan penyebab utama terjadinya pneumonia, yang lebih mudah terjadi bila ada gangguan esofagus, intubasi


(25)

endotrakeal, menurun atau hilangnya refleks batuk, pemakaian pipa nasogaster, trakeostomi, dan saat tidur (Harris, 1982).

Pada infeksi paru nosokomial, infeksi terjadi akibat inokulasi langsung kuman yang masuk melalui alat-alat bantu respirasi terutama yang bersifat aerosol seperti nebulator ultrasonik. Sedangkan infeksi paru oleh mekanisme inhalasi disebabkan oleh Micobacterium tuberculosis, influenza, dan pneumonia nosokomial. Infeksi yang terjadi melalui mekanisme penyebaran langsung adalah infeksi subdiafragma akibat abses paru, kolesistitis dan pankreatitis. Udara yang dihirup terdiri atas campuran gas dan partikel, terdapat pula kuman atau virus yang mungkin berasal dari percikan sekret penderita infeksi saluran napas yang keluar saat batuk atau bersin (Yunus, 1995).

2.3 Penggunaan Antibiotika

Antibiotika telah memberi kemajuan penting dalam pengobatan terutama untuk infeksi serius. Kebanyakan antibiotika mempunyai efek samping misalnya alergi sehingga dalam penggunaannya perlu dilakukan pemantauan (Jawetz, 1989). Adapun prinsip penggunaan antibiotika secara rasional meliputi 4 T (Tepat) dan 1 W (Waspada) yaitu tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis regimen, tepat penderita, dan waspada efek samping obat (Soemartono, 1992; Rusdidjas, 2000).


(26)

a. Tepat indikasi

Infeksi paru terutama disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, dan Streptococcus pneumoniae (Berner, 1984). Kuman-kuman tersebut dapat diatasi dengan antibiotika golongan aminoglikosida (Bartlett, 2001).

b. Tepat obat

Pemilihan antibiotika sebaiknya didasarkan atas data kepekaan yaitu bahwa antibiotika yang digunakan harus efektif untuk jenis kuman yang diperkirakan telah menginfeksi paru.

c. Tepat dosis

Besarnya dosis untuk terapi antibiotika umumnya dihitung berdasarkan berat badan. Penyesuaian dosis harus dilakukan berdasarkan umur pasien, berat badan, dan status klinis yang meliputi fungsi ginjal, hati, dan jantung (Whriskho, 2004). Rute pemberian adalah secara parenteral namum pada keadaan tertentu dapat diberikan per oral.

d. Tepat penderita

Tingkat keparahan infeksi pada pasien akan mempengaruhi dosis, rute, frekwensi, dan lama pemberian antibiotik (Juwono, 2003). Beberapa faktor penderita yang perlu mendapat perhatian di antaranya usia lanjut, obesitas, diabetes mellitus, malnutrisi, terapi kortikosteroid, inflamasi kronis, dan fungsi faal ginjal.


(27)

e. Waspada efek samping obat

Semua obat tidak terkecuali antibiotika, berpotensi menimbulkan efek samping, oleh karena itu perlu diwaspadai. Pemberian antibiotika dapat menimbulkan toksisitas yang perlu diperhatikan misalnya nefrotoksisitas dan ototoksisitas pada penggunaan aminoglikosida (AHFS., 2005).

2.4 Tinjauan Umum Antibiotika Golongan Aminoglikosida

2.4.1 Sifat Fisika dan Kimia

Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari 2 gugus amino atau lebih yang terikat melalui ikatan glikosidik pada inti heksosa (Gan, 1995) (Gambar 2.1). Bersifat larut air, stabil dalam larutan, dan lebih aktif pada pH alkali dibandingkan pH asam. Aminoglikosida memperlihatkan efek sinergis dengan beta laktam secara in vitro (Katzung, 2004).

Sumber: Ganiswara (1995) Gambar 2.1. Rumus Bangun Gentamisin


(28)

2.4.2. Farmakologi Aminoglikosida

Aminoglikosida adalah antibiotika yang banyak digunakan untuk infeksi gram negatif. Adapun yang termasuk golongan aminoglikosida adalah streptomisin, tobramisin, netilmisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paramomisin. Golongan aminoglikosida mempunyai sifat kimia, fisika, farmakologi dan toksisitas yang sama, bersifat bakterisida dan secara cepat menyebabkan efek yang mematikan bakteria. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas sering terjadi dan merupakan efek samping yang merugikan. Aminoglikosida juga bertindak memblok neuro-otot sehingga terjadi paralisis otot dan depresi pernapasan (AHFS., 2005). Akan tetapi Barclay,

dkk, (1999), menyatakan bahwa penggunaan aminoglikosida satu kali sehari pada

pasien yang disertai kegagalan fungsi ginjal akan mengurangi kemungkinan toksisitas.

Aminoglikosida merupakan antibiotika yang membunuh bakteri tergantung kosentrasi (oncentration dependent-killing), mempunyai efek post antibiotic yang panjang dan dapat menginduksi terjadinya resistensi yang bersifat adaptif pada bakteri gram negatif (Begg, 1994). Semakin tinggi konsentrasi aminoglikosida dalam serum maka semakin panjang efek pasca antibiotiknya untuk mencapai aktifitas bakterisida (Rodman, 1994).

Mekanisme kerja aminoglikosida adalah dengan mengikat protein ribosom sub unit 30 S pada bakteria. Penghambatan sintesis protein dilakukan dengan 3 cara yaitu (a) mengganggu kompleks awal pembentukan peptida, (b) menginduksi salah


(29)

baca mRNA yang mengakibatkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida sehingga menyebabkan terbentuknya protein toksik, (c) menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi monosom nonfungsional yang mengakibatkan kematian sel (Chambers, 2004).

2.4.3 Farmakokinetika Aminoglikosida

Sifat farmakokinetika aminoglikosida dipengaruhi oleh besarnya perubahan fisiologis yang terjadi selama infeksi. Perubahan farmakokinetika ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap respons farmakologi pada penderita, yaitu resiko terjadinya kegagalan pengobatan atau toksisitas yang lebih besar (Hermsen, 2007). 2.4.3.1 Absorbsi

Absorbsi aminoglikosida melalui saluran pencernaan adalah buruk, oleh karena itu diberikan secara parenteral yaitu secara i.m atau i.v baik berupa bolus injeksi, infuse intermittent selama 30 – 60 menit atau dengan infuse i.v continuous (AHFS., 2005). Setelah suntikan intramuskuler, aminoglikosida diabsorbsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak dalam darah antara 30-90 menit (Katzung, 2004).

2.4.3.2 Distribusi

Aminoglikosida terdistribusi dengan baik ke dalam hampir semua cairan tubuh termasuk cairan sinovial, peritoneal, dan pleural, tetapi terdistribusi lambat ke dalam empedu, feses dan prostat; distribusinya jelek ke dalam susunan saraf pusat


(30)

(SSP) dan air mata. Ikatan dengan serum protein kurang dari 10% dan dianggap tidak penting secara klinik (AHFS., 2005; Zairina, 1999).

2.4.3.3 Ekskresi

Aminoglikosida diekskresi terutama dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal atau filtrasi glomerolus (AHFS., 2005; Hermsen, 2007). Fungsi ginjal merupakan parameter yang harus dipertimbangkan dalam menghitung regimen dosis (Morike, dkk, 1997).

Eliminasi melalui ginjal sebesar 85% - 95% dari dosis yang diberikan dan hanya sedikit yang ditemukan di dalam empedu. Waktu paruh pada fungsi ginjal normal 2–3 jam. Waktu paruh akan diperpanjang 24-48 jam pada pasien dengan kerusakan fungsi ginjal. Waktu paruh gentamisin bervariasi khususnya pada penderita sepsis meskipun tes fungsi ginjalnya normal (Zairina, 1999). Terdapat variasi kadar serum aminoglikosida individual yang patut dipertimbangkan di antara pasien-pasien dengan klirens kreatinin yang hampir sama. Oleh sebab itu, adalah penting mengukur kadar serumnya untuk menghindari toksisitas berat, khususnya bila dosis tinggi diberikan selama beberapa hari atau jika fungsi ginjal berubah cepat. Untuk regimen dengan pemberian 2 sampai 3 kali sehari, konsentrasi serum puncak harus ditentukan dari sampel darah yang diambil sekitar 30-60 menit setelah pemberian satu dosis dengan konsentrasi lembah dari sampel yang diambil sebelum pemberian dosis berikutnya (Katzung, 2004).


