PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS X DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 PALEMBANG

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS X DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 PALEMBANG SKRIPSI SARJANA S1

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh NUR ASIAH

NIM 09221047

Program Studi Tadris Matematika FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2014

HALAMAN PERSETUJUAN

Hal : Persetujuan Pembimbing

Kepada Yth.

Lamp. : - Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden

Fatah Palembang Di

Palembang

Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah melalui proses bimbingan, arahan dan koreksian baik dari segi isi maupun teknik penulisan terhadap skripsi saudara : Nama

: Nur Asiah NIM

: 09 221 047 Program

: S1 Tadris Matematika Judul Skripsi : Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Jigsaw Melalui Pendekatan Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas

X di MAN 2 Palembang.

Maka, kami selaku pembimbing berpendapat bahwa skripsi saudara tersebut dapat diajukan dalam Sidang Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang.

Demikian harapan kami dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu ‟alaikum Wr. Wb.

Skripsi Berjudul: PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS X DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 PALEMBANG

Yang ditulis oleh saudara NUR ASIAH, NIM 09 221 047 telah dimunaqosyahkan dan dipertahankan

di depan Panitia Penguji Skripsi pada tanggal 20 Februari 2014

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Palembang, 20 Februari 2014 Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

“ Barang siapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan

baginya jalan ke surga “ (H.R Muslim).

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”

(QS. Muhammad : 7)

“Sebesar-besarnya cita-cita manusia adalah orang iman yang bercita-cita ingin meraih sukses urusan dunia dan urusan akhiratnya”

(Riwayat Ib‟nu Majah)

“Bukanlah hidup kalau tidak ada masalah, bukanlah sukses kalau tidak melalui rintangan, bukanlah menang kalau tidak dengan pertarungan, bukanlah lulus kalau

tidak ada ujian, dan bukanlah berhasil kalau tidak berusaha”

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Ayahanda dan Ibundaku

H. Hidron dan Hj. Mustiah

Terima kasih atas segenap ketulusan cinta & kasih sayangnya selama ini,

do‟a, pendidikan, perjuangan dan pengorbanan untuk Ananda.

Keluarga Besar

Atas nasehat, bimbingan, motivasi dan do‟a untuk saya.

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama

: Nur Asiah

Tempat Tanggal Lahir: Palembang, 14 Maret 1992 Program Studi

: Tadris Matematika

Nim

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:

1. Seluruh data, informasi, interpretasi serta penyataan dalam pembahasan dan kesimpulan yang disajikan dalam karya ilmiah ini, kecuali yang disebutkan sumbernya adalah hasil pengamatan, penelitian, pengelolaan, serta pemikiran saya dengan pengarahan dari para pembimbing yang ditetapkan.

2. Karya ilmiah yang saya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, baik di IAIN Raden Fatah maupun perguruan tinggi lainnya.

Demikian pernyataan ini dibuat sebenarnya dan apabila dikemudian hari ditemukan adanya bukti ketidakbenaran dalam pernyataan tersebut di atas, maka saya bersedia menerima sangsi akademis berupa pembatalan gelar yang saya peroleh melalui pengajuan karya ilmiah ini.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw melalui pendekatan kontekstual terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen berbentuk post-test only control design. Penelitian ini mengambil dua kelas yang diambil dengan menggunakan teknik cluster sampling, kelas X. 4 sebagai kelas eksperimen yakni memperoleh pembelajaran kooperatif tipe jigsaw melalui pendekatan kontekstual, dan kelas X.7 sebagai kelas kontrol yaitu memperoleh pembelajaran langsung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematika dan wawancara kepada siswa. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh dari hasil tes digunakan untuk menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan uji-t. Dari hasil analisis diperoleh t hitung = 3,04 dan dengan α = 0,05 diperoleh t tabel = 2,00 yang berarti t hitung >t tabel yaitu 3,04 > 2,00. Hal ini menunjukkan bahwa Ha diterima yaitu terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw melalui pendekatan kontekstual terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik, dan hasil wawancara diperoleh respon positif dari siswa mengenai pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw melalui pendekatan kontekstual.

