Fungsi komunikasi orangtua terhadap pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta

(1)

i

FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA

TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK

DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Veronika Saduwale Sogen NIM: 121124052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan dengan tulus, penuh syukur dan bahagia kepada: Para Suster Kongregasi Puteri Reinha Rosari dan seluruh keluarga di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan serta Program Studi Pendidikan Agama

Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendukung dan memberikan kesempatan kepada saya


(5)

v MOTTO

“Segala Perkara Dapat Kutanggung Di Dalam Dia Yang Memberi Kekuatan Kepadaku.”


(6)

(7)

(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN YOGYAKARTA. Penulisan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis terhadap fenomena kehidupan keluarga yang mengalami pergeseran nilai yang seharusnya dihayati dan dikembangkan dalam keluarga, karena dasar pendidikan pertama dan utama adalah keluarga. Dari keluarga anak dibimbing dan diarahkan untuk menghadapi realitas hidupnya. Tentunya pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan karakter dan iman anak. Dalam proses pembentukan karakter dan iman anak, orang tua bertanggungjawab sebagai komunikator utama yang menanamkan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam kata dan perbuatannya. Baik tidaknya keteladanan yang ditunjukkan oleh orang tua akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Penulis juga merasa tergerak untuk memberikan sumbangan pikiran dan dukungan bagi keluarga-keluarga Katolik di Paroki Admistratif Santo Paulus Pringgolayan dalam meningkatkan kualitas komunikasi di tengah keluarga. Selain itu judul skripsi ini diangkat sebagai acuan untuk menggali lebih dalam sejauh mana tingkat komunikasi dalam keluarga Katolik yang membawa dampak positif bagi pertumbuhan karakter dan perkembangan iman anak.

Melalui penelitian di lapangan penulis menemukan bahwa banyak keluarga dalam hal ini orang tua belum menyadari dan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar. Banyak orang tua yang hanya sibuk mengejar hal-hal duniawi sementara mengabaikan tugas dan tagggungjawabnya di dalam keluarga secara khusus dalam mendampingi anak-anak. Frekuensi dan mutu perjumpaan di tengah keluarga yang ditunjukkan dalam perilaku komunikasi baik itu komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal tidak mendapat tempat penting, apa lagi perjumpaan dengan Tuhan dalam kebiasaan doa keluarga. Kesetiaan dalam menghayati hidup perkawinan semakin mengalami kemerosotan, karena hadirnya orang ketiga. Akibatnya anak-anak menjadi korban dari ketidakadilan yang diperlihatkan oleh orang tuanya. Banyak anak yang tidak mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas yang nampak dalam perilaku moral dan spiritual.

Maka dari itu, penulis mengusulkan kegiatan rekoleksi keluarga dengan tujuan membantu keluarga-keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan untuk menyadari peran dan tanggungjawabnya di dalam keluarga dalam membentuk karakter dan iman anak. Sementara itu tim pewartaan paroki diharapkan juga untuk secara berkala mengadakan kegiatan pendampingan keluarga, sehingga keluarga-keluarga Katolik terus dibantu untuk menghayati nilai-nilai luhur perkawinan.


(9)

ix

ABSTRACT

The title of this undergraduate thesis is THE FUNCTION OF COMMUNICATION OF PARENTS IN THE FORMATION OF CHARACTER AND FAITH OF THE CHILDREN IN THE CATHOLIC FAMILY IN THE ADMINISTRATIVE PARISH OF SAINT PAUL PRINGGOLAYAN YOGYAKARTA. The writing of this undergraduate thesis was begun from the concern of the writer to the phenomenon of family life that undergoes degradation of values. These values should be lived and developed within the family, because family is the first and foremost education. In the family children are guided, lead and directed to face the realities of life. Education in the family has a strategic value in the formation of the children's character and faith. In the process of the formation of character and faith of the children, parents have important role and responsibility. They are the main communicators who instill the values of life through their words and deeds. Parents should give the example and become the model to their children. Their life will affect the growth and development of the children. Therefore the writer decided to write a thesis to give support and ideas for the Catholic in the Administrative Parish of Saint Paul Pringgolayan Yogyakarta in order to develop and to improve the quality of communication in the family. The writer also would like to deepen the quality of communication in the family which brings a positive impact on the growth of character and faith of the children.

Through field research, the writer found that there were many families who did not realize and carry out their duties and responsibilities. Many parents were busy to pursue worldly things. They neglected to fulfill their duty and responsibility in the family especially to accompany their children. The frequency and quality of their encounter in the family were shown through the communication both verbal and non-verbal. These types of communication did not have place in the family. They never come together in the family prayer. As a result, the children became victims of injustice that were shown by the parents when they acted. Many children did do not have direction and purpose in life. It was clearly shown through there moral and spiritual behavior.

Therefore, the writer proposes a family recollection activities with the aim to help the Catholic families in the Administrative Parish of Saint Paul Pringgolayan to recognize the role and responsibilities within the family in shaping the character and faith of the children. Parish evangelization team is expected to periodically held family spiritual activities, so that Catholic families are assisted to appreciate continuously the great value of marriage.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Dengan perasaan gembira penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah menyertai penulis dengan Roh kebijaksanaan dan pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI

PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN

YOGYAKARTA. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proses penulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Yoseph Kristianto, SFK, M. Pd, selaku dosen penelitian dan penulisan skripsi ini, sekalipun di tengah banyak kesibukan beliau telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan skripsi ini berlangsung.

2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji II yang telah memberikan dukungan, semangat dan meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.

3. YH. Bintang Nusantara, SFK, M. Pd selaku dosen penguji III yang telah memberikan semangat, meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan demi semakin baiknya skripsi ini.


(11)

xi

4. Para Romo dan segenap staf dosen yang telah mendukung penulis selama menjalani perkuliahan di PAK dengan pengetahuan, ketrampilan dan spiritualitas sebagai seorang pewarta.

5. Staf dan karyawan Prodi PAK yang secara tidak langsung telah mendukung dan memberi dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Suster Pemimpin Umum dan Dewan Pimpinan Umum Kongregasi Puteri Reinha Rosari yang telah mengutus penulis untuk menjalani perutusan studi di Prodi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma.

7. Pemimpin komunitas dan segenap anggota komunitas PRR Magnificat Pringgolayan Yogyakarta yang telah memberikan dukungan dan setia mendoakan penulis.

8. Agustinus Aryawan, Pr selaku Pastor Kepala Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan yang telah menerima, memberikan izin serta mendukung penulis selama menjalani proses penelitian.

10. Umat Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan teristimewa keluarga-keluarga Katolik yang telah dipilih dan meluangkan waktu untuk diwawancarai sewaktu penulis melakukan penelitian.

11. Segenap keluarga: ayah, ibu dan saudara-saudari serta para sahabat kenalan yang dengan setia menemani, mendukung, mendoakan dan berkorban bagi penulis selama menjalani masa studi.

12. Teman-teman seangkatan yang selalu memotivasi penulis selama menjalani studi di IPPAK dan menjadi bagian dalam hidup penulis. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dalam bentuk apapun bagi penulis.


(12)

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN ... MOTTO ... HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ABSTRAK ... ABSTRACK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR SINGKATAN ... BAB I. PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penulisan ... D. Manfaat Penulisan ... E. Metode Penulisan ... F. Sistematika Penulisan ... BAB II. FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK ... A. Pembentukan Karakter dan Iman Anak dalam Keluarga Katolik ... 1. Keluarga Katolik ... a. Dasar Pembentukan Keluarga Katolik ...

i ii iii iv v vi vii viii ix x xiii xix 1 1 9 9 10 10 10 12 12 12 12


(14)

xiv

b. Pengertian Keluarga Katolik ... c. Perkawinan dan Keluarga Sebagai Panggilan dan Sakramen 2. Anak Dalam Keluarga Katolik ...

a. Anak Adalah Anugerah Allah Bagi Suami Istri ... b. Relasi Orang Tua-Anak dalam Keluarga ... c. Prinsip-prinsip Interaksi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga .. d. Suami Istri di Panggil Mengambil Bagian Dalam Tritugas Yesus Kristus ... 1) Kesaksian dan Keteladanan Dalam Keluarga Kristiani ... 2) Harapan Orang Tua Terhadap Kehidupan Anak ... a) Peran Orang Tua Dalam Keluarga ... b) Tugas Orang Tua Dalam Keluarga ... 3. Peran Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter dan Iman

Anak ... a. Penanaman Nilai Pada Anak ... b. Pembentukan Karakter Anak ... c. Pembentukan Iman Anak ... B. Fungsi Komunikasi Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter dan

Iman Anak Dalam Keluarga Katolik ... 1. Pembentukan Karakter dan Iman Anak yang Didambakan Dalam Keluarga Katolik ... a. Pembentukan Karakter atau Kepribadian Anak yang

Didambakan ... b. Pembentukan Iman Anak Yang Didambakan ... 1) Iman Sebagai Jawaban Pribadi ...

14 15 19 19 20 23 27 27 29 30 32 35 35 37 40 43 43 43 48 48


(15)

xv

2) Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Iman ... 3) Tahap-tahap Perkembangan Iman ... 2. Pengertian Komunikasi ... a. Arti Etimologis ... b. Pengertian Komunikasi ... 3. Macam-macam Jenis Komunikasi ... a. Komunikasi Verbal ... b. Komunikasi Non Verbal ... c. Komunikasi Individual ... d. Komunikasi Kelompok ... 4. Fungsi Komunikasi Dalam Pembentukan Kepribadian dan

Iman Anak ... a. Pentingnya Komunikasi Pada Umumnya ... b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Dalam Keluarga ... c. Pola Komunikasi dan Interaksi Dalam Keluarga ... d. Fungsi Komunikasi Dalam Keluarga ... e. Tujuan Komunikasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga

Katolik ... BAB III. PENELITIAN TENTANG DINAMIKA KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN ... A. Deskripsi Paroki Santo Paulus Pringgolayan ...