(31)

2.4.4 Efek yang Tidak Diinginkan

Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Hal ini cenderung ditemukan saat terapi dilakukan lebih dari 5 hari, dosis yang lebih tinggi pada lansia, dan pada kondisi insufisiensi ginjal (Gan, 1997). Penggunaan bersama dengan diuretik loop (furosemida dan asam etakrinat) atau agen nefrotoksik lain seperti vankomisin dapat meningkatkan nefrotoksik (Katzung, 2004).

2.4.5 Penggunaan Klinis

Aminoglikosida diindikasikan untuk beberapa infeksi yang disebabkan bakteri gram negatif. Bila dikombinasi dengan antibiotik lain, aminoglikosida merupakan agen pilihan untuk sepsis gram negatif. Umumnya aminoglikosida digunakan untuk mengatasi pneumonia yang disebabkan bakteria gram negatif, infeksi saluran urin, skeletal, dan infeksi jaringan lunak (Zaske, dkk, 1986).

2.5 Gentamisin

Gentamisin adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Micromonosphora purpurea. Obat ini aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5 ml; 80 mg/2ml; 120 mg/3ml; dan 280 mg/2ml (Gan, 1995).

2.5.1 Aktifitas Antimikroba

Bila gentamisin dikombinasi dengan antibiotika beta laktam akan menghasilkan efek sinergis terhadap pseudomonas, proteus, enterobacter, klebsiella,


(32)

serratia, stenotrophomonas, dan strain-strain gram negatif lain yang kemungkinan resisten dengan antibiotik lainnya. Gentamisin tidak memiliki aktifitas terhadap organisme anaerob (Katzung, 2004).

2.5.2 Penggunaan Klinis

Saat ini gentamisin terutama diterapkan pada infeksi berat (misalnya sepsis dan pneumonia) yang disebabkan bakteria gram negatif yang cenderung kebal terhadap obat lain, khususnya pseudomonas, enterobacter, serratia, proteus, acinetobacter, dan klebsiella (Bartlett, 2001). Gentamisin maupun aminoglikosida lainnya tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk terapi pneumonia sebab penetrasinya buruk ke dalam jaringan paru yang terinfeksi dan kondisi setempat seperti tekanan oksigen dan pH yang rendah turut memperburuk aktifitas obat ini (Katzung, 2004).

Konsentrasi serum gentamisin dan fungsi ginjal harus dipantau apabila gentamisin diberikan beberapa hari atau jika fungsi ginjal berubah (misalnya dalam sepsis, yang sering menyebabkan terjadinya komplikasi dengan gagal ginjal akut). Untuk pasien yang menerima pemberian dosis setiap 8 jam, konsentrasi puncak yang ditargetkan adalah 5-10 mcg/ml dan konsentrasi lembah harus di bawah 1-2 mcg/ml. Konsentrasi lembah di atas 2 mcg/ml mengindikasikan akumulasi obat yang dapat menyebabkan toksisitas sehingga dengan demikian dosis harus dikurangi atau interval diperpanjang untuk mencapai efek terapi (Whriskho, 2004).


(33)

2.5.3 Reaksi yang Tidak Diinginkan

a. Reaksi hipersensitifitas

Reaksi hipersensitifitas, alergi berupa rash dan demam dapat terjadi namun jarang pada penderita yang tidak pernah menggunakan gentamisin sebelumnya. Sensitivitas silang (cross resistence) di antara aminoglikosida juga dapat terjadi. Syok anafilaktik pernah terjadi namun sangat jarang (AHFS, 2005; Stockley, 1994). Beberapa reaksi hipersensitivitas terjadi karena adanya sulfat dalam formula sediaan parenteral (Zairina, 1999).

Neurotoksisitas dapat terjadi, seperti neuropati periperal dan gejala sentral seperti ensefalopati, konfusi, alergi, halusinasi, konvulsi dan depresi mental. Juga dilaporkan terjadi iritasi meningeal, arachoiditis, polyradiculitis, dan ventriculitis setelah aminoglikosida diberikan secara intratekal atau intraventrikuler (AHFS., 2005).

b. Nefrotoksisitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi nefrotoksisitas adalah umur, renal insufficiency, kadar lembah yang tinggi (elevated trough concentration), kadar puncak yang tinggi, total dosis per hari, dosis kumulatif, adanya obat-obat nefrotoksik yang diberikan bersamaan (seperti amfoterisin B, siklosporin, dan cisplatin), adanya paparan aminoglikosida sebelumnya, hipovolemia, jenis kelamin, lama pengobatan dan sepsis (AHFS., 2005; Hermsen, 2007). Nefrotoksisitas menimbulkan kerusakan pada ginjal biasanya ringan, meskipun nekrosis tubular akut dan interstitial nephritis


(34)

pernah terjadi. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR = glomerular filtration rate) biasanya terlihat hanya setelah beberapa hari, dan bisa terjadi meski telah dihentikan. Gangguan elektrolit seperti hipomagnesia, hipokalsemia, dan hipokalemia pernah terjadi. Selain itu, nefrotoksisitas aminoglikosida bisa dilihat dari hasil peningkatan serum kreatinin yang lebih besar atau sama dengan 0,5 mg/dl (jika nilai serum kreatinin awal adalah normal). Artinya, parameter ini hanya berlaku bila fungsi ginjal pasien normal. Oleh karena nefrotoksisitas yang terjadi bisa diamati dari perubahan harga serum kreatinin, maka pemeriksaan serum kreatinin sebaiknya dilakukan setiap 2-3 hari pada penderita yang mendapat pengobatan aminoglikosida.

Perubahan yang terjadi ini biasanya reversible bila pemberian aminoglikosida

dihentikan (AHFS., 2005). c. Ototoksisitas

Efek yang tidak diinginkan yang terjadi pada penggunaan gentamisin adalah pengaruhnya terhadap vestibular auditori cabang dari nervus ke delapan. Ototoksisitasnya mempengaruhi kokhlea, manifestasinya adalah hilangnya pendengaran dan tinnitus yang mungkin permanen, kadang-kadang berupa rasa sakit pada telinga. Hilangnya pendengaran yang terdeteksi secara klinis hanya terjadi pada < 0,5% penderita yang mendapat aminoglikosida, namun pada studi audiometrik ditemukan penderita yang mengalami hilang pendengaran sebanyak 2-12%. Pemantauan audiometrik direkomendasikan pada penderita yang menerima aminoglikosida lebih dari 7-10 hari. Pada sistim vestibular, manifestasinya berupa


(35)

dizziness atau vertigo, ataxia atau nystagmus. Kerusakan vestibular lebih sering terjadi daripada hilangnya pendengaran (AHFS., 2005).

2.5.4. Kontraindikasi

Penggunaan jangka pendek yaitu 5-7 hari dapat diberikan pada ibu hamil atau menyusui jika tidak ada obat lain yang bisa digunakan, tetapi penggunaan jangka panjang sebaiknya dihindari oleh karena dapat terjadi kerusakan nervus ke delapan pada janin (AHFS., 2005).

2.5.5 Interaksi Obat

a. In vitro

Penisilin antipseudomonas yaitu karbenisilin, tikarsilin, mezlosilin, azlosilin, dan piperazilin yang umum diberikan dalam dosis besar, ternyata menginaktivasi aminoglikosida. Oleh karena itu harus dihindari mencampur aminoglikosida dan penisilin dalam larutan infus dan sebaiknya diberikan melalui i.v kateter yang terpisah (AHFS., 2005).

b. In vivo

Diuretika seperti asam etakrinat dan furosemida, amfoterisin B, klindamisin, vankomisin, dan sisplatin meningkatkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas gentamisin.

2.6 Pemantauan Efektifitas Terapetik

Telah diketahui bahwa penggunaan antibiotik untuk penanganan infeksi akan lebih efektif bila dosis ditentukan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum.


