Kekerasan Terhadap Kuli Kontrak Dalam Novel Berjuta-Juta Dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contact Karya Emil W. Amelia

(1)

KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA

EMIL W. AULIA

SKRIPSI

Oleh

Dwi Febvianora NIM O40701022

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan

KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA

EMIL W. AULIA

Oleh Dwi Febvianora NIM 040701022

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Pertampilan S. Brahmana, M.Si. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P.

NIP 131570493 NIP 131659305

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP 131676481


(3)

KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA

EMIL W. AULIA

Abstrak

Penelitian ini membahas kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel

Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur dan mendeskripsikan kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Penelitian ini diharapkan bermanfaat memperkaya referensi ilmu pengetahuan khususnya ilmu sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Teknik pengkajian dilakukan dengan analisis deskriptif dan pengklasifikasian data. Analisis dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra dan teori kekerasan Galtung.

Kesimpulan terhadap analisis novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia adalah bahwa novel ini merupakan potret kehidupan sosial masyarakat perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Para buruh (koeli kontrak) banyak mengalami berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan itu berupa kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan represif, dan kekerasan alienatif.


(4)

PRAKATA

Skripsi ini berjudul “Kekerasan Terhadap Kuli Kontrak dalam Novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia." Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi karena kuatnya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara, PD I Bapak Drs. Aminullah, M.A., Ph.D, PD II Bapak Drs. Samsul Tarigan, dan PD III Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum.

3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum selaku Ketua Departemen dan Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Pertampilan S. Brahmana, M.Si sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P sebagai Pembimbing II.

5. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si, Pembimbing Akademik yang selalu berusaha menjadi orang tua yang baik bagi penulis di kampus.


(5)

6. Staf pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Sastra Indonesia, dan Kak Fitri, petugas administrasi di Departemen Sastra Indonesia.

7. Kedua orangtua tercinta yang selalu berusaha mengerti dan terus memberikan perhatian dan kasih sayang kepada penulis.

8. Kak Nuning, Bang Sawal, Putra, dan Uki yang selalu mendukung penulis baik dalam doa dan perhatiannya.

9. Seluruh keluarga besar di Pematang Bandar yang selalu bangga kepada penulis. 10.Teman-teman satu angkatan, Ramayulis, Julia, Rita, Ratu, Prinsi, Vanny, Tari,

dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

11.Adik-adik di Departemen Sastra Indonesia, terutama Tika yang selalu cerewet. 12.Teman terdekat penulis, Erwin yang selalu sibuk dan Joko S. yang sekarang jauh

di Ambon manise.

13.Khusus buat Mas Hendri yang tidak pernah bosan memotivasi dan memberikan perhatian, doa, dan dukungannya selama ini kepada penulis.

Akhirnya dengan kebesaran hati penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ABSTRAK

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.2 Masalah ... 5

1.2Batasan Masalah ... 6

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.4Metode Penelitian ... 7

1.4.1 Data Penelitian ... 7

1.4.2 Metode dan Teknik Pengklasifikasian Data ... 8

1.4.3 Metode dan Teknik Penyajian Data ... 8


(7)

BAB II : TINJAUAN SOSIAL POLITIK PERKEBUNAN TEMBAKAU DI SUMATERA TIMUR

2.1 Sejarah Penjajahan Kolonial Belanda Di Indonesia ... 13

2.2 Sejarah Perkebunan Tembakau Di Deli ... 15

2.3 Tembakau Deli sebagai Komoditas Ekspor ... 18

2.4 Perkebunan Tembakau sebagai Sarana Perbudakan ... 21

BAB III : KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT 3.1 Perkebunan Deli dan Kekerasan Versi BDSHKC... 27

3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam perkebunan Versi BDSHKC ... 27

3.2.1 Kekerasan Langsung ... 28

3.2.1.1 Awal Mendaftar Jadi Kuli ... 31

3.2.1.2 Dalam Perjalanan Menuju Tanah Deli ... 34

3.2.1.4 Setelah Menjadi Kuli ... 36

3.2.2 Kekerasan Tidak Langsung ... 42

3.2.2.1 Awal Mendaftar Jadi Kuli ... 44

3.2.2.2 Setelah Menjadi kuli ... 45

3.2.3 Kekerasan Represif ... 53

3.2.3.1 Dalam Perjalanan menuju Tanah Deli ... 54

3.2.3.2 Setelah Menjadi Kuli ... 57


(8)

BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan ... 68 3.2 Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA


(9)

KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA

EMIL W. AULIA

Abstrak

Penelitian ini membahas kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel

Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur dan mendeskripsikan kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Penelitian ini diharapkan bermanfaat memperkaya referensi ilmu pengetahuan khususnya ilmu sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Teknik pengkajian dilakukan dengan analisis deskriptif dan pengklasifikasian data. Analisis dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra dan teori kekerasan Galtung.

Kesimpulan terhadap analisis novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia adalah bahwa novel ini merupakan potret kehidupan sosial masyarakat perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Para buruh (koeli kontrak) banyak mengalami berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan itu berupa kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan represif, dan kekerasan alienatif.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Sastra adalah roh kebudayaan. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kebudayaan sebuah bangsa yang lahir, tumbuh, dan bergerak mengikut i dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya. Karya sastra tidak lahir dari peristiwa sesaat yang sekali jadi. Ia lahir dari proses kegelisahan sastrawan yang panjang yang menyangkut problem sosial, kultural, bahkan politik-ideologi, dan ketidakpuasan rasa intelektual. Proses itu menggelinding, meloncat, bahkan menjadi sebuah ledakan, mengikuti gerak dan dinamika yang terjadi di tengah masyarakatnya (Mahayana, 2007:5).

Hubungan sastra dan masyarakatnya tidak jarang memberi pengaruh timbal balik. Greibstein mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya tersendiri. Hal ini dikarenakan setiap karya sastra adalah hasil dari timbal balik dari faktor-faktor sosial budaya (Damono, 1984:4) . Karya sastra sebagai salah satu bentuk karya seni merupakan cermin dari masyarakat tempat karya sastra tersebut dilahirkan. Ungkapan Abrams (Dardiri, 2007:153) yang menyatakan “art is like a mirror”, menunjukkan pernyataan tersebut.


(11)

Karya sastra merupakan imitasi dari semesta dan disebut sebagai refleksi masyarakat. Karya sastra lahir dari seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial (Damono, 2002:1). Maka tidak dapat diingkari bahwa pada hakekatnya karya sastra adalah potret sosial yang di dalamnya tergambar sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik yang berkaitan dengan pola struktur, fungsi , maupun aktivitas dan kondisi sosial budayanya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada masa tertentu. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.

Wellek dan Waren (1989:276) mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra seorang pengarang mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmasyarakat berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman manusia. Hal ini menjelaskan bahwa sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan sejarah sosial.


(12)

kontemporer sebagai bahan. Peristiwa sejarah kontemporer itu barangkali di zaman pengarangnya hanya dianggap sebagai peristiwa sosial, tetapi bagi generasi sesudahnya dapat diangkat sebagai peristiwa sejarah. Dalam hubungan ini, novel sosial dan peristiwa sejarah dapat mempunyai hubungan timbal balik. Karya sastra menjadi saksi dan diilhami oleh zamannya, dan sebaliknya karya sastra itu dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah zamannya dengan membentuk sebuah pendapat publik (Dardiri, 2007:153).

Oleh karena itu, hubungan karya sastra dengan masyarakat, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Sebab karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan. Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia inilah yang menjadikan karya sastra sangat dekat dengan masyarakat.

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sastra merupakan refleksi perenungan kultural sastrawan. Sebagai perenungan kultural, ia dapat menjadi potret budaya dan dokumen sosial yang di dalamnya terdapat fakta historis dan gambaran kondisi sosial.

Salah satu hasil perenungan kultural tersebut adalah novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract (selanjutnya disingkat BDSHKC) karya Emil W. Aulia. Pada sekitar pertengahan kedua abad kesembilan belas terjadi perubahan dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda kian mengurangi campur tangan langsung dalam produksi ekonomi dan merasa cukup


(13)

hanya menciptakan berbagai fasilitas untuk mendorong inisiatif swasta (Breman, 1997:15). Ketika sistem paksa (cultuurstelsel) akhirnya dihapuskan, pihak swasta justru mendapat kesempatan luas untuk berkiprah. Jadi, peran dominan pertanian dalam kegiatan ekonomi terus berlangsung. Praktek usaha kapitalis dengan kebijakan kolonial pada waktu itu membentuk sebuah masyarakat perkebunan tembakau di Sumatera Timur yang banyak mempekerjakan kuli kontrak dari Cina dan pulau Jawa.

Menurut Nienhuys,di Deli segalanya harus diimpor, baik para majikan maupun para kuli-kulinya. Staf datang langsung dari Eropa, kulinya dari Jawa. Hal ini dikarenakan Sultan Deli hanya dapat memberikan tanah, bukan tenaga buruh karena penduduk pribumi seperti Batak dan Melayu tidak dapat dibujuk atau dipaksa oleh para pejabat lokal atau asing agar mau bekerja untuk perkebunan. Oleh karena itu, para pengusaha perkebunan terpaksa mencari tenaga kerja dari tempat lain seperti Malaya, Singapura, dan Cina, kemudian dari desa-desa miskin di Jawa Tengah. Perekrutan buruh tersebut dilakukan melalui calo-calo (Stoler, 2005:23).

Bersamaan dengan meluasnya usaha perekrutan buruh di Jawa, maka badan-badan imigrasi liar juga banyak bermunculan. Namun, yang tampak bukan seperti usaha perekrutan buruh, melainkan pasar perdagangan besar yang ditujukan kepada penjualan buruh. Di Sumatera, paksaan tetap menjadi dasar sistem perburuhan. Diberlakukannya sanksi pidana (poenale sanctie) secara keras, membuat kuli yang melarikan diri atau menolak bekerja akan dijatuhi hukuman yang berat. Hubungan antara tuan kebun dan kuli yang diwarnai kekerasan itu adalah bentuk ekstrem dari


(14)

Novel BDSHKC merupakan contoh nyata bahwa karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat pada zamannya (kolonial Belanda). Kisah tentang kekuasaan pemerintah Belanda, khususnya tuan kebun di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara) yang menyiksa para kuli kontrak dengan berbagai bentuk kekerasan melalui praktek ordonansi kuli tertuang dalam novel ini secara gamblang.

Melalui argumen di atas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis novel ini, khususnya untuk melihat tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur, khususnya tentang kekerasan yang dilakukan oleh tuan kebun terhadap kuli kontrak.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur?

2. Bagaimanakah bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel BDSHKC


(15)

1.2 Batasan Masalah

Kompleksitas dalam kehidupan manusia sering digambarkan dalam karya sastra. Sebuah karya sastra dapat berupa kumpulan dari permasalahan kehidupan yang begitu kompleks. Karena itu, karya sastra mampu memberikan suatu gambaran dan pemahaman yang mendalam kepada pembaca tentang kehidupan manusia.

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur, khususnya tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak yang digambarkan dalam novel BDSHKC ini.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur.

