Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif "Slow Learner" di SMP Negeri 7 Salatiga T2 942011032 BAB II

(1)

10

BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1. Latar Belakang Pendidikan Inklusif

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern Eropa. Akar pendidikan inklusif ini dimulai dari sejarah sekolah dasar biasa. Sejarah pendidikan kebutuhan khusus tidak memperoleh banyak perhatian selama beberapa dekade yang lalu, tetapi minat orang terhadap bidang ini muncul lebih kuat selama beberapa tahun terakhir ini. Tentu saja individu yang berkebutuhan

khusus dan menyandang kecacatan mempunyai

berbagai sisi sejarahnya sendiri di seluruh bagian dunia ini. Namun, kebanyakan yang didokumentasikan

di dalam literatur barat berasal dari “dunia barat”.

(Widyastono, 2004)

Dalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang panjang sejak pengesahannya secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739.

Fondasi sekolah ini, yaitu “untuk semua dan setiap orang”, Merupakan upaya utama dalam bidang pendidikan pada waktu itu, yang dilaksanakan oleh monarki otokratik, dan sangat dipengaruhi oleh ideologi Kristen pietism dan cameralism. Sekolah merupakan elemen kunci dalam proyek melek huruf keagamaan yang dikembangkan untuk memfasilitasi tanggung


(2)

11

jawab individual setiap orang kepada Tuhan Kristen di samping untuk alasan-alasan praktis. Membutuhkan seratus tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini hingga terlembagakannya sekolah dasar sebagai institusi pendidikan permanenbagi semua orang di seluruh bagian Norwegia. Isi pelajaran pada awal sejarah sekolah dasar ini adalah membaca dan penjelasan tentang bagian-bagian tertentu dari doktrin Kristen. Akan tetapi, sejak didirikannya, sekolah dasar Norwegia ini telah memperluasisinya, dan sekarang telah mencakup sepuluh mata pelajaran wajib, dengan mata pelajaran “Pengetahuan Kristen, Pendidikan

agama dan Etika” sebagai mata pelajaran minor.(KUF 1997/1999, dalam http://www.idp-europe.org)

Erik Pontoppidan (1698-1764) adalah penggagas utama sekolah baru ini. Atas perintah Raja, dia membuat buku pelajaran pertama, yang disebut Penjelasan Pontoppidan (1739), yang menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah sekolah dasar Norwegia. Di samping itu, dia juga menulis tentang pendidikan dalam banyak teks lainnya. Sebagai Uskup Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang sekolah untuk semua orang, di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di seluruh Norwegia (yang sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat). Dalam tulisannya tentang pendidikan, Pontoppidan (1739) menunjukkan bahwa dia menyadari bahwa anak-anak belajar dengan cara yang berbeda-beda dan dengan kecepatan yang


(3)

12

berbeda-beda. Penjelasan Pontoppidan adalah buku tebal, dan parasiswa diharapkan mampu menghafalnya di luar kepala. Akan tetapi, dia menandai beberapa bagian buku teks itu dengan menggarisi bagian tepinya, untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak penting dipelajari oleh siswa yang mempunyai kesulitan karena alasan internal atau eksternal. Buku teks pendidikan yang dirancang oleh Pontoppidan (1739) itu mengandung sejumlah contoh tentang kesadarannya akan perbedaan individual dalam hal peluang belajar serta berisikan sejumlah rekomendasi

tentang metode pengajaran yang tepat untuk

menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejumlah kecil contoh gagasan semacam ini ditemukan dalam teks pendidikan selama sejarah pendidikan dasar di abad ke-18 dan ke-19. Teks-teks ini juga menunjukkan adanya pertukaran gagasan antara Norwegia dan negara-negara Nordik serta beberapa bagian Eropa lainya. Pemikiran-pemikiran para ahli seperti Johan Amos Comenius dari Cekoslowakia (1592-1670), Francke dari Halle di Jerman, dan kemudian John Locke dari Inggris (1632-1704), Jean-Jaques Rousseau (1712-1778) dari Perancis dan Johann H. Pestalozzi dari Swiss (1746-1827) ditafsirkan dan dibahas. (Johnsen, dalam http://www.idp-europe.org)

Walaupun demikian, namun terdapat juga cerita-cerita yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap anak dan remaja dengan kesulitan belajar dan kecacatan. Dalam tradisi Lutheran di Eropa Utara,


(4)

13

yang disebut sebagai konfirmasi adalah bentuk ujian yang besar, yang membukajalan bagi hak-hak orang dewasa. Mungkin kerugian yang paling besar bagi mereka yang tidak berhasil lulus dari ujian konfirmasi itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan untuk menikah. Menurut undang-undang yang berlaku saat itu, anak muda yang karena berbagai alasan tidak bersekolah dan tidak berhasil dalam belajar pengetahuan dasar yang diwajibkan untuk lulus dari

ujian konfirmasi, dapat dimasukkan ke “rumah

rehabilitasi” dan bahkan di penjara, di mana mereka dipaksa untuk belajar. Ada dua jenis kecacatan yang tidak dapat diterima untuk konfirmasi, yaitu gila (mungkin yang kini kita sebut psikosis parah atau tunagrahita) dan tunarungu prabahasa. Sesungguhnya, apakah orang yang menjadi tuli sebelum belajar bahasa itu dapat dididik atau tidak, telah menjadi bahan perdebatan selama beberapa abad, yang jejak argumentasinya ditemukan sejak awal era Protestan Lutheran hingga dekade terakhir abad kesembilan belas. Pontoppidan ada di antara mereka yang menentang edukabilitas orang tunarungu prabahasa itu .(Johnsen,www.idp-europe.org).

Perkembangan pendidikan anak berkebutuhan khusus berkembang di Eropa, perkembangan dari

upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke

keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya.

Di Amerika sejak tahun 1960-an presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar


(5)

14

biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming

dan last restrictive environment yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. (Yusuf dan Indianto, 2010).

Walaupun demikian ternyata pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang dijalankan melalui sekolah-sekolah luar biasa belum dapat memenuhi kebutuhan anak akan pendidikan. Hal tersebut bermula dari ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pendidikan segregatif, yang menyebabkan anak-anak membutuhkan layanan pendidikan khusus mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat normal, meskipun mereka telah memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk hidup layak di masyarakat. Alasan inilah yang memicu hadirnya pendidikan inklusif, pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.

(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_ BIASA)

Tuntutan akan pendidikan inklusif ini mengacu

pada instrumen internasional yang melandasi

pendidikan inklusif, yaitu: a) Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948) termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang. Dalam Deklarasi ini menegaskan bahwa: “Setiap orang

mempunyai hak atas pendidikan.”

(http://www.komnasperempuan.or.id). Hal ini didasari atas pandangan bahwa penyandang cacat bukanlah


(6)

15

sebagai manusia yang utuh, oleh karena itu seringkali haknya direnggut. Melalui deklarasi ini maka dihasilkanlah suatu keputusan yaitu bahwa semua penyandang cacat, tanpa memandang jenis dan tingkat

keparahannya, memiliki hak atas pendidikan.

(UNESCO, 1994). b) Konvensi Hak Anak 1989 (PBB, diumumkan tahun 1991), Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, yang telah ditandangani oleh semua negara di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia; menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua (pasal 28). Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal mengenai pendidikan, yaitu: (1) non-diskriminasi (pasal2) yang menyatakan secara spesifik tentang penyandang kebutuhan khusus/penyandang cacat; (2) kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan (pasal 6); dan (4) menghargai pendapat anak (pasal 12). Kesemua hak tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat telah disediakan pendidikan di sekolah khusus/sekolah luar biasa, tetapi hal ini dapat melanggar hak mereka

“diperlakukan secara non-diskriminatif”, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada dalam

lingkungan keluarga dan masyarakatnya.

