Hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau.
i
HUBUNGAN ANTARA PEMISAHAN PSIKOLOGIS DAN
PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI
PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA
YANG MERANTAU
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Jessica Dhoria Arywibowo
NIM: 129114089
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
(2)
(3)
(4)
iv
HALAMAN MOTTO
I can do all this through Him who gives me
strength.
-Philippians 4:13-
Satisfaction lies in the effort, not in the
attainment. Full effort is full victory.
-Mahatma Gandhi-
(5)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan anugerahNya kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini
My core support system, Papa, Mama, dan Adikku yang selalu mendukung
dan memberi semangat selama saya berproses menyelesaikan skripsi ini
Keluarga besar, sahabat, dan teman-teman yang selalu memotivasi saya untuk menyelesaikan skripsi ini
(6)
(7)
vii
HUBUNGAN ANTARA PEMISAHAN PSIKOLOGIS DAN PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI
PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA YANG MERANTAU
Jessica Dhoria Arywibowo
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau. Hipotesis menyatakan terdapat hubungan positif antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Responden berjumlah 114 mahasiswa tahun pertama Universitas Sanata Dharma yang tidak tinggal bersama dengan orangtua, khususnya ibu. Pemisahan psikologis diukur menggunakan Skala Pemisahan Psikologis dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,737. Penyesuaian diri di perguruan tinggi diukur menggunakan Skala Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,809. Hasil uji korelasi Product-Moment Pearson menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,275 dengan
signifikansi 0,002. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan positif antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau.
Kata kunci: pemisahan psikologis, penyesuaian diri di perguruan tinggi, mahasiswa tahun pertama, merantau.
(8)
viii
CORRELATION BETWEEN PSYCHOLOGICAL SEPARATION AND COLLEGE ADJUSTMENT AMONG SOJOURNING FRESHMEN
Jessica Dhoria Arywibowo ABSTRACT
This research aimed to examine the correlation between psychological separation and college adjustment among sojourning freshmen. Hypothesis said that there was a positive correlation between psychological separation and college adjustment among sojourning freshmen. This research was quantitative study using a correlation method. Participants were 114 sojourning freshmen in Sanata Dharma University who were currently not living with their parents, more specifically their mothers. Psychological separation was measured using Psychological Separation Scale with a reliability coefficient of 0.737. College adjustment was measured using College Adjustment Scale with a reliability coefficient of 0.809. The result of a Pearson Product-Moment correlation method showed correlation coefficient of 0.275 with a significance of 0.002. The hypothesis is accepted that there is a positive correlation between psychological separation and college adjustment among sojourning freshmen.
(9)
(10)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan-Nya yang menuntun peneliti dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau”.
Peneliti menyadari bahwa keberhasilan dari penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan bagi peneliti untuk memperoleh berbagai ilmu dan pengalaman.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu mendukung selama perkuliahan.
5. Ibu Dr. Y. Titik Kristiyani, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia membimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran. Semoga senantiasa diberkati dalam setiap apapun yang dikerjakan.
6. Romo Dr. A. Priyono Marwan, S.J. dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan masukan untuk skripsi ini sehingga menjadi lebih baik.
(11)
(12)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR BAGAN ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 9
C. TUJUAN PENELITIAN ... 10
D. MANFAAT PENELITIAN ... 10
1. Manfaat Teoritis ... 10
(13)
xiii
BAB II. LANDASAN TEORI ... 12
A. PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI ... 12
1. Pengertian Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 12
2. Dimensi dan Indikator Dimensi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 13
3. Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 15
B. PEMISAHAN PSIKOLOGIS ... 20
1. Pengertian Pemisahan Psikologis ... 20
2. Aspek dan Indikator Aspek Pemisahan Psikologis ... 22
3. Kematangan Pemisahan Psikologis ... 25
C. MAHASISWA TAHUN PERTAMA YANG MERANTAU ... 25
1. Pengertian Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau ... 25
2. Tahap Perkembangan dan Karakteristik Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau ... 26
3. Dinamika Mahasiswa yang Merantau ... 28
D. HUBUNGAN ANTARA ORANGTUA DAN MAHASISWA TAHUN PERTAMA ... 29
E. TEMUAN-TEMUAN YANG RELEVAN ... 30
F. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA PEMISAHAN PSIKOLOGIS DAN PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI ... 33
(14)
xiv
G. HIPOTESIS PENELITIAN ... 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. JENIS PENELITIAN ... 40
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ... 40
1. Variabel Bebas ... 40
2. Variabel Terikat ... 40
C. DEFINISI OPERASIONAL ... 40
1. Pemisahan Psikologis ... 40
2. Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 41
D. RESPONDEN PENELITIAN ... 42
E. METODE PENGUMPULAN DATA ... 43
1. Penyusunan Blueprint ... 43
2. Focused Group Discussion ... 45
3. Penulisan Item ... 49
4. Review dan Revisi Item ... 50
5. Pengujian Validitas Isi ... 50
6. Uji Coba Alat Ukur ... 52
F. PEMERIKSAAN RELIABILITAS ALAT UKUR PENELITIAN ... 56
G. METODE ANALISIS DATA ... 56
1. Uji Normalitas ... 57
2. Uji Linearitas ... 57
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58
(15)
xv
1. Pelaksanaan Penelitian ... 58
2. Deskripsi Responden dan Data Penelitian ... 58
3. Reliabilitas Data Penelitian ... 62
4. Hasil Uji Asumsi ... 63
5. Hasil Uji Hipotesis ... 64
6. Hasil Analisis Tambahan ... 65
B. PEMBAHASAN ... 67
1. Hubungan antara Pemisahan Psikologis dan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 67
2. Hubungan antara Pemisahan Psikologis dan Dimensi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 69
3. Hubungan antara Aspek Pemisahan Psikologis dan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 71
4. Pemisahan Psikologis yang Tinggi ... 73
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
A.KESIMPULAN ... 75
B.KETERBATASAN ... 76
C.SARAN ... 76
1. Bagi Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau ... 76
2. Bagi Orangtua Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau ... 76
(16)
xvi
4. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN ... 85
(17)
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint skala pemisahan psikologis ... 44
Tabel 2. Blueprint skala penyesuaian diri di perguruan tinggi ... 45
Tabel 3. Validitas skala pemisahan psikologis dan skala penyesuaian diri di perguruan tinggi ... 52 Tabel 4. Distribusi item skala pemisahan psikologis sebelum dan setelah
uji coba ... 54 Tabel 5. Distribusi item skala penyesuaian diri di perguruan tinggi
sebelum dan setelah uji coba ... 55 Tabel 6. Reliabilitas skala pemisahan psikologis dan skala penyesuaian
diri di perguruan tinggi hasil uji coba ... 56 Tabel 7. Deskripsi responden penelitian ... 59 Tabel 8. Deskripsi data penelitian variabel pemisahan psikologis ... 60 Tabel 9. Deskripsi data penelitian variabel penyesuaian diri di perguruan
tinggi ... 61 Tabel 10. Kategorisasi variabel penelitian ... 62 Tabel 11. Reliabilitas skala pemisahan psikologis dan skala penyesuaian
diri di perguruan tinggi hasil pengambilan data ... 63 Tabel 12. Hasil uji normalitas pemisahan psikologis dan penyesuaian diri
di perguruan tinggi ... 63 Tabel 13. Hasil uji linearitas antara pemisahan psikologis dan
(18)
xviii
Tabel 14. Hasil uji korelasi antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi ... 64 Tabel 15. Hasil uji korelasi antara pemisahan psikologis dan dimensi
penyesuaian diri di perguruan tinggi ... 65 Tabel 16. Hasil uji korelasi antara aspek pemisahan psikologis dan
(19)
xix
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Dinamika hubungan antara pemisahan psikologis dan
(20)
xx
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Daftar Pertanyaan FGD Variabel Pemisahan
Psikologis ... 86 LAMPIRAN 2 Daftar Pertanyaan FGD Variabel Penyesuaian
Diri di Perguruan Tinggi ... 89 LAMPIRAN 3 Form Penilaian Validitas Isi Variabel Pemisahan
Psikologis ... 91 LAMPIRAN 4 Form Penilaian Validitas Isi Variabel
Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 104 LAMPIRAN 5 Hasil Pengujian Validitas Isi Variabel Pemisahan
Psikologis ... 116 LAMPIRAN 6 Hasil Pengujian Validitas Isi Variabel
Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi ... 126 LAMPIRAN 7 Surat Ijin Penelitian dari Wakil Rektor I ... 135 LAMPIRAN 8 Skala Pemisahan Psikologis dan Skala
Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi yang
Digunakan untuk Uji Coba ... 136 LAMPIRAN 9 Hasil Uji Reliabilitas dan Seleksi Item Skala
Pemisahan Psikologis Hasil Uji Coba ... 148 LAMPIRAN 10 Hasil Uji Reliabilitas dan Seleksi Item Skala
Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi Hasil Uji
(21)
xxi
LAMPIRAN 11 Skala Pemisahan Psikologis dan Skala Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi yang
Digunakan untuk Pengambilan Data ... 156
LAMPIRAN 12 Hasil Uji Reliabilitas Skala Pemisahan Psikologis dan Skala Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi Hasil Pengambilan Data ... 166
LAMPIRAN 13 Hasil Uji One-Sample T-Test ... 167
LAMPIRAN 14 Hasil Uji Normalitas ... 168
LAMPIRAN 15 Hasil Uji Linearitas ... 169
(22)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pertambahan jumlah mahasiswa menunjukkan kesadaran masyarakat mengenai peran penting pendidikan tinggi semakin meningkat. Data terakhir Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2013/2014, mahasiswa di Indonesia berjumlah 6.453.252 orang. Pada tahun ajaran 2014/2015, jumlah tersebut bertambah menjadi 6.585.600 orang. Hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma menunjukkan bahwa alasan mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi adalah untuk memperoleh ilmu dan keterampilan agar mampu bersaing dalam dunia pekerjaan di masa depan. Hasil wawancara tersebut sesuai dengan pernyataan Corcoran dan Matsudaira (2005) bahwa dunia pekerjaan saat ini semakin kompetitif dan menuntut tenaga kerja memiliki keterampilan tinggi, sehingga pendidikan menjadi hal penting agar mampu bersaing di dunia kerja (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Data statistik Institut Teknologi Bandung menunjukkan bahwa 33% mahasiswa angkatan 2016 di perguruan tinggi tersebut berasal dari daerah Jawa Barat, dan 67% berasal dari luar daerah Jawa Barat (diakses dari http://usm.itb.ac.id/ pada tanggal 9 Mei 2017). Hasil wawancara peneliti dengan beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma angkatan 2016 menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa adalah perantau yang tinggal
(23)
terpisah dari orangtua. Data-data tersebut menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa perantau di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Sanata Dharma lebih banyak daripada jumlah mahasiswa yang bukan perantau.
