Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner (PJK) pada Lansia Berobat Jalan di RSUD Langsa Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

Penetapan usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut usia (lansia) dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas minimal untuk kategori lansia. Usia kronologis biasanya tidak memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya. Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu


(2)

perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Eko,2012)

2.1.1. Klasifikasi Lansia

Batasan Lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60-74 tahun dan usia lanjut tua (Old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun ( Nugroho, 2008 ). Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun ( prasenilis ), seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih ( lansia ), seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih ( lansia resiko tinggi ), lansia yang mampu melakukan pekerjaan dan / atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa (lansia Potensial), lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain atau lansia tidak potensial ( Maryam, 2008 ).

2.1.2. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, mental, psikologi (Nugroho, 2008).

2.1.2.1. Perubahan-perubahan Fisik a. Sel

Sel menjadi berkurang jumlahnya/lebih sedikit, ukuran sel lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun, jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu, otak menjadi atropi, beratnya berkurang hingga 5-10% (Nugroho, 2008).


(3)

b. Sistem Persyarafan

Sistem panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik dan reflek (Nugroho, 2008).

c. Sistem Pendengaran

Gangguan pendengaran, membran timpani menjadi artropi menyebabkan otosklerosis, terjadi pengumpalan serumen, fungsi pendengaran semakin menurun, tinnitus, vertigo (Nugroho, 2008).

d. Sistem Penglihatan

Spingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang, kornea lebih berbentuk speris (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap, penurunan / hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa, lapang pandang menurun, daya membedakan warna menurun (Nugroho, 2008).

e. Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan menjadi kaku, elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, curah jantung menurun, kehilangan elastisitas pembuluh darah, kinerja


(4)

jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan pendarahan, tekanan darah meningkat akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat (Nugroho, 2008). f. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Yang sering ditemui antara lain temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis lebih kurang ± 35ºC ini akibat metabolism yang menurun,keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak seningga terjadi penurunan aktivitas otot (Nugroho, 2008).

g. Sistem Pernapasan

Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atropi, kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru kehilangan elastisitas, ukuran alveoli melebar, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan kemampuan untuk batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis (Nugroho, 2008).

h. Sistem Pencernaan

Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang kronis, atropi indra pengecap (+80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah, terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar menurun, peristaltik lemah, fungsi absorbsi melemah, hati semakin mengecil dan tempat menurun, aliran darah berkurang (Nugroho, 2008).


(5)

i. Sistem Reproduksi

Pada wanita terjadi penciutan ovary, uterus, payudara, vulva mengalami atropi, selaput lender vagina menurun sedangkan pada pria testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur (Nugroho, 2008).

j. Sistem Genitourinaria

Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,penyaringan di glomerulus menurun,dan fungsi tubulusmenurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun (Nugroho, 2008).

k. Sistem Integument

Kulit mengerut atau keriput,permukaan kulit cendrung kusam, kasar dan bersisik, timbul bercak pigmentasi, terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, respon terhadap trauma menurun, mekanisme proteksi kulit menurun, kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang (Nugroho, 2008).

l. Sistem Musculoskeletal

Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, permukaan sendi tulang penyangga rusak dan aus, gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas,gangguan gaya berjalan, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sklerosis (Nugroho, 2008).


(6)

2.2. Penyakit Jantung Koroner 2.2.1. Definisi

Menurut WHO, PJK adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan jantung dan pembuluh darah, dan termasuk penyakit jantung koroner (serangan jantung), penyakit serebrovaskular (stroke), peningkatan tekanan darah (hipertensi), penyakit arteri perifer, penyakit jantung rematik, penyakit jantung bawaan dan gagal jantung. Penyebab utama penyakit kardiovaskular adalah penggunaan tembakau, aktivitas fisik, diet yang tidak sehat dan penggunaan berbahaya alcohol (WHO,2013).

Menurut National Library of Medicine (NLM 2012) penyakit jantung koroner (coronary heart diseases) merupakan suatu penyempitan dari pembuluh darah kecil yang menyuplai darah dan oksigen ke jantung. Penyakit jantung koroner juga disebut penyakit arteri koroner (Fatimah,2012).

Menurut National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI 2011), penyakit jantung koroner, disebut juga penyakit arteri koroner, yaitu suatu kondisi dimana terbentuknya plak pada bagian dalam arteri koronaria. Arteri ini menyuplai darah yang kaya akan oksigen untuk otot jantung.

Penyakit jantung koroner (PJK) sendiri dapat diartikan sebagai penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan terbanyak dari penyempitan tersebut adalah arterosklerosis yang merupakan suatu kelainan yang terdiri atas fibrilipid dalam bentuk plak yang menonjol atau penebalan pada tunika intima dan pada bagian dalam tunika media (Fatimah,2012).


(7)

Proses arterosklerosis ini sudah dimulai pada masa kanak-kanak dan menjadi nyata secara klinik pada kehidupan dewasa. Lebih dari setengah insiden penyakit ini dapat diterangkan kejadiannya oleh hiperkolesterolemia, hipertensi, dan merokok. Terdapat beberapa faktor risiko lain yang juga berperan akan tetapi dalam derajat yang lebih kecil misalnya obesitas, dan aktiviitas fisik yang kurang. Pengendalian terhadap faktor risiko kardiovaskular dihubungkan dengan pencegahan PJK harus sudah dimulai sedini mungkin sebelum terjadi perubahan yang irreversibel pada dinding pembuluh darah (Yusnidar,2010).

2.2.2. Patogenesis

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuannya untuk melebar. Dan kebutuhan oksigen menjadi tidak stabil sehingga akan membahayakan miokardium yang terletak di sebelah distal dari daerah lesi (Jeini,2011).

Aterosklerosis pada arteri besar dan kecil ditandai dengan penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit, dan makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endothel) dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos).


(8)

Pembuluh koroner pada penampang lintang akan terlihat 3 lapisan, yaitu tunika intima (lapisan dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika adventitia (lapisan luar). Permukaan pembuluh darah bagian dalam dilapisi dengan lapisan sel-sel yang disebut endothelium (Jeini,2011).

Tunika intima terdiri dari 2 bagian. Lapisan tipis sel-sel endotel merupakan lapisan yang memberikan permukaan licin antara darah dan dinding arteri serta lapisan subendothelium. Sel-sel endothel ini memproduksikan zat-zat seperti prostaglandin, heparin dan activator plasminogen yang membantu mencegah agregasi trombosit dan vasokonstriksi. Selain itu endotel juga mempunyai daya regenerasi cepat untuk memelihara daya anti trombogenik arteri. Jaringan ikat menunjang lapisan endotel dan memisahkannya dengan lapisan lain (Jeini,2011).

Tunika media merupakan lapisan otot di bagian tengah dinding arteri yang mempunyai 3 bagian : bagian sebelah dalam disebut membran elastis internal, kemudian jaringan fibrous otot polos dan sebelah luar membrane jaringan elastic eksterna. Lapisan tebal otot polos dan jaringan kolagen, memisahkan jaringan membrane elastik eksterna dan yang terakhir ini memisahkan tunika media dan adventisia.Tunika adventitia umumnya mengandung jaringan ikat dan dikelilingi oleh vasa vasorum yaitu jaringan arteriol (Furqan,2011).

Lapisan endothelium bertindak sebagai saringan selektif (selective filter) untuk dinding pembuluh darah dan bertindak sebagai penghubung (interface) antara darah dan dinding pembuluh darah karena endothel adalah lapisan terdalam dari pembuluh darah, dia mengadakan kontak langsung dengan darah (Rizki,2012).


(9)

Berbagai teori telah dilontarkan untuk menerangkan pathogenesis aterosklerosis ini. Seperti teori infiltrasi/incrustation, dan teori pertumbuhan klonal/clonal growth yang dikemukakan oleh Benditt.12 Pada tahun 1976, Russel Ross mengemukakan aterosklerosis bukan merupakan suatu proses degeneratif, tetapi merupakan proses inflamasi kronik yang diikuti oleh suatu proses reparasi di dinding arteri. Hal inilah yang mendasari hipotesis response to injury yang dikemukakan olehnya. Hipotesis ini menyatakan bahwa lesi aterosklerosis terjadi sebagai respons platelet karena kerusakan sel endothel oleh hiperkolesterolemi. Hipotesis ini telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan jaman (Rizki,2012).

Ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen menyebabkan penyakit jantung koroner atau infark miokardium. Terdapat suatu keseimbangan kritis antara penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Berkurangnya penyediaan oksigen atau meningkatnya kebutuhan oksigen ini dapat mengganggu keseimbangan ini dan membahayakan fungsi miokardium. Bila kebutuhan oksigen meningkat maka penyediaan oksigen juga meningkat. Sehingga aliran pembuluh koroner harus ditingkatkan, karena ekstraksi oksigen miokardium dari darah arteri hamper maksimal pada keadaan istirahat. Rangsangan yang paling kuat untuk mendilatasi arteria koronaria dan meningkatkan aliran pembuluh darah koroner adalah hipoksia jaringan lokal. Pembuluh koroner normal dapat melebar dan meningkatkan aliran darah sekitar lima sampai enam kali di atas tingkat istirahat. Namun, pembuluh darah yang mengalami stenosis atau gangguan tidak dapat melebar, sehingga terjadi kekurangan oksigen apabila kebutuhan oksigen meningkat kapasitas pembuluh untuk


(10)

meningkat aliran. Iskemia adalah kekurangan oksigen yang bersifat sementara dan reversible. Iskemia yang lama akan menyebabkan kematian oto atau nekrosis.secara klinis, nekrosis miokardium dikenal dengan nama infark miokardium.(Yusndar,2012).

Gambar 2.1. Proses Aterosklerosis

Pada proses aterosklerosis ada 3 tahap dan ketiga tahap ini dapat dijumpai pada satu penderita (gambar 2).

