Sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari jenis kelamin dan akreditasi pada siswa kelas VIII di Kota Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU MENYONTEK DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN AKREDITASI PADA SISWA KELAS VIII DI

KOTA YOGYAKARTA

Gunawan Sulastomo Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) ada tidaknya perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari jenis kelamin; 2) ada tidaknya perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari akreditasi.

Jenis penelitian ini termasuk penelitian studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari sampai April 2016. Subjek penelitian ini berjumlah 146 siswa kelas VIII yang terdiri 68 siswa laki-laki dan 78 siswa perempuan. Siswa yang diteliti berasal dari sekolah terakreditasi A, B, C, dan belum terakreditasi. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah Man Whitney dan Kruskal Wallis dengan bantuan program SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari jenis kelamin dengan nilai asymp sig =0,174 ; 2) tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari akreditasi sekolah dengan nilai asymp sig =0,088. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek berdasarkan jenis kelamin dan akreditasi sekolah.


(2)

ABSTRACT

THE ATTITUDE OF STUDENTS TOWARD CHEATING BEHAVIOR PERCEIVED FROM GENDER AND ACCREDITATION ON THE EIGHT

GRADE STUDENT IN YOGYAKARTA

Gunawan Sulastomo Sanata Dharma University

2016

This research aims to find out whether: 1) there are differences of attitude of students toward cheating behavior in terms of gender; 2) there are differences of attitude of students toward cheating behavior in terms of accreditation.

The type of research is a research case study. This research was carried out from February to April 2016. The subject of this research were 146 eight grade students consist of 68 male students and 78 female students. The samples come from schools of which accredited in A, B, C, and others which had been not yet accredited. Method of data collection was questionnaire. Data analysis technique were Man Whitney and Kruskal Wallis with the help of the program SPSS.

The results show that: 1) there is no difference in the attitudes of students toward cheating behavior perceived from gender with a value of asymp sig = 0.174; 2) there is no difference in the attitudes of students toward cheating behavior of school accreditation with a value of asymp sig = 0.088. It can be concluded that there is no difference in the attitudes of students toward cheating behaviour based on gender and school accreditation.


(3)

ii

SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU MENYONTEK DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN AKREDITASI PADA SISWA KELAS VIII DI KOTA

YOGYAKARTA

Survei pada Empat SMP di Kota Yogyakarta SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi

OLEH:

B. GUNAWAN SULASTOMO NIM: 121334012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

BIDANG KEAHLIAN KHUSUS PENDIDIKAN AKUNTANSI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN Karya ini kupersembahkan untuk:

TUHAN YESUS KRISTUS

Terima kasih Tuhan telah memberikan ku kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsiku ini.

Orang tuaku tercinta, Bapak Fx. Cipto Gunawan dan ibu C. Sarmiyati yang selalu mendengarkan keluh kesah ku dan selalu memberikan doa, dukungan, semangat, dan nasehat yang selalu membangkitkan semangatku ketika aku merasa lelah dan bosan dalam mengerjakan skripsiku serta selalu menjadi

motivasi dalam hidupku.

Pacarku, Albertin Nopi Yundari yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan selalu menemaniku dalam mengerjakan skripsiku.

Adikku, Aloysius Sigit Guntoro yang telah memberikan doa, dukungan dan kasih sayang dalam penyusunan skripsi ini.

Adikku, Katarina Cindi Pratiwi yang telah memberikan doa dan dukungan untuk menyelesaikan skripsiku.

Sahabat-sahabat terbaikku: Jalu, Mamik, Tomi, Chrismas, Yosep, Pater, Galing Pak Kemet, Suhu, Heru, Fajri, Angga, Wakhidin, Ramdan, Bang Jimmy, Bang Goris, Andre yang selalu mendukung, menghiburku

dikala penat mengerjakan skripsi dan doa atas penyusunan skripsi ini.

Sahabat-sahabatku mahasiswa Pendidikan Akuntansi, Terima kasih atas segala dukunganya selama 4 tahun ini.

Kupersembahkan karya ini untuk almamaterku, Universitas Sanata Dharma


(7)

vi

Motto

“Berhentilah membuat rencana, melangkahlah!”

(Bob Sadino)

Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh

diantara bintang-bintang

(Ir. Soekarno)

“If you born poor it’s not your mistake, but if you die poor it’s your

mistake

(Bill Gates)


(8)

(9)

(10)

ix

ABSTRAK

SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU MENYONTEK DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN AKREDITASI PADA SISWA KELAS VIII DI KOTA

YOGYAKARTA

Gunawan Sulastomo Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) ada tidaknya perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari jenis kelamin; 2) ada tidaknya perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari akreditasi.

Jenis penelitian ini termasuk penelitian studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari sampai April 2016. Subjek penelitian ini berjumlah 146 siswa kelas VIII yang terdiri 68 siswa laki-laki dan 78 siswa perempuan. Siswa yang diteliti berasal dari sekolah terakreditasi A, B, C, dan belum terakreditasi. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah Man Whitney dan Kruskal Wallis dengan bantuan program SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari jenis kelamin dengan nilai asymp sig =0,174 ; 2) tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari akreditasi sekolah dengan nilai asymp sig =0,088. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek berdasarkan jenis kelamin dan akreditasi sekolah.


(11)

x

ABSTRACT

THE ATTITUDE OF STUDENTS TOWARD CHEATING BEHAVIOR PERCEIVED FROM GENDER AND ACCREDITATION ON THE EIGHT

GRADE STUDENT IN YOGYAKARTA

Gunawan Sulastomo Sanata Dharma University

2016

This research aims to find out whether: 1) there are differences of attitude of students toward cheating behavior in terms of gender; 2) there are differences of attitude of students toward cheating behavior in terms of accreditation.

The type of research is a research case study. This research was carried out from February to April 2016. The subject of this research were 146 eight grade students consist of 68 male students and 78 female students. The samples come from schools of which accredited in A, B, C, and others which had been not yet accredited. Method of data collection was questionnaire. Data analysis technique were Man Whitney and Kruskal Wallis with the help of the program SPSS.

The results show that: 1) there is no difference in the attitudes of students toward cheating behavior perceived from gender with a value of asymp sig = 0.174; 2) there is no difference in the attitudes of students toward cheating behavior of school accreditation with a value of asymp sig = 0.088. It can be concluded that there is no difference in the attitudes of students toward cheating behaviour based on gender and school accreditation.


(12)

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Ditinjau Dari Jenis Kelamin dan Akreditasi Pada Siswa Kelas VIII Di Kota Yogyakarta” dengan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Akuntansi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph. D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi, Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak Drs. Bambang Purnomo S.E., M.Si.. selaku Dosen Pembimbing, bapak terima kasih untuk doa, bimbingan, serta bantuannya selama ini. Terima kasih pula untuk motivasi, nasihat, kesabaran, dan perhatian yang telah bapak berikan kepada saya.


(13)

xii

5. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Ekonomi BKK Pendidikan Akuntansi yang telah membagikan ilmu pengetahuan dan membimbing saya selama proses perkuliahan.

6. Staf Kesekretariatan Pendidikan Ekonomi BKK Pendidikan Akuntansi yang telah membantu saya dalam urusan administrasi selama proses perkuliahan.

7. Kedua Orang Tuaku Bapak Fx. Cipto Gunawan dan C. Sarmiyati yang selalu mendengarkan keluh kesah ku dan selalu memberikan doa, dukungan, semangat, dan nasehat yang selalu membangkitkan semangatku ketika aku merasa lelah dan bosan dalam mengerjakan skripsiku serta selalu menjadi motivasi dalam hidupku.

8. Pacarku Albertin Nopi Yundari yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan selalu menemaniku dalam mengerjakan skripsiku.

9. Adikku, Aloysius Sigit Guntoro yang telah memberikan doa, dukungan dan kasih sayang dalam penyusunan skripsi ini.

10. Adikku, Katarina Cindi Pratiwi yang telah memberikan doa dan dukungan untuk menyelesaikan skripsiku.

11. Sahabat-sahabat terbaikku: Jalu, Mamik, Tomi, Chrismas, Yosep, Pater, Galing Pak Kemet, Suhu, Heru, Fajri, Angga, Wakhidin, Ramdan, Bang Jimmy, Bang Goris, Andre yang selalu mendukung, menghiburku dikala penat mengerjakan skripsi dan doa atas penyusunan skripsi ini.