(36)

Kemampuan aminoglikosida (kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dan netilmisin) untuk mengobati infeksi berhubungan dengan level puncak optimum konsentrasi obat dalam serum. Contoh, lebih dari 90% pasien pneumonia sembuh

dengan pemberian gentamisin pada konsentrasi serum puncak > 8 μg/ml tetapi

kurang dari 40% pasien dapat memberi respons bila konsentrasi obat dalam serum

berada di bawah 8 μg/ml (Robinson dan Taylor, 1986). Ini menggambarkan bahwa

tidak ada korelasi baik antara dosis dan efektifitas obat ini tetapi ada korelasi antara kadar dalam darah dengan efektifitas. Jadi, bila hasil pengobatan dengan dosis standar tidak efektif, perlu dilakukan pemantauan kadar dalam darah (Gan, 2005).

2.6.1 Farmakokinetika Kadar Obat I.V Dosis Tunggal

Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravenus cepat (bolus intravenus), seluruh dosis obat masuk tubuh dengan segera, kinetika obat diasumsikan berdasarkan kompartemen satu terbuka. Oleh karena itu laju absorbsi obat diabaikan dalam perhitungan. Dalam banyak hal, obat tersebut didistribusikan ke semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara cepat berkesetimbangan di dalam tubuh (Shargel, 1993). Model kompartemen satu terbuka secara skematik ditunjukkan pada gambar 2.2 (Kiang, 1990):

km

ku

Cb

Vd D

Sumber: Kiang (1990)


(37)

Keterangan:

D = dosis intra vena bolus Vd= volume distribusi

Cb= konsentrasi obat di dalam darah ku= konstanta laju ekskresi melalui urin km= konstanta laju metabolisme

Kel= ku + km

Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat di dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Selain itu, konsentrasi obat dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh seperti darah (Shargel, 1993).

Fase distribusi adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk memasuki tapak kerja dalam jaringan ekstravaskular dan mencapai kesetimbangan. Istilah farmakokinetikanya adalah volume distribusi, yang dihitung dengan cara membagi dosis obat yang diberikan dengan konsentrasi obat yang tercapai dalam plasma (Http://www.labcorp.com. 2007). Volume distribusi adalah volume obat yang terlarut di dalam tubuh. Obat dengan Vd yang besar lebih terpusat dalam jaringan ekstravaskular dan sedikit di dalam intravaskular. Jika suatu obat terikat dengan protein plasma dalam jumlah besar atau tinggal dalam vaskular, maka Vd menjadi


(38)

lebih kecil. Oleh karena itu, ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan perifer secara bermakna akan mempengaruhi Vd (Shargel, 1993).

Tiap obat mempunyai Vd yang konstan. Pada penyakit tertentu, Vd dapat berubah jika distribusi obat berubah. Sebagai contoh dalam keadaan edema, jumlah total cairan tubuh dan cairan ekstravaskular meningkat. Keadaan ini dicerminkan dengan harga Vd yang lebih besar untuk obat yang mempunyai kelarutan tinggi dalam air. Begitu pula, perubahan berat badan dan massa tubuh yang kecil (secara normal terjadi sehubungan dengan umur) dapat mempengaruhi Vd (Shargel, 1993).

Pada model kompartemen satu (pemberian i.v), Vd dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Kiang, 1990):

Vd = --- dosis

Cpo = konsentrasi obat mula-mula pada t=0

Cpo

Prinsip pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh merupakan satu kompartemen dengan volume = Vd, kadar obat setiap waktu dinyatakan dengan Cpo,

fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat dari tubuh dianggap berlangsung menurut reaksi orde ke satu dengan tetapan laju eliminasi (Kel) yang meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan tetapan laju ekskresi (ke). Persamaan yang menunjukkan kinetika kompartemen satu terbuka adalah sebagai berikut:

Log Cp = log 0

303 . 2

.

Cp t

ke

+ −


(39)

Cp = kadar gentamisin dalam serum pada waktu (t) tertentu Cpo = kadar gentamisin dalam serum pada t=0

Ke = tetapan laju eliminasi

2.6.2 Farmakokinetika Gentamisin Intravenus Dosis Ganda

Suatu obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda bertujuan untuk memperpanjang aktivitas terapetik. Kadar plasma obat ini harus dipertahankan di dalam batas yang sempit untuk mencapai efektifitas klinik yang maksimal. Di antara obat-obat itu adalah antibakteria, kardiotonika, antikonvulsan, dan hormon. Secara ideal suatu aturan dosis bagi tiap obat ditetapkan untuk memberikan kadar plasma yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan (Shargel, 1993). Untuk obat-obat tertentu seperti antibiotika, dapat ditentukan kadar efektif minimum yang diinginkan. Sedangkan obat-obat lain dengan indeks terapi yang sempit memerlukan batasan kadar plasma terapetik minimum dan konsentrasi plasma non toksik maksimum. Dalam memperhitungkan suatu aturan dosis ganda, kadar plasma yang diinginkan harus dikaitkan dengan suatu respons terapetik (Shargel, 1993).

Parameter-parameter farmakokinetika dapat diperoleh dari kurva kadar plasma vs waktu yang digambarkan melalui dosis tunggal untuk memperkirakan kadar obat dalam plasma selama pemberian dosis ganda (Gambar 2.3).


(40)

Sumber: Robinson (1986)

Gambar 2.3 kurva interval dosis tunggal

Berdasarkan parameter-parameter tersebut, dan pengetahuan tentang ukuran dosis dan jarak waktu pemberian memungkinkan untuk memperkirakan kurva kadar plasma-waktu yang lengkap atau kadar plasma pada setiap waktu setelah dimulainya pengaturan dosis. Jika suatu obat diberikan dengan dosis dan jarak waktu pemberian dosis yang tetap, jumlah obat dalam tubuh akan naik dan kemudian plateu pada suatu kadar plasma rata-rata yang lebih tinggi dari kadar puncak (Cp) yang diperoleh dari dosis awal (Gambar 2.4):


(41)

Akumulasi: obat tidak seluruhnya dieliminasi selama interval pemberian

Steady state: obat yang masuk sama banyak dengan yang tereliminasi selama interval pemberian

Sumber: Robinson (1986) Gambar 2.4 Kurva interval dosis ganda

Jika dosis kedua diberikan dalam jarak waktu yang lebih panjang dari waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi dosis sebelumnya, obat tidak akan terakumulasi. Jika dosis yang sama diberikan berulang pada frekwensi konstan, diperoleh kurva kadar plasma-waktu plateu atau suatu keadaan tunak. Pada keadaan tunak tercapai, Cmax dan Cmin adalah konstan dan tetap tidak berubah dari dosis ke dosis. Konsentrasi maksimum harus selalu berada di bawah kadar toksik minimum sebab Cmax merupakan suatu petunjuk yang baik dari akumulasi obat. Jika pada keadaan tunak suatu obat menghasilkan Cmax yang sama dengan (Cn=1) max setelah pemberian dosis pertama (n= pemberian obat), maka berarti tidak terdapat akumulasi


(42)

obat. Jika Cmax lebih besar dari C(n=1)max maka berarti terdapat akumulasi yang bermakna (Shargel, 1993; Ritschel, 1992).

Khusus untuk gentamisin, ada tidaknya akumulasi obat lebih jelas terlihat pada Cmin, sebab Cmin mencerminkan keadaan obat dalam jaringan yang sebenarnya (Zairina, 1999).


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Berdasarkan pada ruang lingkupnya, penelitian ini diklasifikasikan ke dalam penelitian klinis karena data hasil penelitian merupakan data pemeriksaan klinis (Sastroasmoro dan Ismael, 2002). Pelaksanaan penelitian adalah berupa studi observasional dan bersifat deskriptif untuk menilai ketepatan dosis gentamisin 80 mg yang diberikan terhadap infeksi pada pasien penyakit paru obstruktif kronis.