1) Tahap I-Lapisan berlemak (fatty streak)

Intima arteri di infiltrasi oleh lipid dan terdapat fibrosis yang minimal. Lapisan berlemak yang memanjang atau berkerut-kerut terdapat pada permukaan sel otot polos. Kelainan ini sudah dijumpai di aorta pada bayi yang baru lahir dan akan dijumpai dalam jumlah yang lebih banyak pada anak-anak berumur 8-10 tahun pada aterosklerosis aorta di negara-negara barat. Lapisan berlemak pada arteri koronaria mulai terlihat pada umur 15 dan jumlahnya akan bertambah sampai pada dekade ke-3 dari umur manusia. Lapisan berlemak ini berwarna agak kekuning-kuningan dan belum atau sedikit menyebabkan penyumbatan dari arteri koronaria (Agri,2012).


(11)

Sel endothelial yang dilapisi oleh fatty streak akan memberikan gambaran histologi dan fungsi yang abnormal. Fatty streak biasanya berkembang pada lokasi dimana terjadi sel endothel yang luka, sehingga menyebabkan molekulmolekul besar seperti LDL dan dapat masuk ke dalam jaringan subendothelium. Jika LDL sudah masuk ke dalam jaringan subendothelium, maka akan terjebak dan akan tetap berada di dalam jaringan subendothelium hal ini disebabkan karena terikatnya LDL dengan glikomynoglikan. LDL yang terjebak ini lama kelamaan akan mengalami modifikasi karena adanya radikal oksigen yang bebas di sel endothelial, yang merupakan inhibisi dari aterosklerosis (Agri,2012).

Modifikasi LDL in akan mengalami 3 proses penting yaitu (a) mereka akan dimakan oleh monosit menjadi makrofag, (b) makrofag ini akan menetap pada jaringan subendothelium dan (c) modifikasi LDL ini akan membantu sel mengambil lipid dalam jumlah yang besar (Yusnidar,2012).

2) Tahap II-Fibrous plaque

Lapisan berlemak menjadi satu dan membentuk lapisan yang lebih tebal, yang berkomposisi lemak atau jaringan ikat. Plak ini kemudian mengalami perkapuran. Tahap ini sering dijumpai mulai umur 25 tahun di aorta dan arteri koronaria di negara-negara dimana ada insidens yang tinggi dari aterosklerosis. Plak yang fibrous ini berwarna agak keputih-putihan. Karena plak yang fibrous ini agak tebal, ia dapat menonjol ke dalam lumen, dan menyebabkan penyumbatan parsial dari arteri koronaria (Rizki,2012).


(12)

Salah satu penyebab terjadinya perubahan dari fatty streak ke lesi fibrotic adalah adanya lesi fokal yaitu hilangnya jaringan endothelial yang melapisi fatty streak. Hilangnya lapisan tersebut disebabkan oleh adanya peregangan dari sel-sel yang mengalami gangguan fungsi pada deformasi dinding arteri atau karena toksin oleh sel busa. Pada lokasi sel yang hilang ini, platelet akan melekat dan akan terjadi pengeluaran faktor-faktor yang akan menyebabkan perkembangan dari lesi (Eko,2012).

Heparinase, merupakan salah satu enzim yang memecah heparin sulfat (sebuah polisakarida pada matriks ekstraselular) yang menghambat migrasi dan proliferasi dari sel otot polos. Kombinasi dari penurunan kadar heparin dan kurangnya PGI2 dan EDRF-NO karena el endothelial yang luka menyebabkan sel otot polos berubah dari sel yang dapat berkontraksi menjadi sel tidak dapat berkontraksi lagi sehingga terjadi pengeluaran sekresi enzim-enzim pada matriks ekstraselular, yang membuat mereka dapat bermigrasi ke dalam intima dan berproliferasi. Migrasi sel otot polos ke dalam intima dibantu oleh (Plattelet Derived Growth Factor) PDGF yang mengalami mitosis (Eko,2012).

3) Tahap III-Plak yang mengalami komplikasi

Tahap ke-3 ini terdapat dalam jumlah banyak dengan meningkatnya umur. Bagian inti dari plak yang mengalami komplikasi ini akan bertambah besar dan dapat mengalami perkapuran. Ulserasi dan perdarahan menyebabkan trombosis, pembentukan aneurisma dan diseksi dari dinding pembuluh darah yang menimbulkan gejala penyakit (Yusnidar,2012).


(13)

Faktor-faktor yang menyebabkan pecahnya plak adalah adanya aliran turbulensi atau mekanisme stress peregangan, perdarahan intraplak karena rupturnya vasa vasorum, peningkatan stress pada dinding sirkumferensial dinding arteri pada penutup fibrotik karena adanya penimbunan lipid, dan adanya pengeluaran enzim-enzim yang dikeluarkan oleh makrofag untuk memecah matriks (Yusnidar,2012).

Sejalan dengan pecahnya plak maka proses lainnya seperti thrombosis, adhesi platelet, agregasi platelet dan koagulasi akan terjadi. Koagulasi akan dimulai oleh karena bercampurnya darah dengan kolagen di dalam plak dan factor jaringan tromboplastin yang diproduksi oleh sel endothelial dan makrofag di dalam lesi fibrotik (Yusnidar,2012).

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteria koronaria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteria koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti dengan perubahan vascular yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar (Yusnidar,2012).

Dengan demikian keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menjadi genting, membahayakan miokardium distal dari daereh lesi. Terhalang atau tersumbatnya pembuluh arteri dapat disebabkan oleh pengendapan kalsium, kolesterol lemak dan lain-lain substansi, yang dikenal sebagai plak (Yusnidar,2012).


(14)

Dalam periode tersebut deposit ini tertimbun secara perlahan-lahan yang akhirnya diameter di arteri koroner yang masih dapat dilalui darah makin lama semakin sempit, sampai pembuluh tersebut tidak dapat dilewati darah sesuai dengan kebutuhan otot jantung. Terhalangnya aliran darah seperti di atas disebut sebagai fixed blockage13. Plak sering timbul pada tempat-tempat dimana terjadi turbulensi maksimum seperti pada percabangan, daerah dengan tekanan tinggi, daerah yang pernah terkena trauma dimana terjadi deskuamasi endothel yang menyebabkan adesi trombosit (Agri,2102).

a. Epidemiologi Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) kini telah menjadi pembunuh utama di Indonesia, khususnya hipertensi, stroke dan penyakit jantung koroner. Menurut World Health Organitation (WHO), penyakit kardiovaskular merupakan 28% penyebab kematian di negara-negara Asia- Pasifik, dimana penyakit ini banyak menyerang golongan usia produktif, terutama di negara-negara berkembang sehingga berpotensi mengurangi GDP (Gross Domestic Product) dan menambah angka kemiskinan. Di Indonesia sendiri penyakit jantung merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas paling tinggi, hal tersebut seiiring dengan meningkatnya umur harapan hidup, adanya perubahan pola gaya hidup, makin tinggi paparan faktor risiko, dan adanya kondisi lingkungan yang merugikan kesehatan seperti pencemaran udara dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat.(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011, dalam Fatimah,2012).


(15)

Di Amerika Serikat sejak tahun 1960 tingkat kematian penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan usia sudah mengalami penurunan secara terus menerus. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan angka kematiaan akibat PJK ini, termasuk pengontrolan yang baik akan faktor risiko yang menyebabkan penurunan insidensi PJK, ditambah lagi ada nya kemajuan dalam terapi yang dilakukan. Di tahun 2010, prevalensi terjadinya penyakit jantung koroner meningkat pada usia ,65 tahun (19,8%), diikuti dengan usia 45-64 tahun (7,1%), dan usia 18-44 tahun (1,2%). Prevalensi penyakit jantung koroner juga meningkat pada laki-laki (7,8%) dibandingkan dengan wanita (4,6%), tetapi akan terjadi peningkatan yang drastis pada wanita setelah menopause (CDC, 2011).

Kenyataan lain menunjukkan bahwa, di Inggris penyakit kardiovaskular membunuh satu dari dua penduduk dalam populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998. Satu dari empat laki-laki dan satu dari lima perempuan meninggal setiap tahun karena penyakit jantung koroner, yang mempersentasikan sekitar setengah kematian akibat penyakit kardiovaskular. Merupakan konsep dihitung berdasarkan harapan hidup yang lebih panjang. Meskipun penyakit jantung koroner tetap merupakan penyebab utama kematian dini di inggris, tingkat kematian turun secara progresif selama 20 tahun terakhir. Penurunan ini terutama pada kelompok usia yang lebih muda, dimana, sebagai contoh, terdapat penurunan sebesar 33% pada laki-laki berusia 35-74 tahun dan penurunan sebesar 20% pada perempuan dengan kisaran usia serupa dalam 10 tahun terakhir (Fatimah,2012).


(16)

Gambar 2.2. Jantung Koroner di Sebabkan oleh Penyempitan dan Penyumbatan Pembuluh Arteri

2.2.3. Sirkulasi Koroner

Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi otot jantung. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil (Agri ,2012).

1) Arteria Koronaria

Arteria koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Muara arteria koronaria ini terdapat di dalam sinus valsava dalam aorta, tepat di atas katup aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari: arteria koronaria kanan dan kiri. Arteria koronaria kiri mempunyai dua cabang besar, arteria desendens anterior kiri dan arteria sirkumfleksa kiri.


(17)

Gambar 2.3. Anatomi Arteri Koronaria

Setiap pembuluh utama mencabangkan pembuluh epikardial dan intramiokardial yang khas. Arteria desendens anterior kiri membentuk percabangan septum yang memasok dua pertiga bagian anterior septum, dan cabang-cabang diagonal yang berjalan di atas permukaan anterolateral dari ventrikel kiri, permukaan posterolateral dari ventrikel kiri diperdarahi oleh cabang-cabang marginal dari arteria sirkumfleksa. Jalur-jalur anatomis ini menghasilkan suatu korelasi antara arteria koronaria dan penyediaan nutrisi otot jantung. Pada dasarnya arteria koronaria dekstra memberikan darah ke atrium kanan, ventrikel kanan dan dinding inferior ventrikel kiri. Arteria sirkumfleksa sinistra memberikan darah pada atrium kiri dan dinding posterolateral ventrikel kiri. Arteria desendens anterior kiri memberikan darah ke dinding depan ventrikel kiri yang massif.