12. Teman-teman satu angkatan Pendidikan Akuntansi Angkatan 2012 yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas empat tahun yang luar biasa


(14)

(15)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Persembahan ... iii

Halaman Motto... iv

Pernyataan Keaslian Karya ... v

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Akademis ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi... xii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Lampiran ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1


(16)

xv

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Pendidikan Karakter dan Nilai Karakter ... 8

B. Sikap ... 10

C. Menyontek ... 13

D. Remaja ... 17

E. Jenis Kelamin ... 20

F. Akreditasi ... 26

G. Penelitian yang relevan ... 31

H. Kerangka berpikir ... 32

I. Paradigma penelitian ... 35

J. Hipotesis penelitian. ... 36

BAB III METODE PENELITIAN... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37

C. Subyek Penelitian ... 38

D. Teknik Pengumpulan Data ... 39

E. Pengujian Instrumen Penelitian ... 41


(17)

xvi

G. Pengujian Normalitas ... 53

H. Pengujian Homogenitas ... 53

I. Pengujian Hipotesis ... 44

BAB IV GAMBARAN UMUM ... 55

A. SMP Bhinneka Tunggal Ika ... 55

B. SMP Negeri 10 Yogyakarta ... 55

C. SMP Kristen Kalam Kudus ... 56

D. SMP Negeri 15 Yogyakarta ... 57

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Deskripsi Data ... 58

B. Pengujian Prasyarat Analisis ... 65

C. Pengujian Hipotesis ... 71

D. Pembahasan ... 74

BAB VI KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Keterbatasan ... 78

C. Saran ... 78

Daftar Pustaka ... 81


(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai-nilai Karakter dan Deskripsi Karakter ... 9

Tabel 3.1 Operasional Variabel Sikap Menyontek ... 35

Tabel 3.2 Sebagian r tabel ... 37

Tabel 3.3 Hasil Pengujian Validitas Instrumen Sikap Menyontek ... 38

Tabel 3.4 Hasil Pengujian Validitas Ulang Instrumen Sikap Menyontek ... 41

Tabel 3.5 Hasil Pengujian Reliabilitas ... 45

Tabel 3.6 Nilai Presentil PAP Tipe II ... 46

Tabel 3.7 Rentang Sikap Menyontek ... 47

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Asal Sekolah ... 58

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Status Sekolah ... 59

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Akreditasi Sekolah ... 60

Tabel 5.5 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek ... 61


(19)

xviii

Tabel 5.6 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Laki-laki Terhadap Perilaku Menyontek ... 62

Tabel 5.7 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Perempuan Terhadap Perilaku Menyontek ... 63

Tabel 5.8 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Ditinjau dari Akreditasi A ... 63

Tabel 5.9 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Ditinjau dari Akreditasi B ... 64

Tabel 5.10 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Ditinjau dari Akreditasi BT ... 64

Tabel 5.11 Hasil Ujian Normalitas Mengenai Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Berdasarkan Sekolah Akreditasi A ... 65

Tabel 5.12 Hasil Ujian Normalitas Mengenai Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Berdasarkan Sekolah Akreditasi B ... 65

Tabel 5.13 Hasil Ujian Normalitas Mengenai Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Berdasarkan Sekolah Akreditasi BT ... 66

Tabel 5.14 Hasil Ujian Normalitas Mengenai Sikap Siswa Terhadap Perilaku


(20)

xix

Tabel 5.15 Hasil Ujian Normalitas Mengenai Sikap Siswa Terhadap Perilaku

Menyontek Berdasarkan Siswa Perempuan ... 68

Tabel 5.16 Hasil Ujian Homogenitas Mengenai Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Berdasarkan Akreditasi Sekolah ... 70

Tabel 5.17 Hasil Ujian Homogenitas Mengenai Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 70

Tabel 5.18 Hasil Uji Man Whitney Berdasarkan Jenis Kelamin. ... 72


(21)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran ... 84

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 85

Lampiran 2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 89

Lampiran 3 Normalitas ... 94

Lampiran 4 Homogenitas ... 97

Lampiran 5 Man Whitney dan Kruskal Walls ... 98

Lampiran 6 Surat Ijin Dinas ... 100

Lampiran 7 Tabel R ... 102


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menyontek merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Perilaku menyontek sering disebut ketidakjujuran akademis. Saat ini perilaku menyontek tidak hanya terjadi pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan, SMA saja, bahkan pada perguruan tinggi, baik itu di desa dan di sekolah maju ataupun sekolah yang biasa-biasa saja. Menyontek dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menulis di atas meja, menulis di kertas/tissue, menulis di anggota tubuh, bertanya kepada teman, searching menggunakan ponsel, melihat dan menyalin jawaban teman, menyontek dengan buku yang diletakkan di laci atau di WC, dan lain-lain.

Setiap individu atau pelajar menginginkan prestasi belajar yang baik, karena keinginan untuk berprestasi tersebut, segala cara pun dilakukan baik itu positif maupun negatif. Cara positifnya bisa melalui belajar dengan tekun dan jujur serta percaya diri saat mengerjakan ujian atau tes akademik lainnya, sedangkan cara negatifnya adalah dengan menyontek. Selain keinginan untuk berprestasi, masih banyak lagi alasan yang menyebabkan seseorang menyontek, misalnya ingin menghindari kegagalan, tekanan dari teman sebaya maupun dari orang tua, dan tidak percaya diri ketika mengikuti ujian. Siswa juga mempunyai persepsi bahwa prestasi itu adalah sebuah keberuntungan dan mempersepsi menyontek merupakan hal yang


(23)

sudah biasa. Pelajar yang telah terbiasa melakukan perilaku menyontek akan sangat sulit untuk meninggalkannya karena sudah tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya. Menyontek dapat juga dikatakan sebagai suatu tradisi atau kebiasaan yang tak pernah hilang. Hal ini dapat terjadi karena masalah menyontek tidak hanya berasal dari lingkungan sekolah saja tetapi bisa berasal dari lingkungan sekolah.

Dunia pendidikan perlu mengikis perilaku menyontek ini. Perilaku menyontek merupakan bagian dari ketidakjujuran. Ketika dunia pendidikan membiarkan ketidakjujuran ini berlanjut, maka akan memberikan dampak pada pembangunan karakter manusia Indonesia. Pencurian, korupsi, penipuan, dan plagiarisme yang marak terjadi merupakan contoh dari kegagalan dunia pendidikan dalam membentuk karakter peserta didik.

Fakta tentang perilaku ketidakjujuran di dunia pendidikan biasanya banyak terjadi saat menjelang ujian. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian dari Hartanto dalam Kharisma (2014 : 21) menunjukkan bahwa intensitas perilaku menyontek di SMP Swasta di daerah Pondok Cabe Jakarta, berada pada posisi sedang (53,3%), rendah (33,3%), dan tinggi (13,3%). Bentuk perilaku menyontek yang biasa dilakukan oleh peserta didik antara lain melihat, menyalin, dan meminta jawaban dari teman-temannya.

Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap suatu objek atau stimulus begitupun sikap pelajar yang berbeda-beda terhadap perilaku mencontek. Menurut Gunarsa (1991) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada laki-laki dan perempuan, yaitu jika perempuan lebih mengandalkan


(24)

aspek-aspek emosional, perasaan dan suasana hati sedangkan untuk laki-laki lebih agresif, lebih aktif dan tidak sabaran dalam menyelesaikan masalah.

Sama halnya dibidang prestasi, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk sukses daripada perempuan. Oleh karena itu laki-laki lebih agresif dalam menggapai cita-citanya daripada perempuan (Kumara, 1990).

Beberapa sekolah di Indonesia mempunyai standar tersendiri dalam upaya peningkatan dan menjaga agar mutu pendidikan sesuai dengan ketentuan kurikulum yang berlaku salah satunya dengan penilaian akreditasi sekolah. Untuk memperoleh akreditasi yang baik sekolah harus memenuhi beberapa kriteria salah satunya adalah standar pendidik dan tendik yang baik oleh karena itu salah satunya guru dituntut untuk memiliki integeritas kepribadian dan bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, serta peraturan dan ketentuan berlaku yang disebutkan dalam website (http://bansm.or.id/konten/instrumen-smp-mts). Tentu sangat berdampak pada kegiatan belajar mengajar disekolah terutama kepada siswa. Pada saat ujian berlangsung di sekolah diharapkan guru mengakplikasikan instrumen akreditasi yaitu dengan memperketat pengawasan terhadap siswa pada saat ujian berlangsung supaya status akreditasi di sekolah tetap bertahan atau naik. Siswa pun harus berusaha keras terhadap kebijakan pemerintah yang ada yaitu dengan menghindari perilaku mencontek pada saat ujian.


(25)

Di kota Yogyakarta terdapat 67 sekolah SMP dan beberapa diantara nya ada yang berakreditasi A, B dan C yang disebutkan dalam website (http://www.pendidikan-diy.go.id).

Selain itu, ada fakta lain mengenai perilaku menyontek di kota Yogyakarta. Kota yang dikenal dengan sebutan “Kota Pelajar” ini dinobatkan sebagai daerah yang memiliki nilai Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) tertinggi di Indonesia pada tahun 2015 (Harian Republika, 2015 tanggal 19 Mei). Berdasarkan data laporan hasil UN dan IIUN per kabupaten/kota yang masuk ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kota Yogyakarta meraih nilai tertinggi, yakni sekitar 82,37 dengan rata-rata nasional 63,28.

Di samping itu, perilaku menyontek juga disebutkan dalam website komunitas air mata guru (www.komunitasairmataguru.blogspot.co.id). Dalam website tersebut disebutkan banyak kecurangan-kecurangan dalam UN baik yang dilakukan oleh siswa dan guru. Selain itu, hasil penelitian longitudinal Anderman dalam Mubiar (2011:4) menunjukkan bahwa menyontek sering dilakukan siswa SMP dikarenakan adanya perubahan keadaan lingkungan belajar yang dialami siswa. Hal ini disebabkan karena siswa mengalami masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, struktur kelas, dan lingkungan sekolah yang kompetitif.

Sekolah Menengah Pertama merupakan salah satu jenjang pendidikan yang dilalui oleh peserta didik. Pada jenjang ini, peserta didik dihadapkan pada perkembangan mental dan moral. Menurut Anderman dalam Mubiar


(26)

(2011:4), pada usia 12-15 tahun yang umumnya individu duduk di bangku SMP akan mulai memasuki dunia baru yang berbeda dengan pengalaman di sekolah dasar serta banyak hal baru yang menuntut individu untuk menyesuaikan diri, terutama pada siswa kelas VII.

Perubahan keadaan lingkungan belajar mengakibatkan siswa melakukan tindakan menyontek. Mereka menggangap tindakan itu sebagai bentuk solidaritas antar teman. Menyontek biasanya dilakukan pada pelajaran matematika dan ilmu alam atau ilmu pasti, dibandingkan dengan pelajaran lainnya. Menyontek biasanya terjadi pada waktu ulangan atau ujian.

