10
BAB 2 KAJIAN TEORI
2.1. Latar Belakang Pendidikan Inklusif
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan
akar yang sudah tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern
Eropa. Akar pendidikan inklusif ini dimulai dari sejarah sekolah dasar biasa. Sejarah pendidikan kebutuhan
khusus tidak memperoleh banyak perhatian selama beberapa dekade yang lalu, tetapi minat orang terhadap
bidang ini muncul lebih kuat selama beberapa tahun terakhir ini. Tentu saja individu yang berkebutuhan
khusus dan
menyandang kecacatan
mempunyai berbagai sisi sejarahnya sendiri di seluruh bagian
dunia ini. Namun, kebanyakan yang didokumentasikan di dalam literatur barat berasal dari “dunia barat”.
Widyastono, 2004
Dalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang panjang sejak pengesahannya
secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739. Fondasi sekolah ini, yaitu “untuk semua dan setiap
orang”, Merupakan upaya utama dalam bidang pendidikan pada waktu itu, yang dilaksanakan oleh
monarki otokratik, dan sangat dipengaruhi oleh ideologi Kristen pietism dan cameralism. Sekolah merupakan
elemen kunci dalam proyek melek huruf keagamaan yang dikembangkan untuk memfasilitasi tanggung
11
jawab individual setiap orang kepada Tuhan Kristen di samping untuk alasan-alasan praktis. Membutuhkan
seratus tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini hingga
terlembagakannya sekolah
dasar sebagai
institusi pendidikan permanenbagi semua orang di seluruh bagian Norwegia. Isi pelajaran pada awal
sejarah sekolah dasar ini adalah membaca dan penjelasan tentang bagian-bagian tertentu dari doktrin
Kristen. Akan tetapi, sejak didirikannya, sekolah dasar Norwegia ini telah memperluasisinya, dan sekarang
telah mencakup sepuluh mata pelajaran wajib, dengan mata pelajaran
“Pengetahuan Kristen, Pendidikan agama dan Etika” sebagai mata pelajaran minor.KUF
19971999, dalam http:www.idp-europe.org Erik Pontoppidan 1698-1764 adalah penggagas
utama sekolah baru ini. Atas perintah Raja, dia membuat buku pelajaran pertama, yang disebut
Penjelasan Pontoppidan 1739, yang menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah
sekolah dasar Norwegia. Di samping itu, dia juga menulis tentang pendidikan dalam banyak teks
lainnya. Sebagai Uskup Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang
sekolah untuk semua orang, di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di
seluruh Norwegia yang sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Dalam tulisannya tentang
pendidikan, Pontoppidan 1739 menunjukkan bahwa dia menyadari bahwa anak-anak belajar dengan cara
yang berbeda-beda dan dengan kecepatan yang
12
berbeda-beda. Penjelasan Pontoppidan adalah buku tebal, dan parasiswa diharapkan mampu menghafalnya
di luar kepala. Akan tetapi, dia menandai beberapa bagian buku teks itu dengan menggarisi bagian
tepinya, untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak penting dipelajari oleh siswa yang mempunyai
kesulitan karena alasan internal atau eksternal. Buku teks pendidikan yang dirancang oleh Pontoppidan
1739 itu mengandung sejumlah contoh tentang kesadarannya akan perbedaan individual dalam hal
peluang belajar serta berisikan sejumlah rekomendasi tentang
metode pengajaran
yang tepat
untuk menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan individu
yang berbeda-beda. Sejumlah kecil contoh gagasan semacam ini ditemukan dalam teks pendidikan selama
sejarah pendidikan dasar di abad ke-18 dan ke-19. Teks-teks ini juga menunjukkan adanya pertukaran
gagasan antara Norwegia dan negara-negara Nordik serta beberapa bagian Eropa lainya. Pemikiran-
pemikiran para ahli seperti Johan Amos Comenius dari Cekoslowakia 1592-1670, Francke dari Halle di
Jerman, dan kemudian John Locke dari Inggris 1632- 1704,
Jean-Jaques Rousseau
1712-1778 dari
Perancis dan Johann H. Pestalozzi dari Swiss 1746- 1827 ditafsirkan dan dibahas. Johnsen, dalam
http:www.idp-europe.org Walaupun demikian, namun terdapat juga cerita-
cerita yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap anak dan remaja dengan kesulitan belajar
dan kecacatan. Dalam tradisi Lutheran di Eropa Utara,
13
yang disebut sebagai konfirmasi adalah bentuk ujian yang besar, yang membukajalan bagi hak-hak orang
dewasa. Mungkin kerugian yang paling besar bagi mereka yang tidak berhasil lulus dari ujian konfirmasi
itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan untuk menikah. Menurut undang-undang yang berlaku saat
itu, anak muda yang karena berbagai alasan tidak bersekolah
dan tidak
berhasil dalam
belajar pengetahuan dasar yang diwajibkan untuk lulus dari
ujian konfirmasi, dapat dimasukkan ke “rumah rehabilitasi
” dan bahkan di penjara, di mana mereka dipaksa untuk belajar. Ada dua jenis kecacatan yang
tidak dapat diterima untuk konfirmasi, yaitu gila mungkin yang kini kita sebut psikosis parah atau
tunagrahita dan tunarungu prabahasa. Sesungguhnya, apakah orang yang menjadi tuli sebelum belajar bahasa
itu dapat dididik atau tidak, telah menjadi bahan perdebatan
selama beberapa
abad, yang
jejak argumentasinya ditemukan sejak awal era Protestan
Lutheran hingga dekade terakhir abad kesembilan belas. Pontoppidan ada di antara mereka yang
menentang edukabilitas orang tunarungu prabahasa itu .Johnsen,www.idp-europe.org.