(18)

2.2.4. Klasifikasi PJK

Klasifikasi penyakit jantung koroner (PJK) sampai saat ini masih belum ada yang spesifik, hal ini disebabkan karena manifestasi klinisnya yang berbeda dan bervariasi diantara satu penderita dengan penderita yang lain. Saat timbulnya juga tidak menentu, gejala yang ditimbulkan juga tidak sesuai dengan penemuan patologik. Dengan demikian penderita PJK mungkin tampil dengan : (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) 1) Angina Pektoris Stabil

2) Angina Pektoris Tidak Stabil (ATS)

3) Infark Miokard tanpa ST-elevasi (NSTEMI) 4) Infark Miokard dengan ST-elevasi (STEMI)

Selain bisa juga bermanifestasi sebagai payah jantung atau gangguan irama jantung.

(1) Angina Stabil

Disebut juga angina klasik, terjadi jika arteri koronaria yang arterosklerotik tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan alirannya sewaktu kebutuhan oksigen meningkat. Peningkatan kerja jantung dapat menyertai aktivitas misalnya berolah raga atau naik tangga.

Apabila plak ateroma yang berada di Arteri Koronaria stabil, maka serangan angina pektoris selalu timbul pada kondisi yang sama yaitu pada waktu terjadi peningkatan beban jantung. Dengan demikian diagnosis angina pektoris stabil dapat ditegakkan pada anamnesis apabila didapati bahwa serangan timbul setiap kali melakukan aktivitas fisik dan hilang dengan istirahat atau dengan pemberian


(19)

nitrat, lamanya serangan tidal lebik dari 5 menit, tidak disertai keluhan sistemik, gejala angina pektoris sudah dialami lebih dari 1 bulan, dan beratnya tidak berubah dalam masa beberapa tahun terakhir.

(2) Angina Pektoris tidak Stabil (ATS)

Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas dan segera hilang bila aktivitas dihentikan. Merupakan kompleks gejala tanpa kelainan morfologik permanen miokardium yang disebabkan oleh insufisiensi relatif yang sementara di pembuluh darah koroner.

Angina pektoris dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang atau ke daerah abdomen. Penyebab angina pektoris adalah suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokardium dibandingkan kebutuhan. Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Pada jantung yang sehat, arteria koronaria berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Namun jika arteria koronaria mengalami kekakuan atau menyempit akibat arterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemi miokardium.

Sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Cara ini tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan


(20)

energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam laktat, maka nyeri angina pektoris berkurang. Dengan demikian, angina pektoris merupakan suatu keadaan yang berlangsung singkat.

Angina pektoris tidak stabil adalah kombinasi angina stabil dengan angina prinzmetal. Dijumpai pada individu dengan perburukan penyakit arteri koronaria. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban kerja jantung. Hal ini tampaknya terjadi akibat arterosklerosis koronaria, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah mengalami spasme. Apabila keadaan plak pada arteria koronaria menjadi tidak stabil, misalnya mengalami pendarahan, ruptur atau terjadi fissura, sehingga terbentuk trombus di daerah plak yang menghambat aliran darah koronaria dan terjadi serangan angina pektoris. Serangan angina pektoris jenis ini datangnya tidak tentu waktu, dapat terjadi pada waktu penderita sedang melakukan aktivitas fisik atau dalam keadaan istirahat, dan gejalanya bervariasi tergantung bentuk ukuran dan keadaan trombus.

Beberapa kriteria dapat dipakai untuk mendiagnosis angina pektoris tidak stabil, yaitu:

a. Angina pektoris kresendo yaitu angina yang terjadi peningkatan dalam intensitas, frekuensi, dan lamanya episode angina pektoris yang dialami selama ini.


(21)

c. ”new-onset exertional Angina” yaitu yang baru timbul dalam kurang 2 bulan. d. Nyeri dada yang timbul 2 minggu sebelum kejadian infark miokard akut

(IMA).

(3) Infark Miokard tanpa ST-elevasi (NSTEMI)

Angina tidak stabil dikelompokkan bersama-sama NSTEMI dimana NSTEMI ditemukan bukti kimiawi yang menunjukkan adanya nekrosis miokard.

(4) Infark Miokard dengan ST-elevasi (STEMI / IMA)

Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu.

a. Infark Subendokard

Infark yang terjadi pada sepertiga sampai seperdua dari ketebalan dinding ventrikel. Umumnya diakibatkan oleh hipoperfusi dari jantung seperti pada stenosis aorta, syok hemoragik, dan dapat pula akibat trombus pada arteri koronaria yang lisis sebelum terjadi nekrosis pada miokard.

b. Infark Transmural

Nekrosis miokard yang terjadi pada seluruh atau hampir seluruh ketebalan dinding miokard (endokardium sampai epikardium). Umumnya disebabkan oleh aterosklerosis arteri koronaria, perubahan plak secara akut, dan trombosis.

Pada publikasi akhir-akhir ini lebih lazim dipergunakan sebutan Infark Miokard Non Q wave daripada Infark Miokard Subendokard, atau


(22)

Transmural. Sebutan ini juga membedakan diri daripada infark miokard dengan gelombang Q yang patologis.

2.2.5. Gejala Klinis

Gejala umum dari penyakit jantung koroner adalah angina. Angina adalah nyeri atau ketidaknyamanan di dada jika pada daerah otot jantung tidak mendapatkan cukup darah yang kaya oksigen. Angina mungkin terasa seperti tertekan atau seperti diremas di daerah dada. Dapat juga dirasakan di bahu, lengan, leher, rahang, atau punggung. Nyeri cenderung memburuk saat aktivitas dan hilang saat istirahat. Stress emosional juga dapat memicu rasa sakit. (Agri,2012)

Gejala umum lain PJK adalah sesak napas. Gejala ini terjadi jika PJK menyebabkan gagal jantung. Bila memiliki gagal jantung, jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sehingga terbentuk cairan didalam paru-paru, yang mengakibatkan sulit untuk bernapas.(Fatimah,2012)

Tingkat keparahan gejala ini bervariasi. Mungkin 31act lebih parah jika penumpukan plak terus menerus yang mempersempit arteri koroner. Beberapa orang yang memiliki PJK, mereka biasanya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala, suatu kondisi yang disebut “Silent CHD”. Penyakit ini tidak dapat didiagnosis sampai seseorang tersebut memiliki tanda-tanda atau gejala serangan jantung, gagal jantung, atau aritmia (detak jantung tidak teratur) (Yusnidar,2010).


(23)

1) Serangan Jantung

Sebuah serangan jantung terjadi jika aliran darah yang kaya oksigen ke bagian otot jantung tiba-tiba menjadi tersumbat. Hal ini dapat terjadi jika daerah plak dalam arteri koroner pecah. Fragmen sel darah yang disebut platelet menempel ke lokasi cedera dan dapat mengumpul untuk membentuk bekuan darah. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka sebagian besar atau benar-benar akan memblokir aliran darah di arteri koroner. Jika sumbatan itu tidak ditangani dengan cepat, bagian dari otot jantung yang diberi makan oleh arteri tersebut akan mulai mati. Jaringan jantung sehat digantikan dengan jaringan parut. Kerusakan jantung ini mungkin tidak jelas, atau mungkin menjadi parah atau menimbulkan masalah yang lama.

2) Kerusakan otot jantung dan arteri yang terblokir

Gambar 2.4. Kerusakan Otot Jantung dan Arteri yang Terblokir

Gambar A adalah gambaran dari arteri koroner jantung dan menunjukkan kerusakan (otot jantung yang mati) disebabkan oleh serangan jantung. Gambar B adalah penampang dari arteri koroner dengan penumpukan plak dan bekuan darah.


(24)

Gejala serangan jantung yang paling umum adalah nyeri dada atau rasa yang tidak nyaman. Sebagian besar serangan jantung melibatkan ketidaknyamanan seperti tekanan yang tidak nyaman, seperti diremas-remas, terasa penuh, atau rasa nyeri di daerah tengah atau samping kiri dada yang sering berlangsung selama lebih dari beberapa menit, dan dapat hilang dan muncul kembali.

Nyeri serangan jantung kadang terasa seperti terbakar atau heartburn. Gejala-gejala angina mirip dengan Gejala-gejala serangan jantung. Nyeri angina biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan hilang dengan istirahat. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman tidak hilang begitu saja atau berubah dari pola yang biasa (misalnya, terjadi lebih sering atau saat sedang istirahat) hal ini dapat menjadi tanda serangan jantung.

Tanda-tanda umum dan gejala serangan jantung lainnya mencakup: (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) a) Ketidaknyamanan tubuh bagian atas pada satu atau kedua lengan,punggung,

leher, rahang, atau bagian atas dari lambung.

b) Sesak napas, yang mungkin terjadi dengan atau sebelum rasa tidak nyaman pada dada.

c) Mual, muntah, pusing atau pingsan, atau keluar keringat dingin. d) Masalah tidur, kelelahan, atau kekurangan 33actor.


(25)

3) Gagal Jantung

Gagal jantung adalah suatu kondisi di mana jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Gagal jantung tidak berarti bahwa jantung telah berhenti atau akan berhenti bekerja. Tanda-tanda dan gejala paling umum gagal jantung adalah sesak napas atau kesulitan bernapas, kelelahan, dan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai kaki, perut, dan vena di leher. Semua gejala ini adalah hasil dari penumpukan cairan dalam tubuh. Ketika gejala dimulai, maka akan merasa lelah dan sesak napas setelah melakukan.