Di pihak lain, Prof. Djemari Mardapi, Ph.D. (wawancara dilakukan bulan Agustus 2015) menyatakan bahwa pada tahun 2015, wilayah DIY merupakan termasuk daerah putih (daerah yang bersih dari kecurangan dalam UN). Pernyataan ini bertentangan dengan hasil penelitian Anderman yang menyatakan bahwa perilaku menyontek sering dilakukan oleh siswa SMP.

Berdasarkan ketidakkonsistenan antara pendapat Prof. Djemari dan hasil-hasil penelitian sebelumnya maka perlu dilakukan penelitian yaitu “Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin Dan Akreditasi Pada Siswa Kelas VIII Di Kota Yogyakarta”.


(27)

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari akreditasi sekolah?

2. Apakah ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari jenis kelamin?

C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui perbedaan sikap antara siswa laki-laki dan perempuan di SMP yang berakreditasi a, b dan belum terakreditasi Negeri di kota Yogyakarta terhadap perilaku menyontek.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, siswa, dan sekolah dan perguruan tinggi.

1. Guru

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru dalam mengetahui dan mencegah perilaku menyontek siswa-siswa SMP. Sehingga, hasil ujian/ulangan yang dihasilkan benar-benar merupakan hasil belajar siswa dan mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Dengan demikian, pengambilan keputusan terkait dengan nilai yang dihasilkan siswa tidak bias.


(28)

2. Siswa

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi siswa. Siswa lebih menyadari tentang kemampuan yang dimiliki dan dapat mengoptimalkan kompetensi-kompetensi yang ada pada diri siswa. 3. Sekolah dan Perguruan Tinggi

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi sekolah dan perguruan tinggi dalam mengimplementasikan pendidikan karakter khususnya kejujuran dalam belajar. Implementasi pendidikan karakter dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana, salah satunya adalah mendidik untuk jujur dalam ulangan.


(29)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pendidikan Karakter dan Nilai Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan karakter. Pendidikan diartikan sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk menciptakan seseorang yang dapat berguna di masa yang akan datang, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Oleh karena itu, menurut Saptono (2011:23) bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (cor virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.

Pendidikan karakter memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak, yang mana tujuannya adalah untuk membentuk karakter pribadi anak supaya menjadi manusia dan warga negara yang baik.

Secara universal, berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan beberapa pilar yaitu: kedamaian, menghargai, kerjasama, kebebasan, kebahagian, kejujuran, kerendahan hati, kasih sayang, tanggung jawab, kesederhahaan, toleransi, dan persatuan (Samani, 2013 : 43). Nilai-nilai karakter tersebut dijabarkan pada tabel berikut ini:


(30)

Tabel 2.1

Nilai-Nilai Karaker dan Deskripsi Karakter No. Nilai Karakter Deskripsi

1 Kedamaian Sikap dan perilaku yang menyukai adanya harmoni dan bebas dari konflik dan gangguan, serta suka akan ketenangan.

2 Menghargai Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Bersikap beradab, sopan, tidak melecehkan, tidak menghina orang lain, dan tidak menilai orang lain sebelum mengenalnya dengan baik.

3 Kerjasama Saling membantu untuk mencapai sebuah tujuan.

4 Kebebasan Tidak adanya paksaan/tekanan yang sengaja mendesak seseorang untuk bertidak melawan kehendak diri sendiri.

5 Kebahagian Suatu keadaan di mana hadir kesenangan, ketentraman, dan kepuasan terhadapa apa-apa yang telah dicapai.

6 Kejujuran Menjunjung tinggi kebenaran, ikhlas dan lurus hari, tidak suka berbohong, mencuri dan memfitnah, tidak pernah bermaksud menjerumuskan orang lain.

7 Kerendahan Hati Mengakui adanya peranan dan jasa orang lain dan tidak pernah menonjolkan diri.

8 Kasih sayang Memiliki dan menunjukkan perasaan penuh kasih sayang, mencintai, dan bersikap penuh kelembutan

9 Tanggung Jawab Melakukan tugas sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja yang tinggi, berusaha keras mencapai prestasi terbaik, mampu mengontrol diri, dan berdisplin diri.

10 Kesederhanaan Suatu keadaan tentang bagaimana berlaku sederhana, tidak pamer, bermewah-mewah, tidak berpikiran melit, dan rumit.

11 Toleransi Menerima secara terbuka orang lain yang tingkat kematangan dan latar belakang yang berbeda.

12 Persatuan Menjalin rasa kebersamaan dan saling melengkapi satu sama lain, serta menjalin rasa kemanusiaan dan saling toleransi.


(31)

B. Sikap

1. Pengertian Sikap

Pengertian sikap didefinisikan berbeda-beda oleh para ahli. Azwar (2009) mendefinisikan sikap sebagai bentuk pernyataan seseorang terhadap hal-hal yang ditemuinya seperti benda, orang ataupun fenomena. Sikap membutuhkan stimulus untuk menghasilkan respon. Sikap merupakan perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada suatu objek. Istilah sikap atau attitude pada awalnya digunakan untuk menunjukkan status mental individu. Sikap dapat menuntun perilaku individu sehigga individu akan bertindak sesuai dengan sikap yang diekspresikan. Kesadaran individu untuk menentukan tingkah laku nyata dan perilaku yang mungkin terjadi itulah yang dimaksud dengan sikap.

Kurinasih (2014, 65) mendefinisikan sikap sebagai sebuah ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Selanjutnya Kurinasih menjelaskan bahwa sikap dapat dibentuk, sehingga terjadi perilaku atau tindakan yang diinginkan. Ahmadi dalam Sukarmin (2009), menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negative terhadap objek atau situasi secara konsisten. Winkel (1999) memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Winkel (1999) berpendapat-pendapat bahwa sikap merupakan kemampuan internal yang berperanan sekali dalam


(32)

mengambil tindakan, lebih-lebih jika terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak.

Dari pengertian-pengertian sikap di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan nilai yang dimiliki seseorang dalam merespon fenomena-fenomena yang ada.

2. Komponen Sikap

Azwar (2005) menggolongkan komponen-komponen sikap ke dalam tiga komponen yaitu:

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif yakni kepercayaan seseorang mengenai apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan yang dibentuk menjadi dasar pengetahuan seseorang terhadap objek yang diharapkan.

b. Komponen Afektif

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif sesorang terhadap suatu objek sikap. Reaksi emosional dari komponen afektif banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang dipercayai bagi objek tertentu.

c. Komponen Konatif

Komponen konatif menunjukkan perilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.


(33)

3. Faktor pembentuk sikap

Faktor-faktor pembentuk sikap individu menurut Azwar (2005) yaitu: a. Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi meninggalkan kesan yang kuat dan dapat menjadai dasar pembentukan sikap. Sikap lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

a. Kebudayaan

Kebudayaan menanamkan pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat.

b. Orang Lain yang Dianggap Penting

Pada umumnya individu cenderung memiliki sikap konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konlik dengan orang dianggap penting. c. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam penyampaian informasi, media massa memberikan pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan sugesti tersebut


(34)

apabila cukup kuat akan meberi dasar efektif dalam menilai suatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

d. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Pemahaman baik dan buruk, sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan keagamaan. Konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan, maka konsep tersebut ikut berperan dalam menetukan sikap individu terhadap suatu hal.

e. Emosional

Suatu bentuk sikap pernyataan yang didasari oleh emosi berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

C. Menyontek

1. Pengertian Menyontek

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008), menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, mencontoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak. Sedangkan Anderman dan Murdock dalam Purnamasari (2013) menyatakan bahwa perilaku kecurangan akademik merupakan penggunaan segala kelengkapan dari materi ataupun bantuan yang tidak diperbolehkan digunakan dalam tugas-tugas akademik dan atau aktivitas yang mengganggu proses asesmen.


(35)

Bower dalam Purnamasari, (2013) mendefinisikan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah dan terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademik untuk menghindari kegagalan akademik. Sedangkan menurut Pincus & Schemelkin (Mujahidah, 2009) perilaku menyontek merupakan suatu tindakan curang yang sengaja dilakukan ketika seseorang mencari dan membutuhkan adanya pengakuan atas hasil belajarnya dari orang lain meskipun dengan cara yang tidak sah seperti memalsukan informasi terutama ketika dilaksanakannya evaluasi akademik.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku menyontek adalah kegiatan, tindakan atau perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan cara-cara yang tidak jujur atau curang untuk memalsukan hasil belajar dengan menggunakan bantuan atau memanfaatkan informasi dari luar secara tidak sah pada saat dilaksanakan tes atau evaluasi akademik untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Faktor-faktor penyebab menyontek

Salah satu alasan yang mendorong individu untuk menyontek adalah untuk memuaskan harapan orang tua. Santrock (2003) mengatakan bahwa tidak jarang orang tua dalam mengasuh atau mendidik anak-anaknya dipengaruhi oleh keinginan atau ambisi dari orang tua tanpa melihat kemampuan anaknya. Orang tua bermaksud ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, namun keinginan tersebut tidak memperhatikan kemampuan anak.


(36)

Sikap orang tua yang mengharapkan terlalu berlebihan pada anak akan menghambat anak untuk menunjukkan prestasi sesuai dengan potensi yang dimiliki. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1991) biasanya anak menyadari harapan orang tuanya. Oleh karena itu sikap yang terlalu menuntut dapat menyebabkan anak merasa takut kehilangan kasih sayang dari orang tuanya. Hal ini menimbulkan rasa rendah diri, gangguan tingkah laku, berkurangnya motivasi untuk belajar serta ketegangan atau kecemasan dalam diri anak.

