BUDAYA BELAJAR PADA MASYARAKAT LERENG MERAPI.

(1)

BUDAYA BELAJAR PADA MASYARAKAT

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

i

BUDAYA BELAJAR PADA MASYARAKAT

LERENG MERAPI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Ani Susanti NIM 11110241015

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

AGUSTUS 2015

BUDAYA BELAJAR PADA MASYARAKAT


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“.... Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia

akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah

melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Terjemahan QS. At-Thalaq


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Sebuah karya yang dengan izin Allah SWT dapat saya selesaikan dan sebagai ungkapan rasa syukur serta terimakasih karya ini dengan sepenuh hati saya persembahkan kepada:

1. Orang tua yaitu, Bapak Siswanto Juri dan Ibu Supranti tercinta yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, bimbingan, dan dukungan baik secara moril maupun materil di setiap langkahku.

2. Kedua kakak tercinta yaitu Mas Agus Haryanto dan Mas Arif Prasetyo 3. Almamater KP FIP UNY


(7)

vii

BUDAYA BELAJAR PADA MASYARAKAT LERENG MERAPI Oleh:

Ani Susanti NIM. 11110241015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi dan usaha masyarakat lereng Merapi dalam beradaptasi dan bertahan hidup di lereng Merapi.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Dusun Sumberejo, Kaliurang, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah masyarakat lereng Merapi pada usia produktif, informan penelitian ini adalah, Kepala Desa Sumberejo, Kepala Dusun Kaliurang, Tokoh masyarakat diantaranya ketua PKK dan Kader PKK dan masyarakat Dusun Sumberejo. Data penelitian diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif sebagaimana diungkapkan Miles dan Huberman yang meliputi reduksi data, display data, dan verifikasi. Keabsahan data menggunakan trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi dalam upaya pemenuhan syarat dasar kebutuhan hidup adalah dengan pola pewarisan, kebiasaan dan pendidikan sosial melalui keluarga dan masyarakat. Masyarakat belajar dengan model pembelajaran learning by doing pada setiap aktivitas kehidupan sehari-hari baik di bidang perekonomian, kejiwaan dan sosial. Budaya belajar membentuk suatu kebudayaan yang berlaku di masyarakat; 2) Usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri sebagai masyarakat lereng Merapi adalah dengan cara menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya. Penyesuaian tersebut terkait pada pekerjaan dengan potensi sumber daya alam yang ada.

Kata Kunci: Budaya belajar masyarakat lereng Merapi, pola pewarisan,


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada-Mu ya Allah, atas izin dan kemurahan-Mu penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi (TAS) sebagai sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Kebijakan Pendiidkan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan judul skripsi “Budaya Belajar pada Masyarakat Lereng Merapi”. Sholawat dan salam selalu untuk tauladan terbaik Rasulullah SAW. Dalam penyusunan Tugas Akhir Skripsi (TAS) penulis mendapat dorongan dan dukungan dari segenap pihak, dari itu izinkanlah penulis berucap terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, yang telah memberi sarana dan kemudahan sehingga memperlancar studi saya.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Dosen pembimbing Ibu L. Andriani Purwastuti, M.Hum. yang dengan sabar membimbing dan mengarahkan dalam skripsi ini. Semoga Allah kelak akan membalas dengan Surga dan kenikmatan-Nya.

4. Masyarakat Dusun Sumberejo, Kepala Dusun serta Kepala Desa Kaliurang yang sudah dengan berbaik hati mengizinkan saya melakukan penelitian di Dusun Sumberejo serta telah menjadi subyek penelitian pada skripsi ini dengan sangat baik.

5. Semua dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan.

6. Orangtua tercinta Bapak Siswanto Juri dan Ibu Supranti atas kasih sayang, kesabaran, doa yang tiada putus, serta dukungan moril dan materil

7. Kedua kakak dan adik, Mas Agus Haryanto, Mas Arif Prasetyo dan Dik Riska Ambarwati yang telah memberikan doa, dan semangat.

8. Semua teman-teman Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang sedang berjuang bersama dalam menempuh pendidikan di FIP UNY.


(9)

ix

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini.

Semoga bantuan yang telah diberikan menjadi amal baik dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya bagi para pembaca atau pengguna khususnya

Yogyakarta,3 Agustus 2015

Penulis


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN SAMPUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... B. Identifikasi Masalah... C. Rumusan Masalah... D. Tujuan Penelitian... 1 10 10 11 E. Manfaat Penelitian... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 13

A.Kajian Pustaka... 13

1. Pengertian Budaya... 13

2. Pengertian Belajar... 14

3. Pengertian Budaya Belajar... 15

4. Pengertian Masyarakat Lereng Merapi... 19

a) Pengertian Masyarakat... 19

b) Gunung Merapi... 20

c)Masyarakat Lereng Merapi... 22


(11)

xi

C.Kerangka Pikir... 27

D.Pertanyaan Penelitian... 29

BAB III METODEPENELITIAN... 30

A.Pendekatan Penelitian... 30

B.Settiing Penelitian... 30

C.Sumber Data Penelitian... 31

D.Teknik Pengumpulan Data………. 32

E.Teknik Analisis Data……….. 36

F.Keabsahan Data……….. 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 39

A.Deskripsi Umum………... 39

1. Deskripsi Lokasi Penelitian………... 39

2. Sumber Daya yang Dimiliki……….. 41

B.Keadaan Perekonomian, Kejiwaan, dan Sosial Masyarakat Dusun Sumberejo……….. 43

C.Budaya Belajar Masyarakat sebagai Sistem Pengetahuan Belajar Digunakan untuk Adaptasi dalam Kerangka untuk Memenuhi TigaSyarat Kebutuhan Hidup………. 56

D.Usaha Masyarakat Dusun Sumberejo Beradaptasi terhadap Lingkungan………... 64

E.Pembahasan………... 69

1. Keadaan Perekonomian, Kejiwaan, dan Sosial Masyarakat Dusun Sumberejo……… 69

2. Budaya Belajar Masyarakat sebagai Sistem Pengetahuan Belajar Digunakan Untuk Adaptasi dalam Kerangka untuk Memenuhi Tiga Syarat Kebutuhan Hidup………... 74

3. Usaha Masyarakat Dusun Sumberejo Beradaptasi terhadap Lingkungan………... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 87

A.Kesimpulan………... 87

B.Saran………... 88


(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-kisi Observasi ... ……….. 33 Tabel 2. Kisi-kisi Wawancara……… 34 Tabel 3. Kisi-kisi Dokumentasi………. 35


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Kerangka Pikir ……… 28

Gambar 2. Desain Teknik Analisis Data Miles & Huberman……… 37

Gambar 3. Bagan Kesimpulan……… 83


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Surat-surat Perijinan Penelitian……… 93 Lampiran 2. Pedoman Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi…………... 101 Lampiran 3. Catatan Lapangan dan Hasil Dokumentasi……….. 106 Lampiran 4. Hasil Wawancara, Reduksi Data, Display data dan


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar para peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (UU No. 20 Tahun 2003). Tujuan pendidikan itu sendiri adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003).

Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar sesuai dengan norma-norma atau aturan di dalam masyarakat. Pendidikan menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia untuk menjadikan manusia yang lebih baik. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup, merupakan hal yang menjadi variabel pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya yang ada dimuka bumi ini. Sejalan dengan berjalannya waktu, hasil dari pemanfaatan akal manusia telah berhasil memperlihatkan hal-hal yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal dilakukan melalui


(16)

2

enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.

Secara geografis Negara Indonesia terdiri dari berbagai pulau. Keadaan Indonesia tersebut memunculkan kebudayaan yang beragam di masyarakat Indonesia. Hal tersebut tentunya berdampak pula pada kehidupan manusia di dalamnya. Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki gunung berapi di dunia, salah satunya yaitu Gunung Merapi. Gunung Merapi adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Srumbung merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Srumbung termasuk daerah bahaya satu dari ancaman gunung Merapi, karena wilayah Srumbung berada di kaki Gunung Merapi. Letak kecamatan ini tepat berada di sebelah barat daya Gunung Merapi yang sampai saat ini masih aktif. Jumlah kelurahan di Kecamatan Srumbung sebanyak 17 kelurahan. Desa yang paling dekat dengan Gunung Merapi yaitu Desa Kaliurang, dan dusun yang menempati daerah terpuncak dari Kecamatan Srumbung adalah Dusun Sumberejo atau dulunya merupakan Desa Gimbal.


(17)

3

Dusun ini sangat rawan dan masuk pada daerah dengan tingkat bahaya satu dari ancaman erupsi Gunung Merapi.

Berdasarkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang di akses dari http://merapi.bgl.esdm.go.id/ bahaya utama yang mengancam sekitar 40.000 jiwa yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana adalah Pyroclastic Flow atau aliran awan panas di samping bahaya sekunder lahar yang dapat terjadi pada musim hujan. Erupsi Merapi termasuk sering dalam 100 tahun terakhir ini rata-rata terjadi sekali erupsi dalam 2-5 tahun. Di luar ancaman bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi, masyarakat Dusun Sumberejo tetap bertempat tinggal di lereng Merapi tersebut. Merapi memiliki aspek sosial dan ekonomis yang penting bagi kemajuan wilayah sekitarnya. Material erupsi Merapi seperti pasir dan batu menjadi penunjang pembangunan di Yogyakarta dan Jawa Tengah demikian juga halnya dengan produk pertanian.