4)Aritmia

Aritmia adalah sebuah masalah dengan irama detak jantung. Bila memiliki aritmia, jika diperhatikan jantung akan melewatkan ketukannya atau berdenyut terlalu cepat. Beberapa orang menggambarkan perasaan aritmia dengan pulsasi yang cepat dan terus menerus di daerah dada. Perasaan ini disebut palpitasi. Beberapa aritmia dapat menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdetak. Kondisi ini disebut serangan jantung mendadak (SCA). SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak diobati dalam hitungan menit.

2.2.6. Penyakit Jantung Koroner pada Lansia

Pada proses penuaan, jantung dengan berat sekitar 250 gram ini justru mengalami hipertrofi (pembesaran jantung karena sel-sel otot jantung membesar), sementara itu organ-organ lain kebanyakan mengalami penciutan atau pengecilan. Dinding bilik jantung menebal, katup-katup jantung menebal dan kaku, sehingga


(26)

kontraktilitas (daya pompa otot jantung) menurun dan para lansia merasa cepat lelah jika berjalan jauh, dan mengeluh sesak nafas jika menaiki beberapa anak tangga (Hanna Santoso, Andar Ismail (2008).

Dinding pembuluh darah juga mengalami penebalan dan pergeseran sehingga menjadi kaku. Diameter rongga pembuluh darah mengecil atau menyempit sehingga aliran darah tidak selancar pada orang yang berusia muda. Hal ini menyebabkan kelenturan pembuluh darah berkurang. Sehingga mengakibatkan pengerasan pembuluh darah (Arteriosklerosis). Terkadang terasa nyeri di dada kiri karena ada penyempitan pembuluh darah jantung, sehingga aliran darah kurang lancer. Penebalan dan pengerasan dinding pembuluh darah ini terjadi karena adanya penambahan jaringan ikat, klasifikasi, dan penimbunan lemak. Kolesterol darah yang tinggi serta faktor-faktor berisiko lain, misalnya merokok, kurangnya latihan fisik atau olahraga, mengidap penyakit darah tinggi, diabetes, dan alin-lain, sangat berperan dalam mempercepat proses arterosklerosis dan penyakit jantung koroner. (Hanna Santoso, Andar Ismail (2008). Memahami krisis lanjut usia. Jakarta

Angka kematian akibat penyakit jantung koroner (PJK) diperkirakan meningkat 50% selama 30 tahun ke depan. Meningkatnya usia juga dikaitkan dengan keadaan atherosklerosis yang lebih berat dan menyeluruh serta sering disertai kerusakan ventrikel kiri, dengan kejadian tiga penyakit pembuluh dan penyakit arteri koroner kiri utama menjadi dua kali lipat antara usia 40-80 tahun. Penilaian klinis penderita penyakit arteri koroner yang berusia lanjut sering terhambat oleh penyakit : penerbit PT BPK Gunung Mulia).


(27)

dasar lain yang membuat interpretasi gejala iskemi menjadi sulit. Komorbid yang telah ada, turut membuat tes diagnostik dan terapi di bidang kardiologi lebih menantang untuk mereka yang berusia lanjut. (Lakatta, 2008,dalam Eko ,2011)

a. Perubahan Arteri pada Usia Lanjut

Secara alami tubuh manusia akan mengalami proses penuaan termasuk system kardiovaskuler. Pengetahuan mengenai perubahan struktur dan fungsi arteri terkait usia dapat menjelaskan mengapa penuaan merupakan prediktor komplikasi penyakit kardiovaskuler. Penuaan vaskuler ditandai oleh adanya proses degeneratif, penurunan fungsi endotel dan kekakuan arteri. Perubahan tersebut dapat merupakan refleksi adaptatif atau proses degeneratif.

1) Perubahan Degeneratif dan Remodeling Arteri

Penebalan intima-media pada arteri sering disebut arterosklerosis subklinis. Pada individu tanpa penyakit kardiovaskuler, penebalan intima-media yang berlebihan pada usianya dapat memprediksi penyakit arteri koroner asimptomatis (silent) dan dapat berkembang menjadi penyakit jantung iskemi yang simptomatis. Menurut Cardiovascular Health study (CHS), pada usia diatas 65 tahun, penebalan intima-media adalah prediktor independen kejadian infark miokard dan stroke dimasa mendatang. (Rizky,2012).

Perubahan molekuler, seluler dan enzimatik pada dinding arteri terdiri dari migrasi sel otot polos vaskuler yang teraktivasi menuju intima, disertai oleh peningkatan produksi bahan matriks akibat menurunnya fungsi matrix metalloproteinase, angiostensin II, transforming growth factor β (TGF-β),


(28)

intercellular cell adhesion molecules, produksi kolagen serta collagen cross-linking, dan hilangnya serat elastik peningkatan fibronektin dan kalsifikasi. (Eko,2011)

Penurunan rasio elastin dan kolagen yang menjadi kunci viskoelastisitas pembuluh darah menyebabkan kekakuan arteri. Kekakuan arteri terjadi pada seluruh lanjut usia, tak terkecuali normotensi, perbedaan etnis maupun gaya hidup. Kekakuan arteri (arterial stiffness) berhubungan dengan struktur intrinsik dinding pembuluh darah yang berkaitan dengan peningkatan pulse wave velocity dan semakin dini dan kuatnya pulse wave reflection yang kembali ke jantung. (Eko, 2011)

2) Disfungsi Endotel

Sel endotel merupakan regulator vaskuler yang kuat dan sangat penting. Penurunan control endotel pada tonus vasomotor menggagalkan adaptasi vaskuler terhadap perubahan aliran terutama saat aktivitas atau iskemia. Selain itu penurunan makromolekul transport dan sintesis prostasiklin (PGI2) memfasilitasi pembentukan atherosklerosis dan thrombosis (Agri,2012).

Fungsi barier sel endotel menurun seiring usia sehingga terjadi peningkatan permeabilitas. Akibatnya terjadi perpindahan makromolekul plasma melalui endotel lalu terperangkap di intima yang pada akhirnya member kontribusi terhadap modifikasi intima. (Agri, 2012)

Beberapa faktor resiko penyakit arteri koroner dikaitkan dengan adanya disfungsi dari sel endotel, seperti hiperkolestrolemia, resistensi insulin dan merokok, yang memberi kontribusi terjadinya atherosklerosis. Endotel menghasilkan beberapa


(29)

substansi vasoreaktif diantaranya NO (nitric oxide) dan endothelin. Substansi ini menurun seiring dengan penambahan usia. (Eko, 2012)

Pemendekan telomer juga dikaitkan dengan proses atherosklerosis. Fungsi telomer yang terhenti akibat penuaan menginduksi terjadinya disfungsi endotel pada pembuluh darah. Kemampuan regenerasi sel juga terhenti sehingga menyebabkan kegagalan angiogenesis. Proses angiogenesis memerlukan sel endotel yang berproliferasi dan bermigrasi sebagai respon terhadap sitokin. (Lakatta, 2008 dalam Eko, 2012).

Perubahan lingkungan intravaskular turut dipengaruhi oleh usia seperti fibrinogen, 38actor koagulasi (V, VII, IX dan XIIa) dan faktor von Willebrand yang meningkat tanpa diimbangi oleh peningkatan factor antikoagulasi. Peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI-1) terutama saat stress mengakibatkan gagalnya fibrinolisis. (Scwart, 2011 dalam Eko, 2012)

2.2.7. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) a. Definisi Risiko

Risiko adalah sebuah cara untuk mengungkapkan kemungkinan bahwa sesuatu akan terjadi. Risiko adalah ukuran asosiasi antara paparan sesuatu dan apa yang terjadi (hasilnya). Risiko sama dengan menggambarkan kemungkinan sebuah peristiwa yang merugikan.(Kamus keshatan.com./arti/risiko)


(30)

Faktor usia, jenis kelamin dan keluarga) dan kebiasaan (seperti aktivitas seksual, merokok dan penyalahgunaan narkoba) yang lebih umum di antara orang yang terkena penyakit tertentu dibandingkan orang yang tidak terjangkit penyakit itu. Faktor risiko biasanya tidak menyebabkan penyakit tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau risiko) untuk mendapatkan penyakit.(

b. Etiologi

Penyebab penyakit jantung koroner secara umum dibagi atas dua, yakni menurunnya asupan oksigen yang dipengaruhi oleh aterosklerosis, tromboemboli, vasopasme, dan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Dengan perkataan lain, ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan masukannya. Dikenal 2 keadaan ketidakseimbangan masukan terhadap kebutuhan oksigen itu, yaitu hipoksemia (iskemia) yang ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) dan hipoksia (anoksia) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah. Perbedaannya ialah pada iskemia terdapat kelainan vaskuler sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan eliminasi metabolit yang ditimbulkannya (misal asam laktat) menurun juga sehingga gejalanya akan lebih cepat muncul. (Rizki,2012)

Ruptur dari plak aterosklerosis dianggap penyebab terpenting dari angina pektoris tidak stabil (APTS) sehingga tiba-tiba terjadi oklusi (sumbatan) subtotal atau total dari arteri koronaria yang sebelumnya mempunyai penyumbatan/penyempitan minimal. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang


(31)

normal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi timbulnya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan menyebabkan infark dengan elevasi segmen, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

2.2.8. Faktor Risiko PJK yang tidak Dapat di Modifikasi

Menurut Smeiltzer and Bare (2002), Faktor resiko penakit jantung koroner yang tidak dapat dimodifikasi meliputi keturunan (riwayat keluarga), jenis kelamin , umur dan suku bangsa/ ras. Penjelasan dari faktor-faktor resiko tersebut yaitu : 1. Umur

Aterosklerosis merupakan penyakit yang mengikuti pertambahan umur dan seluruh faktor-faktor yang menyertainya, umur mempunyai hubungan yang kuat. Fatty streak muncul di aorta pada akhir dekade awal umur seseorang dan terdapat progresi pengerasan dari aterosklerosis pada sebagian besar arteri dengan bertambahnya umur. Sehubungan dengan konsep terkini pathogenesis aterosklerosis, terdapat respon inflamasi fibroproliferatif terhadap suatu injury dalam proses degeneratif yang berhubungan dengan usia.(Yusnidar,2012)

Jantung ketika usia tua cenderung tidak bekerja dengan baik. Dindingdinding jantung akan menebal dan arteri dapat menjadi kaku dan mengeras, membuat jantung kurang mampu memompa darah ke otot-otot tubuh. Karena perubahan ini, risiko perkembangan penyakit kardiovaskular meningkat dengan bertambahnya usia. Karena hormon seks mereka, perempuan biasanya dilindungi dari penyakit jantung


(32)

sampai menopause, dan kemudian meningkatkan risiko mereka. Risiko aterosklerosis meningkat setelah usia 45 pada pria dan setelah usia 55 tahun pada wanita. Perempuan dengan umur 65 tahun atau lebih tua memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang sama dengan laki-laki dari usia yang sama (Yusnidar,2012).

