Kebudayaan Kluet Landasan Teoritis 1. Teori Kepuasan Masyarakat

51 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003.

2.1.6. Kebudayaan Kluet

Nenek moyang suku Kluet seperti juga suku Alas, Singkil dan sebahagian Tanah Karo serta Pulau Simosir adalah golongan Melayu Tua yang pernah bermukim disekitar Laut Bangko, di tengah belantara Taman Nasional Gunung Lauser bagian timur. Hal ini sejalan pula dengan asal mula terbentuknya daratan disekitar gunung Lauser tersebut, termasuk daratan tanah Kluet. Sejak Tahun 1599 daerah bawahan Aceh Darussalam di wajibkan membuka kebun lada. Untuk itu ke daerah Kluet sebagai daerah bawahan Aceh di kirimkan masyarakat Pidie, Aceh Utara dan Aceh Besar untuk membuka kebun lada. Mereka datang, baik secara perorangan maupun rombongan. Mereka membuat pemukiman sepanjang pesisir, mulai dari Ladang Tuha di Terbangan, Paya Ateuk, Tepian Gajah, Padang Rasian, Jambo Manyang, Kuala Ba’u dan Pasie Lembang, beserta areal desa Universitas Sumatera Utara 52 diantaranya. Pada daerah dan desa yang mereka tempati, mereka tetap menjalankan adat istiadat dan bahasa dari daerah asalnya Bahasa Aceh. Selain pendatang dari Aceh, adapula pendatang dari Sumatera Barat. Mereka juga membuka kebun lada, seperti kebun lada Usee, Kubang Gajah dan Padang Bungo Cempo. Mereka berdiam sejak dari Rantau Binuang, Kandang, Barat Daya dan Kedai Runding. Mereka juga menggunakan adat istiadat dan bahasa sendiri Bahasa Jamee. Dengan demikian sejak kedatangan suku Aceh dan dari Sumatera Barat tersebut, secara umum masyarakat Kluet terdiri dari keturunan asli Kluet, suku Aceh dan Suku Aneuk Jamee. Disamping terjadi pembauran, tapi yang tetap mempertahankan adat istiadat dan bahasa aslinya juga masih ada. Namun demikian, sesuai dengan perjalanan waktu, baik karena terjadinya pengelompokan masyarakat berdasarkan tempat tinggal, asal keturunan dan sebagainya, berkembang sistim marga dalam masyarakat. Secara garis besar ada enam kelompok yang dinyatakan dengan marga, yaitu marga Pinem, marga Selian, marga Bencawan, marga Chaniago, marga Pelis dan marga Kelinci. Masing-masing marga ini ada yang dirujuk pada personil tertentu yang merupakan cikal bakalnya. Badruzzaman Ismail 2003 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang umum bersifat serimonialupacara-upacara yang memberi makna dengan simbol-simbol tertentu untuk menggambarkan kondisi dan harapan-harapan dalam bentuk kehidupan yang menjadi tujuan dan harapan mereka. Adapun antara adatadat istiadat dan hukum adat terdapat persamaan dan perbedaan. Universitas Sumatera Utara 53 Jadi hukum adalah suatu norma sikap prilaku yang menjadi panutan masyarakat, bila melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan perbuatan yang diperbuatnya. Adat atau adat-istiadat yang dikemukakan disini dapat dikatakan identik dengan resam, karena resam sebagaimana kata Hoetomo 2005 juga adalah adat kebiasaan atau aturan-aturan yang menjadi adat. Masyarakat Kluet sebagai suatu komunitas yang juga mempunyai adat istiadat tersendiri terlihat telah memelihara adat-istiadatnya secara turun-temurun baik berkenaan dengan kelahiran anak, sunat rasul, perkawinan, kematian, pengobatan, turun ke sawah dan lain sebagainya.

2.2. Penelitian Terdahulu