1. Profil Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ... a. Latar Belakang Berdirinya Paroki Administratif Santo

49 50 52 52 52 55 55 56 57 57 58 58 59 63 63 65 67 67 67


(16)

xvi

Paulus Pringgolayan ... b. Visi dan Misi Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ... c. Keadaan Demografis dan Tantangan ... 2. Keadaan Umat di Paroki Administratif Santo Paulus

Pringgolayan ... a. Data Keluarga di Paroki Administartif Santo Paulus

Pringgolayan ... b. Kondisi Umat ... c. Keterlibatan Umat Dalam Hidup Menggereja dan

Masyarakat ... B. Penelitian Tentang Model Komunikasi Dalam Rangka

Pembentukan Karakter dan Iman Anak di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ... 1. Latar Belakang Penelitian ... 2. Rumusan Permasalahan ... 3. Tujuan Penelitian ... 4. Jenis Penelitian ... 5. Manfaat Penelitian ... 6. Tempat dan Waktu ... 7. Teknik Pengumpulan Data ... a. Observasi ... b. Wawancara ... c. Analisis Data (Studi Dokumen) ... d. Dokumentasi ... 8. Variabel Penelitian ...

67 69 70 71 71 71 72 73 75 75 76 76 77 77 77 77 78 78 79 79


(17)

xvii

9. Intrumen Penelitian ... 10. Populasi dan Sample ... 11. Teknik Analisis Data ... C. Laporan dan Pembahasan hasil Penelitian Tentang Model Komunikasi dalam Rangka Pembentukan Karakter dan Iman Anak dalam Keluarga Katolik Di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan ... 1. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... a. Pola Komunikasi ... 1) Hasil Penelitian ... 2) Pembahasan ... b. Keharmonisan Dalam Keluarga ... 1) Hasil Penelitian ... 2) Pembahasan ... c. Pembentukan Karakter dan Iman Anak ...

1) Hasil Penelitian ... 2) Pembahasan ... 2. Rangkuman Hasil Penelitian dan Permasalahan yang

Ditemukan ... BAB IV. USULAN PROGRAM UNTUK MENINGKATKAN

KESADARAN KELUARGA KATOLIK DI PAROKI

ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN

SEHUBUNGAN DENGAN FUNGSI KOMUNIKASI

DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK ... A. Latar Belakang ... B. Usulan dan Bentuk Program ...

82 83 84 85 85 85 85 89 92 92 95 97 97 100 102 104 104 106


(18)

xviii

C. Matriks Program ... D. Satuan Pendampingan ... 1. Satuan Pendampingan Pembukaan ... 2. Satuan Pendampingan I ... 3. Satuan Pendampingan II ... 4. Satuan Pendampingan III ... BAB V. PENUTUP ... A. Kesimpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA... Lampiran 1: Surat Ijin Penelitian ... Lampiran 2: Transkrip Wawancara ... Lampiran 3: Instrumen Membangun Niat ... Lampiran 4: Teks Kitab Suci... Lampiran 5: Teks Lagu ... Lampiran 6: Teks Cerita ...

108 111 111 114 121 126 136 136 137 139 (1) (2) (32) (34) (35) (36)


(19)

xix

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Teks Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Luk Kej Rom Ef Kol Flp : : : : : : Lukas Kejadian Roma Efesus Kolose Filipi

B. Singkatan Dokumen Gereja KGK GS FC : : :

Katekismus Gereja Katolik, dicetak oleh Percetakan Arnoldus Ende, 1995

Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja dewasa ini, 7 Desember 1965

Familiaris Consortio. Peranan Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern: Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II kepada para Uskup, Imam-imam dan Umat beriman seluruh Gereja Katolik, tanggal 22 November 1981.


(20)

xx C. Singkatan Lain

ARDAS Art Bdk Dr DIY IPTEK PRR KAS KHK Kan KK KWI PIA PIR Pkl Prof Pr Rm RT RW : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Arah dasar Artikel Bandingkan Doktor

Daerah Istimewa Yogyakarta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Puteri Reinha Rosari

Keuskupan Agung Semarang

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983

Kanon Kanon

Kepala Keluarga

Konferensi Waligereja Indonesia Pendidikan Iman Anak

Pendampingan Iman Remaja Pukul (Waktu) Profesor Praja Romo Rukun Tetangga Rukun Warga


(21)

xxi St

SJ SK S1 Vikep

: : : : :

Santo/Santa Serikat Jesuit Surat Keputusan Sarjana


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Situasi dunia saat ini, sedang dipengaruhi oleh proses kemajuan pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Proses kemajuan pengetahuan dan teknologi tersebut adalah bagian dari modernisasi yang cukup mempengaruhi atau mengubah pola kehidupan bermasyarakat pada umumnya dan keluarga pada khususnya. Perubahan pola kehidupan dalam masyarakat dan keluarga ini, tentu menghasilkan pandangan-pandangan kehidupan yang berbeda. Melalui modernisasi manusia memandang segala sesuatu secara berbeda dan lebih rasional. Perkembangan pandangan hidup baru seperti hedonisme, konsumerisme, materialisme dan individualisme nampaknya telah menjadi gaya hidup dalam era modernisasi ini, yang cukup berpengaruh kuat dalam keluarga-keluarga Kristen.

Meskipun perkembangan pengetahuan dan teknologi di era modernisasi ini membawa banyak perubahan yang cukup membantu manusia dalam segala aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi dan budaya. Namun di sisi lain perkembangan pengetahuan dan teknologi ini berdampak negatif bagi manusia, yakni munculnya pandangan-pandangan baru seperti: hedonisme, konsumersime, materialisme dan individualisme. Pandangan-pandangan baru ini seakan menekan dan menguasai manusia serta memunculkan kecenderungan untuk mencari kepuasan dan kenikmatan sesaat. Manusia seakan berpikir bahwa kesenangan dan kenikmatan merupakan tujuan hidup, dan cenderung untuk menolak hal-hal yang menyakitkan


(23)

(Hedonisme). Karena tujuan hidupnya adalah untuk mencapai kenikmatan, maka sangat jelas jika manusia lebih senang menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan ini sulit untuk dihilangkan (Konsumerisme). Ada rasa yang mendominasi untuk mengejar kekayaan dan hal-hal lainnya yang membuat manusia menjadi serakah dengan melibatkan banyak resiko (Materialisme). Jika manusia sudah mencapai taraf di mana ia merasa segalanya terpenuhi, maka ia hanya akan mementingkan dirinya sendiri, tanpa mempedulikan orang lain dan bahkan sampai melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial (Individualisme). Situasi ini menandai bahwa manusia pada jaman ini mudah terpengaruh untuk mengejar hal-hal jasmani ketimbang hal-hal rohani, juga pendidikan yang bisa mengarahkan sesorang kepada kebaikan.

Bertolak dari situasi ini setiap orang tua tentu merasa prihatin dan gelisah karena pandangan-pandangan hidup baru yang telah diuraikan di atas merasuk dalam lingkup keluarga teristimewa kepada anak-anak. Keprihatinan mereka tentu bertolak dari bagaimana mereka menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya yang tidak sesuai dengan harapan. Keprihatinan orang tua ini didasari oleh sebuah tanggungjawab terhadap pembentukan dan pembinaan iman anak. Selain itu keluarga adalah sekolah fundamental bagi anak-anak di bidang kehidupan sehari-hari (FC 37) dan rumah sebagai sekolah yang tepat untuk hidup (J. Hardiwiratno, 1994: 23), di mana orang tua hendaknya harus selalu mawas dan waspada terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Artinya controling orang tua terhadap kehidupan sosial anak-anak dalam lingkungannya perlu mendapatkan penekanan khusus dari lingkungan keluarga.


(24)

Orang tua perlu menyadari bahwa pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan karakter dan iman anak. Seorang anak berada di dalam keluarga sejak ia dikandung, dilahirkan, serta tumbuh menjadi manusia dewasa dan mandiri. Dengan kasih dan keteladanan orang tua sebagai “guru” pertama dan utama, tahap demi tahap, anak akan mengerti arti hidup (Alfonsus Sutarno, 2013: 5). Untuk itu baik tidaknya keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keteladanan dan kebiasaan yang diperlihatkan oleh orang tua dalam bersikap dan berperilaku tentu tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Anak akan dengan mudah meniru kebiasaan hidup orang tua karena memang pada masa perkembangannya, anak selalu ingin meniru.

Sejauh pengamatan yang dilakukan, banyak orang tua di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan dalam kehidupan sehari-harinya terkadang tidak hanya secara sadar, tetapi juga terkadang secara tidak sadar memberikan contoh yang kurang baik kepada anak-anak, misalnya meminta bantuan kepada anak tetapi dengan nada mengancam, tidak memberi perhatian dengan mau mendengarkan cerita anak tentang sesuatu hal, kesibukan bekerja sampai lupa waktu bersama anak di rumah, berbicara kasar pada anak atau menegur anak tidak pada tempatnya, orang tua berkelahi di depan anak-anak, selalu merasa diri benar dan tidak rendah hati untuk minta maaf pada anak ketika melakukan kesalahan, mengaku serba tahu padahal tidak mengetahui banyak tentang sesuatu, berpakaian tidak sopan di tempat umum, memberi kasih sayang


(25)

dengan membeda-bedakan, kurang memberikan kepercayaan kepada anak untuk melakukan sesuatu, tidak pernah menciptakan waktu untuk makan dan berdoa bersama di rumah, dan sebagainya. Tentunya bagi anak, orang tua adalah model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai model orang tua seharusnya memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan perilaku orang tua harus mencerminkan nilai-nilai Kristiani. Namun sayangnya tidak semua orang dapat melakukannya. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, misalnya: orang tua yang sibuk dan bekerja keras siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan materi anak-anaknya, waktunya dihabiskan di luar rumah, jauh dari keluarga, tidak sempat mengawasi perkembangan anaknya, dan bahkan tidak punya waktu untuk memberikan bimbingan, sehingga pendidikan iman anak-anak terabaikan. Dalam kasus tertentu juga sering ditemukan sikap dan perilaku orang tua yang keliru dalam memperlakukan anak, misalnya orang tua membiarkan anak-anaknya berjam-jam bahkan berhari-hari berada di luar rumah tanpa kontrol. Anak merasa resah gelisah dan tidak betah tinggal di rumah. Di luar rumah anak mencari teman yang dianggapnya dapat memahami dirinya, perasaannya dan keinginannya. Kegoncangan jiwa anak ini akhirnya dimanfaatkan oleh anak-anak nakal untuk menyeretnya ke dalam sikap dan perilaku yang kurang baik. Sebagian besar kelompok mereka tidak hanya sering mengganggu ketenangan orang lain seperti melakukan pencurian atau perkelahian, tetapi juga terlibat dalam penggunaan obat-obat terlarang atau narkoba. Pergi ke tempat-tempat hiburan merupakan kebiasaan mereka. Di kota-kota besar misalnya: ayah, ibu dan anak sangat jarang bertemu dalam rumah. Ayah dan ibu sibuk dengan tugas mereka masing-masing,


(26)

tidak mau tahu kehidupan anak. Kesunyian rumah memberikan peluang bagi anak untuk pergi mencari tempat-tempat lain atau apa saja yang memberikan keteduhan dan ketenangan dalam kegalauan batinnya. Padahal semestinya waktu-waktu tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk belajar, terlibat dalam kegiatan di lingkungan, dan sebagainya.