2. Untuk mendeskripsikan bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak versi novel

BDSHKC.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan bermanfaat nantinya untuk:


(16)

2. Memberikan gambaran keadaan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel BDSHKC ini.

3. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa karya sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat yang diambil dari kenyataan sosial yang terjadi.

1.4Metode Penelitian 1.4.1 Data Penelitian

Data penelitian ini adalah novel:

Judul : Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract Pengarang : Emil W. Aulia

Tebal : 261 halaman

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : 2006

Ukuran : 20 x 15 cm

Kulit Depan : Warna sampul putih dengan motif gambar tuan kebun dan sepasang kuli kontrak di ladang tembakau.

Kulit Belakang : Warna sampul putih dengan motif gambar ladang tembakau.


(17)

1.4.2 Metode dan Teknik Pengklasifikasian Data

Penelitian ini termasuk penelitian perpustakaan. Untuk mengumpulkan data, metode yang digunakan adalah dengan membaca novel yang diteliti sekaligus mengklasifikasikannya berdasarkan permasalahan. Pengklasifikasian data dilakukan dengan memilih kasus kekerasan, bentuk kekerasan yang sejenis dikelompokkan menjadi satu.

1.4.3 Metode dan Tenik Penyajian Data

Dalam menganalisis data, objek yang akan dianalisis dibaca terlebih dahulu kemudian dikelompokkan berdasarkan masalah dan diadakan studi perpustakaan. Selanjutnya dilakukan penyusunan dan penganalisisan data serta penafsiran data. Setelah melewati tahap-tahap tersebut maka kesimpulan merupakan langkah akhir dalam menyusun laporan penelitian.

1.4 Landasan Teori

Landasan teori merupakan kerangka dasar dalam suatu penelitian dan mutlak diperlukan. Untuk sahihnya suatu penelitian, tentunya ada teori yang mendasari penelitian tersebut.

Objek karya sastra adalah realitas kehidupan. Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, karya sastra mencoba merekonstruksikan peristiwa itu ke dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut


(18)

adalah realitas kehidupan dan realitas yang ada di dalam novel BDSHKC merupakan sebuah peristiwa sejarah, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra.

Untuk mengetahui suatu masyarakat berdasarkan karya sastranya dapat dilakukan pengkajian terhadap sebuah karya dengan memfokuskan perhatian pada segi-segi sosial kemasyarakatannya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini disebut sosiologi sastra. Sosiologi sastra adalah suatu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Sesuai dengan tujuan sosiologi sastra yang dikeukakan oleh Ratna (2003:11), yaitu meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas didekonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial.

Pendapat lain dikemukakan oleh Zerafta. Menurut Zerafta,bentuk dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan seni lain (Fananie, 2001:194). Karenanya, karya sastra seringkali tampak terikat dengan momentum khusus dalam sejarah masyarakat. Pandangan ini didukung pula oleh Mahayana (2007:311) yang mengemukakan bahwa sastra sejatinya bukanlah sekedar menampilkan sebuah dunia rekaan, bukan pula semata-mata menghadirkan peristiwa-peristiwa imajinatif. Ia dapat diperlakukan sebagai potret sosial jika di dalamnya terungkap problem dan kegelisahan yang terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan. Dengan demikian, sastra dapat dipandang sebagai dokumen sosial; sebagai cermin


(19)

masyarakat atau pantulan hasrat terpendam dan semangat individu atau komunitas yang (mungkin) menjadi harapan sastrawannya.

Novel BDSHKC merupakan novel yang menggambarkan kejadian mengenai kuli kontrak di Sumatera Timur pada masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut. Situasi yang digambarkan penulis dalam novel ini merupakan gambaran kekerasan yang dialami oleh buruh kuli kontrak. Walaupun novel ini seolah-olah fakta sejarah yang dapat dijadikan bahan studi sejarah, namun novel ini tetap fiksi. Hal ini dikarenakan sifat karya sastra itu bersifat imajinasi. Realitas yang sesungguhnya kerapkali sudah dimanipulasi, direkontruksi pengarang untuk tujuan tertentu.

Dari sisi lain, digunakan juga teori kekerasan untuk memaknai novel ini. Kekerasan (KBBI, 2003:550) adalah paksaan, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Memang istilah kekerasan memiliki pengertian yang sangat luas. Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks yang sempit, yakni seperti perang, pembunuhan, atau kekacauan saja, padahal kekerasan itu bentuknya bermacam-macam. Fenomena yang dapat dikategorikan dalam kekerasan seperti ini banyak sekali jumlahnya. Jika orang beranggapan bahwa setiap tindakan yang mengganggu fisik atau kondisi psikologis seseorang adalah satu bentuk kekerasan, maka rasisme dan kemiskinan dapat juga dianggap sebagai kekerasan.


(20)

Menurut Windhu, kekerasan berarti mengandung tekanan dan desakan yang keras. Kekerasan ini membawa paksaan dan tekanan (Fananie, 2001:194). Tidak jauh berbeda dengan pendapat Poerwandari yang mengemukakan bahwa:

Kekerasan adalah semua bentuk tindakan, intensional dan ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan yang menyebabkan manusia lain mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan cuma dalam artian fisik. Kekerasan yang dimaksudkan dapat dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin oleh negara (baik oleh aparatnya, maupun sebagai suatu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban maupun yang tidak dikenal korban, dapat merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk kebencian suku dan agama, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya kekerasan laki-laki terhadap lain, individu atau kelompok, kekerasan laki-laki (masyarakat) terhadap perempuan, mungkin pula kekerasan perempuan terhadap manusia lain, tidak mustahil pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutilasi, masokisme, atau pembunuhan diri. (Pitaloka, 2004:11)

Oleh karena itu, kekerasan dalam hal ini, bukanlah dalam pengertian yang sempit saja, melainkan pengertian yang lebih luas sebagaimana yang dipaparkan oleh Galtung. Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnnya (Windhu, 1992:64). Kekerasan di sini didefiniskan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual.

Oleh karena itu, kekerasan dalam hal ini, bukanlah dalam pengertian yang sempit saja, melainkan pengertian yang lebih luas sebagaimana yang dipaparkan oleh Galtung (Salmi, 2003:31). Kekerasan menurut Galtung ada empat kategori. Pertama, kekerasan langsung (direct violence) yaitu kekerasan yang mengacu kepada tindakan menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Yang termasuk dalam


(21)

kategori ini adalah semua bentuk pembunuhan (homocide) dan juga semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik dan psikologis seseorang, misalnya pengusiran paksa, penculikan, penyiksaan, dan pemerkosaan.

Kedua, kekerasan tidak langsung (indirect violence) yaitu tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggungjawab atas tindakan kekerasan tersebut. Ketiga, kekerasan represif (repressive violence) yaitu kekerasan yang walaupun tidak membahayakan kehidupan manusia, namun merupakan pelanggaran berat dalam mengekang kebebasan, martabat manusia, dan kesamaan hak bagi setiap manusia. Kekerasan represif ini terkait dengan hak sipil, seperti kebebasan berpikir, kebebasan bergerak,dan kesamaan di depan hukum.

Keempat, kekerasan alienatif (alienating violence) yaitu merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya, dan intelektual. Salah satu bentuk kekerasan alienatif adalah ethnocide, yakni kebijakan atau tindakan yang mengubah kondisi material atau sosial menjadi di bawah satu identitas kultural kelompok tertentu, misalnya masalah rasisme.

Untuk menjelaskan, mengungkapkan kekerasan yang terdapat pada novel

BDSHKC karya Emil W. Aulia digunakan pandangan Galtung tersebut di atas tentang kekerasan.


(22)

BAB II

TINJAUAN SOSIAL POLITIK PERKEBUNAN TEMBAKAU DI SUMATERA TIMUR

2.1 Sejarah Penjajahan Kolonial Belanda di Indonesia

Praktek kolonial Belanda di Indonesia dimulai pada tahun 1596 ketika armada dagang mereka tiba untuk pertama kalinya di daerah Banten. Semula kedatangan armada dagang yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tersebut disambut baik oleh para penguasa setempat. Namun, lama-kelamaan Belanda memperlihatkan keserakahan dan ingin mengejar keuntungan sendiri. Akibatnya, mereka menyingkir karena dimusuhi oleh orang-orang Banten.

Dari daerah Banten, pedagang-pedagang Belanda melanjutkan pelayarannya sampai ke Maluku yang saat itu dikenal sebagai daerah pusat rempah-rempah. Mereka membentuk suatu gabungan perseroan sindikat dagang Belanda yang disebut dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang oleh pemerintah Belanda diberi hak eksklusif untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Salomon (Badrika, 2006:152-153).

Armada VOC datang ke Indonesia untuk melakukan pembelian rempah-rempah dengan mengadakan kontrak jual beli dengan pihak penguasa pribumi. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, VOC bertujuan menguasai dan memonopoli perdagangan di Indonesia. Dengan melakukan penaklukan dan penguasaan secara sepihak, Belanda berusaha menyingkirkan pedagang-pedagang asing lainnya, serta


(23)

memaksa penguasa pribumi untuk mengadakan perjanjian jual beli hanya kepada mereka (Fauzi, 1999:21).

Selama lebih kurang 200 tahun lamanya VOC berusaha merebut dan menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Selama kurun waktu itu pula VOC berhasil menguasai sebagian daerah di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi Selatan, dan Maluku Selatan. Namun, pada akhir abad ke-18, karena banyaknya pegawai yang korupsi dan ingin memperkaya diri mengakibatkan VOC bangkrut dan tidak dapat dipertahankan lagi. Setelah VOC dibubarkan, segala hak dan kewajibannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Maka sejak awal abad ke-19 Indonesia diperintah oleh kolonial Belanda.

Bagi bangsa Indonesia adanya pergantian dari VOC ke tangan pemerintah Belanda tidak mengalami perubahan. Bangsa yang menjajahnya tetap sama, yaitu bangsa Belanda. Semuanya hanya ingin mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa memperhatikan rakyat yang memiliknya. Oleh karena itu, kedua-duanya hanya membawa dampak buruk terhadap bangsa Indonesia. Hidup rakyat semakin sengsara dan menderita (Waridah, 2003:21).

Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, perkembangan perekonomian bangsa Belanda mengalami masa yang sangat suram. Mundurnya kegiatan perekonomian Belanda pada masa itu disebabkan karena negeri Belanda menjadi anggota koalisi untuk menghadapi pemerintahan Napoleon Bonaparte dari Perancis. Walaupun pada akhirnya pasukan koalisi menang dan Belanda terbebas dari penjajahan Perancis,


(24)

namun ekonomi negaranya merosot tajam, karena kas negeri Belanda telah kosong dan ditambah lagi adanya hutang luar negeri yang jumlahnya tidak sedikit.

Untuk mengatasi ekonomi negara seperti ini, pemerintah kolonial mencoba untuk menggali potensi Indonesia melalui pelaksanaan sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa ini memang telah membawa hasil yang sangat besar dalam memperbaiki perekonomian negara dan pemerintah Belanda, sehingga mereka terhindar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Namun dibalik itu, rakyat Indonesia justru semakin tertindas dan miskin (Waridah, 2003:21).