3.1 Desain Penelitian

Penentuan besar subjek penelitian dilakukan secara consecutive sampling yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan diikutsertakan dalam penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi. Pengamatan terhadap subjek dilakukan secara cross sectional (pengamatan sewaktu) artinya tiap subjek hanya diobservasi satu kali saja dan pengukuran variabel subjek dilakukan pada saat pemeriksaan (Sastroasmoro dan Ismael, 2002).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap A (Rindu A) Departemen Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan, RSUP. H. Adam Malik Medan, Penelitian ini akan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan yang beralamat di Fakultas Kedokteran USU, dan waktu penelitian ± 3 bulan.


(44)

3.3 Subjek Penelitian

3.3.1 Jumlah Subjek

Subjek penelitian adalah penderita penyakit paru obstruktif kronis berjenis kelamin laki-laki yang mendapat terapi gentamisin. Jumlah subjek yang diteliti sebanyak 3 orang.

3.3.2 Kriteria Inklusi

Pasien diperkenankan ikut dalam penelitian ini bila: a. Penderita PPOK eksaserbasi berusia 40-80 tahun b. Menyatakan bersedia ikut dalam penelitian ini c. Fungsi ginjal normal

d. tidak mengalami alergi terhadap antibiotika khususnya golongan aminoglikosida e. memiliki kadar bilirubin, SGOT (Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase),

SGPT (Serum Glutamic-Pyruvic Transaminase), BUN (Blood Urea Nitrogen) dan SCr (Serum Creatinin) yang normal.

3.3.3 Kriteria Eklusi

Pasien tidak diperkenankan ikut dalam penelitian ini bila mengalami: a. gangguan pada ginjal dan hati

b. gangguan pendengaran

c. mengalami asma, alergi, dan rhinitis d. diabetes nefropati dan hipertensi


(45)

3.4 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Chemistry Autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 dari Roche Laboratories USA. b. Alat centrifuge (Beckman model Tj-6)

c. Refrigerator d. Clinipet 100 µl

e. Vortex mixer (Heidoph, type REAX I) f. Tabung venoject

g. Syringe 3 ml

3.5 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Injeksi gentamisin sulfat 80 mg/2 ml

b. Dapar pengencer ( monoclonal antibody dalam dapar posfat) c. Pereaksi TDx gentamisin yang terdiri dari :

S : antiserum gentamisin P : larutan pra perlakuan

T : Gentamisin fluorescein tracer


(46)

A. 3,5 ml Cat. No. 20717622 system-ID 071762 2

e. Kontrol multianalyte 200 ml cat. No.20720720 system-ID 07 2072

3.6 Protokol Penelitian

Penelitian bersifat observasi, menggunakan data cuplikan serum untuk penentuan kadar obat. Cuplikan pertama diambil dari dosis ke-1 injeksi gentamisin bolus intravenus 80 mg pada 30 menit setelah obat diberikan (Cmax), cuplikan kedua diambil 6 jam setelah injeksi dosis ke-1 untuk mengetahui manifestasi klinis, cuplikan ketiga diambil 5 menit sebelum injeksi dosis ke-2 (Cmin).

Penderita yang diikutkan dalam penelitian ini harus dengan ketentuan/persetujuan dokter ahli spesialis paru yang bertanggung jawab/berwenang. Penderita yang berpartisipasi terlebih dulu menandatangani pernyataan tidak keberatan untuk diikutsertakan dalam penelitian (Form Informed Consent, terlampir).

Sebelum mendapat terapi gentamisin, terhadap penderita telah dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu darah lengkap dan faal ginjal (BUN dan SCr). Penderita juga telah dilakukan uji kultur resistensi mikroba dan hasil kultur menunjukkan antibiotika yang sensitif adalah gentamisin. Pemberian terapi gentamisin dosis lazim 80 mg per 12 jam secara bolus intravenus selama 2-3 menit dilakukan secara perlahan-lahan. Cuplikan darah penderita diambil sebanyak 3 cc dari vena perifer sebanyak tiga kali yaitu :


(47)

b. (pertengahan) enam jam sesudah pemberian gentamisin dosis ke-1 untuk mengetahui adanya manifestasi klinis

c. lima menit sebelum pemberian gentamisin dosis kedua (Cmin)

Cuplikan darah didiamkan selama 2 jam dalam tabung yang tidak berisi antikoagulan, lalu dibiarkan selama 5-10 menit sampai pembekuan sempurna kemudian serum dipisahkan dengan pemusingan 2500 rpm. Serum dimasukkan ke

dalam cup sampel dan disimpan dalam freezer dengan temperatur -20 0C sampai

dilakukan penetapan kadar gentamisin dengan chemistry autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 ROCHE. Data yang diperoleh dimasukkan kedalam lembar

pengumpul data (Lampiran 3). Selama penelitian berlangsung, terapi lain tetap

diberikan sesuai kebutuhan penderita (Lampiran 4).

Dilakukan pencatatan terhadap data pemeriksaan kadar BUN dan kreatinin serum sebelum dan selama pemberian terapi gentamisin. Selain itu, juga dilakukan pencatatan terhadap keluhan-keluhan yang dialami penderita yang dikaitkan dengan efek samping obat yang dialaminya selama dirawat (lampiran). Jika ternyata ada keluhan efek samping pada telinga, maka penderita dikonsultasikan ke bagian telinga hidung dan tenggorokan (THT).

3.7 Tehnik Analisis


(48)

Serum dari subjek penelitian yang telah disimpan dalam freezer dikeluarkan dan dibiarkan pada temperatur kamar selama 30 menit, kemudian dihomogenkan dengan vortex mixer.

3.7.2 Prosedur pemeriksaan

Disiapkan :

Cuvet : untuk tempat serum pemeriksaan

Air : untuk membersihkan cuvet pada saat rotor beroperasi

Cleaner : untuk mencuci cuvet pada saat rotor beroperasi

3.7.3 Penetapan kadar gentamisin dalam serum dengan metode Fluorescence

Polarization Imuno Assay

Prinsip metode ini adalah reaksi antigen-antibodi yaitu kompetisi antara antigen yang tidak bertanda dalam memperebutkan tempat ikatan yang terbatas dari antibodi spesifik. Pada reaksi ini yang berperan sebagai antigen bertanda adalah larutan gentamisin fluorocein tracer, sedangkan antigen tidak bertanda adalah gentamisin dalam sampel serum yang dianalisa (Cobas Integra System TDM, 2004). Apabila antigen bertanda terikat antibodi, maka fluorophore tidak bebas berotasi sehingga bila dikenai cahaya akan terjadi polarisasi dan bila antigen bertanda bebas, akan terjadi rotasi yang lebih besar sehingga molekul menjadi acak dan bila cahaya diemisikan akan terjadi depolarisasi. Apabila kadar gentamisin dalam sampel serum rendah maka semakin kecil jumlah antigen bertanda yang terikat, sehingga akan menghasilkan polarisasi yang rendah dan begitu sebaliknnya.


(49)

Cara kerja alat penetapan kadar obat dalam serum:

a. aktifkan tombol power monitor, tombol alat chemistry autoanalyzer COBAS

INTEGRA 400 ROCHE dan Central processing unit (CPU), biarkan 2-3 menit.

b. alat akan mencuci jarum sampel dan jarum reagen selama 5-6 menit, sambil menyesuaikan temperatur.

c. masukkan serum pada rak ise dengan posisi dua dan D protein pada

posisi delapan. Kemudian rak ise masukkan ke dalam alat chemistry autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 ROCHE. Alat telah siap dioperasikan. d. untuk kalibrasi pada monitor cursor diarahkan pada posisi order, kalibrasi,

parameter yang akan diperiksa save, kemudian klik secara berurutan. Untuk control pada monitor cursor diarahkan pada posisi quality control, parameter yang akan diperiksa, save kemudian klik secara berurutan. Untuk membaca hasil pemeriksaan pada monitor, klik start dan secara berurutan, klik result, kalibrasi, parameter dan kontrol.

3.7.4 Penetapan kadar kreatinin dalam serum (metode Jaffe)

Serum ditambahkan NaOH lalu ditambahkan reagensia asam pikrat. Pada larutan basa, kreatinin akan membentuk kompleks yang berwarna kuning oranye dengan asam pikrat. Intensitas warna yang terbentuk diukur secara kolorimetri dengan panjang gelombang 340 nm.