Pada awal pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa mengalami masa transisi dari sekolah menengah atas ke perguruan tinggi. Masa transisi ini merupakan proses yang penuh tantangan dan sulit (Francis, McDaniel, & Dayle, 1987 dalam Stoever, 2001; Sharma, 2012). Pada masa transisi ini, mahasiswa berhadapan dengan tantangan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai hal seperti hubungan sosial yang baru, perbedaan sifat pendidikan di sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, serta tuntutan untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab (Credé & Niehorster, 2012; Gunarsa & Gunarsa, 2001; Henton, Lamke, Murphy, & Haynes, 1980 dalam Stoever, 2001). Bagi mahasiswa perantau, tantangan lebih beragam dibandingkan mahasiswa yang bukan perantau. Mereka juga harus menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan fisik, biologis, budaya, dan ekonomi (Nasution, 1997).
Beberapa mahasiswa tahun pertama Universitas Sanata Dharma yang merantau dalam wawancara dengan peneliti menyatakan bahwa mereka menghadapi tantangan untuk menyesuaikan diri dengan budaya di lingkungan yang baru seperti menyesuaikan diri dengan cara berkomunikasi masyarakat lokal yang ramah dan halus. Mereka juga harus menyesuaikan diri dengan teman kuliah yang berasal dari berbagai latar belakang serta menyesuaikan diri dengan proses pembelajaran yang berbeda dari sekolah menengah.
(24)
Penyesuaian diri di perguruan tinggi adalah respon individu dalam mengatasi berbagai tuntutan yang menyertai perubahan dari lingkungan sekolah menengah atas ke lingkungan perguruan tinggi, guna mencapai keselarasan antara individu dan lingkungan perguruan tinggi (Baker & Siryk, 1984, 1986; Eshun, 2006; Schneiders, 1960). Penyesuaian diri di perguruan tinggi meliputi beberapa dimensi, yaitu penyesuaian diri akademik, sosial, personal-emosional, dan kelekatan pada institusi (Baker & Siryk, 1984, 1986). Baker dan Siryk (1984) menyatakan bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi pada tahun pertama perkuliahan menjadi dasar bagi kehidupan perkuliahan mahasiswa di tahun-tahun berikutnya.
Mahasiswa dengan penyesuaian diri yang baik mampu menghadapi berbagai tantangan di perguruan tinggi sehingga mereka mampu menunjukkan hasil akademik yang baik, tetap bertahan menempuh pendidikan di universitas yang dijalani, serta terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi (Baker & Siryk, 1984; Beyers & Goossens, 2002, 2003; Credé & Niehorster, 2012). Mahasiswa yang gagal menyesuaikan diri mengalami kesulitan menghadapi berbagai tantangan di perguruan tinggi sehingga cenderung untuk drop-out, memiliki hubungan yang bermasalah
dengan orang lain, memiliki perasaan cemas, depresi, dan kesepian yang berlebihan, serta mengalami kesulitan dalam hal akademik (Baker & Siryk, 1984; Beyers & Goossens, 2002; Blos, 1979 dalam Rakipi, 2015; Buote et al, 2007; Masterson, 1982, 1985 dalam Rakipi, 2015). Berkaitan dengan mahasiswa perantau, penelitian Kaczmarek, Matlock, Merta, Ames, dan Ross
(25)
(1994) menunjukkan bahwa mahasiswa yang berasal dari luar daerah memiliki penyesuaian diri di perguruan tinggi yang lebih rendah daripada mahasiswa yang berasal dari daerah yang sama dengan lokasi perguruan tinggi.
Permasalahan terkait kegagalan mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi banyak terjadi. Hasil penelitian Hamilton dan Hamilton (2006) menunjukkan bahwa 20% hingga 25% mahasiswa tingkat pertama tidak menyelesaikan pendidikan di tahun kedua (dalam Buote et al, 2007). Di Indonesia, sebanyak 5% hingga 10% mahasiswa Institut Teknologi Bandung dikeluarkan setiap tahun karena gagal bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan perkuliahan (Kristanti, 2010). Data dari Universitas Brawijaya menunjukkan bahwa pada tahun 2012, terdapat 70 mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang drop-out karena tidak berhasil memenuhi
kualifikasi akademik. Dari 70 mahasiswa yang drop-out, 33 orang adalah
mahasiswa tahun pertama. Kegagalan dalam beradaptasi secara akademik dan sosial adalah penyebab angka drop-out yang tinggi pada mahasiswa tahun
pertama (Ashar dalam http://feb.ub.ac.id/ diakses pada tanggal 23 September 2016).
Peran penting penyesuaian diri di perguruan tinggi serta potensi masalah yang muncul terkait hal tersebut mendorong peneliti melakukan penelitian terkait penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama, secara khusus pada mahasiswa perantau. Penelitian dilakukan dengan menguji faktor yang memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi pada
(26)
mahasiswa tahun pertama. Dengan mengetahui faktor yang memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi, diharapkan mampu memberi solusi atas berbagai masalah yang muncul berkaitan dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi.
Beberapa faktor yang memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi antara lain karakteristik demografi (Hertel, 2002; Schneider & Ward, 2003), persepsi dukungan sosial (Friedlander, Reid, Shupak, & Cribbie, 2007; Hertel, 2002; Schneider & Ward, 2003), persepsi hubungan dengan orangtua (Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Beyers & Goosens, 2003; Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000; Mattanah, Hancock, & Brand, 2004), kecerdasan emosional (Igbo, Nwaka, Mbagwu, Mezieobi, 2016; Parker, Hogan, Eastabrook, Oke, & Wood, 2006; Parker, Summerfeldt, Hogan, & Majeski, 2004), trait (Rice, Vergara, & Aldea, 2006; Schnuck & Handal,
2011), dan core self-evaluation (Aspelmeier, Love, McGrill, Elliott, & Pierce,
2012; Aspinwall & Taylor, 1992; Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000; Ramos-Sánchez & Nichols, 2007).
Credé dan Niehorster (2012) menyatakan bahwa kualitas hubungan dengan orangtua sangat memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi. Hasil wawancara peneliti dengan beberapa mahasiswa perantau di Universitas Sanata Dharma menunjukkan bahwa mereka mengalami pengurangan interaksi dengan orangtua yang menyebabkan konflik antara mahasiswa perantau dan orangtua menjadi berkurang. Hasil wawancara tersebut
(27)
menunjukkan bahwa faktor persepsi hubungan dengan orangtua penting untuk diteliti pada mahasiswa perantau.
Faktor persepsi hubungan dengan orangtua terdiri dari pola asuh, kelekatan, dan pemisahan psikologis (Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Beyers & Goosens, 2003; Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000; Mattanah, Hancock, & Brand, 2004). Pola asuh adalah cara orangtua memperlakukan anak mereka (VandenBos, 2007). Kelekatan adalah kecenderungan seseorang untuk memiliki kedekatan emosional dengan orangtua (VandenBos, 2007). Pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk melepaskan diri dari orangtua guna mencapai kemandirian (Blos, 1979 dalam Årseth, Kroger, Martinussen & Bakken, 2009; Gnaulati & Heine, 2001; Lapsley, 2009; Rakipi, 2015).
Blos (1979 dalam Rakipi, 2015), Lapsley (2009), dan Masterson (1982, 1985 dalam Rakipi, 2015) menyatakan bahwa permasalahan yang muncul akibat kegagalan menyesuaikan diri di perguruan tinggi adalah perwujudan dari pemisahan psikologis yang terganggu. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemisahan psikologis memainkan peran penting dalam penyesuaian diri di perguruan tinggi, sehingga penting untuk diteliti.
Pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk memiliki rasa diri sebagai individu yang berbeda dan terlepas dari orangtua, dengan tetap menjalin hubungan baik dengan orangtua (Hoffman, 1984; Komidar,
Zupančič, Sočan, & Levpušček, 2014). Pemisahan psikologis terdiri dari lima aspek, yaitu kebebasan konfliktual, kebebasan emosional, kebebasan
(28)
fungsional, kebebasan sikap, dan keterhubungan (Hoffman, 1984; Komidar,
Zupančič, Sočan, & Levpušček, 2014) .
Keberhasilan dalam melakukan pemisahan psikologis membantu mahasiswa menyesuaikan diri dalam masa transisi ke perguruan tinggi. Pemisahan psikologis menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki rasa diri yang matang, sehingga lebih siap menghadapi tantangan di perguruan tinggi secara mandiri serta memiliki perasaan positif terhadap perubahan dalam hubungan dengan orangtua (Arnstein, 1980; Chickering, 1969 dalam Mattanah, Hancock, & Brand, 2004; Beyers & Goossens, 2003; Delhaye, Kempenaers, Linkowski, Stroobants, & Goosens, 2012).
