Sikap siswa terhadap perilaku mencontek ditinjau dari jenis kelamin dan tingkat penghasilan orang tua : studi kasus pada siswa kelas VIII SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta.
viii ABSTRAK
Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin dan Tingkat Penghasilan Orang Tua
Studi Kasus pada Siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Universitas Sanata Dharma
2016
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan sikap siswa kelas VIII terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin dan tingkat penghasilan orang tua. Jenis penelitian ini termasuk penelitian studi kasus.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Yogyakarta pada bulan Februari 2016 –April 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII berjumlah 339. Sampel berjumlah 120 responden diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah Mann Whitney untuk variabel jenis kelamin dan Kruskal-Willis untuk variabel tingkat penghasilan orang tua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin (nilai Asymp. Sig atau nilai probabilitas 0,313), (2) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari tingkat penghasilan orang tua (nilai Asymp. Sig atau nilai probabilitas 0,534).
(2)
ix
ABSTRACT
ATTITUDES OF STUDENTS TOWARDS CHEATING BEHAVIOR PERCEIVED FROM GENDER AND LEVEL OF PARENT’S INCOME
A Case Study on the Eighth Grade Students of Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Sanata Dharma University
2016
This study aims to determine whether there is difference in the attitude of the eighth grade students towards cheating behavior perceived from gender and income level of the parents. This study is a case study.
The research was conducted at Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakartafrom February 2016 to April 2016. The population in this study were 339 students. The samples were 120 respondents drawn by applying purposive sampling technique. Data were collected by questionnaires. Data analysis technique were Mann Whitney test for variables sex and Kruskal-Willis for variable income levels of parents.
The results show that: (1) there is no difference in the attitude of Junior High School students towards the behavior of cheating perceived from gender (value Asymp. Sig or probability value 0.313), (2) there is no difference in the attitude of Junior High School students to the behavior of cheating perceived from level of parent’s income (grades Asymp. Sig or a probability value 0.534).
(3)
i
SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU MENCONTEK
DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN TINGKAT
PENGHASILAN ORANG TUA
Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Ekonomi Kekhususan Pendidikan Akuntansi
Oleh:
SIWI DWI PANGESTU NIM : 121334004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
BIDANG KEAHLIAN KHUSUS PENDIDIKAN AKUNTANSI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2016
(4)
(5)
(6)
iv
Dengan penuh kasih dan sukacita kupersembahkan dengan sepenuh hati karya sederhanaku ini untuk:
Tuhan Yesus Kristus, Kedua Orang Tuaku dan Kakakku Ismoyo Djati, My Beloved Danang Kristiawan, Sahabatku: Vena,Ella,Mitha,Natal,Siska,Gisel,Helen Semua Teman-temanku, Semua Keluargaku, dan Almamaterku Universitas Sanata Dharma
(7)
v
MOTTO
Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.
Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu (Amsal 3: 5-6)
Never think you are ugly or fat or anything... God created you the way you are for a reason... and God doesn’t make mistakes.
(8)
vi
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 Juli 2016 Penulis
(9)
vii
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Univesitas Sanata Dharma: Nama : Siwi Dwi Pangestu
Nomor Mahasiswa : 121334004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU MENCONTEK DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN TINGKAT PENGHASILAN ORANG TUA
Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta.
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada Tanggal : 28 Juli 2016 Yang menyatakan
(10)
viii ABSTRAK
Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin dan Tingkat Penghasilan Orang Tua
Studi Kasus pada Siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Universitas Sanata Dharma
2016
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan sikap siswa kelas VIII terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin dan tingkat penghasilan orang tua. Jenis penelitian ini termasuk penelitian studi kasus.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Yogyakarta pada bulan Februari 2016 –April 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII berjumlah 339. Sampel berjumlah 120 responden diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah Mann Whitney untuk variabel jenis kelamin dan Kruskal-Willis untuk variabel tingkat penghasilan orang tua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin (nilai Asymp. Sig atau nilai probabilitas 0,313), (2) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari tingkat penghasilan orang tua (nilai Asymp. Sig atau nilai probabilitas 0,534).
