Bab II Gambaran Umum

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

2.1 Kondisi Geografis

Propinsi Jawa Timur dibentuk dengan Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1950, yang ditetapkan pada tanggal 2 Pebruari 1950, merupakan gabungan dari Pemerintahan Daerah Karesidenan Surabaya, Madura, Besuki, Malang, Kediri, Madiun dan Bojonegoro. Jawa Timur terletak pada 110˚54’ hingga 115˚57’ Bujur Timur dan 5˚37’ hingga 8˚48’ Lintang Selatan. Secara umum wilayah Jawa Timur dibagi dalam 2 bagian, Jawa Timur Daratan dan Wilayah Kepulauan Madura. Luas Jawa Timur daratan hampir mencapai 90% dari seluruh luas Propinsi Jawa Timur atau mencapai 47.157,72 Km2, sedangkan luas Kepulauan Madura dan sekitarnya hanya 10%.

Berdasarkan struktur fisik dan kondisi geografis, Jawa Timur dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) Bagian Utara dan Madura merupakan daerah yang relatif kurang subur (pantai, dataran rendah dan pegunungan); (2) Bagian Tengah merupakan daerah yang relatif subur; (3) Bagian Selatan-Barat merupakan pegunungan yang memiliki potensi tambang cukup besar; (4) Bagian Timur merupakan daerah sebagai penghubung Pulau Bali dan Indonesia Bagian Timur.

Wilayah Administrasi Pemerintahan Jawa Timur terbagi dalam 29 Kabupaten, 9 Kota, 654 Kecamatan dengan 784 Kelurahan dan 7.684 Desa, sedangkan jumlah penduduk Jawa Timur sebanyak 37,7 juta jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 1,06%.

Jumlah penduduk Jawa Timur pada saat ini mencapai 37.478.737 jiwa (awal Januari 2008). Dalam empat tahun terakhir (2003-2007), rata-rata pertumbuhannya mencapai 1,06% per tahun. Komposisi penduduk terdiri atas laki-laki sebanyak 18.492.276 jiwa (49 %) dan perempuan sebanyak 18.986.461 jiwa (51 %).


(2)

2.2 Kinerja Makro Perekonomian Daerah a. Pertumbuhan Ekonomi

Kinerja perekonomian Jawa Timur dari tahun ke tahun cenderung mengalami perbaikan, kecuali pada tahun 2006, dimana pada saat itu dampak negatif kenaikan harga BBM dan cukai rokok terhadap perekonomian mencapai puncaknya. Hal ini dapat dilihat terutama dari perkembangan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 (ADHK 2000).

Pada tahun 2005, PDRB ADHK 2000 Jawa Timur tumbuh sebesar 5,84 persen menjadi Rp 242.229 milyar. Kinerja perekonomian Jawa Timur pada tahun 2005 tidak secepat tahun 2004, yang disebabkan Pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang tidak populer berupa peningkatan harga BBM pada Bulan Mei dan Oktober serta cukai rokok. Dampak negatif kebijakan tersebut terhadap perekonomian Jawa Timur sudah tampak pada tahun 2005 dan mencapai puncaknya pada tahun 2006.

Memang pada tahun 2005, PDRB ADHK 2000 Jawa Timur masih tumbuh, namun laju pertumbuhannya relatif tidak lebih besar dibanding tahun 2004. Pada tahun 2005 perekonomian Jawa Timur tumbuh sebesar 5,84 persen, relatif sama dibanding tahun 2004 yang besarnya 5,83 persen. Namun demikian, pencapaian pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2005 masih lebih besar dari target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 5,30 persen.

Secara sektoral, seluruh sektor masih tumbuh pada tahun 2005, kecuali sektor Listrik, Gas dan Air Minum. Namun beberapa sektor utama mengalami perlambatan dalam pertumbuhannya pada tahun 2005 dibanding tahun 2004, yaitu sektor Industri Pengolahan; sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; dan sektor Angkutan dan Komunikasi. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih bahkan mengalami


(3)

Sektor dengan laju pertumbuhan paling cepat pada tahun 2005 adalah sektor Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan (10,68 persen); sektor Pertambangan dan Penggalian (9,32 persen); sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (9,15 persen); sektor Angkutan dan Komunikasi (5,00 persen); sektor Industri Pengolahan (4,61 persen); dan sektor lainnya.

Namun demikian, sektor-sektor yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tetap sama, yaitu sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran serta sektor Industri Pengolahan.

Pada tahun 2006, seperti telah disinggung dimuka, dampak negatif kenaikan harga BBM mencapai puncaknya terhadap perekonomian Jawa Timur. Ditambah dengan adanya bencana luapan lumpur panas Lapindo, itu semua telah membuat kinerja ekonomi Jawa Timur pada tahun 2006 merosot dibanding tahun 2005. Hal itu diperlihatkan oleh melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Jawa Timur, dari 5,84 persen pada tahun 2005 menjadi 5,80 persen pada tahun 2006. Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan sektor Industri Pengolahan, sektor Konstruksi, sektor Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan.