Setelah tanam paksa dihapuskan, sistem ekonomi yang diterapkan oleh kolonial Belanda pada saat itu adalah sistem ekonomi kapitalisme, yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. hal ini membuka peluang kepada pengusaha swasta asing yang terjun langsung dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, diantaranya adalah membentuk perkebunan-perkebunan dengan tanaman yang laku di pasaran Eropa, seperti perkebunan tembakau di Sumatera Timur.

2.2 Sejarah Perkebunan Tembakau di Deli

Sumatera Timur (Deli) sejak dahulu merupakan wilayah yang sangat kaya akan hasil perkebunan seperti lada, karet dan tembakau. Karena hasil perkebunan ini Sumatera Timur terkenal sampai ke benua Eropa. Faktor wilayah yang sangat strategis, tanah yang subur, dan iklim yang sangat mendukung dalam segi bercocok tanam semakin membangkitkan minat bangsa Belanda untuk menguasai daerah di


(25)

Sumatera Timur. Ketika pulau Jawa telah menjadi pusat penanaman tebu, para pengusaha justru mencoba mendirikan perkebunan tembakau di Sumatera Timur.

Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika kapal Josephine yang merapat di Belawan pada tanggal 7 Juli 1863 yang membawa orang-orang dari perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuys dari firma Van den Arend Surabaya. Rombongan yang dibawa Said Abdullah bin Umar Bilsagih ini diterima dengan sangat baik oleh Sultan Deli dan diberi tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 8.000 m) untuk kebun tembakau yang terletak di Labuhan Deli dengan

konsesi 20 tahu

Usaha penanaman tembakau ini awalnya gagal dan mengalami kerugian yang cukup besar. Namun Nienhuys tetap bersikukuh bahwa tanah Deli akan mendatangkan keuntungan yang besar jauh melebihi kerugian yang pernah dikeluarkan. Kegigihannya ini terbukti ketika bulan Maret tahun 1864 sampailah contoh daun tembakau Deli yang pertama kali ke Rotterdam, Belanda. Sambutan para pedagang terhadap daun tembakau Deli ini sangat memuaskan. Bahkan, tembakau Deli dinilai berkualitas tinggi untuk dijadikan bahan pembungkus cerutu. Keberhasilan ini mendorong P Van den Arend sebagai penanam modal memerintahkan Nienhuys untuk memperluas usahanya. Nienhuys pada saat itu telah berhasil membuktikan bahwa tembakau yang dihasilkan di Deli merupakan produk yang sangat menguntungkan di pasar perdagangan Eropa dan menjadikan Deli sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik di dunia (Erwin, 1999:3).


(26)

Untuk mengusahakan budidaya tembakau dalam skala besar, diperlukan modal lebih banyak lagi. Maka pada tahun 1869 Nienhuys mendirikan perusahaan Deli Maatschappij, perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda (Breman, 1997:26). Pada tahun 1870, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Maatschppij dari Labuhan ke Kampung Medan. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian ini mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang (http/id.wikipedia.org/wiki/Kota Medan).

Semakin berkembangnya suatu perkebunan, maka semakin banyak pula tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengelola perkebunan tersebut. Hal ini menjadi faktor kesulitan tersendiri bagi pengusaha perkebunan, karena pada saat itu untuk mendapatkan tenaga kerja yang harus dipekerjakan di perkebunan sulit untuk ditemukan. Menurut Pelzer (1885:54), menanam tembakau terutama tembakau pembungkus cerutu membutuhkan banyak tenaga kerja dan sebagaimana para pengusaha lainnya di berbagai daerah lainnya juga membutuhkan pekerja untuk dipekerjakan. Hal ini merupakan suatu masalah yang sangat sulit dihadapi para pengusaha perkebunan di Deli. Mereka tidak dapat mengharapkan penduduk setempat (orang Melayu dan Batak) karena dianggap tidak punya disiplin dan malas (Waridah, 2003:21). Bahkan menurut Nienhuys, orang Batak ia golongkan dalam bangsa yang umumnya bodoh (Breman, 1997:23).


(27)

Kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar pun sangat mendesak sehingga mereka merekrut tenaga kerja dari Cina dan desa-desa miskin di pulau Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh Stoler (2005:3), bahwa perusahaan perkebunan pantai timur Sumatera pada mulanya mengimpor pekerja Cina dan kemudian pekerja Jawa dalam jumlah ratusan ribu, yang ditampung dan diberi makan di barak-barak perkebunan dan diikat dengan status sebagai budak.

2.3 Tembakau Deli sebagai Komoditas Ekspor

Perkebunan tembakau Deli yang telah dirintis oleh Nienhuys dan para pionir pengusaha perkebunan lainnya telah membuat perekonomian Deli semakin maju karena Deli dijadikan sebagai wilayah untuk pertanian ekspor secara besar-besaran (Stoler, 2005:25). Seperti yang dikemukakan oleh John Anderson, bahwa penanaman tembakau di Deli sangat penting karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia (Pelzer, 1985:21).

Keberhasilan Nienhuys menggarap tembakau Deli menjadi begitu terkenal dibuktikan pada bulan Maret 1864, ketika contoh daun tembakau Deli yang pertama ke Rotterdam mendapatkan sambutan yang sangat memuaskan dari para pedagang tembakau. Daun tembakau Deli dianggap berkualitas baik dengan daya bakar dekblad

yang baik pula. Kedudukan tembakau Maryland dan Kentucky yang selama itu memegang pasar untuk konsumsi tembakau pipa bergeser dengan meningkatnya konsumsi cerutu, sehingga pasaran tembakau pembalut cerutu dari Havana, Cuba, dan


(28)

cerutu. Tembakau Jawa yang mula-mula menjadi pilihan adalah tembakau Rembang, kemudian berturut-turut menjadi pilihan pertama adalah tembakau Blitar, tembakau Kedu, tembakau Lumajang, tembakau vorstenlanden di Klaten dan tembakau Besuki. Namun setelah muncul tembakau dari Sumatera maka pilihan pertama untuk pembalut cerutu paling baik adalah tembakau Deli karena aroma dan mutunya yang khas. Oleh karena itu, tembakau Deli akhirnya dijadikan sebagai komoditi ekspor yang paling utama di Sumatera Timur (Erwin, 1999:3-4). Adapun perkembangan ekspor tembakau Deli ke Eropa dari tahun 1864-1900 dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 1.

Produksi tembakau di Sumatera Timur tahun 1864-1900 Tahun panen Jumlah bal

(a 158 kg)

Rata-rata harga/ 0,5 kg (gulden)

Nilai Jual (f)

1864 50 0,48 4.000

1869 1.381 1,29 250.000

1874 12.895 1,50 2.850.000

1879 57.596 1,19 10.350.000

1884 115.496 1,44 27.550.000

1889 184.322 1,46 40.600.000

1890 236.323 0,72 26.000.000

1892 144.682 1,26 26.700.000

1894 193.334 1,19 35.000.000

1899 264.100 0,82 33.300.000

1900 223.731 1,11 38.000.000

Sumber: Jan Breman, 1977:79

Dari tabel tersebut dapat dilihat ekonomi perkebunan di Sumatera Timur dalam jangka panjang mengalami perkembangan pesat, dengan pengecualian kemunduran seperti yang terjadi pada awal tahun 1890-an yang hanya bersifat


(29)

sementara. Tembakau Deli yang diekspor tersebut memberikan keuntungan bagi perusahaan. Hal itu tercermin dalam angka-angka keuntungan yang dicapai oleh pihak perkebunan setiap tahunnya selalu meningkat.

Bahkan, data-data tahun 1901 menunjukkan bahwa sudah terdapat 34.000 tapak luas tanah perkebunan tembakau yang produksinya ditaksir mencapai f 40 juta, yang harganya di pasaran bisa mencapai f 102 juta. Berdasarkan data itu pula dinyatakan bahwa jumlah keuntungan yang diterima oleh perkebunan tembakau Deli antara tahun 1864-1900 mencapai f 662 juta (Said,1977:74-75).

Begitu terkenalnya tembakau Deli pada saat itu bahkan masih bertahan hingga saat ini. Hal ini ditandai masih banyaknya perusahaan rokok cerutu di Eropa dan Amerika yang menggunakan simbol-simbol tembakau Sumatera sebagai wrapper atau lapisan terluar pembungkus cerutu. Ada pula perusahaan yang hanya sedikit sekali menggunakan tembakau Sumatera pada cerutunya, tetapi sudah menyebutkan bahwa cerutu tersebut mengandung daun tembakau Sumatera. Bahkan, Brazil yang merupakan negara penghasil daun tembakau cerutu juga berusaha menanam tembakau Deli. Seperti yang dilakukan oleh perusahaan Suerdieck Charutus di kota Bahia, di bagian tenggara Brazil yang setiap tahunnya menanam tembakau Deli seluas 500 Ha, dengan produktivitas yang sangat tinggi, namun mutu yang dihasilkan belum bisa mengimbangi mutu tembakau Sumatera yang ditanam di daerah Deli (Erwin,1999:11). Hal ini membuktikan bahwa tembakau Deli sebagai bahan cerutu dengan spesial sebagai pembalut luar (dekblaad) masih merupakan tembakau pilihan


(30)

2.4 Perkebunan Tembakau sebagai Sarana perbudakan

Ketika tanaman tembakau mulai dibudidayakan pada tahun 1869 di Sumatera Timur, pengusaha swasta mulai mengalami kendala dalam hal perekrutan tenaga kerja. Karena pada saat itu, tenaga kerja masih langka dan tidak sebanding dengan luas tanah yang ada. Maka pada awalnya diupayakan perekrutan kuli dari Cina sebanyak 800-900 orang. Selain orang Cina, beberapa ratus orang keling dari India dan Jawa juga didatangkan ke Sumatera Timur (Breman, 1989:23).

Orang Cina yang didatangkan ke wilayah Sumatera Timur sampai tahun 1913 mengalami peningkatan yang cepat. Banyaknya orang Cina di wilayah sumatera Timur telah membuka peluang terdapatnya kelompok-kelompok diantara mereka.

Kongsi merupakan sebutan bagi kelompok tenaga kerja Cina. Tingginya mobilitas orang Cina telah memberikan kebebasan kepada agen atau kantor emigrasi untuk bertindak sebagai perekrut tenaga kerja atau pun sebagai pedagang perantara. Ketika pecah perang dunia I, akibat blokade laut, timbul kesulitan perekrutan tenaga kerja dari Cina. Akhirnya diupayakan tenaga kerja dari pulau Jawa karena ketabahan dan ketekunan orang Jawa dalam bekerja dianggap lebih daripada orang Cina (Mubyarto, 1992:117-118).

Perolehan tenaga kerja dari Jawa yang lazim disebut kuli memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik untuk transportasi maupun untuk membeli para kuli tersebut. Dengan perantaraan makelar atau tukang werek (dalam bahasa Belanda werven yang berarti mengajak orang bekerja di perusahaan) para kuli diperoleh dengan bujuk rayu


(31)

dan berbagai tipuan. Dengan mudah para makelar mendapatkan calon kuli, khususnya yang terhimpit secara ekonomi dan ingin mengubah nasib.