Perkembangan pendidikan anak berkebutuhan khusus berkembang di Eropa, perkembangan dari
upaya-upaya pendidikan
yang sporadis,
ke keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolah-
sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Di Amerika sejak tahun 1960-an presiden
Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar
14
biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan last restrictive environment yang ternyata cocok
untuk diterapkan di Amerika Serikat. Yusuf dan Indianto, 2010.
Walaupun demikian ternyata pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang dijalankan melalui
sekolah-sekolah luar biasa belum dapat memenuhi kebutuhan anak akan pendidikan. Hal tersebut
bermula dari ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pendidikan segregatif, yang menyebabkan anak-anak
membutuhkan layanan pendidikan khusus mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan
masyarakat normal, meskipun mereka telah memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk
hidup layak di masyarakat. Alasan inilah yang memicu hadirnya
pendidikan inklusif,
pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama
teman-teman seusianya. http:file.upi.eduDirektoriFIPJUR._PEND._LUAR_
BIASA Tuntutan akan pendidikan inklusif ini mengacu
pada instrumen
internasional yang
melandasi pendidikan inklusif, yaitu: a Deklarasi Hak Asasi
Manusia 1948 termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang.
Dalam Deklarasi ini menegaskan bahwa: “Setiap orang
mempunyai hak atas pendidikan.” http:www.komnasperempuan.or.id. Hal ini didasari
atas pandangan bahwa penyandang cacat bukanlah
15
sebagai manusia yang utuh, oleh karena itu seringkali haknya
direnggut. Melalui
deklarasi ini
maka dihasilkanlah suatu keputusan yaitu bahwa semua
penyandang cacat, tanpa memandang jenis dan tingkat keparahannya,
memiliki hak
atas pendidikan.
UNESCO, 1994. b Konvensi Hak Anak 1989 PBB, diumumkan tahun 1991, Konvensi PBB tentang Hak
Anak tahun 1989, yang telah ditandangani oleh semua negara di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia;
menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua pasal 28. Konvensi
tentang Hak Anak PBB memiliki empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal
mengenai pendidikan, yaitu: 1 non-diskriminasi pasal2 yang menyatakan secara spesifik tentang
penyandang kebutuhan khususpenyandang cacat; 2 kepentingan terbaik anak; 3 hak untuk kelangsungan
hidup dan perkembangan pasal 6; dan 4 menghargai pendapat anak pasal 12. Kesemua hak tersebut tidak
dapat dipisahkan
satu sama
lain, dan
saling berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak atas
pendidikan bagi
anak berkelainanberkebutuhan
khusus atau penyandang cacat telah disediakan pendidikan di sekolah khusussekolah luar biasa,
tetapi hal ini dapat melanggar hak mereka “diperlakukan secara non-diskriminatif”, dihargai
pendapatnya dan hak untuk tetap berada dalam
lingkungan keluarga
dan masyarakatnya.