(http://www.unicef.org). c) Pendidikan untuk semua (1990): Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk


(7)

16

Semua di Jomtien, Thailand (UNESCO, diumumkan tahun 1991 dan 1992), dalam Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk semua di Thailand pada tahun 1990, melangkah lebih jauh dari pada Deklarasi Universal dalam pasal III tentang universalisasi akses dan mempromosikan kesetaraan. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Hal ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat. Istilah inklusi tidak digunakan dalam Deklarasi Jomtien, tetapi terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan umum (Sue Stubbs, 2002). Dalam Deklarasi Jomtien juga dinyatakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat/kelainan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan (Pasal II ayat 5 ). (UNESCO, 1990).,d) Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, 1993(PBB, diumumkan tahun 1994), Peraturan ini telah dikembangkan atas dasar pengalaman yang diperoleh selama Dekade Penyandang Cacat PBB (1983 - 1992). Piagam Internasional Hak-hak Asasi Manusia, yang terdiri dari Deklarasi Hak Azazi Manusia Universal, Perjanjian Internasional


(8)

17

tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Perjanjian Intemasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi tentang Hak-hak Anak, dan Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, maupun Program Aksi Dunia mengenai Penyandang Cacat, merupakan landasan politik dan moral bagi peraturan ini. Meskipun peraturan ini tidak wajib, tetapi dapat menjadi peraturan keluaran internasional jika ditetapkan oleh sejumlah besar Negara dengan tujuan menghormati suatu aturan dalam hukum internasional. Prinsip-prinsip penting untuk bertanggungjawab, berbuat dan bekerja sama terkandung pula di dalamnya. Bidang-bidang yang sangat penting bagi kualitas kehidupan dan demi tercapainya partisipasi penuh dan persamaan pun termuat. Peraturan ini dapat dipergunakan sebagai suatu instrumen bagi pembuatan kebijaksanaan dan pengambilan tindakan bagi para penyandang cacat serta organisasi-organisasinya. Peraturan ini dapat pula dipergunakan sebagai dasar bagi kerja sama teknik dan ekonomi di antara negara-negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi organisasi internasional lainnya. Peraturan ini bertujuan untuk menjamin agar para penyandang cacat anak-anak

maupun dewasa, laki-laki ataupun perempuan,

memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti orang-orang lain sebagai warga masyarakatnya. (Peraturan Standar tentang Persamaan kesempatan bagi Para penyandang cacat, Resolusi PBB No. 48/96


(9)

18

Pendidikan inklusif, 1994 (UNESCO diumumkan pertama tahun 1994, laporan akhir tahun 1995). Konsep pendidikan inklusif mulai mewujud dalam sebuah kerangka kerja yang jelas pada saat UNESCO menyelenggarakan The Salamanca World Conference on Special Needs Education pada tahun 1994. Pada paragraf ketiga dari The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang dihasilkan dari konferensi tersebut dinyatakan bahwa:

“… schools should accommodate all children

regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or

marginalised areas or groups.”

Jelas bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem pendidikan yang ditujukan untuk mampu

mengakomodasi semua anak tanpa memandang

kondisi mereka. Sistem pendidikan ini tidak hanya sekadar untuk mengakomodasi kaum difabel, tetapi juga kelompok-kelompok anak lainnya, seperti anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari daerah terpencil dan sebagainya. Jadi, konsep pendidikan inklusif dimunculkan untuk menjamin akses pendidikan bagi semua anak. Model pendidikan ini diyakini sebagai alat yang paling efektif untuk memerangi diskriminasi,

menciptakan masyarakat yang bisa menerima

perbedaan, dan menjamin berjalannya konsep

pendidikan untuk semua sebagaimana yang dicita-citakan oleh UNESCO sejak konferensi Jomtien


(10)

19

sebagaimana telah disebut di atas. (Yusuf dan Indianto, 2010)

Di Indonesia, proses menuju pendidikan inklusif dimulai pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan organisasi pada tunanetra sebagai satu kelompok penekan. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Pada akhir tahun

1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian

terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Hellen Keller International, Inc, untuk

membantu mengembangkan sekolah integrasi.

Keberhasilan proyek ini menyebabkan diterbitkannya

Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor:

002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu Bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktikkan. Menjelang akhir tahun

1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk

mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Brailo Norway dan Direktorat PLB (Pendidikan Luar Biasa). Agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dengan program integrasi yang nyaris mati, perhatian diberikan pada sustainabilitas program pengimplementasian pendidikan inklusif. (Firdaus,2010).


(11)

20

2.2. Pengertian Pendidikan Inklusif

Inklusif berasal dari kata bahasa Inggris yaitu

inclusion. Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistik dan kompeherensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. (Smith, 2006).

Sedangkan, Pendidikan inklusif Menurut

UNESCO(1994) :

“ At the core of inclusive education is the human right

to education, pronounced in the Universal Declaration of Human Rights in 1949. Equally important is the right of children not to be discriminated against, stated in Article 2 of the Convention on the Right of the Child (UN, 1989). A logical consequence of this right is that all children have the right to receive the kind of education that does not discriminate on grounds of disability, ethnicity, religion, language, gender, capabilities, and so on.

Artinya bahwa Pendidikan inklusif merupakan inti dari hak azazi manusia untuk memperoleh pendidikan. Hal ini telah dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang hak azazi manusia di tahun 1949. Kesamaan

kepentingan adalah hak anak untuk tidak

didiskriminiasikan, dinyatakan dalam pasal 2 dari Konvensi tentang hak anak. Konsekuensi logik dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak

untuk menerima jenis pendidikan yang tidak

mendiskriminasikan pada latar dari ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain sebagainya.


(12)

21

Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti

diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan

kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus. (Sunaryo, 2009).

Alimin (2005) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan. Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya.

Selain itu, pendidikan inklusif sendiri menurut Sapon-Shevin (O’Neil, 1994) yaitu bahwa Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.( Widyastono, 2004).


(13)

22

Disamping itu, Staub dan Peck (2005) menyatakan

pendidikan inklusi adalah penempatan anak

berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Selanjutnya, Menurut Smith (2006)Pendidikan Inklusif adalah program yang mengakomodasikan seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk didalamnya siswa yang berlainan. Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistik dan kompeherensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. (Smith, 2006).

Berdasarkan pengertian tentang pendidikan inklusif, bahwa pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang terbuka bagi semua, yang menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan. Dalam pendidikan inklusif setiap anak yang memiliki kelainan serta potensi kecerdasan dan bakat istimewa diberikan

kesempatan untuk belajar bersama, tanpa

membedakan satu dengan yang lainnya, memahami perbedaan, serta bekerjasama melengkapi kekurangan yang ada.

Sedangkan,untuk sekolah inklusif sendiri menurut Sapon-Shevin (O’Neil, 1994) Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menerima


(14)

23

semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini

menyediakan program pendidikan yang layak,

menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar peserta didik berhasil. Sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari suatu kelas dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun dengan anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi (Stainback dan Stainback, 1990).