Kata kunci : pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, pendekatan kontekstual, kemampuan pemecahan masalah matematika

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine influence of the use cooperatif learning model of jigsaw type through a contextual approach to mathematical problem solving ability of students. This study used an experimental method shaped post-test only control design. This study took two classes taken using cluster sampling technique, X. 4 grade as an experimen class that is gaining cooperative learning model of jigsaw type through contextual approach, and X. 7 grade as a control class that is gaining direct learning. The data was collected using mathematical problem solving ability tests and interviews to students. The data obtained from interviews were analyzed descriptively. The data obtained from the tests are used to test the research hypotheses using t-test. From analysis

of the results obtained t count = 3,04 and α = 0,05 is obtained t table = 2,00. It means t count >t table , the suggests that Ha is accepted that there is a positive influence of the use cooperative learning model of jigsaw type through a contextual approach to mathematical problem solving ability of students, and the results of interviews obtained a positive response from students about learning to use cooperative learning model of jigsaw type through a contextual approach.

Key words : cooperative learning of jigsaw type, contextual approach, mathematical problem solving ability.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa tercurahkan atas kehadirat Allah SWT. karena atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Penggunaan

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Melalui Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

Kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Tadris Matematika.

Sholawat serta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita yakni Nabi besar Muhammad Saw., yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang. Semoga kita semua mendapatkan syafaat oleh- Nya di akherat kelak. Aamiin.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sangat apresiasi sekali kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini secara keseluruhan. Untuk itu, penulis ingin menyatakan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Aflatun Mukhtar, M.A. selaku Rektor IAIN Raden Fatah Palembang.

2. Bapak Dr. H. Kasinyo Harto, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang.

3. Ibu Hj. Agustiany Dumeva Putri, M.Si. selaku Ketua Program Studi Tadris Matematika.

4. Bapak Dr. H. Ismail, M.Ag. selaku pembimbing I.

5. Bapak Muhammad Win Afgani, S.Si., M.Pd. selaku pembimbing II. You are the best and you are my favorite lecturer.

6. Segenap dosen dan staf Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang.

7. Dosen-dosen Tadris Matematika, yang telah ikhlas memberikan ilmu yang bermanfaat buat mahasiswanya, menjadi inspirasi buat saya untuk menjadi tenaga pendidik.

8. Seluruh bapak, ibu guru dan staf pegawai Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang yang telah membantu dan memudahkan urusan saya dalam proses penelitian.

9. Kedua orang tua saya (H. Hidron dan Hj. Mustiah), kakak (Hely Musti), ayuk (Lia Syofriani) dan adik (Evi Mardiani) yang sangat saya cintai dan senantiasa mendoakan, memberikan saran, dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Tadris Matematika Angkatan 2009 IAIN Raden Fatah Palembang terkhusus teman-teman Tadris Matematika 2.

11. Rekan-rekan seperjuangan BEMI 2012 dan DEMAI 2013 yang telah mewarnai hari-hariku selama hidup di dunia kampus. Semoga kita semua sukses dimanapun kita berada.

12. Seluruh ADK ‟09, Amran, Sutri, Aidil, Yandi, Tito, Amelda, Eli, Fatimah, Vita, Ita, Nita, Nia, Fuji, teman-teman dalam lingkaran suciku dan murabbiah ku, sahabat WM, sahabatku Santy, Vita, Wiwik, Dora, Mbak Desti,

Mbak Munif, Mbak Mariana, Mbak Ema, dan Mbak Rani. Terima kasih atas cinta dan semangat yang kalian berikan. Kita saling menguatkan dan saling mengingatkan. Ana uhibbukum fillah.

Saya menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan dengan harapan skripsi ini menjadi lebih baik dan sempurna. Demikianlah skripsi ini saya buat semoga dapat bermanfaat. Aamiin.

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.

Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif ................................ 10 Tabel 2.

Perbedaan antara Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Sekarang ................................................................................................ 28

Tabel 3. Desain posttest only control design ................................................................ 29 Tabel 4.

Populasi siswa kelas X MAN 2 Palembang ................................ 31

Tabel 5. Ketentuan Pemberian Skor Validasi ................................................................ 33 Tabel 6.

Data Skor Kuis Kelompok pada Pertemuan Pertama ................................ 51 Tabel 7.

Data Skor Kuis Kelompok pada Pertemuan Kedua ................................ 57 Tabel 8.

Data Skor Kuis Kelompok pada Pertemuan Ketiga ................................ 60 Tabel 9.

Data Skor Kuis Kelompok pada Pertemuan Keempat................................ 64 Tabel 10.

Data Hasil Posttest Kelas Eksperimen ................................................................ 71 Tabel 11.