Agustin (2014) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan siswa menyontek pada saat ujian. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa angka dan nilai yang diperoleh siswa dalam tes formatif atau sumatif. b. Pendidikan moral, baik di rumah maupun di sekolah kurang diterapkan

dalam kehidupan siswa.

c. Sikap malas yang tertanam dalam diri siswa sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab. d. Anak remaja sering menyontek daripada anak SD, karena masa remaja

bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di kalangan teman-teman sekelasnya.

e. Kurang mengerti arti dari pendidikan.

Perilaku menyontek ini akan mengakibatkan perilaku atau watak tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak mau membaca buku pelajaran tetapi rajin membuat catatan kecil-kecil untuk


(37)

bahan menyontek, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya menjadi koruptor (Buchari dalam Prihatnaningtyas 2014). Dengan demikian tampak bahwa perilaku menyontek secara tidak langsung membelajarkan pada siswa untuk menjadi seorang koruptor.

3. Bentuk-Bentuk Menyontek

Bentuk-bentuk perilaku menyontek menurut Hetherington and Feldman dalam Veronikha (2013) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Social Active

1) Melihat jawaban teman yang lain ketika ujian berlangsung

2) Meminta jawaban kepada teman yang lain ketika ujian sedang berlangsung

b. Individualistic-Opportunistic

1) Menggunakan HP atau alat elektronik lain yang dilarang ketika ujian sedang berlangsung.

2) Mempersiapkan catatan yang digunakan pada saat ujian akan berlangsung.

3) Melihat dan menyalin sebagian atau seluruh hasil kerja teman lain pada saat tes.

c. Individual Planned

1) Mengganti jawaban ketika guru keluar kelas.

2) Membuka buku teks ketika ujian sedang berlangsung.


(38)

d. Social Passive

1) Mengijinkan orang lain melihat jawaban ketika ujian sedang berlangsung.

2) Membiarkan orang lain menyalin pekerjaannya.

3) Memberi jawaban tes kepada teman pada saat ujian sedang berlangsung.

D. Remaja

1. Pengertian remaja

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka (Dahlan, 2011) masa remaja ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun; (b) remaja madya: 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Sementara Salzman (Dahlan, 2011) mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantungan (dependence) terhadap orangtua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980). Menurut Santrock (2003) remaja dapat diartikan sebagai


(39)

masa perkembangan transisi anatara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan tahap atau proses perkembangan manusia kekehidupan yang lebih mandiri serta tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, kematangan psikologis.

2. Ciri-ciri remaja

Hurlock (1980) mengatakan bahwa seperti hal nya dengan semua periode yang penting selaa rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri terntentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersbut akan diterangkan secara singkat dibawah ini:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Bagi sebagian besar anak muda, usia antara dua belas dan enam belas tahun merupakan tahun kehidupan yang penuh kejadian sepanjang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Bila anak-anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak-anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan.


(40)

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu yaitu:

1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagaian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga banyak remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

2) Karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin megatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang yang dewasa.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut


(41)

bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hamper dewasa. 3. Tugas-tugas perkembangan remaja

Menurut Hurlock (1980) ada beberapa tugas perkembangan masa remaja antara lain:

a. Remaja harus menerima keadaan fisiknya

Di dalam konsep ini diperlukan waktu untuk memperbaikinya dan untuk mempelajari cara-cara memperbaikinya dibutuhkan penampilan diri yang sesuai dengan yang dicita-citakan oleh remaja tersebut.


(42)

Untuk diakui oleh masyarakat tidaklah mempunyai banyak kesulitan bagi anak laki-laki, mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak. Tetapi halnya berbeda bagi anak perempuan. Sebagai anak-anak, mereka diperbolehkan bahkan didorong untuk memainkan peran sederajat, sehingga usaha untuk mempelajari peran feminism dewasa yang diakui masyarakat dan menerima peran tersebut, seringkali merupakan tugas pokok yang memerlukan penyusaian diri selama bertahun-tahun.

c. Kemandirian ekonomis

Kemandirian ekonomis tidak dapat dicapai sebelum remaja memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja. Kalau remaja memilih pekerjaan yang memerlukan periode pelatihan yang lama, tidak ada jaminan memperoleh kemandirian ekonomis bilamana secara resmi menjadi dewasa nantinya. Secara ekonomis mereka harus bergantung selama beberapa tahun sampai pelatihan yang diperlukan untuk bekerja selesai dijalani sekolah dan pendidikan tinggi menekankan keterampilan intelektual dan konsep yang penting bagi kecakapan sosial namun hanya sedikit remaja yang mampu menggunakan keterampilan dan konsep ini dalam situasi praktis.


(43)

E. Jenis Kelamin

1. Remaja laki-laki dan perempuan

Menurut Blakemore, Berenbaun dan Liben dalam buku Jhon W. Santrock (2014: 184) gender merujuk pada karakteristik orang sebagai laki-laki dan perempuan. Identitas gender melibatkan makna gender itu sendiri termasuk pengetahuan pemahaman dan penerimaan sebagai laki-laki dan perempuan.

Peran jenis kelamin adalah seperangakat harapan yang menetapkan bagaimana perempuan atau laki-laki harus berpikir, bertindak dan merasa. Terdapat berbagai cara untuk melihat perkembangannya. Beberapa pandangan menekankan faktor biologis dalam perilaku dan perempuan yang lainnya menekankan faktor-faktor sosial atau kognitif. Namun, bahkan para ahli dengan orientasi lingkungan kuat mengakui bahwa anak perempuan dan anak laki-laki diperlakukan berbeda karena perbedaan fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam reproduksi.

Selain faktor biologis dan sosial, faktor kognitif berkontribusi terhadap pembangunan gender anak (Martin dan Rubel, 2010 dalam buku Jhon W. Santrock (2014: 185). Teori skema gender, saat ini merupakan teori kognitif yang paling banyak diterima dari jenis kelamin, menyatakan bahwa stereotip gender muncul ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender, apa gender yang tepat, dan gender yang tidak pantas dalam budaya mereka. Skema adalah struktur kognitif jaringan asosiasi yang memadu persepsi individu. Skema gender


(44)

mengatur dunia dalam hal perempuan dan laki-laki. Anak-anak secara internal termotivasi untuk melihat dunia dan bertindak sesuai dengan skema mereka berkembang sedikit demi sedikit anak-anak memilih gender apa yang tepat dan gender yang tidak pantas dalam budaya mereka dan mengembangkan skema gender yang membentuk bagaiman mereka melihat dunia dan apa yang mereka ingat. Anak-anak termotivasi untuk bertindak dengan cara yang sesuai dengan jenis kelamin skema tersebut. 2. Klasifikasi jenis kelamin dipandang dari peran gender

Menurut John W. Santrock (2009: 227) klasifikasi peran gender melibatkan pengevaluasian anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal kelompok sifat-sifat kepribadian. Dimasa lalu, seorang anak laki-laki yang diurus dengan baik seharusnya mandiri, agresif, dan kuat. Seorang wanita yang diurus dengan baik seharusnya tidak mandiri memiliki sifat mengasuh dan tidak tertarik pada kekuatan. Pada saat yang sama, secara keseluruhan, karakteristik maskulin dianggap sehat dan baik oleh masyarakat, sementara karakteristik feminism dianggap tidak menyenangkan.

3. Interaksi Guru dan siswa

Bias antara laki-laki dan perempuan hadir di ruang kelas. Guru berinteraksi lebih banyak dengan anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan disemua tingkat pendidikan. Menurut Blakemore, Berenbaun dan Liben dalam buku Jhon W. Santrock (2014: 192) ada beberapa faktor yang mempertimbangkan:


(45)

a. Patuh, mengikuti aturan dan menjadi rapih serta teratur dinilai dan diperkuat dibanyak kelas. Ini adalah perilaku yang biasanya berhubungan dengan anak perempuan daripada anak laki-laki.

b. Sebagian besar guru adalah perempuan, terutama disekolah dasar. Hal ini dapat membuat anak laki-laki lebih sulit untuk mengidentifikasi guru dan meneladani perilaku guru mereka daripada anak perempuan.

c. Anak laki-laki lebih mungkin untuk teridentifikasi memiliki masalah belajar dibandingkan dengan anak perempuan.

d. Anak laki-laki lebih mungkindikritik dibandingkan anak perempuan. e. Personal sekolah cenderung memberikan streotip bermasalah pada

anak laki-laki.

Berikut ini beberapa faktor yang menjadi bukti bahwa kelas bias terjadi terhadap anak perempuan, antara lain:

a. Dalam kelas khusus, anak perempuan lebih patuh, anak laki-laki lebih kasar. Anak laki-laki menuntut perhatian lebih, anak perempuan cenderung menunggu giliran mereka. Pendidik khawatir bahwa kecenderungan anak perempuan untuk diam dan patuh memiliki dampak yaitu ketegasan yang berkurang.

b. Dibanyak kelas, guru menghabiskan lebih banyak waktu dan memperhatikan anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bekerja dan berinteraksi sendiri. Sebagian besar guru tidak sengaja mendukung anak laki-laki dengan menghabiskan lebih banyak waktu


(46)

bersama mereka, namun entah bagaiamana kelas lebih berakhir dengan jenis profil gender ini.

c. Anak laki-laki mendapatkan intruksi bantuan lebih banyak dibandingkan anak perempuan ketika mereka mengalami kesulitan dengan pertanyaan. Guru sering memberikan anak laki-laki lebih banyak waktu untuk menjawab pertanyaan, petunjuk lebih pada jawaban yang benar dan selanjutnya mencoba jika mereka memberi jawaban yang salah.

d. Anak perempuan dan anak laki-laki memasuki kelas dengan tingkat penghargaan diri yang sama, namun setelah masa sekolah menengah tingkat penghargaan diri perempuan secara signifikan lebih rendah dari pada anak laki-laki.

e. Meskipun anak perempuan di identifikasi untuk program berbakat lebih dari anak laki-laki disekolah dasar, disekolah tinggi terdapat lebih banyak anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dalam program berbakat (Dinas Pendidikan A.S.1999 dalam buku Jhon W. Santrock 2014:192).