Eric Wolf menyatakan bahwa dimanapun perkebunan itu timbul atau diimpor dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan ketentuan budaya yang dilanda olehnya. Beraneka ragam bentuk tindakan bujukan dan paksaan yang telah digunakan ini ternyata efektif untuk menjamin keberhasilan ekspansi perkebunan (Stoler, 2005:13-14).

Kuli adalah istilah khas kolonial. Maknanya sangat merendahkan derajat si kuli. Hal itu sesuai dengan penindasan yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan tersebut terhadap mereka. Istilah kuli berasal dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggris, yaitu cooli yang berarti pengambil upah. Istilah itu sendiri sebenarnya bukan berarti rendah, rendahnya nama itu hanya karena selama pekerjaan itu dikerjakan mereka tidak bebas dan tidak boleh mengangkat muka, sehingga istilah itu sendiri turut menurun maknanya (Said, 1977:63-64). Seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto (1992:118) bahwa dalam menempuh perjalanan ke “tanah berjanji”, nasib yang dialami oleh para kuli tidak ubahnya seperti ternak yang akan dibawa ke pembantaian dalam gerbong kereta api tertutup. Sebelum memasuki kamp kerja, para kuli diwajibkan menandatangani kontrak kerja tanpa dapat mengetahui dan memahami isinya.


(32)

Guna mendukung pembangunan industri perkebunan, maka pada tahun 1880 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang bersifat otoriter yang merupakan landasan kontrak kerja yang telah diatur khusus bagi wilayah Sumatera Timur. Kebijakan itu dikenal sebagai koeli ordonantie (peraturan tentang kuli) (Stoler, 2005:44). Peraturan ini sebenarnya ditujukan untuk memberikan kepastian kedudukan buruh dan majikan, tetapi pada kenyataannya majikan sama sekali tidak terikat dalam perjanjian kerja tersebut.

Bahkan menurut Soepomo, pihak majikan mempunyai wewenang atas pribadi tenaga buruh. Ordonansi ini menetapkan bahwa sebagai imbalan biaya pelayaran ke Deli seorang kuli diwajibkan bekerja selama tiga tahun. Untuk mengikat para kuli maka diberlakukanlah sanksi pidana (poenale sanctie) secara keras (Mubyarto, 1992:119).

Kontrak kerja awalnya dilakukan dengan tujuan memperoleh kerja efisien melalui pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dengan upah yang cukup murah. Dengan cara inilah para pengusaha perkebunan memperoleh kontrol sepenuhnya atas para pekerja. Mereka menganggap berhak mengawasi sendiri pelaksanaan disiplin kerja yang keras dan menghukum kuli yang tidak memenuhi kewajiban (Breman, 1992:31). Namun, berlakunya ordonansi kuli dan sanksi pidana tersebut justru membuat para pengusaha perkebunan semakin berbuat tindakan yang sewenang-wenang. Pukulan, cambukan, tendangan, dan berbagai penyiksaan lainnya sering menimpa kuli-kuli tersebut. Seorang administratur yang menyiksa secara keji kuli yang berbuat sedikit kesalahan atau seorang asisten yang menyalahgunakan


(33)

kekuasaan dengan menjebloskan seorang kuli ke dalam penjara agar dapat menguasai istrinya sudah menjadi hal biasa di perkebunan Deli. Kebijakan itu telah disalahgunakan oleh pengusaha perkebunan untuk melegalkannya perbudakan terhadap para kuli yang bekerja.

Seperti yang dikatakan oleh Rhemrev, bahwa hubungan antara majikan dengan kuli kontrak adalah sedemikian rupa sehingga di satu pihak majikan selalu merasa yakin bahwa dirinya berhak menguasai kuli dan di pihak lainnya, para kuli juga merasa yakin bahwa dirinya tergantung sepenuhnya pada majikan. Jadi, di salah satu pihak penyalahgunaan kekuasaan, di lain pihak penyerahan diri sepenuhnya sebagai budak. Sifat bengis, tidak kenal perasaan, dan kejam di pihak si tuan, sebaliknya sikap merendahkan diri yang berlebihan dan pendendam di pihak kuli (Breman, 1992:234-235). Apalagi dengan adanya paham di kalangan pengusaha perkebunan yang menganggap bahwa seorang tuan kebun tidak akan dianggap berhasil dan sukses jika tidak dapat menundukkan kuli membuat mereka terpacu untuk memperlakukan kuli-kuli itu secara kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Dixon mengatakan bahwa secara teoretis, orang bisa menjadi tuan kebun terbaik di dunia jika tahu benar bagaimana menanam dan merawat tembakau, tapi di Deli ia tidak akan berguna jika tidak mampu membuat orang tunduk padanya. Hidup matinya seorang asisten atau tuan kebun di Deli adalah wibawanya (Breman, 1992:85).


(34)

antara asisten terendah yang menerima gaji sebesar ƒ350-ƒ540 setiap bulan pada tahun 1926, yang berarti 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan upah kuli yang hanya menerima ƒ19,50 setiap bulan. Bahkan, demi tercapainya sistem kerja yang efisien, para pengusaha menetapkan kebijakan upah kuli perempuan harus lebih rendah dibandingkan kuli laki-laki. Maka tidak jarang seorang kuli perempuan terpaksa melacurkan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Upah yang kecil ini sangat tidak sesuai jika dibandingkan dengan eksploitasi tenaga mereka yang diperas lebih kurang 10-12 jam sehari dan acapkali harus kerja lembur. Istilah kuli kontrak memang tidak dapat lepas dari kondisi mereka yang selalu dijerat dengan keroyalan yaitu, perjudian, candu, dan pelacuran. Dalam keadaan semacam ini maka persekot upah yang mereka terima ludes, sehingga akhirnya para kuli akan terus-menerus memperpanjang kontrak (Mubyarto, 1992:119).

Politik etis yang menyebutkan bahwa upaya meningkatkan taraf ekonomi dan sosial penduduk pribumi menjadi tugas penting pemerintahan kolonial akhirnya tidak pernah berjalan. Ini adalah tujuan yang terutama hanya diakui di atas kertas. Dalam praktek, apa yang dinamakan politik etis itu berbenturan dengan keyakinan penguasa, yaitu bahwa memajukan orang Asia hanya dapat dilakukan dengan tangan besi. Kuli tidaklah lebih dari “seekor binatang” di mata majikan, yang harus didisplinkan dengan tangan besi (Breman,1992:xxiv).

Bahkan menurut van Kol, kuli-kuli kontrak itu selalu mengalami berbagai hal yang sangat tidak manusiawi di perkebunan Deli. Makanan yang tidak pernah cukup, penganiayaan yang kejam, perampasan kemerdekaan pribadi, kematian-kematian


(35)

yang dipaksakan bagi seorang tahanan yang tidak berdosa, merajalelanya pelacuran yang mengakibatkan timbulnya penyakit sipilis yang berjangkit, orang-orang lari yang direjam, pemuatan kuli-kuli secara padat diluar kapasitas kapal dan rumah sakit jelek yang mengakibatkan kematian pasien, mayat-mayat yang tidak tentu ditanam, dan bahkan sebagian dari kuli-kuli itu memilih untuk bunuh diri sebagai jalan agar mereka tersingkir dari ketidakberdayaan (Said,1977:74).


(36)

BAB III

KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT

3.1 Perkebunan Deli dan Kekerasan versi BDSHKC

Deli merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak Nienhuys membuka perkebunan tembakau tahun 1864. Keberadaan Deli semakin hari semakin berubah dengan munculnya perusahaan dan perkebunan tembakau. Deli menjadi suatu daerah yang kaya, terutama untuk orang-orang Belanda. Begitu juga dengan para raja dan sultan yang tidak terlepas untuk mengambil keuntungan. Istana, mesjid, dan taman yang megah didirikan sehingga menjadikan Deli sebagai kota termodern di Asia Timur (Erwin, 1999:7). Begitu pentingnya arti perkebunan Deli bagi Belanda sehingga disemboyankan “Molken is Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de Toekomst”, artinya Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang.

Dalam novel BDSHKC, Deli adalah sebuah tempat yang terletak di kawasan Sumatera Timur yang sangat termahsyur dengan tembakaunya yang terkenal di seantero dunia. Namun, di balik nama besarnya itu, Deli juga merupakan tempat dimana para kuli kontrak yang telah dicabut hak dan kebebasannya oleh para tuan kebun dengan sewenang-wenang.

“Lihatlah, Deli begitu makmur bagi orang Belanda dan Eropa. Mereka banjir uang karena panen tembakau yang terkenal. Lihatlah, Medan terang benderang karena cahaya listrik, mempunyai hotel-hotel kelas


(37)

satu dan tempat rekreasi yang nyaman. Orang-orang minum sampanye, makan, membuat pesta-pesta meriah. Sementara di sekitarnya juga berkembang ketiadaan adab dan kezaliman yang tak terkira. Deli adalah kuburan!” (BDSHKC:3).

Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa telah terjadi ketimpangan antara tuan kebun dengan kuli. Sementara tuan kebun menikmati keuntungan yang berlimpah, para kuli hanya bisa menderita atas penindasan yang telah mereka terima. Deli yang disebut sebagai tanah penghasil dolar itu ternyata juga menjadi tempat terjadinya begitu banyak penyiksaan dan ketidakadilan.

Kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan Deli sebagian besar didatangkan dari Cina dan Jawa. Pada umumnya mereka terbujuk oleh mulut manis makelar pencari tenaga kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa yang miskin, sehingga dengan mudah tertipu dan akhirnya mau dijadikan sebagai kuli.

“Bayangan tentang negeri rupawan di tanah seberang itu membuat gelisah lelaki-lelaki desa. Deli mengganggu tidur malam mereka yang biasanya selalu nyenyak. Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit… arak… emas… perempuan-perempuan ronggeng… Ah, apa lagi yang lebih penting dari semua ini?”

Namun, ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka dengar tentang Deli yang penuh dengan kemewahan itu tidaklah menjadi kenyataan. Mereka malah dipertemukan dengan sosok-sosok penguasa yang menganggap mereka tidak ubahnya seperti hewan peliharaan. Berbagai bentuk penyiksaan dan penindasan mulai mereka terima sejak keberangkatan hingga akhirnya mereka benar-benar bekerja di Deli


(38)

“Seketika, mereka dihadapkan pada kenyataan-kebyataan perih. Mereka bertemu sosok-sosok asing yang berkuasa. Sosok-sosok yang menggenggam kehidupan mereka, kehidupan orang-orang yang jiwanya telah tergadai. Mereka dibentak-bentak, dikasari, dihinakan. Mereka menerima semua itu dengan perasaan yang sama: gentar. Tidak terbit secercah harapan pun keinginan untuk melawan. Sekonyong-konyong jiwa mereka mati. Mereka seperti patung. Diam, lesu, dan pasrah. Orang-orang menyebutnya orang kontrak. Apa artinya, mereka tidak persis mengerti. Yang mereka tahu setelah sebutan itu mereka pikul, mereka harus patuh. Harus tunduk. Mereka takuti semua yang kemudian terjadi seperti hantu” (BDSHKC:49).

Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa para kuli kontrak itu telah menerima perlakuan yang tidak semestinya. Walaupun mereka selalu dihina dan ditindas, namun mereka hanya bisa diam tanpa ada perlawanan. Kekuasaan yang dimiliki oleh tuan kebun beserta centeng atau mandor yang ditugaskan untuk mengawasi para kuli tersebut membuat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Bentakan atau makian yang kasar sering mereka terima, seolah-olah mereka tidak lagi memiliki harga diri sebagai manusia. Umpatan ‘anak babi’ (hal 23, 55, 69 ), ‘anak kerbau’ (hal 67, 70), ‘anak setan’ (hal 23, 47, 55 ), ‘anak sundal’ (hal 67, 77), ‘monyet’ (hal 55, 77) dan ‘anjing kontrak’ (hal 19, 20, 22, 35, 39, 77), sudah biasa terdengar di telinga mereka setiap harinya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Mandor-mandor sudah mengitari pondok-pondok. Membawa tampang yang dibuat bengis sambil melinting kumis, mereka berteriak-teriak. Selalu marah. Selalu memaki-maki.

“Bangun!!!! Banguunnnnn!!!!”

“Dasar anjing kontrak pemalas! Bisanya cuma tidur pulas!” “Bangun anak sundal!!!!!”

Lekas kerja anak kerbau!!!!” (BDSHKC:67). Selanjutnya juga dapat dilihat pada kutipan berikut ini.


(39)

“Anjing pemalas!” “Cangkul yang cepat!” “Lebih cepat, monyetttt!!!!!” “Anak sundal!”

“Lebih cepaaatttttt!!!!” (BDSHKC:77)

Tidak hanya makian saja yang mereka terima, kekerasan fisik dan penganiayaan pun kerap mereka terima.

3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Perkebunan Versi BDSHKC 3.2.1 Kekerasan Langsung

Pada dasarnya kekerasan langsung berhubungan dengan semua tindakan yang menganggu hak-hak asasi manusia yang paling mendasar, yakni hak untuk hidup. Bahkan, kekerasan ini mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis secara langsung. Menurut Galtung, kekerasan fisik terjadi apabila ada fisik yang disakiti secara jasmani sedangkan kekerasan psikologis dapat berupa kebohongan, pencucian otak, indoktrinasi, ancaman, dan intimidasi (Sihombing:2005:9).

Dalam novel BDSHKC, kekerasan langsung ini dialami oleh sebagian besar kuli kontrak selama bekerja di perkebunan Deli. Penyiksaan adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh kuli-kuli tersebut. Menurut Kasim (2001:147-148), penyiksaan merupakan bentuk yang lebih buruk dan disengaja dari perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat.


(40)

Berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan ini sudah menjadi hal yang biasa terjadi di Deli pada saat itu. Pukulan, cambukan, tendangan, tamparan, makian dan bentakan yang kasar sudah menjadi makanan sehari-hari kuli-kuli kontrak. Mulai dari awal pendaftaran menjadi kuli, proses pemberangkatan, hingga akhirnya bekerja di Deli, mereka kerap menerima berbagai bentuk kekerasan.

3.2.1.1Awal Mendaftar Jadi Kuli

Dalam novel BDSHKC, kuli-kuli kontrak telah mengalami berbagai bentuk kekerasan langsung mulai dari awal mereka mendaftar sebagai kuli. Ketika arus kuli dari Jawa mulai berjalan, meningkat pula jumlah kasus tentang penipuan, penculikan, dan praktek keji lainnya yang dilakuka oleh agen-agen pengerahan tenaga kerja. Bahkan, sebuah angket yang diadakan di kalangan kuli yang baru tiba mengungkapkan berbagai penyelewengan itu terjadi hanya dua tahun sesudah diberlakukannya ordonansi kuli.

Seperti yang terjadi pada seorang lelaki bernama Sartim. Dia terjebak menjadi kuli karena ditipu oleh orang yang baru dikenalnya. Seseorang di pasar ketika itu meminta bantuannya untuk mencarikan alamat keluarganya. Namun yang terjadi justru menculiknya dan menjualnya menjadi seorang kuli. Sartim yang tidak tahu menahu pun akhirnya terpaksa membubuhkan cap jempolnya pada secarik kertas yang tidak dia mengerti isinya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Tadi pagi aku bertemu orang di pasar. Dia minta tolong mencarikan alamat keluarganya lalu aku membantu mengantarkannya. Saat kami berjalan, tiba-tiba dia mendorongku masuk ke dalam gerobak. Aku


(41)

tidak mengerti kenapa dia melakukan itu. Tiba-tiba aku sudah berada di sini.” (BDSHKC:16)

Hal ini terjadi pula pada seorang wanita muda bernama Marsinah yang ditipu oleh seorang tukang kebun sehingga dijadikan sebagai kuli kontrak. Marsinah percaya pada tukang kebun itu karena berjanji akan melepaskannya dari cengkeraman Cina tua yang menjadikannya sebagai budak nafsu dan akan memulangkannya ke kampung. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Pada sebuah kesempatan, saat isteri Cina tua itu menyuruh Marsinah ke pasar, mereka bertemu. Di sebuah tempat yang dijanjikan, Tukang Kebun menjemputnya lalu membawanya kepada seorang pria Belanda dengan tumpukan kertas di depan mejanya. Tuan yang ramah. Di sebelahnya, seorang pegawai pribumi berpakaian rapi mendekati Marsinah dan setelah beberapa pertanyaan, dia menyodorkan secarik kertas. Dia menyuruh Marsinah meneken kontrak. Marsinah tidak mengerti. Pegawai pribumi itu kemudian menarik jempol Marsinah, mencelupkannya ke dalam botol tinta lalu mencecahkannya di kertas. Lantas, Marsinah diberinya uang.” (BDSHKC:33)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa sebagian kuli-kuli Jawa terpaksa bekerja di perkebunan Deli karena sebelumnya telah ditipu sehingga meneken kontrak kerja yang sama sekali tidak mereka ketahui isinya.

Lebih dari paksaan, hutang juga merupakan alat pengikat utama untuk menjerat laki-laki, perempuan, dan bahkan anak-anak dari lingkungan hidup mereka dan memaksa mereka berangkat ke Deli. Dalam keadaan seperti itu, pendapat bahwa kontrak ditandatangani secara sukarela hanyalah karangan kaum kolonial belaka. Upah persekot yang dibayar di muka dan tidak dipungutnya biaya pemberangkatan merupakan kedok mereka untuk membujuk penduduk desa agar tertarik bekerja di


(42)

jaminan hutang yang nantinya harus mereka bayar ketika telah bekerja di perkebunan Deli.

“Siapa mau ikut ke Deli, namanya akan dicatat lalu diberi surat jalan. Tidak dipungut bayaran. Malah diberi persekot,” terang Pak Carik bersemangat. “Bagaimana? Mau?” (BDSHKC:10)

Dari pengaturan transportasi pun telah jelas bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Agar resiko pelarian dapat diminimalkan maka selama dalam pengangkutan kuli-kuli selalu dikawal. Mereka pun mulai mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan intimidasi dari orang-orang yang mereka anggap berkuasa. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Dua hari mereka diinapkan di barak penampungan. Pegawai kantor emigrasi mengawasi tindak-tanduk mereka dengan ketat. Tidak boleh ada yang lari atau jatuh sakit. Bila ada yang coba-coba membatalkan kontrak, kena pukul. Beberapa orang sekarang disekap di gudang karena ketahuan berniat kabur…” (BDSHKC:19)

3.2.1.2 Dalam Perjalanan Menuju Tanah Deli

Dalam novel BDSHKC, penyiksaan fisik dan psikologis juga terjadi ketika dalam proses pemberangkatan kuli kontrak ke perkebunan Deli. Mereka mulai disebut sebagai orang kontrak dan dicaci maki dengan kata-kata yang sangat merendahkan harga diri mereka.

Setelah beberapa hari kuli diinapkan di barak penampungan, mereka dinaikkan ke gerbong-gerbong kereta api menuju pelabuhan, untuk selanjutnya dinaikkan ke kapal menuju pelabuhan belawan. Selama perjalanan itu mereka


(43)

diperlakukan sepertti hewan dan selalu mendapatkan intimidasi dari para kelasi yang mengawal mereka. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Orang-orang di sekitar mengecilkan badan. Jiwa mereka rusuh ketakutan, merasa terancam.

“Kelasi yang berdiri berkacak pinggang itu lalu menatap tajam kerumunan yang menunduk dihadapannya. “Awas, jangan ada banyak bicara di kapal ini kalau kamu tidak mau dihajar!” (BDSHKC:22)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa intimidasi yang dilakukan oleh kelasi itu mampu membuat kuli-kuli itu merasa tertekan dan takut untuk melawan.

Intimidasi yang diterima kuli selama berada di kapal tidak hanya berupa perkataan. Kelasi bahkan kerap menggunakan kekerasan fisik terhadap kuli yang dianggap membangkang. Seperti yang terjadi kepada seorang lelaki yang meronta-ronta untuk diturunkan dari kapal sebab ingin kembali pulang ke kampungnya. Hal ini membuat kelasi marah dan menendang lelaki itu.

“Mau pulang, heh? Enak saja. Sudah terima persekot, lalu mau pulang?” Pria itu memohon. “Aku mau pulang. Aku tidak mau pergi. Aku harus mengurus kerbauku. Aku ma…”

Bluk!

Sebuah tendangan hinggap di perut pria itu dan membuat mulutnya seketika terbungkam.

“Diam di situ! Kalau banyak bicara, aku buang kau ke laut! Sana, berenang ke kampungmu!:

Pria itu merintih, “T-turunkan a-ak…” Bluk!

Kembali sebuah tendangan melayang. Kali ini kena dadanya. Pria itu meringis. Kesakitan. Dia bergelung di lantai. Merintih ngilu.” (BDSHKC:22)

Hal ini juga terjadi pada seorang pemuda yang masih hampir anak-anak. Kelasi mengintimidasinya karena menginginkan pakaian baru yang dipakai oleh


(44)

pemuda itu. Kelasi memaksa pemuda tersebut menyerahkan baju yang dipakainya juga melalui kekerasan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Hei, anak tolol! Kowe tuli, ya! Buka bajumu! Setaaan!” Pemuda masih diam.

Sekarang kelasi mendekatinya lalu tangannya yang besar tiba-tiba menjambak rambut pemuda itu.

“Dasar pekak! Buka bajumu! Mau dipukul, heh?”

Pemuda itu meringis. Kepalanya terangkat naik. Lalu, kelasi melepas cengkeramannya. Sekilas, pemuda itu menatap sosok yang berdiri di atasnya namun segera dia kembali menunduk. Dia tak berani melawan sosok yang tampak begitu besar. Begitu berkuasa.” (BDSHKC:23)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa para kelasi dapat melakukan kekerasan fisik kepada kuli-kuli kontrak itu sesuka hatinya. Hal ini mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang berkuasa di atas kapal. Sehingga tidak seorangpun kuli yang boleh menolak atau membantah keinginannya.