Beberapa contoh sikap dan perilaku dari orang tua dan juga kasus yang telah diuraikan di atas tentunya akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak. Orang tua seharusnya menyadari bahwa anak belum memiliki kemampuan untuk menilai, apakah yang diberikan oleh orangtuanya itu termasuk sikap dan perilaku yang baik atau tidak, sehingga dalam berperilaku hendaknya orang tua perlu waspada dan berhati-hati karena jika tidak, maka akan terbentuk karakter negatif anak. Untuk itu pola komunikasi orang tua di sini sebaiknya bersentuhan langsung dengan masalah tipe kepemimpinan orang tua dalam keluarga. Sebagai pemimpin orang tua harus peka dalam membaca apa yang baik dan tepat untuk masa depan anak. Sebagai pemimpin berarti juga bahwa orang tua menjadi teladan bagi anak-anak. Kata-kata, tindakan, pikiran, dan perasaan orang tua harus menjadi referensi atau orientasi hidup si anak (Alfonsus Sutarno, 2013: 72). Selain itu macam-macam sifat yang harus dimiliki oleh orangtua sebagai seorang pemimpin dalam keluarga, yaitu ada kekuatan energi jasmani dan rohani, kesadaran akan tujuan dan arah pendidikan anak, antusiasme (semangat, kegairahan, dan kegembiraan yang besar), keramahan dan kecintaan, integritas kepribadian (keutuhan, kejujuran, dan ketulusan hati), penguasaan teknik dalam mendidik anak, ketegasan dalam mengambil keputusan, cerdas, memiliki


(27)

kepercayaan diri, stabilitas emosi, kemampuan mengenal karakteristik anak, objketif, dan ada dorongan untuk menjadi pribadi yang bisa menyatu dengan anak dalam keluarga karena pada dasarnya orang tua dan anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Ikatan itu dalam bentuk hubungan emosional antara anak dan orang tua yang tercermin dalam perilaku. Sebab kehormatan keluarga salah satunya juga ditentukan oleh bagaimana sikap dan perilaku anak dalam menjaga nama baik keluarga. Lewat sikap dan perilaku anak tentu nama baik keluarga dipertaruhkan.

Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa kepribadian dan perbedaan latar belakang orang tua (suami-istri, bapak-ibu) bisa menjadi persoalan utama komunikasi. Ada dua penyebab utama yakni internal dan eksternal. Penyebab internal bisa berupa perbedaan karakter maupun belum dewasanya sikap salah satu atau kedua pasangan suami-istri dalam membina keluarga. Ketidakdewasaan itu antara muncul dalam sikap suka menuntut, tidak menerima dan menghargai keunikan pribadi, menyimpan luka atau trauma masa lalunya sehingga berpengaruh pula dalam relasi hidup berkeluarga, dan melempar kesalahan kepada pihak lain. Dengan faktor-faktor internal ini menjadikan orang tua belum selesai dengan dirinya. Atau tegasnya belum siap secara mental untuk menjadi orang tua. Perilaku-perilaku ini sangat berpengaruh pula dalam cara pendampingan dan pendidikan anak. Ada juga faktor eksternal yang ikut berpengaruh dalam persoalan komunikasi dalam keluarga, misalnya orang tua yang cenderung sibuk membangun relasi atau komunikasi dengan dunia luar (faktor gadget) sehingga membuat dia lupa akan dunia keluarganya sendiri. Di atas sudah disinggung tentang kealpaan orang tua untuk hadir bersama anak karena alasan ekonomi


(28)

(harus tinggal dan bekerja terpisah dari keluarga). Persoalan atau kesulitan komunikasi juga bisa muncul karena perbedaan usia kedua pasangan, perbedaan latar belakang budaya, pendidikan dan agama. Semua itu sangat berpengaruh pada cara orang tua mendidik dan membesarkan anak dalam keluarga.

Berdasarkan karakteristik, faktor-faktor penyebab macetnya komunikasi sebagaimana dimaksudkan di atas, maka perlu dilakukan tindakan yang konkret untuk mengatasinya. Tindakan itu harus didukung oleh kesadaran orang tua bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang dapat mengarahkan anak untuk menghadapi kehidupannya. Komunikasi antara orang tua dan anak sangat penting dalam membentuk suatu keluarga yang harmonis, di mana untuk mencapai keluarga yang harmonis, semua anggota keluarga harus didorong untuk saling terbuka dalam mengemukakan pendapat, gagasan, kemudian saling memahami latar belakang aktivitasnya, serta menceritakan pengalaman-pengalamannya baik yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan. Komunikasi orang tua dan anak adalah suatu proses hubungan antara orang tua yaitu ibu-ayah dan anak yang merupakan jalinan yang mampu memberi rasa aman bagi anak melalui suatu hubungan yang memungkinkan keduanya untuk saling berkomunikasi sehingga adanya keterbukaan, percaya diri dalam menghadapi masalah. Komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak dalam satu ikatan keluarga di mana orang tua bertanggung jawab dalam mendidik anaknya. Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak di sini bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman bersama terhadap sesuatu hal di mana antara orang tua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau


(29)

nasehat. Hubungan komunikasi yang efektif ini terjalin karena adanya rasa keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif, kesamaan antara orang tua dan anak. Komunikasi di sini lebih mengarah pada perlindungan orang tua terhadap anak, misalnya peran ayah dalam memberi informasi dan mengarahkan pada hal pengambilan keputusan pada anak yang peran komunikasinya cenderung meminta dan menerima, sedangkan komunikasi ibu dan anak lebih bersifat pengasuhan karena kecenderungan anak untuk berhubungan dengan ibu lebih kuat, misalnya jika anak merasa kurang sehat, sedih, maka peran ibu lebih menonjol.

Setiap keluarga Kristiani perlu menyadari bahwa komunikasi antara orang tua dan anak dalam keluarga merupakan interaksi yang terjadi antara anggota keluarga dan merupakan dasar dari perkembangan kepribadian dan iman anak. Dalam keluarga orang tua perlu menyadari bahwa anak dibimbing untuk mengembangkan kemampuan diri dan kreativitasnya serta menyimak nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungan di mana ia berada. Oleh karena itu sesibuk apapun pekerjaan yang harus diselesaikan oleh orang tua, meluangkan waktu demi pendidikan anak adalah lebih baik. Bukankah orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang lebih mendahulukan pendidikan anak dari pada hanya mengurusi pekerjaan siang dan malam? Lalu bagaimana kesulitan ini bisa dijembatani? Atau bagaimana komunikasi yang intensif itu dikembangkan dalam keluarga?

Kedua orang tua, suami dan istri perlu mengambil waktu bersama dan berusaha menemukan titik-titik yang menyulitkan mereka berkomunikasi. Jika keduanya sudah mampu menemukan faktor-faktor penghambat atau penyebab


(30)

baik internal diri maupun eksternal, maka akan memudahkan mereka menemukan jalan keluar yang terbaik bagi keluarga. Untuk bisa mencapai itu semua, maka segala ego diri masing-masing pihak harus dikalahkan oleh kepentingan bersama untuk perkembangan karakter anak dalam segala aspek. Keputusan yang diambil orang tua untuk kebaikan anak itulah yang utama. Sebab anak yang tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang baik, akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas maka permasalahan pokok yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah menjawab pertanyaan:

1. Pola komunikasi macam apa yang diterapkan orang tua terhadap anak dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

2. Apa peranan fungsi pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak?

3. Faktor pendukung dan penghambat apa saja yang dialami oleh orang tua dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

4. Sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak?

C. Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menguraikan beberapa pola komunikasi orang tua terhadap anak dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak.


(31)

2. Memaparkan peranan pola komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak?

3. Mengungkapkan faktor pendukung dan penghambat yang dialami oleh orang tua dalam berkomunikasi dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak. 4. Mengetahui sejauh mana usaha orang tua dalam membangun komunikasi

terhadap pembentukan karakter dan iman anak? D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Membantu menyadarkan dan meyakinkan orang tua akan pentingnya membangun komunikasi yang benar bagi pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik.

2. Memberi gambaran kepada orang tua tentang berbagai pola komunikasi yang efektif dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak.

3. Membantu orang tua untuk menemukan berbagai masalah yang dihadapi dalam proses pembentukan karakter dan iman anak.

4. Membantu Gereja khususnya seksi pewartaan Paroki dalam bidang pendampingan keluarga.

E. Metode Penulisan

Proses penulisan ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif melalui penelitian kualitatif.

F. Sistematika Penulisan

Judul yang dipilih untuk skripsi adalah “Fungsi komunikasi orang tua terhadap pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga katolik di Paroki


(32)

Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta”. Judul ini akan diuraikan menjadi lima bab.

Bab I merupakan pendahuluan yang menyampaikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab tersebut merupakan gambaran awal dari judul yang diajukan oleh penulis dalam tulisan ini.

Bab II membahas gambaran umum tentang pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Kristiani. Penulis juga akan membahas tentang pengertian komunikasi dan sejauh mana komunikasi dibangun dalam keluarga.

Bab III penulis menjelaskan penelitian tentang dinamika komunikasi orang tua dalam rangka pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan. Penulis juga akan membahas hasil penelitian mengenai fungsi komunikasi, keharmonisan dalam keluarga dan pembentuka karakter dan iman anaK.