Menurut yang dilansir oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention), Prevalence of Coronary Heart Disease, United States, 2006-2010. Pada tahun 2010, prevalensi PJK terbesar terjadi diantara orang berusia ≥ 65 tahun (19,8%), diikuti oleh orang-orang berusia 45 – 64 tahun (7,1%) dan mereka yang berusia 18 – 44 tahun (1,2%). Prevalensi PJK lebih besar pada laki-laki (7,8%)

Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat penyakit jantung koroner. Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Juga diadapatkan hubungan antara umur dan kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya umur. Di Amerika Serikat kadar kolesterol pada laki-laki maupun perempuan mulai meningkat pada umur 20 tahun. Pada laki-laki kadar kolesteroi akan meningkat sampai umur 50 tahun dan akhirnya akan turun sedikit setelah umur 50 tahun. Kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan biasanya akan meningkat menjadi lebih tinggi daripada laki-laki


(33)

Dari penelitian Cooper pada 2000 laki-laki yang sehat didapatkan peningkatan kadar kolesterol total dengan bertambahnya umur. Akan tetapi kadar HDL(High- Density Lipoprotein). Kolesterol akan tetap konstan sedangkan kadar LDL (Low- Density Lipoprotein) Kolesterol cenderung meningkat (Agri,2012).

Penelitian Cooper pada 589 perempuan didapatkan respons peningkatan kolesterol sedikit berbeda yaitu kadar LDL (Low- Density Lipoprotein) kolesterol cenderung meningkat lebih cepat sedangkan kadar HDL (High- Density Lipoprotein) kolesterol juga meningkat sehingga rasio kadar kolesterol total/HDL (High- Density Lipoprotein) menjadi rendah. Rasio yang rendah tersebut akan mencegah penebalan dinding arteri sehingga perempuan cenderung lebih sedikit terjadi risiko penyakit jantung koroner (Agri,2012).

Karena risiko penyakit jantung koroner terutama meninggi pada akhir dekade kehidupan, maka menurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penderita dengan kadar kolesterol yang tinggi bila dapat menurunkan kadar kolesterol total 1%, maka terjadi penurunan 2% serangan jantung. Jadi bila kadar kolesterol dapat diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30% (Rizki,2012).

2. Jenis Kelamin

Morbiditas akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki daripada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun setelah menopause insidensi penyakit jantung koroner meningkat dengan


(34)

cepat dan sebanding dengan insidensi pada laki-laki. Perokok mengalami menopause lebih dini daripada bukan perokok. Di Amerika serikat gejala penyakit jantung koroner umur 60 tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan. Ini menunjukkan risiko penyakit jantung koroner lebih tinggi daripada perempuan (Furqan,2011).

Gejala PJK pada perempuan dapat atipikal: hal ini, bersama dengan bias jender, kesulitan dalam interpretasi pemeriksaan standart (misalnya tes latihan treadmill) menyebabkan perempuan lebih jarang diperiksa dibandingkan laki-laki. Selain itu, manfaat prosedur revaskularisasi lebih menguntungkan pada laki-laki dan berhubungan dengan tingkat komplikasi periopratif yang lebih tinggi pada perempuan. Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sekitar tiga kali lipat tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa risiko preparat generasi ketiga terbaru lebih rendah. Terdapat hubungan sinergis antara pengguna kontrasepsi oral dan merokok, dengan risiko relatif infark miokard lebih dari 20:1 (Fatimah,2012).

Dari survei Waspadji (2003), memperlihatkan bahwa penderita penyakit jantung koroner banyak diderita pada usia antara 50-59 tahun. Pada usia 30-39 tahun telah dijumpai penderita penyakit jantung koroner. Pada umur tersebut telah terjadi komplikasi plak-plak dalam pembuluh darah dan dapat mengalami perkapuran. Plak-plak ini terus meningkat dengan bertambahnya umur. (Furqan,2011).


(35)

Tabel 2.1. Golongan Usia Penderita Penyakit Jantung Koroner dan Kontrol

Golongan Umur PJK Kontrol

n % n %

30-39 6 12,8 6 12,8

40-49 8 17,0 8 17,0

50-59 20 42,5 20 42,5

60-69 6 12,8 6 12,8

≥70 7 14,9 7 14,9

Jumlah 47 100,0 47 100,0

Risiko penyakit jantung koroner pada penurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Hal tersebut dibuktikan dengan penurunkan kadar kolesterol total 1% pada penderita, maka terjadi penurunan 2% serangan jantung sehingga bila kadar kolesterol dapat diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30%. (Fuqan,2011)

2.2.9. Faktor-faktor Resiko PJK yang Dapat di Modifikasi 1. Merokok

Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko utama Penyakit Jantun Koroner disamping hipertensi dan hiperkolesterolami. Orang yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya. (Rizki,2012)

Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki perokok 10X lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4.5X lebih dari pada bukan perokok. Efek rokok adalah Menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan perkataan


(36)

lain dapat menyebabkan Tahikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi – Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL (High-Density Lipoprotein) kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL (High-Density Lipoprotein) kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL (High-Density Lipoprotein) kolesterolnya lebih besar dibandingkan proinflamasi.(Yusnidar,2010)

Disamping itu meningkatkan level produk oksidasi termasuk (Low-Density Lipoprotein) LDL-Oks dan menurunkan kolesterol HDL (High-Density Lipoprotein). Tobacco glycoprotein juga menunjukkan sebagai bahan mitogenik pada kultur pembuluh darah halus sel otot sapi dan terdapat perubahan factor hemostasis seperti meningkatnya faktor VIII RAGE (Receptor Advance Glycation End Products) dan agregasi trombosi terhadap adenosine diphosphate.(Yusnidar,2010)

Merokok tembakau atau perokok pasif dlm jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan serangan jantung. Merokok memicu pembentukan plak pada arteri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dengan cara menurunkan level kolesterol HDL (High-Density Lipoprotein). Semakin banyak merokok semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti merokok maka akan menurunkan setengah dari risiko serangan jantung selama setahun. Keuntungan berhenti merokok terjadi tidak peduli seberapa lama merokok atau seberapa banyak merokok (Eko,2012).


(37)

2. Hipertensi 1. Pengertian

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg (Milimeter Hidragirum) dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg (Milimeter Hidragirum). Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg (Milimeter Hidragirum) dan tekanan diastolik 90 mmHg (Milimeter Hidragirum). Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output (Fatimah,2012)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Malau Mutiara Aini, (2010) mengenai Hubungan Penyakit Jantung Koroner dengan Tingkat Hipertensi di RSUP H.ADAM MALIK, menunjukkan hasil bahwa pada pasien rawat inap penyakit jantung koroner dan Hipertensi di RSUP H. Adam Malik tahun 2010 yang positif mengalami PJK dan memiliki riwayat Hipertensi dijumpai sebanyak 32%. Dari hasil uji Chi Square diperoleh adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian PJK dengan tingkat Hipertensi (p = 0,001 < p = 0,1).

2. Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu : Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi. Hipertensi


(38)

sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Furqan,2011).

Berdasarkan bentuk hipertensi, yaitu hipertensi diastolic, campuran, dan sistolik. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik Umumnya ditemukan pada usia lanjut (Agri,2012).

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer untuk membedakan dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.(Rizki,2012).

Klasifikasi hipertensi pada orang dewasa menurut The Sevent report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat (Agri,2012).


(39)

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD(mmHg)

Normal <120 Dan <80

Prahipertensi 120-139 Atau 80-90

Hipertensi Derajat 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Derajat 2 ≥160 Atau ≥100

Masih terdapat beberapa klasifikasi menurut WHO dan International Society Organition , dari European Society of Hypertension (ESH) bersama European Society of Cardiology. British Hypertension Society (BSH) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP) tetapi umumnya digunakan (Joint National Committee ) JNC 7.(Agri,2012)

Risiko terjadinya penyakit jantung koroner dua kali lipat pada pasien hipertensi. Hipertensi kurang menunjukkan risiko penyakit jantung iskemik pada populasi risiko rendah seperti pada negara berkembang, dimana hipertensi berhubungan dengan stroke hemoragik dan gagal ginjal.(Rizki,2012)

a. Mekanisme kerusakan vaskular pada hipertensi.

Penyebab kerusakan vaskular dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ atau karena efek tidak langsung antara lain adanya ang II, stress oksidatif, dan ekspresi Reactive Oxygen Species (ROS) yang berlebihan.(Agri,2012).