http:www.unicef.org. c Pendidikan untuk semua 1990: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk
16
Semua di Jomtien, Thailand UNESCO, diumumkan tahun 1991 dan 1992, dalam Deklarasi Dunia tentang
Pendidikan untuk semua di Thailand pada tahun 1990, melangkah lebih jauh dari pada Deklarasi Universal
dalam pasal III tentang universalisasi akses dan mempromosikan kesetaraan. Dalam deklarasi tersebut
dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan
diskriminasi dan eksklusi. Hal ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak
pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan
secara khusus disebutkan para penyandang cacat. Istilah inklusi tidak digunakan dalam Deklarasi
Jomtien, tetapi terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-
orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan umum Sue Stubbs, 2002. Dalam Deklarasi
Jomtien juga dinyatakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke
pendidikan yang
sama kepada
setiap kategori
penyandang cacatkelainan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan Pasal II ayat 5 . UNESCO, 1990.,d
Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, 1993PBB, diumumkan tahun
1994, Peraturan ini telah dikembangkan atas dasar pengalaman yang diperoleh selama Dekade Penyandang
Cacat PBB 1983 - 1992. Piagam Internasional Hak- hak Asasi Manusia, yang terdiri dari Deklarasi Hak
Azazi Manusia Universal, Perjanjian Internasional
17
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Perjanjian Intemasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, Konvensi tentang Hak-hak Anak, dan Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita, maupun Program Aksi Dunia mengenai Penyandang Cacat, merupakan landasan
politik dan moral bagi peraturan ini. Meskipun peraturan ini tidak wajib, tetapi dapat menjadi
peraturan keluaran internasional jika ditetapkan oleh sejumlah besar Negara dengan tujuan menghormati
suatu aturan dalam hukum internasional. Prinsip- prinsip penting untuk bertanggungjawab, berbuat dan
bekerja sama terkandung pula di dalamnya. Bidang- bidang yang sangat penting bagi kualitas kehidupan
dan demi tercapainya partisipasi penuh dan persamaan pun termuat. Peraturan ini dapat dipergunakan sebagai
suatu instrumen bagi pembuatan kebijaksanaan dan pengambilan tindakan bagi para penyandang cacat
serta organisasi-organisasinya. Peraturan ini dapat pula dipergunakan sebagai dasar bagi kerja sama
teknik dan
ekonomi di
antara negara-negara,
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi organisasi internasional lainnya. Peraturan ini bertujuan untuk
menjamin agar para penyandang cacat anak-anak maupun
dewasa, laki-laki
ataupun perempuan,
memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti orang-orang
lain sebagai
warga masyarakatnya.
Peraturan Standar tentang Persamaan kesempatan bagi Para penyandang cacat, Resolusi PBB No. 4896
Tahun 1993.
Penyataan Salamanca
tentang
18
Pendidikan inklusif, 1994 UNESCO diumumkan pertama tahun 1994, laporan akhir tahun 1995.
Konsep pendidikan inklusif mulai mewujud dalam sebuah kerangka kerja yang jelas pada saat UNESCO
menyelenggarakan The Salamanca World Conference on Special Needs Education pada tahun 1994. Pada
paragraf ketiga dari The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang
dihasilkan dari konferensi tersebut dinyatakan bahwa:
“… schools should accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social,
emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and
working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural
minorities and children from other disadvantaged or
marginalised areas or groups.”
Jelas bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem pendidikan yang ditujukan untuk mampu
mengakomodasi semua
anak tanpa
memandang kondisi mereka. Sistem pendidikan ini tidak hanya
sekadar untuk mengakomodasi kaum difabel, tetapi juga kelompok-kelompok anak lainnya, seperti anak
jalanan, pekerja anak, anak-anak dari daerah terpencil dan sebagainya. Jadi, konsep pendidikan inklusif
dimunculkan untuk menjamin akses pendidikan bagi semua anak. Model pendidikan ini diyakini sebagai alat
yang paling efektif untuk memerangi diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang
bisa menerima
perbedaan, dan
menjamin berjalannya
konsep pendidikan untuk semua sebagaimana yang dicita-
citakan oleh UNESCO sejak konferensi Jomtien
19
sebagaimana telah disebut di atas. Yusuf dan Indianto, 2010
Di Indonesia, proses menuju pendidikan inklusif dimulai pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang
siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan organisasi pada tunanetra sebagai satu kelompok
penekan. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi
dengan mencoba masuk SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Pada akhir tahun
1970-an pemerintah
mulai menaruh
perhatian terhadap
pentingnya pendidikan
integrasi, dan
mengundang Hellen Keller International, Inc, untuk membantu
mengembangkan sekolah
integrasi. Keberhasilan proyek ini menyebabkan diterbitkannya
Surat Keputusan
Menteri Pendidikan
nomor: 002U1986 tentang Pendidikan Terpadu Bagi Anak
Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu
berakhir, implementasi
pendidikan integrasi
semakin kurang dipraktikkan. Menjelang akhir tahun 1990-an
upaya baru
dilakukan lagi
untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek
kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Brailo Norway dan Direktorat PLB
Pendidikan Luar Biasa. Agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dengan program integrasi yang
nyaris mati, perhatian diberikan pada sustainabilitas program
pengimplementasian pendidikan
inklusif. Firdaus,2010.
20
2.2. Pengertian Pendidikan Inklusif