Bab IV merupakan usulan program yang diajukan penulis sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian. Usulan program berupa rekoleksi keluarga.

Bab V merupakan bab penutup. Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan ususl saran yang perlu diperhatikan.


(33)

BAB II

FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KARAKTER DAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK

Pada bagian ini penulis akan menguraikan dua hal penting yakni pembentukan kepribadian dan iman anak, dan pola komunikasi orang tua dalam pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga Katolik.

a. Pembentukan Karakter dan Iman Anak Dalam Keluarga Katolik 1. Keluarga Katolik

a. Dasar Pembentukan Keluarga Katolik

Ketika manusia berbicara tentang keluarga Katolik maka manusia akan dihantar kepada pemikiran tentang kisah penciptaan. Sebab pada awal mula, penciptaan dan pembentukan keluarga merupakan karya penciptaan Allah. Allah adalah penggagas pertama dan utama pembentukan keluarga. Karena itu dasar utama keluarga Katolik adalah Allah. Atas dasar ini manusia membangun persekutuan dalam keluarga.

Manusia tidak diciptakan Allah untuk hidup seorang diri melainkan untuk hidup dalam kebersamaan. Allah berfirman, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya yang sepadan dengan dia” (bdk, Kejadian, 2: 18). Manusia diciptakan untuk hidup dalam kesatuan dan persekutuan yang mesra. Alkitab secara jelas mengungkapkan bahwa “Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar


(34)

Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” (bdk, Kejadian, 1: 27). Pada mulanya Allah menciptakan manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan kepadanya (bdk, Kejadian, 2: 7). Allah melihat bahwa “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja maka Allah menciptakan seorang penolong yang sepadan dengan dia. Allah membuat manusia itu tidur nyenyak lalu Allah mengambil satu dari rusuknya lalu diciptakanNya seorang perempuan lalu dibawaNya kepada manusia itu” (bdk, Kejadian, 2: 22). Pikiran yang paling penting di sini bukan soal perempuan diciptakan dari tulang laki-laki melainkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah menurut gambarNya. Laki-laki menerima perempuan sebagai bagian utuh dari dirinya, “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (bdk, Kejadian, 2: 23). Tujuannya untuk saling menolong dan saling menyempurnakan. Demi terwujudnya cita-cita ini, maka “Seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging” (bdk, Kejadian, 2: 24).

Atas dasar pemikiran teologis ini, maka manusia dari generasi ke generasi terutama orang Katolik yang ingin menikah dan membangun keluarga mesti percaya bahwa dasar pembentukan dan persekutuan keluarga Kristiani adalah Allah. Perkawinan dan keluarga bukan sekedar jodoh, melainkan anugerah Allah bagi pria dan wanita. Karena itu persekutuan suami-istri dalam keluarga dan perkawinan mesti dihayati dalam semangat cinta kasih Allah. Dengan kata lain, urusan keluarga dan perkawinan, bukanlah urusan manusia, melainkan urusan dan rencana Allah. Karena seturut rencana Allah keluarga telah ditetapkan sebagai


(35)

‘persekutuan hidup dan kasih yang mesra’, dan mengemban misi untuk membangun persekutuan hidup dalam kasih, melalui usaha sebagaimana segala sesuatu yang diciptakan dan ditebus akan mencapai pemenuhannya dalam Kerajaan Allah (Maurice Eminyan, 2000: 85).

b. Pengertian Keluarga Katolik

Berdasarkan pemikiran teologis-biblis tentang keluarga di atas, maka penulis dapat mengatakan bahwa keluarga secara keseluruhan pada dasarnya adalah suatu lembaga atau unit yang paling kecil dalam masyarakat. Sedangkan keluarga Katolik khususnya dapat dipahami sebagai sebuah miniatur dari Gereja. Keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak yang disebut dengan keluarga kecil atau keluarga inti. Jika kita merujuk pada sejarah keselamatan maka keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh Allah sendiri yang nyata dalam persekutuan hidup Adam dan Hawa (bdk, Kejadian, 1:27-29). Keluarga pertama ini terdiri dari suami-istri dan anak-anak : Adam-Hawa serta Kain dan Abel (bdk, Kejadian, 4: 1-2). Dalam persekutuan hidup keluarga setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan peran sosial yang berbeda-beda, namun tujuannya sama yakni untuk membangunn keluarga Kristiani yang harmonis sesuai rencana Allah.

Menurut Lee sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2012: 6), dari segi keberadaan anggota keluarga, sesungguhnya keluarga dapat dibedakan menjadi dua yakni keluarga inti (nuclear family) yang di dalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sabling. Kemudian keluarga


(36)

batih (extendef family) yang disebut keluarga besar yaitu persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak serta kakek, nenek, paman dan bibi, dan lain-lain. Mereka berasal dari hubungan keluarga (kekerabatan) ayah maupun keluarga (kekerabatan) ibu.

Sedangkan dalam buku yang berjudul “Catholic Parenting” (Alfonsus Sutarno, 2013: 42) dikatakan bahwa: keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan “Gereja rumah tangga”, satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen (KGK 1666).

c. Perkawinan dan Keluarga Sebagai Panggilan dan Sakramen

Perkawinan merupakan persekutuan orang-orang terbaptis yang diikat oleh sakramen untuk membangun keluarga menurut rencana Allah (KHK, Kan. 1061). Maka menjadi Katolik melalui pembaptisam berarti bersedia menjadi pengikut Kristus. Menjadi pengikut Kristus berarti berusaha meneladani hidup dan ajaran-ajaran Kristus. Keluarga Katolik merupakan tempat untuk menghayati ajaran-ajaran Kristus itu secara baik, benar dan utuh. Karena itu perkawinan dan keluarga tidak sekedar suatu persekutuan hidup manusiawi, melainkan suatu panggilan untuk menghayati cinta kasih dari persekutuan Allah Tritunggal secara nyata dalam persekutuan cinta suami-istri dan anak-anak dalam keluarga. Inilah kekhasan yang membedakan keluarga Kristiani dengan keluarga pada umumnya. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung


(37)

dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan (GS, art. 48)

Keluarga-keluarga Katolik dewasa ini dapat belajar begaimana membangun persekutuan dalam hidup perkawinan dan keluarga dengan bercermin pada pengalaman dan cara hidup jemaat perdana. Orang Kristen pada umumnya dan keluarga-keluarga Kristen pada khususnya dipanggil untuk mewarisi tradisi hidup Kristen sebagaimana yang diwariskan oleh jemaat perdana (bdk, Kisah Para Rasul, 2: 41-47). Mereka mesti berusaha, antara lain pertama, menggali dan menemukan apa yang menjadi dasar dalam hidup Gereja perdana untuk dijadikan kekuatan menyuburkan hidup bersama dalam keluarga; kedua, berusaha meneruskan apa yang baik, luhur dan berharga dalam kehidupan bersama. Pada titik ini, keluarga-keluarga Kristen dituntut untuk benar-benar menjadi sakramen yaitu tanda dan sarana penyelamatan Allah yang nampak dalam kasih Yesus di tengah keluarga dan dunia. Suami-istri merupakan sakramen yang menyelamatkan dari Allah di tengah dunia (St. Darmawijaya, 1994: 10).

Kesadaran inilah yang melatarbelakangi pertimbangan Gereja Katolik dalam mempersiapkan pasangan nikah sebelum menerima sakramen perkawinan untuk hidup sebagai suami-istri dalam keluarga. Hidup berkeluarga yang diawali dengan penerimaan sakramen perkawinan merupakan suatu panggilan hidup untuk menjadi rekan kerja Allah dalam melangsungkan karya penciptaan-Nya, demi perkembangan hidup dan berlangsungnya generasi hidup manusia (bdk, Kejadian, 1: 28). Karena itu manusia terutama suami-istri disebut rekan


(38)

sepencipta Allah (co-creator) untuk bersama Allah membangun dunia dan manusia teristimewa dalam melahirkan keuturunan baru bagi kemuliaan Allah.

Yoseph Kristianto dalam buku yg berjudul, “Semakin Menjadi Manusia”, (Ed, B. A Rukyanto dan Sumarah, 2014: 53) mengungkapkan bahwa apabila pria dan wanita telah dipertemukan dalam cinta kasih, selanjutnya dengan kebulatan hati dan kebebasan nuraninya berniat membangun hidup bersama, maka niat suci ini perlu ditempatkan dalam perspektif menanggapi panggilan Tuhan. Karena sejak awal mula manusia telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sehingga mempunyai potensi untuk bertumbuh dan saling melengkapi satu sama lain di antara suami-istri. Keluarga merupakan tempat suami-istri saling memberi energi, perhatian, komitmen, kasih serta didukung oleh lingkungan yang kondusif untuk bertumbuh dan berkembang dalam pelbagai dimensi kehidupan.

Alfonsus Sutarni dalam buku “Catholic Parenting” (2013: 10), mengatakan bahwa: hidup berkeluarga dimulai dengan perkawinan. Tidak ada keluarga tanpa perkawinan. Bentuk hidup bersama tanpa perkawinan pada dasarnya bukanlah keluarga. Dalam aturan umum perkawinan pada hakekatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita yang saling mencintai untuk membentuk hidup bersama. Kemudian demi anak-anak, maka seharusnya keluarga dibentuk dari sebuah perkawinan yang sah, yang diakui secara agama maupun sipil. Dengan perkawinan yang sah, maka keberadaan anak-anak akan menjadi tujuan perkawinan. Konskuensinya, orang tua akan bertanggung jawab atas hidup, martabat, pendidikan, dan tumbuh kembang anak. Anak yang


(39)

dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dan dididik secara Kristen. Perkawinan yang sah memungkinkan adanya komitmen yang jelas dari orang tua akan keberadaan keluarga dan masa depan anak-anak. Anak-anak mendapat jaminan kehidupan yang jelas. Sebab di dalam kehidupan perkawinan dan keluarga setiap individu diperkenalkan ke dalam keluarga manusia dan juga ke dalam keluarga Allah. Dengan kelahiran dan pendidikan, anak-anak yang dikaruniakan diantar masuk ke dalam keluarga Allah, yakni Gereja. Keluarga sebagai Gereja mini adalah tempat dan lingkungan untuk bertumbuh dan berkembang dalam setiap generasi (J. Hardiwiratno, 1994: 50).