Berdasarkan pra penelitian atau observasi awal ditemukan data tentang mata pencaharian masyarakat Dusun Sumberejo yang sebagian besar bekerja di bidang pertanian. Karena pada dasarnya potensi pertanian di lereng Merapi mempunyai potensi yang baik dengan kondisi tanah yang subur. Berdasarkan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral yang di akses dari http://www.esdm.go.id salah satu faktor kesuburan tanah di lereng Merapi adalah limpahan kandungan material hasil letusan yang diendapkan di sekitarnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam material letusan seperti fosfor, nitrat, dan natrium, ditunjang dengan iklim tropis bercurah hujan tinggi


(18)

4

menjadi daya dukung yang sangat baik bagi pengembangan pertanian, peternakan, maupun perikanan. Berdasarkan keadaan tanah tersebut memungkinkan masyarakat lereng Merapi memanfaatkannya sebagai lahan pertanian. Di Dusun Sumberejo pertanian salak menjadi unggulan di daerah tersebut, sehingga keadaan ekonomi pada daerah tersebut sangat bagus. Daerah ini memiliki potensi pertanian salak dengan salak yang lebih unggul diantara lainnya yaitu salak Nglumut. Salak ini memiliki nilai jual yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan salak lainnya.

Berdasarkan data dari Laporan Profil Desa dan Kelurahan Lampiran V Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pedoman dan Pendayagunaan data profil Desa dan Kelurahan diketahui pendapatan masyarakat Dusun Sumberejo sedikitnya memiliki pendapatan dari sektor pertanian salak dengan rata-rata Rp 2.601.000,00 dalam sebulan (Buku Laporan Profil Desa Kaliurang Tahun 2014). Selain pertanian salak, masyarakat juga bekerja di bidang perkebunan yaitu perkebunan kelapa. Kesuburan tanah yang baik membuat tanaman-tanaman yang berada di sekitar Dusun tersebut tumbuh dengan subur. Tidak hanya tanaman yang sengaja ditanam oleh para petani namun tumbuhan liar seperti rumput-rumput tumbuh dengan subur, sehingga masyarakat memanfaatkan hal tersebut dengan memelihara hewan ternak. Jumlah rumah tangga peternak seluruh Desa Kaliurang sebanyak 226 keluarga, serta jumlah pendapatan dari sektor peternakan untuk setiap rumah tangga adalah Rp 5.500.000,00 (Buku Laporan Profil Desa Kaliurang Tahun 2014). Keadaan ekonomi di Dusun Sumberejo


(19)

5

tentunya berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Pendapatan tersebut juga membawa dampak baik pada pembangunan daerah tersebut.

Keadaan sosial budaya di Dusun tersebut berjalan dengan baik. Masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi akan kehidupan sosial di dalam masyarakat pedesaan. Hal ini tercemin dengan partisipasi masyarakat pada acara-acara yang ada di Dusun tersebut. Masyarakat guyup rukun pada setiap kegiatan Dusun, seperti gotong royong pembuatan fasilitas Dusun seperti jalan, masjid dan sebagainya. Masyarakat sebagian besar memiliki kedekatan antar masyarakat lainnya, dan mereka bersikap ramah tamah terhadap warga lainnya. Masyarakat Sumberejo juga memiliki tradisi kesenian tradisional yaitu wayang. Masyarakat melestarikan kebudayaan tersebut dengan baik dari generasi ke generasi.

Wilayah Dusun Sumberejo dekat dengan Gunung Merapi tentunya menimbulkan kekhawatiran pada diri masyarakat. Kekhawatiran tersebut tidak lain adalah bahaya erupsi Gunung Merapi yang sewaktu-waktu terjadi. Namun hal tersebut tidak membuat masyarakat enggan untuk bertempat tinggal di daerah tersebut, bahkan masyarakat berhasil membangun perekonomian mereka di daerah tersebut. Hal itu tentunya karena ada alasan lain dari masyarakat Sumberejo untuk tetap bertahan hidup di daerah tersebut. Keadaan masyarakat tentunya dapat pula berdampak pada sektor perekonomian, misalnya masyarakat dengan pendidikan rendah tinggal di kota, tentunya mereka akan kalah saing dengan masyarakat lain yang memiliki pendidikan tinggi. Masyarakat pedesaan pun jika pendidikan mereka rendah tentunya


(20)

6

perekonomian mereka tidak jauh dari taraf sedang, atau bahkan menengah ke bawah. Hal ini di karenakan lapangan-lapangan pekerjaan memerlukan kualifikasi tersendiri untuk pekerjanya, yaitu memiliki pendidikan. Masyarakat pedesaan yang umumnya bertani pun semestinya memerlukan ilmu pengetahuan atau pendidikan. Sebab dengan ilmu tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan potensi pertanian mereka. Masyarakat Dusun Sumberejo pada kenyataannya sudah memiliki tingkat pendapatan yang tinggi atau di atas taraf menengah.

Keadaan pendidikan masyarakat dalam arti masyarakat yang membangun perekonomian tersebut yaitu orangtua mayoritas hanya lulus SD sederajat. Dari 70 KK (Kepala Keluarga) dengan jumlah kepala keluarga atau orangtua yang terdiri dari bapak dan ibu sebanyak 135 orang. Mereka sebagian besar hanya lulusan SD sederajat yaitu 84 orang, lulusan SLTP sederajat 18 orang, lulusan SLTA sederajat 16 orang, dan yang terakhir yang tidak mengenyam pendidikan formal yaitu sebanyak 17 orang (Kartu Keluarga Dusun Sumberejo Tahun 2014). Jika diprosentasekan tingkat pendidikan orangtua dengan lulusan SD sederajat 62,2%, SLTP sederajat 13,3%, SLTA sederajat 11,8%, dan yang tidak sekolah 12,6%. Keadaan pendidikan masyarakat tersebut bisa dikatakan rendah, namun hal itu tidak menghambat perekonomian mereka.

Kehidupan masyarakat lereng Merapi dari bidang perekonomian dan bidang sosial berjalan dengan baik, meskipun masyarakat terlebih orangtua memiliki tingkat pendidikan rendah. Namun mereka mampu beradaptasi dan membangun perekonomian di daerah rawan bahaya dengan sangat bagus. Bagi


(21)

7

masyarakat awam yang jauh dari Gunung Merapi sebagian berpikiran bahwa hidup di lereng Merapi tidak akan nyaman. Dalam kehidupan masyarakat tersebut ada suatu proses pendidikan yang mempengaruhi tercapainya keberhasilan ekonomi di daerah tersebut. Pendidikan di dalam masyarakat ini ditandai dengan proses belajar yang bersifat informal di dalam keluarga dan hubungan-hubungan yang tersusun antara suatu generasi ke generasi berikutnya untuk memberikan keterampilan-keterampilan ekonomi dan perkenalan perilaku sosial yang benar. Pendidikan tersebut bisa dikatakan sebagai suatu budaya yang tertanam pada masyarakat dari generasi ke generasi. Manusia hakekatnya disebut makhluk budaya demikian yang diucapkan oleh Ki Hadjar Dewantara (Herusatoto, 2008:11).

Masyarakat Dusun Sumberejo memiliki sikap beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Hal ini terlihat ketika pasca erupsi Merapi tahun 2010, keadaan sumber mata pencaharian mereka lumpuh. Masyarakat yang keseluruhan bertani salak mengalami kerugian dikarenakan pohon-pohon salak rusak akibat tertimpa material abu vulkanik dari Gunung Merapi. Masyarakat belajar bagaimana bertahan hidup dalam keadaan tersebut. Hal yang dilakukan mereka adalah membersihkan sisa-sisa dampak erupsi dan menunggu hingga pohon salak kembali tumbuh sehingga keadaan pertanian salak mereka pulih kembali. Hal ini tentunya mereka belajar untuk bertahan hidup di dalam keadaan tersebut. Mereka berusaha untuk memulihkan kembali keadaan pertanian mereka dengan segala cara agar sumber mata pencaharian mereka dapat kembali berfungsi. Hingga saatnya mereka mencapai tujuan tersebut


(22)

8

pohon salak kembali tumbuh dan berbuah. Meskipun hal tersebut tentunya membawa dampak pada perekonomian namun masyarakat Dusun Sumberejo memiliki kepercayaan yang tinggi kepada Sang Pencipta. Mereka tetap percaya keadaan tersebut harus disyukuri. Sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap tahunnya mengadakan Merti Dusun. Merti Dusun bagi mereka adalah cara untuk menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala limpahan rejeki dan untuk meminta perlindungan dan keselamatan kepada Sang Pencipta dari segala bahaya khususnya bahaya erupsi Merapi.

Erupsi Merapi bukan hanya sekali terjadi dan menimpa Dusun Sumberejo. Masyarakat dari generasi ke generasi memiliki pengalaman untuk tetap bertahan hidup pada daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan pengertian belajar bahwa belajar berhubungan dengan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar respon kecenderungan pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya) (Hilgard dalam Purwanto, 2007:84).

Budaya atau kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosio budaya yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman, lingkungannya yang menjadi kerangka landasan untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Suparlan: dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 264). Cara pandang budaya belajar sebagai sistem pengetahuan mengisyaratkan bahwa, budaya


(23)

9

belajar merupakan “pola kelakuan manusia yang berfungsi sebagai blueprint (pedoman hidup) yang dianut secara bersama” (Keesing & Keesing, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 264).

Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, yang dapat menciptakan dan mendorong individu-individu bersangkutan melakukan berbagai macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan kerangka aturan yang telah digariskan bersama yaitu di kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut menjelaskan kepada kita bahwa budaya belajar merupakan suatu proses kebiasaan meliputi seni mengolah diri, lingkungan dan apapun yang berhubungan dengan kita untuk senantiasa mengkondisikan diri terus bergerak, bertindak dan berbuat dalam keadaan apapun, sehingga kita terus maju, berkembang dan progresif. Konsep tersebut menjadi landasan untuk mencari tahu bagaimanakah pola-pola dan kebiasaan-kebiasaan belajar pada masyarakat Dusun Sumberejo. Dusun yang berada pada daerah rawan bahaya tingkat satu dari letusan Gunung Merapi, namun memiliki tingkat perekonomian yang baik dan sikap adaptasi terhadap lingkungan yang baik pula, meskipun pendidikan masyarakat atau orangtua rendah. Selain hal tersebut berangkat dari perspektif masyarakat yang hidup jauh dari wilayah Gunung Merapi beranggapan bahwa masyarakat yang hidup di lereng Merapi tidaklah nyaman hidupnya. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian” Budaya Belajar Pada Masyarakat Lereng Merapi”


(24)

10 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat di identifikasi masalah yang ada diantaranya:

1. Keadaan geografis daerah Dusun Sumberejo berada di lereng Gunung Merapi dan menjadi daerah rawan bahaya tingkat satu dari erupsi Gunung Merapi.

2. Keadaan pendidikan orangtua di daerah tersebut mayoritas rendah yaitu hanya sampai jenjang pendidikan sekolah dasar atau sederajat. Jika diprosentasekan tingkat pendidikan orangtua dengan lulusan SD sederajat 62,2%, SLTP sederajat 13,3%, SLTA sederajat 11,8%, dan yang tidak sekolah 12,6%.

C.Rumusan Masalah

Penulis akan mengangkat dan membatasi lingkup permasalah sebagai berikut:

1. Bagaimana budaya belajar masyarakat Dusun Sumberejo?

2. Bagaimana usaha masyarakat dalam beradaptasi dan bertahan hidup di daerah rawan bahaya?

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan budaya belajar masyarakat lereng Merapi khususnya Dusun Sumberejo


(25)

11

2. Untuk mendeskripsikan usaha yang dilakukan masyarakat dalam beradaptasi dan bertahan hidup di daerah rawan bahaya.

E.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini diantaranya: 1. Manfaat Teoritis.

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi penelitian sejenis sehingga mampu menghasilkan penelitian-penelitian yang lebih mendalam dalam kaitannya dengan budaya belajar masyarakat lereng Merapi sehingga dapat meningkatkan pembangunan yang ada di Indonesia khususnya di Dusun Sumberejo.

2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi, serta bagaimana cara beradaptasi dan bertahan hidup masyarakat lereng Merapi.

b. Bagi Dusun Sumberejo

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan sebagai bahan pertimbangan dalam membangun budaya belajar di lingkungan masyarakat lereng Merapi dan sebagai bahan masukan untuk para tokoh masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di Dusun Sumberejo.


(26)

12

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah daerah terkait dengan budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi dan upaya apa saja yang perlu dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf kehidupan di daerah tersebut.

d. Dinas atau Departemen Sosial dan pihak-pihak yang terkait.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang budaya belajar masyarakat lereng Merapi sehingga Dinas atau Departemen Sosial dan pihak terkait dapat menggunakannya untuk keperluan yang berkaitan dengan masyarakat lereng Merapi khususnya masyarakat Dusun Sumberejo.


(27)

13 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Budaya

Djoko (dalam Haryanto, 2011:195) berpendapat bahwa budaya masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Tak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Dari pendapat tersebut peneliti dapat mengambil inti dari definisi budaya bahwa budaya tidak lepas dari masyarakat sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tersebut. Sedangkan E.B Tylor (dalam Haryanto, 2011:200) berpendapat bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat -istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (dalam Haryanto, 2011:200) mengatakan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.

Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa budaya atau kebudayaan adalah masyarakat yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan masyarakat tidak lepas dari peran sebagai


(28)

14

pendukung dan wadah dari adanya kebudayaan. Perwujudan kebudayaan diantaranya benda-benda yang diciptakan oleh manusia berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2. Pengertian Belajar

Belajar memiliki kata dasar ajar yang memiliki arti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1984). Belajar berhubungan dengan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar respon kecenderungan pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya) (Hilgard dalam Purwanto, 2007:84).

Gagne (dalam Ratna 2006:1) berpendapat bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Sedangkan Sugihartono. et.al. (2007: 74) berpendapat bahwa belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relative permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil perwujudan dari belajar adalah adanya suatu


(29)

15

perubahan tingkah laku pada diri manusia misalnya dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Hal itu disebabkan adanya interaksi individu dengan lingkungannya.

Sedangkan Morgan (dalam Baharuddin, 2007:14) berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Dari definisi-definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah kegiatan individu untuk memperoleh pengetahuan, perilaku, dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar. Proses belajar akan diperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku hal tersebut dikarenakan adanya interaksi individu dengan lingkungannya.

3. Pengertian Budaya Belajar

Konsep budaya belajar senantiasa dihadapkan dengan kenyataan kehidupan manusia yang dinamis dan berubah terus menerus. Budaya belajar ditafsirkan bukan sebagai kebiasaan-kebiasaan belajar yang bersifat statis, melainkan sebagai pengetahuan belajar yang dinamis dan fleksibel dalam menghadapi berbagai masalah perubahan yang berlangsung (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 266).

Cara pandang budaya belajar menurut Keesing & Keesing, (dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 264) budaya belajar sebagai sistem pengetahuan mengisyaratkan bahwa, budaya belajar merupakan “pola kelakuan manusia yang berfungsi sebagai blueprint (pedoman hidup) yang dianut secara bersama”. Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan


(30)

16

untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, yang dapat menciptakan dan mendorong individu-individu bersangkutan melakukan berbagai macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan kerangka aturan yang telah digariskan bersama (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 264).

Budaya belajar dapat diartikan sebagai sistem pembelajaran yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan banyak pihak, termasuk didalamnya melibatkan pendidikan formal (Ember, 1968 dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 266). Menciptakan budaya belajar pada suatu masyarakat selain harus mengikuti perubahan dan sekaligus menyesuaikan perubahan itu dengan sistem nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, agar modifikasi budaya belajar dapat mencapai tujuan yang diharapkan (Erickson,1989:136 dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 267). Dari pendapat tersebut peneliti dapat mengambil inti bahwa kehidupan yang berjalan akan mengalami perubahan. Seiring berjalannya waktu budaya belajar yang ada di masyarakat akan mengalami perubahan guna menyesuaikan perkembangan zaman. Dalam menyesuaikan perkembangan zaman budaya belajar yang berlangsung tetap dalam sistem nilai-nilai, norma-norma, serta aturan yang berlaku di masyarakat agar budaya belajar tersebut dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai namun tetap dalam norma dan nilai yang ada.

Budaya belajar dapat juga dipandang sebagai proses adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan


(31)

17

sosial. Menurut Suparlan (dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 264) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:

1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya). 2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh

dari perasaan takut, keterpencilan, gelisah).

3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh).

Lebih lanjut Bunnet (dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 265) menjelaskan, bahwa adaptasi adalah upaya menyesuaikan dalam arti ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya, atau sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang dihadapi dapat disesuaikan dengan keinginan dan tujuannya. Pada kenyataannya manusia memang tidak hanya sekedar menerima lingkungan dengan apa adanya, melainkan belajar untuk menanggapi berbagai masalah yang ada di lingkungannya. Oleh karena itu, pada suatu lingkungan masyarakat terdapat ragam bentuk tindakan belajar individu atau kelompok yang pada dasarnya terdorong oleh sikap adaptif mereka. Upaya manusia melakukan belajar menyesuaikan dengan lingkungannya senantiasa berhubungan dengan pranata


(32)

18

sosial, psikologis, ekonomi dan juga fisiknya (Montagu, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 265). Dalam kaitannya itu, maka budaya belajar dapat dipandang juga sebagai strategi adaptasi yang berupa model-model pengetahuan belajar yang mencakup serangkaian aturan, petunjuk, resep-resep, rencana, strategi yang dimiliki dan digunakan oleh individu pembelajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Spradley, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 265). Kemampuan budaya belajar individu atau kelompok sosial dalam memecahkan persoalan yang timbul di lingkungannya sangat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu: perilaku belajar yang adaptif, strategi belajar yang adaptif, dan tindakan belajar yang adaptif (Bennet dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009:265).

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI berpendapat bahwa pola budaya belajar dapat berlangsung dua arah, yakni sebagai pola pewarisan (yang artinya budaya belajar bersifat mempertahankan usaha pewarisan) dan dapat juga sebagai pola pengembangan warisan (artinya budaya belajar dapat mengembangkan usaha pewarisan). Mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan fungsional harus memenuhi persyaratan diantaranya:

1. Adaptasi (adaptation), yang menunjuk keharusan bagi sistem budaya belajar mampu penyesuaian diri dengan lingkungan yang dihadapi

2. Pencapaian tujuan (goal attainment), yakni keharusan bagi sistem budaya belajar untuk bertindak dalam kerangka pencapaian tujuan bersama


(33)

19

3. Integration (integration), yakni keharusan bagi sistem budaya belajar untuk memiliki kemampuan menjaga solidaritas dan kerelaan bekerja antar anggotanya:

4. Latensi (latent pattern maintenance), yakni persyaratan fungsional yang mengarah pada keharusan sistem budaya belajar memiliki kemampuan menjamin tindakan yang sesuai dengan aturan atau norma-norma yang berlaku (Parsons, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2009: 266-267)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya belajar masyarakat adalah kebiasaan-kebiasaan belajar yang bersifat statis atau bisa disebut sebagai proses adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial di dalam kehidupan masyarakat. Proses adaptasi ini dilakukan secara terus menerus yang berfungsi sebagai blueprint (pedoman hidup) yang dianut bersama. Proses budaya belajar tersebut mengikuti perubahan dan sekaligus menyesuaikan perubahan itu dengan sistem nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, agar modifikasi budaya belajar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

4. Pengertian Masyarakat Lereng Merapi

a. Pengertian Masyarakat

Masyarakat berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan. Koentjaraningrat (2002: 146) berpendapat bahwa masyarakat adalah sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu system adat


(34)

20

istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terkait oleh suatu rasa identitas bersama.

