Membangun aturan kabur dari data numeris.

(1)

A B S T R A K

Membangun aturan kabur dari data numeris dapat dicari dengan beberapa cara, yaitu metode penyebaran balik, metode kuadrat terkecil dan metode bentuk tabel. Metode bentuk tabel dipilih karena metode ini lebih mudah dan lebih sederhana daripada kedua metode lainnya.

Metode bentuk tabel ini disajikan dengan menggunakan aturan kabur JIKA- MAKA. Untuk membangun aturan kabur dari data numeris dibutuhkan empat langkah, yaitu mendefinisikan himpunan kabur pada ruang semesta input dan output, membangun aturan kabur dari data pasangan berurutan, menentukan derajat kebenaran dari masing-masing aturan, dan menyusun tabel look-up. Hasil yang diperoleh dari metode ini adalah sebuah tabel.


(2)

ABSTRACT

Generating fuzzy rules from numerical data can be found with many ways, like back-propagation algorithm, orthogonal least squares algorithm, and table-lookup scheme. Table-lookup scheme method is a simple method and more easier than other methods.

Table-lookup scheme method is designed with linguistic fuzzy IF-THEN rules and need four step to generate fuzzy rules from numerical data. The steps are define the input and output spaces into fuzzy regions, generate fuzzy rules from given data pairs, assign a degree to each rule, and create a combined fuzzy rule base. The result from this methods is table-lookup scheme.


(3)

MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Matematika

Oleh:

Athanasia Anisa Angki P NIM : 003114018

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

GENERATING FUZZY RULES OF NUMERICAL DATA

Thesis

Presented as Partial Fulfillment of Requirements to Obtain the Sarjana Sains Degree

In Mathematics

By

Athanasia Anisa Angki P Student Number : 003114018

MATHEMATICS DEPARTEMENT SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY

SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

!

"

#

$%

&'()*+

"

,

,

'

#

"

,

-,

)

#

.

,


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 2008 Penulis


(9)

(10)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “ Membangun Aturan Kabur dari Data Numeris” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan banyak terima kasih pada berbagai pihak yang telah ikut membantu dalam menyelesaikan Skripsi ini, khususnya pada:

1. Bapak Eko Hari Parmadi, S.Si.,M.Kom, selaku dosen pembimbing dan Dosen Ilmu Komputer Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Lusia Krismiyati, S.,Si, M.,Si selaku Ketua Program Studi Matematika.

3. Ibu M. V. Any Herawati, S.Si.,M.Si, selaku pembimbing akademik dan dosen FMIPA, Bapak Y.G. Hartono, S.Si. M.Sc, Bapak Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc dan juga seluruh Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

4. Ibu Warni, Pak Tukijo, dan Mbak Linda selaku staf administrasi FMIPA Universitas Sanata Dharma.


(11)

5. Bapak Paulus Salam, Ibu Yohana Sri Aryani, Hendy dan Yoga. Terima kasih banyak atas dukungan, motivasi dan kasih sayang yang kalian berikan selama ini, semua itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 6. Untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut

membantu dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata penulis berharap semoga dengan tersusunnya skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Jurusan matematika khususnya dan bagi Mahasiswa Universitas Sanata Dharma pada umumnya.

Yogyakarta, Maret 2008 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Pembatasan Masalah ... 2

D. Tujuan Penulisan ... 2

E. Manfaat Penulisan... 2


(13)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Himpunan Kabur ... 5

B. Operasi pada Himpunan Kabur ... 12

C. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur ... 19

D. Logika Proposisi ... 21

E. Logika Kabur... 26

F. Relasi Kabur ... 29

G. Proposisi Kabur ... 34

H. Implikasi Kabur ... 36

I. Basis Pengetahuan ... 39

BAB III MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS... 43

BAB IV PENERAPAN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS PADA SISTEM KENDALI TRUK A. Permasalahan pada Kontrol Sistem Kendali Truk... 50

B. Membangun Aturan Kabur dari Data Numeris untuk Sistem Kendali Truk... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 72


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur A~ ... 9

Gambar 2.1.2. Fungsi Keanggotaan Segitiga

(

x;a,b,c

)

... 11

Gambar 2.1.3. Fungsi Keanggotaan Trapesium

(

x;a,b,c,d

)

... 12

Gambar 2.2.1. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur A~ ... 15

Gambar 2.2.2. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur B~ ... 16

Gambar 2.2.3. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur A′~ ... 18

Gambar 2.2.4. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur B′~ ... 18

Gambar 2.5.1. Gambar Kecepatan Mobil ... 28

Gambar 2.9.1. Fungsi Keanggotaan Himpunan-himpunan Kabur yang terkait dengan Nilai-nilai Linguistik untuk Variabel y pada Semesta

[

a,a

]

... 40

Gambar 3.1 Himpunan Kabur Input ... 44

Gambar 3.2 Himpunan Kabur Output... 45

Gambar 3.3. Membagi Input dan Output menjadi Himpunan Nilai Linguistik dan Korespondensi Fungsi Keanggotaan ... 46

Gambar 3.4. Ilustrasi tabel Look-up dari Aturan Dasar Kabur ... 48

Gambar 4.1. Diagram Simulasi Truk dan Daerah Muatan... 50

Gambar 4.2. Fungsi Keanggotaan Kabur untuk µ

( )

φ ... 52

( )


(15)

Gambar 4.4. Fungsi Keanggotaan Kabur untuk µ

( )

θ ... 55 Gambar 4.5. Hasil Akhir Membangun Aturan Kabur dari Data


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.4.1.1. Tabel Nilai Kebenaran Negasi ... 22

Tabel 2.4.1.2. Tabel Nilai Kebenaran Konjungsi ... 23

Tabel 2.4.1.3. Tabel Nilai Kebenaran Disjungsi ... 24

Tabel 2.4.1.4. Tabel Nilai Kebenaran Implikasi... 25

Tabel 2.4.1.5. Tabel Nilai Kebenaran Biimplikasi ... 26

Tabel 4.1. Panjang Lintasan Dimulai dari

(

)

(

0

)

0 0,φ = 1,0 x ... 51

Tabel 4.2. Aturan Kabur yang Dibangun dari Pasangan Terurut Input-Output dari Tabel 4.1 dan Derajat Kebenaran ... 71


(17)

A B S T R A K

Membangun aturan kabur dari data numeris dapat dicari dengan beberapa cara, yaitu metode penyebaran balik, metode kuadrat terkecil dan metode bentuk tabel. Metode bentuk tabel dipilih karena metode ini lebih mudah dan lebih sederhana daripada kedua metode lainnya.

Metode bentuk tabel ini disajikan dengan menggunakan aturan kabur JIKA- MAKA. Untuk membangun aturan kabur dari data numeris dibutuhkan empat langkah, yaitu mendefinisikan himpunan kabur pada ruang semesta input dan output, membangun aturan kabur dari data pasangan berurutan, menentukan derajat kebenaran dari masing-masing aturan, dan menyusun tabel look-up. Hasil yang diperoleh dari metode ini adalah sebuah tabel.


(18)

ABSTRACT

Generating fuzzy rules from numerical data can be found with many ways, like back-propagation algorithm, orthogonal least squares algorithm, and table-lookup scheme. Table-lookup scheme method is a simple method and more easier than other methods.

Table-lookup scheme method is designed with linguistic fuzzy IF-THEN rules and need four step to generate fuzzy rules from numerical data. The steps are define the input and output spaces into fuzzy regions, generate fuzzy rules from given data pairs, assign a degree to each rule, and create a combined fuzzy rule base. The result from this methods is table-lookup scheme.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam membangun aturan kabur dari data numeris terdapat beberapa metode antara lain metode penyebaran balik, metode kuadrat terkecil ortogonal dan metode bentuk tabel. Konsep dasar dari metode penyebaran balik adalah metode ini dapat dipakai pada berbagai jaringan arus-maju. Jika sistem logika kabur digambarkan sebagai jaringan arus-maju maka dapat digunakan metode ini untuk menyelesaikannya. Sedangkan metode kuadrat terkecil ortogonal digunakan untuk menentukan fungsi basis kabur dan parameter sisa. Metode ini menggunakan prosedur one-pass dan ini lebih cepat dibandingkan metode penyebaran balik. Sehingga pada metode penyebaran balik dan metode kuadrat terkecil ortogonal, metode-metode tersebut tidak cukup sederhana karena membutuhkan perhitungan secara intensif.

Di dalam membangun aturan kabur dari data numeris kita menemukan metode yang sangat sederhana untuk merancang sistem kabur yang sesuai yang ditunjukkan dengan operasi nilai tunggal pada pasangan terurut numeris dan aturan bahasa kabur JIKA-MAKA.