Penelitian mengenai hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi telah banyak dilakukan, namun menunjukkan hasil yang beragam. Hasil penelitian Beyers dan Goossens (2003), Choi (2002), Hilmawati dan Susiati (2015), Lapsley dan Edgerton (2002), serta Orrego dan Rodriguez (2001) menunjukkan bahwa kebebasan konfliktual sebagai salah satu aspek pemisahan psikologis berhubungan positif dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Hasil penelitian Mattanah, Hancock, dan Brand (2004) menunjukkan bahwa aspek kecemasan akan perpisahan berhubungan negatif dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi.
Penelitian Beyers dan Goossens (2003) menyatakan bahwa aspek kebebasan emosional dan sikap berhubungan positif dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Hasil penelitian Kalsner dan Pistole (2003) menunjukkan
(29)
bahwa aspek ketergantungan psikologis dengan anggota keluarga berhubungan negatif dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Penelitian Choi (2002) memaparkan bahwa aspek kebebasan emosional, fungsional, dan sikap berhubungan negatif dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Hasil penelitian Lapsley dan Edgerton (2002) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara aspek kebebasan emosional, fungsional, dan sikap dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi dalam dimensi sosial dan personal-emosional. Peneliti belum menemukan penelitian lain mengenai hubungan antara aspek keterhubungan dan penyesuaian diri di perguruan tinggi.
Peneliti menemukan beberapa keterbatasan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Pertama, beberapa penelitian menggunakan alat ukur yang berbeda dalam mengukur pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Kedua, beberapa penelitian tidak mengukur pemisahan psikologis secara terpisah antara ayah dan ibu. Ketiga, beberapa penelitian hanya mengukur sebagian aspek pemisahan psikologis dan dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi. Keempat, responden penelitian yang beragam dan sebagian besar dilakukan di negara Barat. Keempat keterbatasan tersebut menyebabkan hasil penelitian menjadi beragam, tidak mampu menggambarkan pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi secara jelas dan menyeluruh, serta kurang mampu digeneralisasikan pada responden di Indonesia.
Penelitian ini hendak menguji hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi dengan mengukur seluruh aspek dan
(30)
dimensi yang mendasari kedua variabel tersebut. Penelitian ini hanya mengukur pemisahan psikologis mahasiswa dari sosok ibu karena semua mahasiswa tahun pertama dalam wawancara dengan peneliti menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ibu dibandingkan dengan ayah. Penelitian ini hanya melibatkan mahasiswa perantau karena mereka menghadapi lebih banyak tantangan dalam menyesuaikan diri daripada mahasiswa yang tinggal bersama orangtua. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini mampu memberikan informasi menyeluruh mengenai hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggipada mahasiswa tahun pertama yang merantau.
B. RUMUSAN MASALAH
Peneliti menemukan masalah berupa beberapa kasus terkait dengan kegagalan mahasiswa dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi. Sementara itu, mahasiswa perlu menyesuaikan diri agar mampu menjalani dan menyelesaikan pendidikan dengan baik. Peneliti berupaya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut dengan mencari faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi.
Peneliti menemukan variabel pemisahan psikologis sebagai salah satu faktor yang memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi, terutama pada mahasiswa yang merantau. Dari relasi sebab-akibat tersebut, penelitian ini, dengan menyadari keterbatasan metode, memilih untuk menganalisis hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri. Berdasarkan
(31)
alasan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah
terdapat hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggipadamahasiswa tahun pertama yang merantau?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya kajian ilmu psikologi pendidikan dan perkembangan, secara khusus mengenai hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu menambah atau menguatkan hasil penelitian sebelumnya terkait topik serupa.
2. Manfaat Praktis
2.1Bagi Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan pada mahasiswa tahun pertama yang merantau tentang peran penting
(32)
pemisahan psikologis dalam penyesuaian diri di perguruan tinggi di tahun pertama yang berdampak pada kehidupan perkuliahan di tahun-tahun berikutnya.
2.2Bagi Orangtua Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan pada orangtua, terkhusus pada ibu, tentang peran penting pemisahan psikologis pada mahasiswa yang merantau dalam penyesuaian diri di perguruan tinggi, sehingga mahasiswa mampu menjalani perkuliahan dengan baik.
2.3Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan pada institusi, terkhusus pada dosen pembimbing akademik, mengenai penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa yang merantau serta peran penting pemisahan psikologis dalam penyesuaian diri di perguruan tinggi.
(33)
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI
1.Pengertian Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Sebelum membahas mengenai pengertian penyesuaian diri di perguruan tinggi, perlu diketahui pengertian penyesuaian diri secara umum terlebih dahulu. Schneiders (1960) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah respon mental dan tingkah laku individu dalam memenuhi kebutuhan serta mengatasi ketegangan, frustrasi, dan konflik agar tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan yang berasal dari dalam diri individu dan tuntutan yang berasal dari lingkungan. Eshun (2006) menjelaskan bahwa penyesuaian diri adalah respon individu terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar, serta membantu individu mengatasi tantangan-tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah respon individu dalam mengatasi berbagai tuntutan yang menyertai perubahan di lingkungannya guna mencapai keselarasan antara diri dan lingkungan.
Dalam konteks perguruan tinggi, Baker dan Siryk (1984 & 1986) menyatakan bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi adalah respon individu dalam menghadapi tuntutan yang terdiri dari dimensi akademik, sosial, personal-emosional, dan kelekatan pada institusi.
(34)
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengertian penyesuaian diri di perguruan tinggi menurut Baker dan Siryk (1984 & 1986). Pengertian tersebut sesuai dengan penelitian ini yang hendak mengukur penyesuaian diri dalam konteks perguruan tinggi.
2. Dimensi dan Indikator Dimensi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Baker dan Siryk (1984 & 1986) membagi penyesuaian diri di perguruan tinggi menjadi empat dimensi:
2.1Penyesuaian Diri Akademik (Academic Adjustment)
Penyesuaian diri akademik adalah kemampuan mahasiswa untuk mengelola dan mengatasi berbagai tuntutan akademik di perguruan tinggi. Indikator dari dimensi ini adalah mampu mengaplikasikan motivasi akademik, memiliki prestasi akademik yang baik, serta mampu mengatasi tuntutan akademik.
2.2Penyesuaian Diri Sosial (Social Adjustment)
Penyesuaian diri sosial adalah kemampuan mahasiswa untuk mengelola dan mengatasi berbagai tuntutan sosial-interpesonal di perguruan tinggi. Indikator dari dimensi ini adalah terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi, mampu menjalin hubungan dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi, serta mampu mengatasi perubahan lingkungan sosial.
(35)
2.3Penyesuaian Diri Personal-Emosional (Personal-Emotional
Adjustment)
Penyesuaian diri personal-emosional adalah respon fisik dan psikologis mahasiswa terhadap berbagai tuntutan di perguruan tinggi (dalam Credé & Niehorster, 2012). Indikator dari dimensi ini adalah mampu mengontrol emosi dengan baik, memiliki persepsi yang positif terhadap tuntutan di perguruan tinggi, serta memiliki kondisi fisik yang baik.
2.4Kelekatan pada Institusi (Institutional Attachment)
Kelekatan pada institusi adalah perasaan mahasiswa mengenai keberadaan mereka di institusi (perguruan tinggi), terutama pada kualitas hubungan atau ikatan yang terbentuk antara mahasiswa dan institusi. Indikator dari dimensi ini adalah kepuasan terhadap fakultas atau program studi, kepuasan terhadap universitas, serta kepuasan terhadap status mahasiswa.
Penggunaan keempat dimensi tersebut untuk mengukur penyesuaian diri di perguruan tinggi masih menjadi pro-kontra. Beberapa penelitian menganggap bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi merupakan multidimensional, sehingga diukur dari masing-masing dimensi secara terpisah (Aspelmeier, Love, McGrill, Elliott, & Pierce, 2012; Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Salmain, Azar, & Salmani, 2014). Di sisi lain, banyak penelitian yang menganggap penyesuaian diri di perguruan tinggi sebagai unidimensional, sehingga diukur dari keseluruhan dimensi
(36)
(Beyers & Goossens, 2003; Caplan, Henderson, Henderson, & Fleming, 2002; Choi, 2002; Marmarosh & Markin, 2007; Ramos-Sánchez & Nichols, 2007). Berdasarkan temuan tersebut, peneliti memutuskan untuk mengukur penyesuaian diri di perguruan tinggi sebagai unidimensional karena keempat dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Di lingkungan perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk menyesuaikan diri dalam hal akademik serta berinteraksi dengan lingkungan sosial yang baru. Ketika mahasiswa mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan akademik dan sosial, maka mereka juga memiliki kesejahteraan fisik dan psikologis. Dengan demikian, mahasiswa memiliki kepuasan terhadap status sebagai mahasiswa serta memiliki kelekatan pada perguruan tinggi di mana mereka menuntut ilmu.
3. Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Berdasarkan hasil ulasan terhadap berbagai temuan mengenai penyesuaian diri di perguruan tinggi (Aspelmeier, Love, McGrill, Elliott, & Pierce, 2012; Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Beyers & Goossens, 2003; Credé & Niehorster, 2012; Hertel, 2002; Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000; Marmarosh & Markin, 2007; Parker, Summerfeklt, Hogan, & Majeski, 2004; Ramos-Sánchez & Nichols, 2007; Rice, Vergara, & Aldea, 2006; Schneider & Ward, 2003), peneliti menyimpulkan faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi sebagai berikut:
(37)
3.1Karakteristik Demografi
Karakteristik demografi adalah ciri yang menggambarkan perbedaan masyarakat berdasarkan etnis dan status generasi. Mahasiswa yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari etnis minoritas memiliki penyesuaian diri di perguruan tinggi yang kurang baik karena mereka kurang mendapatkan dukungan dari lingkungan (Schneider & Ward, 2003).