Namun demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang dicapai pada tahun 2006 masih sama dengan target pertumbuhan yang ditetapkan, yaitu 5,80 persen. Dan pada tahun 2007 pertumbuhannya meningkat menjadi 6,02 persen (angka sangat sementara).

b. PDRB Perkapita

Tingkat perekonomian Jawa Timur meningkat terus secara mantap dari tahun ke tahun. Hal itu dapat dilihat dari perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) Jawa Timur.


(4)

Pada tahun 2005, PDRB ADHB Jawa Timur adalah Rp 403.392 milyar. Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi Rp 469.232 milyar.

Namun demikian, PDRB ADHB tidak dapat menceritakan keseluruhan cerita mengenai kesejahteraan ekonomi. Karena walaupun menghasilkan lebih banyak barang dan jasa secara umum menguntungkan, kita tidak dapat melihat apakah dalam kondisi ini rata-rata orang menjadi lebih baik atau tidak. Untuk itu kita harus melihat perkembangan suatu indikator yang disebut PDRB perkapita.

PDRB perkapita diperoleh dengan cara membagi PDRB ADHB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Pada tahun 2005, PDRB perkapita adalah Rp 10,8 juta. Kemudian pada tahun 2006 dan 2007 meningkat berturut-turut menjadi Rp 12,5 juta dan 14, 03 juta. Dari data tersebut terlihat bahwa capaian PDRB perkapita pada tahun 2005, 2006 dan 2007 jauh diatas target yang ditetapkan pemerintah, yaitu berturut-turut Rp 7,9 juta, Rp 8,2 juta dan 8,6 juta.

c. Daya Beli

PDRB perkapita belum dapat memperlihatkan daya beli rata-rata masyarakat. Untuk itu diperlukan indikator lain yang disebut Indeks Daya Beli (IDB).

IDB diperoleh dengan cara mendeflasi PDRB perkapita dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada tahun 2005 IDB Jawa Timur adalah 119,75. Kemudian pada tahun 2006, IDB tumbuh lebih cepat, sebesar 8,36 persen, menjadi 129,76. Hal ini disebabkan oleh karena turunnya inflasi pada tahun 2006, serta tahun 2007 menjadi 137,87. Pencapaian IDB pada tahun 2005, 2006 dan 2007 selalu jauh berada diatas target yang ditetapkan pemerintah.


(5)

d. ICOR

ICOR merupakan suatu ukuran untuk melihat tingkat efisiensi suatu investasi. ICOR menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output.

ICOR Jawa Timur pada tahun 2005 adalah 3,09. Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 3,29 serta menjadi 3,12 pada tahun 2007. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sampai tahun 2005, efisiensi investasi makin membaik. Pada tahun 2006, efisiensi investasi sedikit memburuk di banding tahun 2005. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya harga BBM secara tajam pada tahun 2005. Dan pada tahun 2007 mengalami penurunan yang artinya efisiensi investasi tahun 2007 lebih baik dari tahun 2006. Sejak tahun 2003, capaian ICOR selalu lebih rendah dari target yang ditetapkan, yang artinya bahwa pencapaian efisiensi investasi lebih baik dari target yang ditetapkan.

2.3 PEMERINTAHAN SOSIAL BUDAYA a. Penanganan Pelayanan Publik

Untuk menanggapi kritik dan keluhan masyarakat, pemerintah, baik di tingkat propinsi maupun Kabupaten/ Kota telah membuka kotak pengaduan. Pengaduan berasal dari 2 (dua) sumber, yaitu kotak pengaduan dan media massa. Pengaduan dipergunakan oleh pemerintah sebagai input bagi perbaikan dan peningkatan pelayanan.

Berbagai kasus pengaduan yang masuk telah menyebabkan adanya perbaikan pelayanan dari pemerintah dan inovasi dalam menjawab keluhan dan kebutuhan masyarakat. Informasi terbaru mengenai pembentukan Komisi Pelayanan Publik (KPP) oleh DPRD Jawa Timur merupakan jawaban atas tuntutan masyarakat akan perbaikan dan peningkatan pelayanan prima dari pemerintah.


(6)

b. Kerugian Negara terhadap APBD

Untuk melihat komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintah dapat digunakan suatu indikator yang dinamakan ” Rasio Jumlah dan Besar Nilai Kerugian Negara terhadap APBD”.

Pada tahun 2005, Rasio Kerugian Negara terhadap APBD adalah 0,49 dan mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi 0,43 serta tahun 2007 menjadi 0,41. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya Rasio Temuan Kewajiban Penyetoran kepada Negara, dari hanya 0,391 pada tahun 2005 menjadi 0,420 pada tahun 2006. Dengan demikian capaian Rasio Kerugian Negara terhadap APBD dari tahun 2002 sampai 2006 selalu lebih buruk dari target yang diharapkan, yaitu setiap tahun turun 2,00 persen.

c. Perda yang Dihasilkan

Peraturan Daerah (Perda) adalah merupakan salah satu inovasi dari pihak legislatif dan eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan. Dari informasi yang ada, beberapa Perda yang dihasilkan daerah dibatalkan oleh Depdagri. Dari lain pihak ada beberapa Perda yang dapat memacu perkembangan secara cepat, misal Integrasi Pendidikan Unggul di Lumajang, Kerjasama antara PT. Kutai Timber Indonesia dengan Pemkot Probolinggo dalam sharing penyediaan tenaga kerja. Dari berbagai Perda yang ada ternyata ada beberapa yang harus ditinjau kembali dan adanya tepat untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.