Kekerasan fisik itu terus berlanjut ketika mereka sampai di Pelabuhan Belawan dan selama perjalanan di gerbong-gerbong kereta api menuju Deli (hal 47). Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Bersahut-sahutan suara kelasi. Selalu terdengar seperti iringan gemuruh guntur di saat hujan. Padahal, hari itu sedang panas. Matahari tegak lurus di atas kapal. Mereka selalu berseru keras-keras, selalu memaki-maki. Setiap kalimat yang terdengar selalu diiringi dengan terjangan dan tendangan.

Blukk!

Sebuah tendangan hinggap di rusuk seorang lelaki yang terlelap di lantai kapal. Seorang kelasi, berkumis, baru saja menjadikan rusuk pria itu seperti bola.


(45)

3.2.1.3 Setelah Menjadi Kuli

Dalam novel BDSHKC, kekerasan dan penyiksaan semakin banyak ketika kuli-kuli kontrak itu sampai ke perkebunan Deli. Tidak hanya makian saja yang menghiasi kehidupan kuli di perkebunan. Bahkan cambukan, pukulan, tamparan, dan tendangan sering mereka rasakan. Sedikit saja melakukan kesalahan, maka hukuman yang berat akan menanti mereka. Hal ini terjadi pada seorang kuli bernama Marno. Dia adalah kuli Jawa yang masih berusia limabelas tahun. Hanya karena ketika mencangkul tubuhnya tidak penuh membungkuk, dia menerima tindakan sewenang-wenang dari seorang asisten perkebunan. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut ini.

“Kemarin, hari pertama Marno masuk kerja, Tuan asisten memukulnya sampai dia tersaruk-saruk ke dalam rawa. Saat mencoba berdiri, Tuan Asisten menendanginya hingga dia terjengkang, jatuh lagi masuk ke rawa. Saat dia mencoba berdiri lagi, Tuan Asisten malah menginjak kepalanya, membenamkannya ke air. Itu juga terjadi berkali-kali. Hingga kemudian dia benar-benar berdiri setelah Tuan Asisten memerintahkan berdiri. Tuan menyuruhnya berdiri untuk mengayunkan tongkat ke bahu dan kepalanya. Berkali-kali” (BDSHKC:78).

Sedikit berbeda dengan yang menimpa seorang kuli bernama Wiryo. Ia mendapat hukuman karena tertangkap basah mencoba membunuh seorang asisten perkebunan. Dia merasa dendam dan tidak terima karena kekasihnya mati disiksa oleh asisten tersebut. Alasannya, kekasihnya menolak untuk dijadikan nyai atau istri simpanan. Hal ini membuat Wiryo dendam dan mencoba membalaskan sakit hatinya dengan membunuh asisten itu. Namun, niatnya itu dapat digagalkan oleh seorang


(46)

mandor, sehingga membuatnya dijatuhi hukuman mati. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Cemeti panjang itu membelah udara, meliuk seperti ular hitam dan segera menyengat punggung Wiryo yang telanjang. Wiryo meraung kesakitan. Kepalanya dan kakinya terhenyak naik menahan sakit yang tak terperikan. Daging punggungnya koyak dibelah oleh lecutan cemeti yang liar.

“duaaaa….” Plashhh

Lagi suara cemeti berdesing menghajar tubuh Wiryo yang kecoklatan yang berkelonjotan menahan sakit tak terperikan. Wiryo melolong, meraung-raung. Pekiknya melengking, lepas menerobos seluruh jengkal tanah di perkebunan” (BDSHKC:96).

Penyiksaan dan penindasan yang sewenang-wenang itu tidak hanya terjadi pada kuli laki-laki saja, kuli perempuan pun mendapatkan perlakuan yang tidak kalah buruknya. Keberadaan mereka oleh tuan kebun hanya dianggap sebagai pelacur. Kuli yang cantik dipilih untuk dijadikan nyai tuan kebun, sedangkan kuli yang berwajah jelek dibagikan kepada kuli-kuli yang telah lama bekerja di perkebunan sebagai istri. Istri tanpa ikatan perkawinan yang resmi.

Kehidupan yang bebas ini memang sudah menjadi hal yang biasa di Deli. Adat ketimuran yang penuh dengan sopan santun hilang dengan sendirinya digantikan dengan kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Bebas berjudi, bebas melacur, bebas menghisap candu, dan bebas menenggak minuman beralkohol. Adat-istiadat yang mereka bawa dari tanah kelahirannya itu perlahan sirna digantikan kebiasaan-kebiasaan orang Eropa.

Kuli-kuli perempuan di Deli hanya dijadikan sebagai budak nafsu oleh tuan kebun dan kuli laki-laki. Ketika, mereka menolak untuk dijadikan nyai oleh tuan


(47)

kebun, maka tidak segan-segan tuan kebun akan menyiksanya hingga mati. Hal ini terjadi pada seorang kuli perempuan bernama Jumilah. Dia ditelanjangi, disalib seperti Kristus, dijemur sepanjang hari tanpa diberi makan ataupun minum karena menolak seorang asisten perkebunan.

“Kemarin siang, di bawah sengatan terik matahari tropis, opas-opas pribumi itu mencambuk pinggulnya dengan tali sangurdi. Tentu, perempuan itu meraung-raung kesakitan. Belum puas, opas-opas itu kemudian menggosok kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus. Raung perempuan itu pun semakin menjadi-jadi. Demikianlah hukuman yang ditimpakan padanya.” (BDSHKC:73)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa kuli perempuan pun mengalami nasib yang sangat buruk. Bahkan lebih buruk dari kuli laki-laki. Hal ini juga tergambar pada kutipan berikut ini.

“lalu bayangan keji lainnya datang mendesak. Tuan Le menghajar dua orang kuli perempuan sekaligus: Rasiem dan sumina. Seperti Kasina Satu, mereka juga ditelanjangi saat pundak mereka dihantam kayu hingga kedua lengan mereka patah; muka bonyok, pinggang keseleo dan kemaluan berdarah. Bayangan lain sekonyong-konyong menerobos dan mendesak pula. Samina, Isa Dua, dan Kariosumito mendapat hukuman serupa; dengan lolongan yang sahut bersahut. Kecuali Kariosumito yang entah kenapa tiba-tiba meludah saat dipukul, Tuan Le memberinya hukuman tambahan: menyuruh kuli itu merangkak dan memakan tahi kuda.” (BDSHKC:211-212)

Penyiksaan seperti itulah yang mereka hadapi terus menerus. Berbagai cara menghukum yang dilakukan oleh para tuan kebun telah banyak mereka terima. Ada tuan kebun yang lebih suka memenjarakan kuli sebagai hukuman. Ada pula yang lebih suka menyiksa, mencambuk, atau memukuli kuli hingga mati. Memasukkan kuli yang bersalah ke dalam penjara mereka anggap bukanlah cara menghukum yang


(48)

baik. Hukuman itu hanya memboroskan waktu dan tenaga kuli yang seharusnya bisa dipakai menjadi mubajir.

“Terus perintah menyerang itu terdengar. Tegas dan keras. Satu persatu suara kepalan dan tendangan terdengar disusul pekik kesakitan. Satu demi satu… terus dan terus…

hukuman saling bal-bal itu baru berhenti tatkala A Cheng dan Yun Tao telah sama-sama terkapar di tanah. Wajah keduanya lebam-lebam. Sama-sama menderita. Telinga A Cheng berdarah sementara kemaluan Yun Tao pecah. Beberapa gigi A Cheng rontok sementara hidung Yun Tao penyok. Orang-orang memandang mereka dengan tercenung” (BDSHKC:90)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa setiap saat tuan kebun bisa menghukum kuli sesuai dengan kesukaannya. Tuan asisten sengaja menghukum kedua kuli tersebut dengan saling bal-bal karena dia bosan dengan hukuman yang itu-itu saja. Pertunjukan saling bal-bal antara A Cheng dan Yun Tao itu-itu dianggap

belachlijke vertooning ( pertunjukan yang menggelikan) dan sangat menarik hati bagi Tuan Asisten. Kedua kuli Cina itu hanya bisa patuh dan pasrah.

Sifat nrimo dan patuh dari kuli-kuli kontrak inilah yang membuat mereka dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang oleh tuan kebun dan centeng-centengnya. Mereka tidak boleh membangkang karena kepatuhan dan tunduk pada majikan memang sudah ada dalam kontrak kerja mereka.

“Pemuda itu tidak mendengar. Dia diam seperti patung. Matanya terus menatap lurus ke depan. Tak berkedip. Baru pertama kali dalam hidupnya, dia merasa dihinakan. Dia marah namun tidak memiliki sedikit pun keberanian untuk melawan. Dia ingin menangis namun air matanya tak mau keluar. Dia lelaki. Lelaki tidak boleh menangis. Terus dan terus dia menatap ke depan namun tidak melihat apa-apa.” (BDSHKC:24)


(49)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli-kuli itu selalu bernyali ciut. Kekejaman dan perlakuan yang tidak adil itu membentuk karakter penakut pada diri mereka. Mereka selalu diharuskan patuh dan tunduk tanpa boleh melakukan perlawanan pada tuan kebun. Di satu sisi mereka takut dan harus tunduk pada perintah tuan kebun, di satu sisi pula hati mereka berontak dan dipenuhi dengan rasa ingin balas dendam. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Kuli-kuli itu sepertinya penurut namun dada mereka diselubungi dendam.” Seorang asisten bergumam.

Bukan Cuma dia. Semua kuli di sini ahli menyembunyikan sifat jahat di balik wajah yang pura-pura dibuat sopan.”

“Kuli-kuli itu pemalas. Mereka baru mau bekerja kalau dipaksa. Mereka penurut hanya karena takut. Mereka tidak kenal aturan dalam hawa nafsu dan tidak tahut pada penyakit kelamin. Mereka gemar berkelahi, mengancam, dan membunuh. Jika bisa mnyenangkan hati atasan dengan harapan memperoleh keuntungan darinya, seorang anak tega membunuh anaknya, saudara yang satu membunuh saudara yang lain, atau sebaliknya, seorang putra membunuh bapaknya. Hukuman keras pantas bagi mereka.” (BDSHKC:195)

Nafsu membunuh dan rasa dendam yang dimiliki oleh kuli-kuli ini adalah dampak dari ketidakadilan yang mereka terima. Perlakuan tuan kebun yang sewenang-wenang itu membuat mereka nekad untuk membangkang. Tidak sedikit orang Eropa yang pada umumnya tuan kebun menjadi korban balas dendam para kuli. Sudah beberapa kali percobaan pembunuhan dilakukan oleh kuli-kuli itu. Mulai dari Wiryo yang mencoba membunuh Tuan Asisten namun gagal, kemudian sekarang giliran Tuan Ba yang menjadi korban.

“Asisten Ba yang malang. Seperti jas putihnya, tubuhnya ditemukan dalam keadaan rusak. Wajahnya lebam dipenuhi sayatan. Lehernya


(50)

pahanya dipenuhi luka tusukan. Seperti tubuhnya yang menderita, centeng juga mendapati mobil Asisten Ba rusak. Kacanya pecah, busa kursi berhamburan, ban mobil kempes, dan kap penyok-penyok.