(40)

Peran Renin-Angiotensin System (RAS) sebagai sistem endokrin yang mempengaruhi tekanan darah dan regulasi elektrolit sudah diketahui sebelumnya. Gangguan pada sistem ini dapat menyebabkan hipertensi, penyakit ginjal, dan gagal jantung kongestif. .(Agri,2012)

Perkembangan terbaru menjelaskan bahwa Ang II lebih dari sekedar hormon yang bekerja pada sistem hemodinamik dan ginjal tetapi juga bersifat lokal, mediator aktif yang secara langsung berpengaruh pada endotel dan sel otot polos (SMC /smooth muscle cell). Ang II merupakan sebagian besar mediator dari stress oksidatif dan menurunkan aktivitas (Nitrous Oxidase) NO. Ang II mengaktifkan oksidasi membrane (Agri,2012).

NADPH (Nikotinamid adenin dinukleotida pospat tereduksi oksidasi) yang menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) berupa superokside dan hidrogen perokside. Dengan demikian , Ang II memacu ekspresi MCP-1 mRNA pada monosit dan VSMC (Vascular Cell Adhesion Molecule) keadaan ini dihambat oleh antioksidan intrasel. Ang II memicu terjadinya disfungsi endotel dan mengaktifkan proinflamator VSMC. Mengaktifkan NF-kB (nuclear factor) dan menstimulasi ekspresi VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule) dan mengeluarkan sitokin (IL-6 dan TNF-α) , kondisi ini bersinergi pada keadaan dislipidemia dan diabetes mellitus (DM) (Yusnidar,2010).

Ang II juga berfungsi vasculer remodelling, bekerja sebagai factor pertumbuhan bifungsional yang memacu peningkatan ekspresi autocrine growth factor (seperti: platelet-derived growth factor (PDGF) , basic fibroblas growth


(41)

factor, insulin-like growth factor, dan transforming growth factor- β 1 (TGF- β1)) di VSMC (Vascular smooth muscle cell). Mekanisme lain peran Ang II dalam vascular remodelling dan pembentukan lesi vakular dengan memodulasi migrasi sel vaskular, menurunkan apoptosis VSMC (Vascular smooth muscle cell) dan merubah komposisi matrik ekstrasel. Ang II memang dapat mensintesis dan melepaskan matrik glikoprotein dan MMP. Oleh karena itu Ang II merupakan mediator lokal vascular remodeling dan pembentukan lesi (Agri,2012).

Ang II juga dapat menggangu keseimbangan antara fibrinolitik dan system koagulasi melalui pengaruhnya terhadap endotel. Ang II memacu pembentukan PAI 1 yang di perantarai oleh reseptor angiotensin spesifik di sel endotel. Tissue ACE juga menurunkan produksi tPA melalui degradasi bradikinin yang merupakan stimulator kuat produksi tPA di endotel. Aksi dari tissue ACE/Ang II pada sistem fibrinolitik dan mempercepat perkembangan keadaan protrombik (Yusnidar,2010).

Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa individu dengan hipertensi memiliki banyak plak pada aorta dan arteri koronaria dibandingkan individu dengan tekanan darah normal pada semua usia dan kedua jenis kelamin. Kerusakan endotelial secara langsung akibat kekuatan tekanan darah dimungkinkan sebagai penyebab, namun hal itu merupakan area shear yang rendah pada daerah vaskuler dengan aliran turbulensi lokal dan kontak yang lama antara unsur darah dengan endohelium yang terlibat (Agri,2012).


(42)

3. Aktifitas Fisik

Kurang melakukan aktivitas fisik juga merupakan sebab timbulnya PJK. Sejumlah riset menyimpulkan bahwa orang yang kurang berolah raga memiliki resiko relatif 2 kali lebih besar di bandingkan orang yang secara teratur berolah raga. Manfaat utama kegiatan fisik adalah untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokardium untuk suatu beban kerja sub maksimal yang berarti meningkatkan kapasitas fungsional jantung. (Agri,2012)

Ditinjau dari fisiologis, kegiatan jasmani dengan cara berolah raga akan meningkatkan rasa percaya diri, menstabilkan emosi, mengurangi depresi, dan kecemasan. Dampak positif lainnya adalah mengendalikan faktor resiko seperti dislipidemia, mengurangi rokok, kadar gulah darah, dan mengurangi hipertensi (Rizki,2012).

Aktivitas fisik berupa olahraga, kegiatan harian bahkan menari yang dilakukan secara rutin bermanfaat untuk mencegah aterosklerosis (timbunan lemak di dinding pembuluh darah). Hal itu terbukti dari autopsy juara maraton Boston tujuh kali, Clarence deMar, yang menunjukkan ukuran pembuluh darah koronernya dua sampai tiga kali ukuran normal serta tak ditemukan adanya stenosis (penyempitan pembuluh darah) yang signifikan meski meninggal dalam usia 69 tahun (Eko,2012).

Menurut Ketua Bagian Kardiologi FKUI, aktivitas fisik terutama aerobik meningkatkan aliran darah yang bersifat gelombang yang mendorong peningkatan produksi nitrit oksida (NO) serta merangsang pembentukan dan pelepasan endothelial


(43)

derive relaxing factor (EDRF), yang merelaksasi dan melebarkan pembuluh darah (Agri,2012).

Aliran darah koroner dalam keadaan istirahat sekitar 200 ml per menit (empat persen dari total curah jantung). Penelitian di laboratorium menunjukkan, peningkatan aliran darah 4 ml per menit sudah mampu menghasilkan NO untuk merangsang perbaikan fungsi endotel (lapisan dinding) pembuluh darah. Aktivitas fisik sedang berupa senam atau jalan kaki yang meningkatkan aliran darah menjadi 350 ml per menit (naik 150 ml per menit) sudah lebih dari cukup untuk menghindarkan endotel pembuluh darah dari proses aterosklerosis. Namun, manfaat itu baru bisa didapat jika peningkatan aliran darah lewat aktivitas fisik berlangsung secara teratur dalam waktu cukup lama (20 menit sampai satu jam) serta dilakukan secara teratur seumur hidup (Eko ,2012).

4. Obesitas

Beberapa penelitian prospektif telah memeriksa hubungan antara obesitas dan penyakit kardiovaskuler. Di antara 5.000 penduduk Framingham, Massachusetts, peningkatan berat badan relatif disertai dengan kenaikan bermakna dalam kematian mendadak dan angina pectoris. Dari penelitian prospektif lain mengenai faktor resiko dan penyakit kardiovaskular, kelebihan berat badan di hubungkan dengan kematian mendadak, khususnya pada pria berusia di bawah 40 tahun. Pemenuhan berat badan dapat secara bermakna menurunkan beberapa faktor resiko penyakit kardivaskular. Pada penelitian Framingham, jumlah penurunan berat badan ini menurunkan


(44)

kolesterol 11 mg/dl, glukosa 2 mg/dl, asam urat 0,4 mg/dl dan tekanan darah sistolik 5 mg/dl (Rizki,2012).

Obesitas menjadi epidemi global pada anak-anak dan orang dewasa. Hal ini terkait dengan berbagai komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular (Cardiovaskular Diseeses) (CVD), diabetes tipe 2, hipertensi, kanker tertentu, dan apnea tidur / tidur-gangguan pernapasan. Bahkan, obesitas merupakan faktor risiko independen untuk (Cardiovaskular Diseeses) CVD, dan risiko (Cardiovaskular Diseeses) CVD juga telah didokumentasikan pada anak-anak obesitas. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas serta harapan hidup berkurang Disease: Pathophysiology, Evaluation, and Effect of Weight Loss).

Penggunaan pelayanan kesehatan dan biaya medis yang berkaitan dengan obesitas dan penyakit terkait telah meningkat secara dramatis dan diperkirakan akan terus meningkat. Selain profil metabolik yang berubah, berbagai adaptasi / perubahan dalam struktur jantung dan fungsi terjadi pada individu sebagai jaringan adiposa terakumulasi dalam jumlah berlebih, bahkan tanpa adanya komorbiditas. Oleh karena itu, obesitas dapat mempengaruhi jantung melalui pengaruhnya terhadap faktor-faktor risiko yang diketahui seperti dislipidemia, hipertensi, intoleransi glukosa, penanda inflamasi, obstruktif sleep apnea / hipoventilasi, dan negara prothrombotic, selain yang belum diakui mekanisme. Secara keseluruhan, kelebihan berat badan dan obesitas predisposisi atau berhubungan dengan berbagai komplikasi jantung seperti


(45)

penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan kematian mendadak karena dampaknya terhadap sistem kardiovaskular.(

5. Diabetes Melitus (DM)

http://circ.ahajournals.org/content/113/6/898.long).

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kadar gula darah yang melebihi normal. Menurut kriteria WHO (1985), kadar gula darah normal waktu puasa tidak boleh melebihi 120 mg/dl dan kadar gula darah 2 jam setelah makan kurang dari 200 mg/ dl. Penderita diabetes mellitus (DM) memiliki resiko relatif 2 kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner (PJK) dibandikan yang bukan diabetes mellitus (Agri,2012).

Menurut smeiltzer and bare (2002), Hubungan antara tingginya kadar glukosa dan meningkatnya penyakit jantung koroner telah terbukti. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan agregasi trombosit, yang dapat menyebabkan pembentukan trombus. Control hiperglikemia tanpa modifikasi faktor resiko lainnya tidak akan menurunkan resiko penyakit jantung koroner (Rizki,2012).

Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dari pada nondiabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak penting dalam metabolisme lipid dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain meupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas


(46)

metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen).

2.2.10. Pencegahan

Pencegahan merupakan salah satu upaya menurunkan angka kejadian suatu penyakit. Pencegahan penyakit jantung koroner meliputi atas pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit jantung koroner, mencegah timbulnya aterosklerosis, dengan cara memberantas faktor-faktor risiko, dan mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi konsumsi garam (Furqan,2011).

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya serangan ulang atau progresifitas penyakit jantung koroner, pencegahan penyakit kardiovaskuler harus dimulai sejak umur 20 tahun. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner, merokok, diet, dan aktivitas fisik harus secara rutin dipantau. Tekanan darah, kadar kolesterol, kadar gula darah (KGD puasa) <110 mg/dL) dan indeks masa tubuh harus diperiksa 2 tahun (Furqan,2011).