(50)

Serum ditambahkan buffer dan enzim urease maka urea yang terdapat dalam

serum akan terhidrolisis membentuk CO2 dan amonia. Lalu amonia akan bereaksi

dengan α-ketoglutarat dan NADH dan enzim glutamat lehidrogenase (GLDH)

menghasilkan glutamat yang diukur secara titrimetri.

3.8 Analisis data

Data yang diperoleh akan menunjukkan kecukupan dosis terapetik pada

pemberian dosis awal, besarnya kadar lembah dan kadar puncak pada pemberian

dosis berganda yang dikaitkan dengan efek klinik kesembuhan infeksi dan efek

samping obat selama dalam rawatan.

3.8.1 Pengolahan Data

3.8.1.1 Data fisik dan pemeriksaan laboratorium (faal hati dan ginjal)

Data fisik penderita berupa jenis kelamin, umur, berat badan, hasil pemeriksaan BUN, dan kreatinin serum (sebelum dan selama terapi) dicatat dalam lembar pengumpul data dan dilakukan tabulasi.

3.8.1.2 Diagnosis dan Terapi Gentamisin

Data diagnosis, pengamatan efek samping berupa keluhan yang dialami penderita berkaitan dengan penggunaan gentamisin diamati pada saat dilakukan penelitian. Data dicatat dalam lembar pengumpul data dan ditabulasi.

3.8.1.3 Pengamatan Kadar Gentamisin dalam Cuplikan Serum

Kadar gentamisin dalam cuplikan serum diamati dengan menggunakan alat chemistry autoanalyzer COBAS INTEGRA 400 yang dilakukan bersamaan dengan


(51)

pembuatan kurva kalibrasi. Data yang diperoleh dicatat dalam lembar pengumpul data dan dilakukan tabulasi.

3.8.1.4 Usulan Rekomendasi Dosis Individual

Berdasarkan data kadar gentamisin dalam serum yang diperoleh berupa Cmax, C6jam, dan Cmin, maka dilakukan analisis kecukupan dosis pemberian gentamisin yang dikaikan dengan efektifitas dan keamanannya. Dari data ini dapat dibuat suatu rekomendasi dosis individu dengan perhitungan dosis (AHFS., 2005; Shargel, 1985).


(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian terhadap 3 subjek yang dirawat inap dan menjalani terapi gentamisin di ruang rawat inap terpadu A3 (Pulmonologi) RSUP. H. Adam Malik Medan, diperoleh hasil sebagaimana dipaparkan selanjutnya.

4.1 Data Karakteristik Fisik dan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penderita

Jumlah subjek yang dirawat inap pada ruang rawat inap terpadu A3 (Pulmonologi) RSUP. H. Adam Malik Medan antara bulan Mei hingga bulan Juli 2008 yang mendapat terapi gentamisin berdasarkan hasil uji kultur sebanyak 3 orang. Penelitian dilakukan terhadap penderita penyakit paru obstruktif kronis yang mengalami eksaserbasi yaitu keadaan paru menjadi lebih berat yang disebabkan adanya pertumbuhan mikroba pada paru. Penderita berjenis kelamin laki-laki dan berumur antara 40-80 tahun dengan berat badan berkisar antara 30-60 kg (Tabel 4.1)

Tabel 4.1 Data karakteristik pasien

No. Nama Jenis Kelamin Usia (thn) Berat Badan (kg)

1 MU Laki-laki 65 37

2 SU Laki-laki 74 55


(53)

Berdasarkan anamnesa pemeriksaan jasmani dan laboratorium yang mendukung diagnosa, diketahui bahwa pasien MU telah mengalami sesak nafas sejak 2 tahun yang lalu. Sesak nafas dipengaruhi cuaca dan tidak dipengaruhi aktifitas, adanya mengi, batuk berdahak dengan cairan sputum berwarna kehijauan agak kental, serta nyeri dada sebelah kiri terasa seperti disayat-sayat yang dirasakan saat penderita batuk.

Penderita SU juga mengalami keluhan utama sesak nafas sejak 2 tahun lalu dan menjadi berat selama 1 bulan belakangan ini. Akan tetapi sesak nafas tidak dipengaruhi cuaca dan aktifitas, adanya mengi, batuk berdahak dengan cairan sputum berwarna kehitaman dan kental, serta nyeri dada sebelah kiri yang bersifat hilang timbul dengan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk, dirasakan penderita sampai menjalar ke punggung kiri. Hasil biakan terhadap sputum dijumpai bakteri coccus gram (-) dan dari hasil uji kultur menunjukkan bahwa bakteri masih sensitif terhadap gentamisin.

Hal yang sama dialami penderita MR dan diperberat dengan adanya demam yang bersifat hilang timbul. Cairan sputum berwarna putih kental dan nyeri dada dialami lebih kurang 4 bulan belakangan ini, bersifat hilang timbul tanpa disertai penjalaran.

Berdasarkan anamnesa juga diketahui bahwa ketiga penderita memiliki riwayat merokok ± 15-30 tahun, jenis kretek filter yang dihisap sebanyak ± 20 batang per hari dengan hisapan dalam. Riwayat merokok dalam waktu lama ini menjadi pemicu terjadinya penyumbatan terhadap pembuluh darah di paru. Selain itu,


(54)

diperberat dengan riwayat pekerjaan yang dijalankan para penderita selama ini tanpa adanya perlindungan terhadap paru-parunya. Pemeriksaan terhadap sitologi sputum dan analisa gas darah mendukung diagnosa dokter bahwa ketiga pasien mengalami penyakit paru obstruktif yang telah kronis dan menjadi infeksi sehingga dokter memutuskan untuk segera memberikan antibiotik tanpa melakukan pemeriksaan laju endap darah (LED). Pemberian gentamisin pada penderita MU tidak didasarkan atas uji kultur karena MU mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika golongan sefalosporin (sefotaksim) sehingga langsung diberikan gentamisin.

Gentamisin merupakan antibiotik yang diekskresi utuh melalui ginjal, oleh karena itu fungsi ginjal harus dipantau secara cermat karena perubahan yang terjadi mungkin menunjukkan gangguan ginjal yang semakin parah akibat perubahan kondisi klinis penderita atau akibat toksisitas obat (Kenward dan Tan, 2003). Pemeriksaan faal ginjal yang meliputi ureum dan kreatinin ketika penderita masuk rumah sakit untuk menjalani rawat inap menunjukkan bahwa ketiga penderita memiliki fungsi ginjal normal. Perubahan nilai kreatinin, kreatinin klirens, ureum dan blood urea nitrogen (BUN) sebelum penderita diberi injeksi gentamisin dan pada waktu pengambilan darah sebanyak 3 kali setelah penderita diinjeksikan gentamisin yaitu, 30 menit setelah injeksi, 6 jam setelah injeksi gentamisin, dan 5 menit sebelum injeksi berikutnya ditunjukkan pada Tabel 4.2 dan 4.3


(55)

Tabel 4.2 Data pemeriksaan kreatinin dan ureum

Kreatinin (mg/dl) Ureum (mg/dl)

Waktu (menit)

MU SU MR MU SU MR

Sebelum injeksi 0,64 1,60 0,90 15,00 55,00 17,00

30 0,56 1,17 0,81 21,80 48,40 23,70

360 0,64 1,35 0,77 23,40 49,00 32,40

715 0,67 0,38 0,53 18,00 10,40 37,20

Nilai normal 0,7 – 1,4 10 - 40

Tabel 4.3 Data perhitungan kreatinin klirens dan BUN

Kreatinin klirens (ml/menit) BUN (mg/dl)

Waktu (menit)

MU SU MR MU SU MR

Sebelum injeksi 60,22 31,50 60,74 7,50 27,50 8,50

30 68,82 43,00 67,49 10,90 24,20 11,85

360 60,22 37,35 70,99 11,70 24,50 16,20

715 57,50 132,66 103,14 9,00 5,20 18,50

Nilai normal 85 - 125 9 - 18

Keterangan: - Nilai kreatinin klirens diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus Cockroft-Gault


(56)