Edward B. Taylor (dalam http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/), berpendapat bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seorang sebagai anggota masyarakat atau masyarakat merupakan cikal bakal dari munculnya suatu kebudayaan atau peradapan yang terjadi pada diri setiap pribadi yang mempunyai corak pada karakteristik tertentu.

Adapun Ki Hajar Dewantara (dalam dalam http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/) yang berpendapat, bahwa kebudayaan merupakan buah budi manusia melalui perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang sekaligus menjadi bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagian yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

b. Gunung Merapi

Berdasarkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang di akses dari http://merapi.bgl.esdm.go.id/ Dari 129 gunungapi yang ada di wilayah Indonesia Gunung Merapi termasuk yang paling aktif. Merapi adalah gunungapi dengan tipe Strato-volcano dan secara petrologi magma Merapi bersifat andesit-basaltik. Menjulang setinggi 2978 m di jantung pulau Jawa, Merapi mempunyai


(35)

21

diameter 28 km, luas 300-400 km2 dan volume 150 km3. Posisi geografis Merapi 7o 32’ 5" S ; longitude 110o 26’5" E. mencakup wilayah administratif Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Merapi terbentuk secara geodinamik pada busur kepulauan akibat subduksi pertemuan lempeng Indo-australia dengan lempeng Asia. Dinamika erupsi Merapi umumnya didahului pertumbuhan kubah lava diikuti guguran awanpanas, guguran lava pijar dan jatuhan piroklastik. Bahaya utama yang mengancam sekitar 40.000 jiwa yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana adalah Pyroclastic Flow atau aliran awanpanas di samping bahaya sekunder lahar yang dapat terjadi pada musim hujan. Erupsi Merapi termasuk sering dalam 100 tahun terakhir ini rata-rata terjadi sekali erupsi dalam 2-5 tahun. Di luar ancaman bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi, Merapi memiliki aspek sosial dan ekonomis yang penting bagi kemajuan wilayah sekitarnya. Material erupsi Merapi seperti pasir dan batu menjadi penunjang pembangunan di Yogyakarta dan Jawa Tengah demikian juga halnya dengan produk pertanian.

Gunung Merapi merupakan gunung api aktif yang terletak di titik silang antara sesar transversal yang memisahkan wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah selain itu juga terletak disebuah sesar longitudinal Jawa (Kusumadinata, 1979: 250). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan Geologi memperjelas keterangan yang dituliskan oleh Neuman van Padang mengenai letak Gunung Merapi (2986 dpl), bahwa gunung tersebut terletak diperbatasan empat kabupaten yaitu Kabupaten


(36)

22

Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten Jawa Tengah. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004.

Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di dunia. Memiliki siklus letusan yang tidak teratur namun memiliki pola yang relative sama. Lereng selatan Gunung Merapi memiliki relief yang beragam dengan berbagai tipe ekosistem. Lereng tersebut didominasi oleh hutan submontana (hutan pada ketinggian 1000-1500 meter di atas permukaan laut) dan berbagai variasi yang khas seperti adanya padang rumput (Mackinnon, 1996:37).

c. Masyarakat Lereng Merapi

Masyarakat lereng Merapi adalah masyarakat yang bertempat tinggal di lereng Gunung Merapi. Berdasarkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang diakses dari http://merapi.bgl.esdm.go.id/ penduduk yang bermukim di lereng cukup padat menyebabkan tingkat ancaman bahaya Merapi menjadi tinggi. Merapi adalah fenomena alam yang mampu memberikan sumber kehidupan yang baik dari kesuburan tanahnya dan kenyamanan untuk bertempat tinggal di sana. Lingkungan gunung api akan membentuk pola masyarakat yang khas. Masyarakat di lereng Merapi berdasarkan tinjauan sosiologis relatif


(37)

23

homogen dari segi etnisitas dan agama, sebagian besar masih menjalankan tradisi Jawa, berbahasa Jawa, hidup komunal dan mempunyai sifat kekeluargaan gotong royong, mayoritas mata pencaharian agraris, sebagian kecil bergerak di bidang pertambangan, kepariwisataan dan pegawai negeri.

Masyarakat lereng Gunung Merapi masih memegang nilai-nilai kearifan lokal dalam kesehariannnya. Salah satunya dengan menjalin hubungan serasi dengan alam yang didasari kepercayaan bahwa antara Gunung Merapi,Keraton dan Pantai Selatan saling terhubung erat satu sama lain. Masyarakat juga bahwa meyakini gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’ sehingga manusia wajib menjaga kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono” dalam pelestarian alam wilayah Yogyakarta. (Kementrian Energi dan Sumber Mineral diakses dari http://www.esdm.go.id)

B. Penelitian Relevan

1. Budaya Belajar Siswa Pada Sekolah Unggul Di SMA Negeri 1 Pamekasan oleh Saiful Arif (Dosen STAIN Pamekasan Prodi PAI/email: saiful_arif@yahoo.co.id) (dalam http://ejournal.stainpamekasan.ac.id..).

Penelitian ini menghasilkan temuan yang dapat disimpulkan bahwa: 1) pola atau kebiasaan belajar siswa SMA Negeri 1 Pamekasan sudah didisiplinkan sejak awal menjadi siswa sampai lulus dari SMA Negeri 1 Pamekasan. Hal tersebut dimulai dari proses pembinaan pada saat MOS siswa baru, pemanfaatan sumber belajar secara mandiri, pemberian tugas-tugas mandiri oleh guru kepada siswa melalui Lembar Kerja Siswa, dan


(38)

24

pemanfaatan kecanggihan teknologi informasi seperti penggunaan laptop dan internet. Strategi belajar unggul yang dilakukan oleh SMA Negeri 1 Pamekasan yaitu aktifitas belajar siswa diawali dengan kegiatan tatap muka dalam kelas yang dibina langsung oleh masing-masing guru mata pelajaran. Kemudian yang kedua anak-anak diarahkan dan dikembangkan dalam program studi adaptasi yaitu kegiatan belajar berdasarkan minat dan bakat studi yang diawali dengan pengisian format minat studi, selanjutnya dilakukan tes sehingga berdasarkan hasil tersebut anak ditentukan minatnya yaitu; a) fisika; b) biologi; c) matematika; dan d) kimia.

Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peniliti adalah adanya kesamaan tentang bagaimana terbentuknya suatu budaya belajar itu. Dalam penelitian tersebut cara untuk membentuk kebiasaan belajar siswa adalah dengan mendisiplinkan siswa-siswanya, latihan-latihan, strategi belajar unggul, dan yang terpenting adalah dengan mengarahkan dan mengembangkan program studi adaptasi belajar siswa hal ini terbukti dapat membawa dampak baik yaitu semua siswa dapat lulus 100 persen. hal yang membedakan dari penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah pada penelitian tersebut subyek yang diteliti adalah siswa-siswa yang ada di sekolah, namun dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah budaya belajar masyarakat. Hal ini dapat dikaitkan dengan penelitian budaya belajar masyarakat Lereng Merapi karena untuk membentuk suatu budaya belajar sama halnya membutuhkan cara atau strategi yang tepat agar budaya belajar masyarakat yang berkembang adalah


(39)

25

budaya belajar yang baik yang dapat digunakan sebagai cara atau strategi dalam pemenuhan syarat-syarat kebutuhan manusia, yaitu syarat dasar alamiah, syarat kejiwaan dan syarat dasar sosial.

1. Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Berbasis Pemanfaatan Sumberdaya Perdesaan Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Perdesaan (Studi di Lereng Merapi Daerah Istimewa Yogjakarta) oleh Hastuti dan Dyah Respati, Fakultas Ilmu Sosial Ekonomi, Universitas Negeri Yogjakarta (dalam eprints.uny.ac.id/.../1/laporan%20akhir%20desa% 20w...).

Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sumberdaya perdesaan di ketiga daerah penelitian meliputi sumberdaya fisik dan non fisik yakni lahan, hutan, permodalan, infrastruktur, rumah serta barang berharga, dan kelembagaan. Pemanfaatan sumberdaya perdesaan masih bias gender, perempuan termarjinalisasi dalam akses dan kontrol terhadap sumberdaya perdesaan sehingga kurang memilki kesempatan yang terbuka dan transparan. Perempuan miskin memanfaatkan sumberdaya perdesaan meskipun belum optimal. Sumberdaya perdesaan dimanfaatkan dengan cara-cara tradisional seperti dikelola untuk pertanian tanpa teknologi, untuk memperoleh kayu-kayuan, hijauan makanan ternak, dan apa saja yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Perempuan miskin belum banyak memanfaatkan sumberdaya terkait dengan memperoleh modal dari lembaga keuangan formal, mereka memanfaatkan lembaga yang dikelola sendiri seperti arisan. Perempuan miskin memiliki keterbatasan modal,


(40)

26

keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, keterbatasan akses dan kontrol terhadap sumberdaya perdesaan diperlukan stimulasi untuk membangkitkan kemauan dan kemampuan perempuan miskin. Pemberdayaan perempuan miskin dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dan melibatkan perempuan miskin untuk dapat berpartisipasi aktif dalam pemanfaatan sumberdaya perdesaan. Berpartisipasi dalam mengembangkan kegiatan produktif melalui peningkatan keterampilan dan pengetahuan untuk pemanfaatan sumberdaya perdesaan secara optimal dan berkelanjutan. Pemberdayaan perempuan miskin dalam penelitian ini dilakukan melalui kelompok- kelompok yang difasilitasi ketua yang diambil dari masyarakat setempat melalui kesepakatan bersama.