Sejalan dengan itu, Choate (dalam Dyah, 2008) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang berkebutuhan khusus untuk dapat belajar dikelas pendidikan umum. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus

memenuhi beberapa persyaratan yang sudah

ditentukkan antara lain keberadaan siswa

berkebutuhan khusus, komitmen terhadap pendidikan inklusif, manajemen sekolah, sarana-prasarana, dan ketenagaan. (Suparno,2007)

Dalam penerimaan siswa di sekolah inklusi perlu diadakannya identifikasi ABK oleh guru terutama oleh guru kelas. Identifikasi adalah usaha untuk mengenali

atau menemukan anak berkebutuhan khusus

berdasarkan ciri yang ada. Dalam mengidentifikasi terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain: observasi, wawancara, dan tes psikologi. Setelah diidentifikasi dilakukan assesmen yang bertujuan untuk: menyaring kemampuan anak, pengklasifikasian,


(15)

24

penempatan dan penetuan program, penentuan arah

dan tujuan pendidikan, pengembangan program

pendidikan individual, penentuan strategi (Suparno 2007).

Sekolah umum/reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah, diantaranya adalah:

a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran dengan pendekatan individual.

c. Guru di kelas umum/reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.

d. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

e. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan (Direktorat PLB, 2007).

2.3. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Inklusi

Menurut Mujito (2012) Hakikat pendidikan

adalah memanusiakan manusia, mengembangkan

potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu menghadapi masalah hidup yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi.

Sedangkan Hakikat pendidikan inklusi terdiri dari 2, yaitu:


(16)

25

a. Pendidikan inklusi adalah penggabungan

pendidikan regular dan pendidikan khusus ke dalam satu sistem persekolahan yang dipersatukan

untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan

semua.

b. Pendidikan inklusi bukan sekedar metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih

baik.(dalam,http://id.shvoong.com/social-sciences/education/).

Selain itu pendidikan inklusi bertujuan, untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar juga

untuk menyamakan hak dalam memperoleh

pendidikan antara anak normal dengan anak

berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan

penjelasan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat dasar dan menengah. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia berhak

untuk mendapatkan pendidikan yang layak

sebagaimana anak-anak normal lainnya. (Padriastuti, 2010).


(17)

26

Gargiulo dalam Mudjito,2012 bahwa tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi bagi Anak Berkebutuhan Khusus sedini mungkin agar : a. Meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan

dan perkembangan anak berkebutuhan khusus dan untuk memaksimalkan kesempatan anak terlibat dalam aktifitas yang normal;

b. Memungkinkan untuk mencegah terjadinya kondisi

yang lebih parah dalam ketidakteraturan

perkembangan sehingga menjadi anak yang tidak berkemampuan.

c. Mencegah berkembangnya keterbatasan

kemampuan lainnya sebagai hasil utama

diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya.

2.4. Peran dan Tanggung Jawab dalam

Pelaksanaan LIRP (Lingkungan Inklusi

Ramah terhadap Pembelajaran)

Dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah diamandemen memberikan jaminan seperti yang tercantum pada pasal 31, ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Termasuk untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa. Hal ini sejalan dengan seruan International Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai sebuah kesepakatan global.

Dalam pelaksanaannya tentulah melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, setiap pihak yang


(18)

27

memainkan perannya dalam pendidikan inklusif perlu memahami peran serta tanggung jawabnya. Peran dan tanggung jawab tersebut mengacu padakeputusan Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2009, antara lain :

A. Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah.

Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009) menyatakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) antara lain :

1. Menyusun, mensosialisasikan, menerapkan

pendidikan, dan kebijakan pendidikan inklusi seperti sumber daya manusia, dana, kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya.

2. Memfasilitasi proses pelaksanaan pendidikan inklusi di lingkungan inklusi di semua lingkungan pembelajaran.

3. Memperluas akses pendidikan bagi Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK).

4. Membuka peluang pada pihak terkait untuk berkontribusi dalam LIRP.

B. Peran dan Tanggung Jawab Guru.

Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009) menyatakan bahwa peran dan tanggung jawab guru dalam mendukung pelaksanakan Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) antara lain :

1. Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu orang tua wali tentang kemajuan anak mereka dalam belajar dan berprestasi

2. Bekerja dengan masyarakat untuk menjaringanak yang tidak bersekolah.


(19)

28

3. Menjelaskan manfaat dan tujuan LIRP kepada orang tua peserta didik

4. Mempersiapkan anak agar berani berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari kurikulum, seperti mengunjungi museum, memperingat hari-hari besar keagamaan dan nasional.

5. Mengajak orang tua dan anggota masyarakat terlibat dalam kelas.

6. Mengkomunikasikan LIRP kepada orang tua wali peserta didik, komite sekolah serta pemimpin dan anggota masyarakat.

7. Bekerja sama dengan para orang tua untuk menjadi penyuluh LIRP dilingkungan sekolah maupun masyarakat.

C. Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua

Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009) menyatakan peran dan tanggung jawab orang tua dalam mendukung pelaksanakan Lingkungan Inklusi Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) antara lain :

1. Mendukung pelaksanaan LIRP

2. Berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan LIRP di berbagai komunitas

3. Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan profesi yang dimiliki.

4. Menginformasikan nilai-nilai positif dari

pelaksanaan LIRPkepada masyarakat secara luas 5. Bekerjasama dengan anggota komite sekolah atau

pihak lain dalam pengadaan sumber belajar.

6. Aktif bekerjasama dengan guru dalam proses pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus.

7. Aktif dalam memberikan ide atau gagasan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran.

Pendidikan inklusif akan berjalan secara efektif apabila setiap pihak yang terlibat dapat memahami


(20)

29

peran serta tanggung jawabnya secara baik. Oleh karena itu hal ini penting untuk dipahami mengingat bahwa hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian tujuan pendidikan inklusif.

2.5. Anak Berkebutuhan Khusus

2.5.1. Pengertian Slow Learner

Anak lamban belajar atau slow learner adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit di bawah rata-rata dari anak pada umumnya, pada salah satu atau seluruh area akademik. Jika dilakukan pengetesan pada IQ (Intelegence Question), skor tes IQ mereka menunjukkan skor antara 70-90 (Wiley, 2007).

Dijelaskan dalam “Dictionary of Psychology” slow learner is a non technical variously applied to children who are some what mentally retarted or are developing at a slower that normal rate. (Hillgrad,1962)

Yusuf (2005) mengemukakan bahwa anak yang prestasi belajarnya rendah tetapi IQ nya sedikit dibawah rata-rata disebut anak yang lamban belajar atau slow learner.

Endang (2005) Menyatakan pembahasan tentang

Borderline atau garis perbatasan taraf kecerdasan yang menjadi kelompok tersendiri, sering disebut sebagai kelompok lamban belajar.

Sedangkan, Toto (2005) dalam makalah

seminarnya menyatakan siswa lamban belajar ialah siswa yang intelegensinya berada pada taraf perbatasan


(21)

30

(borderline) dengan IQ 70-85 berdasarkan tes intelegensi baku.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Purwandari (1993) ternyata anak lamban belajar (slow learner)

mempunyai ciri-ciri emosi sebagai berikut : a. Daya konsentrasi rendah

Daya konsentrasi hanya sebentar, seperti terikat dalam kegiatan belajar di kelas, anak hanya dapat mengikuti pelajaran denganbaik ± 20 menit, lebih dari itu anak kelihatan gelisah, dan kadang-kadang mengganggu teman-temannya yang sedang belajar.

b. Mudah lupa dan beralih perhatian

Hal ini sangat berkaitan dengan daya ingat dan rangsangan dari luar.

c. Eksplosif

Anak sering menampakan sikap cepat bereaksi terhadap rangsangan tanpa ada pertimbangan pemikiran lebih dulu. Bila tidak diberi tugas akan nampak kecewa.

Ciri-ciri anak dalam kategori slow learner:

1. Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari KKM),

2. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,

3. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat, 4. Pernah tidak naik kelas.