Status generasi memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi, terutama pada dimensi penyesuaian diri sosial (Hertel, 2002). Status generasi menunjukkan ada atau tidak generasi sebelumnya dalam suatu keluarga yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mahasiswa generasi pertama cenderung tidak terlalu terlibat dalam aktivitas sosial di kampus serta mencari teman dan pengalaman di luar kampus. Teman dari luar kampus cenderung kurang memberikan dukungan sosial yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa, sehingga mereka kurang mampu menyesuaikan diri di perguruan tinggi.
Mahasiswa generasi kedua cenderung memiliki lebih banyak pengetahuan tentang kehidupan perkuliahan, menerima lebih banyak dukungan sosial, memiliki fokus yang lebih besar pada aktivitas di perguruan tinggi, dan memiliki sumber finansial yang lebih banyak, sehingga membantu mereka menyesuaikan diri di perguruan tinggi.
(38)
3.2Persepsi Dukungan Sosial
Persepsi dukungan sosial adalah keyakinan individu bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dan ditolong oleh jaringan sosial dalam mengatasi tekanan. Dukungan sosial yang diberikan oleh teman kampus membuat mahasiswa merasa lebih terlibat dalam kehidupan perguruan tinggi, tidak merasa stres, dan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang perguruan tinggi, sehingga mereka mampu menyesuaikan diri di perguruan tinggi (Hertel, 2002).
3.3Persepsi Hubungan dengan Orangtua
Persepsi hubungan dengan orangtua adalah penilaian individu mengenai hubungan mereka dengan orangtua. Faktor ini meliputi pola asuh, kelekatan, dan pemisahan psikologis. Pola asuh autoritatif mempermudah mahasiswa menyesuaikan diri dengan lingkungan perguruan tinggi karena keluarga yang hangat, peduli, serta memiliki komunikasi yang terbuka membantu mahasiswa untuk mencapai penguasaan (prestasi) yang lebih besar dan regulasi diri yang baik (Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000).
Kelekatan preokupasi kurang membantu mahasiswa dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi. Mahasiswa dengan kelekatan jenis ini mengalami kesulitan mengembangkan identitas otonom, kurang memiliki keterampilan sosial, merasa takut terhadap penolakan, dan isolasi karena perilaku orangtua cenderung menginduksi rasa bersalah dan keraguan diri. Keterlibatan orangtua
(39)
yang berlebihan menyebabkan mahasiswa hanya memiliki sedikit sumber daya pribadi untuk menangani masalah-masalah akademik dan sosial (Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Marmarosh & Markin, 2007).
Pemisahan psikologis membantu mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena pemisahan psikologis membantu mahasiswa mencapai kemandirian dari orangtua serta memiliki perasaan positif terhadap perubahan dalam hubungan dengan orangtua (Beyers & Goossens, 2003).
3.4Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk memproses informasi emosional dan menggunakannya dalam penalaran dan aktivitas kognitif lain. Kecerdasan emosional memfasilitasi mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena mahasiswa mampu menggunakan informasi tentang perasaan mereka untuk memahami dan memandu perilaku serta mampu mengidentifikasi potensi masalah. Kecerdasan emosional juga menunjukkan bahwa mahasiswa mampu menggunakan strategi koping yang efektif dan mampu mengelola situasi yang penuh tekanan dengan cara yang tenang dan proaktif sehingga mampu bekerja dengan baik di bawah tekanan (Parker, Summerfeklt, Hogan, & Majeski, 2004).
(40)
3.5 Trait
Trait adalah dimensi kepribadian yang memengaruhi pikiran,
perasaan, dan perilaku individu dengan cara tertentu. Faktor ini meliputi ekstraversi, keramahan, keterbukaan, dan perfeksionisme. Ekstraversi, keramahan, dan keterbukaan membantu mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena mahasiswa lebih cepat menjalin pertemanan baru dan lebih siap untuk mengeksplor lingkungan baru (Credé & Niehorster, 2012).
Mahasiswa dengan perfeksionisme maladaptif kurang mampu menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena mahasiswa cenderung lebih stres serta memiliki pandangan yang lebih kaku mengenai diri sendiri dan orang lain. Mereka juga kurang memiliki solusi yang efektif dalam mengatasi masalah yang dihadapi (Rice, Vergara, & Aldea, 2006).
3.6 Core Self-Evaluation
Core self-evaluation adalah penilaian mendasar mengenai
kompetensi dan kemampuan individu yang terdiri dari efikasi diri, harga diri, dan locus of control (Judge, Bono, & Durham, 1997 dalam
Judge, Erez, Bono, & Locke, 2005). Efikasi diri membantu mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena efikasi diri berdampak pada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta ketekunan dan ketahanan dalam menghadapi berbagai situasi, terutama dalam situasi yang sulit (Feist & Feist, 2010; Ramos-Sánchez & Nichols, 2007).
(41)
Harga diri memfasilitasi penyesuaian diri di perguruan tinggi karena harga diri menjadi sumber daya psikologis dan berfungsi sebagai mekanisme koping yang membantu mahasiswa menghadapi situasi baru dan tidak pasti seperti transisi ke perguruan tinggi (Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000).
Mahasiswa dengan locus of control internal lebih mampu
melakukan penyesuaian diri di perguruan tinggi daripada mahasiswa dengan locus of control eksternal. Mahasiswa dengan locus of control
internal menyadari bahwa hanya diri mereka sendiri yang mampu mengontrol lingkungan, dan bukan lingkungan yang mengontrol diri mereka, sehingga mereka berusaha mencari cara untuk mampu menyesuaikan diri di lingkungan (Aspelmeier, Love, McGrill, Elliott, & Pierce, 2012).
Dalam penelitian ini, peneliti hendak mengkaji pemisahan psikologis dalam faktor persepsi hubungan dengan orangtua.
B. PEMISAHAN PSIKOLOGIS
1. Pengertian Pemisahan Psikologis
Istilah pemisahan psikologis pertama kali dicetuskan oleh Mahler (1968 & 1975 dalam Lapsley, Aalsma, & Varshney, 2001; Thorlakson, 1998). Mahler (1968 & 1975) menyatakan bahwa pemisahan psikologis adalah proses perkembangan ego yang terjadi pada 3 tahun pertama kehidupan (dalam Lapsley, Aalsma, & Varshney, 2001). Proses ini berkaitan dengan
(42)
hubungan emosional antara anak dengan ibu (dalam Hoffman, 1984). Pada masa ini, seorang anak mulai mampu membedakan diri mereka dengan ibu, membentuk batasan antara diri mereka dengan ibu, serta melepaskan diri dari ketergantungan pada sosok ibu (dalam Hoffman, 1984; Kroger, 2004; Rakipi, 2015).
Blos (1979) mengembangkan proses pemisahan psikologis dari tahap awal remaja hingga pasca remaja (dalam Kroger, 2004; Rakipi, 2015). Blos (1979) menjelaskan bahwa pemisahan psikologis adalah upaya seseorang untuk melepaskan diri dari sosok orangtua yang telah terinternalisasi, membangun hubungan yang lebih dewasa dengan orangtua, serta membentuk rasa diri guna mencapai kemandirian (dalam Årseth, Kroger, Martinussen & Bakken, 2009; Gnaulati & Heine, 2001; Lapsley, 2009; Rakipi, 2015).
Pengertian mengenai pemisahan psikologis terus berkembang hingga saat ini. Hoffman (1984) memaparkan bahwa pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk terpisah secara psikologis dengan orangtua serta mendapatkan rasa identitas (sense of identity) sebagai individu yang
terpisah, dengan tetap mempertahankan hubungan positif dengan orangtua. Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček (2014) menyatakan bahwa pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk membedakan diri mereka dari orangtua serta menyeimbangkan antara pemerintahan diri (self-governance) dan hubungan yang saling menghormati dengan
(43)
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengertian pemisahan psikologis menurut Hoffman (1984) serta Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček (2014) karena kedua pengertian tersebut lebih baru dan jelas. Dari pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk memiliki rasa diri sebagai individu yang berbeda dan terlepas dari orangtua, dengan tetap menjalin hubungan baik dengan orangtua.
2. Aspek dan Indikator Aspek Pemisahan Psikologis
Hoffman (1984) membagi pemisahan psikologis menjadi empat aspek, yaitu aspek kebebasan konfliktual, kebebasan emosional, kebebasan fungsional, dan kebebasan sikap. Keempat aspek tersebut telah banyak digunakan untuk mengukur pemisahan psikologis (Beyers & Goossens, 2003; Choi, 2002; Hilmawati & Susiati, 2015; Lapsley & Edgerton, 2002). Meskipun demikian, keempat aspek tersebut kurang menunjukkan aspek hubungan baik dengan orangtua. Peneliti menambahkan satu aspek yang dijelaskan oleh Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček (2014) sebagai aspek keterhubungan. Dengan demikian, kelima aspek pemisahan psikologis adalah sebagai berikut (Hoffman, 1984; Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček, 2014):
2.1Kebebasan Konfliktual (Conflictual Independence)
Kebebasan konfliktual adalah kebebasan seseorang dari perasaan negatif yang berlebihan terhadap orangtua (dalam Komidar, Zupančič,
(44)
Sočan, & Levpušček, 2014). Aspek ini ditunjukkan oleh kebebasan seseorang dari rasa bersalah, cemas, terkekang, marah, tanggung jawab, dan tidak suka yang berlebihan terhadap orangtua (Hoffman, 1984).
Indikator dari aspek ini adalah bebas dari perasaan bersalah yang berlebihan terhadap orangtua, bebas dari perasaan cemas yang berlebihan terhadap orangtua, bebas dari perasaan terkekang yang berlebihan oleh orangtua, bebas dari perasaan marah yang berlebihan terhadap orangtua, bebas dari perasaan tanggung jawab yang berlebihan terhadap orangtua, dan bebas dari perasaan tidak suka yang berlebihan terhadap orangtua.