Data Hasil Posttest Kelas Kontrol ................................................................ 72 Tabel 12.

Hasil Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ................................ 75 Tabel 13.

Persentase Aspek Pemecahan Masalah Soal Posttest No 1 Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ................................................................ 79

Tabel 14. Persentase Aspek Pemecahan Masalah Soal Posttest No 2 Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ................................................................ 81

Tabel 15. Persentase Aspek Pemecahan Masalah Soal Posttest No 3 Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ................................................................ 82

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya, pendidikan bertujuan untuk membekali orang dengan pengetahuan dan pengalaman serta untuk menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang mengenai hal-hal yang sukar dan pemecahannya tidak dapat diperoleh dengan segera.

Hal seperti itu dalam matematika biasanya berupa pemecahan masalah matematika yang di dalamnya termasuk soal non rutin yaitu soal yang penyelesaiannya diperlukan pemikiran lebih lanjut karena prosedurnya tidak sejelas atau tidak sama dengan prosedur yang dipelajari di kelas. Contohnya menentukan umur ayah sekarang jika tujuh tahun lalu umur ayah sama dengan

6 kali umur Budi. Empat tahun yang akan datang 2 kali umur ayah sama dengan 5 kali umur Budi ditambah 9 tahun. Sedangkan yang dimaksud soal rutin adalah soal yang sering muncul dalam pembelajaran, yang dapat dipecahkan sesuai prosedur yang dipelajari.

2 Misalnya menentukan nilai a 2 +b jika suatu sistem persamaan linear ax + by = 6 dan 2ax + 3by = 2 mempunyai penyelesaian x = 2 dan y = - 1.

Berdasarkan tujuan matematika sebagai fokus utama, kemampuan berpikir untuk pemecahan masalah matematik dalam matematika itu adalah bagian yang sangat dasar dan sangat penting. Namun, kenyataannya di lapangan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di Indonesia masih sangat rendah hal ini dapat dilihat dari hasil survey PISA (OECD dalam Yulianingsih, 2010 : 2) tahun 2009 yang menunjukkan bahwa Indonesia Berdasarkan tujuan matematika sebagai fokus utama, kemampuan berpikir untuk pemecahan masalah matematik dalam matematika itu adalah bagian yang sangat dasar dan sangat penting. Namun, kenyataannya di lapangan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di Indonesia masih sangat rendah hal ini dapat dilihat dari hasil survey PISA (OECD dalam Yulianingsih, 2010 : 2) tahun 2009 yang menunjukkan bahwa Indonesia

Kenyataan umum yang dapat dijumpai di sekolah menunjukkan bahwa para guru di sekolah cenderung lebih suka memberikan bentuk soal-soal rutin kepada siswanya daripada soal-soal non rutin, sehingga para siswa terlatih menggunakan prosedur-prosedur pada soal rutin saja. Akibatnya, mereka tidak terbiasa dan mengalami kesulitan apabila diberi soal-soal yang sifatnya non rutin.

Hasil wawancara dengan salah satu guru matematika di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang dan wawancara dengan beberapa siswa, serta melihat langsung proses pembelajaran dan melihat RPP guru tersebut diperoleh informasi bahwa guru mata pelajaran matematika siswa kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang menggunakan model pembelajaran langsung, yaitu model pembelajaran yang lebih berpusat pada guru, dengan menggunakan metode ceramah dan pendekatan yang diberi pun berupa pendekatan tradisional, yakni siswa secara pasif menerima informasi, pembelajarannya yang abstrak dan teoritis. Kemudian kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika pun masih kurang, yakni : 1) sebagian besar mereka hanya bisa mengerjakan soal dengan tipe yang sama dengan contoh yang telah diberikan oleh guru, mereka kurang lancar dalam mengerjakan soal dengan tipe baru yang berbeda dengan contoh dari guru, 2) siswa tidak bisa memecahkan Hasil wawancara dengan salah satu guru matematika di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang dan wawancara dengan beberapa siswa, serta melihat langsung proses pembelajaran dan melihat RPP guru tersebut diperoleh informasi bahwa guru mata pelajaran matematika siswa kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang menggunakan model pembelajaran langsung, yaitu model pembelajaran yang lebih berpusat pada guru, dengan menggunakan metode ceramah dan pendekatan yang diberi pun berupa pendekatan tradisional, yakni siswa secara pasif menerima informasi, pembelajarannya yang abstrak dan teoritis. Kemudian kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika pun masih kurang, yakni : 1) sebagian besar mereka hanya bisa mengerjakan soal dengan tipe yang sama dengan contoh yang telah diberikan oleh guru, mereka kurang lancar dalam mengerjakan soal dengan tipe baru yang berbeda dengan contoh dari guru, 2) siswa tidak bisa memecahkan