(22)

31

2.5.2 Faktor Penyebab Anak Lamban Belajar

4 faktor yang menyebabkan terjadinya anak slow learner atau lamban belajar. Faktor tersebut antara lain:

1. Faktor Genetik dan Prenatal (Sebelum lahir). Perkembangan seorang anak dimulai dari sejak konsepsi sampai pembuahan. Seluruh bawaan biologis seorang anak yang berasal dari kedua orang tuanya (berupa kromosom yang memecah diri menjadi partikel kecil yang disebut dengan gen), akan menjadi apa anak tersebut. Terjadinya kelainan kromosom dapat menyebabkan terjadi pula kelainan yang berhubungan dengan fisik maupun fungsi-fungsi kecerdasan.

Selain dari kelainan pada kromosom, anak lamban belajar atau slow learner juga dapat disebabkan adanya gangguan biokimia dalam tubuh, seperti galactosemia dan phenylketonuria. Galactosemia adalah suatu gangguan biokimia karena defisiensi enzim yang dibutuhkan untuk metabolisme galaktosa yang layak. Sedangkan

phenylketonuria adalah suatu gangguan metabolisme genetik, dimana oksidasi yang tidak lengkap dari asam amino yang menyebabkan kerusakan pada otak.

2. Faktor Biologis Non Keturunan

Lamban belajar atau slow learner tidak hanya terjadi karena faktor genetik tetapi juga ada beberapa hal non genetik, antara lain:


(23)

Obat-32

obatan, keadaan Gizi Ibu yang buruk saat hamil, radiasi sinar x, faktor Rhesus, golongan darah. 3. Faktor Natal (Saat Proses kelahiran)

Kondisi kekurangan oksigen karena proses kelahiran yang lama atau bermasalah dapat menyebabkan transfer oksigen ke otak bayi menjadi terhambat.

4. Faktor Postnatal (sesudah lahir) dan lingkungan. Malnutrisi dan trauma fisik akibat jatuh atau kecelakaan, trauma pada otak atau beberapa penyakit seperti meningitis dan encephalis harus

juga diperhatikan. Begitu juga dengan

lingkungan. Lingkungan dapat berperan sebagai penyebab terjadinya anak lamban belajar atau

slow learner. Karena stimulasi yang salah, sehingga anak tidak dapat berkembang secara optimal. Lingkungan yang dimaksud dapat lingkungan sekolah dapat pula lingkungan rumah. Interaksi dari beberapa faktor dapat mempengaruhi fungsi mental anak.

2.6. Model Pembelajaran

2.6.1. Model-model Pembelajaran

Pembelajaran dapat difenisikan sebagai suatu

sistem atau proses membelajarkan subjek

didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar sbjek didik/pembelajar dapat mencapai kompetensi yang dirumuskan secara efektif dan efisien. (Komalasari,2011).


(24)

33

Gunter et al (1990) mendefinisikan model pembelajaran sebagai an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang

digunakan sebagai pedoman dalam melakukan

pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dasar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999).

Model pembelajaran yang di kembangkan dengan

pendekatan Konstruktivistik adalah Model

pembelajaran berdasarkan Masalah (Problem based Learning) dan pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Model pembelajaran ini mencakup pendekatan pembelajaran luas, dan menyeluruh (Areunds,1997).

A. Pembelajaran kooperatif/Cooperative Learning

Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)

adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Dalam tiap kelompok terdiri dari siswa-siswa berbagai tingkat kemampuan,


(25)

34

melakukan berbagai kegiatan belajar untuk

meningkatkan pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan

belajar, sehingga bersama-sama mencapai

keberhasilan. Semua siswa berusaha sampai semua

anggota kelompok berhasil memahami dan

melengkapinya. Semua siswa berusaha sampai semua

anggota kelompok berhasil memahami dan

melengkapinya. (Lie,2000). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu Hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu dan pengembangan keterampilan sosial. Prinsip model pembelajaran kooperatif yaitu 1) saling ketergantungan positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5) evaluasi proses kelompok.

Belajar kooperatif secara teoretik dipandang

mampu mengembangkan bukan saja capaian

akademik, tapi juga capaian non-akademik seperti hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok.

Menurut Arends (2007) belajar kooperatif

dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting; yaitu prestasi akademik, toleransi dan

penerimaan terhadap keanekaragaman, serta

pengembangan keterampilan sosial. Marning dan Lucking (1991) mengatakan bahwa belajar kooperatif selain memberikan kontribusi secara positif terhadap


(26)

35

prestasi akademik, juga meningkatkan keterampilan sosial dan self-esteem siswa.

Pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe antara lain :

1. Tipe Jigsaw

Dari sisi etimologi jigsaw berasal dari bahasa inggris yaitu gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah fuzzle, yaitu sebuah teka-teki yang menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model jigsaw ini juga mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (jigsaw), yaitu siswa melakukan sesuatukegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. Model pemebelajaran kooperatif model jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil bersama. (Lie,2000)

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah

informasi dan meningkatkan keterampilan

berkomunikasi. (Arends, 2007) 2. Three Minute Review

Model pembelajaran kooperatif tipe three-step review efektif untuk digunakan saat guru berhenti pada saat-saat tertentu selama sebuah diskusi atau presentasi berlangsung, dan mengajak siswa mereviu


(27)

36

apa yang telah mereka ungkapkan saat diskusi di dalam kelompok mereka. Siswa-siswa dalam kelompok-kelompok itu dapat bertanya untuk mengklarifikasi kepada anggota lainnya atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dari anggota lain. Misalnya setelah diskusi tentang proses-proses kompleks yang terjadi di dalam tubuh manusia misalnya pencernaan makanan, siswa dapat membentuk kelompok-kelompok dan mereviu proses diskusi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengklarifikasi.

3. Tipe Group Investigazion

Menurut Winataputra (1992) model GI atau investigasi kelompok telah digunakan dalam berbagai situasi dan dalam berbagai bidang studi dan berbagai tingkat usia. Pada dasarnya model ini dirancang

untuk membimbing para siswa mendefinisikan

masalah, mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah itu, mengumpulkan data yang relevan, mengembangkan dan mengetes hipotesis.

Sifat demokrasi dalam kooperatif tipe GI ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar. Guru dan murid memiliki status yang sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. Jadi tanggung jawab utama guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kooperatif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung dalam pembelajaran serta membantu siswa mempersiapkan sarana pendukung. Sarana


(28)

37

pendukung yang dipergunakan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan para pelajar untuk dapat menggali berbagai

informasi yang sesuai dan diperlukan untuk

melakukan proses pemecahan masalah kelompok. Model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok ini dikembangkan oleh John Dewey dan Herbert A Thelen. (Winataputra, 1992)

4. Think Pair Share (TPS)

TPS merupakan metode yang menempatkan guru sebagai motivator, fasilitator, mediator, evaluator dan

pembimbing, sedangkan siswa dalam kegiatan

pembelajaran di dalam kelas memiliki peran aktif. (Kusuma dan Aisah, 2012)

TPS menghendaki siswa untuk bekerja sendiri danbekerja sama saling membantu dengan siswa lain dalam suatu kelompok kecil. Denganmetode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa yang maju dan membagikan hasilnyauntuk seluruh kelas, teknik Think Pair Share memberi sedikitnya delapan kali kesempatan lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Anita Lie, 2008).