2.2Kebebasan Emosional (Emotional Independence)
Kebebasan emosional adalah kebebasan seseorang dari kebutuhan akan persetujuan, kedekatan, dan dukungan emosional yang berlebihan dari orangtua (Hoffman, 1984). Indikator dari aspek ini adalah bebas dari kebutuhan akan persetujuan yang berlebihan dari orangtua, bebas dari kebutuhan akan kedekatan yang berlebihan dengan orangtua, dan bebas dari kebutuhan akan dukungan emosional yang berlebihan dari orangtua.
2.3 Kebebasan Fungsional (Functional Independence)
Kebebasan fungsional adalah kemampuan seseorang untuk mengelola urusan pribadi tanpa bantuan orangtua (Hoffman, 1984). Indikator dari aspek ini adalah mampu mengatasi permasalahan tanpa
(45)
bantuan orangtua, mampu mengambil keputusan tanpa bantuan orangtua, dan mampu memenuhi kebutuhan tanpa bantuan orangtua.
2.4Kebebasan Sikap (Attitudinal Independence)
Kebebasan sikap adalah kemampuan seseorang untuk memiliki gambaran diri sebagai seseorang yang unik. Gambaran diri yang unik ini ditandai oleh kemampuan seseorang untuk memiliki sikap, nilai, dan keyakinan yang berbeda dari orangtua (Hoffman, 1984). Indikator dari aspek ini adalah memiliki sikap yang berbeda dari orangtua terhadap suatu hal, memiliki nilai yang berbeda dari orangtua, dan memiliki keyakinan yang berbeda dari orangtua mengenai suatu hal.
2.5Keterhubungan (Connectedness)
Keterhubungan adalah persepsi seseorang bahwa orangtua adalah rekan yang baik. Keterhubungan ditunjukkan oleh hubungan yang saling memahami, menghormati, dan percaya antara seseorang dengan orangtua. Keterhubungan juga meliputi kesediaan untuk berkomunikasi secara terbuka (dalam Komidar, Zupančič, Levpušček, & Bjornsen, 2016).
Indikator dari aspek ini adalah seseorang menilai bahwa orangtua memahami mereka, menilai bahwa orangtua menghormati mereka, menilai bahwa orangtua mempercayai mereka, menilai bahwa orangtua bersedia untuk berkomunikasi secara terbuka, mampu memahami orangtua, mampu menghormati orangtua, mampu
(46)
mempercayai orangtua, dan bersedia untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orangtua.
3 Kematangan Pemisahan Psikologis
Pemisahan psikologis semakin matang seiring dengan perkembangan individu (Blos, 1979; Mahler, 1968 dalam Hoffman, 1984; Kroger, 2004; Rakipi, 2015). Individu telah mencapai kematangan kognitif, psikososial, dan emosional pada usia 17 tahun (Koepke & Denissen, 2012; Kroger, 2004; Rakipi, 2015). Individu mampu melihat orangtua dari sudut pandang yang berbeda melalui apresiasi peran orangtua dalam hidup mereka sekaligus identifikasi orangtua sebagai orang dewasa pada umumnya yang memiliki kelebihan, kekurangan, serta kehidupan pribadi (Koepke & Denissen, 2012; Levy-Warren, 1999; Rakipi, 2015). Individu juga telah mampu menerima tanggung jawab pribadi, membuat keputusan secara mandiri, serta memiliki kejelasan tentang siapa diri mereka, apa yang mereka inginkan, bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan masyarakat, dan dengan siapa mereka berhubungan (Arnett, 2000; Levy-Warren, 1999).
C. MAHASISWA TAHUN PERTAMA YANG MERANTAU
1. Pengertian Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau
Departemen Pendidikan Nasional (2008) menyatakan bahwa mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Departemen
(47)
Pendidikan Nasional (2008) menjelaskan bahwa merantau adalah pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa mahasiswa tahun pertama yang merantau adalah individu yang meninggalkan daerah asalnya untuk mencari ilmu dengan menjalani pendidikan pada tahun pertama di suatu perguruan tinggi.
2. Tahap Perkembangan dan Karakteristik Mahasiswa Tahun Pertama
Sarwono (1978) menyatakan bahwa mahasiswa memiliki rentang usia antara 18 hingga 30 tahun. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa tahun pertama berada pada usia sekitar 18 tahun. Arnett (2000) menjelaskan bahwa individu yang berada dalam rentang usia antara 18 hingga 25 tahun berada pada tahap perkembangan emerging adulthood.
Arnett (2015) memaparkan lima karakteristik tahap perkembangan
emerging adulthood sebagai berikut:
2.1Eksplorasi Identitas (Identity Explorations)
Emerging adult mengeksplorasi identitas diri, terutama dalam
dimensi percintaan dan karir. Mereka belajar untuk lebih memahami diri sendiri serta mengetahui apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka lebih mandiri dibandingkan saat remaja, tetapi belum memasuki kehidupan dewasa yang stabil seperti pekerjaan jangka panjang, pernikahan, dan menjadi orangtua.
(48)
2.2Ketidakstabilan (Instability)
Emerging adult mengalami periode kehidupan yang penuh tekanan
dan tidak stabil karena rencana mereka untuk menjalani kehidupan mengalami berbagai perbaikan. Periode kehidupan ini membuat mereka belajar sesuatu mengenai diri mereka sendiri, sehingga mampu mengambil langkah untuk memperjelas masa depan seperti apa yang mereka inginkan.
2.3Memfokuskan Perhatian pada Diri Sendiri (Self-Focus)
Individu pada masa ini memiliki paling sedikit kewajiban terhadap orang lain, sehingga mereka mampu memfokuskan perhatian pada diri sendiri. Dengan memfokuskan perhatian pada diri sendiri, emerging adult mengembangkan berbagai kemampuan untuk kehidupan
sehari-hari serta mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai siapa diri mereka dan apa yang mereka inginkan dari kehidupan mereka. Mereka mulai membangun suatu fondasi untuk kehidupan di masa dewasa kelak.
2.4Merasa Berada di antara Remaja Menuju Dewasa (Feeling
In-Between)
Emerging adult tidak lagi merasa bahwa diri mereka adalah
seorang remaja, namun mereka juga belum merasa sebagai seseorang yang telah dewasa.
(49)
2.5Kemungkinan/Optimisme (Possibilities/Optimism)
Emerging adult memiliki kesempatan luas untuk melakukan
perubahan pada hidup mereka dengan kemungkinan-kemungkinan yang positif untuk masa depannya.
3. Dinamika Mahasiswa yang Merantau
Nasution (1997) menjelaskan bahwa mahasiswa yang merantau mengalami perubahan dalam lingkungan fisik, biologis, budaya, psikologis, dan ekonomi. Perubahan lingkungan fisik terlihat pada mahasiswa perantau yang kini tidak lagi tinggal bersama orangtua. Bagi mahasiswa perantau yang kini tinggal di daerah padat penghuni seperti kos atau asrama, mereka harus menggunakan sarana secara bergiliran serta harus bertoleransi dengan penghuni lain.
Perubahan biologis tampak pada perubahan gizi karena menu makanan yang dikonsumsi harus disesuaikan dengan kondisi keuangan. Perubahan budaya meliputi perbedaan bahasa serta norma sosial yang berlaku di masyarakat sekitar. Perubahan psikologis terlihat dari mahasiswa perantau yang menjadi lebih mandiri karena dengan hidup terpisah dari orangtua, mereka belajar untuk bertanggung jawab dan bekerja sama dengan orang lain. Perubahan ekonomi tampak dari perubahan biaya hidup seperti harga barang kebutuhan sehari-hari di perantauan yang lebih mahal.
(50)
D. HUBUNGAN ANTARA ORANGTUA DAN MAHASISWA TAHUN
PERTAMA
Mahasiswa tahun pertama berada pada tahap perkembangan emerging adulthood (Arnett, 2000). Pada tahap perkembangan ini, mahasiswa belajar
untuk berhubungan dengan orangtua sebagai dua orang dewasa yang saling menghormati (Santrock, 2014a). Hubungan antara orangtua dan emerging adulthood tidak lepas dari hubungan pada tahap perkembangan sebelumnya.
Hubungan antara ibu dan anak lebih dahulu terjalin daripada hubungan antara ayah dan anak. Hubungan antara ibu dan anak sudah mulai terjalin sejak anak masih berada di dalam kandungan ibu (Brandon, Pitts, Denton, Stringer, & Evans, 2009 dalam Maas, 2013). Setelah anak lahir, ibu juga lebih banyak berperan dalam mengasuh anak daripada ayah, sehingga anak cenderung lebih terikat kepada ibu (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009; Parke & Clarke-Stewart, 2011 dalam Santrock, 2014b; Vergara, 2011 dalam Bozhenko, 2011).
Pada masa remaja, anak juga memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ibu daripada ayah. Ibu tidak hanya membuat dan menegakkan aturan, tetapi juga mendengarkan masalah remaja, terlibat dalam perasaan dan kebutuhan remaja, berbagi rahasia, serta menunjukkan rasa hormat terhadap cara pandang remaja. Interaksi tersebut berkontribusi terhadap rasa keterhubungan pada remaja. Di sisi lain, remaja cenderung memandang ayah mereka sebagai figur otoriter. Hubungan antara ayah dan anak remaja cenderung kurang intim (Youniss & Smollar, 1994).
(51)
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa anak memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ibu daripada ayah. Dengan demikian, lebih tepat apabila penelitian ini mengukur pemisahan psikologis mahasiswa dari sosok ibu.
E. TEMUAN-TEMUAN YANG RELEVAN
Beyers dan Goossens (2003) melakukan penelitian mengenai hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada 969 mahasiswa tahun pertama, ketiga, dan kelima di sebuah universitas di Belgia. Sebagian besar responden tersebut tidak tinggal bersama orangtua. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemisahan psikologis berhubungan positif dengan keseluruhan dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi.