Selanjutnya dalam buku berjudul, “Menuju Keluarga Bertanggung Jawab” J. Hardiwiratno (1994; 60) mengatakan bahwa saling memberikan hidup di antara individu-individu karena rencana Allah sendiri, merupakan suatu berkat yang fundamental. Saling memberi hidup merupakan suatu tanda cinta dan tanda pemberian diri di dalam hidup perkawinan. Pemberian hidup dalam perkawinan tidak sekedar untuk melahirkan anak, melainkan juga menjadi kekuatan untuk membantu anak dapat berkembang sebagai anak yang bermoral dan berspiritual. Karena di dalam dan melalui keluarga landasan kepribadian dan perkembangan iman anak dibangun dan dikembangkan. Selain itu keluarga merupakan tempat untuk mentransfer nilai-nilai kehidupan yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan anak baik dari segi moral maupun segi spiritual. Untuk itu setiap anggota keluarga perlu saling belajar hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang kurang baik.


(40)

Rasul Santo Paulus menegaskan bahwa keluarga Kristiani perlu membiarkan Kristus memerintah sebagai Tuhan atas hidup mereka agar masalah dan tantangan apapun dapat diselesaikan dalam nama Tuhan. Setiap keluarga Katolik perlu memahami bahwa yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling melengkapi dan saling mencintai satu sama lain secara total dan menyeluruh (bdk, Efesus, 5: 22-30).

2. Anak Dalam Keluarga Katolik

a. Anak Adalah Anugerah Allah bagi Suami-Istri

Salah satu tujuan perkawinan Katolik adalah untuk melahirkan anak. Anak adalah buah cinta suami-istri dalam perkawinan, tapi terutama anak adalah anugerah cinta dari Allah kepada suami-istri dalam perkawinan mereka. Anak sebagai anugerah Allah kepada suami-istri membutuhkan cinta, perhatian dan tanggung jawab orang tua. Paus Yohanes Paulus II dalam “Surat Apostolik

Familiaris Consortio” (FC, art. 18) mengatakan bahwa: keluarga yang didasarkan

dan dijiwai oleh cinta kasih, merupakan persekutuan pribadi-pribadi, persatuan antar suami dan istri, persatuan orang tua dan anak-anak dan persatuan sanak saudara. Tugasnya yang pertama ialah dengan setia menghayati realitas persatuan dalam usaha terus menerus untuk mengembangkan persekutuan antarpribadi yang otentik. Persekutuan antarpribadi ini terjadi dalam komunitas keluarga yang membentuk suatu ikatan yang disebut relasi.


(41)

b. Relasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga

Prinsip persekutuan menuntut pribadi-pribadi dalam keluarga untuk menjalin relasi yang bersifat personal dan fungsional. Dalam pembangunan relasi inilah para anggota keluarga memperlihatkan tanggungjawabnya satu terhadap yang lain. Relasi personal berpusat pada hati sedangkan relasi fungsional berkaitan dengan peran masing-masing pribadi dalam keluarga dan dengan keluarga-keluarga lain. Setiap pribadi mesti menanamkan dalam hatinya prinsip rasa ‘memiliki’ satu sama lain. Artinya setiap anggota keluarga mesti menunjukkan rasa tanggungjawab satu terhadap yang lain dan merasa bahwa anggota keluarga yang lain merupakan bagian utuh dari dirinya karena “mereka bukan lagi dua melainkan satu” (bdk. Kejadian 2: 24). Relasi personal diartikan sebagai relasi antarpribadi, yang didasarkan pada kedudukan atau fungsi seseorang. Dalam relasi ini setiap pribadi adalah setara dengan setiap pribadi yang lain dalam keluarga. Tidak ada yang merasa lebih penting dari yang lain. Sedangkan relasi fungsional adalah relasi yang muncul dari kedudukan atau fungsi seseorang dalam keluarga, misalnya relasi orang tua dengan anak. Dalam keluarga, kedua relasi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena hubungan fungsional dalam keluarga harus selalu personal juga, artinya harus selalu dalam semangat menerima yang lain sebagai pribadi yang bermartabat sama karena memiliki hak asasi yang sama pula (KWI, 2011: 22). Relasi antaranggota keluarga tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan hidup sebagai makluk sosial, melainkan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai tertentu yakni:


(42)

1) Relasi suami-Istri. Suami-istri dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang bersifat eksklusif dan tak terputuskan, kecuali oleh kematian. Persekutuan suami istri itu bertujuan saling melengkapi dan menjadi sakramen cinta-kasih Allah yakni tanda dan sarana kehadiran cinta-kasih Allah yang menyelamatkan (KWI, 2011: 22)

2) Relasi Orang Tua-Anak. Relasi orang tua dan anak bertujuan menghayati dan melaksanakan perintah Allah untuk mencintai sesama maupun untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Santo Paulus mengajarkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayah dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (bdk, Efesus, 6: 1-4)

3) Relasi Keluarga Inti-Keluarga Besar. Dalam masyarakat Indonesia, pengertian “keluarga” seringkali juga menunjuk pada “keluarga besar”, yang terdiri dari keluarga inti (suami-istri dan anak-anak), orang tua dan mertua, serta sanak saudara. Dalam kehidupan sehari-hari relasi antar keluarga inti dan keluarga besar sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. ketika keluarga inti menghadapi suatu persoalan, keluarga besar juga ikut merasakan dan terlibat di dalamnya. Baik keluarga inti maupun keluarga besar hendaknya membangun relasi yang tidak hanya berdasarkan hubungan darah, tetapi lebih dari itu berdasarkan dan bersumber pada cinta-kasih. Perwujudan dari relasi-relasi


(43)

tersebut dipengaruhi oleh budaya-budaya dan tradisi setempat yang tetap pantas diperhatikan, dipelihara, dan dihargai dengan sikap kritis dan kreatif (KWI, 2011: 27)

Menurut Sri Lestari (2012: 9), pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi antarsuami-isteri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sabling (saudara sekandung). Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi.

Setiap bentuk relasi yang dibangun dalam keluarga tentu memiliki warna atau kerakteristik tertentu. Menurut Calhoun dan Acocela, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2012: 9) disampaikan bahwa relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri karena lemah dalam proses adaptasi. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Proses adaptasi diri ini sifatnya dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Proses penyesuaian adalah suatu interaksi yang yang terus-menerus dan kontinu dengan diri sendiri, di antara suami-istri, suami-isri dengan anak-anak serta dengan orang lain dan lingkungan sosial. Pada tahap ini, komunikasi interpersonal merupakan


(44)

aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan keseluruhan aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari sebuah diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola dan keterampilan dalam berkomunikasi.

c. Prinsip-Prinsip Interaksi Orang tua-Anak Dalam Keluarga

Dalam perkawinan, menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan (Sri Lestari, 2013: 16). Dalam buku “Psikologi Remaja”, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2013: 19), menurut Hinde, dikatakan bahwa relasi orang tua dan anak mengandung beberapa prinsip berikut ini:

1) Interaksi. Perlu disediakan waktu agar orang tua dan anakdapat berinteraksi dan berkomunikasi untuk menciptakan keakraban. Berbagai interaksi dan komunikasi dapat membentuk kepribadian anak dan membantu anak untuk bertumbuh secara wajar menuju masa depan yang lebih baik.

2) Kontribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran yang sama dalam interaksi untuk saling memperkaya dalam relasi yang sehat.


(45)

3) Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik. Walaupun demikian keunikan itu dapat dikomunikasikan dalam relasi timbal balik antara orangtua dan anak untuk saling memperkaya dan saling menyempurnakan satu sama lain di dalam keluarga

4) Pengharapan. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi pada awalnya menjadi gambaran pada pengharapan dalam hubungan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan berindak pada suatu situasi (Demikan pula sebaliknya anak kepada orang tuanya).

5) Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, maka masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.

Kemudian menurut Dunn, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” (2012: 20) pola hubungan antara saudara kandung dicirikan oleh tiga karakteristik yakni:

a) Pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif;

b) Kedua, keintiman yang membuat antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik;


(46)

c) Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain

Untuk mengetahui apa arti keluarga bertanggung jawab menurut ajaran Gereja Katolik, pertama-tama perlu dilihat dalam terang Konstitusi Gaudium et Spes (GS). Suami istri harus bertanggung jawab dengan memperhatikan kesejahteraan pasangan, kesejahetraan anak-anaknya yang sudah ada maupun yang akan ada, maka tanggung jawab itu membuka cakrawala suami-isteri lebih luas, sehingga selalu turut memperhitungkan kepentingan masyarakat dan Gereja (GS 50). Dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Efesus dan Kolose (Ef, 5:22-23; 6:1-4 dan Kol, 3:18-21) terungkap secara jelas bentuk-bentukrelasi timbalbalik dalam keluarga yakni: 1) Suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya, 2) Istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal, 3) Orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan, serta tidak membangkitkan amarah anak-anaknya, 4) Anak-anak menghormati dan mentaati orang tuanya.