Pelaksanaan pembelajaran TPS ini diawali dari berpikir (think) sendiri mengenai pemecahan suatu masalah. Tahap berpikir menuntut siswa untuk lebih tekun dalam belajar dan aktif mencari referensi agar lebih mudah dalam memecahkan masalah atau soal yang diberikan guru. Siswa kemudian diminta untuk mendiskusikan hasil pemikirannya secara berpasangan


(29)

38

(pair). Tahap diskusi merupakan tahap menyatukan pendapat masing-masing siswa guna memperdalam pengetahuan mereka. Diskusi dapat mendorong siswa

untuk aktif menyampaikan pendapat dan

mendengarkan pendapat orang lain dalam kelompok, serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Setelah

mendiskusikan hasil pemikirannya,

pasangan-pasangan siswa yang ada diminta untuk berbagi (share) hasil pemikiran yang telah dibicarakan bersama pasangannya masing-masing kepada seluruh kelas.

Tahap berbagi menuntut siswa untuk mampu

mengungkapkan pendapatnya secara bertanggung

jawab, serta mampu mempertahankan pendapat yang telah disampaikannnya. (Kusuma dan Aisah, 2012) 5. CIRC (Cooperative Integrated Reading Composition)

Pembelajaran CIRC dikembangkan oleh Stevans, Madden, Slavin dan Farnish. Pembelajaran kooperatif tipe CIRC dari segi bahasa dapat diartikan sebagai

suatu model pembelajaran kooperatif yang

mengintegrasikan suatu bacaan secara menyeluruh

kemudian mengkomposisikannya menjadi

bagian-bagian yang penting.

Model pembelajaran CIRC memiliki lima

komponen. Kelima komponen tersebut antara lain: (1)Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 siswa; (2)Placement test, misalnya diperoleh dari rata-rata nilai ulangan harian sebelumnya atau berdasarkan nilai rapor agar guru mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa pada bidang tertentu;(3) Student creative, melaksanakan


(30)

39

tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya; (4)Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya; (5)Team scorer and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang

kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas.

(suyitno,2005)

6. Reciprocal teaching

Tipe pengajaran timbal-balik (reciprocal teaching) merupakan salah satu tipe dari pembelajaran koperatif yang dirancang dengan metode-metode tertentu, sehingga siswa dapat belajar lebih serius dan menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerjasama, berfikir kritis, keaktifan dalam bertanya dan keterlibatan dalam proses belajar. Strategi pengajaran

reciprocal teaching adalah salah satu strategi dalam pembelajaran kooperatif, dalam pelaksanaannya, siswa dibentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 4 siswa dengan tugas masing-masing sebagai predictor, clarifier, questioner, dan summarizer, dan dalam proses pembelajaranya siswa dituntut untuk berinteraksi, ketergantungan, dan bekerjasama dengan kelompoknya dalam mengerjakan tugasnya. (http://library.um.ac.id)


(31)

40

7. STAD(Student Teams Achievement Divisions).

Salah satu metode pembelajaran kooperatif yang efektif adalah STAD (Student Teams Achievement Divisions). STAD terdiri dari rangkaian pembelajaran yang sederhana, belajar kooperatif dalam memadukan kemampuan kelompok-kelompok dan kuis-kuis disertai

penghargaan yang diberikan kepada

kelompok-kolompok yang anggotanya paling sukses melampaui nilai mereka sendiri sebelumnya.

Kelebihan dalam penggunaan pembelajaran kooperatif metode STAD sebagai berikut:

a. Mengembangkan serta menggunakan keterampilan berpikir secara kritis dan kerja sama kelompok. b. Menyuburkan hubungan antar pribadi yang positif

diantara siswa yang berasal dari ras yang berbeda. c. Menerapkan bimbingan oleh teman.

d. Menciptakan lingkungan yang menghargai nilai-nilai ilmiah.

Kelemahan dalam penggunaan pembelajaran kooperatif metode STAD adalah sebagai berikut:

a. Sejumlah siswa mungkin bingung karena belum terbiasa dengan perlakuan seperti ini.

b. Guru pada permulaan akan membuat kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan

kelas. Akan tetapi usaha sungguh-sungguh yang terus menerus akan dapat terampil menerapkan model ini.

Langkah-langkah dalam penerapan pembelajaran kooperatif metode STAD adalah sebagai berikut :


(32)

41

a. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai dengan menggunakan berbagai pilihan dalam cara dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa, antara lain dengan metode penemuan terbimbing, tanya jawab atau metode ceramah. Langkah ini tidak harus dilakukan dalam satu kali pertemuan, tetapi dapat lebih dari satu.

b. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu sehingga akandiperoleh nilai awal kemampuan siswa.

c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap

kelompok terdiri dari 4-5 anggota, dimana anggota kelompok mempunyai kemampuan akademik yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah). Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari budaya atau suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan gender.

d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan materi yang telah diberikan, mendiskusikan secara bersama-sama, saling membantu antar anggota lain, serta membahas jawaban tugas yang

diberikan guru. Tujuan utamanya adalah

memastikan bahwa setiap kelompok dapat

menguasai konsep dan materi.

B. Model Pembelajaran Berbasis Masalah/ Problem Based Learning

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau


(33)

42

penelitian Barrow and Tamblyn (1980, Barret, 2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University Kanda pada tahun 60-an. PBM sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBM sangat efektif

untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa

dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya. PBM lebih tepat dilaksanakan

dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran

tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter yang nanti bertugas pada kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah pasiennya sehingga harus

mampu menyelesaikannya. Walaupun pertama

dikembangkan dalam pembelajaran ilmu kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya diterapkan dalan pembelajaran ilmu yang lain.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBM adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa PBM adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open


(34)

43

ended melalui stimulus dalam belajar. PBM memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia

nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan

pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. (Fogarty,1997).

Berdasarkan penjelasan tentang PBM tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBM dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa

atau guru), kemudian siswa memperdalam

pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.

C. Program Pembelajaran Individual

Istilah Program Pembelajaran individual (PPI) merupakan terjemahan dari Individualized Educaional Program (IEP). Mercer and Mercer (1989) dalam Rochyadi dan Alimin (2003), mengemukakan bahwa program individual merujuk kepada suatu program


(35)

44

pengajaran dimana siswa bekerja dengan tugas –tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasiya.

Lynch (1994), menyatakan bahwa IEP merupakan suatu kurikulum atau merupakan suatu kurikulum

atau merupakan suatu program belajar yang

didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar. Dengan

demikian pada dasarnya Program Pembelajaran

Individual (PPI) merupakan suatu program yang didasarkan kepada kebutuhan setiap individu.

Program Pembelajaran Individual (PPI) disusun pada hakekatnya adalah mengacu pada pandangan bahwa inividu itu unik bahkan tidak ada seorang manusiapun yang akan sama sekalipun kembar. (Triani dan Amir,2013). Dengan demikian setiap anak memiliki potensi masing-masing yang perlu dikembangkan sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya. Begitu juga dengan kebutuhannya, setiap peserta didik tentunya memiliki kebutuhan masing-masing yang mungkin akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Dalam Program Pembelajaran Individual (PPI) terdapat prosedur dalam penyusunannya menurut Rochyadi dan Alimin (2003) yang menyebutkan bahwa Program Pembelajaran Individual disusun dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan tiap peserta didik. Prosedur ideal dalam pengembangan Program Pembelajaran Individual dikemukakan Kitano dan Kirby (1986) memiliki lima aspek yaitu :pembentukan

tim PPI, menilai kebutuhan khusus anak,


(36)

45

pendek, meancang metode dan prosedur pembelajaran dan menentukan evaluasi kemajuan anak.

a. Membentuk Tim PPI

Tim PPI bertugas merencanakan dan menyusun program pembelajaran. Anggota tim sebaiknya terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti guru kelas atau guru mata pelajaran, kepala sekolah, orang tua dan tim ahli (jika memungkinkan). Tim ahli yang dimaksu adalah tim ahli yang terkait dengan masalah yang dihadapi atau pengembangan dari potensi peserta didik seperti : konselor, instruktur orientasi mobilitas, speech therapist, fisio therapist, pediatris atau psikolog. Namun jika sekolah belum memungkinkan menyertakan tim ahli, maka tim PPI tetap dapat terbentuk dengan melibatkan guru atau kepala sekolah dan orang tua.