4. Perbedaan sikap laki-laki dan perempuan terhadap perilaku menyontek dalam ujian.

Sebuah penelitian pada tahun 1984 yang dilakukan oleh Lueptow (Santrock, 2003), membuktikan bahwa perempuan memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam orientasi berprestasi dalam prestasi akademik daripada laki-laki. Prestasi bisa jadi merupakan komponen yang kuat dalam peran


(47)

gender perempuan daripada laik-laki. Suatu pembedaan mungkin diperlukan adanya prestasi yang berdasarkan kecakapan dan mutu yang baik (fokus utama adalah perempuan) dan prestasi yang berdasarkan tuntutan dan kompetensi agresif (fokus utama adalah laki-laki) dimana perempuan adalah peraih sukses yang ulet, sedangkan laki-laki adalah pesaing yang ulet (Santrock, 2003).

Walaupun perempuan memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam berprestasi, tetapi karena adanya faktor sosial yang menuntut perempuan supaya dapat dipercaya, sensitif dan ikut memikirkan kesejahteraan orang lain. Menurut Nathaniel (kumara, 1990) menyebabkan perempuan menekankan keinginannya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi karena perempuan akan dianggap tidak feminism lagi.

Berlawanan dengan sifat feminism, maskulin yang merupakan karakteristik laki-laki, yaitu mandiri, aktif, kompetitif, mudah membuat keputusan, cenderung berperan sebagai pemimpin, tidak mudah menyerah, percaya diri, merasa superior, ambisius dan mampu bertahan dalam kondisi yang memberikan stress. Hal tersebutlah yang mendorong laki-laki memiliki perasaan lebih tinggi daripada perempuan sehingga mereka akan melakukan perbuatan apa saja untuk mencapai keinginannya tersebut.

Dalam sebuah studi nasional yang dilakukan U.S Departement of Education (Santrock, 2007), laki-laki memperlihatkan performa sedikit lebih tinggi dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, secara


(48)

keseluruhan, pada umumnya perempuan termasuk siswa yang superior, memperoleh ranking lebih tinggi, dan memiliki kemampuan membaca yang lebih baik dibandingkan laki-laki. Dalam studi nasional lain yang dilakukan baru-baru ini, perempuan memperlihatkan prestasi membaca dan keterampilan menulis lebih baik dibandingkan laki-laki di kelas 4, 8, 12, dimana perbedaan ini cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya mereka ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Dibandingkan perempuan, laki-laki lebih sering dimasukkan dalam khusus/remedial. Dibandingkan laki-laki, perempuan cenderung lebih baik dalam menangani materi-materi akademis, memberikan perhatian terhadap pelajaran dikelas, berusaha lebih keras dalam menyelesaikan tugas-tugas akademis dan berpartipasi di kelas.

F. Akreditasi

1. Pengertian Akreditasi

Menurut Suharsimi (1988: 256) akreditasi adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolah swasta ataupun negeri untuk menentukan peringkat pengakuan pemerintah terhadap sekolah tersebut. Yang dimaksud dengan peringkat adalah kedudukan sesuatu sekolah tersebut terhadap sekolah-sekolah swasta lain, dan kedudukan sesuatu sekolah terhadap standar yang ditentukan oleh pemerintah sebagai ukuran kualifikasi yang diharapkan untuk dicapai oleh sekolah yang bersangkutan dan sekolah sekolah-sekolah swasta pada umumnya.


(49)

Jadi dengan singkat dapat dikatakan bahwa akreditasi adalah penilaian jenjang kualifikasi mutu sekolah swasta oleh pemerintah.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2005 akreditasi sekolah/madrasah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan suatu sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh BAN-S/M yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa akreditasi adalah penilaian jenjang kualifikasi mutu sekolah dan kelayakan sekolah yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan.

Mengacu pada pengertian akreditasi sekolah tersebut, maka perlu dilakukan dua tindakan. Pertama menetapkan standar akreditasi sekolah yang digunakan sebagai tolak ukur kriteria. Mengingat sekolah sebagai system terdiri dari sejumlah komponen yang saling terkait, maka perlu ditetapkan terlebih dahulu standar dari masing-masing komponen sekolah tersebut. Kedua, menilai kinerja dan kelayakan sekolah melalui tindakan membandingkan masing-masing komponen sekolah menurut kenyataan dengan standar/ kriteria yang telah ditetapkan bagi masing-masing komponen sekolah.

Hasil perbandingan secara keseluruhan komponen-komponen sekolah menurut kenyataan dengan standar akreditasi akan menentukan


(50)

hasil akreditasi yang klasifikasinya dapat digolongkan menjadi terakreditasi (amat baik, baik, cukup atau tidak terakreditasi), sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah kepada publik/ masyarakat.

2. Tujuan akreditasi

Di Indonesia, akreditasi dilakukan dengan tujuan sebagai mana tersebut di Buku Pedoman Akreditasi Sekolah dalam buku Suharsimi (1988: 260) sebagai berikut:

a. Mendapatkan bahan-bahan bagi usaha-usaha perencanaan pemberian bantuan dalam rangka pembinaan sekolah yang bersangkutan.

b. Mendorong dan menjaga agar mutu pendidikan sesuai dengan ketentuan kurikulum yang berlaku.

c. Mendorong dan menjaga mutu tenaga kependidikan.

d. Mendorong tersedianya prasarana/sarana pendidikan yang baik. e. Mendorong terciptanya dan menjaga terpeliharanya ketahanan

sekolah dalam pengembangan sekolah sebagai pusat kebudayaan. f. Melindungi masyarakat dari usaha pendidikan yang kurang

bertanggung jawab.

g. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang mutu pendidikan suatu sekolah.

h. Memudahkan pengaturan perpindahan siswa dari sekolah yang satu kesekolah yang lain.


(51)

Sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam buku Suharsimi (1988:262), setiap warga Negara diperbolehkan mendirikan sekolah. Apabila ada badan atau yayasan yang mendirikan sekolah, maka segera harus melaporkan pendiriannya tersebut kepada instansi yang berwenang. Walaupun untuk mendirikan sekolah terdapat kebebasan, tetapi pendirian sesuatu sekolah harus ada izin tertulis. Selnajutnya didalam waktu selambat-lambatnya enam bulan, sekolah baru tersebut sudah harus dinilai oleh instansi yang ditunjuk, untuk memperoleh jenjang akreditasi.

Untuk sekolah Menengah Tingkat Pertama prosedur yang harus dilalui oleh Sekolah Menengah Tingkat Pertama Berbeda dengan prosedur yang untuk SD/TK.

a. Kepala bidang yang bersangkutan, atas dasar hasil penilaian sebuah tim yang diketuai oleh pengawas mengusulkan jenjang akreditasi kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi.

b. Kepala Kantor Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi menetapkan jenjang akreditasi.

Hasil akreditasi sekolah dinyatakan dalam peringkat akreditasi sekolah. Peringkat akreditasi sekolah terdiri atas tiga klasifikasi sebagai berikut A (Amat baik), B (Baik), dan C (Cukup). Bagi sekolah yang hasilnya akreditasinya kurang dari C dinyatakan tidak terakreditasi.


(52)

Peringkat akreditasi sekolah berlaku selama 4 (empat) tahun terhitung sejak ditetapkan peringkat akreditasinya. Sekolah diwajibkan mengajukan permohonan akreditasi ulang, sebelum 6 (enam) bulan masa berlakunya peringkat akreditasi berakhir. Sekolah yang menghendaki untuk diakreditasi ulang dapat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya setelah 1 tahun terhitung sejak ditetapkannya peringkat akreditasi. Sekolah yang peringkat akreditasinya berakhir masa berlakunya dan telah mengajukan akreditasi ulang tetapi belum dilakukan akreditasi oleh BAS provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya maka sekolah yang bersangkutan masih tetap menggunakan peringkat akreditasi terdahulu. Sekolah yang peringkat akreditasinya telah berakhir masa berlakunya dan menolak untuk diakreditasi ulang oleh BAS provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, maka peringkat akreditasi sekolah yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku.

4. Syarat-syarat akreditasi

Menurut yang ditercantum dalam Keputusan Mentri Pendidikan Nasional (Dalam Khafid & Barokah) akreditasi memiliki syarat yaitu:

a. Memiliki surat keputusan kelembagaan unit pelaksana teknis (UPT) sekolah.

b. Memiliki siswa pada semua tingkatan kelas. c. Memiliki sarana dan prasarana pendidikan. d. Memiliki tenaga kependidikan.


(53)

e. Melaksanakan kurikulum nasional. f. Telah menamatkan peserta didik. 5. Pelaksana akreditasi

Menurut yang ditercantum dalam Keputusan Mentri Pendidikan Nasional (Dalam Khafid & Barokah) pelaksana akreditasi sekolah di Indonesia adalah Badan Akreditasi Sekolah (BAS), yang merupakan badan non struktural yang bersifat independen. BAS terdiri atas BAS Nasional, BAS Provinsi, dan BAS Kabupaten/kota. Susunan organisasi BAS terdiri atas:

a. Ketua merangkap anggota b. Sekretaris merangkap anggota c. Anggota.

Anggota BAS sekurang-kurangnya 11 orang dan sebanyak-banyaknya sesuai dengan keperluan serta berjumlah gasal. Ketua dan sekretaris BAS dipilh oleh dan dari anggota.