Bentuk-bentuk relasi di atas memberi inspirasi kepada setiap anggota keluarga untuk menunjukkan rasa tanggung jawab dalam keluarga. Menurut Defrain dan Stinnett, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi


(47)

kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being) keluarga. Ada enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, yakni:

a) Memiliki komitmen. Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga perlu diakui dan dihargai. Setiap anggota keluarga perlu memiliki komitmen untuk saling membantu satu sama lain dalam meraih keberhasilan.

b) Kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap anggota keluarga perlu melihat sisi baik dari anggota keluarga lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikkan tersebut. Setiap ada keberhasilan maka sangat dianjurkan untuk merayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan akan menjadi kebiasaan baik. c) Ada waktu untuk berkumpul bersama. Secara berkala keluarga perlu

melakukan aktivitas di luar rutinitas, misalnya rekreasi. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang menyatukan dan menguatkan mereka.

d) Mengembangkan spiritualitas. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa kebersamaan.

e) Menyelesaikan konflik. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Maka konflik tersebut diselesaikan dengan cara menghargai pendapat masing-masing terhadap permasalahan.

f) Memiliki ritme. Keluarga yang kukuh akan memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya


(48)

kehidupan sehari-hari. Ritme atau pola dalam keluarga akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya

d. Suami-Istri Dipanggil Mengambil Bagian Dalam Tritugas Yesus Kristus

1) Kesaksian dan Keteladanan Dalam Keluarga Kristiani

Dalam perkawinan Katolik, suami-istri menghayati pola hidup persekutuan yang dibangun atas dasar kasih mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Allah sendiri adalah pencipta perkawinan. Dengan menghayati pola hidup persekutuan dalam kasih, suami-istri meneladan teladan Keluarga Kudus Nazaret dalam hal kesatuan dan kesucian perkawinan. Cara hidup seperti ini sangat menolong suami istri untuk menghayati gaya hidup miskin, sederhana, memelihara kesetiaan, ketaatan dan kesucian(GS, art. 48). Cara hidup seperti ini menjadi dasar bagi suami-istri dalam mengajar anak, memberi teladan dan kesaksian hidup melalui doa bersama dalam keluarga, menghadiri Ekaristi, melakukan tindakan belaskasih kepada sesama, menghibur yang sakit dan menderita dan tindakan cinta kasih lainnya.

Dalam buku “Pedoman Pastoral Keluarga” (KWI, 2011: 15-18) dikatakan bahwa keluarga Kristiani sebagai Ecclesia Domestica melahirkan keluarga yang tahu bersyukur dan peduli satu terhadap yang lain dalam keluarga dan terhadap lingkungan sosialnya. Sakramen pembaptisan memberi kekuatan kepada


(49)

suami-istri untuk mencintai Allah dan dorongan untuk melaksanakan tugas perutusan dengan baik dalam keluarga. Fungsi sakramen baptis dalam hidup perkawinan suami-istri dan keluarga, antara lain:Pertama,berkat Sakramen Baptis, suami istri dan anak menerima dan memiliki tiga martabat Kristus, yakni martabat kenabian, imamat, dan rajawi. Dengan martabat kenabian mereka mempunyai tugas mewartakan Injil; dengan martabat imamat, mereka mempunyai tugas menguduskan hidup, terutama dengan menghayati sakramen-sakramen dan hidup doa; dan dengan martabat rajawi, mereka mempunyai tugas untuk melayani sesama; Kedua, berkat sakramen Baptis pula, mereka menjadi anggota dan ikut membangun Gereja. Keluarga bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup berkeluarga ini menampakkan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia) dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia), mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian (Martyria) dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan (Kerygma) yang baru.

Setiap Keluarga Katolik perlu memberi kesaksian dan menjadi teladan dalam hidup bermasyarakat. Untuk itu setiap Keluarga Katolik perlu menyadari bahwa perbuatan baik yang dilakukan kepada siapapun, kapanpun, dan di manapun adalah sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, karena Tuhan telah lebih dahulu berbuat baik (bdk, Kolose, 3: 23). Perbuatan baik apapun yang dilakukan bukanlah untuk mendapat pujian atau penghargaan, melainkan sebagai bentuk


(50)

syukur kepada Tuhan. Tuhan Yesus sendiri dalam sabda-Nya berkata: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga (bdk, Matius 5:16)”.Perbuatan baik ini hendaknya tercermin dalam sikap sabar dalam menanggung penderitaan, lemah lembut dalam sikap, rendah hati dalam bertutur kata, hormat terhadap sesama, menghargai perbedaan, mendoakan orang lain, berani membela kebenaran, dan peduli kepada sesama dengan berbagi. Ini adalah bentuk kesaksian dari setiap orang yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus.

2) Harapan Orang Tua Terhadap Kehidupan Anak

Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” (2012: 151-152)

mengungkapkan bahwa: setiap keluarga terdapat dua harapan utama yang muncul dari orang tua terhadap anak-anaknya yakni:pertama, orang tua mengharapkan anaknya menjadi anak yang saleh. Adapun ciri anak yang saleh yang dipaparkan oleh para orang tua adalah menjalani kehidupan sesuai dengan tuntutan agama. Kesalehan di sini tentu tidak hanya diukur dari berapa banyak kali ia berdoa, membaca Kitab Suci dan menghadiri Ekaristi, tetapi bagaimana kegiatan rohani itu menjiwai seseorang dalam hidup dan karya, bagaimana seseorang membawa semangat doa dalam praktek hidup harian. Inilah tanda kesalehan. Iamempunyai kemandirian dan kedewasaan rohani terutama dalam mengatasi pelbagai persoalan hidup. Tentunya iman menjadi filter untuk memilah-milah antara yang baik dan buruk dan memungkinkan anak hanya memilih yang baik saja (Alfonsus Sutarno,


(51)

2013: 68) ; Kedua, orang tua mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses ketika dewasa nanti. Kesuksesandi sini tidak hanya dimengerti sebagai sukses dalam karir, jabatan tetapi terutama sukses dalam memainkan peran sosial dalam masyarakat dengan terlibat aktif dalam kegiatan di lingkungan masyarakat jugamenjadi pribadi yang bertanggungjawab atas kehidupan pribadi dan kepentingan sosial. Kesuksesan juga bisa berarti ia mampu menghargai dan menghormati orang lain sebagai pribadi. Orang-orang yang sukses dalam kehidupan ternyata memiliki kemampuan membangun dan membina hubungan dengan orang lain. Ke sana ke mari bukan mencari lawan atau musuh, tetapi mencari teman atau jaringan kerja sebanyak-banyaknya (Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 287)

a) Peran Orang Tua Dalam Keluarga

Menurut Sri Lestari (2012: 22), keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi.

Orangtua adalah pusat kehidupan, sumber kebaikan dan pengetahuan. Karena itu sebelum orangtua tampil sebagai guru, pembina, pembimbing, pemimpin, pendidik dalam membentuk kepribadian anak, ia harus tahu persis jati dirinya sehingga mampu memainkan peran-peran di atas secara benar dan tepat. Kesadaran orang tua pada jati dirinya menyadarkan mereka pada peran dan


(52)

panggilannya. Suami dan istri akan berjuang demi hidup dan masa depan anak (Alfonsus Sutarno, 2013: 60)

Dalam buku “Catholic Parenting” ada beberapa hal pokok yang menjadi jati diri suami-istri, sebagaimana diungkapkan oleh Alfonsus Sutarno (2012: 60-66). Jati diri tersebut adalah:

1) Menjadi orang tua adalah panggilan. Menjadi orang tua tidak dipandang sebagai upaya manusiawi belaka dari seorang pria dan seorang wanita, tetapi menjadi orang tua adalah panggilan Tuhan. Tuhan sendirilah yang menghendaki agar mereka menjadi orang tua. Dalam diri orang tua Allah ikut campur tangan, berencana, dan menaruh harapan. Bersama Kristus suami-istri dibimbing, diperkaya, diteguhkan dalam tugas luhur sebagai suami-istri, dan diantar menuju Allah

2) Yesus: Pola kesatuan suami-istri. Dengan berpola pada Kristus, keluarga lebih muda menemukan jalan kemanusiaan, keselamatan, dan kesucian. Suami-istri bisa bertekun mendidik anak-anak terutama di bidang keagamaan. Anak-anak ikut menguduskan orang tua dengan berterima kasih, mencintai, membantu dalam kesukaran dan kesunyian usia lanjut.

3) Suami-istri saling menyempurnakan. Persatuan suami-istri harus berakar pada kodrat saling melengkapi. Kesempurnaan sebagai pasangan suami-istri terwujud apabila sama-sama memiliki semangat berbagi, memberi, dan menerima.


(53)

4) Bangga menjadi orang tua. Mengingat martabatnya yang luhur dan suci, maka sepantasnya orang tua merasa bangga. Menjadi orang tua sebagai panggilan Allah, kehadiran Yesus sebagai pola hidup rumah tangga, dan kekuatan suami-istri untuk saling menyempurnakan adalah alasan bagi orang tua untuk bersuka-cita dengan dirinya.

b) Tugas Orang Tua Dalam Keluarga.

Alfonsus Sutarno dalam buku “Catholic Parenting” (2013: 69-73) mengungkapkan bahwa: orang tua memiliki peran sentral dalam keluarga terutama dalam proses pembentukan kepribadian dan iman anak. Orang tua tentu memiliki harapan agar anak-anak dapat bertumbuh secara seimbang dalam pelbagai aspek kehidupan jasmani, rohani, psikologis, pengetahuan dan lain-lain. Suami istri akan melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara tepat bila pertama-tama mereka menyadari diri, siapakah sebenarnya diri mereka, siapakah mereka di hadapan anak-anak. Suami-istri sebagai orang tua terhadap anak-anak mengenal dirinya sebagai berikut :

1) Pendidik pertama dan utama. Orang tua adalah sumber pendidikan iman, moral, pengetahuan dan ketrampilan bagi anak-anak. Peran ini melekat kuat pada diri orang tua dan merupakan suatu tanggung jawab yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun atau institusi mana pun. Proses pendidikan sudah dilakukan orangtua terhadap anak sejak anak masih berada di dalam kandungan. Ibu sangat penting dalam memainkan peran ini.


(54)

2) Pemenuh kebutuhan dasar anak. Demi proses tumbuh-kembang anak secara optimal di bidang kesehatan jasmani, maka orang tua memperhatikan anak dari sisi pangan, pakaian, rumah, dan kesehatan. Berbagai upaya pendidikan dan pendewasaan anak bisa berjalan dengan baik jika kebutuhan utama itu terpenuhi. Kesehatan, keamanan, dan kenyamanan yang memadai bagi anak adalah syarat standar guna memudahkan upaya pendidikan anak-anak.