Berdasarkan penelitian Narohita (2010), kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah adalah mereka umumnya tidak memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai masalah yang memerlukan daya nalar. Kesulitan-kesulitan dalam mempelajari matematika akan menimbulkan kebosanan, yang pada akhirnya dapat memunculkan sikap apriori terhadap pelajaran matematika. Akibatnya, prestasi belajar matematika mereka tidak sebaik harapannya.

Guru dalam hal ini harus membantu siswa untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Untuk itu diperlukan cara yang tepat untuk membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah, dan salah satunya adalah dengan memberikan model pembelajaran dan pendekatan yang tepat.

Dalam interaksi belajar mengajar, model pembelajaran dipandang perlu sebagai salah satu bagian yang sangat berperan. Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Melalui model pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide. Model pembelajaran berfungsi pula sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Suprijono, 2010 : 46).

Dalam pembelajaran matematika, tidak semua model atau metode pembelajaran cocok untuk digunakan setiap pokok bahasan, sehingga guru harus memilih model atau metode yang cocok agar mencapai hasil pembelajaran yang baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah SAW, yaitu:

Artinya: “Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: siapa yang memberi petunjuk ke jalan yang baik (dengan ilmunya) maka ia akan mendapat pahala seperti yang di dapatkan oleh orang yang

mengikutinya tanpa kurang sedikit pun”. (H.R. Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa apabila akan memberikan ilmu kepada seseorang haruslah dengan cara yang baik agar orang yang menerimanya dapat mengikuti dengan baik pula. Begitupun dalam memilih suatu metode atau model pembelajaran untuk peserta didik haruslah tepat, karena metode atau model pembelajaran yang digunakan mempengaruhi hasil pembelajaran yang diperoleh oleh peserta didik.

Berdasarkan hal di atas perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang membuat siswa berkesempatan untuk berinteraksi satu sama lainnya yang memungkinkan mereka mencintai proses belajar mengajar. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan keaktifan siswa selama proses belajar mengajar. Ada banyak penelitian yang dilakukan terpisah oleh orang-orang yang berbeda dalam konteks yang berlainan mengenai penggunaan pembelajaran kooperatif. Pada umumnya, hasil-hasil penelitian tersebut mendukung penggunaan model pembelajaran kooperatif. Data-data tersebut menunjukkan bahwa suasana Berdasarkan hal di atas perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang membuat siswa berkesempatan untuk berinteraksi satu sama lainnya yang memungkinkan mereka mencintai proses belajar mengajar. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan keaktifan siswa selama proses belajar mengajar. Ada banyak penelitian yang dilakukan terpisah oleh orang-orang yang berbeda dalam konteks yang berlainan mengenai penggunaan pembelajaran kooperatif. Pada umumnya, hasil-hasil penelitian tersebut mendukung penggunaan model pembelajaran kooperatif. Data-data tersebut menunjukkan bahwa suasana

Menurut Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2002 : 30) pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kelompok biasa. Dengan kata lain tidak semua kerja kelompok biasa disebut sebagai pembelajaran kooperatif, karena pada pembelajaran kooperatif siswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri tetapi juga bertanggung jawab terhadap kelompoknya sehingga secara tidak langsung diajarkan cara memimpin dan dipimpin oleh temannya, menghindarkan dari persaingan individu.

Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa adalah model pembelajaran kooperatif dengan tipe jigsaw. Penelitian tentang pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pernah dilakukan oleh Sugandi (2011), berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa pembelajaran berbasis masalah dalam setting belajar kooperatif jigsaw memberikan pengaruh terbesar dibandingkan dengan pengaruh pembelajaran konvensional, level sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa terhadap pencapaian kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik serta kemandirian belajar siswa. Begitu pula dengan Muliana (2006), berdasarkan penelitiannya terungkap bahwa adanya peningkatan hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika setiap siklusnya melalui pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yaitu 33,3% pada siklus pertama,

55,5 % pada siklus kedua, dan 75% pada siklus ketiga. Namun dari penelitian tersebut terdapat kendala yang dialami, dalam RPP nya terlihat pada pendahuluan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan langsung menginformasikan model yang akan digunakan, kemudian siswa masih ada yang tidak terlibat secara aktif baik pada diskusi kelompok ahli maupun pada kelompok semula, dan juga masih terdapat kekeliruan atau kurang teliti yang dilakukan siswa dalam menerjemahkan soal, sehingga menurut peneliti perlunya digunakan sebuah pendekatan untuk meminimalisir kendala tersebut.