Tulisan ini akan membahas tentang membangun aturan kabur dari data pasangan berurutan, mengumpulkan aturan yang dibangun dan aturan bahasa menjadi sebuah dasar aturan kabur pada umumnya dan untuk membentuk akhir sebuah sistem logika kabur berdasar pada penggabungan aturan dasar kabur


(20)

B. Perumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana membangun aturan kabur dari data numeris?

2. Bagaimana penerapan membangun aturan kabur dari data numeris?

C. Pembatasan Masalah

Dalam topik ini masalah dibatasi pada data yang dimasukkan yaitu data berupa pasangan terurut dan aturan yang digunakan yaitu implikasi kabur Mamdani.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah menjawab masalah-masalah yang terdapat pada perumusan masalah yaitu :

1. Dapat membangun aturan kabur dari data numeris

2. Implementasi membangun aturan kabur dari data numeris

E. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diperoleh dari mempelajari topik ini adalah diperoleh cara atau metode yang lebih mudah dan sederhana dalam membangun aturan kabur


(21)

F. Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis adalah studi pustaka, yaitu dengan mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan membangun aturan kabur dari data numeris.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Pembatasan Masalah D. Tujuan Penulisan E. Manfaat Penulisan F. Metode Penulisan G. Sistematika Penulisan BAB II : LANDASAN TEORI

A. Himpunan Kabur

B. Operasi pada Himpunan Kabur

C. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur D. Logika Proposisi

E. Logika Kabur F. Relasi Kabur G. Proposisi Kabur


(22)

H. Implikasi Kabur I. Basis Pengetahuan

BAB III : MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS

BAB IV : PENERAPAN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS PADA SISTEM KENDALI TRUK

A. Permasalahan pada Kontrol Sistem Kendali Truk B. Membangun Aturan Kabur dari Data Numeris untuk

Sistem Kendali Truk BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan B. Saran


(23)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Himpunan Kabur

Banyak situasi di dalam kehidupan sehari-hari yang kita jumpai terdefinisi secara tidak tegas, misalnya himpunan orang miskin, himpunan orang pandai, himpunan orang yang tinggi, dan sebagainya. Misalnya, murid yang mempunyai nilai rata-rata 8 mempunyai derajat keanggotaan 0.9, yaitu

( )

8 =0.9

pandai

µ , dan murid yang mempunyai nilai rata-rata 6 mempunyai

derajat keanggotaan 0.5, yaitu µpandai

( )

6 =0.5, dalam himpunan kabur

“pandai” tersebut.

Teori himpunan kabur diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh pada tahun 1965. Zadeh membuat suatu terobosan baru dengan memperluas konsep “himpunan” klasik menjadi himpunan kabur untuk mengatasi permasalahan himpunan dengan batas yang tidak tegas itu. Zadeh juga mengaitkan himpunan semacam itu dengan suatu fungsi yang menyatakan derajat kesesuaian unsur-unsur dalam semestanya dengan konsep yang merupakan syarat keanggotaan himpunan tersebut. Fungsi itu disebut fungsi keanggotaan dan nilai fungsi itu disebut derajat keanggotaan suatu unsur dalam himpunan itu (Susilo, 2003).

Definisi 2.1.1

Fungsi karakteristik dari suatu himpunan Aadalah suatu fungsi dari himpunan semesta X ke himpunan

{ }

0,1 yang dinyatakan dengan


(24)

{

0,1

}

:X

A

χ Definisi 2.1.2

Himpunan kabur adalah himpunan di mana nilai fungsi karakteristik untuk tiap elemennya ada di dalam selang tertutup

[

0,1

]

.

Definisi 2.1.3

Diberikan himpunan semesta X . Suatu himpuanan kabur A~ dalam semesta X

adalah pemetaan µA~ dari X ke selang

[

0,1

]

, yaitu ~ :X

[

0,1

]

A

µ

dimana nilai fungsi µA~

( )

x menyatakan derajat keanggotaan unsur xX dalam himpunan kabur A~.

Nilai fungsi sama dengan 1 menyatakan keanggotaan penuh, dan nilai fungsi sama dengan 0 menyatakan samasekali bukan anggota himpunan kabur tersebut. Jadi fungsi keanggotaan dari suatu himpunan tegas Adalam semesta X

adalah pemetaan dari X ke himpunan

{ }

0,1 , yang tidak lain daripada fungsi karakteristik χA, yaitu:

( )

∉ ∈ =

A x

A x x

A

jika 0

jika 1 χ

Suatu himpunan kabur A~ dalam semesta pembicara X dapat dinyatakan sebagai himpunan pasangan terurut

( )

(

)

{

x x x X

}

A= , A~ ∈

~


(25)

dimana µA~ adalah fungsi keanggotaan dari himpunan kabur A~, yang merupakan

suatu pemetaan dari himpunan semesta X ke selang tertutup

[ ]

0,1 .

Apabila semesta X adalah himpunan yang kontinu, maka himpunan kabur

A~ seringkali dinyatakan dengan:

( )

x x A

X x

A

= ~

~ µ

dimana tanda pengintegralan bukan notasi pengintegralan seperti yang dikenal dalam kalkulus, melainkan menyatakan himpunan semua unsur xX bersama dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~.

Contoh 2.1.1

Misalkan A adalah himpunan bilangan asli yang dekat dengan 10, dimana R

adalah himpunan bilangan asli dari 1≤r≤15 dan himpunan kabur A~ merupakan himpunan bilangan real yang dekat dengan 10 yang dapat dinyatakan sebagai

(

)

=

+ =

x x

A

R x

2

10 1

1 ~

14 / 1 . 0 13 / 1 . 0 12 / 2 . 0 11 / 5 . 0 10 / 1 9 / 5 . 0 8 / 2 . 0 7 / 1 . 0 6 / 1 .

0 + + + + + + + +

=

Dalam penyajian himpunan kabur, derajat keanggotaan 0 biasanya tidak dituliskan.

Apabila semesta X adalah himpunan yang diskret, maka himpunan kabur


(26)

( )

x x A

X x

A

= ~

~

µ

dimana tanda sigma bukan menyatakan operasi jumlahan seperti yang dikenal dalam aritmatika, tetapi menyatakan himpunan semua unsur xX bersama dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~.

Contoh 2.1.2

Dalam semesta X =

{

−5,−4,−3,−2,−1,0,1,2,3,4,5

}

dimana X adalah

himpunan bilangan bulat dari −5≤ x≤5, himpunan kabur A~ adalah himpunan bilangan bulat yang dekat dengan nol yang dapat dinyatakan sebagai

( )

x x A

X x

A

= ~

~

µ =

= 0/-5 + 0.1/-4 + 0.3/-3 + 0.5/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.7/1 + 0.5/2 + 0.3/3 + 0.1/4 + 0/5

Contoh 2.1.3

Diberikan himpunan kabur A~ dengan fungsi keanggotaan didefinisikan sebagai berikut :

( )

≤ ≤ −

≤ ≤

≤ ≤ −

≤ ≤ ≤

=

60 45

jika 15

60

45 35

jika 1

35 20

jika 15

20

100 60

atau 20 0

jika 0

~

x x

x x x

x x

x

A


(27)

Maka grafik fungsi keanggotaannya dilukiskan sebagai berikut :

Gambar 2.1.1. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur A~

Definisi 2.1.4

Pendukung (support) dari suatu himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas yang memuat semua unsur dari semesta yang mempunyai derajat keanggotaan taknol dalam A~, yaitu

( )

A~ =

{

xX ~

( )

x >0

}

Pend µA .

Definisi 2.1.5

Tinggi (height) dari suatu himpunan kabur A~ didefinisikan sebagai

( )

A

{

( )

x

}

Tinggi A

X x

~

sup ~

µ ∈

= .

Definisi 2.1.6


(28)

• Jika nilai purata (pusat rata-rata) dari semua titik di mana fungsi keanggotaan himpunan kabur itu mencapai nilai maksimum adalah berhingga, maka pusat himpunan kabur itu adalah nilai purata (pusat rata-rata) tersebut.

• Jika nilai purata itu takhingga positif (negatif), maka pusat himpunan kabur itu adalah yang terkecil (terbesar) di antara semua titik yang mencapai nilai fungsi keanggotaan maksimum.

Definisi 2.1.7

Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan segitiga

jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu a,b,cR dengan a b c, dan dinyatakan dengan Segitiga

(

x;a,b,c

)

dengan aturan :

(

)

− ≤ ≤

≤ ≤ −

=

lainnya untuk

0

untuk untuk

c b, a, x;

Segitiga c b b x c

x c

b x a a

b a x

Fungsi keanggotaan tersebut juga bisa dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

(

; , ,

)

max min , ,0 .

− − − − =

b c

x c a b

a x c

b a x Segitiga


(29)

Definisi 2.1.8

Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan trapesium

jika mempunyai empat buah parameter, yaitu a,b,c,dR dengan a b c d, dan dinyatakan dengan Trapesium

(

x;a,b,c,d

)

dengan aturan :

(

)

≤ ≤ −

≤ ≤

≤ ≤ −

− =

lainnya untuk

0

untuk untuk 1

untuk ,

, , ;

d x c c

d x d

c x b

b x a a

b a x

d c b a x Trapesium

Fungsi keanggotaan tersebut juga bisa dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

(

; , , ,

)

max min ,1, ,0 .

− − −

− =

c d

x d a b

a x d

c b a x Trapesium

0 a b c

1

R


(30)

B. Operasi pada Himpunan Kabur

Seperti halnya pada himpunan tegas, kita dapat mendefinisikan operasi uner “komplemen” dan operasi-operasi biner “gabungan” dan “irisan” pada himpunan kabur. Karena suatu himpunan tegas dapat dinyatakan secara lengkap dengan fungsi karakteristiknya, maka ketiga operasi pada himpunan tegas itu dapat didefinisikan dengan menggunakan fungsi karakteristik itu.