Tim PPI ini akan duduk bersama mendiskusikan tentang rancangan program pembelajaran yang akn diberikan kepada peserta didik. Dengan demikian antara pihak sekolah dengan pihak orang tua memiliki persepsi yang sama tentang program yang akan dilaksankan. Dengan demikian orang tua dan pihak sekolah sama-sama aktif dalam memberikan informasi atau melakukan treatment atau program-program pembelajaran yang dianggap perlu.

b. Menilai Kebutuhan Khusus Anak

Menentukan kebutuhan khusus apa yang peserta didik perlukan, terlebih dahulu tim PPI melihat informasi yang dperoleh dari hasil assesmen


(37)

kekuatan-46

kekuatan yang dimiliki peserta didik. Berdasarkan dari data atau informasi tersebut tim baru memutuskan kebutuhan khsus seorang peserta didik.

c. Mengembangkan Tujuan Pembelajaran Jangka Panjang dan Jangka Pendek

Tujuan pembelajaran dilakukan dengan

melakukan penyelarasan antara target yang diharapkan dari kurikulum dengan kemampuan yag dimiliki peserta didik berdasarkan hasil assesmen yang telah dilakukan. Tujuan pembelajaran jangka panjang adalah tujuan yang hendak dicapai pada waktu yang relatif lama, seperti capaian yang tertera pada SK (Standar Kompetensi). Sedangkan tujuan pembelajaran jangka pendek adalah tujuan yang hendak dicapai dalam waktu yang relatif singkat, seperti capaian pada KD (Kompetensi

Dasar). Untuk mempermudah pengukuran

kebehasilannya, satu kompetensi dasar tentunya disusun menjadi indikator-indikator dengan menggunakan kata kerja operasional dalam penyusunannya.

d. Menyusun Metode dan Prosedur

Pembelajaran

Metode dan Prosedur Pembelajaran yang

dirancang dalam Program Pembelajaran Individual ini, tentunya disusun secara jelas dan sistematis sehingga memudahkan dalam proses penilaiannya. Proses pembelajaran dapat dirancang secara


(38)

47

individual. Banyak metode dan pendekatan yang dapat dilakukan seorang guru dengan berprinsip pada Pembelajaran yang Aktif Inovatif Kreatif dan

menyenangkan (PAIKEM). Dengan demikian

pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. e. Menentukan Evaluasi Kemajuan Anak Evaluasi kemajuan belajar anak henaknya dapat mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Dalam melakukan evaluasi sedapat mungkin mampu menggambarkan kondisi peserta didik bukan membandingkan dengan peserta didik yang lain yang ada dikelasnya. Karena

ketuntasan belajar yang dimaksud adalah

ketuntasan belajar individual sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Banyak ragam jenis evaluasi, tentunya jenis dna bentuk tes yang diberikan disesuaikan dengan kondisi anak serta tujuan dari pelaksanaan evaluasi itu sendiri. Dalam pelaksanaan evaluasi ini sebaiknya dilakukan baik evaluasi proses maupun product atau hasil. Dengan demikian dapat diperoleh informasi tentang kemajuan peserta didik baik dalam proses pelaksanaan pembelajarannya serta tingkat pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran.

2.7. Model Pengembangan Pembelajaran

Model ialah suatu abstraksi yang dapat digunakan untuk membantu memahami sesuatu yang tidak bisa dilihat atau dialami secara langsung. Model adalah representasi realitas yang disajikan dengan


(39)

48

suatu derajat struktur dan urutan (Seels & Richey,1994).

Gustafson (1981) mengajukan 4 kategori model,yakni (1) classroom ID model, (2) product development models, (3) systems development models, dan (4) organization development models. Model yang berpusat pada kelas atau classroom ID model berpijak pada asumsi bahwa telah ada seorang pembelajar, beberapa pebelajar, suatu kurikulum, dan suatu fasilitas. Sasaran pembelajar adalah untuk melakukan peningkatan pembelajaran. Pembelajar bukanlah bagian dari suatu tim peningkatan mutu kelas, tetapi hanya sepanjang memilih untuk menggunakan model yang dihasilkan. Model yang berpusat pada produk atau product fokus, product development models bertujuan untuk menghasilkan suatu produk yang bersifat spesifik yang menjadikan pembelajaran lebih efektif dan lebih efisien. Produk model pembelajaran yang dihasilkan diharapkan sesuai dengan karakteristik pebelajar yang telah ada sebelumnya. Model ini digunakan dalam bidang

pendidikan, di mana keputusan atas “ya atau tidaknya”

pengembangan harus dilaksanakan oleh seseorang selain dari pengembang itu sendiri. Model yang berfokus pada sistem atau systems development models

berbeda bila dibandingkan dengan pengembangan model yang berorientasi pada produk. Model yang berfokus pada sistem mempunyai tujuan bahwa masukan dan keluaran dianggap sebagai suatu sistem. Keluaran pengembangan meliputi material, peralatan,


(40)

49

suatu rencana manajemen, dan barangkali suatu pelatihan instruktur. Ini berarti bahwa ”sistem” kemudian bisa ditempatkan sebagai target. Sistem menuntut analisis yang luas: (a) lingkungan penggunaan, (b) karakteristik tugas, dan (c) ya atau tidaknya pengembangan perlu berlangsung. Ini merupakan suatu masalah yang perlu dipecahkan

dengan menggunakan pendekatan menuntut

pengumpulan data secara alamiah. Sedangkan model yang berpusat pada organisatoris atau organization development models tujuannya tidak hanya meningkatkan pembelajaran, tetapi juga memodifikasi atau mengadaptasi organisasi itu dan personilnya kepada suatu lingkungan baru. Akhir-akhir ini, model yang berorientasi pada pengembangan ini digunakan untuk pengembangan fakultas, pengembangan organisasi, dan pengembangan pembelajaran sebagai tiga komponen yang terpisah tetapi aktivitasnya berhubungan.

Penelitian ini termasuk dalam kategori system development models yang menuntut analisis yang luas antara lain : a) lingkungan penggunaan, b) karakteristik tugas, dan c) ya atau tidaknya pengembangan perlu berlangsung. Model pengembangan pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan model penelitian yang dikembangkan oleh Borg dan Gall. Menurut Borg and Gall (Borg and Gall, 1983) :

education research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational products. The steps of this process are usually referred to as the R & D cycle, which consists of


(41)

50

studying research finding pertinent to the product to be developed, developing the product based on the finding, field testing it in the setting where it will be used eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the field testing stage. In indicate that product meets its behaviorally defined objectives. (Borg and Gall, 1983)”

Artinya riset dan pengembangan pendidikan (R&D)

adalah suatu proses yang digunakan untuk

mengembangkan dan memvalidasi atau mengesahkan produk bidang pendidikan. Langkah–langkah dalam proses ini pada umumya dikenal sebagai siklus R&D, yang terdiri dari: pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan validitas

komponen-komponen pada produk yang akan

dikembangkan, mengembangkannya menjadi sebuah produk, pengujian terhadap produk yang dirancang, dan peninjauan ulang, dan mengoreksi produk tersebut berdasarkan hasil uji coba. Hal itu sebagai indikasi bahwa produk temuan dari kegiatan pengembangan yang dilakukan mempunyai objektifitas. Rangkaian-rangkaian penelitian dan pengembangan dilakukan sesuai dengan siklus dan pada setiap langkah yang akan dilalui selalu mengacu pada hasil dari langkah sebelumnya hingga akhirnya akan diperoleh suatu sistem pendidikan yang baru.