(11)
ix
ABSTRACT
ATTITUDES OF STUDENTS TOWARDS CHEATING BEHAVIOR PERCEIVED FROM GENDER AND LEVEL OF PARENT’S INCOME
A Case Study on the Eighth Grade Students of Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Sanata Dharma University
2016
This study aims to determine whether there is difference in the attitude of the eighth grade students towards cheating behavior perceived from gender and income level of the parents. This study is a case study.
The research was conducted at Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakartafrom February 2016 to April 2016. The population in this study were 339 students. The samples were 120 respondents drawn by applying purposive sampling technique. Data were collected by questionnaires. Data analysis technique were Mann Whitney test for variables sex and Kruskal-Willis for variable income levels of parents.
The results show that: (1) there is no difference in the attitude of Junior High School students towards the behavior of cheating perceived from gender (value Asymp. Sig or probability value 0.313), (2) there is no difference in the attitude of Junior High School students to the behavior of cheating perceived from level of parent’s income (grades Asymp. Sig or a probability value 0.534).
(12)
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Murah atas berkat, rahmat, dan kasih-Nya yang telah dilimpahkan sehingga dengan segala keterbatasan yang ada, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat oada waktunya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini mengalami banyak tantangan dan hambatan yang merupakan pelajaran yang berharga bagi penulis. Namun akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Selama penyusunan skripsi yang berjudul Sikap Siswa SMP Terhadap Perilaku Menyontek ditinjau dari Jenis Kelamin dan Pekerjaan Orang Tua ini, penulis mendapat banyak bimbingan, saran, masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis dengan sepenuh hati menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Ign. Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
(13)
xi
3. Bapak Ign. Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Bapak Drs. Bambang Purnomo, S.E., M.Si. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan tulus membimbing penulis menyusun skripsi, memberikan saran, masukan, semangat, dorongan serta pelajran hidup yang berharga.
5. Bapak Dr. S. Widanarto Prijowuntanto, S.Pd, M.Si. yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
6. Semua karyawan di sekretariat Pendidikan Akuntansi atas segala keramahannya dalam membantu penulis selama kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
7. Bapak Petrus Supraptijan, Bapakku, yang telah berjuang dengan seluruh tenaganya sehingga penulis bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi serta selalu memberikan dukungan dan semangat selama kuliah. 8. Titin Sumarni, Ibukku, yang selalu dan tak pernah berhenti memberi doa,
saran, dukungan, semangat, kasih sayang selama menjalani perkuliahan ini serta tak pernah jenuh mendengarkan keluh kesahku.
9. Kakakku, Mas Ismoyo Djati, S.E. yang selalu memberi dukungan, saran , dan masukan.
10. Mbah Kasiati, Lek Agus, Mba Khoir yang selalu mendukungku dengan memberikan semangat.
(14)
xii
11. Yang terkasih, Danang Kristiawan, yang selalu menemaniku serta selalu memberikan semangat dan dukungan.
12. Mba Kembar, Mba Rury dan Mba Mbul yang selalu menemaniku dalam mengerjakan skripsi ini serta memberikan dorongan dan semangat di saat aku lelah dan galau.
13. Bude Mur yang selalu mengingatkanku untuk mengerjakan skripsi.
14. Teman-teman yang paling kusayang (Vena, Ella, Gisel, Helen, Markodil, Natal, Mbokde, Mita) yang saling memberikan dukungan dan semangat. 15. Rekan-rekan dalam mengerjakan skripsi (Ocep, There, Mega, Tombol,
Mamik).
16. Teman-Teman PAK’12 yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. 17. Kepala Tata Usaha dan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 10 Yogyakarta yang
telah bersedia membantu dalam proses pengisian kuesioner.
18. Ibu Novi dan Siswa Kelas VIII SMP Maria Immaculata Yogyakarta yang telah bersedia membantu dalam proses pengisian kuesioner.
19. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai saran, kritik, dan masukan sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
(15)
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xix
(16)
xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian... 8
D. Manfaat Penelitian... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10
A. Pendidikan Karakter dan Nilai Pendidikan Karakter ... 10
B. Sikap... 11
C. Mencontek ... 15
D. Remaja... 19
E. Gender ... 28
F. Penghasilan Orang Tua ... 32
G. Kerangka Berpikir ... 34
H. Hipotesis... 36
BAB III METODE PENELITIAN... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 39
D. Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel ... 39
(17)
xv
F. Teknik Pengumpulan Data ... 47
G. Teknik Pengujian Instrumen Penelitian ... 51
H. Teknik Analisis Data ... 60
BAB IV GAMBARAN UMUM ... 66
A. SMP Negeri 10 Yogyakarta ... 66
B. SMP Maria Immaculata Marsudirini Yogyakarta... 74
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 81
A. Deskripsi Penelitian ... 81
B. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 85
C. Pengujian Hipotesis... 91
D. Pembahasan... 95
BAB VI KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN ... 99
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran... 99
C. Keterbatasan ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 101
(18)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai-nilai Karakter dan Deskripsi Karakter ... 10
Tabel 3.1 Nama Sekolah dan Jumlah Siswa ... 40
Tabel 3.2 Skor Skala Likert dalam Kuesioner ... 46
Tabel 3.3 Operasional Variabel Sikap Mencontek ... 48
Tabel 3.4 Rincian Item Favourable dan Unfavourable ... 50
Tabel 3.5 Hasil Pengujian Validitas ... 51
Tabel 3.6 Hasil Pengujian Validitas Kedua ... 54
Tabel 3.7 Hasil Pengujian Validitas Ketiga ... 56
Tabel 3.8 Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi ... 59
Tabel 3.9 Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian... 60
Tabel 3.10 Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe II ... 61
Tabel 3.11 Rentang Skor Variabel Sikap Mencontek ... 62
Tabel 4.1 Jumlah Guru dan Pegawai SMP Negeri 10 Yogyakarta ... 71
Tabel 4.2 Jumlah Siswa SMP Negeri 10 Yogyakarta ... 72
(19)
xvii
Tabel 4.4 Jumlah Guru dan Pegawai SMP Maria Immaculata Yogyakarta ... 80
Tabel 4.5 Jumlah Siswa SMP Maria Immaculata Yogyakarta ... 80
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Asal Sekolah... 81
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Status Sekolah ... 82
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 83
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua ... 83
Tabel 5.5 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek ... 84
Tabel 5.6 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki... 85
Tabel 5.7 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki... 86
Tabel 5.8 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua < Rp 2.000.000 ... 87
(20)
xviii
Tabel 5.9 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua
Rp 2.000.000–Rp 5.000.000 ... 88
Tabel 5.10 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua
> Rp 5.000.000... 89
Tabel 5.11 Hasil Uji Homogenitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 90
Tabel 5.12 Hasil Uji Homogenitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua... 90
Tabel 5.13 Hasil Uji Mann Whitney ... 93
(21)
xix
DAFTAR GAMBAR
(22)
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran ... 104
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian... 105
Lampiran 2 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 112
Lampiran 3 Uji Prasyarat Analisis ... 119
Lampiran 4 Uji Hipotesis ... 124
Lampiran 5 Data Induk Penelitian ... 127
(23)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Hal ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam dunia pendidikan. Pemerintah Indonesia juga mencanangkan tentang pendidikan yaitu yang disebut dengan Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif. Terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif serta sehat jasmani dan rohani (Sekretariat Republik Indonesia, 1993).
Tetapi tujuan yang sangat baik itu nampaknya sukit tercapai apabila pelajar dan mahasiswa di Indonesia sering berbuat curang, tidak jujur serta asal-asalan pada saat ujian, yaitu dengan mencontek. Perilaku menyontek merupakan suatu upaya yang dilakukan pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan nilai yang baik. Beberapa alasan lainnya pelajar/mahasiswa menyontek adalah agar mendapatkan pujian dari orang tua, guru, dan teman-temannya; tidak siap dalam ulangan/ujian; tidak percaya diri; kesulitan dalam mata pelajaran tertentu; malas belajar; dan sebagai bentuk solidaritas
(24)
antar teman. Bila hal ini terus-menerus dibiarkan maka dapat dipastikan pendidikan di Indonesia akan mengalami kemunduran.