Pada tahun 2005 perda yang dihasilkan sebanyak 233 Perda, tahun 2006 sejumlah 520 perda dan 175 Raperda, serta tahun 2007 sejumlah 475 Perda dan 175 Raperda.


(7)

d. Angka Buta Huruf (ABH)

Pada tahun 2005, ABH penduduk Jawa Timur umur 10 – 44 tahun adalah 12,59 persen. Kemudian pada tahun 2006 menurun menjadi 11,64 persen dan pada tahun 2007 turun menjadi 11,43 persen. Hal ini disebabkan oleh menurunnya, baik ABH laki-laki maupun ABH perempuan. Menurut jenis kelamin, ABH perempuan jauh diatas ABH laki-laki. Namun demikian kesenjangannya dari tahun ke tahun makin kecil. Pencapaian ABH dari tahun ke tahun selalu lebih baik dari target yang ditetapkan pemerintah. Pada tahun 2005, target ABH yang ditetapkan adalah 15,3 persen dan kemudian pada tahun 2006 dan 2007 menurun menjadi 15,1 persen dan 14,9 persen.

e. Angka Partisipasi Sekolah (APS)

Pada tahun 2005, berdasar data BPS, APS SD/MI menurun menjadi 96,30 persen (99,49 persen versi data Dinas P & K). Namun demikian, dengan disalurkannya BOS sejak Januari 2006, APS SD/MI kembali meningkat pada tahun 2006 menjadi 98,22 persen (99,61 persen versi Dinas P 7 K). Dengan demikian pada tahun 2005 dan 2006, capaian APS SD/MI masih dibawah target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebesar 97,50 persen dan 99,53 persen (menurut Dinas P & K sudah melampaui target). Sementara pada tahun 2007, APS SD/MI sebesar 98,32 persen, lebih rendah dari target yang seharusnya sebesar 99,63 persen.

Sedangkan APS SLTP pada tahun 2005 adalah 83,90 persen (88,14 % versi Dinas P & K). Kemudian pada tahun 2006 menjadi 85,98 persen (91,03 % versi Dinas P & K). Dan pada tahun 2007 meningkat pesat menjadi 86,08 persen. Pencapaian APS setiap tahun selalu diatas target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebesar 81,9 persen dan 85,35 persen serta 85,71 persen pada tahun 2007.


(8)

Adapun APS SLTA pada tahun 2005 adalah 54,64 persen (55,90 % versi Dinas P & K). Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 56,77 persen (56,31 % versi Dinas P & K) serta menjadi 58,19 persen pada tahun 2007. Namun, pencapaian APS SLTA selalu dibawah target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 54,7 persen pada tahun 2005, 59,65 persen pada tahun 2006 serta 62,02 persen pada tahun 2007.

f. Rasio Murid SMK terhadap SMU

Rasio Murid SMK terhadap SMU pada tahun 2005 adalah 0,68 (0,66 versi Dinas P & K). Berarti dari setiap 100 murid SMU terdapat sekitar 68 murid SMK (66 murid menurut Dinas P & K). Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 0,69 (0,75 versi Dinas P & K), dan tahun 2007 tetap pada angka 0,69. Dari data tersebut terlihat bahwa animo masyarakat untuk memasuki SMK semakin besar. Hal ini mungkin disebabkan oleh harapan agar lebih cepat terserap oleh pasar tenaga kerja. Pencapaian rasio murid SMK terhadap SMU dari tahun ke tahun selalu lebih besar dari target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 0,48 dan 0,69. Namun pada tahun 2007 relatif lebih rendah dari target 0,70.

g. Angka Partisipasi

Peningkatan kesempatan dan hasrat memperoleh pendidikan diantaranya dapat dilihat dari indikator angka partisipasi di tingkat SD/MI, SPM/MTs dan SLTA/MA. Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) serta Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan gambaran dari tingkat partisipasi dan keikut sertaan masyarakat untuk mengikuti pendidikan.

Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir perkembangan APM, APK dan APS di Jawa Timur yaitu untuk usia SD (7 – 12 tahun) adalah


(9)

No. Uraian 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007

1 APK 113,74 110,93 109,19 110,22

2 APM 95,02 96,71 97,24 97,34

3 APS 98,07 99,37 99,49 99,61

Sedangkan tingkat partisipasi untuk usia SMP/MTs (usia 13-15 tahun) dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir antara lain :

No. Uraian 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007

1 APK 83,63 86,32 89,21 96,84

2 APM 64,17 67,48 71,22 76,39

3 APS 82,16 85,43 88,14 91,03

Dari data perkembangan APK, APM dan APS tersebut, menunjukkan bahwa Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun di Jawa Timur sangat efektif dan signifikan terhadap kenaikan angka melanjutkan dari SD ke SMP. Sehingga Program Subsidi Biaya Minimal Pendidikan yang digagas oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur tidak sia-sia, oleh karenanya program tersebut akhirnya diadopsi secara nasional menjadi program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dipertahankan keberlanjutannya demi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Sedangkan tingkat partisipasi sekolah SLTA di Jawa Timur dalam kurun waktu 4 (empat) tahun adalah sebagai berikut :

No. Uraian 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007

1 APK 54,42 57,53 59,45 64,66

2 APM 42,19 42,47 42,56 44,28

3 APS 53,97 54,98 55,90 56,31

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa APK untuk SD/MI paling besar dibanding APK pada pendidikan tingkat atasnya. Demikian juga untuk tingkat SMP, APK-nya relatif cukup besar dibanding APK SLTA. Dengan demikian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan di tingkat dasar sangat tinggi dan sebaliknya menurun ketika masuk pada tingkatan yang lebih tinggi, hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi pendidikan semakin berkurang kemampuan masyarakat untuk melanjutkan sekolah.


(10)

h. Tingkat Kemiskinan

Barangkali hampir tidak ada satupun negara atau di daerah di dunia ini yang steril dari masalah kemiskinan. Namun demikian, tingkat kemiskinan antar negara di dunia atau antar daerah dalam satu negara tertentu kemungkinan besar berbeda. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan strategi pembangunan yang dilakukan oleh masing-masing negara atau daerah.

Pada tahun 2004, tingkat kemiskinan di Jawa Timur adalah 19,10 persen. Kemudian pada tahun 2005 naik kembali menjadi 22,51 persen. Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 secara tajam telah memberikan dampak negatif khususnya bagi masyarakat yang berada diambang kemiskinan, karena sebagian besar dari mereka menjadi miskin. Tetapi pemerintah telah mengantisipasi hal ini dengan melakukan berbagai program pengentasan kemiskinan, diantaranya penyaluran BLT pada rumah tangga miskin. Sehingga persentase penduduk miskin pada tahun 2006 turun kembali menjadi 19,89 persen. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa meskipun masih tinggi, tetapi capaian tingkat kemiskinan di Jawa Timur dari tahun ke tahun berada jauh dibawah target yang ditetapkan oleh pemerintah pada periode tahun 2003-2005. Pada tahun 2006, walaupun mengalami penurunan, tapi tingkat kemiskinan yang dicapai masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan pemerintah. Dampak negatif kenaikan harga BBM mungkin masih terasa pada daya beli masyarakat.

i. Kematian Bayi

Kematian bayi sangat berkaitan dengan kondisi kehamilan ibu, perawatan bayi baru lahir. Penyebab langsung kematian bayi baru lahir adalah infeksi dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Sedangkan penyebab tidak langsung mencakup jumlah sarana dan kualitas


(11)

Pada tahun 2005, Angka Kematian Bayi Jawa Timur adalah 36,65 per 1000 kelahiran hidup, berarti terdapat 36 lebih bayi meninggal pada setiap 1000 kelahiran hidup. Kemudian pada tahun 2006 dan 2007 turun berturut-turut menjadi 33,0 per 1000 kelahiran hidup (35,32 per 1000 kelahiran hidup berdasar data Dinas Kesehatan) dan 32,93 per 1000 kelahiran hidup.

Turunnya Angka Kematian Bayi terutama disebabkan oleh adanya peningkatan kualitas pelayanan dan penyediaan fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas penolong persalinan oleh tenaga medis, keberhasilan program KB dan lain-lain.

Namun demikian, masih ada beberapa daerah yang perlu mendapat perhatian lebih serius, yaitu Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan dan wilayah pulau Madura.

Menurut jenis kelamin, Angka Kematian Bayi laki-laki selalu lebih tinggi dari bayi perempuan. Pada tahun 2006 terdapat 38 bayi laki-laki yang meninggal, sedangkan bayi perempuan hanya 28 orang.

Capaian Angka Kematian Bayi selalu lebih baik dari target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 39, 38 dan 37.

j. Angka Harapan Hidup (AHH)

AHH sangat berkaitan dengan tingkat pembangunan sosial ekonomi suatu wilayah. Bila pembangunan sosial ekonomi semakin maju, maka AHH juga semakin baik.

AHH Jawa Timur pada tahun 2005 adalah 67,9 tahun. Kemudian pada tahun 2006 menjadi 68,6 tahun. Dan tahun 2007 sebesar 68,69. Meningkatnya AHH secara tidak langsung memberikan gambaran tentang adanya peningkatan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat.


(12)

Berdasarkan jenis kelamin, AHH perempuan selalu lebih tinggi dari AHH laki-laki. Pada tahun 2006, AHH laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 66,63 tahun dan 70,66 tahun. Capaian AHH Jawa Timur selalu lebih tinggi dari target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 67,0 dan 67,40 dan 67,550 pada tahun 2005, 2006 serta 2007.

k. Kematian Ibu Melahirkan

Angka kematian Ibu (AKI) sangat berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran untuk berperilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, kualitas pelayanan kesehatan, terutama untuk ibu hamil, dan pelayanan kesehatan waktu melahirkan dan masa nifas.