Berdasarkan hasil pemeriksaan nampak bahwa tidak terjadi peningkatan nilai kreatinin setelah pemberian injeksi gentamisin pada 3 orang penderita. Tidak terjadinya peningkatan nilai kreatinin mengindikasikan bahwa resiko nefrotoksisitas terhindar karena kreatinin serum biasanya meningkat pada gagal ginjal, meskipun begitu nilai kreatinin saja kurang tepat untuk menentukan fungsi ginjal seseorang karena nilainya sangat dipengaruhi massa otot. Kreatinin merupakan hasil perombakan keratin yaitu senyawa yang mengandung nitrogen yang terdapat dalam otot. Apabila massa otot, menurun, misalnya pada penderita malnutrisi, maka kreatinin dalam tubuh juga akan berkurang (Widmann, 1983). Nilai kreatinin pada penderita SU lebih besar, baik sebelum dan sesudah pemberian injeksi gentamisin sedangkan MU mempunyai nilai kreatinin yang terendah. Perbedaan ini berhubungan dengan massa otot tubuh karena penderita SU mempunyai massa otot yang lebih besar (sesuai dengan berat badan) sehingga kadar kreatininnya lebih banyak, selain itu penderita SU juga diduga telah mengalami penurunan fungsi ginjal karena hasil pemeriksaan terhadap faal ginjal yaitu ureum dan kreatinin mempunyai nilai di atas normal, yaitu 1,6 mg/dl (nilai kreatinin) dan 55 mg/dl untuk nilai ureumnya.

Penentuan nilai kreatinin klirens bertujuan untuk menggambarkan fungsi ginjal. Kreatinin klirens merupakan volume plasma yang diekskresi dan mengandung zat terlarut yang masuk ke glomerulus atau dihilangkan dari plasma dan diekskresikan ke dalam urin. Nilai kreatinin klirens berbeda menurut usia, jenis


(57)

kelamin, dan ukuran tubuh (Kenward dan Tan, 2003). Penderita SU yang berusia 74 tahun memiliki nilai kreatinin klirens yang lebih rendah dibandingkan kedua penderita lainnya, tetapi pada 5 menit sebelum injeksi berikutnya nilai kreatinin klirensnya berada di atas nilai normal. Hal ini disebabkan fungsi ginjal pasien SU telah mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia sehingga laju filtrasi glomerulus menjadi tidak stabil oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan kadar gentamisin dalam darah. Contoh perhitungan kreatinin klirens dapat ditunjukkan pada Lampiran 6.

4.2 Diagnosis

Diagnosis pada penelitian ini perlu diketahui untuk memastikan infeksi yang terjadi dan ketepatan pemberian antibiotika. Perjalanan penyakit pada usia lanjut umumnya lebih parah dan sering terjadi komplikasi diantaranya karena ada penyakit lain, terjadi perubahan fungsi fisiologis tubuh seiring meningkatnya usia, dan sistem pertahanan tubuh yang semakin menurun sehingga lebih mudah terjadi infeksi, dan hal ini menuntut penggunaan antibiotika. Pemberian antibiotika pada kasus PPOK eksaserbasi akut adalah untuk mengatasi bakteri pada paru secepat mungkin sehingga saat penderita masuk rumah sakit segera diberikan antibiotika secara empiris sambil menunggu hasil uji kultur. Hasil biakan terhadap sputum penderita MU menunjukkan adanya bakteri Streptococcus viridans sedangkan pada penderita SU dijumpai bakteri Klebsiella oxytoca. Pembiakan bakteri terhadap sputum penderita MR gagal untuk dilaksanakan karena MR mengalami kesulitan untuk


(58)

mengeluarkan dahak disebabkan penyakit stroke yang dialami 5 bulan sebelum dirawat di rumah sakit. Data diagnosis, hasil kultur dan obat lain yang diberi bersama gentamisin ditunjukkan pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Data diagnosis, hasil kultur dan obat lain yang diberikan terhadap penderita

No. Nama Diagnosis Hasil kultur / direct

smear

Obat Lain yang diberikan

1. MU

PPOK eksaserbasi akut + suspect TB Paru Relaps

Dijumpai bakteri batang gram (-), coccus gram (+), jamur, hasil kultur: Streptococcus viridans, Dexametason, transamin, ranitidin, codein, spironolakton 2. SU

PPOK + suspect tumor paru

Dijumpai coccus gram (-), jamur, hasil kultur: Klebsiella oxytoca Injeksi tramadol, ranitidin, aminovel. Nebulae ventolin-flixotide 3. MR PPOK eksaserbasi akut + CHF + post stroke

- Injeksi aminofilin dan

metil prednisolon, Ranitidin, kaptopril, aspilet, ISDN, simvastatin

Berbeda dengan kedua penderita lainnya, MU pada mulanya diberikan injeksi cefotaksim, akan tetapi setelah dilakukan skin test, penderita mengalami alergi sehingga diberikan gentamisin. Pemberian obat-obat lain adalah untuk mengatasi


(59)

penyakit bawaan dan mengatasi keluhan yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit. Tidak dijumpai adanya interaksi antara gentamisin dengan obat-obat lain yang digunakan oleh pasien.

4.3 Pengamatan Efek Samping Obat

Gentamisin diekskresi secara utuh melalui ginjal sebesar 85% sehingga apabila laju ekskresi melalui ginjal menurun akan mengakibatkan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dan kadar pada keadaan mantap yang juga lebih tinggi. Hal ini menyebabkan toksik pada ginjal (nefrotoksik). Selain itu, gangguan terhadap pendengaran (ototoksik) dapat terjadi meskipun fungsi ginjal tetap normal. Adanya sifat nefrotoksik mendorong perlu dilakukan penyesuaian dosis individual terutama pada lanjut usia. Oleh karena itu, perlu memaksimalkan rasio kadar puncak terhadap MIC (minimum inhibitory consentration) dengan cara memberikan dosis yang lebih besar dan interval yang lebih panjang serta memberi waktu istirahat pada ginjal selama 2-4 jam di antara selang pemberiannya. Data pengamatan efek samping penggunaan obat ditunjukkan pada tabel 4.5

Tabel 4.5 Data pengamatan efek samping terhadap pasien

No. Nama Diagnosis Efek Samping

1. MU PPOK eksaserbasi akut + suspect TB Paru

Relaps

Tidak muncul

2. SU PPOK + suspect tumor paru Tidak muncul


(60)

Berdasarkan pengamatan terhadap ketiga pasien, tidak ditemukan adanya efek samping terhadap penggunaan gentamisin dosis 80 mg berupa reaksi hipersensitifitas, gangguan pendengaran, vertigo maupun muntah.

Konsentrasi minimum gentamisin dalam darah tidak melebihi kadar potensial toksik yaitu 2 mcg/ml dan dapat disimpulkan tidak terjadi kumulasi, sedangkan konsentrasi maksimum sangat jauh di bawah konsentrasi yang diharapkan yaitu 8 mcg/ml sehingga tentunya efek samping tidak tampak. Hal ini menunjukkan bahwa dosis populasi 80 mg tidak memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan karena adanya variabilitas interindividu oleh karena itu pemberian regimen dosis individual harus dilakukan sesuai karakteristik pasien.