Karena, selain model pembelajaran, pendekatan pembelajaran juga merupakan salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam keseluruhan pengelolaan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran dilakukan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran dari bagian-bagian yang satu dengan bagian lainnya yang berorientasi pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki siswa untuk mempelajari konsep, prinsip, atau teori yang baru tentang suatu bidang ilmu.

Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Pembelajaran yang selama ini mereka terima hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian rentetan topik atau pokok bahasan (Muslich, 2007 : 40).

Penelitian dengan menggunakan pendekatan kontekstual terhadap pemecahan masalah siswa pernah dilakukan oleh Narohita (2010). Berdasarkan hasil analisis data yang ia lakukan menunjukkan sebagai berikut.

Pertama , penerapan pendekatan kontekstual berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah (F = 5,81, p < 0,05). Kedua, penerapan pendekatan kontekstual tetap berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah setelah diadakan pengendalian terhadap penalaran formal siswa (F = 6,82, p < 0,05). Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa pendekatan kontekstual akan menyebabkan proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan belajar bermakna, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

melalui Pendekatan Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: apakah terdapat pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw melalui pendekatan kontekstual terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian masalah ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw melalui pendekatan kontekstual terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Guru Matematika Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam mengajarkan dan menyampaikan materi pada siswa dengan mengunakan model pembelajaran kooperatif dan pendekatan pembelajaran.

2. Bagi Sekolah Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan mutu sekolah dan perbaikan pembelajaran matematika.

3. Bagi Siswa Dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran, serta dapat meningkatkan hasil belajar matematika.

4. Bagi Peneliti Sebagai tambahan khazanah keilmuan dan memperkaya wawasan tentang salah satu dari beberapa jenis model pembelajaran kooperatif yang ada, serta sebagai acuan untuk meningkatkan kinerja yang lebih baik ketika menjadi guru nantinya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana guru menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud.

Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Model pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan: (1) memudahkan siswa belajar sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama; (2) pengetahuan, nilai dan keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai.

Lie (2002 : 30 ) menyatakan untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah:

1. Saling ketergantungan positif

2. Tanggung jawab perseorangan

3. Tatap muka

4. Komunikasi antar anggota

5. Evaluasi proses kelompok Terdapat 6 (enam) langkah dalam model pembelajaran kooperatif (Widyantini, 2006 : 5), yaitu: Tabel 1. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif

Kegiatan Guru Langkah 1

Langkah

Indikator

Menyampaikan tujuan dan Guru menyampaikan tujuan memotivasi siswa.

pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serat memotivasi siswa.

Langkah 2 Menyajikan informasi. Guru menyajikan informasi kepada siswa.

Langkah 3 Mengorganisasikan siswa ke Guru menginformasikan dalam kelompok-kelompok pengelompokan siswa. belajar.

Langkah 4 Membimbing kelompok Guru memotivasi serta memfasilitasi belajar.

kerja siswa dalam kelompok- kelompok belajar.

Langkah 5 Evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Langkah 6 Memberikan penghargaan. Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok.

B. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan oleh Aronson, dkk. Adapun langkah-langkah dalam penerapan jigsaw menurut Widyantini (2006 : 5-7) adalah sebagai berikut.

1. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 - 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda

baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah serta jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok jigsaw (gigi gergaji). Contoh pembentukan kelompok jigsaw sebagai berikut.

belajar materi 1 belajar materi 2 belajar materi 3 belajar materi 4 belajar materi 5

Gambar 1. Sktesa Pembentukan Kelompok Jigsaw Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh dalam diskusi di kelompok ahli serta setiap siswa menyampaikan apa yang telah diperoleh atau dipelajari dalam Gambar 1. Sktesa Pembentukan Kelompok Jigsaw Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh dalam diskusi di kelompok ahli serta setiap siswa menyampaikan apa yang telah diperoleh atau dipelajari dalam

2. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

3. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.

4. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).

5. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran

6. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Langkah-langkah diatas sedikit berbeda dengan pendapat Lie (2002 : 68-69) yakni sebagai berikut.

1. Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian.

2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Pengajar bisa menuliskan topik di papan tulis dan menyanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming ini 2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Pengajar bisa menuliskan topik di papan tulis dan menyanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming ini

3. Siswa dibagi dalam kelompok berempat.

4. Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama. Sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua. Demikian seterusnya.

5. Kemudian, siswa disuruh membaca/mengerjakan bagian mereka masing- masing.

6. Setelah selesai, saling berbagi mengenai bagian yang dibaca/dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini, siswa bisa saling melengkapi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.

7. Khusus untuk kegiatan membaca, kemudian pengajar membagikan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing siswa. Siswa membaca bagian tersebut.

8. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas.

Lie (2002 : 69) juga menambahkan variasi dalam penerapan model jigsaw , yaitu jika tugas yang dikerjakan cukup sulit, siswa bisa membentuk kelompok para ahli. Siswa berkumpul dengan siswa lain yang mendapatkan bagian yang sama dari kelompok lain. Mereka bekerja sama mempelajari/mengerjakan bagian tersebut. Kemudian, masing-masing siswa kembali ke kelompoknya sendiridan membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada rekan-rekan dalam kelompoknya.

Dari kedua pendapat di atas mengenai langkah-langkah penerapan model kooperatif tipe jigsaw, maka dapat peneliti rumuskan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sebagai berikut.

1. Pembelajaran dengan metode jigsaw diawali dengan pengenalan topik yang akan dibahas oleh guru.

2. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah serta jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

3. Setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group / CG). Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal.

4. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

5. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok 5. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok

6. Selanjutnya guru memberikan kuis untuk siswa secara individual. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).

C. Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang menerapkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang diajarkan oleh guru dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka (Zulfiani dkk, 2009 : 95).

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama (Muslich, 2007 : 43), yaitu:

1. Constructivism (konstruktivisme, membangun, membentuk), kegiatan yang mengembangkan pemikiran bahwa pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa bekerja sendiri, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2. Questioning (bertanya), kegiatan yang mendorong sikap keingintahuan siswa lewat bertanya tentang topic atau permasalahan yang akan dipelajari.

3. Inquiry (menyelidiki, menemukan), kegiatan belajar yang bisa mengondisikan siswa untuk mengamati, menyelidiki, menganalisis topik

atau permasalahan yang dihadapi sehingga ia berhasil “menemukan” sesuatu.

4. Learning community (masyarakat belajar), kegiatan belajar yang menciptakan suasana belajar bersama atau berkelompok sehingga ia bisa berdiskusi, curah pendapat, bekerja sama, dan saling membantu dengan teman lain.

5. Modelling (pemodelan), kegiatan belajar yang menunjukkan model yang bisa dipakai rujukan atau panutan siswa dalam bentuk penampilan tokoh, demonstrasi kegiatan, penampilan hasil karya, cara mengoperasikan sesuatu, dan sebagainya.

6. Reflection (refleksi atau umpan balik), kegiatan belajar yang memberikan refleksi atau umpan balik dalam bentuk tanya jawab dengan siswa tentang kesulitan yang dihadapi dan pemecahannya, merekonstruksi kegiatan yang telah dilakukan, kesan siswa selama melakukan kegiatan, dan saran atau harapan siswa.

7. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya), kegiatan belajar yang bisa diamati secara periodik perkembangan kompetensi siswa melalui kegiatan-kegiatan nyata ketika pembelajaran berlangsung.

D. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Melalui Pendekatan Kontekstual

1. Guru menjelaskan secara umum mengenai materi dan mengaitkan materi pada masalah kehidupan nyata.

2. Guru mempersiapkan siswa untuk dibagi dalam kelompok asal yang terdiri dari 4 – 5 orang (masyarakat belajar).

3. Guru memberikan masalah berupa LKS untuk siswa kerjakan secara berkelompok.

4. Guru mengarahkan siswa untuk berbagi tugas menjadi anggota kelompok ahli dalam setiap kelompok asal.

5. Guru memberikan kesempatan siswa berdiskusi untuk membangun (kontruktivisme) pengetahuan dan menemukan (inkuiri) jawaban LKS yang diberikan.