Penelitian Delhaye, Kempenaers, Linkowski, Stroobants, dan Goosens (2012) menyatakan bahwa pemisahan psikologis berhubungan positif signifikan dengan penyesuaian diri emosional pada 350 mahasiswa kedokteran tahun kedua di Belgia. Hasil penelitian Hilmawati dan Susiati (2015) pada 68 mahasiswa psikologi Universitas Padjajaran yang tinggal terpisah dari orangtua menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi.
Hasil penelitian Choi (2002) menyatakan bahwa kebebasan konfliktual sebagai salah satu aspek pemisahan psikologis berhubungan positif signifikan dengan keseluruhan dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi pada 170 mahasiswa Korea-Amerika tahun pertama hingga tahun keempat di Amerika
(52)
Serikat. Responden penelitian tersebut terdiri dari mahasiswa yang tinggal bersama orangtua maupun yang tinggal terpisah dari orangtua.
Penelitian Orrego dan Rodriguez (2001) menunjukkan bahwa aspek kebebasan konfliktual berhubungan positif dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada 94 mahasiswa Universitas Miami, Amerika Serikat yang sebagian besar tidak tinggal bersama orangtua. Hasil penelitian Lapsley dan Edgerton (2002) terhadap 156 mahasiswa tahun pertama hingga tingkat ketiga di sebuah universitas di Kanada juga menyatakan bahwa aspek kebebasan konfliktual dari sosok ibu berhubungan positif signifikan dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi dalam dimensi sosial dan personal-emosional. Responden penelitian tersebut terdiri dari mahasiswa yang tinggal bersama orangtua maupun yang tinggal terpisah dari orangtua.
Penelitian Choi (2002) pada 170 mahasiswa Korea-Amerika tahun pertama hingga tahun keempat di Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa aspek kebebasan emosional, fungsional, dan sikap berhubungan negatif dengan keseluruhan dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi. Penelitian Hilmawati dan Susiati (2015) memaparkan bahwa aspek kebebasan emosional berhubungan negatif dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi dalam dimensi sosial pada 68 mahasiswa psikologi Universitas Padjajaran.
Hasil penelitian Lapsley dan Edgerton (2002) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aspek kebebasan emosional, fungsional, dan sikap dari sosok ibu dengan penyesuaian diri di perguruan
(53)
tinggi dalam dimensi sosial dan personal-emosional pada 156 mahasiswa tahun pertama hingga tingkat ketiga di sebuah universitas di Kanada.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang beragam (positif, negatif, signifikan, dan tidak signifikan) antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Hubungan yang beragam merupakan akibat dari alat ukur yang berbeda dan pengukuran pemisahan psikologis yang tidak memisahkan antara ayah dan ibu. Beberapa penelitian hanya mengukur sebagian aspek pemisahan psikologis dan dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi. Penelitian-penelitian tersebut memiliki cacah responden yang berbeda serta melibatkan responden dari berbagai tingkat pendidikan, tempat tinggal, dan latar belakang budaya.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini hendak menguji hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi dengan mengukur seluruh aspek dan dimensi yang mendasari kedua variabel tersebut. Penelitian ini juga hendak memperkaya informasi mengenai hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi dengan memfokuskan responden pada mahasiswa tahun pertama di Indonesia yang merantau, serta hanya mengukur pemisahan psikologis mahasiswa dari sosok ibu.
(54)
F. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA PEMISAHAN PSIKOLOGIS
DAN PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI
Pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk memiliki rasa diri sebagai individu yang berbeda dan terlepas dari orangtua, dengan tetap menjalin hubungan baik dengan orangtua. Dalam penelitian ini, pemisahan psikologis terdiri dari lima aspek yaitu kebebasan konfliktual, kebebasan emosional, kebebasan fungsional, kebebasan sikap, dan keterhubungan. Mahasiswa perantau tahun pertama dengan pemisahan psikologis yang baik menunjukkan bahwa mereka memiliki kelima aspek tersebut.
Kebebasan konfliktual mengindikasikan bahwa mahasiswa bebas dari perasaan bersalah, cemas, terkekang, marah, tanggung jawab, dan tidak suka yang berlebihan terhadap orangtua. Kebebasan mahasiswa bebas dari perasaan negatif yang berlebihan terhadap orangtua berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengontrol emosi dengan baik.
Kebebasan mahasiswa dari perasaan terkekang yang berlebihan oleh orangtua berhubungan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengaplikasikan motivasi akademik, terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi, dan menjalin hubungan dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa tidak merasa dibatasi oleh orangtua dalam melakukan suatu hal yang berkaitan dengan kehidupan di perguruan tinggi. Perasaan tersebut berkaitan dengan kepuasan mahasiswa terhadap status mereka sebagai mahasiswa.
(55)
Kebebasan emosional menunjukkan bahwa mahasiswa bebas dari kebutuhan akan persetujuan, kedekatan, dan dukungan emosional yang berlebihan dari orangtua. Kebebasan dari kebutuhan akan persetujuan yang berlebihan dari orangtua berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengaplikasikan motivasi akademik, terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi, dan menjalin hubungan dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa mampu mempertanggungjawabkan tindakan mereka, sehingga mereka tidak lagi memerlukan persetujuan yang berlebihan dari orangtua.
Kebebasan dari kebutuhan akan kedekatan yang berlebihan dengan orangtua berhubungan dengan kemampuan mahasiswa untuk menjalin hubungan dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa menyadari bahwa mereka mampu menjalin kedekatan dengan orang lain, bukan hanya dengan orangtua. Kebebasan dari kebutuhan akan dukungan emosional yang berlebihan dari orangtua berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengatasi tuntutan akademik dan mengatasi perubahan lingkungan sosial di lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa mampu mengatasi permasalahan tanpa memerlukan keterlibatan orangtua secara emosional.
Kebebasan fungsional mengindikasikan bahwa mahasiswa mampu mengatasi masalah, mengambil keputusan, serta memenuhi kebutuhan tanpa bantuan dari orangtua. Kemampuan untuk mengatasi permasalahan tanpa bantuan orangtua berhubungan dengan kemampuan mahasiswa untuk
(56)
mengatasi tuntutan akademik dan mengatasi perubahan lingkungan sosial. Mahasiswa mampu mencari solusi permasalahan tanpa melibatkan orangtua.
Kemampuan untuk mengambil keputusan tanpa bantuan orangtua berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengaplikasikan motivasi akademik, terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi, dan menjalin hubungan dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa mampu menentukan cara mengaplikasikan motivasi akademik yang dimiliki, mampu memutuskan kegiatan apa yang ingin diikuti, serta memutuskan dengan siapa mereka berteman atau berhubungan tanpa perlu melibatkan orangtua. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tanpa bantuan orangtua berhubungan dengan kemampuan mahasiswa untuk memiliki kondisi fisik yang baik. Mahasiswa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa bantuan orangtua.
Kebebasan sikap menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki sikap, nilai, dan keyakinan yang berbeda dari orangtua. Sikap, nilai, dan keyakinan yang berbeda dari orangtua berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengaplikasikan motivasi akademik dan mengatasi tuntutan akademik. Sikap, nilai, dan keyakinan yang berbeda dari orangtua juga berhubungan dengan kemampuan mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi, menjalin hubungan dengan orang lain di perguruan tinggi, mengatasi perubahan lingkungan sosial, serta memiliki persepsi yang positif terhadap tuntutan di perguruan tinggi. Mahasiswa memiliki sikap, nilai, dan keyakinan
(57)
yang lebih sesuai untuk menghadapi tuntutan di perguruan tinggi yang dijalani saat ini.
Keterhubungan mengindikasikan penilaian mahasiswa bahwa orangtua memahami, menghormati, mempercayai, dan bersedia berkomunikasi secara terbuka dengan mereka. Penilaian mahasiswa bahwa orangtua memahami, menghormati, dan mempercayai mereka berhubungan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengaplikasikan motivasi akademik dan mengatasi tuntutan akademik. Penilaian tersebut juga berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi, menjalin hubungan dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi, dan mengatasi perubahan lingkungan sosial. Mahasiswa menilai bahwa orangtua memahami dan menerima motivasi akademik yang mereka miliki, memahami dan menerima kegiatan yang mereka ikuti, memahami hubungan sosial yang mereka inginkan, dan mempercayai tindakan yang mereka lakukan.
Keterhubungan juga menunjukkan bahwa mahasiswa memahami, menghormati, mempercayai, dan bersedia berkomunikasi secara terbuka dengan orangtua. Kemampuan mahasiswa untuk memahami, menghormati, mempercayai, dan berkomunikasi secara terbuka dengan orangtua berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk mengontrol emosi dengan baik. Mahasiswa mampu menerima orang lain sebagaimana adanya dan mampu menjalin hubungan sosial dengan baik. Kemampuan tersebut berkaitan dengan kemampuan mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi dan menjalin hubungan dengan orang lain di perguruan tinggi. Dengan
(58)
demikian, mahasiswa juga mampu memiliki kepuasan terhadap status mahasiswa.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pemisahan psikologis yang baik berkaitan dengan kemampuan mahasiswa tahun pertama yang merantau untuk mengatasi tuntutan akademik dan interpesonal di perguruan tinggi, memberikan respon fisik dan psikologis yang baik terhadap berbagai tuntutan di perguruan tinggi, serta memiliki perasaan positif terhadap institusi dan keberadaan mereka di perguruan tinggi. Dengan demikian, mahasiswa yang berhasil melakukan pemisahan psikologis mampu memiliki penyesuaian diri di perguruan tinggi yang baik. Ringkasan dinamika hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi dapat dilihat pada Bagan 1.