3) Pembimbing. Orang tua dapat membimbing anak-anak dengan baik apa bila orangtua peka terhadap anak-anak. Peka artinya mampu memahami kebutuhan, pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan anak-anak. Kepekaan ini akan memudahkan orang tua dalam mengembangkan iman, moral, pengetahuan, dan kretavitas anak. Selain itu, orang tua dapat memberikan kesempatan, arahan, atau fasilitas yang mungkin ketika anak melakukan sesuatu, menunjukkan kemampuannya dan keinginannya untuk belajar sesuatu. Sebagai pembimbing, orang tua juga perlu terbuka pada anak-anak. Orang tua bisa meminta anak untuk menyatakan hal yang telah ia ketahui atau menanyakan apa yang ingin diketahui. Sambutlah pertanyaan-pertanyaan mereka dan berikanlah anak kesempatan untuk belajar melalui kesalahan.

4) Pemimpin. Orang tua adalah pembimbing sekaligus pemimpin mesti peka membaca peluang bagi perkembangan anak di masa depan berdasarkan watak dan bakat anak.Orang tua tentu sudah harus memiliki gambaran yang pasti tentang setiap anak sehingga tahu persis dia mau dibawa kemana sehingga dapat menyiapkan “bekal perjalanan” yang memadai untuk masa depan anak -anak. Orangtua sebagai pemimpin berarti ia menjadi teladan bagi -anak.


(55)

Kata-kata, tindakan, pikiran, dan perasaan orang tua menjadi referensi atau orientasi hidup si anak. Oleh karena itu, orang tua harus menunjukan keteladanan hidup yang baik dan pantas agar kebaikkan dan kepantasan cipta, rasa, dan karsa orang tua tertular kepada anak-anak.

5) Penasihat. Menjadi penasihat adalah jiwa orang tua, di mana orang tua menjadi tempat untuk bertanya, berdiskusi, dan mengadu sang anak. Sebagai penasihat orang tua diharapkan mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan, mencarikan solusi dan menunjukan jalan yang baik dan benar di kala anak mengalami keraguan atau kebingungan.

6) Sahabat. Menjadi sahabat berarti orang tua perlu mengenal jiwa anak dengan bermain bersama anak. Mengajari anak tentang nilai kejujuran, sportivitas, penghargaan, keteraturan hidup, dan kerja sama dengan sesama. Kemudian mengenal suasana batin anak dengan menciptakan suasana santai, riang, dan gembira.

7) Pelindung. Melindungi anak merupakan suatu keharusan, terlebih ketika anak sedang berada dalam masa sukar dan bahaya. Orang tua bisa menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak di mana pun mereka berada.

8) Panutan. Orang tua bisa menjadi contoh yang baik dan konkret, baik dalam tutur kata, pemikiran, maupun tindakan. Keteladanan orang tua ini akan menjadi kekuatan tersendiri dalam upaya pendidikan anak.


(56)

3. Peran Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter Dan Iman Anak a. Penanaman Nilai Pada Anak

Mengenai penanaman nilai pada anak, menurut Paus Yohanes Paulus II, sebagaimana dikutip oleh Yoseph Kristianto dalam buku “Semakin Menjadi Manusiawi” (Ed, B.A. Rukiyanto dan Sumarah, 2014: 67) menguraikan sebagai berikut: Tugas orang tua untuk mengabdi kehidupan adalah mendidik anak-anak. Pendidikan anak merupakan hak dan kewajiban orangtua. Cinta kasih menjadi sumber yang mendasari mereka dalam mengemban tugas untuk mendampingi anak-anak yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baru dalam menghayati hidup manusiawi secara penuh. Orang tua hendaknya mampu menciptakan situasi, relasi dan komunikasi yang penuh cinta kasih dan diliputi semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama, sehingga menunjang pendidikan pribadi termasuk pembinaan iman anak.

Sedangkan menurut Sri Lestari (2012: 155-158) proses transformasi nilai ini diketahui melalui pesan-pesan yang sering disampaikan oleh orang tua terhadap anak dalam bentuk kegiatan dan sikap, berikut ini:

1) Pertama, rajin beribadah. Pesan untuk rajin beribadah disampaikan oleh orang tua pada anak dengan harapan agar anak menjadi anak yang saleh;

2) Kedua, bersikap jujur. Semua keluarga menyampaikan pesan moral untuk bersikap jujur kepada anak-anaknya;

3) Ketiga, bersikap hormat kepada yang lebih tua. Kata hormat memiliki beragam makna, hormat dimaknai sebagai kesediaan membantu meringankan beban tugas orang tua. Dengan pemaknaan tersebut maka anak yang menghormati


(57)

orang tua harus bersedia membantu orang tua untuk melakukan tugas-tugas orang tua di rumah yang telah didelegasikan pada anak. Hormat dapat juga dimaknai sebagai menghargai orang yang lebih tua tanpa memandang status sosialnya. Makna lain dari hormat adalah andhap asor, artinya dalam berelasi dengan orang lain menunjukan sikap rendah hati;

4) Keempat, rukun dengan saudara dan masyarakat. Rukun dalam masyarakat diwujudkan dengan bersedia membantu orang lain dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dalam keluarga ada pula orang tua yang menyampaikan pesan pada anak agar enthengan (ringan tangan) dalam kehidupan masyarakat. Maksudnya, anak diminta untuk sering bergaul dengan tetangga, terlibat dalam acara-acara yang berlangsung dalam masyarakat;

5) Kelima, pencapaian pretasi belajar. Pesan untuk rajin bersekolah dan belajar juga merupakan pesan yang umum disampaikan orang tua pada anak. Pada keluarga yang memiliki prioritas terhadap pencapaian prestasi, pesan ini disertai dengan pemantauan orang tua yang cukup intensif terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak selama anak berada di rumah, dan disertai dengan pengecekan terhadap perilaku anak selama di sekolah

Selanjutnya dalam buku “Psikologi Remaja”, Sri Lestari (2012: 161-163) mengemukakan beberapa metode untuk mendukung transformasi nilai yang digunakan oleh orang tua dalam melakukan sosialisasi nilai yakni:

a) Memberikan Nasihat. Pemberian nasihat dilakukan dengan cara menyampaikan nilai-nilai yang ingin disosialisasikan pada anak dalam suatu komunikasi yang bersifat searah. Orang tua berperan sebagai komunikator (pembawa pesan)


(58)

sedangkan anak sebagai penerima pesan. Pemberian nasihat ini biasanya dilakukan setelah anak melakukan pelanggaran peraturan yang sudah disepakati bersama dalam keluarga.

b) Memberikan contoh/teladan. Dalam metode ini, orang tua melakukan terlebih dahulu perilaku-perilaku yang mengandung nilai-nilai moral yang akan disampaikan pada anak.

c) Berdialog. Dalam metode ini orang tua menyampaikan nilai-nilai pada anak melaui proses interaksi yang bersifat dialogis. Orang tua menyampaikan harapan-harapannya pada anak, kemudian anak diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya.

d) Memberikan instruksi. Dalam memberikan instruksi hendaknya orang tua memperhatikan konsistensi antara perkataan dan tindakan dalam berinteraksi. e) Pemberian hukuman. Hukuman yang diberikan oleh orang tua ini sebagai cara

untuk mendisiplinkan anak apabila berperilaku kurang sesuai dengan nilai-nilai yang disosialisasikan. Bentuk-bentuk hukuman yang diberikan orang tua kepada anak bentuknya bervariasi tergantung pada tingkat berat-ringan pelanggaran yang dilakukan oleh anak.

b. Pembentukan Karakter Anak

Menurut Park, dkk, sebagaimana dikutib oleh Sri Lestari (2012: 94), dikatakan bahwa dalam sejumlah penelitian tentang karakter anak ditemukan hasil yang menegaskan dua unsur ini: pertama, kekuatan karakter (character strengths) berkorelasi negatif dengan problem perilaku dan emosi pada remaja


(59)

seperti depresi, delinkuensi dan kekerasan; kedua, kekuatan karakter berkolerasi positif dengan faktor luar (eksternal) seperti kesuksesan di sekolah, perilaku sosial dan kompetensi. Kekuatan karakter berfungsi mendukung pencapaian kesejahteraan (will-being) dan kebahagiaan anak.

Sementara menurut Ryan dan Lickona, sebagaimana dikutib oleh Sri Lestari (2012: 94-95) mengungkapkan bahwa dalam karakter manusia terdapat tiga komponen yaitu: Pertama, pengetahuan moral (moral knowing). Dalam komponen pengetahuan moral tercakup penalaran moral dan strategi kognitif yang digunakan untuk mengambil keputusan secara sistematis. Melalui komponen ini individu dapat membayangkan konsekuensi yang akan terjadi di kemudian hari dari keputusan yang diambil dan siap bagaimana menghadapi konsekuensi tersebut; Kedua, perasaan moral (moral affect), yang mencakup identitas moral, ketertarikan terhadap kebaikan, komitmen, hati nurani, dan empati, yang semuanya merupakan sisi afektif dari moral pada diri individu. Perasaan moral juga berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan moral dan tindakan moral; Ketiga, tindakan moral (moral action), memiliki tiga komponen: kehendak, kompetensi dan kebiasaan.

Sedangkan menurut Koehler dan Royer, seperti dikutib oleh Sri Lestari (2012: 95), ciri-ciri karakter yang mau ditanamkan dalam diri anak adalah sebagai berikut: 1) Memiliki kepedulian terhadap orang lain dan terbuka terhadap pengalaman dari luar; 2) Secara konsisten mampu mengelola emosi; 3) Memilki kesadaran terhadap tanggung jawab sosial dan menerimanya tanpa pamrih; 4)


(1)

1) sebagai orang tua kita perlu membuat prioritas, menciptakan waktu untuk bisa berkumpul bersama dalam keluarga, berdialog, berekreasi, dan bekerja sama, 2) meningkatkan dan mempertahankan nilai kesetiaan dalam perkawinan, 3) membangun komunikasi yang lembut dan penuh kesabaran, berani meminta maaf, dan belajar untuk berterimakasih, 3) menciptakan waktu khusus secara rutin untuk berdoa keluarga, 4) orang tua harus menjadi tokoh dan teladan dalam memberikan kesaksian yang benar. Bertolak dari penegasan dan gambaran tentang niat yang mau dibangun dalam keluarga, maka marilah kita membangun niat dan tindakan apa yang mau kita buat untuk meningkatkan kualitas komunikasi yang efektif dalam keluarga kita masing-masing.