Asisten Ba mati dibunuh Kisman dan Mistiono.” (BDSHKC:195)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli yang biasanya hanya bisa patuh dan tunduk dengan wajah penuh ketakutan bisa berubah menjadi sosok yang sangat beringas dan penuh dengan dendam. Hal ini tentu merupakan cara mereka untuk protes kepada tuan kebun atas perlakuan yang tidak seharusnya mereka terima.

Kekerasan-kekerasan langsung inilah yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kuli-kuli kontrak dan tuan kebun. Kekerasan ini dapat menimpa kapan saja dan kepada siapa saja, terhadap si kuli maupun tuan kebun sendiri.

3.2.2 Kekerasan Tidak Langsung

Kekerasan langsung adalah tindakan yang membahayakan hidup manusia, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut. Atau dengan kata lain, kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang melukai (bisa berarti nonfisik) orang dengan cara mengusik sesuatu atau seseorang yang berkaitan dengan kepentingan vital orang tersebut. Kekerasan langsung tidak selalu menjadi bentuk kekerasan yang paling kejam terkait dengan perkembangan kapitalisme. Berjuta-juta orang menderita dan kadang-kadang meninggal karena kekerasan tidak langsung yang disebabkan oleh ekonomi kapitalis dan dampak dari kekerasan langsung.


(51)

Kemiskinan dan ketidakadilan sosial adalah bentuk yang paling jelas dari kekerasan tidak langsung ini. Mark Twain (Salmi, 2003:34) pernah mengatakan bahwa kemiskinan adalah teror terburuk. Seperti yang dikatakan Camara (2005:27) bahwa sudah umum diketahui bahwa kemiskinan juga bisa membunuh, sama seperti perang yang paling brutal. Ia tidak hanya sekedar membunuh namun juga dapat menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis (mental), dan kerusakan moral. Sama seperti halnya mereka yang mengalami perbudakan. Sesuatu yang tidak tampak tetapi sungguh nyata terlihat. Karena kemiskinan, mereka selalu hidup tanpa kepastian akan masa depan dan harapan, sehingga dengan mudah mereka jatuh ke dalam keterpurukan dan merosot ke dalam mental pengemis.

Sistem kapitalisme yang dianut kolonial Belanda tersebut telah merubah wajah masyarakat Indonesia. Pengerukan paksa kekayaan alam dan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de il homme par il homme) berdampak pada perekonomian rakyat. Sistem itu tentu saja akan membawa penderitaan karena dapat memiskinkan mereka.

Sistem kapitalis akan membentuk masyarakat perkebunan (onderneming) yang sasarannya selalu di tempat yang baik tanahnya dan banyak penduduknya. Di mana perkebunan menancapkan dan mengembangkan usahanya, di sana pulalah tanah pertanian akan semakin menyempit. Seperti yang terjadi di Jawa, dibentuknya perkebunan tebu membuat petani tersingkir dari tanah garapannya, yang pada akhirnya mereka dijadikan sebagai tenaga kerja murah.


(52)

Seperti yang dikemukakan oleh Tauchid (Fauzi, 1999:41) bahwa penanaman modal selalu mencari sasaran tanah dan memerlukan tenaga kerja yang manusia yang banyak dan murah. Karenanya, kapitalis kolonial selalu mencari tanah yang subur dan cukup banyak penduduk. Sehingga, di daerah-daerah penerapan agro industri tanah semakin sempit bagi rakyat dan rakyat semakin terdesak penguasaannya terhadap tanah. Oleh karena itu, banyak buruh-buruh kontrak di perkebunan Sumatera Timur yang berasal dari Jawa karena dengan tersingkirnya dari tanah garapan membuat mereka mengalami kemiskinan.

3.2.2.1 Awal Mendaftar Jadi Kuli

Dalam novel BDSHKC, kuli-kuli kontrak banyak didatangkan dari Jawa yang pada umumnya dilanda kemiskinan. Sistem kapitalis yang dianut kolonial Belanda telah memiskinkan mereka di tanah asal sehingga mereka mudah terbujuk oleh tipuan makelar untuk bekerja di Deli. Adanya himpitan ekonomi di desa kelahiran mereka menyebabkan mereka begitu yakin bahwa Tanah Deli akan mengubah taraf hidup mereka agar lebih baik lagi.

“Kalian Masih muda. Hidup kalian masih panjang. Tentu kalian ingin hidup senang. Lihat apa kehidupan di desa ini? Semua miskin. Lihat baju kalian yang hanya itu ke itu saja. Baju kotor, kumal dan bau! Hei buka mata kalian! Coba lihat saya!”(BDSHKC:10)

.

Hal ini tidak jauh berbeda seperti yang terjadi pada tiga perempuan bernama Mbok jati, Mbok Saminah, dan Mbok Marto. Awalnya mereka akan dijanjikan bekerja sebagai koki pada seorang Tuan di Kali Besar, Batavia. Namun, saat


(53)

diperiksa oleh petugas firma yang memperjualbelikan manusia itu, mereka ditolak untuk diberangkatkan ke Deli. Alasannya, karena pegawai itu mencela wajah mereka yang jelek. Dua diantaranya malah punya cacat di tangannya. Sehingga mereka diusir dan terlunta-lunta di jalanan. Siang hari mereka mengemis, mendatangi pasar-pasar, mengais-ngais tong sampah seperti kucing pasar demi mendapatkan makanan. Sore sampai malam, mereka duduk di dekat warung atau pinggiran tanah lapang yang menggelar keramaian. Mereka melakukan itu dengan harapan, melalui pelacuran mereka bisa memperoleh uang untuk biaya pulang ke kampungnya.

“Aku telah bertemu tiga perempuan: Mbok Jati, Mbok Saminah dan Mbok marto. Mereka berasal dari tiga desa berbeda di Pulau Jawa. Mereka tidak saling mengenal namun nasib buruk mempertemukan mereka di kota yang sama: Semarang. Aku telah bertanya bagaimana mereka bisa sampai ke Semarang. Dalam bahasa Jawa yang terbata-bata mereka mengatakan, “kemiskinan… kemiskinan… kemiskinan itu… uang muka… uang muka yang menggiurkan itu…” Ini semua membuat mereka memutuskan meninggalkan desa mereka di Paras, Muntilan, dan Balapan” (BDSHKC:18)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan orang-orang Jawa itu bersedia untuk dipekerjakan di Deli.

3.2.2.2 Setelah Menjadi Kuli

Dalam novel BDSHKC, Di Deli, nasib perempuan jauh dari kehidupan yang layak. Kesejahteraan hidup mereka tidak pernah diperhatikan oleh tuan kebun. Mereka hanya dianggap sebagai perempuan sundal yang suka melacurkan diri.


(54)

dengan alasan tidak ada pekerjaan untuk mereka, kuli-kuli perempuan itu sengaja dibiarkan kelaparan, sehingga ketika mereka tidak sanggup lagi menahan lapar, dengan terpaksa mereka akan melacurkan diri. Tuan-tuan kebun itu sengaja membiarkan perempuan-perempuan Jawa itu kelaparan hingga mereka kemudian dijadikan santapan oleh kuli-kuli Cina. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Kuli-kuli perempuan itu tidak bisa mencari kerja di tempat lain karena masih terikat kontrak dengan perusahaannya. Jadilah, selama sebulan mereka tidak punya pendapatan. Saat lapar sudah tak tertahankan, mereka memberanikan diri menemui asisten untuk meminta pekerjaan. Hanya dengan demikian mereka bisa mendapatkan upah. Bukankah mereka bekerja sesuai perintah? Setelah berjongkok beberapa jam di pekarangan rumah asisten, mandor kemudian mendatangani dan memberitahu kalau asisten tidak mau menerima mereka karena dia tidak ingin mengotori lidahnya dengan berbicara pada mereka. Sebelumnya, kepada mandor, asisten berkata, “Biarlah mereka mencari beberapa sen dengan cara mereka sendiri. Bukankah mereka bisa melacur? Toh, masih ada orang-orang Cina di perkebunan.” (BDSHKC:147)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa para tuan kebun itu sengaja memiskinkan kuli-kuli perempuan hanya untuk memuluskan tujuan mereka. Melacur secara sukarela namun terpaksa demi memenuhi kebutuhan hidup.

Biasanya kuli perempuan yang direkrut masih berusia muda dan hampir semuanya orang Jawa. Walau tidak secara terang-terangan dipaksa melacurkan diri, mereka hanya diberikan sedikit pillihan selain berbuat demikian. Melayani kebutuhan-kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga dari para pekerja lelaki dan pihak tuan kebun lebih merupakan keharusan daripada pilihan. Para tuan kebun selalu mengusahakan agar perempuan tetap tersedia dan bersedia memberikan pelayanan tersebut. Karena kuli-kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang


(55)

digunakan untuk memikat pekerja lelaki ke Deli atau sebagai bagian pelipur lara yang diharapkan untuk mencegah orang-orang Cina melarikan diri dari pekerjaannya di perkebunan.

Perempuan-perempuan Jawa, baik lahir dan batin, sangat menderita. Walaupun begitu, tuan kebun menanggapi hal itu bukan sesuatu yang serius. Mereka menganggap bahwa, kuli-kuli perempuan itu pada dasarnya adalah pelacur dan sejak dari tanah asalnya, perempuan-perempuan Jawa memiliki sifat dasar untuk melacurkan sendiri. Oleh karena itu, setiap tahunnya ratusan perempuan muda yang telah direkrut sebagai kuli kontrak menghidupi diri mereka sendiri dengan melayani para penghuni bujangan yang berjumlah besar di barak-barak kuli Cina dan kuli Jawa. “Setiap tahun ada ratusan perempuan muda dari Jawa didatangkan ke Deli. Sebagian besar mereka dibeli untuk dikorbankan bagi orang-orang Cina. Setiap orang yang mengenal Deli tahu, kuli-kuli perempuan Jawa tidak mendapat upah yang cukup untuk makan.

“Seorang tuan kebun pernah mengajakku berkeliling di perkebunannya. Dia membiarkanku melihat rumah-rumah yang disediakannya bagi kuli-kuli Cina dan kuli-kuli-kuli-kuli pria dari Jawa. Aku bertanya kepada seorang di antara mereka, “Di mana perempuan-perempuan Jawa tinggal?” tuan kebun itu menjawab, “Perusahaan tidak memberikan rumah bagi perempuan-perempuan Jawa melainkan merekalah yang harus mencari sendiri!” (BDSHKC:146)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli perempuan selalu mendapatkan ketidakadilan dari para tuan kebun. Mereka tidak diberikan tempat tinggal dan hanya mendapatkan upah yang sangat kecil. Upah yang sangat kecil ini tentu saja membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup di perkebunan yang sangat mahal hanya bisa mereka hadapi dengan jalan melacurkan diri.


(56)

“Aku mengetahui beberapa perusahaan yang secara rutin memotong upah kuli-kulinya dalam jumlah yang lebih besar lagi. Kuli-kuli perempuan Jawa hanya menerima 2,20 dolar setelah dipotong sana-sini. Dengan demikian, tidak sampai 7 sen per hari!

Mari berhitung!