Pengembangan model pemberdayaan yang ditawarkan dalam pengentasan kemiskinan di perdesaan adalah melibatkan perempuan miskin agar senantiasa dapat memanfaatkan sumberdaya perdesaan untuk kegiatan produktif dengan memperhatikan potensi dan daya dukung sumberdaya tersebut secara berkelanjutan dan berdaya guna. Pemberdayaan melalui penguatan peran perempuan miskin secara aktif dalam pemanfaatan sumberdaya perdesaan perlu dikedepankan agar perempuan dapat memanfaatkan sumberdaya perdesaan secara optimal. Penerapan teknologi sesuai kemampuan dan kebutuhan perempuan miskin, peningkatan partisipasi secara aktif, peningkatan pengetahuan dan keterampilan agar; dan penguatan ekonomi sosial agar dapat mengelola sumberdaya perdesaan


(41)

27

dengan lebih berdaya guna merupakan langkah yang perlu dikedepankan dalam penegmbangan model pemberdayaan perempuan miskin.

Penelitian tersebut terkait dengan bagaimana warga lereng merapi memenuhi syarat dasar alamiah mereka yang terkait dengan bidang perekonomian. Berdasarkan data yang sudah ada pada latar belakang BAB I tingkat pendidikan masyarakat dalam artian masyarakat produktif yaitu orangtua mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Perempuan atau ibu-ibu di Dusun tersebut kebanyakan juga bekerja pada bidang pertanian. Mereka membantu suaminya dalam mengurus sawah atau perkebunan. pemberdayaan yang ditawarkan dalam pengentasan kemiskinan di perdesaan adalah melibatkan perempuan miskin agar senantiasa dapat memanfaatkan sumberdaya perdesaan untuk kegiatan produktif dengan memperhatikan potensi dan daya dukung sumberdaya tersebut secara berkelanjutan dan berdaya guna. Hal tersebut sudah terlaksana di Dusun tersebut, bedanya dalam penelitian tersebut haruslah ada suatu usaha pemberdayaan namun di Dusun Sumberejo hal tersebut sudah menjadi kebiasaan perempuan untuk bekerja di bidang pertanian dengan suaminya. C. Kerangka Pikir

Budaya belajar masyarakat adalah kebiasaan-kebiasaan belajar yang bersifat statis atau bisa disebut sebagai proses adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial di dalam kehidupan masyarakat yang dilakukan secara terus menerus yang berfungsi sebagai blueprint (pedoman hidup) yang dianut bersama, proses


(42)

28

budaya belajar tersebut mengikuti perubahan dan sekaligus menyesuaikan perubahan itu dengan sistem nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, agar modifikasi budaya belajar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Masyarakat Dusun Sumberejo berada di lereng Gunung Merapi, hal ini tentunya ada suatu kebiasaan belajar dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang hidup jauh dari lereng Merapi. Mereka memiliki cara tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang berdasarkan pada syarat kebutuhan hidup yaitu syarat dasar alamiah, syarat kejiwaan, dan syarat dasar sosial. Serta bagaimana usaha masyarakat Dusun Sumberejo dalam beradaptasi dengan lingkungan. Oleh karena itu bagaimanakah usaha dan cara masyarakat dalam pemenuhan syarat-syarat kebutuhan hidup. Untuk memudahkan penelitian maka peneliti membuat bagan kerangka berpikir sebagai berikut:

Syar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Masyarakat Dusun

Sumberejo

Syarat Kebutuhan Hidup:

a. Syarat Dasar

Alamiah b. Syarat Kejiwaan c. Syarat Dasar Sosial

Cara pemenuhan syarat kebutuhan hidup

Budaya Belajar Usaha masyarakat beradaptasi


(43)

29 D. Pertanyaan Penelitian

Agar dalam penelitian ini benar-benar dapat memecahkan perumusan masalah yang ada pada BAB I mengenai budaya belajar masyarakat lereng merapi, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: 1) Bagaimana keadaan perekonomian (syarat dasar alamiah), kejiwaan (syarat

kejiwaan), dan sosial (syarat dasar sosial) masyarakat Dusun Sumberejo? 2) Bagaimana budaya belajar masyarakat untuk bertahan hidup di daerah

rawan bahaya erupsi Gunung Merapi dalam memenuhi syarat dasar alamiah, syarat kejiwaan, dan syarat dasar sosial sebagai kebutuhan hidup mereka? 3) Bagaimana usaha masyarakat Dusun Sumberejo dalam beradaptasi dengan

lingkungan lereng Merapi pasca Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 dalam membangun perekonomian?


(44)

30 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif menurut Sugiyono (2014:1) digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2010:4) mendefinisikan “metode kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Penelitian deskriptif menurut Lincon and Cuba (dalam Sukardi, 2003:23), dilihat sebagai penelitian yang bersifat naturalistik. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu, pertama, menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explore) dan yang kedua menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).

Pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan data yang bersifat deskriptif guna menggambarkan, mengungkapkan, serta menjelaskan budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi. Masyarakat yang hidup di lingkungan rawan bahaya tingkat satu dari bahaya erupsi Gunung Merapi.

B. Setting Penelitian

Penelitian tentang budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi dilaksanakan di Dusun Sumberejo, Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung,


(45)

31

Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan Dusun tersebut merupakan Dusun yang paling puncak di Kecamatan Srumbung atau berada di lereng Merapi. Selain hal itu belum ada penelitian terkait budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi khususnya di Dusun Sumberejo. Waktu penelitian dilaksanakan selama satu bulan setengah.

C. Sumber data penelitian

Sumber data bisa berupa orang, dokumentasi (arsip), atau berupa kegiatan. Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti menggunakan teknik sampling. Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel (Sugiyono, :52). Subjek penelitian diperlukan sebagai pemberi informasi atau data-data yang menjadikan sasaran penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah: 1) Kepala Desa Kaliurang

2) Kepala Dusun Sumberejo

3) Tokoh masyarakat Dusun Sumberejo yaitu Kepala Dusun, Ketua RT, Ketua RW, dan Ketua Pemuda.

4) Masyarakat Sumberejo

Penentuan subjek penelitian di atas berdasarkan kebutuhan penelitian dan dianggap telah memadai apabila telah sampai pada taraf redundancy (datanya telah jenuh). Penentuan subjek penelitian juga mempertimbangkan relevansi dari tujuan penelitian. Oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih subjek penelitian masyarakat Dusun Sumberejo pada usia produktif yaitu orangtua (Bapak dan Ibu) yang bertempat tinggal di Dusun Sumberejo.


(46)

32

Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan Snowball Sampling. Snowball Sampling adalah teknik pengambilan sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2014: 54). Maksud dari pemilihan teknik tersebut adalah untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber sehingga data yang diperoleh dapat diakui kebenarannya.

D. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk meneliti budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi adalah sebagai berikut:

1) Observasi (pengamatan)

Melalui teknik pengamatan atau observasi dapat menghindari adanya informasi yang semu atau kurang jelas dari penelitian. Melalui observasi, peneliti juga belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut (Sugiyono, 2012:310). Selain observasi atau mengamati peneliti juga mencatat setiap aktivitas terkait dengan budaya belajar pada masyarakat Dusun Sumberejo. Guna memudahkkan observasi peneliti membuat kisi-kisi observasi sebagai berikut:


(47)

33 Tabel 1. Kisi-kisi Observasi

No Aspek Sumber Data

1. Lingkungan masyarakat Proses kehidupan di dalam lingkungan masyarakat Dusun Sumberejo

2. Syarat dasar alamiah (perekonomian) Kegiatan masyarakat dalam kaitannya bercocok tanam, lahan usaha

3. Syarat kejiwaan (pemenuhan rasa

nyaman) Kegiatan terkait dengan kegiatan religi dan sebagainya

4. Syarat dasar sosial Interaksi warga, kegiatan sosial

2) Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dari semua pelaku atau masyarakat Dusun Sumberejo. Esterberg (dalam Sugiyono: 2014: 72) berpendapat bahwa wawancara atau interview adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi (Susan Stainback dalam Sugiyono, 2012:318).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui


(48)

34

dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh (Sugiyono, 2014:73). Dalam wawancara terstruktur ini setiap responden diberikan pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya. Wawancara penelitian ini ada beberapa alat yang digunakan diantaranya buku catatan, camera, dan video. Pada penelitian ini, peneliti membuat kisi-kisi wawancara sebagai berikut:

Tabel 2. Kisi-kisi Wawancara

No Aspek Sumber data

1 Keadaan perekonomian (syarat dasar alamiah)

masyarakat Masyarakat Sumberejo dan kepala Dusun Sumberejo 2. Keadaan kejiwaan (syarat kejiwaan) masyarakat Masyarakat

Sumberejo dan kepala Dusun Sumberejo 3. Keadaan sosial (syarat dasar sosial) masayarakat Masyarakat

sumberejo dan kepala Dusun Sumberejo 4. Budaya belajar masyarakat dalam memenuhi

syarat kebutuhan hidup

Masyarakat Sumberejo dan kepala Dusun Sumberejo 5. Usaha masyarakat dalam beradaptasi dan

bertahan hidup

Masyarakat Sumberejo dan


(49)

35 3) Dokumentasi

Selain menggunakan teknik observasi dan wawancara peneliti juga menggunakan teknik dokumentasi, karena teknik ini dianggap penting yang berfungsi sebagai tambahan pelengkap dari data primer. Dokumentasi dalam penelitian ini dengan mengumpulkan foto-foto, arsip, video tentang informan dan semua yang bersangkutan dengan fokus penelitian.