6. Guru memantau kerja setiap kelompok dan memberi kesempatan siswa untuk bertanya jika mengalami kesulitan.

7. Guru meminta para anggota kelompok ahli untuk kembali ke kelompok asal dan berdiskusi untuk membangun (kontruktivisme) pengetahuan yang diperolehnya kepada anggota-anggota kelompok asalnya dan menemukan (inkuiri) jawaban LKS yang diberikan.

8. Guru meminta perwakilan siswa dari anggota kelompok asal mempresentasikan jawaban di depan kelas (pemodelan) , sedangkan kelompok lain memberikan tanggapannya. Guru memberikan kesempatan siswa untuk bertanya jika ada hal – hal yang kurang dimengerti.

9. Guru mengadakan evaluasi, baik secara individual ataupun kelompok untuk mengetahui kemajuan belajar dengan memberikan soal-soal latihan yang dikerjakan masing- masing individu (penilaian autentik) . Dan bagi yang memperoleh nilai hasil belajar sempurna di beri penghargaan.

10. Guru meminta siswa mengemukakan pendapat dari pengalaman belajarnya (refleksi).

E. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

1. Masalah Matematika

Widjajanti (2009 : 403) menyatakan bahwa dalam belajar matematika, pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah soal yang biasa dijumpai siswa. Soal atau pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab.

Dapat terjadi bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin (Hudoyo dalam Widjajanti, 2009 : 403).

Senada dengan pendapat Hudoyo, Suherman, dkk. (dalam Widjajanti, 2009 : 403) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah bagi anak tersebut.

Holmes (dalam Wardhani dkk, 2010 : 16) menyatakan bahwa terdapat dua kelompok masalah dalam pembelajaran matematika yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin.

1. Masalah Rutin

Masalah rutin dapat dipecahkan dengan metode yang sudah ada. Masalah rutin sering disebut sebagai masalah penerjemahan karena Masalah rutin dapat dipecahkan dengan metode yang sudah ada. Masalah rutin sering disebut sebagai masalah penerjemahan karena

2. Masalah Non Rutin

Masalah nonrutin membutuhkan lebih dari sekadar penerjemahan masalah menjadi kalimat matematika dan penggunaan prosedur yang sudah diketahui. Masalah non rutin mengharuskan pemecah masalah untuk membuat sendiri metode pemecahannya. Dia harus merencanakan dengan seksama bagaimana memecahkan masalah tersebut.

Dalam pembelajaran matematika ada soal pemecahan masalah dan ada soal bukan pemecahan masalah. Pada umumnya soal cerita dapat digunakan untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu dalam menyelesaikan soal cerita dapat digunakan strategi penyelesaian masalah, walaupun soal cerita matematika belum tentu merupakan soal pemecahan masalah. Kemampuan yang diperlukan untuk menyelesaikan soal cerita tidak hanya kemampuan keterampilan (skill) dan mungkin algoritma tertentu saja melainkan kemampuan lainnya yaitu kemampuan menyusun rencana dan strategi yang akan digunakan dalam mencapai penyelesaian (Marsudi dan Astuti, 2011 : 9-10).

Adapun yang dimaksud dengan soal cerita matematika adalah soal-soal matematika yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat bentuk cerita yang perlu diterjemahkan menjadi kalimat matematika atau persamaan matematika. Soal cerita biasanya menggunakan kata-kata atau kalimat- kalimat sehari-hari (Hanifah, 2011 : 12).

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Kemampuan memecahkan masalah menjadi tujuan utama dari belajar matematika diantara tujuan yang lain. Orang yang terampil memecahkan masalah akan mampu berpacu dengan kebutuhan hidupnya, menjadi pekerja yang lebih produktif, dan memahami isu-isu kompleks yang berkaitan dengan masyarakat global (Holmes dalam Wardhani dkk, 2010 : 7).

Menurut Polya (dalam Rohima, 2009 :11), untuk memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:

a. Memahami Masalah Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).

b. Merencanakan Pemecahannya Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).

c. Menyelesaikan Masalah sesuai Rencana Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.

d. Memeriksa Kembali Prosedur dan Hasil Penyelesaian Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.