Upaya pencegan terhadap penyakit jantung koronerdapat meliputi dalam 4 tingkatan.: (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

1. Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial dianjurkan agar dilakukan masyarakat. Pencegahan primordial bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang sehat agar tetap sehat dan terhindar dari segala jenis penyakit termasuk penyakit


(47)

jantung. Cara hidup sehat mencakup mengkonsumsi makanan yang sehat, tidak merokok, beraktivitas fisik dan berolahraga, menghindari dan mencegah ketegangan batin (stres), dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.

2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer melipiti segala usaha yang dilakukan sebelum timbulnya gejala proses penyakit (Smeiltzer and Bare, 2002). Pencegahan primer ditunjukkan kepada masyarakat yang telah memiliki resiko untuk terkena penyakit jantung koroner (PJK).

3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder meliputi segala usaha yang dilakukan untuk mengurangi perkembangan atau mencegah kekambuhan proses penyakit (Smeiltzer and Bare, 2002,dalam Rizky,2012).

a. Pemeriksaan PJK 1) Anamnesis

Anamnesis merupakan cara untuk mendapatkan keterangan dan data klinis tentang keadaan penyakit seorang pasien melalui Tanya-jawab lisan. Anamnesis terdiri atas:

a) Keluhan utama yaitu keluhan utama yang menimbulkan perasaan dan pikiran pada pasien sehingga datang untuk meminta pertolongan medis. Keluhan utama yang sering terjadi pada ganguan sistem kardiovaskular ialah nyeri dada, berdebar-debar, dan sesak nafas. Keluhan tambahan lainnya yang mungkin menyertai keluhan utama ialah perasaan cepat


(48)

lelah, kemampuan fisik menurun dan badan sering terasa lemas, sering berkeringat dingin dan lemas dengan perasaan tidak enak pada perut bagian atas.

b) Keluhan dan keterangan tambahan ialah keterangan yang menjelaskan keadaan klinis pasien baik yang ada hubungannya dengan kelainan utama atau hal lain yang mengganggu kesehatan pasien saat ini (present illnes)

c) Riwayat penyakit pasien yaitu menyangkut riwayat penyakit dahulu dan kebiasaan hidup yang ada hubungannya dengan penyakitnya.

d) Riwayat kelurga yaitu riwayat penyakit dominan yang terdapat dalam keluarga dan riwayat perkawinannya untuk mencari faktor familiar yang mungkin merupakan faktor predisposisi.

2) Elektrokardiogram (EKG)

Ludwig dan Waller telah menemukan bahwa rangsangan elektris irama jantung dapat di monitor dari kulit seorang dengan menggunakan alat capillary electrometer pada tahun 1880-an. Elektrokardiogram (EKG) adalah grafik hasil pencatatan aksi potensial atau perubahan kelistrikan yang dihasilkan oleh kontraksi otot jantung (Atrium dan Ventrikel). Aksi potensial adalah aktivitas listrik yang menyebabkan kontraksi otot. Kondisi ini berlangsung karena adanya konduktivitas sel miokard (Udjianti, 2010)


(49)

EKG penting untuk diagnosis dan penatalaksanaan kelainan irama jantung. EKG membantu mendiagnosis penyebab nyeri dada; dan ketepatan penggunaan trombolisis pada infark miokard tergantung padanya. EKG dapat membantu mendiagnosis penyebab sesak nafas (Udjianti,2010).

3) Foto Rontgen Dada

Foto rontgen dada merupakan metoda untuk mendapatkan gambaran jantung untuk menentukan secara keseluruhan dari ukuran jantung dan untuk mendeteksi bendungan di paru-paru. Meskipun demikian, gambaran jantung yang didapat bersifat statik, dan informasi yang lebih terperinci dapat diperoleh dari ekokardiografi (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Kelainan pada koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang penderita sudah berada pada penyakit jantung koroner lanjut. Mungkin saja penyakit jantung koroner lama yang sudah berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung terlihat membesar (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

4) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui kenaikan enzim jantung pada infark miokardium akut. Pemeriksaan lipid darah seperti kadar kolesterol, HDL, LDL, dan kadar trigliserida perlu dilakukan


(50)

untuk menemukan faktor resiko seperti hiperlipidemia. Dan pemeriksaan gula darah juga perlu dilakukan untuk menentukan Diabetes Mellitus yang juga merupakan faktor resiko terjadinya PJK.

5) Uji Latihan Jasmani

Uji latihan jasmani dilakukan dengan alat treadmill atau sepeda Ergometer yang dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG sampai pasien mencapai kecepatan jantung maksimal. Prinsipnya adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan karena jantung mempunyai tenaga serap, hingga pada keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak normal.(Rizki,212)

6) Kateterisasi Jantung

Kateterisasi jantung adalah prosedur diagnostic invasif dimana satu atau lebih kateter dimasukkan ke jantung dan pembuluh darah tertentu untuk mengukur tekanan dalam berbagai kamar jantung dan untuk menentukan saturasi oksigen dalam pembuluh darah. Sejauh ini kateter jantung paling sering digunakan untuk mengkaji potensi arteri koronaria pasien dan untuk menentukan terapi yang diperlukan. Selama kateterisasi jantung elektokardiogram pasien dipantau dengan osiloskop. Karena pemasukan kateter ke dalam jantung dapat mengakibatkan disritmia fatal, maka peralatan resusitasi harus siap tersedia bila prosedur ini dijalankan.(Agri,2012)


(51)

b. Pengobatan PJK

Menurut Brunner & Suddarth, 2001 obat-obat yang diberikan pada penderita PJK, yaitu :

1) Analgetik

Pemberian analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati dengan nitrat dan anti koagulan. Analgetik pilihan masih tetap morfin sulfat yang diberikan secara intra vena dengan dosis meningkat 1 sampai 2 mg. Respon kardiovaskular terhadap morfin dipantau dengan cermat, khususnya tekanan darah, yang sewaktu-waktu dapat turun. Tetapi karena morfin dapat menurunkan preload dan afterload dan merelaksasi bronkus sehingga oksigenasi meningkat, maka tetap ada keuntungan terapeutik selain menghilangkan nyeri pada pemberian obat ini.

2) Betablocker

Bila pasien tetap menderita nyeri dada meskipun telah mendapat nitrogliserin dan merubah gaya hidup, maka perlu diberikan bahan penyekat beta adrenergic. Propranolol hidroklorit (inderal) masih merupakan obat pilihan. Obat ini berfungsi menurunkan konsumsi oksigen dengan menghambat impuls simpatis ke jantung.


(52)

3) Nitrogliserin

Nitrogliserin adalah bahan vasoaktif yang berfungsi melebarkan baik vena maupun arteria sehingga mempengaruhi sirkulasi perifer. Dengan pelebaran vena terjadi pengumpulan darah vena diseluruh tubuh. Akibatnya hanya sedikit darah yang kembali ke jantung dan terjadilah penurunan tekanan pengisian (preload). Nitrat juga melepaskan arteriol sistemik dan menyebabkan penurunan tekanan darah (penurunan afterload). Semuanya itu berakibat pada penurunan kebutuhan oksigen jantung, menciptakan suatu keadaan yang lebih seimbang antara suplai dan kebutuhan.

4) Aspirin

Aspirin sebagai antitrombotik sangat penting diberikan. Aspirin dianjurkan diberikan segera mungkin (di ruang gawat darurat) karena terbukti menurunkan angka kematian. Dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat utama untuk pencegahan thrombosis. Meta- analisa menunjukkan, bahwa dosis 75-150 mg sama efektivitasnya di bandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan diberikan pada semua pasien kecuali bila ditemui kontraindikasi. Selain itu aspirin juga disarankan diberi jangka lama namun perlu diperhatikan efek samping iritasi gastrointestinal dan perdarahan, alergi. Cardioaspirin memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan aspirin lainnya (Abdul Majid, 2007).


(53)

4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tertier ditunjukkan kepada penderita jantung koroner yang keadaannya sudah tidak mengkhawatirkan lagi dengan tujuan agar mereka secepat mungkin dapat beraktifitas.(Agri,2012)

Pencegahan dalam tingkatan ini bisa berupa rehabilitasi jantung. Rehabilitasi jantung, seperti yang didefinisikan oleh American Heart Association dan The Task Force on Cardiovaskular Rehabilitation of The National Heart, Lung, and Blood Institute, adalah proses untuk memulihkan dan memelihara potensi fisik, psikologis, social, pendidikan, dan pekerjaan pasien. Program rehabilitasi jantung memang terutama ditunjukan kepada penderita PJK atau pasca operasi jantung.(Yusnidar,2010)

Rehabilitasi dimulai sejak pasien dirawat di ruangan perawatan intensif dilanjutkan di ruangan perawatan biasa kemudian diikuti reahibilitasi di luar rumah sakit. Rehabilitasi setelah perawatan dirumah sakit yang dilaksanakan dalam kelompok untuk pasien pasca serangan japntung memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki kemampuan fisik dan kepatuhan pasien mengikuti program pengobatan. Pengelolaan faktor resiko seperti berhenti merokok serta pengobatan terhadap hipertensi, hiperlidemia, dan diabetes mellitus sangat penting. Diperlukan juga konseling untuk program diet, latihan jasmani dan penyesuaian gaya hidup bagi pasien pasca serangan jantung (Eko,2012).


(54)

2.3. Landasan Teori

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Malau Mutiara Aini, (2010) mengenai Hubungan Penyakit Jantung Koroner dengan Tingkat Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, menunjukkan hasil bahwa pada pasien rawat inap penyakit jantung koroner dan Hipertensi di RSUP H. Adam Malik tahun 2010 yang positif mengalami Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan memiliki riwayat Hipertensi dijumpai sebanyak 32%. Dari hasil uji Chi Square diperoleh adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian PJK dengan tingkat Hipertensi (p = 0,001 < p = 0,1).