Tabel.3 Kisi-kisi Dokumentasi

No Aspek Sumber Data

1. Lingkungan masyarakat Dokumentasi foto lingkungan masyarakat Dusun Sumberejo 2. Syarat dasar alamiah (perekonomian) Dokumentasi foto, arsip

dan data tentang masyarakat dan lahan usaha

3. Syarat kejiwaan (pemenuhan rasa nyaman)

Dokumentasi, data, dan arsip kegiatan terkait dengan kegiatan religi dan sebagainya

4. Syarat sosial Dokumentasi foto

interaksi warga, dan kegiatan sosial


(50)

36 E. Teknik Analisis Data

Nasution dalam Sugiyono (2014:89) berpendapat bahwa analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

Aktivitas dalam analisis pengumpulan data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Miles and Huberman dalam Sugiyono 2014:91).Adapun langkah-langkah menganalisis data secara umum, yaitu sebagai berikut:

1. Penyajian data, bertujuan untuk memaparkan data secara rinci dan sistematis setelah dianalisis ke dalam format yang telah disiapkan.

2. Reduksi data, bertujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak relevan, dan mengorganisasikannya, sehingga kesimpulan akhir dapat dirumuskan, menyeleksi secara ketat, membuat ringkasan dan rangkuman inti.

3. Penarikan kesimpulan, bertujuan untuk memberi arti atau memakai data yang diperoleh baik melalui observasi, wawancara, maupun dokumentasi.


(51)

37 F. Keabsahan Data

Peneliti menggunakan teknik triangulasi untuk memeriksa keabsahan data yang diperoleh. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu (Sugiyono, 2014:125). Dalam penelitian ini teknik triangulasi yang diganakan adalah sebagai berikut:

a. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber untuk menguji krediblitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Sugiyono, 2014:127). Dalam penelitian ini menguji keabsahan data tentang budaya belajar masyarakat lereng Merapi maka pengujian data yang telah diperoleh dari masyarakat kemudian tokoh masyarakat, Kepala Dusun dan

Pengumpulan Data

Sajian Data

Penarikan

kesimpulan/verivikasi

Reduksi data

Gambar 2. Desain teknik analisis data Miles & Huberman dalam (Sugiyono : 2014: 92)


(52)

38

kemudian Kepala Desa. Data yang telah dianalisis oleh peneliti dimintai kesepakatan dengan empat sumber tersebut.

b. Triangulasi Teknik

Triangulasi sumber untuk menguji krediblitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda (Sugiyono, 2014:17). Dalam penelitian ini data yang sudah diperoleh dari wawancara kemudian dicek dengan hasil observasi dan dokumentasi.


(53)

39 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan disajikan data-data hasil penelitian sebagai usaha mendeskripsikan tentang budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi. Penelitian tentang budaya belajar pada masyarakat lereng Merapi ini dapat dilaksanakan sesuai rencana awal. Kegiatan dan tempat pengambilan data dilaksanakan di Dusun Sumberejo, Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang.

A.Deskripsi Umum

1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Sumberejo, Desa Kaliurang Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Srumbung berada di sebelah barat daya Gunung Merapi sehingga termasuk daerah bahaya satu dari ancaman gunung Merapi, karena wilayahnya yang berada di kaki Gunung Merapi yang masih aktif. Desa Kaliurang adalah Desa yang paling puncak atau yang paling dekat dengan Gunung Merapi, sedangkan Dusun Sumberejo adalah Dusun yang paling puncak dekat dengan Gunung Merapi yang masih berada pada wilayah kelurahan Desa Kaliurang.

Pada mulanya Dusun Sumberejo merupakan sebuah Desa yaitu Desa Gimbal. Desa Gimbal mengalami perpindahan lokasi atau disebut dengan Bedol Ndeso dikarenakan Desa Gimbal terkena lahar dingin dari erupsi Merapi. Lahar dingin tersebut menghancurkan Desa Gimbal pada tahun


(54)

40

1972. Warga Desa Gimbal pada tahun 1972 mengalami bencana yang besar. Oleh karena itu pemerintah membuat program yaitu Bedol Ndeso ke Lampung. Hal tersebut bertujuan untuk mengisolasi masyarakat Desa Gimbal yang masih rawan bahaya dan tidak memiliki tempat tinggal agar memulai hidup baru di Lampung. Setelah setengah tahun beberapa warga kembali ke Desa Gimbal dikarenakan tidak betah atau kurang nyaman tinggal di Lampung. Pada saat beberapa warga kembali ke tempat asal, pemerintah bersama oknum keamanan di Desa Gimbal melarang keras warganya kembali ke tempat tersebut. Alasannya adalah Desa Gimbal sangat rawan terhadap bahaya Erupsi Merapi dan Desa tersebut juga masuk ke dalam daerah yang tidak diperbolehkan untuk dihuni oleh masyarakat. Larangan untuk bertempat tinggal tersebut memaksa beberapa masyarakat membuat tempat tinggal sementara atau Gubuk di lahan sawah masyarakat. Setelah beberapa tahun semakin banyak masyarakat yang kembali ke Desa Gimbal sehingga pemerintah akhirnya membuat alternatif untuk memindahkan lokasi Desa Gimbal ke sebelah selatan Desa tersebut agar jarak antara Desa dengan Gunung Merapi tidak terlalu dekat. Setelah mengalami perpindahan lokasi akhirnya Desa tersebut berganti menjadi Dusun Sumberejo dan ikut dalam wilayah kelurahan Desa Kaliurang.

Dusun Sumberejo berada pada daerah lereng Merapi dengan tingkat kesuburan tanah yang baik sehingga dimanfaatkan warga sebagai lahan pertanian. Pertanian salak merupakan tanaman yang banyak dimiliki oleh warga, hampir semua warga Dusun Sumberejo mempunyai kebun atau


(55)

41

sawah yang ditanami salak. Salak di Dusun Sumberejo tumbuh dengan subur sehingga dapat menghasilkan buah salak yang melimpah setiap panen raya tiba. Daerah tersebut juga memiliki keunggulan dalam bidang pertanian salak, yaitu salak nglumut dengan nilai jual lebih tinggi dibandingkan salak pondoh lainnya.

2. Sumber Daya yang Dimiliki

Desa Kaliurang yang merupakan pemerintahan kelurahan dari Dusun Sumberejo memiliki potensi umum berdasarkan Buku Format Laporan Profil Desa dan Kelurahan Kaliurang Tahun 2014. Buku tersebut berisi tentang laporan keseluruhan wilayah Desa Kaliurang termasuk di dalamnya adalah Dusun Sumberejo. Potensi tersebut terdiri dari:

a. Potensi Sumber Daya Alam terdiri dari Batas wilayah, batas wilayah Desa Kaliurang adalah sebelah utara berbatasan dengan Dusun Kemiren, sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Nglumut, sebelah timur berbatasan dengan Dusun Wonokerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman, sedangkan di sebelah barat Desa Kaliurang berbatasan dengan Dusun Kamongan. Luas wilayah menurut pengguna Desa Kaliurang dengan jumlah total 283 ha/m². Wilayah tersebut terdiri dari luas wilayah pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, pekarangan, taman, perkantoran, dan luas prasarana umum lainnya. Tanah sawah yang dimiliki Desa Kaliurang jumlah totalnya adalah 152,8 ha/m². Tanah sawah tersebut terdiri dari sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah tadah hujan, dan sawah pasang surut.Tanah


(56)

42

kering di Desa Kaliurang jumlah totalnya adalah 402,4 ha/ m². Tanah kering tersebut terdiri dari tegal/ ladang, permukiman, pekarangan dan hutan rakyat.Tanah perkebunan Desa Kaliurang jumlah totalnya adalah 5,5 ha/m². Tanah tersebut terdiri dari tanah perkebunan rakyat, tanah perkebunan Negara, tanah perkebunan swasta, dan yang terakhir adalah tanah perkebunan perseorangan dengan jumlah 5,5 ha/m².

b. Potensi Pertanian Desa Kaliurang dalam segi tanaman pangan jumlah keluarga yang memiliki tanah pertanian adalah 734 keluarga. Hasil tanaman dan luas tanaman buah-buahan adalah dengan buah salak sejumlah 350 Ha dengan hasil 210 Ton/Ha.

c. Potensi perkebunan di Desa Kaliurang dengan kepemilikan lahan perkebunan sejumlah 86 keluarga. Hasil perkebunan terdiri dari kelapa dan kopi.

d. Potensi kehutanan Desa Kaliurang jumlah total yang dimiliki masyarakat perorangan adalah sejumlah 185,4 ha. Hasil hutan tersebut terdiri dari kayu, madu lebah, dan bambu. Kondisi hutan di Desa Kaliurang 165 ha dalam kondisi baik sedangkan 20 ha dalam keadaan rusak.

e. Potensi peternakan di Desa Kaliurang dengan jenis populasi jenis hewan ternak sapi jumlah kepemilikannya mencapai 220 orang, dan jumlah perkiraan populasi hewan sapi sebanyak 346 ekor. Ketersediaan hujauan pakan ternak di Desa Kaliurang sejumlah 26 ha dengan produksi hijauan makanan ternak sejumlah 15 Ton/Ha.