AKI Indonesia pada tahun 2005 sebanyak 291 jiwa. Namun demikian, AKI Indonesia dapat dikatakan masih tinggi. Penyebab langsung kematian ibu melahirkan adalah komplikasi pada kehamilan, persalinan dan nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat waktu. AKI di negara maju hanya sekitar 10 per 100.000 kelahiran hidup. AKI yang tinggi di indonesia menunjukkan buruknya tingkat kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

Untuk Propinsi Jawa Timur, Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2005 sebesar 413 per 100.000 kelahiran hidup dan angka ini pada tahun 2006 menurun menjadi 364 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan target kinerja tahun 2006 sebesar 314 per 100.000.

l. Persalinan oleh Tenaga Medis

Pada tahun 2005, Persalinan oleh Tenaga Medis (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya) adalah 77,50 persen. Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 81,20 persen serta tahun 2007 sebesar 81,81


(13)

persen masyarakat di Jawa Timur yang memanfaatkan jasa tenaga non-medis (dukun bayi atau famili) dalam membantu proses persalinan.

Di daerah pedesaan presentase penolong persalinan oleh tenaga medis umumnya lebih rendah dari daerah perkotaan. Pada tahun 2006 persentase penolong persalinan oleh tenaga medis di daerah perkotaan dan daerah pedesaan masing-masing sebesar 90,77 persen dan 73,51 persen.

Pencapaian angka penolong persalinan oleh tenaga medis selalu jauh lebih tinggi dari target yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 60,3 persen ; 60,7 persen dan 61,1 persen pada tahun 2003, 2004 dan 2005. Namun demikian pada tahun 2006, pencapaian masih dibawah target yang ditetapkan, demikian juga tahun 2007 dengan target 84,00 persen.

m. Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan hasil penghitungan, laju pertumbuhan penduduk Jawa Timur adalah sebesar 1,06 persen pada periode 2002-2006. Berarti bahwa pencapaian pertumbuhan penduduk lebih baik dari target yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 1,11 persen. Jadi setiap tahunnya penduduk bertambah sebesar 1,06 persen.

Kabupaten dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi pada periode itu adalah Kabupaten Sidoarjo, yaitu sebesar 2,92 persen. Sedangkan daerah dengan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah Kabupaten Magetan, yaitu 0,02 persen.

Kabupaten/Kota yang merupakan daerah penyangga ibukota memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, yaitu Kabupaten Sidoarjo (2,85 persen), Kabupaten Gresik (1,78 persen), Kabupaten Bangkalan (2,08 persen), Kabupaten Mojokerto (1,90 persen) dan Kota Mojokerto


(14)

n. Angka Perceraian

Keluarga atau rumahtangga sebagai elemen dasar pembentukan masyarakat, merupakan cerminan awal karakter masyarakat. Dengan demikian, eksistensi lembaga keluarga/rumahtangga yang terbentuk dan terjaga keberlangsungannya dapat digunakan sebagai sinyal awal mutu kesalehan sosial masyarakat. Keberlangsungan ini dapat diperlihatkan oleh tingkat perceraian yang terjadi di masyarakat.

Pada tahun 2005, rasio perceraian di Jawa Timur adalah 0,018. Kemudian pada tahun 2006 menurun menjadi 0,015 serta tahun 2007 menjadi 0,016. Hal ini terutama disebabkan oleh makin kecilnya jumlah perceraian. Sedangkan jumlah rumahtangga makin besar.

o. Pemakai Narkoba

Akhlak dan moral masyarakat dapat pula tercermin dari tingkat penyalahgunaan obat-obatan terlarang, narkoba dan zat aditif lainnya. Berbagai program dan kebijakan telah ditelorkan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan obat-obatan terlarang tersebut.

Pada tahun 2003, jumlah tersangka penyalahgunaan narkoba adalah 2006 orang. Kemudian pada tahun 2006 turun sebesar 4,29 persen menjadi 1920 orang dan tahun 2007 naik kembali menjadi 5,050 persen. Dengan demikian, pencapaian pada tahun 2006 lebih baik dari target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu (-) 2,00 persen serta tahun 2007 tidak sesuai atau lebih rendah dari target (-) 2,00 persen.

p. Kriminalitas

Untuk mengetahui sampai sejauh mana tercapainya pemantapan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat digunakan suatu indeks


(15)

Pada tahun 2005, Indeks Kriminalitas Jawa Timur adalah 100,00 dan kemudian pada tahun 2006 meningkat sebesar 4,61 persen menjadi 104,61. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya Pencurian Dengan Pemberatan dan Pencurian Kendaraan bermotor. Dengan demikian pencapaian Indeks Kriminalitas pada tahun 2006 masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan, yaitu terjadi penurunan Indeks Kriminalitas menjadi 98,00 dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi 105,23 persen, lebih rendah dari target seharusnya sebesar 97,00 persen.

q. Indeks Korban Kejahatan

Kejahatan ditinjau dari segi hukum adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan oleh kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal.