Menurut Depdiknas (dalam Rohima, 2009 : 16), aspek yang dinilai dari hasil tes berdasarkan kemampuan pemecahan masalah antara lain sebagai berikut:

a. Kemampuan memahami masalah Aspek yang dinilai : 1) pemahaman apa yang diketahui

2) pemahaman apa yang ditanyakan

b. Kemampuan merencanakan penyelesaian masalah Aspek yang dinilai : 1) ketepatan strategi pemecahan masalah

2) relevansi konsep yang dipilih dengan

permasalahan

c. Kemampuan melaksanakan rencana penyelesaian masalah Aspek yang dinilai : 1) ketepatan model matematika yang digunakan

2) kebenaran dalam melakukan operasi hitung

d. Kemampuan memeriksa hasil yang diperoleh Aspek yang dinilai : 1) kebenaran jawaban

F. Hubungan Pendekatan Kontekstual dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Kemampuan pemecahan masalah yang merupakan salah satu hasil belajar matematika tingkat tinggi (Sudiarta dalam Narohita, 2010 : 1440) merupakan hasil belajar yang sangat penting dikuasai oleh siswa. Hal ini Kemampuan pemecahan masalah yang merupakan salah satu hasil belajar matematika tingkat tinggi (Sudiarta dalam Narohita, 2010 : 1440) merupakan hasil belajar yang sangat penting dikuasai oleh siswa. Hal ini

Sebagai hasil belajar, kemampuan pemecahan masalah tentu juga dipengaruhi oleh faktor –faktor keberhasilan siswa dalam belajar. Salah satu faktor penting yang menjadi kunci dalam pemecahan masalah matematika adalah kemampuan penalaran formal. Hal ini disebakan karena pemecahan masalah menuntut kemampuan berpikir menurut alur kerangka berpikir logis yang berdasarkan logika matematika. Kemampuan berpikir logis menurut kerangka berpikir ini merupakan suatu penalaran (Suriasumantri dalam Narohita, 2010 : 1441).

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa, pendekatan pembelajaran kontekstual, kemampuan pemecahan masalah matematika berkaitan erat. Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan dari pendekatan pembelajaran kontekstual, karena dalam pendekatan pembelajaran kontekstual siswa, dibiasakan untuk memecahkan masalah sehari-hari yang dekat dengan keseharian siswa yang berkaitan dengan materi yang diajarkan.

G. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Subjek pembelajaran adalah peserta didik. Menurut Suprijono (2010:13), pembelajaran adalah dialog interaktif. Guru dalam perspektif pembelajaran adalah guru menyediakan fasilitas belajar bagi peserta Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Subjek pembelajaran adalah peserta didik. Menurut Suprijono (2010:13), pembelajaran adalah dialog interaktif. Guru dalam perspektif pembelajaran adalah guru menyediakan fasilitas belajar bagi peserta

Secara etimologi, istilah matematika berasal dari bahasa latin mathema yang berarti ilmu atau pengetahuan. Sedangkan dalam bahasa Belanda matematika disebut sebagai mathematick / wiskunde yang berarti ilmu pasti (TIM MKPBM dalam Hastuti, 2009 : 4). Matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan penelaah bentuk-bentuk atau struktur-struktur yang abstrak dan hubungan di antara hal-hal itu (Jihad dalam Hastuti, 2009: 4).

Pembelajaran matematika adalah proses kegiatan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap terhadap kebenaran suatu konsep atau pernyataan yang sifatnya konstan dan berbekas yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Cornelius (dalam Abdurrahman, 2003 : 253) mengemukakan ada lima alasan perlunya belajar matematika, yaitu karena matematika sebagai:

1. Sarana berfikir yang jelas dan logis

2. Sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari

3. Sarana mengenal pola-pola hubungan generalisasi pengalaman

4. Sarana untuk mengembangkan kreativitas

5. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan atau pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan pemahaman, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, table, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

(Depdiknas dalam Hastuti, 2009 : 5)

H. Materi Pembelajaran Standar Kompetensi

Memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dan pertidaksamaan satu variabel.

Kompetensi Dasar

Berdasarkan silabus matematika SMA kelas X, kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam materi pembelajaran Sistem Persamaan Linier dan Kuadrat adalah sebagai berikut:

1. Menyelesaikan sistem persamaan linear dan sistem persamaan campuran linear dan kuadrat dalam dua variabel.

2. Merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear.

3. Menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dan penafsirannya.

4. Menyelesaikan pertidaksamaan satu variabel yang melibatkan bentuk pecahan aljabar.

5. Merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan pertidaksamaan satu variabel.