Dalam teknologi pembelajaran, deskripsi tentang prosedur dan langkah-langkah penelitian pengembangan sudah banyak dikembangkan. Borg dan Gall (1983) menyatakan bahwa prosedur penelitian pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: 1) Mengembangkan produk,


(42)

51

dan 2) Menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan. Tujuan pertama disebut sebagai fungsi pengembangan sedangkan tujuan kedua disebut sebagai validasi. Dengan demikan, konsep penelitian pengembangan lebih tepat diartikan sebagai upaya pengembangan yang sekaligus dsertai dengan upaya validasinya.

Borg dan Gall menjelaskan serangkaian tahap

yang harus ditempuh dalam penelitian dan

pengembangan yaitu: Research and information collecting, planning, develop preliminary form of product, preliminary field testing, main product revision, main field testing, final product revision, and, dissemination and implementation. Secara konseptual, pendekatan penelitian dan pengembangan mencakup 10 langkah umum, sebagaimana diuraikan borg and Gall (1983), dalam model dibawah ini :

(Gbr. 2.1. Alur Prosedur pengembangan Borg dan Gall ,1983) Keterangan gambar:

1. Research and information collecting; termasuk dalam langkah ini antara lain studi literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dan

Research & Information Collecting

Planning Develop preliminary form of prduct

Preliminary Field testing

Main Product Revision Main field Testing

Operational Product Revision Operational Field

testing

Final Product Revision

Dissemination & Implementation


(43)

52

persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian;

2. Planning; termasuk dalam langkah ini merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan permasalahan, menentukan tujuan yang akan

dicapai pada setiap tahapan, dan jika

mungkin/diperlukan melaksanakan studi

kelayakan secara terbatas;

3. Develop preliminary form of product, yaitu mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang akan dihasilkan. Termasuk dalam langkah ini adalah persiapan komponen pendukung, menyiapkan pedoman dan buku petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung;

4. Preliminary field testing, yaitu melakukan ujicoba lapangan awal dalam skala terbatas. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau angket; 5. Main product revision, yaitu melakukan perbaikan

terhadap produk awal yang dihasilkan berdasarkan hasil uji coba awal. Perbaikan ini sangat mungkin dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam uji coba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap diuji coba lebih luas;

6. Main field testing, uji coba utama.

7. Operational product revision, yaitu melakukan perbaikan/penyempurnaan terhadap hasil uji coba lebih luas, sehingga produk yang dikembangkan sudah merupakan desain model operasional yang siap divalidasi;

8. Operational field testing, yaitu langkah uji validasi terhadap model operasional yang telah dihasilkan; 9. Final product revision, yaitu melakukan perbaikan

akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final);


(44)

53

10.Dissemination and implementation, yaitu langkah menyebarluaskanproduk/modelyang

dikembangkan.

Skema tersebut dirujuk dari the major steps in the R&D cycle Borg dan Gall (1983). Pengadaptasiannya diwujudkan dalam bentuk perencanaan teknis sasaran dan jenis kegiatan yang akan dilakukan dalam tiap tahapnya. Sukmadinata (2010) menjelaskan ”Jika kesepuluh langkah penelitian dan pengembangan diikuti dengan benar, maka akan dapat menghasilkan

suatu produk pendidikan yang dapat

dipertanggungjawabkan”. Langkah-langkah tersebut bukanlah hal baku yang harus diikuti, langkah yang diambil bisa disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.

2.8. Penelitian Yang Relevan

Dalam penelitian tentang Pengembangan Model Pendidikan Inklusif ini, penelitian yang relevan sebagai bahan pendukung penelitian ini yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Dyah S (2008), “Pengkajian Pendidikan

Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang

Pendidikan Dasar dan Menengah”, Pengkajian

Pendidikan Inklusif ini adalah untuk mengetahui efektifitas penyelenggara pendidikan inklusif yang sudah berjalan selama ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dilihat dinamikanya, seperti ketiadan Guru Pendamping Khusus (GPK), tenaga ahli, serta belum memiliki sarana – prasarana khusus untuk menangani ABK, atau jika mempunyai pun tak bisa menggunakan sarana yang ada.


(45)

54

Penelitian yang dilakukan oleh Lomban (2012), yang meneliti tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Pada Sekolah Menengah Pertama di Kota

Ambon, hasil penelitian menunjukkan bahwa

pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi di Kota Ambon, dalam kategori buruk yakni 26% bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan.

Martuti (2011), tentang “Pelaksanaan

Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan Inklusi Siswa Tuna Netra Di SMP Negeri 4 Wonogiri”,

hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam

pelaksanannya kendala-kendala yang dialami yaitu faktor ekonomi orang tua, proses belajar mengajar, kesiapan ketrampilan dan kemampuan guru yang kurang variatif cenderung membosankan dan membuat pasif, keterbatasan guru untuk mengikuti pelatihan dan perbedaan kemampuan individu dalam hal pelayanan antara siswa regular dengan siswa berkebutuhan khusus.

Penelitian yang dilakukan oleh Barokah (2008) yang meneliti moralitas peserta didik pada pendidikan inklusif, hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik antara usia 6-12 yang sederajat dengan peserta didik sekolah dasar yang memiliki kecenderungan untuk menjadi manusia yang bermoral baik terhadap orang tua, guru dan teman sebayanya.

Penelitian tentang inklusi juga dilakukan oleh Istiningsih (2005) yang meneliti Manajemen Inklusi di Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali menyimpulkan bahwa manajemen sekolah inklusi


(46)

55

sudah cukup bagus, dan pemahaman konsep inklusi perlu untuk ditingkatkan.

Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, yang menjadi kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain: ketiadan Guru Pendamping Khusus (GPK), tenaga ahli, serta belum memiliki sarana

– prasarana khusus untuk menangani ABK, atau jika mempunyai pun tak bisa menggunakan sarana yang ada serta pemahaman serta pengetahuan konsep pendidikan inklusif, hal-hal ini yang menjadi kelemahan dalam pelakasanaan pendidikan inklusif. Padahal, komponen-komponen ini merupakan hal penting dalam penerapan pembelajaran inklusif.

Penelitian yang hendak peneliti teliti saat ini lebih

mengkhususkan pada pengembangan model

pembelajaran inklusif di salah satu sekolah inklusif jenjang sekolah menengah pertama. Adapun yang menjadi fokus penelitian ini adalah desain model pengembangan pembelajaran inklusif.


(1)

50

studying research finding pertinent to the product to be developed, developing the product based on the finding, field testing it in the setting where it will be used eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the field testing stage. In indicate that product meets its behaviorally defined objectives. (Borg and Gall, 1983)”

Artinya riset dan pengembangan pendidikan (R&D)

adalah suatu proses yang digunakan untuk

mengembangkan dan memvalidasi atau mengesahkan

produk bidang pendidikan. Langkah–langkah dalam

proses ini pada umumya dikenal sebagai siklus R&D, yang terdiri dari: pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan validitas

komponen-komponen pada produk yang akan

dikembangkan, mengembangkannya menjadi sebuah produk, pengujian terhadap produk yang dirancang, dan peninjauan ulang, dan mengoreksi produk tersebut berdasarkan hasil uji coba. Hal itu sebagai indikasi bahwa produk temuan dari kegiatan pengembangan

yang dilakukan mempunyai objektifitas.

Rangkaian-rangkaian penelitian dan pengembangan dilakukan sesuai dengan siklus dan pada setiap langkah yang akan dilalui selalu mengacu pada hasil dari langkah sebelumnya hingga akhirnya akan diperoleh suatu sistem pendidikan yang baru.