Pada tahun 2005, jumlah kejahatan di Jawa Timur adalah 26.559. Kemudian pada tahun 2006, jumlah kejahatan meningkat sebesar 0,82 persen menjadi 26.816 kasus. Dengan demikian pencapaian kinerja pada tahun 2006 sedikit lebih baik dari target kinerja yang ditetapkan bahwa jumlah kejahatan pada tahun itu meningkat 1,00 persen.

2.4 PRASARANA DAN SARANA WILAYAH a. Prasarana Jalan

Pelanggaran Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan yang sedang bergerak dengan atau tanpa pengguna jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Korban


(16)

yang jatuh dari sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas dapat dikategorikan sebagai mati, luka berat dan luka ringan. Kecelakaan disebut total apabila sampai menimbulkan korban jiwa.

Pada tahun 2005, jumlah pelanggaran lalu lintas adalah 556.108 kejadian dengan jumlah korban sebanyak 2.789 orang. Kemudian pada tahun 2006, jumlah pelanggaran lalu lintas meningkat kembali sebesar 1,37 persen menjadi 563.709 kejadian dengan jumlah korban sebanyak 2.980 orang. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa jumlah pelanggaran lalu lintas meningkat terus dari tahun ke tahun atau dengan kata lain tidak memenuhi target yang ditetapkan oleh pemerintah bahwa setiap tahun jumlah pelanggaran lalu lintas turun 2,00 persen.

Transportasi

Transportasi secara umum berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Pada umumnya infrastruktur transportasi mengemban fungsi pelayanan publik dan penyedia jasa. Oleh sebab itu pembangunan transportasi diarahkan untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, andal, berkualitas dan aman. Hal itu didukung oleh terwujudnya jalan dan jembatan pada ruas jalan nasional dan propinsi yang memiliki daya dukung serta kapasitas memadai. Pada tahun 2005 tercapai kondisi jalan sepanjang 1.905,97 Km, pada tahun 2006 kondisi jalan sepanjang 1.867,56 km dan pada tahun 2007 tercapai kondisi jalan sepanjang 1.848,34 km. Sedangkan kondisi jembatan efektif pada tahun 2006 tercapai 45, 50 M serta tahun 2007 435,00 M. Kondisi jalan dan jembatan ditunjang pula dengan pembangunan sarana prasarana perkereta apian yang ditujukan untuk memperlancar perpindahan orang/barang secara massal, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas serta sebagai pendorong dan penggerak


(17)

986, 307 km terdiri dari lintasan raya 865,139 km dan lintasan cabang 121, 168 km.

b. Kualitas Air Sungai

Selama ini kualitas air biasa ditentukan melalui kadar Biochemical Oxygen Demand (BOD). BOD adalah kadar oksigen yang terlarut dalam air limbah yang mengandung senyawa kimia organik (karbon, hidrogen, nitrogen dan belerang).

Diantara 6 (enam) wilayah sungai di Jawa Timur, sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo adalah sungai yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Timur untuk keperluan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu sudah selayaknya dilakukan pengawasan yang lebih ketat pada ke2 (dua) sungai tersebut.

Secara umum, dari tahun ke tahun, kadar BOD sungai Bengawan Solo lebih rendah dari sungai Brantas. Dengan kata lain, beban limbah cair di sungai Brantas lebih tinggi dari sungai Bengawan Solo. Jadi kualitas air sungai Bengawan Solo masih lebih baik dari sungai Brantas.

Secara rinci dapat diketahui bahwa pada tahun 2005, BOD sungai Bengawan Solo adalah 6,40. kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 6,91. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa kualitas air sungai Bengawan Solo dari tahun ke tahun semakin buruk. Bahkan mulai tahun 2005, kualitas air sudah mulai melewati batas toleransi yang ditetapkan yaitu 6,00.

Keadaan yang lebih mencemaskan terlihat pada sungai Brantas. Pada tahun 2005, BOD sungai Brantas adalah 7,14. kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 7,76. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa kadar BOD sungai Brantas sejak tahun 2005 meningkat terus.

Namun demikian, pencapaian kadar BOD, baik sungai Bengawan Solo maupun sungai Brantas, masih jauh berada dibawah target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 9,00 dan 10,00 pada tahun 2005 dan


(18)

c. Kualitas Udara Ambien

Semakin meningkatnya perindustrian dan penggunaan kendaraan bermotor sangat mempengaruhi kualitas udara di wilayah perkotaan khususnya.

Dari emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor, terdapat 4 (empat) unsur yang mengurangi kualitas udara, diantaranya adalah Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Oksida (SOx)

dan partikel debu. Diperkirakan bahwa besarnya emisi buang yang berasal dari kendaraan bermotor di Jawa Timur telah mendekati DKI Jakarta, yang notabene merupakan daerah dengan kualitas udara yang paling rendah di Indonesia. Keadaan ini dari tahun ke tahun makin parah.

d. Pengendalian Limbah B3

B3 adalah suatu sisa kegiatan dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun, yang karena sifat dan / atau konsentrasinya dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lainnya.

