90
orang Cina. Seperti telah disinggung diatas perbedaaan kelas tersebut berada pada letak penangan pekerja. Untuk memperjelasnya bisa dilihat dari diagram di bawah
ini:
1. Diagram Stratifikasi Kuli Jawa
Diagram 1 : Stratifikasi kuli Jawa
1
2
3
4 Keterangan :
Kelas 1 : Adminitratur
perkebunan Kelas 2
:Asisten Perkebunan
Kelas 3 : Mandor
Kelas 4 : Kuli Jawa
91
2. Diagram Stratifikasi Kuli Cina
Diagram 2 : Stratifikasi kuli Cina
Kelas-kelas tersebut secara tidak langsung telah memberikan telah menimbulkan konflik sosial antara etnis Jawa dan Etnis Cina. Selain dari kelas-
kelas yang membedakan kelas tersebut juga karena kuli Cina lebih rajin daripada kuli Jawa. Kecakapan yang dimiliki oleh kuli Cina lebih banyak. Dengan
demikian upah yang diterima oleh kuli Cina lebih besar daripada kuli Jawa. Hal ini tampak pada pernyataan:
Bagaimana seorang perempuan Jawa mendapatkan sebuah sarung? Aku ulangi pertanyaan ini kepada anda, pembaca. Kini izinkan aku menjawab
sendiri pertanyaan itu. Lima sen adalah upah yang mereka peroleh saat melayani satu kuli orang Cina untuk sekali kencan. Untuk mendapatkan
sebuah sarung maka setiap kuli Perempuan Jawa harus melakukan dua puluh kali kencan dengan orang Cina BD: 146.
Dari pernyataan ini kita bisa simpulkan bahwa kuli Cina lebih besar penghasilannya, sehingga mereka lebih berani membayar kuli perempuan lebih
besar daripada kuli Cina. Hal ini menimbulkan konflik antar etnis. Konflik 1
2
3
4
5 Keterangan :
Kelas 1 :Adminitratur
perkebunan Kelas 2
:Asisten Perkebunan
Kelas 3 : Hoftd tandil
atau kepala tandilmandor Kelas 4
: Mandor tandil Kelas 4
: Kuli Cina
92
tersebut bahkan sampai terjadi pembunuhan antar etnis. Konflik yang terjadi pun tidak diambil pusing oleh pejabat perkebunan. Hal ini tampak pada pernyataan:
Mereka menyaksikan erangan lelaki Cina itu dengan tersenyum. Senyum yang bengis. Mereka senang menyasikan kematian yang nyeri, kematian
yang begitu perlahan dari korbannya yang sekarat, seorang musuh dari ras mereka. Ras yang dianggap sombong karena mampu membayar
perempuan Jawa lebih besar kalau kencan BD: 151. “Cina itu mati di jalan tak jauh dari bangsal kuli Jawa. Apa kerjaanya di
sana? Apa lagi kalau bukan merayu istri kuli-kuli Jawa itu dengan membayar lebih besar?”
“Bukankah pembunuhnya harus dihukum?” “Kita tidak bisa memenjarakan kuli-kuli Jawa itu. Nanti siapa yang kerja?”
BD: 152. Konflik tidak hanya terjadi antara kuli Cina dengan kuli Jawa. Tetapi juga
antara kuli dengan para asisten perkebunan. Perlakuan kejam yang diterima membuat para kuli menyimpan dendam. Untuk melampiaskan dendam para kuli
bisanya menunggu waktu yang tepat untuk melampiaskan dendam mereka. Wiryo misalnya, ia dendam karena Jumilah dihukum karena menolak menjadi Nyai. Hal
ini tampak pada pernyataan: Wiryo mereba pinggang, meraih pisaunya yang disimpan melalui di balik
bajunya. Napas pemuda itu memburu. Dadanya turun naik. Keinginanya membunuh sudah sampai ke ubun-ubunnya kini siap meledak. Wiryo
segara menyerangkan pisau ke pinggang Tuan Asisten. Semua hampir terjadi ketika mandor Kosim tiba-tiba muncul. Lelaki itu menarik bahu
Wiryo BD: 94. Asisten Ba mati dibunuh Kisman dan Mistono. Saat itu tengah malam.
Hujan turun lebih lebat. Asisten Ba keluar dalam keadaan mabuk. Dia mengendari sendiri mobilnya. Kiman dan Mistono menunggu,
bersembunyi di balik pohon. Mereka tak peduli pada hujan yang membuat basah kuyup. Setelah beberapa jam, lampu mobil Asisten Ba terlihat
menembus kegelapan jalanan. Mobil itu berjalan pelan. Di saat, hmobil tidak bisa melaju kencang. Hujan membuat jalanan becek berlumpur BD:
196. Tidak hanya dengan kuli Jawa juga kuli Cina pun melakukan hal yang
sama seperti kuli Jawa. Mereka balas dendam terhadap asisten yang berlaku kejam terhadap mereka. Hal ini tampak pada pernyataan:
Tidak seorang pejabat kehakiman yang tahu kalau asisten itu sudah menyiksa kuli-kulinya. Dia tidak mendapat hukuman apa-apa.
Berselang satu bulan, disebuah kesempatan, segerompolan kuli Cina
93
membunuh asisten itu. Mereka membalaskan dendam teman mereka. Kematian telah menyelamatkan asisten itu dari hukum dunia BD:
193.
Selain dengan cara membalaskan dendam kuli-kuli ada yang memilih cara lain untuk bebas dari penderitaan. Ada kuli yang mencoba dengan lari dari
perkebunan ada pula yang melanggar hukum agar mereka dihukum. Hukuman mereka terima dianggap sebagai pembebas penderitaan. Hal ini tampak pada
pernyataan: Kini, Kasan merasa lepas dari belenggu baja yang menghimpit kaki dan
dadanya-belenggu baja uang berupa aturan yang diciptakan oleh tuan-tuan Eropa dan dan tuan-tuan pribumi di perkebunan. Hutan belantara
memberiakannya kebebasan. Untuk pertama kalinya dia berani melarikan diri meski dia masih terikat kontrak. Kasan tahu hukuman yang akan
didapatnya bila tertangkap. Tapi, dia tidak memikirkan itu. Sama sekali tidak peduli. Sekarang, dia hanya ingin meikmati kebebasan BD, 2006:
258-259 . Para stinkers telah bersikap baik dalam penjara. Begitu pula kuli-kuli Jawa
itu. Sebab, mereka sudah memilih: lebih baik masik penjara daripada menderita perkebunan. Mereka pun sengaja melakukan kesalahan. Kenapa
mereka sengaja membuat kesalahan? Itu karena mereka ingin mendapat hukuman. Benar-benar ingin dihukum. Mereka mencuri bukan karena
ingin mendapatkan barang yang ingin dicuri melainkan agar dihukum. Mereka sengaja malas bekerja agar dihukum. Seberat apa pun hukuman
yang ditimpakan, itu memberikan napas lega bagi mereka untuk lepas dari penderitaan hidup di perkebunan BD: 186
Simpulan yang dapat diambil bahwa perbudakan telah menimbulkan
kesengsaran bagi kuli-kuli. Mereka hidup dalam penderitaan dan kedudukan mereka tidak lebih tinggi dari hewan ternak. Perbudakan juga menyulut konflik
antara kuli dengan majikan dan kuli dengan kuli. Manusia diciptakan dengan kedudukan yang sama, yang membedakanya perilakunya di hadapan Tuhan.
2. Kesehjahteraan Kuli yang Diabaikan oleh Perusahaan Perkebunan.