Definisi 2.2.1

Komplemen dari suatu himpunan kabur A~adalah himpunan kabur A′~ dengan fungsi keanggotaan

( )

x A

( )

x

A~ 1 µ~

µ = −

1

0 a b c d R


(31)

Contoh 2.2.1

Diberikan semesta X adalah nilai-nilai ujian, X=

{

10,20,30, ,100

}

.

Himpunan kabur A~ didefinisikan himpunan kabur “Tinggi” yang dinyatakan :

=

A~ 0.1/50 + 0.3/60 + 0.5/70 + 0.8/80 +1/90 + 1/100

dan himpunan kabur B~ didefinisikan himpunan kabur “Sedang” yang dinyatakan

=

B~ 0.1/30 + 0.5/40 + 0.5/50 + 1/60 + 0.8/70 + 0.5/80

Maka komplemen dari himpunan kabur A~ adalah

= ′

A~ 1/10 + 1/20 + 1/30 + 1/40 + 0.9/50 + 0.7/60 + 0.5/70 + 0.2/80

dan komplemen dari himpunan kabur B~ adalah

= ′

B~ 1/10 + 1/20 + 0.9/30 + 0.5/40 + 0.5/50 + 0.2/70 + 0.5/80 + 1/90 + 1/100

dimana komplemen dari himpunan kabur A~ didefinisikan sebagai himpunan kabur “Tidak Tinggi” dan komplemen dari himpunan kabur B~ didefinisikan sebagai himpunan kabur “Tidak Sedang”.

Definisi 2.2.2

Gabungan dua buah himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~ adalah himpunan kabur A~∪B~ dengan fungsi keanggotaan:

( )

x

{

A

( )

x B

( )

x

}

B

A~ ~ max µ~ ,µ~

µ =


(32)

Contoh 2.2.2

Dari contoh 2.2.1, gabungan dari himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~

adalah 100 / 1 90 / 1 80 / 8 . 0 70 / 8 . 0 60 / 1 50 / 5 . 0 40 / 5 . 0 30 / 1 . 0 ~ ~ + + + + + + + = ∪B A Definisi 2.2.3

Irisan dua buah himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~ adalah himpunan kabur A~∩B~ dengan fungsi keanggotaan

( )

x

{

A

( )

x B

( )

x

}

B

A~ ~ min µ~ ,µ~

µ =

untuk setiap xX .

Contoh 2.2.3

Dari contoh 2.2.1, irisan dari himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~ adalah 80 / 5 . 0 70 / 5 . 0 60 / 3 . 0 50 / 1 . 0 ~ ~ + + + = ∩B A Contoh 2.2.4

Misalkan dalam semesta Χ = {-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6} diketahui

himpunan-himpunan kabur =

~

A 0.3/-3 + 0.5/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.7/1 + 0.5/2

+0.3/3 dan =

~

B 0.1/-1 + 0.3/0 + 0.8/1 + ½ + 0.7/3 + 0.4/4 + 0.2/5, maka


(33)

~ ~

B

A∪ = 0.3/-3 + 0.5/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.8/1 + ½ + 0.7/3 + 0.4/4 + 0.2/5

~ ~

B

A∩ = 0.1/-1 + 0.3/0 + 0.7/1 + 0.5/2 + 0.3/3

Contoh 2.2.5

Misalkan A~ adalah himpunan kabur dengan fungsi keanggotaan :

( )

≤ ≤ −

≤ ≤ − −

≥ −

≤ =

30 10

jika 20

30

10 10

jika 20

10

30 atau 10 jika

0

~

x x

x x

x x

x

A

µ

Maka grafik fungsi keanggotaan dari himpunan kabur A~ dapat dilukiskan sebagai berikut :

Gambar 2.2.1. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur A~

1

0.5

A~

-20 -10 0 10 30 40


(34)

dan B~ adalah himpunan kabur dengan fungsi keanggotaan sebagai berikut :

( )

≤ ≤ −

≤ ≤ −

≥ ≤

=

50 30

jika 20

50

30 10

jika 20

10

50 atau

10 jika

0

~

x x

x x

x x

x

B

µ

Maka grafik fungsi keanggotaan dari himpunan kabur B~ dapat dilukiskan sebagai berikut :

Gambar 2.2.2. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur B~

Dengan menggunakan definisi komplemen himpunan kabur dapat diperoleh fungsi keanggotaan komplemen dari himpunan kabur A~ sebagai berikut :

1

0.5

B~

-10 0 10 30 50

R


(35)

( )

≤ ≤ − − ≤ ≤ − − − ≥ − ≤ − = ′ 30 10 jika 20 10 1 10 10 jika 20 10 1 30 atau 10 jika 0 1 ~ x x x x x x x A µ

( )

≤ ≤ − ≤ ≤ − − ≥ − ≤ = ′ 30 10 jika 20 10 10 10 jika 20 10 30 atau 10 jika 1 ~ x x x x x x x A µ

dan fungsi keanggotaan komplemen dari himpunan kabur B~ sebagai berikut :

( )

≤ ≤ − − ≤ ≤ − − ≥ ≤ − = ′ 50 30 jika 20 50 1 30 10 jika 20 10 1 50 atau 10 jika 0 1 ~ x x x x x x x B µ

( )

≤ ≤ − ≤ ≤ − ≥ ≤ = ′ 50 30 jika 20 30 30 10 jika 20 30 50 atau 10 jika 1 ~ x x x x x x x B µ

Grafik fungsi keanggotaan komplemen dari himpunan kabur A~ dan B~ dapat dilukiskan sebagai berikut :


(36)

Gambar 2.2.3. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur A′~

Gambar 2.2.4. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur B′~

Ketiga operasi yang didefinisikan di atas disebut operasi baku


(37)

C. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur Definisi 2.31

Suatu pemetaan k:

[

0,1

]

[

0,1

]

disebut komplemen kabur jika memenuhi aksioma sebagai berikut:

1. k

( )

0 =1dank

( )

1 =0 (syarat batas)

2. Jikax y, makak

( )

xk

( )

y untuksemuax,y

[

0,1

]

(syarat taknaik)

Suatu kelas pemetaan yang merupakan komplemen kabuar adalah kelas Sugeno

yang didefinisikan sebagai berikut:

( )

x x x

k

λ λ

+ − =

1 1

dengan parameter λ∈

(

−1,∞

)

.

Untuk setiap nilai parameter λ diperoleh suatu komplemen kabur. Untuk λ =0, diperoleh operasi komplemen baku, yaitu k0

( )

x =1−x, di mana x adalah derajat keanggotaan suatu elemen dalam suatu himpunan kabur A~ dan k0

( )

x adalah derajat keanggotaan elemen tersebut dalam himpunan kabur A′~ (komplemen dari himpunan kabur A~).

Definisi 2.3.2

Suatu pemetaan s:

[

0,1

] [

× 0,1

]

[

0,1

]

disebut gabungan kabur (norma-s) jika memenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:


(38)

2. s

(

x,y

)

=s

(

y,x

)

(syarat komutatif)

3. Jika xx′ dan yy′, maka s

(

x,y

)

s

(

x′,y

)

untuk semua

[

0,1

]

,y

x (syarat takturun)

4. s

(

s

(

x,y

)

,z

)

=s

(

x,s

(

y,z

))

(syarat asosiatif)

Operasi gabungan baku, yaitu s

(

x,y

)

=max

{

x,y

}

, merupakan norma-s.

Definisi 2.3.3

Suatu pemetaan t:

[

0,1

] [

× 0,1

]

[

0,1

]

disebut irisan kabur (norma-t) jika memenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:

1. t

(

x,1

)

=t

(

1,x

)

=x dan t

(

0,0

)

=0 (syarat batas) 2. t

(

x,y

)

=t

(

y,x

)

(syarat komutatif)

3. Jika xx′ dan yy′, maka t

(

x,y

)

t

(

x′,y

)

untuk semua

[

0,1

]

,y

x (syarat takturun)

4. t

(

t

(

x,y

)

,z

)

=t

(

x,t

(

y,z

))

(syarat asosiatif)

Operasi irisan baku, yaitu t

(

x,y

)

=min

{

x,y

}

, merupakan suatu norma-t. Contoh-contoh lain dari norma-t adalah sebagai berikut:

a. Darab aljabar: tda

(

x,y

)

= xy

b. Darab Einstein:

(

)

(

x y xy

)

xy y

x tde

− + − =

2 ,

c. Darab drastis:

(

)

= = =

lainnya jika

0

1 jika

1 jika

, y x

y x

y x tdd


(39)

D. Logika Proposisi

Logika proposisi mempelajari penalaran manusia dengan menggunakan

proposisi yaitu kalimat yang mempunyai nilai benar atau salah. Logika yang hanya mengenal dua nilai kebenaran ini juga disebut logika dwinilai. Suatu proposisi disebut proposisi atomik bila proposisi itu memuat proposisi lain sebagai komponennya.

Contoh 4.1

• Matahari terbit pada pagi hari

• Bilangan 5 habis dibagi 2

Proposisi atomik dapat disajikan dengan menggunakan lambang huruf kecil, seperti a, b, c, dst. Apabila lambang-lambang huruf itu menyajikan proposisi yang tidak tertentu, maka lambang itu disebut variabel proposisi(Susilo, 2003).