G. Penelitian yang Relevan

1. Perbedaan Sikap antara Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan Terhadap Perilaku Menyontek dalam Ujian di Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini dilakukan oleh Meidiana (2005) Universitas Sanata Dharma. Penelitian pada mahasiswa USD yang berjumlah 80 orang yang terdiri dari 40 orang laki-laki dan 40 orang perempuan, menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap antara mahasiswa laki-laki dan perempuan terhadap perilaku menyontek. Perbandingan nilai mean pada mahasiswa


(54)

laki-laki sebesar 132.07 dan pada perempuan sebesar 110.90. Hal ini menunjukkan bahwa sikap mahasiswa laki-laki lebih permisif daripada perempuan terhadap perilaku menyontek dalam ujian di USD.

2. Hubungan antara motivasi berprestasi dengan perilaku Menyontek

Penelitian ini dilakukan oleh Alvianto, (2008) Universitas sanata Dharma. Penelitian yang dilakukan pada siswa-siswi kelas XI di SMA Negeri 1 Dukun Kecamatan Muntilan yang berjumlah 70 orang, menunjukkan bahwa terdapat hubugan negatif yang signifikan antara variabel motivasi berprestasi dengan perilaku menyontek (r=-0.577, signifikansi 0.000). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat motivasi berpretasi pada siswa-siswi, maka akan semakin rendah tingkat perilaku menyonteknya. Demikian pula sebalikya, semakin rendah tingkat motivasi berprestasi pada siswa-siswi, maka semakin tinggi tingkat perilaku menyonteknya. H. Kerangka Berpikir

1. Ada Perbedaan Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin Pada Siswa Kelas VIII Di Kota Yogyakarta

Peran identitas jenis kelamin adalah salah satu pemahaman tentang kepribadian manusia bedasarkan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) dan mempenggaruhi perilaku dan nilai yang dikembangkan oleh individu. Perkembangan peran identitas jenis kelamin pada diri seseorang tidak bisa dilepas dari unsur biologis dan psikis.

Banyak sifat dan ciri-ciri khas perempuan dan laki-laki yang membedakan antara kedua jenis ini, yaitu perbedaan dan kekhususan


(55)

laki-laki dan perempuan sesuai dengan tujuan peranan masing-masing dan memberi makna kehidupan bagi kehidupan mereka masing-masing. Suatu pembedaan sangat terlihat pada prestasi mereka di sekolah, perempuan memiliki tingkat prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan adalah peraih sukses yang ulet, sedangkan laki-laki adalah pesaing yang ulet (Santrock,2003).

Perempuan sebagai peraih sukses yang ulet akan lebih rajin dalam belajar untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, sedangkan laki-laki sebagai pesaing yang ulet dan kompetitif akan cenderung melakukan perbuatan apa saja untuk mencapai keinginannya tersebut.

Adanya perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan dalam bersikap inilah yang membuat peneliti menduga bahwa ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari jenis kelamin. 2. Ada Perbedaan Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Yang Ditinjau

Dari Akreditasi Pada Siswa Kelas VIII Di Kota Yogyakarta

Akreditasi adalah penilaian jenjang kualifikasi mutu sekolah negeri atau swasta oleh pemerintah. Jika sekolah memiliki akreditasi A maka sekolah tersebut akan mempunyai mutu pendidikan yang sangat baik, tetapi jika sekolah tersebut memiliki akreditasi B maka sekolah tersebut mempunyai akreditasi yang baik.

Sekolah dengan akreditasi A akan selalu menjaga agar mutu pendidikan sesuai dengan ketentuan kurikulum yang berlaku, sehingga sekolah akan melakukan berbagai usaha misalnya sekolah ingin


(56)

meminimalisir ketidakjujuran para siswa dalam ujian atau melarang siswa untuk mencontek. Dengan berbagai peraturan yang melarang siswa untuk mencontek tersebut membuat para siswa tidak berani untuk mencontek pada saat ujian. Berbeda dengan sekolah yang belum terakreditasi, sekolah yang belum terakreditasi mempunyai mutu pendidikan yang jauh berbeda dengan sekolah berakreditasi A, sehingga peraturan-peraturan di sekolah yang belum terakreditasi kurang ketat.

Oleh sebab itu, peneliti menduga ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari akreditasi sekolah.

I. Paradigma Penelitian

Keterkaitan antara variabel-variabel penelitian dapat disusun dalam suatu paradigma sebagai berikut:

Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan

Akreditasi: Akreditasi A,B,C dan

Belum Terdaftar

Sikap Meyontek Para Siswa


(57)

I. Hipotesis Penelitian 1. Hipotesis 1

Ho=Tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari jenis kelamin..

Ha= Ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari jenis kelamin.

2. Hipotesis 2

Ho= Tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari akreditas sekolah.

Ha= Tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek yang ditinjau dari akreditas sekolah.


(58)

37 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Dalam penelitian ini siswa berperan sebagai responden. Menurut Subiyanto (1993:6) studi kasus adalah suatu perancangan penelitian dengan tujuan melakukan pengujian dengan cermat dan teliti terhadap suatu obyek penelitian berdasarkan suatu situasi ataupun kondisi tertentu dengan melihat kesesuaiannya dengan pernyataan atau nilai tertentu yang diikuti dan diamati dengan cermat dan teliti,

Penelitian ini akan dilakukan di SMP dan hasil atau kesimpulan ini tidak bisa direalisasikan pada SMP-SMP lainnya di Yogyakarta sebab penelitian studi kasus merupakan jenis penelitian dengan karakteristik serta masalah yang mempunyai kaitan antara latar belakang dan kondisi nyata saat ini dari subyek yang diteliti.

B. Tempat dan waktu penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di SMP Negeri 10 Yogyakarta, SMP Negeri 15 Yogyakarta, SMP Kristen Kalam Kudus, SMP Bhineka Tunggal Ika.


(59)

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari 2016 – April 2016.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta terdaftar sebagai siswa di sekolah yang berakreditasi A,B,C atau belum terakreditasi. Siswa yang dipilih oleh peneliti adalah siswa yang berada di kelas VIII, karena peneliti berpendapat siswa yang berada di kelas VIII adalah siswa yang berada masa usia anak-anak menuju remaja sehingga memiliki emosi yang tidak stabil dan dapat mempenggaruhi bagaimana mereka bersikap. Menurut Bichler (1972) dalam buku perkembangan peserta didik, remaja berusia 12-15 tahun cenderung tidak toleren terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya percaya diri. Kurangnya kepercayaan diri inilah yang menyebabkan remaja pada usia tersebut dapat melakukan hal-hal yang negatif, misalnya menyontek untuk memperoleh nilai yang tinggi.

Berdasarkan gambaran populasi yang diperoleh oleh peneliti, maka didapat sampel penelitian. Menurut Sugiono (2012: 81) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sedangkan menurut Yusuf (2014: 150), sampel adalah sebagian dari populasi yang terpilih dan mewakili populasi sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Jadi sampel adalah sebagian besar dari populasi yang


(60)

sesuai dengan karakter yang telah ditentukan. Oleh karena itu, sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik di bawah ini, yaitu:

1. Laki-laki dan perempuan yang berada di kelas VIII yang berada pada usia anak-anak menuju remaja dan berusia 12-15 tahun.

2. Terdaftar sebagai siswa sekolah yang berakreditasi A,B,C, dan belum terakreditasi.

Penelitian yang ideal mensyaratkan pengambilan sampel yang random untuk mendapatkan sampel yang representatif. Namun keterbatasan yang dimiliki peneliti dalam hal tenaga, waktu, dan biaya menyebabkan peneliti memilih menggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara purposive sampling. Teknik ini memilih sekelompok subjek yang berrdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004).

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Menurut Sugiyono (2013:230) kuesioner merupakan teknik pengumpulan data di mana partisipan/responden mengisi pertanyaan atau pernyataan kemudian setelah diisi dengan lengkap mengembalikan kepada peneliti. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Meidiana (2005) dengan tingkat reliabilitas sebesar 0,9682. Instrumen yang dikembangkan


(61)

oleh Meidiana (2015) ini akan diuji kembali validitas dan reliabilitasnya sehingga instrument yang dikembangkan benar-benar valid reliable. Berikut ini adalah dimensi dan indikator sikap menyontek:

Tabel 3.1

Operasional Variabel Sikap Menyontek No . Konteks atau Aspek Komponen Sikap Item

Favorable Unfavorable 1. Bekerjasama

dengan orang lain dalam mengerjakan ujian

Kognitif 1,2,3,35,48 9,21,28,39,50 Afektif 13,22,31,40,54 5,19,24,42,59 Perilaku 6,26,37,44,57 8,15,33,46,53

2.

Menggunakan material yang tidak sah pada saat ujian

Kognitif 12,18,30,36,58 10,11,23,41,51 Afektif 14,25,32,43,60 4,17,29,45,56 Perilaku 20,27,34,47,52 7,16,38,49,55

Setiap butir pernyataan dalam 4 (empat) pilihan kategori, yaitu meliputi SS (Sangat Setuju), S ( Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Keseluruhan item pernyataan yang dibuat dari item yang favorable dan item unfavorable. Item favorable adalah item-item yang menyatakan sikap positif atau mendukung perilaku mencontek, sedangkan item yang unfavorable adalah item-item yang menyatakan sikap negatif atau tidak mendukung adanya perilaku mencontek. Item-item disusun secara acak.

Empat pilihan alternatif dalam item memiliki nilai tersendiri, yaitu untuk pernyataan favorable, respon SS diberi nilai 4, S diberi nilai 3, TS


(62)

diberi nilai 2 dan STS diberi nilai 1, sedangkan unfavorable, respon SS diberi nilai 1, S diberi ilai 2, TS diberi nilai 3, dan STS diberi nilai 4.