Penelitian yang dilakukan oleh Pane, 2013 mengenai Perilaku Merokok Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Klinik Bambu Dua Medan, menunjukkan hasil bahwa, dari 97 pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK), diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan terhadap rokok berada dalam kategori baik, yaitu 81.4%, sedangkan kategori cukup 14.4% dan kategori kurang 4.1%. Hasil uji sikap diperoleh kategori cukup sebesar 56.7%, baik 43.3%, serta tidak ada dalam kategori kurang. Untuk tindakan merokok sebelum dan sesudah PJK diperoleh hasil berturut-turut adalah 36.1% dan 93% dalam kategori baik, 15.5% dan 3.1% dengan kategori cukup, serta 48.5% dan 3.1% untuk kategori kurang.

Disamping itu juga penelitian yang dilakukan oleh Mugin rarao,2011 mengenai Gambaran Diabetes Melitus Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Menunjukkan hasil penelitian dianalisa dengan menggunakan Chi Kuadrat, dan didapati daripada analisis p = 0.01. Terdapat 22 orang penderita Penyakit jantung Koroner yang merupakan pasien diabetes


(55)

mellitus (DM) sementara 11 orang pasakit jantung lainnya yang merupakan pasien diabetes mellitus (DM). Penelitian menunjukkan bahawa terdapat hubungan yang bermakna antara Diabetes Melitus dan kejadian penyakit jantung koroner.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Furqan, 2013 mengenai Faktor yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat Dimodifikasi Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011 menunjukkan hasil bahwa Dari 72 penderita SKA yang diteliti lebih banyak terjadi pada kelompok usia 46-59 tahun 43,1% dan laki-laki 73,6%. Didapati persentase frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dari persentase yang terbesar hingga persentase terkecil sebagai berikut merokok 58,3%, hipertensi 55,6%, diabetes melitus 40,3%, dan hiperkolesterolemia 11,1%. Dan dari data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko yaitu merokok 23,6% dan merokok dengan hipertensi 15,3%. Sebagian besar penderita SKA merupakan laki-laki, memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun. RSUP HAM diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun.


(56)

2.4. Kerangka Teori

Gambar 2.5. Kerangka Teori Sumber : (Mira Rosmiatin, 2012. Yusnidar,2010)

Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi.

Merokok Hipertensi Obesitas Aktivitas Fisik Diabetes Melitus

LANSIA

Menurunnya HDL Menigkatnya LDL

Mengurangi Oksidasi LDL oleh Radikal Bebas di Intima Meningkat

Disfungsi Endotel Sel-sel busa dalam jumlah besar

Migrasi Sel-sel Otot Polos Kedalam Intima

Migrasi Sel-sel Otot Polos ke Dalam Intima

Resistensi Pembuluh Darah Meningkat dan Aliran Darah Berkurang

Aterosklerosis Koroner


(57)

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) (Soeparto, dkk 2005, dalam Nursalam,2003).

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Ket : : Yang tidak diteliti

: Yang diteliti Faktor risiko yang dapat di

modifikasi : Merokok Obesitas Aktivitas Fisik Hipertensi Diabetes Melitus

Kejadian penyakit Jantung koroner Faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi : Umur


(1)

3) Nitrogliserin

Nitrogliserin adalah bahan vasoaktif yang berfungsi melebarkan baik vena maupun arteria sehingga mempengaruhi sirkulasi perifer. Dengan pelebaran vena terjadi pengumpulan darah vena diseluruh tubuh. Akibatnya hanya sedikit darah yang kembali ke jantung dan terjadilah penurunan tekanan pengisian (preload). Nitrat juga melepaskan arteriol sistemik dan menyebabkan penurunan tekanan darah (penurunan afterload). Semuanya itu berakibat pada penurunan kebutuhan oksigen jantung, menciptakan suatu keadaan yang lebih seimbang antara suplai dan kebutuhan.

4) Aspirin

Aspirin sebagai antitrombotik sangat penting diberikan. Aspirin dianjurkan diberikan segera mungkin (di ruang gawat darurat) karena terbukti menurunkan angka kematian. Dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat utama untuk pencegahan thrombosis. Meta- analisa menunjukkan, bahwa dosis 75-150 mg sama efektivitasnya di bandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan diberikan pada semua pasien kecuali bila ditemui kontraindikasi. Selain itu aspirin juga disarankan diberi jangka lama namun perlu diperhatikan efek samping iritasi gastrointestinal dan perdarahan, alergi. Cardioaspirin memberikan efek samping yang lebih


(2)

4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tertier ditunjukkan kepada penderita jantung koroner yang keadaannya sudah tidak mengkhawatirkan lagi dengan tujuan agar mereka secepat mungkin dapat beraktifitas.(Agri,2012)

Pencegahan dalam tingkatan ini bisa berupa rehabilitasi jantung. Rehabilitasi jantung, seperti yang didefinisikan oleh American Heart Association dan The Task Force on Cardiovaskular Rehabilitation of The National Heart, Lung, and Blood Institute, adalah proses untuk memulihkan dan memelihara potensi fisik, psikologis, social, pendidikan, dan pekerjaan pasien. Program rehabilitasi jantung memang terutama ditunjukan kepada penderita PJK atau pasca operasi jantung.(Yusnidar,2010)

Rehabilitasi dimulai sejak pasien dirawat di ruangan perawatan intensif dilanjutkan di ruangan perawatan biasa kemudian diikuti reahibilitasi di luar rumah sakit. Rehabilitasi setelah perawatan dirumah sakit yang dilaksanakan dalam kelompok untuk pasien pasca serangan japntung memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki kemampuan fisik dan kepatuhan pasien mengikuti program pengobatan. Pengelolaan faktor resiko seperti berhenti merokok serta pengobatan terhadap hipertensi, hiperlidemia, dan diabetes mellitus sangat penting. Diperlukan juga konseling untuk program diet, latihan jasmani dan penyesuaian gaya hidup bagi pasien pasca serangan jantung (Eko,2012).


(3)

2.3. Landasan Teori

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Malau Mutiara Aini, (2010) mengenai Hubungan Penyakit Jantung Koroner dengan Tingkat Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, menunjukkan hasil bahwa pada pasien rawat inap penyakit jantung koroner dan Hipertensi di RSUP H. Adam Malik tahun 2010 yang positif mengalami Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan memiliki riwayat Hipertensi dijumpai sebanyak 32%. Dari hasil uji Chi Square diperoleh adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian PJK dengan tingkat Hipertensi (p = 0,001 < p = 0,1).

Penelitian yang dilakukan oleh Pane, 2013 mengenai Perilaku Merokok Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Klinik Bambu Dua Medan, menunjukkan hasil bahwa, dari 97 pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK), diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan terhadap rokok berada dalam kategori baik, yaitu 81.4%, sedangkan kategori cukup 14.4% dan kategori kurang 4.1%. Hasil uji sikap diperoleh kategori cukup sebesar 56.7%, baik 43.3%, serta tidak ada dalam kategori kurang. Untuk tindakan merokok sebelum dan sesudah PJK diperoleh hasil berturut-turut adalah 36.1% dan 93% dalam kategori baik, 15.5% dan 3.1% dengan kategori cukup, serta 48.5% dan 3.1% untuk kategori kurang.

Disamping itu juga penelitian yang dilakukan oleh Mugin rarao,2011 mengenai Gambaran Diabetes Melitus Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Menunjukkan hasil penelitian dianalisa


(4)

mellitus (DM) sementara 11 orang pasakit jantung lainnya yang merupakan pasien diabetes mellitus (DM). Penelitian menunjukkan bahawa terdapat hubungan yang bermakna antara Diabetes Melitus dan kejadian penyakit jantung koroner.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Furqan, 2013 mengenai Faktor yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat Dimodifikasi Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011 menunjukkan hasil bahwa Dari 72 penderita SKA yang diteliti lebih banyak terjadi pada kelompok usia 46-59 tahun 43,1% dan laki-laki 73,6%. Didapati persentase frekuensi kejadian faktor yang dapat dimodifikasi dari persentase yang terbesar hingga persentase terkecil sebagai berikut merokok 58,3%, hipertensi 55,6%, diabetes melitus 40,3%, dan hiperkolesterolemia 11,1%. Dan dari data karakteristik faktor risiko, penderita SKA di RSUP. HAM sebagian besar memiliki faktor risiko yaitu merokok 23,6% dan merokok dengan hipertensi 15,3%. Sebagian besar penderita SKA merupakan laki-laki, memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun. RSUP HAM diharapkan lebih memberikan perawatan intensif pada pasien yang memiliki ≥2 faktor risiko dan pada kelompok umur 46-59 tahun.


(5)

2.4. Kerangka Teori

Gambar 2.5. Kerangka Teori Sumber : (Mira Rosmiatin, 2012. Yusnidar,2010)

Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi.

Merokok Hipertensi Obesitas Aktivitas Fisik Diabetes Melitus

LANSIA

Menurunnya HDL Menigkatnya LDL

Mengurangi Oksidasi LDL oleh Radikal Bebas di Intima Meningkat

Disfungsi Endotel Sel-sel busa dalam jumlah besar

Migrasi Sel-sel Otot Polos Kedalam Intima

Migrasi Sel-sel Otot Polos ke Dalam Intima

Resistensi Pembuluh Darah Meningkat dan Aliran Darah Berkurang

Aterosklerosis Koroner


(6)

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) (Soeparto, dkk 2005, dalam Nursalam,2003).

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Ket : : Yang tidak diteliti

: Yang diteliti Faktor risiko yang dapat di

modifikasi : Merokok Obesitas Aktivitas Fisik Hipertensi Diabetes Melitus

Kejadian penyakit Jantung koroner Faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi : Umur