2.4.1 Perangkai Logis

Semua proposisi bukan atomik merupakan proposisi majemuk dan semua proposisi majemuk memiliki minimal satu perangkai logis. Perangkai logis yang hanya melibatkan satu proposisi atomik disebut perangkai uner, sedangkan perangkai logis yang melibatkan dua proposisi atomik disebut perangkai biner. Ada lima buah perangkai logis yang akan dibahas, yaitu negasi, konjungsi, disjungsi, implikasi dan biimplikasi.


(40)

2.4.1.1 Negasi

Negasi dari proposisi lain adalah proposisi yang diperoleh dengan menambahkan kata “tidak” atau menyisipkan kata “bukan” pada proposisi semula. Negasi dari suatu proposisi p disajikan dengan lambang ¬p.

Contoh 2.4.1.1

R x x

p= 2 ≥0, ∈

maka ¬p= x2 <0, xR atau ¬p= tidak benar bahwa x2 ≥0, xR

Definisi 2.4.5

Jika p suatu proposisi maka proposisi “tidak p” mempunyai nilai kebenaran “salah” bila proposisi semula bernilai “benar” atau sebaliknya.

Tabel 2.4.1.1 Tabel Nilai Kebenaran Negasi

p ¬p

1 0

0 1

2.4.1.2 Konjungsi

Konjungsi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai “dan”. Perangkai “dan” disajikan dengan “∧ “.


(41)

Contoh 2.4.1.2 3

=

p adalah bilangan prima ganjil 2

=

q adalah bilangan prima genap

maka pq =3 adalah bilangan prima ganjil dan 2 adalah bilangan prima genap.

Definisi 2.4.6

Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka proposisi majemuk “p danq” bernilai “benar” bila keduanya bernilai benar.

Tabel 2.4.1.2 Tabel Nilai Kebenaran Konjungsi

p ¬p pq

1 1 1

1 0 0

0 1 0

0 0 0

2.4.1.3 Disjungsi

Disjungsi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai“atau” dan disajikan dengan lambang “∨”.

Contoh 2.4.1.3 7

=


(42)

7

=

q merupakan bilangan ganjil

maka pq =7 merupakan bilangan prima atau bilangan ganjil

Definisi 2.4.7

Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka proposisi majemuk “patauq” bernilai “benar” bila sekurang-kurangnya salah satu dari kedua proposisi itu bernilai benar.

Tabel 2.4.1.3 Tabel Nilai Kebenaran Disjungsi

p ¬p pq

1 1 1

1 0 1

0 1 1

0 0 0

2.4.1.4Implikasi

Implikasi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai “jika … maka … (if … then …)” dan disajikan dengan lambang “pq”. Proposisi “ p” disebut dengan anteseden sedangkan proposisi “q konsekuen.

Contoh 2.4.1.4

=


(43)

0 4

2

> −

=b ac

q .

=

q

p jika persamaan kuadrat ax2+bx+c =0 mempunyai akar-akar real maka b2−4ac>0.

Definisi 2.4.8

Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka suatu implikasi bernilai “benar” bila antesedennya bernilai salah atau konsekuennya bernilai benar.

Tabel 2.4.1.4 Tabel Nilai Kebenaran Implikasi

p q pq

0 0 1

0 1 1

1 0 0

1 1 1

2.4.1.5Biimplikasi

Biimplikasi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai “…jhj…“ dan disajikan dengan lambang “pq”.

Contoh 2.4.1.5

=

p dua garis saling berpotongan tegak lurus.

=

q dua garis saling membentuk sudut 0


(44)

Maka pq adalah dua garis saling berpotongan tegak lurus jika dan hanya jika kedua garis itu saling membentuk sudut 0

90 .

Definisi 2.4.9

Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka proposisi majemuk “ p jikadanhanya jikaq”bernilai “benar” jika kedua proposisi bernilai benar atau kedua-duanya bernilai salah.

Tabel 2.4.1.5 Tabel Nilai Kebenaran Biimplikasi

p q pq

0 0 1

0 1 0

1 0 0

1 1 1

E. Logika Kabur

Logika yang biasanya kita pakai dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penalaran ilmiah, yaitu logika dimana setiap proposisi (pernyataan) mempunyai dua kemungkinan nilai, yaitu nilai benar atau nilai salah dan tidak kedua-duanya (Susilo, 2003). Yang menjadi dasar dari logika kabur adalah logika dengan tak berhingga banyak nilai kebenaran yang dinyatakan dengan bilangan real dalam selang

[ ]

0,1 .


(45)

Definisi 2.5.1

Variabel linguistik adalah variabel yang nilainya bukan merupakan bilangan tetapi kata-kata atau kalimat-kalimat dalam bahasa sehari-hari.

Variabel linguistik ditentukan oleh suatu rangkap-5

(

x,T, X,G,M

)

di mana x

adalah lambang variabelnya, T adalah himpunan nilai-nilai linguistik yang dapat menggantikan x, X adalah semesta numeris dari nilai-nilai linguistik dalam T,

G adalah himpunan aturan-aturan sintakis yang mengatur pembentukan istilah-istilah anggota T, dan M adalah himpunan aturan-aturan simantik yang mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan kabur dalam semesta

X (Susilo, 2003).

Contoh 2.5.1

Kecepatan sebuah mobil adalah variabel x yang mempunyai interval

[

0,Vmax

]

, dimana Vmax adalah kecepatan maksimum mobil tersebut. Kita tentukan 3 himpunan kabur “lambat”, “sedang”, dan “cepat” dalam

[

0,Vmax

]

seperti pada gambar 2.4.1. Jika kita lihat x sebagai variabel linguistik, maka “lambat”, “sedang”, dan “cepat” juga sebagai variabel linguistik.

Maka bisa dikatakan “x adalah lambat”, “x adalah sedang”, dan “x adalah cepat”. X dapat diambil di dalam interval

[

0,Vmax

]

, contohnya x=50 mph, 35 mph, dan sebagainya.


(46)

Contoh 2.5.2

Bila variabel linguistik adalah “umur”, maka sebagai himpunan nilai-nilai linguistik dapat diambil himpunan istilah-istilah T ={muda, sangat muda, agak muda, tidak muda, tidak sangat muda, tidak muda dan tidak tua, agak tua, tua, tidak sangat tua, sangat tua}, dengan semesta X =

[

0,100

]

, aturan semantik yang mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan kabur dalam semesta

X .

Definisi 2.5.2

Pengubah linguistik adalah suatu kata yang dipergunakan untuk mengubah suatu kata/istilah menjadi kata/istilah yang baru dengan makna yang baru pula. Dua peubah linguistik yang paling sering dipakai adalah “sangat” dan “agak”.

Contoh 2.5.3

Misalkan X =

{

1,2, ,5

}

dan himpunan kabur kecil didefinisikan

slow medium fast

Speed of car (mph)

Vmax

75 55

35 0

1


(47)

Maka menurut definisi diatas

sangat kecil=1/1+0.64/2+0.36/3+0.16/4+0.04/5

(

)

5 / 0016 . 0 4 / 0256 . 0

3 / 1296 . 0 2 / 4096 . 0 1 / 1

+ +

+ +

=

= sangat sangat kecil

kecil sangat

sangat

5 / 4472 . 0 4 / 6325 . 0 3 / 7746 . 0 2 / 8944 . 0 1 /

1 + + + +

= kecil agak

Definisi 2.5.3

Misal A himpunan kabur dalam X , maka sangat A adalah himpunan kabur dalam X dengan fungsi keanggotaan

( )

[

( )

]

2

x x

A A

sangat µ

µ =

Definisi 2.5.4

Misal A himpunan kabur dalam X, maka agak A adalah himpunan kabur dalam

X dengan fungsi keanggotaan

( )

[

( )

]

1 2

x x

A A

agak µ

µ =

F. Relasi Kabur

Definisi 2.6.1

Misalkan R1X×Y dan R2Y×Z adalah dua buah relasi tegas.

Komposisi relasi tegas R 1 dan R2 yang dinotasikan dengan R1 R2, didefinisikan sebagai relasi


(48)

Z X R

R1 2 ⊆ ×

sedemikian sehingga

(

x,z

)

R1 R2 bila dan hanya bila terdapat

Y

y∈ sedemikian sehingga

(

x,y

)

R1 dan

(

y,z

)

R2.

Definisi 2.6.2

Relasi kabur R~ adalah relasi antara elemen-elemen dalam himpunan X

dengan elemen-elemen dalam himpunan Y yang didefinisikan sebagai bagian kabur dari darab Cartesius X×Y, dapat dinyatakan dengan

(

)

(

)

(

)

(

)

{

x y x y x y X Y

}

R~= , ,µR~ , , ∈ × .

Jika X =Y, maka R~ disebut relasi kabur pada himpunan X .