4.4 Analisis Dosis Injeksi Gentamisin Intravenus Bolus dan Kadar Gentamisin

dalam Darah

Gentamisin merupakan antibiotik yang mempunyai daya membunuh bakteri

tergantung pada konsentrasinya (consentration-dependent kill rate) dan mempunyai efek post antibiotic yang signifikan. Efek ini dapat mencegah bakteri tumbuh kembali meskipun kadar obat pada jaringan berada di bawah MIC dalam waktu yang cukup lama (Anonim, 1991). Oleh karena itu, meski pemberian gentamisin dengan dosis populasi menghasilkan kadar puncak yang cukup rendah yaitu 4,51 mcg/ml, 4,13 mcg/ml, 5,22 mcg/ml masih memungkinkan memberi efek terapi untuk individu tertentu. Pemberian gentamisin secara intravenus bolus mengikuti model


(61)

kompartemen satu yaitu bahwa setelah diinjeksikan maka obat akan segera berada dalam kesetimbangan antara darah dan jaringan (Kiang, 1990). Pemantauan kadar gentamisin dilakukan pada pemberian injeksi ketiga yaitu pada saat telah mencapai steady state. Adapun t1/2 gentamisin adalah 2,5 jam dan diperhitungkan bahwa pada

dosis ketiga ini sudah dapat dilakukan pengambilan sampel darah pada kadar puncak (Cmax) dan kadar lembah (Cmin) untuk mengetahui apakah dosis melebihi rentang kadar toksik dan apakah berada dalam rentang minimal yang aman dan terhindar dari kumulasi obat. Hasil penetapan kadar gentamisin dalam darah penderita dengan dosis 80 mg tiap 12 jam dapat dilihat pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Data pemeriksaan kadar gentamisin dalam darah setelah injeksi gentamisin bolus intravenus 80 mg per 12 jam

Kadar gentamisin (mcg/ml) Waktu (menit)

MU SU MR Potensial toksik

30 4,51 4,13 5,22 10

360 3,08 1,42 0,94

715 1,34 0,52 0,41 2

Pada tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pemberian gentamisin secara intravenus bolus dosis 80 mg dengan interval 12 jam diamati kadarnya dengan cara pengambilan darah pada 30 menit setelah injeksi, 6 jam setelah injeksi dan 5 menit sebelum injeksi berikutnya. Penetapan kadar gentamisin dalam darah pada 30 menit setelah injeksi adalah untuk mengamati kadar puncak. Pengamatan terhadap kadar puncak ini dilakukan untuk mengetahui apakah dosis yang diberikan melebihi rentang kadar


(62)

toksik yaitu 10-12 mcg/ml, karena apabila kadar puncak melebihi ketentuan tersebut akan menyebabkan toksisitas. Pengamatan pada 5 menit sebelum injeksi berikutnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kadar lembah berada dalam rentang kadar yang aman yaitu 1-2 mcg/ml karena bila kadar lembah di atas 2 mcg/ml mengindikasikan akumulasi obat yang terkait dengan toksisitas juga.

Dosis populasi gentamisin 80 mg tiap 12 jam menghasilkan Cmax dan Cmin yang berada di bawah kadar potensial toksik. Perhitungan terhadap regimen dosis individual berdasarkan Cmax menggunakan metode steady state (Kaedah Keadaan Mantap) ternyata bahwa penderita membutuhkan dosis sebesar 120-150 mg. Hal ini menunjukkan bahwa dosis populasi 80 mg yang selama ini diberikan kepada penderita adalah di bawah kebutuhan. Profil kadar gentamisin dalam darah penderita

ditunjukkan pada Gambar 4.1, 4.2, dan 4.3. Contoh perhitungan regimen dosis

individual metode steady state ditunjukkan padaLampiran 7

0 2 4 6 8 10 12

0 200 400 600 800

waktu (menit) ko n sen tr asi g en tam isi n ( m cg /m l) MU potensial toksik


(63)

Gambar 4.1 Profil gentamisin dalam darah penderita MU 0 2 4 6 8 10 12

0 200 400 600 800

waktu (menit) ko n sen tr asi g en tam isi n ( m cg /m l) SU potensial toksik

Gambar 4.2 Profil gentamisin dalam darah penderita SU

0 2 4 6 8 10 12

0 200 400 600 800

waktu (menit) ko n sen tr asi g en tam isi n ( m cg /m l) MR potensial toksik


(64)

Gambar 4.3 Profil gentamisin dalam darah penderita MR

Gambar 4.1, 4.2 dan 4.3 menunjukkan secara jelas bahwa kadar gentamisin dalam darah penderita MU, SU dan MR berada jauh di bawah kadar gentamisin yang potensial menimbulkan toksisitas. Selain itu, diperkirakan efek terapi tidak tercapai karena Cmax yang diperoleh dari pengukuran darah penderita berada jauh di bawah Cmax yang diharapkan.

Profil rendahnya Cmax seperti pada gambar 4.1, 4.2 dan 4.3 dapat disebabkan karena pemberian dosis gentamisin yang kurang dari kebutuhan dan tidak didasarkan atas berat badan. Pemberian dosis yang kurang dari kebutuhan menyebabkan infeksi menjadi lebih lama untuk sembuh karena kadar puncak yang dihasilkan hanya berkisar 4-5 mcg/ml, jauh dari yang diharapkan yaitu 8 mcg/ml.

Secara farmakodinamik, gentamisin mempunyai sifat bakterisida bergantung pada konsentrasinya di dalam darah. Gentamisin dapat membunuh bakteri secara efektif bila konsentrasi puncak mencapai 8-10 mcg/ml, oleh karena itu perlu memaksimalkan konsentrasinya dalam darah karena semakin tinggi konsentrasi maka sifat bakterisidanya makin luas dan cepat.

4.5 Rekomendasi Dosis Individual

Berdasarkan perhitungan regimen dosis individual diketahui bahwa ketiga orang penderita yang mendapatkan terapi gentamisin dosis 80 mg tidak mendapatkan dosis yang cukup. Kurangnya dosis yang diberikan akan menyebabkan efek terapi


(65)

kurang tercapai oleh karena Cmax berada di batas bawah range terapi. Hal ini dapat merugikan penderita baik dari segi klinis maupun segi ekonomi karena tidak

menghasilkan outcome klinis pada penderita dan biaya yang dikeluarkan menjadi

besar akibat waktu rawat inap yang lebih lama. Data hasil perhitungan penentuan regimen dosis individual metode steady state ditunjukkan pada Tabel 4.7

Tabel 4.7 Data hasil perhitungan penentuan regimen dosis individual gentamisin

No. Nama N DB (mg) Cminss DB (mcg/ml)

1. MU 1,35 140 2,30

2. SU 1,35 150 1,94

3. MR 1,35 120 0,615

Keterangan: N = dosis ke-n untuk mencapai keadaan steady state DB = dosis baru

SS = steady state

Perhitungan regimen dosis individual menghasilkan kadar puncak yang sesuai dengan yang diharapkan yaitu 8 mcg/ml sehingga efek terapi optimal dapat tercapai. Perhitungan terhadap dosis individual menghasilkan kadar lembah pada penderita MU yaitu 2,30 mcg/ml, pada SU sebesar 1,94 mcg/ml dan MR sebesar 0,615 mcg/ml. Besarnya Cmin di atas 2 mcg/ml mengindikasikan terjadinya akumulasi obat di dalam tubuh. Akumulasi obat dapat dihindarkan dengan cara memperpanjang interval pemberian obat. Apabila kadar obat terlalu tinggi maka interval dapat diperpanjang sedangkan bila kadar obat rendah, interval dapat diperpendek. Contoh perhitungan regimen dosis individual dapat dilihat pada Lampiran 7.


(66)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian terhadap 3 orang penderita penyakit paru obstruktif kronis yang mendapat terapi gentamisin dosis 80 mg tiap 12 jam dapat disimpulkan bahwa:

a. pemberian gentamisin dosis 80 mg tanpa pertimbangan berat badan dan fungsi

ginjal menghasilkan kadar serum yang memenuhi rentang terapi meski terdapat variabilitas individual yang besar terhadap pencapaian kadar terapetik

b. berdasarkan pengamatan maupun informasi yang diperoleh dari penderita, tidak

ditemukan adanya efek samping pada penggunaan gentamisin dosis 80 mg ini

c. Perhitungan terhadap regimen dosis individual menunjukkan bahwa penderita

MU, SU dan MR membutuhkan dosis gentamisin masing-masing sebesar 140 mg, 150 mg, dan 120 mg sehingga dosis populasi yang selama ini diberikan tidak cukup untuk memberi efek terapi