E. Pengujian InstrumenPenelitian 1. Uji Validitas Instrumen

Menurut Sugiyono (2013:203) instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

Pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi product moment, sebagai berikut Sugiyono (2013:286):

∑ ∑ ∑ √ ∑ ∑ } ∑ ∑ Keterangan:

r = koefisien korelasi antara variabel X dengan Variabel Y Y = skor total dari seluruh item

X = skor total dari setiap item N =jumlah responden

∑ =hasil kali X dan Y

Jika nilai koefisien r hitung lebih besar dari r tabel, maka butir soal tersebut dikatakan valid. Jika r hitung lebih kecil dari r tabel, maka butir soal tersebut dapat dikatakan tidak valid.

Nilai dapat di hitung dengan menggunakan sampel sebanyak 146 responden dengan taraf signifikansi 5%, dari responden sebanyak 146 siswa tersebut dapat dilihat di tabel dengan cara menghitung:


(63)

Df= n-2 Keterangan:

Df = degree of freedom (derajat bebas) n = jumlah responden

Perhitungan adalah sebagai berikut: Df= 146-2 = 144

Tabel 3.2

Sebagian dari r tabel

Df= n-2 Taraf Signifikansi sebesar 0,05 (5%)

144 0,1625

Jika nilai-nilai corrected item-total correlation setiap item lebih besar dari nilai 0,1625, maka item pertanyaan/pernyataan dapat dikatakan valid. Sebaliknya, jika nilai-nilai corrected item-total correlation setiap item lebih kecil 0,1625, maka item pertanyaan/pernyataan dikatakan tidak valid.

Pengujian validitas dilakukan secara serentak dengan jumlah responden sebanyak 146 siswa. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 10 Yogyakarta, SMP Negeri 15 Yogyakarta, SMP Kristen Kalam Kudus, dan SMP Bhineka Tunggal Ika. Berikut ini disajikan hasil validitas item penelitian ini:


(64)

a. Variabel Sikap Menyontek Siswa Tabel 3.3

Hasil Pengujian Validitas Instrumen Sikap Menyontek No Item r hitung r tabel Keterangan

Butir 1 0.428 0,1625 Valid Butir 2 0.615 0,1625 Valid Butir 3 0.417 0,1625 Valid Butir 4 0.108 0,1625 Tidak valid Butir 5 0.323 0,1625 Valid Butir 6 0.502 0,1625 Valid Butir 7 0.197 0,1625 Valid Butir 8 0.358 0,1625 Valid Butir 9 0.558 0,1625 Valid Butir 10 0.428 0,1625 Valid Butir 11 0.369 0,1625 Valid Butir 12 -0.273 0,1625 Tidak valid Butir 13 0.225 0,1625 Valid Butir 14 0.608 0,1625 Valid Butir 15 0.359 0,1625 Valid Butir 16 0.535 0,1625 Valid Butir 17 0.210 0,1625 Valid Butir 18 0.248 0,1625 Valid Butir 19 0.550 0,1625 Valid Butir 20 0.621 0,1625 Valid


(65)

No Item r hitung r tabel Keterangan

Butir 21 0.483 0,1625 Valid Butir 22 -0.318 0,1625 Tidak valid Butir 23 0.343 0,1625 Valid Butir 24 0.451 0,1625 Valid Butir 25 0.635 0,1625 Valid Butir 26 0.523 0,1625 Valid Butir 27 0.605 0,1625 Valid Butir 28 0.498 0,1625 Valid Butir 29 0.137 0,1625 Tidak valid Butir 30 0.128 0,1625 Tidak valid Butir 31 0.571 0,1625 Valid Butir 32 0.592 0,1625 Valid Butir 33 0.582 0,1625 Valid Butir 34 0.638 0,1625 Valid Butir 35 0.592 0,1625 Valid Butir 36 -0.167 0,1625 Tidak valid Butir 37 0.573 0,1625 Valid Butir 38 0.532 0,1625 Valid Butir 39 0.392 0,1625 Valid Butir 40 0.617 0,1625 Valid Butir 41 0.399 0,1625 Valid Butir 42 0.488 0,1625 Valid


(66)

No Item r hitung r tabel Keterangan

Butir 43 0.669 0,1625 Valid Butir 44 0.673 0,1625 Valid Butir 45 0.150 0,1625 Tidak valid Butir 46 0.409 0,1625 Valid Butir 47 0.629 0,1625 Valid Butir 48 0.601 0,1625 Valid Butir 49 0.582 0,1625 Valid Butir 50 -0.441 0,1625 Tidak valid Butir 51 0.456 0,1625 Valid Butir 52 0.675 0,1625 Valid Butir 53 0.476 0,1625 Valid Butir 54 0.429 0,1625 Valid Butir 55 0.456 0,1625 Valid Butir 56 0.209 0,1625 Valid Butir 57 0.684 0,1625 Valid Butir 58 0.415 0,1625 Valid Butir 59 0.350 0,1625 Valid Butir 60 0.578 0,1625 Valid

Tabel 3.3 menunjukkan bahwa ada beberapa butir pertanyaan/pernyataan tentang sikap menyontek adalah tidak valid karena nilai corrected item-total correlation < = 0,1625). Butir yang tidak valid antara lain 4, 12, 22, 29, 30, 36, 45, dan 50, karena


(67)

ada beberapa butir pertanyaan/pertanyaan yang tidak valid maka dilakukan pengujian validitas ulang.

Tabel 3.4

Hasil Pengujian Validitas Ulang 1 Instrumen Sikap Menyontek No Item r hitung r tabel Keterangan

Butir 1 0.423 0,1625 Valid Butir 2 0.623 0,1625 Valid Butir 3 0.424 0,1625 Valid Butir 5 0.326 0,1625 Valid Butir 6 0.530 0,1625 Valid Butir 7 0.197 0,1625 Valid Butir 8 0.381 0,1625 Valid Butir 9 0.580 0,1625 Valid Butir 10 0.448 0,1625 Valid Butir 11 0.399 0,1625 Valid Butir 13 0.237 0,1625 Valid Butir 14 0.600 0,1625 Valid Butir 15 0.366 0,1625 Valid Butir 16 0.531 0,1625 Valid Butir 17 0.177 0,1625 Valid Butir 18 0.249 0,1625 Valid Butir 19 0.551 0,1625 Valid Butir 20 0.620 0,1625 Valid Butir 21 0.521 0,1625 Valid


(68)

No Item r hitung r tabel Keterangan

Butir 23 0.372 0,1625 Valid Butir 24 0.456 0,1625 Valid Butir 25 0.648 0,1625 Valid Butir 26 0.542 0,1625 Valid Butir 27 0.628 0,1625 Valid Butir 28 0.490 0,1625 Valid Butir 31 0.556 0,1625 Valid Butir 32 0.605 0,1625 Valid Butir 33 0.596 0,1625 Valid Butir 34 0.644 0,1625 Valid Butir 35 0.607 0,1625 Valid Butir 37 0.592 0,1625 Valid Butir 38 0.527 0,1625 Valid Butir 39 0.392 0,1625 Valid Butir 40 0.614 0,1625 Valid Butir 41 0.422 0,1625 Valid Butir 42 0.489 0,1625 Valid Butir 43 0.668 0,1625 Valid Butir 44 0.692 0,1625 Valid Butir 46 0.427 0,1625 Valid Butir 47 0.638 0,1625 Valid Butir 48 0.618 0,1625 Valid


(69)

No Item r hitung r tabel Keterangan

Butir 49 0.584 0,1625 Valid Butir 51 0.455 0,1625 Valid Butir 52 0.685 0,1625 Valid Butir 53 0.490 0,1625 Valid Butir 54 0.433 0,1625 Valid Butir 55 0.438 0,1625 Valid Butir 56 0.168 0,1625 Valid Butir 57 0.694 0,1625 Valid Butir 58 0.421 0,1625 Valid Butir 59 0.299 0,1625 Valid Butir 60 0.595 0,1625 Valid

Tabel 3.4 setelah menghapus beberapa butir pertanyaan/pertanyaan yang tidak valid dan melakukan pengujian validitas ulang maka semua butir pertanyaan/pernyataan tentang sikap menyontek adalah valid karena nilai corrected item-total correlation >


(70)

2. Uji Reliabilitas Instrumen

Jonathan Sarwono (2014:248) reliabilitas menunjuk pada adanya konsistensi dan stabilitas nilai hasil pengukuran tertentu di setiap kali pengukuran dilakukan pada hal yang sama.

Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan program komputer SPSS dengan teknik koefisien Alpha Cronbach yaitu dengan membelah item sebanyak jumlah itemnya. Semakin besar koefisien reliabilitas berarti semakin kecil kesalahan pengukuran maka semakin reliabel alat ukur tersebut. Sebaliknya, semakin kecil koefisien reliabilitas berarti semakin besar kesalahan pengukuran maka semakin tidak reliabel.

Pengujian realibitas dalam penelitian ini menggunakan

Cronbach’s Alpha, sebagai berikut Kountur (2003:158):

α= ∑ Keterangan:

a = cronbach’s alpha

N = banyaknya pertanyaan = variance dari pertanyaan = variance dari skor

Jika cronbach’s alpha lebih dari 0,6 maka kuesioner tersebut dikatakan reliabel.

Hasil pengujian reliabilitas variabel tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual, variabel keterampilan berkomunikasi,


(71)

variabel integritas pribadi, dan variabel minat belajar siswa tampak dalam tabel berikut:

Tabel 3.5

Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Nilai r hitung Nilai r tabel Status Sikap

Menyontek 0,943 0,6

Reliabel

Tabel 3.5 menunjukkan bahwa instrumen penelitian untuk variabel sikap menyontek adalah reliabel (keseluruhan nilai r hitung atau cronbach’s alpha > 0,6).