Perilaku menyontek menjadi fenomena yang perlu diperhatikan dalam dunia pendidikan. Kebanyakan siswa di SD, SMP, SMA/K maupun mahasiswa di perguruan tinggi pernah menyontek. Menyontek dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menulis di atas meja, menulis di kertas/tissue, menulis di anggota tubuh, bertanya kepada teman, searching menggunakan ponsel, melihat dan menyalin jawaban teman, menyontek dengan buku yang diletakkan di laci atau di WC, dan lain-lain.
Dunia pendidikan perlu mengikis perilaku menyontek ini. Perilaku menyontek merupakan bagian dari ketidakjujuran. Ketika dunia pendidikan membiarkan ketidakjujuran ini berlanjut, maka akan memberikan dampak pada pembangunan karakter manusia Indonesia. Pencurian, korupsi, penipuan, dan plagiarisme yang marak terjadi merupakan contoh dari kegagalan dunia pendidikan dalam membentuk karakter peserta didik.
Keberhasilan setiap siswa dalam dunia pendidikan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor intern seperti motivasi, cara belajar, kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan serta faktor ekstern seperti lingkungan sekolah, lingkungan keluarga (orang tua) maupun lingkungan masyarakat. Di dalam lingkungan keluarga, banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan, salah satunya yaitu latar belakang pekerjaan orang tua, di mana faktor tersebut menentukan tingkat
(25)
pendapatan yang pada akhirnya akan menentukan berbagai kebutuhan pendidikan siswa.
Seorang siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang pekerjaan yang berpenghasilan tinggi, semua kebutuhan dapat dipenuhi, seperti misalnya sekolah di pendidikan formal, selain itu orang tua juga mampu memasukkan anaknya di pendidikan non formal (bimbingan belajar) agar mereka lebih dapat memahami materi yang diajarkan di sekolah. Begitupun sebaliknya, siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang pekerjaan yang berpenghasilan rendah, fasilitas tidak dapat terpenuhi sehingga dituntut untuk memikirkan kebutuhan lain sehingga anak tidak ada waktu untuk belajar.
Sebuah tinjauan lingkungan kemiskinan anak menyimpulkan bahwa dibanding dengan rekan-rekan yang lebih diuntungkan secara ekonomi, anak-anak miskin mengalami kesengsaraan. Menurut Evans (2004) dalam Santrock (2014 : 163) lebih banyak konflik keluarga, kekerasan, kekacauan dan pemisahan keluarga dari mereka, kurang dukungan sosial; kurang stimulasi intelektual; lebih banyak menonton TV, fasilitas sekolah dan perawatan anak rendah, serta orang tua yang kurang terlibat dalam kegiatan sekolah mereka, lebih banyak polusi dan ramai, rumah berisik, dan lebih berbahaya, memburuknya lingkungan. Dengan adanya pendapat tersebut dapat memungkinan mereka malas untuk belajar dan dapat menimbulkan perilaku menyimpang di sekolah, seperti mencontek.
(26)
Fakta tentang perilaku ketidakjujuran di dunia pendidikan biasanya banyak terjadi saat menjelang ujian. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian dari Hartanto dalam Kharisma (2014: 21) menunjukkan bahwa intensitas perilaku menyontek di SMP Swasta di daerah Pondok Cabe Jakarta, berada pada posisi sedang (53,3%), rendah (33,3%), dan tinggi (13,3%). Bentuk perilaku menyontek yang biasa dilakukan oleh peserta didik antara lain melihat, menyalin, dan meminta jawaban dari teman-temannya.
Selain itu, ada fakta lain mengenai perilaku menyontek di kota Yogyakarta. Kota yang dikenal dengan sebutan “Kota Pelajar” ini dinobatkan sebagai daerah yang memiliki nilai Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) tertinggi di Indonesia pada tahun 2015 (Harian Republika, 2015 tanggal 19 Mei). Berdasarkan data laporan hasil UN dan IIUN per kabupaten/kota yang masuk ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kota Yogyakarta meraih nilai tertinggi, yakni sekitar 82,37 dengan rata-rata nasional 63,28.