Di Jawa Timur belum tersedia data mengenai limbah yang secara komprehensif menggambarkan mengenai limbah B3. Namun hasil dari beberapa studi khusus dapat diketahui bahwa di beberapa daerah di Jawa Timur telah terjadi pencemaran lingkungan yang diindikasikan faktor penyebabkan adalah limbah B3. Juga diketahui bahwa dari waktu pencemaran yang disebabkan oleh limbah B3 cenderung makin parah.

e. Lahan Kritis Tahura dan Non-Tahura R. Suryo


(19)

Pada tahun 2005, luas lahan kritis tahura adalah 9.286,00 hektar. Kemudian pada tahun 2006 menurun berturut-turut menjadi 8.286,00 hektar. Dengan demikian, pencapaian luas lahan kritis Tahura pada tahun 2006 jauh berada dibawah target yang ditetapkan, yaitu 13.000,00 hektar.

Sedangkan luas lahan kritis Non-Tahura pada tahun 2005 adalah 156.334,00 hektar. Kemudian pada tahun 2006 100.334,00 hektar. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa pada tahun 2006, pencapaian luas lahan kritis Non-Tahura jauh dibawah target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 430.000 hektar.


(1)

n. Angka Perceraian

Keluarga atau rumahtangga sebagai elemen dasar pembentukan masyarakat, merupakan cerminan awal karakter masyarakat. Dengan demikian, eksistensi lembaga keluarga/rumahtangga yang terbentuk dan terjaga keberlangsungannya dapat digunakan sebagai sinyal awal mutu kesalehan sosial masyarakat. Keberlangsungan ini dapat diperlihatkan oleh tingkat perceraian yang terjadi di masyarakat.

Pada tahun 2005, rasio perceraian di Jawa Timur adalah 0,018. Kemudian pada tahun 2006 menurun menjadi 0,015 serta tahun 2007 menjadi 0,016. Hal ini terutama disebabkan oleh makin kecilnya jumlah perceraian. Sedangkan jumlah rumahtangga makin besar.

o. Pemakai Narkoba

Akhlak dan moral masyarakat dapat pula tercermin dari tingkat penyalahgunaan obat-obatan terlarang, narkoba dan zat aditif lainnya. Berbagai program dan kebijakan telah ditelorkan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan obat-obatan terlarang tersebut.

Pada tahun 2003, jumlah tersangka penyalahgunaan narkoba adalah 2006 orang. Kemudian pada tahun 2006 turun sebesar 4,29 persen menjadi 1920 orang dan tahun 2007 naik kembali menjadi 5,050 persen. Dengan demikian, pencapaian pada tahun 2006 lebih baik dari target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu (-) 2,00 persen serta tahun 2007 tidak sesuai atau lebih rendah dari target (-) 2,00 persen.

p. Kriminalitas

Untuk mengetahui sampai sejauh mana tercapainya pemantapan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat digunakan suatu indeks yang dinamakan Indeks Kriminalitas.


(2)

Pada tahun 2005, Indeks Kriminalitas Jawa Timur adalah 100,00 dan kemudian pada tahun 2006 meningkat sebesar 4,61 persen menjadi 104,61. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya Pencurian Dengan Pemberatan dan Pencurian Kendaraan bermotor. Dengan demikian pencapaian Indeks Kriminalitas pada tahun 2006 masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan, yaitu terjadi penurunan Indeks Kriminalitas menjadi 98,00 dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi 105,23 persen, lebih rendah dari target seharusnya sebesar 97,00 persen.

q. Indeks Korban Kejahatan

Kejahatan ditinjau dari segi hukum adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan oleh kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal.

Pada tahun 2005, jumlah kejahatan di Jawa Timur adalah 26.559. Kemudian pada tahun 2006, jumlah kejahatan meningkat sebesar 0,82 persen menjadi 26.816 kasus. Dengan demikian pencapaian kinerja pada tahun 2006 sedikit lebih baik dari target kinerja yang ditetapkan bahwa jumlah kejahatan pada tahun itu meningkat 1,00 persen.

2.4 PRASARANA DAN SARANA WILAYAH

a. Prasarana Jalan

Pelanggaran Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan yang sedang bergerak dengan atau tanpa pengguna jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Korban


(3)

yang jatuh dari sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas dapat dikategorikan sebagai mati, luka berat dan luka ringan. Kecelakaan disebut total apabila sampai menimbulkan korban jiwa.

Pada tahun 2005, jumlah pelanggaran lalu lintas adalah 556.108 kejadian dengan jumlah korban sebanyak 2.789 orang. Kemudian pada tahun 2006, jumlah pelanggaran lalu lintas meningkat kembali sebesar 1,37 persen menjadi 563.709 kejadian dengan jumlah korban sebanyak 2.980 orang. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa jumlah pelanggaran lalu lintas meningkat terus dari tahun ke tahun atau dengan kata lain tidak memenuhi target yang ditetapkan oleh pemerintah bahwa setiap tahun jumlah pelanggaran lalu lintas turun 2,00 persen.