(57)

43

B.Keadaan Perekonomian, Kejiwaan dan Sosial Masyarakat Dusun

Sumberejo

1. Keadaan Perekonomian Masyarakat Dusun Sumberejo

Sebagian besar masyarakat Dusun Sumberejo bekerja sebagai Petani, PNS dan Pekerja Swasta. Mayoritas pekerjaan masyarakat ada pada sektor pertanian dikarenakan lahan yang dimiliki memadai dan tingkat kesuburan tanah yang baik di Dusun tersebut. Masyarakat sebagian besar memiliki sawah ataupun kebun salak, seperti yang terlihat pada saat peneliti melakukan observasi. Lingkungan Dusun Sumberejo nampak banyak pohon salak. Berikut hasil dokumentasi tersebut:

Gambar 2. Kebun Salak Masyarakat sebagai sumber pemenuhan syarat dasar alamiah atau perekonomian masyarakat Dusun Sumberejo.

Selain tanaman salak beberapa petani juga memilki lahan yang ditanami padi ataupun sayur-sayuran, karena pada mulanya pertanian


(58)

44

masyarakat adalah pertanian yang berupa tanaman padi, sayuran dan palawija. Seiring perkembangan zaman pohon salak mulai diminati masyarakat hingga pada saat ini pertanian salak yang menjadi dominan di masyarakat Dusun Sumberejo. Bagi sebagian masyarakat penghasilan dari kebun salak tersebut sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh ibu SY pada wawancara hari Kamis, 16 April 2015 yang berpendapat seperti berikut:

“Alhamdulilah mpun saget nyekapi kebutuhan bendintenipun kangge tumbas janganan lawuh mbak (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)

Dari pernyataan beberapa warga tersebut penghasilan masyarakat dari bertani sudah mencukupi kebutuhan dasar masyarakat. Hal tersebut dikarenakan beban hidup yang dimiliki tidak terlalu berat, misalnya tidak membiayai sekolah anak. Selain beban hidup sebagian masyarakat juga mempunyai pekerjaan pokok ataupun sambilan selain bertani. Hal tersebut yang menjadikan penghasilan masyarakat cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makan, minum. Berbeda dengan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan sambilan, dan hanya mengandalkan hasil dari bertani. Sebagian masyarakat merasa kekurangan, seperti yang diungkapkan oleh Bapak SK pada saat wawancara pada hari Kamis, 16 April 2015 yang berpendapat seperti berikut:

“Dereng mbak katah keperluan kangge sekolah anak-anak, yen kanggge bendinan geh mpun” (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)


(59)

45

Dari pernyataan beberapa warga tersebut dapat diketahui pemenuhan kebutuhan untuk makan, minum atau dapat disebut dengan kebutuhan dasar sudah dapat tercapai pemenuhannya dari hasil pekerjaannya sebagai petani. Namun, selain kebutuhan pokok masyarakat harus memenuhi kebutuhan lainnya seperti pendidikan untuk anaknya.

Selain bertani masyarakat juga memiliki pekerjaan sambilan sebagai peternak sapi ataupun kambing. Tanah yang subur di lereng Merapi memungkinkan untuk masyarakat memelihara hewan ternak dikarenakan ketersediaan bahan pakan ternak terpenuhi. Rumput yang menjadi pakan hewan ternak tumbuh subur di sekitar lingkungan masyarakat. Masyarakat di Dusun Sumberejo yang memiliki hewan ternak mempunyai pekerjaan lain selain mengurus tanaman salak, yaitu merumput. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Dusun Sumberejo semua masyarakat di Dusun ini mempunyai hewan ternak baik sapi ataupun kambing. Hewan ternak yang dipelihara masyarakat tidak semuanya milik pribadi, ada pula yang hanya buruh merawat hewan tersebut atau masyarakat jawa menyebutnya gadoh. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh ibu PN pada saat wawancara pada hari Kamis, 16 April 2015, ibu tersebut berpendapat sebagai berikut:

“Liane ngurusi salak geh ngarit mbak, kangge tabungan niki sapine. Niki sapine mboten kagungane kiambak, kulo naming buruh gadoh mawon mbak” (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)

Sistem buruh atau gadoh tersebut dalam membagi hasil adalah dengan cara membagi anak sapi atau hewan ternak yang sudah lahir, jika sapi yang dipelihara sudah melahirkan anak misalnya saja 2 yang 1


(60)

46

menjadi bagian yang merawat atau penggadoh dan yang satunya bagian untuk pemilik sapi. Jika hewan ternak belum melahirkan cara membagi hasilnya adalah, pemilik hewan ternak mengambil berapa modal yang dikeluarkan untuk membeli hewan ternak, kemudian sisa penjualan dibagi dua. Sistem gadoh tersebut menguntungkan bagi kedua belah pihak. Masyarakat yang belum mampu membeli hewan ternak dapat merasakan bagaimana memelihara dan kelak dapat memiliki sebagian dari hasil gadohnya tersebut. Bagi pemilik hewan ternak keuntungannya adalah tidak harus susah payah merawatnya, tinggal menunggu hasilnya. Pada saat observasi peneliti menjumpai beberapa ibu-ibu pulang dari sawah menggendong rumput untuk hewan ternak yang dimilikinya. Berikut hasil dokumentasi usaha peternakan hewan yang dimiliki masyarakat setempat:

Gambar 3. Hewan Ternak salah satu Masyarakat yang merupakan hewan gadohan yang diajadikan pekerjaan sambilan oleh masyarakat Dusun Sumberejo untuk menunjang perekonomian sehingga sarat dasar alamiah masyarakat terpenuhi.


(61)

47

Selain pertanian di sektor salak masyarakat juga memiliki lahan sawah yang digunakan untuk menanam padi dan sayuran. Pertanian salak di Dusun Sumberejo sudah maju hal tersebut didukung adanya program kerjasama dengan Negara Cina. Kerjasama yang dimaksud adalah hasil panen salak masyarakat Sumberejo di ekspor ke Negara Cina. Produk yang di ekspor berbentuk buah asli salak yang belum diolah menjadi bentuk makanan yang lebih awet seperti dodol. Program tersebut dikelola oleh kelompok tani yang diketuai oleh Bapak Sumadi. Dalam program tersebut terdapat sistem pembagian kelompok yaitu setiap periode ekspor salak hanya ada satu kelompok yang mendapat jatah hasil panennya yang diekspor. Adapun pembagian jatah tersebut digolongkan per Rukun Tangga (RT). Sistem tersebut dimaksudkan agar hasil panen masyarakat dapat

dikelola secara adil. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh ibu SJ pada saat wawancara hari Kamis, 16 April 2015. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Sekarang ini ada kerjasama ekspor salak ke Cina, pengurusnya Kelompok Tani ketuanya Bapak Agus Jrakah. Kalo di sini pak Sumadi, itu giliran mbak setiap penduduk dapet jatah sendiri mbak waktu nya per RT.” (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)

Selain kerjasama dengan Negara Cina, kelompok tani di Dusun tersebut juga sudah memiliki rencana untuk bekerjasama dengan Negara Eropa. Kerjasama dengan Negara Eropa kali ini masih dalam rencana dan belum disahkan. Rencana kerjasama tersebut sangat menguntungkan bagi masyarakat, dikarenakan nilai jual salak harganya stabil dan jauh lebih


(62)

48

tinggi dibandingkan harga pasar di daerah tersebut. Hal tersebut dikemukakan oleh Ibu ST sewaktu peneliti melakukan wawancara pada hari Kamis, 16 April 2015. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Sudah ada kerjasama ekspor salak ke Cina mbak, tapi harganya menyesuaikan dengan harga disini. Beda sama yang baru direncanakan dengan Eropa, harganya bisa lebih tinggi Rp 1.000,00 atau Rp 2.000,00/kg dibandingkan harga salak disini, tapi yang di Eropa masih wacana mbak belum disahkan” (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)

Hasil wawancara dan observasi dapat diketahui bagaimana keadaan perekonomian masyarakat, bahwa pertanian salak menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan pokok seperti PNS dan karyawan swasta. Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan dari Bapak SW pada hari Kamis, 16 April 2015 selaku Kepala Dusun Sumberejo, berikut hasil wawancara tersebut:

“Pekerjaan warga kebanyakan dan hampir semua jadi petani. Tapi ada juga yang jadi polisi, TNI, dan guru. Yang pasti semua warga disini semuanya petani, bisa jadi itu kerjaan pokok ataupun sambilan” (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)

Perekonomian masyarakat Dusun Sumberejo sebagian berasal dari hasil pekerjaan sebagai petani. Pertanian yang paling banyak di Dusun Sumberejo adalah pertanian salak. Penghasilan dari pertanian salak tersebut menjadi sumber perekonomian bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum dan sebagainya. Namun, diluar kebutuhan tersebut seperti biaya pendidikan bagi anaknya masyarakat yang hanya mengandalkan hasil dari panen salak masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat.