Contoh 2.6.1

Misalkan X =

{

31,78,205

}

,Y =

{

1,27,119

}

dan R~ adalah relasi kabur “jauh lebih besar dari” antara elemen-elemen X dan Y maka

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

205,119

)

4

. 0

27 , 205 7 . 0 1 , 205 9 . 0 27 , 78 3 . 0 1 , 78 5 . 0 27 , 31 1 . 0 1 , 31 3 . 0 ~

+

+ +

+ +

+ =

R

Contoh 2.6.2

Relasi kabur “hampir sama” antara bilangan-bilangan real dapat dinyatakan dengan

(

)

(

)

( )

(

)

(

)

{

x y x y e x y R R

}

R~ = , , R , = −xy2 , ∈ ×

1

~

1 µ


(49)

(

)

(

)

( )

(

)

∈ × +

=

= x y R R

e y

x y x

R R x y ,

1 1 ,

, , ~

2

~

2 µ

Definisi 2.6.3

Bila R~ adalah suatu relasi kabur pada semesta X×Y , maka invers dari R~ yang

dinyatakan dengan R~−1, adalah relasi kabur pada semesta Y×X dengan fungsi keanggotaan

(

y x

)

R

(

x y

)

R~ 1 , µ~ ,

µ − =

untuk setiap

(

x,y

)

Y×X.

Maka

( )

R~−1 −1 =R~

untuk setiap relasi kabur R~.

Bila himpunan X dan Y keduanya berhingga, maka relasi kabur R~

antara elemen-elemen dalam himpunan X dengan elemen-elemen dalam himpunan Y dapat dinyatakan dalam bentuk suatu matriks berukuran mxn

sebagai berikut

=

mn m

m

n n

a a

a

a a

a

a a

a R

2 1

2 22

21

1 12

11

~


(50)

Definisi 2.6.4

Jika R~1 adalah relasi kabur pada X×Y dan R~2 adalah relasi kabur pada Y×Z, maka komposisi relasi kabur R~1dan R~2, yang dinotasikan dengan R1 R2, adalah relasi kabur pada X×Z dengan fungsi keanggotaan

(

x z

)

t

(

R

(

x y

)

R

(

y z

)

)

Y y R

R1 2 , sup 1 , , 2 ,

~ ~

~

~ µ µ

µ

=

di mana t adalah suatu norma-t.

Definisi 2.6.5

Komposisi sup-min diperoleh jika operator “min” sebagai norma-t, maka diperoleh relasi komposit R1 R2 dengan fungsi keanggotaan

(

x z

)

{

R

(

x y

)

R

(

y z

)

}

Y y R

R1 2 , supmin 1 , , 2 ,

~ ~

~

~ µ µ

µ

=

Definisi 2.6.6

Komposisi sup-darab diperoleh jika operator “darab aljabar” sebagai norma-t, maka diperoleh relasi komposit R1 R2 dengan fungsi keanggotaan

(

x z

)

{

R

(

x y

)

R

(

y z

)

}

Y y R

R1 2 , sup 1 , , 2 ,

~ ~

~

~ µ µ

µ

=

Contoh 2.6.3

Misalkan X =

{

31,78,205

}

,Y =

{

1,27,119

}

dan Z =

{

10,225,94

}

, dan relasi


(51)

= 4 . 0 7 . 0 9 . 0 0 . 0 3 . 0 5 . 0 0 . 0 1 . 0 3 . 0 ~ 1 R

Dan R~2 adalah relasi kabur “jauh lebih kecil” antara elemen-elemen dalam Y

dengan Z dengan matriks sebagai berikut

= 0 . 0 5 . 0 0 . 0 3 . 0 8 . 0 0 . 0 5 . 0 9 . 0 1 . 0 ~ 2 R

Jika menggunakan komposisi sup-min, diperoleh

(

31,10

)

supmin

{

(

31,

)

,

(

,10

)

}

2 1 2 1 ~ ~ ~

~ y y

R R

Y y R

R µ µ

µ

=

(

)

(

)

{

}

{

(

)

(

)

}

{

min 31,1 , 1,10 ,min 31,27 , 27,10 , max 2 1 2 1 ~ ~ ~ ~ R R R

R µ µ µ

µ

=

(

)

(

)

{

31,119 , 119,10

}

min 2 1 ~ ~ R R µ µ

}

{

}

{

}

{

}

{

min 0.3,0.1 ,min 0.1,0.0 ,min 0.0,0.0

}

max

=

{

0.1,0.0,0.0

}

max = 1 . 0 =

Relasi kabur komposit R1 R2 dengan komposisi sup-min dapat disajikan dengan matriks sebagai berikut

= = 5 . 0 9 . 0 1 . 0 5 . 0 5 . 0 1 . 0 3 . 0 3 . 0 1 . 0 0 . 0 5 . 0 0 . 0 3 . 0 8 . 0 0 . 0 5 . 0 9 . 0 1 . 0 4 . 0 7 . 0 9 . 0 0 . 0 3 . 0 5 . 0 0 . 0 1 . 0 3 . 0 ~ ~ 2 1 R R

Jika menggunakan komposisi sup-darab, diperoleh

(

31,10

)

sup

{

(

31,

)

,

(

,10

)

}

2 1 2 1 ~ ~ ~

~ y y

R R

Y y R

R µ µ

µ

=

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

{

31,1 , 1,10 , 31,27 , 27,10 , 31,119 , 119,10

}

max 2 1 2 1 2 1 ~ ~ ~ ~ ~ ~ R R R R R

R µ µ µ µ µ

µ


(52)

( )( ) ( )( ) ( )( )

{

0.3 0.1, 0.1 0.0 , 0.0 0.0

}

max

=

{

0.03,0.0,0.0

}

max = 03 . 0 = .

Relasi kabur komposit R1 R2 dengan komposisi sup-darab dapat disajikan dengan matriks sebagai berikut

= = 45 . 0 81 . 0 09 . 0 25 . 0 45 . 0 05 . 0 15 . 0 27 . 0 03 . 0 0 . 0 5 . 0 0 . 0 3 . 0 8 . 0 0 . 0 5 . 0 9 . 0 1 . 0 4 . 0 7 . 0 9 . 0 0 . 0 3 . 0 5 . 0 0 . 0 1 . 0 3 . 0 ~ ~ 2 1 R R .

G. Proposisi Kabur Definisi 2.7.1

Proposisi kabur adalah kalimat yang memuat predikat kabur, yaitu predikat yang dapat direpresentasikan dengan suatu himpunan kabur.

Bentuk umum dari proposisi kabur

x adalah A

dimana x adalah suatu variabel linguistik dan predikat A adalah suatu nilai linguistik dari x.

Definisi 2.7.2

Peryataan kabur adalah proposisi kabur yang mempunyai nilai kebenaran tertentu.


(53)

Definisi 2.7.3

Nilai kebenaran dari suatu peryataan kabur disajikan dengan suatu bilangan real dalam selang

[

0,1

]

dan disebut juga derajat kebenaran dari peryataan kabur.

Derajat kebenaran dari peryataan kabur

0

x adalah A

Bila A~ adalah himpunan kabur yang dikaitkan dengan nilai linguistik A dan x0

adalah suatu elemen titik dalam semesta X dari himpunan kabur A~, maka x0

mempunyai derajat keanggotaan ~

( )

x0

A

µ dalam himpunan kabur A~.

Definisi 2.7.4

Jika x adalah variabel linguistik dengan semesta numeris X dan y

adalah variabel linguistik dengan semesta numeris Y maka konjungsi kabur x adalah A dan yadalah B

dimana A dikaitkan dengan himpunan kabur A~ dalam X , dan B dikaitkan dengan himpunan kabur B~ dalam Y, dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur

∧ dalam X ×Y dengan fungsi keanggotaan

(

x,y

)

t

(

µA~

( )

xB~

( )

y

)

µ =


(54)

Definisi 2.7.5

Jika x adalah variabel linguistik dengan semesta numeris X dan y

adalah variabel linguistik dengan semesta numeris Y maka disjungsi kabur x adalah A atau yadalah B

dimana A dikaitkan dengan himpunan kabur A~ dalam X , dan B dikaitkan dengan himpunan kabur B~ dalam Y, dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur

∨ dalam X×Y dengan fungsi keanggotaan

(

x,y

)

s

(

µA~

( )

xB~

( )

y

)

µ =

dengan s adalah suatu norma-s.

H. Implikasi Kabur

Bentuk umum suatu implikasi kabur adalah Bila x adalah A, maka y adalah B

dimana A dan B adalah predikat-predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan-himpunan kabur A~ dan B~ dalam semesta X dan Y berturut-turut.

Sama seperti konjungsi dan disjungsi kabur, implikasi kabur juga dipandang sebagai suatu relasi kabur dalam X×Y yang dilambangkan dengan

→.


(55)

dapat diganti dengan proposisi kabur "y adalahB". Implikasi kabur tersebut dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam X×Y dengan fungsi keanggotaan

(

x,y

)

s

(

k

(

µA~

( )

x

)

B~

( )

y

)

µ =

dimana s adalah norma-s dan k adalah suatu komplemen kabur.

Definisi 2.8.1

Implikasi Dienes-Rescher diperoleh bila norma-s dan komplemen kabur diambil operasi-operasi gabungan dan komplemen baku dan fungsi keanggotaannya sebagai berikut

(

x y

)

(

A

( )

x B

( )

y

)

dr , max1 µ~ ,µ~

µ = − .

Karena implikasi tegas pq juga ekivalen dengan

(

pq

)

∨¬p, maka implikasi kabur di atas juga dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam

Y

X× dengan fungsi keanggotaan

(

x,y

)

s

(

t

(

µA~

( )

x

)

B~

( )

x ,k

(

µA~

( )

y

)

)

µ =

dimana s adalah norma-s, t adalah suatu norma-tdan k adalah suatu komplemen kabur.