(Sebelum masuk pada bagian membangun niat, Pendamping mengajak

peserta untuk game bersama)

4) Membangun niat pribadi dan bersama

Bapak, Ibu yang terkasih, setelah kita bergumul bersama dalam kegiatan rekoleksi sejak pagi tadi sampai dengan sore hari ini, marilah kita berdiam diri sejenak meresapkan buah-buah rohani yang sudah kita terima, sambil kita membangun niat-niat pribadi dan niat bersama yang mau kita wujudnyatakan di tengah keluarga kita masing-masing, secara khusus bagaimana kita membangun komunikasi yang baik dan efektif.

(Pemandu mengajak peserta untuk memikirkan niat-niat pribadi atau

bersama, khususnya meningkatkan kualitas komunikasi dalam keluarga dengan

meneladani hidup Keluarga Kudus Nasaret. Dalam suasana hening, pemandu


(2)

mengisi atau menjawab pertanyaan itu secara tertulis. Kemudian pemandu

mengajak peserta untuk mengungkapkan niat pribadi dan niat bersama untuk

saling meneguhkan satu sama lain-Jika memungkinkan bisa diputarkan musik

instrumen) (Lampiran 3) 5) Doa Penutup

Allah Bapa di surga, kami bersyukur karena melalui rekoleksi ini kami boleh menemukan pemahaman baru untuk bagaimana membangun komunikasi yang efektif dalam keluarga kami. Bantulah kami dengan rahmat-Mu agar apa yang sudah kami gumuli bersama dalam rekoleksi ini, sungguh meneguhkan dan menguatkan kami untuk menata hidup keluarga kami menjadi keluarga yang terus mengusahakan komunikasi yang efektif demi pembentukan karakter dan iman anak. Sebab Engkaulah Tuhan dan pengantara kami yang kami puji dan yang kami sembah kini dan sepanjang masa. Amin.


(3)

BAB V PENUTUP

Setelah diuraikan dan diteliti pada bab sebelumnya mengenai fungsipola komunikasi orang tua terhadap pembentukan kepribadian dan iman anak dalam keluarga katolik, maka pada bab V ini penulis akan membuat kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

Komunikasi bagi orang tua dalam proses pembentukan karakter dan iman anak dalam kehidupan keluarga memegang peranan penting. Melalui komunikasi yang dibangun karakter dan iman anak akan terbentuk berkat interaksi yang baik yang ditunjukan oleh orang tua sebagai komunikator utama. Tentunya komunikasi tidak hanya sebatas pada kata-kata tetapi perlu juga ditunjukkan dalam sikap dan perbuatan yang sering dikatakan sebagai kesaksian atau keteladanan. Perlu disadari bahwa dalam keluarga orang tua bertanggungjawab memberikan pendidikan kepada anak baik dari segi karakter maupun dari segi iman atau spiritual. Komunikasi yang baik yang terjadi dalam keluarga tentu akan membawa dampak yang baik bagi pertumbuhan karakter dan perkembangan iman anak. Tanpa komunikasi yang hidup dalam keluarga melalui berbicara, berdialog, bertukar pikiran maka sulit tercipta keharmonisan dalam keluarga.

Dalam kenyataannya terdapat banyak keluarga yang kurang menanamkan nilai-nilai positif serta orang tua kurang memberi keteladanan sikap hidup yang baik bagi anak-anak. Banyak orang tua hanya sibuk bekerja memenuhi kebutuhan


(4)

ekonomis material, tetapi lupa memberi waktu dan perhatian untuk keluarga. Banyak orang tua yang hilang kesabaran hanya karena persoalan sepele yakni faktor ekonomi yang berujung pada perpisahan. Banyak orang tua yang sibuk mengejar kenikmatan duniawi sementara frekuensi santapan rohani dalam keluarga diabaikan, padahal doa keluarga adalah kekuatan utama untuk menangkal segala persoalan yang terjadi. Banyak orang tua yang berharap agar anak-anaknya bisa menjadi orang sukses, tetapi ia lupa menanamkan nilai-nilai yang baik dalam keluarga seperti kesabaran, pengampunan, cinta kasih, kesetiaan dan kelembutan. Banyak orang tua yang tidak lagi menghargai sakramen perkawinan, dan lebih senang mencari kenikmatan di luar kehidupan keluarga, sehingga berujung pada pertengkaran. Banyak orang tua yang tidak membangun komunikasi secara terbuka dan jujur, sehingga menimbulkan kecurigaan, pertengkaran, konflik, perbedaan pendapat dan perselisihan.

Situasi ini tentu menjadi sebuah keprihatinan yang serius karena berdampak pada perkembangan kepribadian dan iman anak. Anak-anak menjadi korban dari situasi ketidak adilan yang terjadi dalam keluarga. Demi terciptanya keharmonisan dalam keluarga maka penulis ingin memberikan saran sebagai atensi atau tanggapan dari situasi tersebut.

B. Saran

1. Untuk Keluarga-Keluarga Kristiani

a. Para pasangan suami istri perlu membangun komitmen di awal pernikahan untuk menciptakan keluarga yang harmonis dengan menanamkan sikap saling menghargai, saling percaya, keterbukaan, kejujuran dan kesetiaan


(5)

b. Membangun komunikasi yang baik yang diperlihatkan dalam kesaksian dan keteladanan hidup, sehingga anak-anak dapat meneladani sikap baik yang dibuat oleh orang tuanya.

c. Orang tua perlu menciptakan waktu untuk selalu ada bersama dalam keluarga dengan melakukan kegiatan-kegitan positif seperti makan bersama, rekreasi bersama dan kegiatan lainnya.

d. Memperhatikan dan meningkatkan frekuensi perjumpaan dengan Tuhan melalui doa-doa keluarga. Santapan rohani yang diperoleh melalui doa keluarga, menjadi simbol kekuatan dan penghiburan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan.

2. Dewan pewartaan paroki

a. Bidang pewartaan paroki perlu menyelenggarakan rekoleksi keluarga secara berkala, untuk meneguhkan keluarga-keluarga dalam menghadapi situasi dan permasalahan dalam keluarga.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

A Koesoema, Doni. (2015). Strategi Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Kanisius A Rukiyanto, B dan Ignatia Esti Sumarah (editor) (2014). Semakin Menjadi

Manusiawi-Teologi Moral Masa kini. Yogyakarta: USD.

Bergant, Dianne dan Karris Robert. J (Editor). (2012) Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.

Christandai, Andreas. (2015). Komunikasi dalam Keluarga Kristen. Yogyakarta: Andi.

Djamarah, Syaiful Bahri. (2014). Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Citra.

Darmawijaya, St. (1994). Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius. Eminyan, Maurice (2001). Teologi Keluarga.Yogyakarta : Kanisius.

Eko Riyadi. (2011). LUKAS “Sungguh, Orang ini adalah Orang Benar”. Yogyakarta: Kanisius

Hardiwiratno, J. (1994). Menuju Keluarga Bertanggungjawab. Jakarta : Obor. Konsili Vatikan II. (2004).Dokumen Konsili Vatikan II. (R.Hardawiryana,

penerjemah). Jakarta: Obor. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1966)

Konferensi Waligereja Indonesi. (1996) Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Jakarta: Obor.

Lembaga Alkitab Indonesia. (2002). Alkitab. Jakarta: LAI.

LestariSri.(2012). PsikologiKeluarga-Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik Dalam Keluarga. Jakarta :Kencana Prenada Media Group.

Liliweri, Alo. (2015). Komunikasi Antar -Personal. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Lusi, Semuel, S. (2014) Seip Intelligence. Yogyakarta: Kanisius

Moleong, Lexi. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Prasetyo, Mardi. F. (2000). Unsur-Unsur Hakiki Dalam Pembinaan. Yogyakarta: Kanisius.

---(2011) Pedoman Pastoral Keluarga. Jakarta: Obor

Saku, Hendrikus.(2012). Komunikasi Misi 100 Tahun SVD Timor. Kupang: Gita Kasih.

Sirait, Ronald, G., (2016). Sayang Anak...Sayang Anak. Yogyakarta: Kanisius Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Kanisius. ---(2011).Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sutarno, Alfonsus (2013). Catholic Parenting. Mentode mendidik Anak Secara Katolik. Yogyakarta: Kanisius

Wignyasumarta, Ignasius. (2000). Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius.

Yohanes Paulus II. (1994). Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern(Familiaris Consortio). (A. Widyamartaya, penerjemah). Yogyakarta: Kanisius. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1981)

--- (Promulgator). (2006). Kitab Hukum Kanonik. (Editor: R.D. Robertus Rubiyatmoko). Jakarta : Obor. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1983).


Dokumen yang terkait

TINJAUAN GEREJA KATOLIK LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS DI PRINGGOLAYAN, BANTUL.

1 7 20

GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS DI PRINGGOLAYAN, BANTUL.

1 11 18

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN GEREJA KATOLIK SANTO PAULUS DI PRINGGOLAYAN, BANTUL.

0 3 33

Fungsi komunikasi orangtua terhadap pembentukan karakter dan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan Yogyakarta.

3 24 162

Upaya peningkatan tanggungjawab keluarga Katolik di Paroki Santo Petrus Pekalongan terhadap pendidikan iman anak.

0 4 153

Pastoral kunjungan keluarga sebagai jalan membantu umat Paroki Administratif Santo Paulus Pringgolayan memperkembangkan iman mereka.

1 10 185

Bimbingan orang tua terhadap perkembangan iman anak dalam keluarga Katolik di Paroki St. Yusup Bintaran Yogyakarta - USD Repository

0 2 132

Peranan kunjungan keluarga dalam upaya untuk meningkatkan iman keluarga Katolik di Stasi St. Paulus Pringgolayan Paroki St. Yusup Bintaran Yogyakarta - USD Repository

0 0 157

Peranan doa bersama dalam keluarga Katolik bagi pembentukan karakter remaja di Stasi Yohanes Chrisostomus Pojok, Paroki Santo Petrus dan Paulus Klepu, Yogyakarta - USD Repository

0 3 159

Peranan sakramen perkawinan untuk membentuk kehidupan keluarga Katolik ideal di Lingkungan Paulus Gatak Paroki Santo Petrus dan Paulus Kelor, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta - USD Repository

0 0 158