(63)

49 2. Keadaan Psikis atau Kejiwaan Masyarakat

Keadaan yang dimaksud adalah perasaan tenang, jauh dari perasaan-perasaan takut, keterkucilan, kegelisahan dan berbagai kebutuhan kejiwaan lainnya. Sebagai masyarakat yang hidup di Lereng Merapi tentunya memiliki perasaan-perasaan yang berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Adanya kemungkinan sewaktu-waktu jika Gunung Merapi meletus membuat keadaan psikis masyarakat kurang nyaman bertempat tinggal di Dusun tersebut. Namun, hal tersebut bagi masyarakat Dusun Sumberejo tidak berlaku. Lingkungan masyarakat yang berada dekat dengan Gunung Merapi tidak mengurangi rasa nyaman masyarakat untuk hidup di lingkungan lereng Merapi. Masyarakat merasa senang, nyaman, tentram bertempat tinggal di Dusun tersebut meskipun berada tepat dibawah Gunung Merapi. Alasan masyarakat adalah meskipun tempat tersebut rawan bahaya namun masyarakat sudah terbiasa karena tempat tersebut adalah tempat kelahiran bagi masyarakat yang merupakan penduduk asli Dusun Sumberejo. Masyarakat juga berpendapat bahwa tinggal di Dusun Sumberejo masih asri jauh dari polusi dan keramaian sehingga membuat hati merasa tentram. Pendapat tersebut diungkapkan oleh Ibu SJ pada wawancara hari Kamis, 16 April 2015 sebagai berikut:

“Seneng, ayem biar dekat Gunung Merapi geh tetep tentrem” (hasil wawancara pada hari Kamis, 16 April 2015)

Masyarakat di Dusun Sumberejo sebagian besar merasa nyaman dan senang bertempat tinggal di Lereng Merapi. Hal tersebut berdasarkan hasil


(64)

50

wawancara dengan masyarakat, dan hampir semua masyarakat merasa tenang, nyaman, dan senang bertempat tinggal di Dusun tersebut. Hasil wawancara dengan ibu SH pada hari Kamis, 16 April 2015 sebagai berikut:

“Seneng, mboten pripun-pripun mpun biasa tinggal teng mriki mbak dadose mboten pripun-pripun seneng mawon. (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)

Masyarakat sudah terbiasa menghadapi keadaan Gunung Merapi sehingga masyarakat paham bagaimana mengatasi rasa takut yang sewaktu-waktu datang ketika Gunung Merapi sudah ada tanda-tanda akan Erupsi. Selain rasa senang, nyaman, tentram sebagian masyarakat juga merasa was-was tinggal di Dusun tersebut. Hal tersebut setelah peneliti melakukan penelitian yang lebih mendalam masyarakat yang merasa was-was dan takut adalah masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang belum terbiasa menghadapi keadaan sebagai masyarakat lereng Merapi. Namun, ada sebagian masyarakat yang mempunyai alasan lain mengapa masyarakat tersebut merasa nyaman bertempat tinggal di Lereng Merapi. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Ibu PN:

“Pasrah mawon mbak sak umpami taseh di sukani dalan, nopo umur panjang mesti geh kaleh Gusti Allah diparingi dalan keslametan. Bencana niku enten teng pundi-pundi dados nek sampun wayahe dipundut geh enten mawon jalane gusti Allah. Dados tenang mawon teng mriki, tidak takut, santai mawon ngoten” (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)

Letusan Gunung Merapi relatife lebih sering, Gunung ini memiliki siklus empat tahunan dalam erupsi. Maksud dari siklus tersebut adalah dalam kurun waktu empat tahun Gunung Merapi akan mengalami erupsi


(65)

51

baik erupsi besar ataupun kecil. Masyarakat yang sudah lama bertempat tinggal di Lereng Merapi sudah terbiasa menghadapi fenomena-fenomena Gunung Merapi yang akan meletus. Siklus tersebut juga membuat masyarakat mengerti cara mengantisipasi akan adanya bahaya erupsi Merapi. Masyarakat yang sejak kecil sudah bertempat tinggal di Dusun tersebut sudah mengerti bagaimana antisipasi yang harus dilakukan. Seperti yang diungkapkan oleh ibu PN pada wawancara hari Jum’at, 17 April 2015 yang berpendapat seperti berikut:

“…ket riyen kulo alit mpun biasa teng mriki ngadepi bahaya. Tiang sepuh kolu riyen geg ngajari nek enten nopo-nopo mlayu ngungsi golek panggonan sing aman. Riyen ngungsi kiambak mbak evakuasi sendiri, gendong gombalan mlayu sak playu-playune”. (hasil wawancara Jum’at, 17 April 2015)

Masyarakat memiliki cara tersendiri untuk menghadapi perasaan gelisah pada saat bencana datang. Pada umumnya hal yang dilakukan adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat berpendapat bahwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan memohon perlindungan dapat mengurangi rasa kekhawatiran dalam menghadapi bencana, seperti yang diungkapkan oleh Bapak DR pada wawancara hari Jum’at, 17 April 2015. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Geh namung ngibadah e mboten kesupen nyenyuwun kalih Gusti Allah mugi-mugi diparingi slamet dunyo akhirat”. (hasil wawancara Jum’at, 17 April 2015)

Kegiatan di dalam masyarakat dalam hubungannya dengan spiritual, masyarakat mengadakan beberapa acara diantaranya pengajian setiap hari jum’at bagi bapak-bapak, sholawatan yang dilakukan oleh ibu-ibu,


(66)

52

mujadahan pada setiap hari senin, dan pengajian satu dusun pada hari sabtu setiap dua minggu sekali. Acara-acara tersebut bertujuan untuk berdoa bersama memohon perlindungan kepada Tuhan, serta wujud rasa terimakasih kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan. Selain acara tersebut masyarakat Dusun Sumberejo memiliki tradisi yang dilakukan setiap setahun sekali yaitu Merti Bumi. Acara ini dilakukan menurut kalender jawa yang jatuh pada setiap bulan Sapar. Acara Merti Bumi ini didalamnya ada beberapa acara diantaranya doa bersama dan setelah doa bersama selesai akan ada pertunjukkan wayang. Selain kegiatan tersebut pemerintah juga memberikan pendidikan mitigasi bencana pada masyarakat lereng Merapi. Namun, dari beberapa wawancara dengan masyarakat pendidikan tersebut hanya untuk Kepala Dusun, ketua RT, dan ketua RW bukan untuk seluruh masyarakat Dusun Sumberejo. Adapun pendidikan mitigasi bencana tersebut di lakukan dibalai Desa atau kantor kelurahan Desa Kaliurang. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, salah satunya adalah Bapak SK pada wawancara hari Jum’at 17 April 2015. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Pendidikan mitigasi bencana ada tapi hanya untuk pak Kadus (kepala Dusun), Pak RT, Pak Rw aja bukan untuk semua warga. Itu di balai Desa”

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Bapak Kadus pada wawancara hari Kamis, 16 April 2015, berikut hasil wawancara tersebut:

Pendidikan mitigasi bencana untuk warga disini ada di Balai Desa tapi ya gak semua warga ikut mbak, cuman perangkat Desa saja yang ikut” (hasil wawancara Kamis, 16 April 2015)


(1)

172

simulasi bencana pada saat Merapi dalam keadaan bahaya

C. Aspek Syarat Dasar Sosial Pertanyaan Wawancara:

1. Bagaimana kehidupan sosial masyarakat di sini ?

2. Adakah kegiatan yang bersifat sosial di Dusun Sumberejo ini ? 3. Bagaimana partsisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan tersebut ?


(2)

173

No Kesimpulan Hasil

Wawancara Hasil Observasi (Catatan Lapangan) Dokumentasi Hasil Hasil wawancara dengan Kadus &Kades

Kesimpulan 1. Dari hasil wawancara

dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial di Dusun Sumberejo berjalan dengan baik.

Pada saat observasi lapangan berlangsung peneliti mengamati bagaimana kehidupan masyarakat sehari-hari. Hubungan antar masyarakat sangat harmonis,

masyarakat satu dengan masyarakat lainnya saling beramah tamah selayaknya warga yang hidup di pedesaan yang masih kental dengan norma-norma kehidupan di dalamnya. Hal ini terlihat ketika salah satu

Kehidupan sosial disini baik mbak warga sini semuanya saya rasa baik-baik saja kehidupan sosialnya. Masyarakat juga sadar pentingnya bersosialisasi dengan masyarakat sekitar sehingga nampak kehidupan sosial disini berjalan dengan

Kehidupan sosial masyarakat sudah baik dilihat dari interaksi

masyarakat dengan masyarakat


(3)

174 warga pulang dari sawah, di depan rumah ada beberapa warga sedang duduk-duduk, mereka saling menyapa dan bercanda. Terlihat sekali kedekatan dan

keharmonisan antar masyarakat.

baik.

2. Kegiatan yang bersifat sosial di Dusun

Sumberejo diantaranya kerja bakti, gotong royong, pengajjian sholawatan, arisan, arisan rumah, dan arisan pacul

Kegiatan sosial disini banyak, masyarakat juga memiliki partisipasi yang tinggi pada setiap kegiatan seperti gotong royong,

Kegiatan sosial di masyarakat sudah ada diantaranya gotong royong, kerja bakti, pengajian, arisan pacul dan arisan rumah. Kegiatan tersebut berjalan dengan baik di Dusun Sumberejo


(4)

175

kerja bakti, pengajian, arisan pacul dan arisan rumah. Arisan pacul itu bisa meringankan warga yang lagi punya pekerjaan di sawah yang mengharuskan dicangkul. Jadi arisan pacul ini anggotanya akan bantu macul di tempat anggota tadi. Kalo arisan rumah setorannya


(5)

176

semen tiga sak kalo gak ya uang yang penting sama dengan harga semen tiga sak tadi, dan tenaga untuk membangun apa saja yang lagi ingin dibangun sama yang dapat arisan tadi 3. Partisipasi masyarakat

terhadap kegiatan di Dusun Sumberejo berjalan dengan baik, masyarakat mengikuti

Partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan semuanya aktif berpartisipasi,

Partisipasi masyarakat

terhadap kegiatan masyarakat sudah baik


(6)

177 setiap kegiatan dan

berpartisipasi dengan baik.

sebagai contoh pada saat kerja bakti masyarakat disini ikut serta semua mbak.