(59)
Dinamika hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi Kebebasan Konfliktual (bebas dari
perasaaan bersalah, cemas, terkekang, marah, tanggung jawab, dan tidak suka
yang berlebihan terhadap orangtua) Kebebasan Emosional (bebas dari kebutuhan akan persetujuan, kedekatan, dan dukungan emosional yang berlebihan
dari orangtua)
Kebebasan Fungsional (mampu mengatasi permasalahan, mengambil keputusan, dan memenuhi kebutuhan
tanpa bantuan orangtua)
Kebebasan Sikap (memiliki sikap, nilai, dan keyakinan yang berbeda dari
orangtua) Pemisahan Psikologis yang Baik Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi yang Baik Penyesuaian Diri Akademik (mampu
mengaplikasikan motivasi akademik, memiliki prestasi akademik yang baik, mampu mengatasi tuntutan akademik) Penyesuaian Diri Sosial (terlibat dalam
kegiatan di perguruan tinggi, mampu menjalin hubungan dengan orang lain di
lingkungan perguruan tinggi, mampu mengatasi perubahan ligkungan sosial
Penyesuaian Diri Personal-Emosional (mampu mengontrol emosi dengan baik,
memiliki persepsi positif terhadap tuntutan di perguruan tinggi, memiliki
kondisi fisik yang baik) Kelekatan pada Institusi (kepuasan terhadap fakultas atau program studi, kepuasan terhadap universitas, kepuasan
terhadap status mahasiswa)
Kemandirian
Kemampuan menjalin hubungan sosial
Keterhubungan (menilai bahwa orangtua memahami, menghormati, mempercayai,
dan bersedia berkomunikasi secara terbuka; mampu memahami, menghormati, mempercayai, dan bersedia berkomunikasi secara terbuka
(60)
G. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau.
(61)
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional dan desain penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk
menguji hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau melalui pengumpulan data pada satu waktu saja. Jenis dan desain penelitian ini tidak memungkinkan peneliti untuk menguji pengaruh pemisahan psikologis terhadap penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau.
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Variabel X: pemisahan psikologis.
2.Variabel Y: penyesuaian diri di perguruan tinggi.
C. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional dari tiap variabel adalah sebagai berikut:
1. Pemisahan Psikologis
Pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk memiliki rasa diri sebagai individu yang berbeda dan terlepas dari orangtua, dengan
(62)
tetap menjalin hubungan baik dengan orangtua. Penelitian ini memfokuskan pemisahan psikologis dari sosok ibu. Pemisahan psikologis diukur menggunakan Skala Pemisahan Psikologis yang disusun berdasarkan aspek pemisahan psikologis, yaitu kebebasan konfliktual, kebebasan emosional, kebebasan fungsional, kebebasan sikap, dan
keterhubungan (Hoffman, 1984; Komidar, Zupančič, Sočan, & Levpušček,
2014). Skor pemisahan psikologis diperoleh dari keseluruhan skor tiap aspek. Semakin tinggi skor yang diperoleh responden menunjukkan pemisahan psikologis yang semakin baik. Semakin rendah skor yang diperoleh responden menunjukkan pemisahan psikologis yang semakin buruk.
2. Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Penyesuaian diri di perguruan tinggi adalah respon individu dalam menghadapi tuntutan yang terdiri dari dimensi akademik, sosial, personal-emosional, dan kelekatan pada institusi. Penyesuaian diri di perguruan tinggi diukur menggunakan Skala Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi yang disusun oleh peneliti dan rekan kelompok penelitian payung berdasarkan keempat dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi (Baker & Siryk, 1984 & 1986). Skor penyesuaian diri di perguruan tinggi diperoleh dari keseluruhan skor tiap dimensi. Semakin tinggi skor yang diperoleh responden menunjukkan penyesuaian diri di perguruan tinggi
(63)
yang semakin baik. Semakin rendah skor yang diperoleh responden menunjukkan penyesuaian diri di perguruan tinggi yang semakin buruk.
D. RESPONDEN PENELITIAN
Peneliti memilih responden penelitian berdasarkan kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (purposive sampling) (Morissan, 2014).
Kriteria responden antara lain mahasiswa Universitas Sanata Dharma angkatan 2016, berusia 18-21 tahun, pertama kali menjalani pendidikan di perguruan tinggi, masih memiliki ibu, dan tinggal terpisah dari orangtua, terutama ibu.
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma angkatan 2016 dipilih sebagai responden karena merupakan mahasiswa tahun pertama di tahun ajaran 2016/2017. Usia 18-21 tahun dipilih sebagai kriteria responden karena menunjukkan usia mahasiswa tahun pertama secara umum. Mahasiswa yang baru pertama kali menjalani pendidikan di perguruan tinggi dipilih sebagai responden penelitian karena belum pernah memiliki pengalaman menjalani pendidikan di perguruan tinggi, sehingga diharapkan mampu menunjukkan penyesuaian diri di perguruan tinggi yang sesuai dengan penelitian ini.
Mahasiswa yang masih memiliki ibu dipilih sebagai responden penelitian karena penelitian ini mengukur pemisahan psikologis dari sosok ibu, sehingga diharapkan mampu menunjukkan pemisahan psikologis yang sesuai dengan penelitian ini. Mahasiswa yang tinggal terpisah dari orangtua, terutama ibu,
(64)
dipilih sebagai responden penelitian karena menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut adalah mahasiswa perantau.
E. METODE PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penyusunan Blueprint
Peneliti menyusun blueprint skala pemisahan psikologis berdasarkan
teori yang disampaikan oleh Hoffman (1984) serta Komidar, Zupančič,
Sočan, dan Levpušček (2014). Tabel 1 menunjukkan blueprint skala
pemisahan psikologis.
Peneliti dan rekan kelompok penelitian payung menyusun blueprint
skala penyesuaian diri di perguruan tinggi berdasarkan teori yang disampaikan oleh Baker dan Siryk (1984 & 1986). Tabel 2 menyajikan
(65)
Tabel 1.
Blueprint skala pemisahan psikologis
Aspek Indikator Bobot (%) Total (%)
Kebebasan
Konfliktual Bebas dari perasaan bersalah yang berlebihan 4,35%
26%
Bebas dari perasaan cemas yang berlebihan 4,35%
Bebas dari perasaan terkekang yang berlebihan 4,35%
Bebas dari perasaan marah yang berlebihan 4,35%
Bebas dari perasaan tanggung jawab yang
berlebihan 4,35%
Bebas dari perasaan tidak suka yang berlebihan 4,35%
Kebebasan
Emosional Bebas dari kebutuhan akan persetujuan yang berlebihan 4,35%
13% Bebas dari kebutuhan akan kedekatan yang
berlebihan 4,35%
Bebas dari kebutuhan akan dukungan
emosional yang berlebihan 4,35%
Kebebasan
Fungsional Mampu mengatasi permasalahan tanpa bantuan ibu 4,35%
13% Mampu mengambil keputusan tanpa bantuan
ibu 4,35%
Mampu memenuhi kebutuhan tanpa bantuan
ibu 4,35%
Kebebasan Sikap
Memiliki sikap yang berbeda dari ibu terhadap
suatu hal 4,35%
13%
Memiliki nilai yang berbeda dari ibu 4,35%
Memiliki keyakinan yang berbeda dari ibu
mengenai suatu hal 4,35%
Keterhubungan Menilai bahwa ibu memahami mereka 4,35%
35%
Menilai bahwa ibu menghormati mereka 4,35%
Menilai bahwa ibu mempercayai mereka 4,35%
Menilai bahwa ibu bersedia untuk
berkomunikasi secara terbuka 4,35%
Mampu memahami ibu 4,35%
Mampu menghormati ibu 4,35%
Mampu mempercayai ibu 4,35%
Bersedia untuk berkomunikasi secara terbuka
dengan ibu 4,35%
(66)
Tabel 2.
Blueprint skala penyesuaian diri di perguruan tinggi
Dimensi Indikator Bobot (%) Total (%)
Penyesuaian Diri
Akademik
Mampu mengaplikasikan
motivasi akademik 8,34%
25% Memiliki prestasi akademik
yang baik 8,34%
Mampu mengatasi tuntutan
akademik 8,34%
Penyesuaian Diri Sosial
Terlibat dalam kegiatan di
perguruan tinggi 8,34%
25% Mampu menjalin hubungan
dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi
8,34% Mampu mengatasi perubahan
lingkungan sosial 8,34%
Penyesuaian Diri Personal-Emosional
Mampu mengontrol emosi
dengan baik 8,34%
25% Memiliki persepsi yang positif
terhadap tuntutan di perguruan tinggi
8,34% Memiliki kondisi fisik yang
baik 8,34%
Kelekatan
pada Institusi Kepuasan terhadap fakultas atau program studi 8,34%
25% Kepuasan terhadap universitas 8,34%
Kepuasan terhadap status
mahasiswa 8,34%
TOTAL (%) 100%
2. Focused Group Discussion
Peneliti melakukan focused group discussion (FGD) guna
mengidentifikasi bentuk-bentuk perilaku yang dianggap sebagai indikator pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Dengan demikian, peneliti menemukan pedoman penulisan item yang sesuai dengan konteks calon responden di lapangan. FGD dilaksanakan pada
(67)
bulan November 2016 dan melibatkan 15 mahasiswa yang memenuhi kriteria responden penelitian. Delapan mahasiswa mengikuti FGD pemisahan psikologis dan tujuh mahasiswa mengikuti FGD penyesuaian diri di perguruan tinggi. Hasil FGD adalah sebagai berikut:
2.1Pemisahan Psikologis
Hasil FGD mengindikasikan bahwa mahasiswa tahun pertama yang merantau merasa bersalah ketika tidak berkata jujur kepada ibu atau ketika tidak bersedia meminta maaf setelah melakukan kesalahan, merasa cemas ketika ibu sakit, tidak merasa terkekang ketika ibu mengingatkan mereka untuk menjaga diri, serta merasa tidak suka ketika ibu memaksa mereka untuk melakukan suatu hal sesuai dengan keinginan ibu.