Definisi 2.8.2

Implikasi Zadeh diperoleh bila norma-s, norma-t dan k diambil operasi-operasi gabungan, irisan dan komplemen baku sehingga diadapat fungsi keanggotaan sebagai berikut


(56)

(

x y

)

(

(

A

( )

x B

( )

y

)

A

( )

x

)

z , maxmin µ~ ,µ~ ,1 µ~

µ = − .

Definisi 2.8.3

Implikasi Mamdani adalah implikasi kabur yang dapat juga dipandang sebagai suatu konjungsi kabur, sehingga diperoleh

(

x,y

)

t

(

µA~

( )

xB~

( )

y

)

µ =

Bila sebagai norma-t diambil operasi baku “min”, maka diperoleh

(

x y

)

(

A

( )

x B

( )

y

)

mm , min µ~ ,µ~

µ =

dan bila sebagai norma-t diambil operasi “darab aljabar”, maka diperoleh

(

x y

)

A

( )

x B

( )

y

md , µ~ µ~

µ =

Contoh 2.8.1:

Misalkan diketahui semesta X =

{

1,2,3,4,5

}

dan Y =

{

50,60,70

}

dan implikasi kabur cepat y maka banyak x Jika ,

dimana predikat “banyak” dan “cepat” berturut-turut dikaitkan dengan himpunan kabur 5 / 1 4 / 8 . 0 3 / 6 . 0 2 / 4 . 0 1 / 2 . 0 ~ + + + + = A 70 / 1 60 / 1 . 0 50 / 4 . 0 ~ + + = B

Maka jika digunakan implikasi Dienes-Rescher, diperoleh

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

5,50

)

0.7

(

5,60

)

1

(

5,70

)

4 . 0 70 , 4 1 60 , 4 7 . 0 50 , 4 4 . 0 70 , 3 1 60 , 3 7 . 0 50 , 3 4 . 0 70 , 2 1 60 , 2 7 . 0 50 , 2 6 . 0 70 , 1 1 60 , 1 8 . 0 50 , 1 8 . 0 + + + + + + + + + + + + + + = →dr


(57)

Jika digunakan implikasi Zadeh, diperoleh

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

5,50

)

0.7

(

5,60

)

1

(

5,70

)

4 . 0 70 , 4 8 . 0 60 , 4 7 . 0 50 , 4 4 . 0 70 , 3 6 . 0 60 , 3 6 . 0 50 , 3 4 . 0 70 , 2 6 . 0 60 , 2 6 . 0 50 , 2 6 . 0 70 , 1 8 . 0 60 , 1 8 . 0 50 , 1 8 . 0 + + + + + + + + + + + + + + = →z

Dan jika digunakan implikasi Mamdani diperoleh

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

5,50

)

0.7

(

5,60

)

1

(

5,70

)

4 . 0 70 , 4 8 . 0 60 , 4 7 . 0 50 , 4 4 . 0 70 , 3 6 . 0 60 , 3 6 . 0 50 , 3 4 . 0 70 , 2 4 . 0 60 , 2 4 . 0 50 , 2 4 . 0 70 , 1 2 . 0 60 , 1 2 . 0 50 , 1 2 . 0 + + + + + + + + + + + + + + = →mm atau

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

5,50

)

0.7

(

5,60

)

1

(

5,70

)

4 . 0 70 , 4 8 . 0 60 , 4 56 . 0 50 , 4 32 . 0 70 , 3 6 . 0 60 , 3 42 . 0 50 , 3 24 . 0 70 , 2 4 . 0 60 , 2 28 . 0 50 , 2 16 . 0 70 , 1 2 . 0 60 , 1 14 . 0 50 , 1 08 . 0 + + + + + + + + + + + + + + = →md

I. Basis Pengetahuan

Basis pengetahuan dari suatu sistem kendali logika kabur terdiri dari basis data dan basis kaidah. Basis data adalah himpunan fungsi-fungsi keanggotaan dari himpunan-himpunan kabur yang terkait dengan nilai-nilai linguistik dari variabel-variabel yang terlibat dalam sistem itu.

Contoh 2.9.1

Misal dalam suatu sistem kendali logika kabur, variabel ydengan semesta selang tertutup

[

a,a

]

mempunyai tujuh nilai linguistik sebagai berikut:


(58)

Sedang Negatif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur S~−

Kecil Negatif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur K~−

Mendekati Nol, yang dikaitkan dengan himpunan kabur 0~ Kecil Positif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur K~+

Sedang Positif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur S~+

Besar Positif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur B~+

Maka basis data dari sistem itu memuat fungsi keanggotaan dari himpunan-himpunan kabur yang terkait itu, misalnya berbentuk segitiga, sebagai berikut:

Basis kaidah adalah himpunan implikasi-implikasi kabur yang berlaku sebagai kaidah dalam sistem itu. Bila sistem itu mempunyai mbuah kaidah dengan

(

n+1

)

variabel, maka bentuk umum kaidah ke-i

(

i=1, ,n

)

adalah sebagai berikut:

a a

B~ S~− K~− ~0 K~+ S~+ B~+

0

Gambar 2.9.1. Fungsi keanggotaan himpunan-himpunan kabur yang terkait dengan nilai-nilai linguistik untuk variabel y pada semesta

[

a,a

]


(59)

Bila x1 adalah Ai1 dan dan xn adalah Ain, maka y adalah Bi

di mana xj adalah variabel linguistik dengan semesta numeris Xj

(

j=1, ,n

)

. Suatu basis kaidah diharapkan memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Lengkap, yaitu untuk setiap

(

x1, ,xn

)

X1× Xn terdapat i

{

1, ,m

}

sedemikian sehingga ~

( )

j ≠0

Aij x

µ untuk semua j

{

1, ,n

}

. dengan

perkataan lain, untuk setiap nilai masukan terdapat sekurang-kurangnya satu kaidah yang “tersulut”.

2. Konsisten, yaitu tidak terdapat kaidah-kaidah yang mempunyai anteseden yang sama tetapi konsekuaennya berbeda.

3. Kontinu, yaitu tidak terdapat kaidah-kaidah dengan himpunan-himpunan kabur yang terkait dala anteseden beririsan, tetapi himpunan-himpunan kabur yang terkait dalam konsekuennya saling asing.

Contoh 2.9.2

Misalkan implikasinya melibatkan tiga variabel sebagai berikut:

Bila x adalah A dan y adalah B , maka z adalah C

di mana x, y,dan z adalah variabel-variabel dengan semesta selang tertutup

[

a,a

] [

, −b,b

]

,dan

[

c,c

]

berturut-turut, dan dengan tujuh nilai linguistik seperti

dalam Conto 2.9.1. maka basis kaidah dari sistem ini terdiri dari 49 kaidah, yang secara lengkap dapat disajikan dalam bentuk matriks sebagai berikut:


(60)

y

z

B~ S~− K~− ~0 K~+ S~+ B~+

B~

S~

+

B~ S~+ 0~

K~ S~+ K~+ 0~

0

~ +

K~ 0~ K~−

+

K~

+

S~

0

~ −

K~ S~−

S~

+

S~

x

+

B~

0

~ −

S~ B~−

Misalnya salah satu kaidahnya berbunyi:

Bila x sedang negatif dan y kecil positif, maka z sedang positif seperti yang terlihat pada baris kedua kolom kelima dari matriks di atas.


(61)

BAB III

MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS

Misal diberikan suatu himpunan input A=

{

x1,x2 ,xn

}

dan himpunan output B=

{

y1,y2 ,ym

}

, sehingga diperoleh suatu himpunan pasangan terurut seperti di bawah ini

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

(

1 1

)

2 1 1 1 1

2 1

1 ,x , , xn ;y , y , ,ym

x

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

(

2 2

)

2 2 1 2 2

2 2

1 ,x , ,xn ; y , y , ,ym

x

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

(

k

)

m k

k k n k

k

y y

y x x

x1 , 2 , , ; 1 , 2 , , (3.1) di mana k =1,2, ,l.

Misalkan kita berikan suatu contoh himpunan pasangan terurut dua input dan satu output itu seperti di bawah ini:

( ) ( ) ( )

(

x ,x ;y

)

,

(

x( ),x( );y( )

)

, ,

(

x( )i ,x( )i ;y( )i

)

2 1 2

2 2 2 1 1 1 2 1

1 (3.2)

di mana i=1,2, ,l.

Tugas di sini adalah untuk membangun aturan kabur JIKA-MAKA dari suatu himpunan pasangan berurutan dari (3.2).

Terdapat empat langkah dalam membangun aturan kabur dari data numeris, yaitu:


(62)

3.1 Mendefinisikan Himpunan Kabur pada Ruang Semesta Input dan Output

Misalkan kita mempunyai himpunan pasangan berurutan

(

x1,x2;y

)

. x1

dan x2 adalah sebuah input yang mempunyai interval

[

x1−,x1+

]

dan

[

x2−,x2+

]

dan y

adalah sebuah output dengan interval

[

y−,y+

]

, yang ditunjukkan oleh S3 (Besar Negatif), S2 (Sedang Negatif), 1S (Kecil Negatif), CE (tengah atau mendekati nol), 1B (Kecil Positif), B2 (Sedang Positif), dan B3 (Besar Positif).