Transportasi

Transportasi secara umum berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Pada umumnya infrastruktur transportasi mengemban fungsi pelayanan publik dan penyedia jasa. Oleh sebab itu pembangunan transportasi diarahkan untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, andal, berkualitas dan aman. Hal itu didukung oleh terwujudnya jalan dan jembatan pada ruas jalan nasional dan propinsi yang memiliki daya dukung serta kapasitas memadai. Pada tahun 2005 tercapai kondisi jalan sepanjang 1.905,97 Km, pada tahun 2006 kondisi jalan sepanjang 1.867,56 km dan pada tahun 2007 tercapai kondisi jalan sepanjang 1.848,34 km. Sedangkan kondisi jembatan efektif pada tahun 2006 tercapai 45, 50 M serta tahun 2007 435,00 M. Kondisi jalan dan jembatan ditunjang pula dengan pembangunan sarana prasarana perkereta apian yang ditujukan untuk memperlancar perpindahan orang/barang secara massal, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas serta sebagai pendorong dan penggerak pembangunan nasional. Jeringan jalan rel yang beroperasi sepanjang


(4)

986, 307 km terdiri dari lintasan raya 865,139 km dan lintasan cabang 121, 168 km.

b. Kualitas Air Sungai

Selama ini kualitas air biasa ditentukan melalui kadar Biochemical Oxygen Demand (BOD). BOD adalah kadar oksigen yang terlarut dalam air limbah yang mengandung senyawa kimia organik (karbon, hidrogen, nitrogen dan belerang).

Diantara 6 (enam) wilayah sungai di Jawa Timur, sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo adalah sungai yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Timur untuk keperluan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu sudah selayaknya dilakukan pengawasan yang lebih ketat pada ke2 (dua) sungai tersebut.

Secara umum, dari tahun ke tahun, kadar BOD sungai Bengawan Solo lebih rendah dari sungai Brantas. Dengan kata lain, beban limbah cair di sungai Brantas lebih tinggi dari sungai Bengawan Solo. Jadi kualitas air sungai Bengawan Solo masih lebih baik dari sungai Brantas.

Secara rinci dapat diketahui bahwa pada tahun 2005, BOD sungai Bengawan Solo adalah 6,40. kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 6,91. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa kualitas air sungai Bengawan Solo dari tahun ke tahun semakin buruk. Bahkan mulai tahun 2005, kualitas air sudah mulai melewati batas toleransi yang ditetapkan yaitu 6,00.

Keadaan yang lebih mencemaskan terlihat pada sungai Brantas. Pada tahun 2005, BOD sungai Brantas adalah 7,14. kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 7,76. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa kadar BOD sungai Brantas sejak tahun 2005 meningkat terus. Namun demikian, pencapaian kadar BOD, baik sungai Bengawan Solo maupun sungai Brantas, masih jauh berada dibawah target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 9,00 dan 10,00 pada tahun 2005 dan


(5)

c. Kualitas Udara Ambien

Semakin meningkatnya perindustrian dan penggunaan kendaraan bermotor sangat mempengaruhi kualitas udara di wilayah perkotaan khususnya.

Dari emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor, terdapat 4 (empat) unsur yang mengurangi kualitas udara, diantaranya adalah Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Oksida (SOx)

dan partikel debu. Diperkirakan bahwa besarnya emisi buang yang berasal dari kendaraan bermotor di Jawa Timur telah mendekati DKI Jakarta, yang notabene merupakan daerah dengan kualitas udara yang paling rendah di Indonesia. Keadaan ini dari tahun ke tahun makin parah.

d. Pengendalian Limbah B3

B3 adalah suatu sisa kegiatan dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun, yang karena sifat dan / atau konsentrasinya dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lainnya.

Di Jawa Timur belum tersedia data mengenai limbah yang secara komprehensif menggambarkan mengenai limbah B3. Namun hasil dari beberapa studi khusus dapat diketahui bahwa di beberapa daerah di Jawa Timur telah terjadi pencemaran lingkungan yang diindikasikan faktor penyebabkan adalah limbah B3. Juga diketahui bahwa dari waktu pencemaran yang disebabkan oleh limbah B3 cenderung makin parah.

e. Lahan Kritis Tahura dan Non-Tahura R. Suryo

Lahan kritis, baik Tahura maupun Non-Tahura, dari tahun ke tahun di Jawa Timur cenderung mengalami penurunan.


(6)

Pada tahun 2005, luas lahan kritis tahura adalah 9.286,00 hektar. Kemudian pada tahun 2006 menurun berturut-turut menjadi 8.286,00 hektar. Dengan demikian, pencapaian luas lahan kritis Tahura pada tahun 2006 jauh berada dibawah target yang ditetapkan, yaitu 13.000,00 hektar.

Sedangkan luas lahan kritis Non-Tahura pada tahun 2005 adalah 156.334,00 hektar. Kemudian pada tahun 2006 100.334,00 hektar. Dari deretan data tersebut terlihat bahwa pada tahun 2006, pencapaian luas lahan kritis Non-Tahura jauh dibawah target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 430.000 hektar.