Tetapi di sisi lain, seorang siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) favorit di Surabaya melakukan penelitian terhadap 98 teman sekolahnya menemukan bahwa 80 % dari sampel penelitiannya itu pernah mencontek. 80 % tersebut, 52 % tergolong sering mencontek dan 28 % jarang (Widiawan, 1997). Menurut Info Aktual Muda (24 Juli 1999), pelajar-pelajar dari SD (Sekolah Dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMU (Sekolah Menengah Umum) bahkan mahasiswa banyak yang mencontek pada saat ujian atau ulangan untuk mendapatkan nilai yang baik,
(27)
bahkan mahasiswa S-2 yang sudah dianggap lebih dewasa pun ada yang melakukan tindakan kecurangan ini. Hal tersebut menjadi suatu yang biasa-biasa saja karena seringnya orang melihat kecurangan-kecurangan seperti itu. (Majalah Pelajar Kuntum, Maret 1998). Tindakan mencontek bukan lagi menjadi hal yang memalukan, asalkan tidak diketahui guru atau dosen, tidak menjadi masalah yang penting nilai bagus. Halal atau tidaknya cara itu tampaknya tidak terlalu dipermasalahkan, yang penting nilai baik dan bagus tanpa harus belajar dengan keras.
Di samping itu, perilaku menyontek juga disebutkan dalam website komunitas air mata guru (www.komunitasairmataguru.blogspot.co.id). Dalam website tersebut disebutkan banyak kecurangan-kecurangan dalam UN baik yang dilakukan oleh siswa dan guru. Selain itu, hasil penelitian longitudinal Anderman dalam Mubiar (2011: 4) menunjukkan bahwa menyontek sering dilakukan siswa SMP dikarenakan adanya perubahan keadaan lingkungan belajar yang dialami siswa. Hal ini disebabkan karena siswa mengalami masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, struktur kelas, dan lingkungan sekolah yang kompetitif.
Sekolah Menengah Pertama merupakan salah satu jenjang pendidikan yang dilalui oleh peserta didik. Pada jenjang ini, peserta didik dihadapkan pada perkembangan mental dan moral. Menurut Anderman dalam Mubiar (2011 : 4), pada usia 12-15 tahun yang umumnya individu duduk di bangku SMP akan mulai memasuki dunia baru yang berbeda dengan pengalaman di
(28)
sekolah dasar serta banyak hal baru yang menuntut individu untuk menyesuaikan diri, terutama pada siswa kelas VII.
Perubahan keadaan lingkungan belajar mengakibatkan siswa melakukan tindakan mencontek. Mereka menganggap tindakan itu sebagai bentuk solidaritas antar teman. Menyontek biasanya dilakukan pada pelajaran matematika dan ilmu alam atau ilmu pasti, dibandingkan dengan pelajaran lainnya. Menyontek biasanya terjadi pada waktu ulangan atau ujian.
Setiap orang memiliki sikap maupun perilaku yang berbeda-beda terhadap suatu objek atau stimulus begitu pun sikap siswa SMP yang berbeda-beda terhadap perilaku mencontek. Gunarsa (1991) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada laki-laki dan perempuan, yaitu jika perempuan lebih mengandalkan aspek-aspek emosional, perasaan dan suasana hati sedangkan untuk laki-laki lebih terlihat agresif, lebih aktif dan tidak sabaran dalam menyelesaikan masalah. Tetapi di sisi lain, secara psikologis dan fisiologis ternyata laki-laki dan perempuan mempunyai perkembangan yang berbeda. Seorang perempuan lebih mempunyai sifat keibuan yang lemah lembut, berperasaan dan lebih feminin. Sedangkan laki-laki mempunyai sifat yang maskulin, kasar, lebih perkasa dan lebih pemberani dibandingkan dengan perempuan.