Di luar lauk pauk dan sirih, mereka memerlukan 13 sen setiap harinya untuk makan. Tahukah Anda, harga-harga kebutuhan begitu mahal di perkebunan. Aku telah menghitung. Setiap kuli perempuan membutuhkan 15 sen untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kenyataan yang ada menunjukkan, seorang kuli Jawa tidak pernah bisa mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari.” (BDSHKC:133)

Kuli perempuan Jawa biasanya dipekerjakan untuk menyortir daun tembakau yang telah dipanen. Selintas, pekerjaan itu tampaknya tidak membuat badan letih namun membuat urat-urat menjadi tegang. Pekerjaan menyortir ini membutuhkan ketelitian yang tinggi. Sepanjang hari kuli-kuli perempuan itu harus mengelompokkan daun-daun tembakau berdasarkan warnanya, kuning, kuning muda, kuning tua, juga dari panjang dan lebarnya serta kerataannya. Bila ada yang salah memilah, hasil kerja mereka akan ditolak dan dikembalikan. Itu berarti upah mereka yang sudah sangat kecil akan lebih menyusut lagi. Selain di bangsal penyortiran, kuli-kuli perempuan juga ditempatkan di bagian lain. Beberapa ditugaskan untuk menyapu dan membersihkan pekarangan kantor utama. Ada juga yang ditugaskan mengeruk kerikil di sungai dan mengosongkan tong-tong tinja di rumah tuan-tuan kebun. Begitulah pekerjaan mereka sehari-hari, memikul tugas yang berat, namun tidak mendapatkan upah yang seharusnya.

Di Deli, kuli kontrak akhirnya menjadi suatu istilah yang menunjukkan betapa parahnya kehidupan manusia. Kontrak yang selalu mengikat menjadikan hidup mereka selalu diwarnai ketidakadilan. Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan


(57)

dengan jelas ketimpangan kesejahteraan antara tuan kebun dengan para kuli kontrak. Upah yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka terima pun kerapkali dimanipulasi oleh potongan-potongan yang wajib mereka bayar. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.

“Upah kuli dibayar setelah dipotong sana-sini. Kuli dikenakan potongan biaya membersihkan lahan; bayaran pembelian peralatan yang digunakan atau pergantian alat yang rusak; cicilan persekot uang saat meneken kontrak; biaya pengeluaran perusahaan berupa upah tukang cukur, juru masak, dan penjaga bangsal dan kongsi.” (BDSHKC:137) Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa upah yang mereka terima tentunya akan bertambah kecil setelah potongan-potongan tersebut, sehingga membuat kehidupan mereka bertambah melarat. Apalagi upah yang selama ini mereka terima pun adalah merupakan rekayasa dari tuan kebun.

“Di atas segalanya, upah kuli dibayar dengan ringgit. Kuli-kuli tentu tidak perlu tahu kalau ringgit yang mereka terima sesungguhnya adalah ringgit murahan. Jangan dikira itu pasmat, ringgit Betawi yang berlaku di Jawa yang nilainya setara dengan rijksdaalder atau 2,50 gulden itu. Ringgit yang dipakai di Deli adalah ringgit merikaan, biasa juga disebut ringgit meriam, ringgit janik, atau ringgit burung. Harganya lebih murah, berkisar 1,86-1,90 gulden. Banyak kuli meneken kontrak karena tidak mengerti perbedaan ini. Bila digaji 6 ringgit sebulan, mereka menduga akan mendapatkan 15 gulden. Kenyataannya hanya 7 gulden! (BDSHKC:137)

Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa upah yang didapatkan kuli setelah bekerja berat pun ternyata merupakan tipuan dari tuan kebun. Hal ini dilakukan oleh tuan kebun tentunya demi keuntungan mereka sendiri.


(1)

kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan alienatif, dan kekerasan represif.

4.2 Saran

Novel ini masih dapat diteliti dengan pendekatan ilmu lain. Hal ini sehubungan dengan dimensi yang terdapat di dalam novel ini.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli. Jakarta: Anem Kosong Anem. Camara, Dom Helder (Ed). Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Langit Angkasa.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Dardiri, Taufiq Ahmad. 2006. “Menyaksikan Kekerasan Politik dalam Novel ‘Azra Jakarta”. Kajian Linguistik dan Sastra, vol 18. no. 35.

Erwin dan Tengku Sabrina. 1999. Sejarah Tembakau Deli. Medan: PTP Nusantara II. Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta; Muhammadiyah University

Press.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://id.Wikipedia.org/wiki/Kota Medan. “Dibukanya Perkebunan Tembakau”.

Kuli Kontrak, Mardi Lestari, dan Asisten Gubernur”.

Kasim, Ifdal. 2001. Hak Sipil dan Politik. Jakarta: ELSAM.

Kosasih MA, Ahmad. 2003. HAM dan Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Diniyah. Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(3)

Martin, Roderick. 1993. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Mubyarto, dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Nordholt, Henk schulte (Ed). 2002. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas: Dalam Sejarah IndonesiaI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurhadiantomo. 2004. Hukum Reintegrasi Sosial Konflik-konflik Sosial Pri NonPri dan Hukum Keadilan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah Press.

Pitaloka, Rieke Diah. 2004. Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Yogyakarta: Galang Press.

Pelzer, J. Karl. 1985. Toean Keboen dan Petani: politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1974. Jakarta: Sinar Harapan.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, Muhammad. 1977. Suatu Zaman Gelap di Deli, Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya. Medan: Perkasa Abdi Press.

Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sihombing, Justin M. 2005. Kekerasan terhadap Masyarakat Margin. Yogyakarta: Pustaka Utama.

Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979. Yogyakarta: Karsa.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Waridah Q, Siti dkk. 2003. Sejarah Nasional dan Umum Untuk SMU Kelas 2 Kurikulum Semester 1 dan semester 2. Jakarta: Bumi Aksara.

Windhu, I Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.


(4)

LAMPIRAN Sinopsis

Novel BDSHKC ini menceritakan tentang perjalanan hidup para kuli kontrak yang penuh dengan kekerasan di perkebunan swasta Sumatera Timur, serta perjuangan seorang advokat Belanda untuk menghapuskan praktek kekerasan yang kerap dilakukan oleh tuan kebun maupun aparatur pemerintah terhadap kuli kontrak tersebut. Cerita bertolak dari tokoh protagonis J Van den Brand, seorang pria berkebangsaan Belanda yang prihatin terhadap perbudakan yang terjadi di suatu daerah di Sumatera Timur yang disebut dengan Deli. Van den Brand berharap adanya keadilan bagi kuli kontrak melalui penghapusannya koeli ordonanti (peraturan tentang kuli) dan poenale sanctie (sanksi pidana) karena kedua hal tersebut sangat memberatkan kehidupan para kuli kontrak dan secara tidak sadar telah menyebabkan legalnya perbudakan. Para kuli kontrak tersebut banyak didatangkan dari pulau Jawa. Mereka pada umumnya terbujuk oleh mulut manis makelar pencari kerja. Contohnya, si Orang Semarang yang dengan lihainya menipu orang-orang kampung dengan ceritanya tentang kehidupan di Deli yang penuh dengan kenikmatan dunia, seperti banyaknya wanita cantik, dilegalkannya perjudian, dan adanya “pohon berdaun uang”. Tipu muslihat si Orang Semarang ini ternyata menarik hati masyarakat untuk bekerja di Tanah Deli yang penuh dengan kehebatan itu. Selain faktor kebodohan masyarakat yang terlalu percaya pada orang yang baru dikenalnya itu, faktor


(5)

kemiskinan juga menyebabkan masyarakat dengan mudahnya meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di Deli.

Untuk lebih meyakinkan, mereka diberi persekot terlebih dahulu oleh pihak penyalur tenaga kerja. Setelah itu baru membubuhkan cap jempol di atas secarik kertas yang isinya sendiri tidak mereka mengerti. Ironisnya, apa yang mereka dengar mengenai Deli sebagai surga dunia mulai luntur ketika mereka memulai diberangkatkan. Seketika mereka dihadapkan pada sosok-sosok yang menggenggam kehidupan mereka, kehidupan orang-orang yang jiwa dan raganya telah tergadai. Mereka dibentak, dikasari, dan dihinakan. Mereka menerima semua itu dengan perasaan gentar. Tidak terbit secercah harapan pun keinginan untuk melawan. Seolah-olah jiwa mereka telah mati. Mereka seperti patung yang hanya bisa diam, lesu, dan pasrah. Orang-orang menyebutnya kuli atau orang kontrak. Apa artinya, mereka tidak persis mengerti. Karena yang mereka tahu hanya setelah sebutan itu mereka pikul, mereka harus patuh dan tunduk.

Derita para kuli semakin menjadi ketika sampai di perkebunan, kehidupan mereka diatur oleh suara kentongan. Di sela-sela kerja dan istirahat, para kuli selalu mengalami tindak kekerasan yang tidak manusiawi dari tuan kebun. Setiap kali melakukan kesalahan, para kuli akan mendapatkan pukulan, tendangan, dan cambukan. Baik kuli pria maupun wanita, semuanya mendapatkan perlakuan yang keji. Bahkan seorang kuli wanita yang menolak untuk untuk digauli oleh tuan asisten akhirnya mendapat hukuman yang sangat tidak manusiawi. Ia disalib dengan tubuh tanpa mengenakan sehelai benang pun, kemudian belum cukup puas, kemaluannya


(6)

pun digosok dengan lada yang telah ditumbuk halus. Setelah ia mati, mayatnya pun dibuang begitu saja dan dijadikan sebagai makanan babi hutan. Hal tersebut hanya salah satu bentuk hukuman terhadap kuli yang menolak perintah para tuan kebun.

Setiap bulannya masa gajian dibagi menjadi dua, yaitu gajian kecil dan gajian besar. Setiap akhir bulan setelah masa gajian besar, para kuli sengaja dibiarkan terpikat ke dalam perjudian, minuman keras, dan pelacuran. Hal ini merupakan upaya dari politik kolonial Belanda agar kuli kontrak terus menghabiskan upah yang telah mereka terima. Sehingga secara tidak sadar mereka akan terbelit hutang yang pada akhirnya tidak dapat terbayarkan. Sebagai dampaknya, untuk melunasi hutang tersebut, dengan terpaksa mereka akan memperpanjang kontrak kerja untuk tiga tahun mendatang.

Berbagai bentuk kekerasan ini yang menggugah hati Van den Brand untuk mengungkap derita para kuli kontrak yang terpenjara oleh kekuasaan dan tipu daya kolonial Belanda, khususnya tuan kebun. Oleh karena itu, ia akhirnya menulis dan mengedarkan sebuah brosur yang berjudul Millioenen uit Deli yang di dalamnya memaparkan tentang penganiayaan dan penangkapan di luar hukum atas kuli dan orang lain di perkebunan, serta segala penyimpangan yang dilakukan para pejabat pengadilan setempat dalam mengambil keputusan. Ia menegaskan bahwa kebijakan poenale sanctie tidak dapat dipertahankan karena kebijakan tersebut melegalkan terjadinya perbudakan. Namun hingga akhirnya ia meninggal, kebijakan poenale sanctie itu tetap ada dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh tuan kebun terhadap kuli kontrak pun masih kerap terjadi.