Didefinisikan himpunan kabur untuk x1 dan x2 seperti pada gambar 3.1 di bawah ini.

Sedangkan himpunan kabur untuk y didefinisikan seperti pada gambar 3.2 seperti di bawah ini.

S2 S1 CE B1

( )x2

µ

B3 1.0

0.0

+

2

x

2

x

2

x

B2 1.0

0.0

S2 S1 CE B1 B2

( )

x1

µ

1

x

1

x +

1

x


(63)

3.2 Membangun Aturan Kabur dari Data Pasangan Berurutan

Langkah kedua dalam membangun aturan kabur dari data numeris adalah membangun aturan kabur dari data pasangan berurutan yang diperlukan tiga langkah.

Pertama, menentukan derajat keanggotaan dari x1( )i ,x2( )i, dan y ( )i pada himpunan kabur yang berbeda. Sebagai contoh, x1( )1 mempunyai derajat keanggotaan 0.8 di B1, mempunyai derajat keanggotaan 0.5 di B2, dan mempunyai derajat keanggotaan 0 untuk semua himpunan kabur yang lain. Secara sama, ( )2

2

x mempunyai derajat keanggotaan 1 di CE, mempunyai derajat keanggotaan 0.8 di 1S dan derajat keanggotaan 0 untuk himpunan kabur yang lain. Begitu juga dengan y( )1 mempunyai derajat keanggotaan 0.9 di CE, mempunyai derajat keanggotaan 0.8 di 1B , dan mempunyai derajat keanggotaan 0 untuk semua himpunan kabur yang lain seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.3.

S2 S1 CE B1 B2

1.0

0.0

y

( )

y

µ

y y+


(64)

Kedua, menetapkan x1( )i ,x2( )i, atau y( )i sebagai himpunan kabur dengan derajat keanggotaan yang maksimum atau himpunan kabur yang mempunyai derajat keanggotaan paling tinggi. Karena derajat keanggotaan ( )1

1

x pada himpunan kabur 1B lebih besar daripada himpunan kabur B2 maka yang dipilih adalah himpunan kabur 1B , sedangkan derajat keanggotaan x2( )2 pada himpunan kabur CE lebih tinggi daripada derajat keanggotaan pada himpunan kabur 1S

maka yang dipilih adalah himpunan kabur CE dan derajat keanggotaan y( )1 pada

S2 S1 CE B1 B2

1.0

0.0

y

( )

y

µ

y y( )1 y( )2 y+

S2 S1 CE B1

( )x2

µ

B3 1.0

0.0

( )1 2

x x2( )2 x2+

2

x

2

x

B2 1.0

0.0

S2 S1 CE B1 B2

( )

x1

µ

1

x

1

x ( )2

1

x x1( )1 x1+

0.8 0.5

Gambar 3.3 Membagi input dan output menjadi himpunan nilai linguistik dan fungsi keanggotaan


(65)

himpunan kabur CE lebih tinggi daripada derajat keanggotaan pada B1 maka yang dipilih adalah himpunan kabur CE.

Ketiga, setelah menentukan dan menetapkan derajat keanggotaannya maka kita bisa menyusun aturan kabur dari data pasangan berurutan sebagai berikut:

JIKA x1 adalah A dan x2 adalah B, MAKA yadalah C

Sebagai contoh, kita tentukan derajat keanggotaan lalu ( )1 1

x , ( )2 2

x , dan y( )1 lalu kita

tetapkan x1( )1 di 1B karena himpunan kabur 1B mempunyai derajat keanggotaan paling tinggi dibandingkan dengan 2B atau yang lainnya, x2( )2 di CE dan y( )1 di

CE. Sehingga bisa kita susun sebuah aturan sebagai berikut: JIKA x1adalahB1 dan x2adalahCE, MAKA yadalahB1.

3.3 Menentukan Derajat Kebenaran dari Masing-masing Aturan

Meskipun menggunakan beberapa pasangan data berurutan dan masing-masing pasangan data berurutan membangun satu aturan, ada kemungkinan terdapat beberapa aturan yang konflik, yaitu aturan yang mempunyai bagian JIKA sama tetapi bagian MAKA berbeda. Salah satu cara untuk menyelesaikannya adalah dengan menetapkan sebuah derajat kebenaran pada masing-masing aturan yang membangun pasangan data berurutan dan hanya menerima aturan dari kelompok aturan yang konflik yang mempunyai derajat maksimum.

Kita menggunakan implikasi Mamdani untuk menetapkan sebuah derajat kebenaran ke masing-masing aturan. Untuk aturan: “JIKA x1 adalah A dan x2


(66)

adalah B, MAKA yadalah C,” derajat dari aturan ini dinotasikan dengan

(

Aturan

)

D .

Berdasarkan definisi (2.7.4), definisi (2.8.3) dan darab aljabar

(

Aturan

)

t

(

( )

x

( )

y

)

D = µA~ ,µC~ (2.7.4)

( )

( )

(

)

( )

(

t x x y

)

t µA~ 1B~ 2C~

= (2.8.3)

=µ~A

( )

x1 µB~

( )

x2 µC~

( )

y (darab aljabar)

Sehingga diperoleh D

(

Aturan

)

A

( )

x1 µB

( )

x2 µC

( )

y .

Contoh 3.3.1

Aturan 1 mempunyai derajat

(

Aturan

)

( )

x

( )

x

( )

y

D 1 =µB1 1 µS1 2 µCE

504 . 0 9 . 0 7 . 0 8 .

0 × × =

= . (lihat gambar 3.3) Aturan 2 mempunyai derajat

(

Aturan

)

( )

x

( )

x

( )

y

D 2 =µB1 1 µCE 2 µB1

=0.6×1×0.7=0.42.

3.4 Menyusun Tabel Look Up

Gambar 3.4 menggambarkan sebuah tabel look-up yang menggantikan basis data aturan kabur. Kita mengisi kotak-kotak tersebut dengan aturan kabur sebagai berikut: sebuah skema tabel look-up ditentukan oleh aturan linguistik atau dari membangun data numerik, jika ada lebih dari satu aturan di dalam kotak


(67)

Gambar 3.4 Ilustrasi tabel lookup dari aturan dasar kabur

Di dalam langkah ini, baik data numerik dan linguistik disusun menjadi sebuah kerangka yaitu skema tabel look-up. Jika aturan linguistik itu adalah aturan “dan” maka hanya diisi satu kotak pada tabel, tetapi jika aturan linguistik itu adalah aturan “atau”, maka semua kotak pada baris atau kolom yang sama dalam tabel diisi ke daerah JIKA. Sebagai contoh, anggap kita punya aturan : “ JIKA x1

adalah S1atau x2 adalah CE, MAKA yadalah B2” , maka kita akan mengisi tujuh kotak pada kolom S1 dan lima kotak pada baris CE dengan B2. Semua derajat pada B2 pada kotak ini sama derajatnya pada aturan “atau”.


(68)

BAB IV

PENERAPAN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS PADA SISTEM KENDALI TRUK

A. Permasalahan pada Kontrol Sistem Kendali Truk

Gambar 4.1 Diagram simulasi truk dan daerah muatan

Simulasi truk dan daerah muatan ditunjukkan pada Gambar 4.1. Posisi truk ditentukan oleh 3 variabel awal yaitu φ ,x,dan y, dimana φ adalah sudut truk dengan bidang datar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1, x adalah posisi gerak truk dan yadalah jarak antara truk dan dok yang tidak harus dianggap sebagai input. Misal diberikan suatu tabel panjang lintasan seperti di bawah ini, yang mana

[

0 0

]

270 , 90

− ∈

φ dan x

[

0,20

]

dan outputnya adalah

[

400,400

]

θ , sedemikian sehingga didapat posisi akhir dari kedudukan truk


(69)

t x φo θo

0 1.00 0.00 -19.00 1 1.95 9.37 -17.95 2 2.88 18.23 -16.90 3 3.79 26.59 -15.85 4 4.65 34.44 -14.80 5 5.45 41.78 -13.75 6 6.18 48.60 -12.70 7 6.83 54.91 -11.65 8 7.39 60.70 -10.60 9 7.87 65.98 -9.55 10 8.27 70.74 -8.50 11 8.60 74.98 -7.45 12 8.86 78.70 -6.40 13 9.05 81.90 -5.34 14 9.19 84.57 -4.30 15 9.28 86.72 -3.25 16 9.34 88.34 -2.20 17 9.37 89.44 0.00

B. Membangun Aturan Kabur dari Data Numeris untuk Sistem Kendali Truk

Kita gunakan empat langkah dari membangun aturan kabur dari data numeris untuk menentukan fungsi f :

(

x

)

→θ, berdasarkan tabel 4.1. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam membangun aturan kabur dari data numeris :


(70)

4.2.1 Mendefinisikan Himpunan Kabur pada Ruang Semesta Input dan Output

Misalkan kita mempunyai himpunan pasangan berurutan

(

x,φ;θ

)

dimana interval x

[

0,20

]

,

[

0 0

]

270 , 90

− ∈

φ dan

[

0 0

]

40 , 40

− ∈

θ . Kemudian

didefinisikan himpunan kabur untuk x,φ,dan θ sebagai berikut:

( )