5.2 Saran

Pemantauan kadar obat dalam darah perlu dilakukan agar tercapai ketepatan dosis bagi setiap individu. Sebaiknya dosis populasi hanya diberikan sementara dan kemudian dilanjutkan perhitungan regimen dosis bagi tiap pasien sehingga kadar obat di dalam darah berada di dalam rentang terapi untuk dapat bekerja optimal dalam proses penyembuhan.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian terhadap 3 orang penderita penyakit paru obstruktif kronis yang mendapat terapi gentamisin dosis 80 mg tiap 12 jam dapat disimpulkan bahwa: a. pemberian gentamisin dosis 80 mg tanpa pertimbangan berat badan dan fungsi

ginjal menghasilkan kadar serum yang memenuhi rentang terapi meski terdapat variabilitas individual yang besar terhadap pencapaian kadar terapetik

b. berdasarkan pengamatan maupun informasi yang diperoleh dari penderita, tidak ditemukan adanya efek samping pada penggunaan gentamisin dosis 80 mg ini c. Perhitungan terhadap regimen dosis individual menunjukkan bahwa penderita

MU, SU dan MR membutuhkan dosis gentamisin masing-masing sebesar 140 mg, 150 mg, dan 120 mg sehingga dosis populasi yang selama ini diberikan tidak cukup untuk memberi efek terapi

5.2 Saran

Pemantauan kadar obat dalam darah perlu dilakukan agar tercapai ketepatan dosis bagi setiap individu. Sebaiknya dosis populasi hanya diberikan sementara dan kemudian dilanjutkan perhitungan regimen dosis bagi tiap pasien sehingga kadar obat di dalam darah berada di dalam rentang terapi untuk dapat bekerja optimal dalam


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Babar, A. (2003). Penyakit Paru Obstruktif kronik Pedoman Penatalaksanaan Global Terbaru. Dalam: Pertemuan Ilmiah Nasional I (PB PAPDI 2003). Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Barclay, M.L., Kirkpatrick C.M., and Begg E.J., (1999). Once Daily Aminoglycoside Therapy. Is It Less Toxic Than Multiple Daily Dose and How Should It Be Monitored? Clin Pharmacokinet, 36(2):89-98

Bartlett, J.G. (2001). Pedoman Terapi Penyakit Infeksi. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal: 291-300

Begg, E.J., Barclay, M.L., and Hickling, K.G. (1994). What Is The Evidence For Once-Daily Aminoglycoside therapy? Clin Pharmacokinet, 27(1):32-48

Berner, J.J. (1984). Effects of Disease on Laboratory Test. New York: J.B Lippincott Company. Hal: 59-61

Bloch, K.C. (1997). Infectious Disease. Dalam: Pathophysiology of Disease. Third edition. A Lange Medical Book. New York: Mc. Graw Hill. Hal: 50-54

Bourdet, S. V., and Williams, D.M. (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Available at: www.goldcopd.com

Chambers, H.F. (2004). Aminoglycoside dan Spectinomycin. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. ed Katzung. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58-60 Clark B. and Smith D. (1986). Introduction to Pharmacokinetics. Second edition.

London: Blackwell Science Publications

Craig, A.W. and Middleton, S.W. (1997). Pharmacokinetic/Pharmacodinamic Parameter. Journal Clinical Infection Diseases. 1998. 26: 1-12

Dahlan, M.S. (2006). Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri Evidence Based Medicine. Jakarta: PT. Arkans. Hal: 15-17, 33-36

Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK UI. Edisi 4. Jakarta. Hal: 661-674


(3)

Gerald, K Mc.evoy (2005). American Hospital Formulary Service, American Society of Health System Pharmacist, United States of America

Hadisahputra, S. dan Harahap, U. (1999). Farmasi Klinis: Suatu Pengenalan. Buletin ISFI Sumut

Harris, G.D., and Johansen, W.G. (1982). Acute Respiratory Tract Infection. Dalam: Pulmonary Medicine, second ed. Philadelphia: JP Lippincott Co

Hermsen, D.E (2007). Pharmacokinetic Training Packet for Pharmacists Nebraska

Medical Center. Available from: www.pharmacists/hermsen@nebraskamed.com pada maret 2007

Juwono, R. dan Prayitno A. (2003). Terapi Antibiotik. Dalam: Farmasi Klinis. ed Aslam. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal: 321-323

Katzung, G.B. (1998). Basic and Clinical Pharmacology. Edisi 9. Singapore: Mc.Graw Hill. Hal: 635-640, 686-693

Kenward, R., Tan, C.K. (2003). Penggunaan Obat pada Gangguan Ginjal. Dalam: Farmasi Klinis. Ed. Aslam. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal: 137-153 Kiang G, Mohamad M., dan Hassan Y. (1990). Farmakologi Am. Pulau Pinang:

Penerbit Universiti Sains Malaysia. Hal: 90-112

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Morike, K. Schwab M., and Klotz, U. (1997). Use of Aminoglycoside in Elderly Patients. Pharmacokinetics and Clinical Considerations. Drugs Aging, 10(4):259—77

Rab, T. (1996). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates. Hal: 190-205

Rapp, R.P. (2006). Pharmacy Infectious Diseases Practise. The Annals of Pharmacotherapy, 40: 304-305. available from: www.theannals.com pada februari 2006

Rasmaliah (2004). Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Penanggulangannya. FKM USU. Available from: USU digital library


(4)

Robinson, D. and Taylor, W. (1986). Interpretation of Serum Drug Concentrations. Dalam: A Text Book For The Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. ed Taylor W.J. Texas: Abbott Laboratories. Hal: 32

Rodman D., Maxwell A.J., and McKnight, J.T. (1994). Extended Dosage Intervals for Aminoglycosides. Am J Hosp Pharm, 15;51(16):2016-21

Rowland, M. and Tozer, T.N. (1998). Farmakokinetika Pemberian Intravaskular dan Ekstravaskular Dosis Tunggal dan Berganda. Edisi 2. diterjemahkan oleh Azizah Nasution

Rusdidjas. (2000). Standar Pelayanan Medis Komite Medik. Edisi I RSUP H. Adam Malik Medan

Sastroasmoro, S. dan Ismael S., (2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung Seto. Hal: 67-85

Shargel L, YU, C,B,A. (1985). Biofarmasetika dan Farmakokinetika, edisi 2, New York. Diterjemahkan oleh Fasih, Syamsiah, S. Joenoes, ZN

Stark, J.E., Shneerson, J.M., Higenbottam, T., and Flower, C.D.R., (1990). Manual Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal: 221

Stockley, I.H. (1994). Drug Interactions a Source Book of Adverse Interaction, Their Mechanisms, Clinical Importance and Management Adverse Interaction, third edition, England

Tierney, L.M., McPhee, S.J., and Papadakis, M.A. (2002). Diagnosis dan Terapi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 84-92

Tjai, T.H. dan Raharja, K. (2003). Obat-Obat Penting dan Khasiatnya. Edisi 5 cetakan kedua. Jakarta: PT. Gramedia

Taylor J.W. (1995). Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. Texas: Abbot Laboratories Irving. Hal: 31-35

Wattimena, J.R., Sugiarso N.C., Widianto M.B., Sukandar E.Y., Soemardji A.A., dan Setiadi A.R. (1991). Farmakodinami dan Terapi Antibiotik. Jogjakarta: UGM Press. Hal: 294-303


(5)

Whriskho R.E. (2004). Clinical Pharmacokinetics Therapeutic Drug Monitoring. A pdf file

Widmann, K.F. (1983). Clinical Interpretation of Laboratory Test. Edisi 9. Pensylvania: Penerbit F.A. Davis Company. Hal: 528-539

Yunus, F. (1995). Penatalaksanaan Infeksi Saluran Nafas. Cermin Dunia Kedokteran No.101, 1995

Zairina, N. (1999). Pemantauan Efektivitas Profilaksis dengan Pemberian Gentamisin Intra Vena Bolus Multiple Dose. Tesis. Program Pendidikan Apoteker Spesialis-1 Farmasi Rumah Sakit. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Zaske, D., Lois, R.S., and Debra, A.T. (1986). Aminoglycoside. Dalam: A Text Book For The Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring. ed Taylor W.J. Texas: Abbott Laboratories. Hal: 285-287

Anonym. (2007). Therapeutic Drug Monitoring. Available from: http://en.wikipedia. org/wiki/therapeutic drug monitoring. pada 30 april 2007

Anonym. (2007). Therapeutic Drug Monitoring. Available from: http://www. Labcorp.com/datasets/labcorp/html/appendix_group/appendix/tdm.htm. pada 19 April 2007


(6)