3. Teknik Analisis Data 1. Deskripsi Data

Deskripsi data digunakan peneliti untuk menggambarkan karakter suatu data yang berasal dari populasi penelitian pada variabel sikap. Menurut Kountor (2003:104) penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti.

Data yang diperoleh dari hasil kuesioner dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif atau pemaparan. Data hasil kuesioner dideskripsikan dengan Penilaian Acuan Patokan tipe II (PAP II), karena jika dibandingkan dengan PAP tipe I, PAP tipe II memiliki passing score lebih rendah yaitu pada persentil 56. Tuntutan pada persentil 56 sering disebut sebagai presentil


(72)

minimal, karena passing score pada presentil 56 dianggap merupakan batas penguasaan kompetensi minimal yang paling rendah. Perlu kiranya diperhatikan bahwa passing score pada presentil kurang dari 56 dan lebih dari 65 biasanya tidak disarankan, mengingat kedua passing score tersebut telah keluar dari presentil minimal dan maksimal. Namun, terbuka kesempatan untuk menentukan passing score pada daerah presentil 56 dan 65, asalkan penentuan passing score tertentu itu masih tetap memperhitungkan keadaan.

Nilai presentil PAP tipe II adalah sebagai berikut (Masidjo, 1995:157):

Tabel 3.6

Nilai Presentil PAP Tipe II

Nilai Presentil Kategori Kecenderungan Variabel 81%-100% Sangat Tinggi

66%-80% Tinggi

56%-65% Sedang

46%-55% Rendah

<46% Sangat Rendah

PAP tipe II ini pada umumnya merupakan cara untuk menghitung prestasi siswa di kelas dengan skor minimal 0 dan skor maksimal 100. Dalam hal ini data penelitian yang ditetapkan sebelumnya memiliki skor tertinggi 4 dan skor terendah 1, maka dari


(73)

itu untuk mendiskripsikan kategori kecenderungan variabel yang harus dilakukan adalah menemukan skor interval dengan memodifikasi rumus PAP tipe II dengan rumus:

Skor terendah yang mungkin dicapai + [nilai presentil x (skor tertinggi yang mungkin dicapai item – skor terendah yang mungkin dicapai)] Perhitungan untuk setiap variabel adalah sebagai berikut:

a. Variabel Sikap Menyontek Para Siswa

Skor tertinggi yang mungkin dicapai : 4 x 52 = 208 Skor terendah yang mungkin dicapai : 1 x 52= 52 Skor:

52+81% (208-52) = 178,36 dibulatkan 178 52+66% (208-52) = 154,96 dibulatkan 155 52+56% (208-52) = 139,36 dibulatkan 139 52+46% (208-52) = 123,76 dibulatkan 124 52+0% (208-52) = 52

Data perhitungan di atas dapat disimpulkan kategori kecenderungan variabel berikut:

Tabel 3.7

Rentang Tingkat Sikap Menyontek Siswa

No. Interval Skor Kategori

1 178-208 Sangat Tinggi

2 155-177 Tinggi

3 139-154 Sedang


(1)

dengan teman yang pintar.

20. Saya sering melihat catatan pada waktu ujian close-book.

21. Melirik jawaban teman sebelah saat ujian menurut saya tidak dilakukan oleh siswa yang baik.

22. Melirik jawaban teman sebelah saat ujian menurut saya tidak dilakukan siswa yang baik.

23. Menurut saya menulis contekan dimeja dan kursi tidak dilakukan oleh siswa yang baik.

24. Jika soal-soal ujian dapat saya kerjakan sendiri, saya merasa lebih puas dan bangga meskipun nilainya kurang baik.

25. Walaupun jawaban yang diberikan oleh teman sebelah belum tentu benar, tetapi saya merasa lebih yakin dengan jawabannya tersebut.

26. Jika saya tidak bisa mengerjakan ujian, saya akan bertanya kepada teman sebelah saya.

27. Saya berusaha melihat tissue yang sudah saya tulis dan persiapkan untuk contekan pada saat ujian.

28. Peringatan atau hukuman sebaiknya diberikan kepada siswa yang bekerja sama dalam ujian.


(2)

29. Saya merasa gelisah jika saya memiliki contekan ujian yang sudah saya persiapkan sebelumnya.

30. Tissue sering dijadikan media untuk menulis contekan disaat ujian.

31. Saya akan merasa tenang jika saya bekerjasama dengan teman sebelah saya

32. Dalam mengerjakan soal-soal ujian saya merasa tenang apabila saya sudah membuat contekan.

33. Walaupun tidak ada guru pengawas saat ujian, saya tetap akan bekerja sendiri tanpa bantuan dari teman sebelah.

34. Saya memilih duduk paling belakang supaya saya bebas melihat catatan sewaktu ujian close book.

35. Menurut saya, supaya saya mendapatkan nilai yang bagus maka salah satu cara yang harus saya pakai adalah mencontek teman.

36. Salah satu trik mencontek yang sering dilakukan oleh siswa yang malas belajar adalah lempar-lemparan kertas.

37. Saya akan bekerjasama dengan teman sebelah jika tidak ada guru pengawas saat ujian.


(3)

38. Pada saat ujian close book, saya akan menjauhkan catatan-catatan agar tidak bisa mencontek.

39. Belajar dengan giat dan tidak mencontek, pasti akan mendapatkan nilai yang bagus.

40. Saya merasa senang jika memberikan contekan kepada teman-teman saya.

41. Menurut saya menulis contekan di tissue tidak dilakukan oleh siswa yang baik.

42. Tanpa bantuan teman-teman saya merasa mampu untuk mengerjakan soal-soal ujian.

43. Secara terang-terangan dan berani, saya akan membuka kertas kecil yang berisi contekan.

44. Saya akan melirik lembar jawaban teman sebelah lalu meniru jawabannya tersebut.

45. Saya takut membuka kertas kecil yang berisi contekan serta takut ketahuan.

46. Saya tidak mau meniru jawaban teman meskipun kertas jawaban teman terbuka.

47. Saya akan menuliskan contekan diatas meja supaya mudah melihatnya


(4)

salah satu cara termudah untuk mendapatkan nilai bagus.

49. Pada saat ujian saya akan memilih meja yang bersih dan tidak ada coretan contekan supaya saya dapat lebih konsentrasi dalam mengerjakan ujian.

50. Perjuangan yang besar diperlukam dalam bekerjasama saat ujian karena memiliki resiko yang besar.

51. Menurut saya, duduk dimana saja adalah sama karena semua tergantung pada diri kita masing-masing.

52. Saya akan saling tukar jawaban dengan teman sebelah menggunakan kertas-kertas kecil pada saat ujian.

53. Saya tidak ingin mendapatkan jawaban teman disaat ujian dengan cara memilih tempat duduk di depan.

54. Saya merasa bangga dengan jawaban yang saya dapat dari teman sebelah meskipun nilainya tidak terlalu tinggi.

55. Saya tidak akan memberikan jawaban saya kepada teman sebelah walaupun menggunakan kertas kecil.


(5)

~ SEL AMA T MEN

GER JAK AN ~ 56. Saya merasa cemas jika saya bisa membuka buku

catatan pada saat ujian walaupun ujian bersifat close book.

57. Saya memilih duduk didekat teman yang pandai supaya saya mendapatkan jawaban saat ujian.

58. Saya mendukung pepatah “posisi menentukan prestasi” karena akan memudahkan untuk bekerjasama dengan teman yang diinginkan.

59. Saya merasa cemas dan gelisah jika bekerjasama dengan teman saat ujian.

60. Walaupun ujian bersifat close book, saya merasa sangat senang apabila bisa membuka buku catatan untuk mencontek.


(6)

Lampiran II: Anggaran Penelitian


Dokumen yang terkait

Perilaku siswa terhadap menyontek ditinjau dari status sekolah dan tingkat pendidikan orang tua pada siswa kelas VIII di kota Yogyakarta.

0 0 2

Perilaku siswa terhadap menyontek ditinjau dari status sekolah dan tingkat penghasilan orang tua pada siswa kelas VIII di kota Yogyakarta.

0 1 2

Perilaku siswa terhadap menyontek ditinjau dari akreditasi dan tingkat pendidikan orang tua pada siswa kelas VIII di kota Yogyakarta.

0 0 2

Perilaku siswa terhadap menyontek ditinjau dari status sekolah dan jenis kelamin pada siswa kelas VIII di kota Yogyakarta.

0 0 123

Sikap siswa terhadap perilaku menyontek di tinjau dari akreditasi dan status sekolah. Studi kasus pada siswa SMP Negeri dan swasta di Kota Yogyakarta tahun ajaran 2015/2016.

0 1 167

Sikap siswa terhadap perilaku mencontek ditinjau dari jenis kelamin dan tingkat penghasilan orang tua : studi kasus pada siswa kelas VIII SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta.

3 9 165

Sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari tingkat pendidikan orang tua dan jenis kelamin siswa.

0 1 180

Perilaku siswa terhadap menyontek ditinjau dari status sekolah dan tingkat pendidikan orang tua pada siswa kelas VIII di kota Yogyakarta

0 3 142

Perilaku siswa terhadap menyontek ditinjau dari status sekolah dan jenis kelamin pada siswa kelas VIII di kota Yogyakarta

0 1 121

Perilaku siswa terhadap menyontek ditinjau dari status sekolah dan tingkat penghasilan orang tua pada siswa kelas VIII di kota Yogyakarta

0 2 157