− ≤ ≤−

− − −

− ≤ ≤ − −

+

=

lainnya untuk

0

15 50

untuk 35

15

50 115

untuk 35

115

3 φ

φ

φ φ

φ µS

( )

− ≤ ≤

≤ ≤ − −

+

=

lainnya untuk

0

45 0

untuk 45

45

0 45

untuk 45

45

2 φ

φ

φ φ

φ µS


(71)

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 90 5 . 52 untuk 5 . 37 90 5 . 52 15 untuk 5 . 37 15 1 φ φ φ φ φ µS

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 100 90 untuk 10 100 90 80 untuk 10 80 φ φ φ φ φ µCE

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 165 5 . 127 untuk 5 . 37 165 5 . 127 90 untuk 5 . 37 90 1 φ φ φ φ φ µB

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 225 180 untuk 45 225 180 135 untuk 45 135 2 φ φ φ φ φ µB

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 295 245 untuk 50 295 245 195 untuk 50 195 3 φ φ φ φ φ µB


(72)

( )

≤ ≤ − ≤ ≤ = lainnya untuk 0 7 5 . 1 untuk 5 . 5 7 5 . 1 0 untuk 1 2 x x x x S µ

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 10 7 untuk 3 10 7 4 untuk 3 4 1 x x x x x S µ

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 11 10 untuk 1 11 10 9 untuk 1 9 x x x x x CE µ

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 16 13 untuk 3 16 13 10 untuk 3 10 1 x x x x x B µ


(73)

( )

≤ ≤ ≤ ≤ −

=

lainnya untuk

0

20 5

. 18 untuk 1

5 . 18 13

untuk 5

. 5

13

2 x

x x

x

B

µ

( )

− − − ≤ ≤−

− ≤ ≤ − +

=

lainnya untuk

0

20 30

untuk 10

20

30 40

untuk 10

40

3 θ

θ

θ θ

θ µS

( )

− − − ≤ ≤−

− ≤ ≤ − +

=

lainnya untuk

0

7 20

untuk 13

7

20 33

untuk 13

33

2 θ

θ

θ θ

θ µS


(74)

( )

− − ≤ ≤ − ≤ ≤ − + = lainnya untuk 0 0 7 untuk 7 7 14 untuk 7 14 1 θ θ θ θ θ µS

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − + = lainnya untuk 0 4 0 untuk 4 4 0 4 untuk 4 4 θ θ θ θ θ µCE

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 14 7 untuk 7 14 7 0 untuk 7 0 1 θ θ θ θ θ µB

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 33 20 untuk 13 33 20 7 untuk 13 7 2 θ θ θ θ θ µB

( )

− ≤ ≤ ≤ ≤ − = lainnya untuk 0 40 30 untuk 10 40 30 20 untuk , 10 20 3 θ θ θ θ θ µB


(1)

• Untuk t=14, maka

D(Aturan 14 ) = µS1

( )

x14 µCE

( )

φ14 µS1

( )

θ14 =0.27*0.457*0.614285714 =0.550728571≈0.55

• Untuk t=15, maka

D(Aturan 15 ) = µCE

( )

x15 µS1

( )

φ15 µS1

( )

θ15 =0.28*0.672*0.464285714 =0.087359999≈0.09 • Untuk t=16, maka

D(Aturan 16 ) = µCE

( )

x16 µCE

( )

φ16 µCE

( )

θ16 =0.34*0.834*0.45

=0.127602≈0.13 • Untuk t=17, maka

D(Aturan 17 ) = µCE

( )

x17 µCE

( )

φ17 µCE1

( )

θ17 =0.37*0.844*1


(2)

Untuk hasil selengkapnya bisa kita lihat pada Tabel 4.2 di bawah ini

JIKA MAKA

Aturan kabur

untuk t =

x

adalah φ adalah θ adalah Derajat Kebenaran

0 S2 S2 S2 0.92

1 S2 S2 S2 0.61

2 S2 S2 S2 0.34

3 S2 S2 S2 0.16

4 S2 S1 S2 0.13

5 S1 S1 S2 0.18

6 S1 S1 S2 0.28

7 S1 S1 S2 0.31

8 S1 S1 S1 0.33

9 S1 S1 S1 0.29

10 S1 S1 S1 0.23

11 S1 S1 S1 0.17

12 S1 S1 S1 0.10

13 S1 S1 S1 0.05

14 S1 CE S1 0.55

15 CE CE S1 0.09

16 CE CE CE 0.13

17 CE CE CE 0.31

*) Aturan 3 dan 4 konflik sehingga aturan 4 yang dipilih karena mempunyai derajat keanggotaan yang lebih tinggi

**) Aturan 6 dan 7 konfik sehingga aturan 7 yang dipilih karena mempunyai derajat keanggotaan yang lebih tinggi

4.2.4 Menyusun Tabel Look Up

Dari Tabel 4.2 didapat tujuh aturan kabur yang bisa digunakan untuk membuat skema tabel look up. Tujuh aturan tersebut dipilih berdasarkan aturan

TABEL 4.2 Aturan Kabur yang Dibangun dari Pasangan Berurutan Input-Output dari Tabel 4.1 dan Derajat Kebenaran

Aturan 1

Aturan 2 Aturan 3 *)

Aturan 4 *)

Aturan 7 **) Aturan 6 **) Aturan 5


(3)

2

S dan φ adalah 2S MAKA θ adalah 2S dengan derajat keanggotaannya 0.92. Aturan 2 : JIKA x adalah 2S dan φ adalah 1S MAKA θ adalah 2S dengan derajat keanggotaannya 0.13. Aturan 3 : JIKA x adalah 1S dan φ adalah 1S

MAKA θ adalah 2S dengan derajat keanggotaannya 0.31. Aturan 4 : JIKA x

adalah 1S dan φ adalah 1S MAKA θ adalah 1S dengan derajat keanggotaannya 0.33. Aturan 5 : JIKA x adalah 1S dan φ adalah CE MAKA θ adalah 1S

dengan derajat keanggotaannya 0.55. Aturan 6 : JIKA x adalah CE dan φ adalah

CE MAKA θ adalah 1S dengan derajat keanggotaannya 0.09. Aturan 7 : JIKA

x adalah CE dan φ adalah CE MAKA θ adalah CE dengan derajat keanggotaannya 0.31.

Aturan yang dipakai dalam membuat skema tabel look up ini adalah aturan “dan” maka hanya diisi satu kotak pada tabel. Jika dalam membuat skema tabel look up terdapat lebih dari satu aturan kabur dalam satu kotak aturan kabur maka digunakan aturan yang mempunyai derajat paling tinggi. Untuk aturan 3 dan aturan 4, karena aturan 4 lebih tinggi derajat keanggotaannya maka yang digunakan untuk mengisi kotak aturan kabur adalah aturan 4. Maka akan didapat aturan JIKA x adalah 1S dan φ adalah 1S MAKA θ adalah 1S dengan derajat keanggotaannya 0.33. Begitu juga untuk aturan 6 dan aturan 7, karena aturan 7 lebih tinggi derajat keanggotaannya maka yang digunakan untuk mengisi kotak aturan kabur adalah aturan 7. Maka akan didapat aturan JIKA x adalah CE dan φ adalah CE MAKA θ adalah CE dengan derajat keanggotaannya 0.31.


(4)

Sehingga didapatkan skema tabel look up pada sistem kendali pada truk untuk posisi awal,

(

x00o

)

=

(

1,0

)

seperti di bawah.

S2 S1 CE B1 B2

S3 S2 S2

S1 S2 S1

CE S1 CE

B1 B2 B3

Berdasarkan tabel 4.2 hanya terdapat lima kotak yang terisi pada skema tabel look-up.

Gambar 4.5 Hasil Akhir Membangun Aturan Kabur dari Data Numerik untuk Masalah Sistem Kendali pada Truk

x


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Metode ini dapat digunakan dengan mudah untuk membangun aturan kabur dari data numeris.

2. Untuk membangun aturan kabur dari data numeris digunakan empat langkah yaitu mendefinisikan himpunan kabur pada ruang semesta input dan output, membangun aturan kabur dari data pasangan berurutan, menentukan derajat kebenaran dari masing-masing aturan, dan menyusun tabel look-up.

B. Saran

1. Metode ini dapat diimplementasikan dalam bentuk program. 2. Penerapan membangun aturan kabur dari data numeris dengan


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Jamshidi, Mohammad; Vadiee Nader and Ross J, Timothy. 1993. Fuzzy Logic and Control. Volume 2. Englewood Cliffs, New Jersey. Prentice Hall, Inc. Lee, Kwang H. 2005. First Course on Fuzzy Theory and Applications. Springer

Verlag Berlin Heidelberg.

Ross J, Timothy; Booker M, Jane and Parkinson, Jerry W. 2002. Fuzzy Logic and Probability Applications. Philadelphia, PA.

Susilo, F. 2003. Himpunan dan Logika Kabur serta Aplikasinya. Edisi II. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Suryadi. H. S. D., Aljabar Logika & Himpunan, Edisi I. Jakarta. Gunadarma. Wang, Li-Xin. 1994. Adaptive Fuzzy Systems and Control. Englewood Cliffs,

New Jersey. Prentice Hall.

Wang, Li-Xin. 1997. A Course in Fuzzy System and Control. Upper Saddle River, NJ. Prentice Hall.