Dalam teknologi pembelajaran, deskripsi tentang prosedur dan langkah-langkah penelitian pengembangan sudah banyak dikembangkan. Borg dan Gall (1983) menyatakan bahwa prosedur penelitian pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: 1) Mengembangkan produk,


(2)

51

dan 2) Menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan. Tujuan pertama disebut sebagai fungsi pengembangan sedangkan tujuan kedua disebut sebagai validasi. Dengan demikan, konsep penelitian pengembangan lebih tepat diartikan sebagai upaya pengembangan yang sekaligus dsertai dengan upaya validasinya.

Borg dan Gall menjelaskan serangkaian tahap

yang harus ditempuh dalam penelitian dan

pengembangan yaitu: Research and information

collecting, planning, develop preliminary form of product, preliminary field testing, main product revision, main field testing, final product revision, and, dissemination and implementation. Secara konseptual, pendekatan penelitian dan pengembangan mencakup 10 langkah umum, sebagaimana diuraikan borg and Gall (1983), dalam model dibawah ini :

(Gbr. 2.1. Alur Prosedur pengembangan Borg dan Gall ,1983)

Keterangan gambar:

1. Research and information collecting; termasuk dalam langkah ini antara lain studi literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dan

Research & Information Collecting

Planning Develop preliminary form of prduct

Preliminary Field testing

Main Product Revision Main field Testing

Operational Product Revision Operational Field

testing

Final Product Revision

Dissemination & Implementation


(3)

52

persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian;

2. Planning; termasuk dalam langkah ini merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan permasalahan, menentukan tujuan yang akan

dicapai pada setiap tahapan, dan jika

mungkin/diperlukan melaksanakan studi

kelayakan secara terbatas;

3. Develop preliminary form of product, yaitu mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang akan dihasilkan. Termasuk dalam langkah

ini adalah persiapan komponen pendukung,

menyiapkan pedoman dan buku petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung;

4. Preliminary field testing, yaitu melakukan ujicoba lapangan awal dalam skala terbatas. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau angket; 5. Main product revision, yaitu melakukan perbaikan

terhadap produk awal yang dihasilkan berdasarkan hasil uji coba awal. Perbaikan ini sangat mungkin dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam uji coba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap diuji coba lebih luas;

6. Main field testing, uji coba utama.

7. Operational product revision, yaitu melakukan perbaikan/penyempurnaan terhadap hasil uji coba lebih luas, sehingga produk yang dikembangkan sudah merupakan desain model operasional yang siap divalidasi;

8. Operational field testing, yaitu langkah uji validasi terhadap model operasional yang telah dihasilkan; 9. Final product revision, yaitu melakukan perbaikan

akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final);


(4)

53

10.Dissemination and implementation, yaitu langkah menyebarluaskanproduk/modelyang

dikembangkan.

Skema tersebut dirujuk dari the major steps in the

R&D cycle Borg dan Gall (1983). Pengadaptasiannya diwujudkan dalam bentuk perencanaan teknis sasaran dan jenis kegiatan yang akan dilakukan dalam tiap

tahapnya. Sukmadinata (2010) menjelaskan ”Jika

kesepuluh langkah penelitian dan pengembangan diikuti dengan benar, maka akan dapat menghasilkan

suatu produk pendidikan yang dapat

dipertanggungjawabkan”. Langkah-langkah tersebut bukanlah hal baku yang harus diikuti, langkah yang diambil bisa disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.

2.8. Penelitian Yang Relevan

Dalam penelitian tentang Pengembangan Model Pendidikan Inklusif ini, penelitian yang relevan sebagai bahan pendukung penelitian ini yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Dyah S (2008), “Pengkajian Pendidikan

Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang

Pendidikan Dasar dan Menengah”, Pengkajian

Pendidikan Inklusif ini adalah untuk mengetahui efektifitas penyelenggara pendidikan inklusif yang

sudah berjalan selama ini. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa efektifitas penyelenggaraan

pendidikan inklusif dapat dilihat dinamikanya, seperti ketiadan Guru Pendamping Khusus (GPK), tenaga ahli,

serta belum memiliki sarana – prasarana khusus untuk

menangani ABK, atau jika mempunyai pun tak bisa menggunakan sarana yang ada.


(5)

54

Penelitian yang dilakukan oleh Lomban (2012), yang meneliti tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Pada Sekolah Menengah Pertama di Kota

Ambon, hasil penelitian menunjukkan bahwa

pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi di Kota Ambon, dalam kategori buruk yakni 26% bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan.

Martuti (2011), tentang “Pelaksanaan

Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan

Inklusi Siswa Tuna Netra Di SMP Negeri 4 Wonogiri”,

hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam

pelaksanannya kendala-kendala yang dialami yaitu faktor ekonomi orang tua, proses belajar mengajar, kesiapan ketrampilan dan kemampuan guru yang kurang variatif cenderung membosankan dan membuat pasif, keterbatasan guru untuk mengikuti pelatihan dan perbedaan kemampuan individu dalam hal

pelayanan antara siswa regular dengan siswa

berkebutuhan khusus.

Penelitian yang dilakukan oleh Barokah (2008) yang meneliti moralitas peserta didik pada pendidikan inklusif, hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik antara usia 6-12 yang sederajat dengan peserta didik sekolah dasar yang memiliki kecenderungan untuk menjadi manusia yang bermoral baik terhadap orang tua, guru dan teman sebayanya.

Penelitian tentang inklusi juga dilakukan oleh Istiningsih (2005) yang meneliti Manajemen Inklusi di Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali menyimpulkan bahwa manajemen sekolah inklusi


(6)

55

sudah cukup bagus, dan pemahaman konsep inklusi perlu untuk ditingkatkan.

Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, yang menjadi kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain: ketiadan Guru Pendamping Khusus (GPK), tenaga ahli, serta belum memiliki sarana

– prasarana khusus untuk menangani ABK, atau jika

mempunyai pun tak bisa menggunakan sarana yang ada serta pemahaman serta pengetahuan konsep

pendidikan inklusif, hal-hal ini yang menjadi

kelemahan dalam pelakasanaan pendidikan inklusif. Padahal, komponen-komponen ini merupakan hal penting dalam penerapan pembelajaran inklusif.

Penelitian yang hendak peneliti teliti saat ini lebih

mengkhususkan pada pengembangan model

pembelajaran inklusif di salah satu sekolah inklusif jenjang sekolah menengah pertama. Adapun yang menjadi fokus penelitian ini adalah desain model pengembangan pembelajaran inklusif.


Dokumen yang terkait

ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) SLOW LEARNER DI KELAS INKLUSIF SMP NEGERI 7 SALATIGA

4 43 201

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif "Slow Learner" di SMP Negeri 7 Salatiga

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif "Slow Learner" di SMP Negeri 7 Salatiga T2 942011032 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif "Slow Learner" di SMP Negeri 7 Salatiga T2 942011032 BAB IV

0 1 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif "Slow Learner" di SMP Negeri 7 Salatiga T2 942011032 BAB V

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi di SMP Negeri 3 Salatiga dengan Model Charlotte Danielson T2 942015027 BAB II

0 3 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasistik di SD Kristen Satya Wacana Salatiga T2 942014014 BAB II

0 0 38

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Tiga Kepala SMP Negeri Salatiga Tahun 2014 T2 BAB II

0 1 14

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Supervisi Akademik Di SMP Negeri ebonagung Kabupaten Demak T2 BAB II

0 1 24

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Standar Perpustakaan di SD Kristen 04 Eben Haezer Salatiga T2 BAB II

0 3 42