Mahasiswa menyatakan bahwa mereka meminta persetujuan dari ibu saat memilih jurusan kuliah atau memilih pasangan, memiliki keinginan untuk menjalin komunikasi dengan ibu, serta memiliki keinginan untuk didukung ketika mengalami masalah.
Mahasiswa memaparkan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi tanpa meminta bantuan ibu, mengambil suatu keputusan tanpa perlu meminta pendapat dari ibu, dan mengatur keperluan pribadi tanpa bantuan ibu. Mereka juga memiliki perbedaan dengan ibu mengenai cara memecahkan masalah atau menjalin relasi dengan orang lain, perbedaan kemandirian dan
(68)
optimisme, serta perbedaan dalam meyakini suatu mitos atau memperkirakan suatu hal.
Hasil FGD juga mengindikasikan bahwa mahasiswa memiliki penilaian bahwa ibu mampu mengetahui perasaan yang mereka rasakan, mengetahui sifat dan kemampuan mereka, menerima pendapat dan keputusan mereka, mempercayai bahwa mereka mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka sendiri, dan bersedia umtuk menceritakan masalah yang dihadapi kepada mereka.
Mahasiswa juga mampu mengetahui perasaan ibu dan alasan dari tindakan yang dilakukan oleh ibu, mampu menerima keputusan ibu, percaya bahwa ibu tidak mempermalukan mereka, mempercayai penilaian yang diberikan oleh ibu mengenai suatu hal, bersedia untuk menceritakan masalah mereka kepada ibu, serta bersedia untuk mengungkapkan keinginan mereka kepada ibu.
Hasil FGD tersebut sesuai dengan blueprint yang telah disusun oleh
peneliti dan menjadi data tambahan yang memperkuat teori. Lampiran 1 memaparkan daftar pertanyaan FGD mengenai pemisahan psikologis.
2.2Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Hasil FGD mengindikasikan bahwa mahasiswa tahun pertama yang merantau menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen, belajar dengan rutin, memahami materi yang diajarkan oleh dosen, memahami cara dosen mengajar, dan memperoleh nilai yang baik.
(1)
170
3.
Hasil Uji Linearitas antara Aspek Pemisahan Psikologis dan Penyesuaian
Diri di Perguruan Tinggi
a.
Aspek Kebebasan Konfliktual dan Penyesuaian Diri di Perguruan
Tinggi
ANOVA Table
Sum of Squares df
Mean
Square F Sig. Penyesuaian_Diri *
PP_KK
Between Groups
(Combined) 2300,229 15 153,349 2,238 ,010 Linearity 811,683 1 811,683 11,844 ,001 Deviation
from Linearity
1488,546 14 106,325 1,551 ,107
Within Groups 6716,131 98 68,532 Total 9016,360 113
b.
Aspek Kebebasan Emosional dan Penyesuaian Diri di Perguruan
Tinggi
ANOVA Table
Sum of Squares df
Mean
Square F Sig. Penyesuaian_Diri *
PP_KE
Between Groups
(Combined) 1613,274 14 115,234 1,541 ,111 Linearity 37,815 1 37,815 ,506 ,479 Deviation
from Linearity
1575,459 13 121,189 1,621 ,092
Within Groups 7403,086 99 74,779 Total 9016,360 113
c.
Aspek Kebebasan Fungsional dan Penyesuaian Diri di Perguruan
Tinggi
ANOVA Table
Sum of Squares df
Mean
Square F Sig. Penyesuaian_Diri *
PP_KF
Between Groups
(Combined) 928,724 12 77,394 ,967 ,486 Linearity 10,533 1 10,533 ,132 ,718 Deviation
from Linearity
918,190 11 83,472 1,042 ,416
Within Groups 8087,636 101 80,076 Total 9016,360 113
(2)
171
d.
Aspek Kebebasan Sikap dan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
ANOVA Table
Sum of Squares df
Mean
Square F Sig. Penyesuaian_Diri *
PP_KS
Between Groups
(Combined) 709,063 12 59,089 ,718 ,730 Linearity 3,443 1 3,443 ,042 ,838 Deviation
from Linearity
705,620 11 64,147 ,780 ,659
Within Groups 8307,297 101 82,250 Total 9016,360 113
e.
Aspek Keterhubungan dan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
ANOVA Table
Sum of Squares df
Mean
Square F Sig. Penyesuaian_Diri *
PP_K
Between Groups
(Combined) 3046,301 27 112,826 1,625 ,048 Linearity 973,702 1 973,702 14,026 ,000 Deviation
from Linearity
2072,599 26 79,715 1,148 ,310
Within Groups 5970,059 86 69,419 Total 9016,360 113
(3)
172
LAMPIRAN 16
Hasil Uji Korelasi
1.
Hasil Uji Korelasi Product-Moment Pearson antara Pemisahan Psikologis
dan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Correlations
Pemisahan_Psikologis Penyesuaian_Diri Pemisahan_Psikologis Pearson Correlation 1 ,275**
Sig. (1-tailed) ,002
N 114 114
Penyesuaian_Diri Pearson Correlation ,275** 1
Sig. (1-tailed) ,002
N 114 114
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
2.
Hasil Uji Korelasi antara Pemisahan Psikologis dan Dimensi
Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Nonparametric Correlations
Correlations
Pemisahan
_Psikologis PD_A PD_PE PD_KI Spearman's rho Pemisahan_
Psikologis
Correlation
Coefficient 1,000 ,255** ,232** ,240** Sig. (1-tailed) . ,003 ,007 ,005 N 114 114 114 114 PD_A Correlation
Coefficient ,255** 1,000 ,351** ,263** Sig. (1-tailed) ,003 . ,000 ,002 N 114 114 114 114 PD_PE Correlation
Coefficient ,232** ,351** 1,000 ,405** Sig. (1-tailed) ,007 ,000 . ,000 N 114 114 114 114 PD_KI Correlation
Coefficient ,240** ,263** ,405** 1,000 Sig. (1-tailed) ,005 ,002 ,000 . N 114 114 114 114 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
(4)
173
Correlations
Correlations
Pemisahan_
Psikologis PD_S Pemisahan_Psikologis Pearson Correlation 1 ,199*
Sig. (1-tailed) ,017
N 114 114
PD_S Pearson Correlation ,199* 1
Sig. (1-tailed) ,017
N 114 114
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
3.
Hasil Uji Korelasi
Spearman’s Rho
antara Aspek Pemisahan Psikologis
dan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Nonparametric Correlations
Correlations
PP_KK PP_KE PP_KF PP_KS PP_K
Penye suaian _Diri Spearman's rho PP_KK Correlation
Coefficient 1,000 ,109 ,200* ,146 ,393** ,354** Sig. (1-tailed) . ,123 ,017 ,061 ,000 ,000 N 114 114 114 114 114 114 PP_KE Correlation
Coefficient ,109 1,000 ,495** ,364** -,246** -,057 Sig. (1-tailed) ,123 . ,000 ,000 ,004 ,275 N 114 114 114 114 114 114 PP_KF Correlation
Coefficient ,200* ,495** 1,000 ,331** ,023 ,001 Sig. (1-tailed) ,017 ,000 . ,000 ,405 ,495 N 114 114 114 114 114 114 PP_KS Correlation
Coefficient ,146 ,364** ,331** 1,000 -,037 -,006 Sig. (1-tailed) ,061 ,000 ,000 . ,349 ,475 N 114 114 114 114 114 114 PP_K Correlation
Coefficient ,393** -,246** ,023 -,037 1,000 ,377** Sig. (1-tailed) ,000 ,004 ,405 ,349 . ,000 N 114 114 114 114 114 114 Penyesuaian_
Diri
Correlation
Coefficient ,354** -,057 ,001 -,006 ,377** 1,000 Sig. (1-tailed) ,000 ,275 ,495 ,475 ,000 . N 114 114 114 114 114 114 *. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
(5)
HUBUNGAN ANTARA PEMISAHAN PSIKOLOGIS DAN
PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI
PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA
YANG MERANTAU
Jessica Dhoria Arywibowo
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau. Hipotesis menyatakan terdapat hubungan positif antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Responden berjumlah 114 mahasiswa tahun pertama Universitas Sanata Dharma yang tidak tinggal bersama dengan orangtua, khususnya ibu. Pemisahan psikologis diukur menggunakan Skala Pemisahan Psikologis dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,737. Penyesuaian diri di perguruan tinggi diukur menggunakan Skala Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,809. Hasil uji korelasi Product-Moment Pearson menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,275 dengan signifikansi 0,002. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan positif antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama yang merantau.
Kata kunci: pemisahan psikologis, penyesuaian diri di perguruan tinggi, mahasiswa tahun pertama, merantau.
(6)
CORRELATION BETWEEN PSYCHOLOGICAL SEPARATION AND
COLLEGE ADJUSTMENT AMONG SOJOURNING FRESHMEN
Jessica Dhoria Arywibowo
ABSTRACT
This research aimed to examine the correlation between psychological separation and college adjustment among sojourning freshmen. Hypothesis said that there was a positive correlation between psychological separation and college adjustment among sojourning freshmen. This research was quantitative study using a correlation method. Participants were 114 sojourning freshmen in Sanata Dharma University who were currently not living with their parents, more specifically their mothers. Psychological separation was measured using Psychological Separation Scale with a reliability coefficient of 0.737. College adjustment was measured using College Adjustment Scale with a reliability coefficient of 0.809. The result of a Pearson Product-Moment correlation method showed correlation coefficient of 0.275 with a significance of 0.002. The hypothesis is accepted that there is a positive correlation between psychological separation and college adjustment among sojourning freshmen.