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk sukses daripada perempuan. Oleh karena itu laki-laki cenderung lebih agresif dalam menggapai
(29)
cita-citanya daripada perempuan. Sifat perempuan berbeda dengan laki-laki. Kepribadian seorang pria menunjukkan adanya pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio, dan emosionalitas. Jalan pikirannya tidak dikuasai oleh emosi, perasaan ataupun suasana hati. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada pekerjaan dengan kecenderungan mementingkan keseluruhannya dan kurang memperhatikan hal-hal yang kecil (Gunarsa & Gunarsa, 1991). Dalam beraktivitas pun seorang pria lebih agresif, lebih aktif dan tidak sabar karena itu sifat pria lebih cenderung tidak mau menunggu, kurang tekun dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan hidup dan cepat putus asa.
Banyaknya pendapat dan pernyataan parah tokoh serta fenomena di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengetahui secara nyata, jelas, dan secara dekat tentang kenyataan sebenarnya mengenai sikap siswa SMP terhadap perilaku mencontek. Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitan dengan judul: Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin dan Tingkat Penghasilan Orang Tua. Studi Kasus pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada perbedaan sikap siswa/siswi terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin?
(30)
2. Apakah ada perbedaan sikap siswa/siswi terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari tingkat penghasilan orang tua?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:
1. untuk mengetahui tentang perbedaan sikap siswa/siswi terhadap perilaku mencotek yang ditinjau dari jenis kelamin.
2. untuk mengetahui tentang perbedaan sikap siswa/siswi terhadap perilaku mencotek yang ditinjau dari tingkat penghasilan orang tua. D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, siswa, dan sekolah dan perguruan tinggi.
1. Guru
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru dalam mengetahui dan mencegah perilaku menyontek siswa-siswa SMP. Sehingga, hasil ujian/ulangan yang dihasilkan benar-benar merupakan hasil belajar siswa dan mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Dengan demikian, pengambilan keputusan terkait dengan nilai yang dihasilkan siswa tidak bias.
2. Siswa
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi siswa. Siswa lebih menyadari tentang kemampuan yang dimiliki dan dapat mengoptimalkan kompetensi-kompetensi yang ada pada diri siswa.
(31)
3. Sekolah dan Perguruan Tinggi
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi sekolah dan perguruan tinggi dalam mengimplementasikan pendidikan karakter khususnya kejujuran dalam belajar. Implementasi pendidikan karakter dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana, salah satunya adalah mendidik untuk jujur dalam ulangan.
(32)
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Karakter dan Nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan karakter. Pendidikan diartikan sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk menciptakan seseorang yang dapat berguna di masa yang akan datang, sedangkan karakter adalah suatu atribut yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan komplesitas, mental satu orang dengan orang lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha yang sungguh-sungguh dilakukan dan mampu menciptakan ciri pribadi yang berbeda antara orang satu dan lainnya. Pendidikan karakter memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak, yang mana tujuannya adalah untuk membentuk karakter pribadi anak supaya menjadi manusia dan warga negara yang baik.
Secara universal, berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan beberapa pilar yaitu: kedamaian, menghargai, kerjasama, kebebasan, kebahagian, kejujuran, kerendahan hati, kasih sayang, tanggung jawab, kesederhahaan, toleransi, dan persatuan (Samani, 2013 : 43). Nilai-nilai karakter tersebut dijabarkan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 2.1 Nilai-Nilai Karakter dan Deskripsi Karakter No. Nilai Karakter Deskripsi
1 Kedamaian Sikap dan perilaku yang menyukai adanya harmoni dan bebas dari konflik dan
(33)
gangguan, serta suka akan ketenangan.
2 Menghargai Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Bersikap beradab, sopan, tidak melecehkan, tidak menghina orang lain, dan tidak menilai orang lain sebelum mengenalnya dengan baik.
3 Kerjasama Saling membantu untuk mencapai sebuah tujuan.
4 Kebebasan Tidak adanya paksaan/tekanan yang sengaja mendesak seseorang untuk bertidak melawan kehendak diri sendiri.
5 Kebahagian Suatu keadaan di mana hadir kesenangan, ketentraman, dan kepuasan terhadapa apa-apa yang telah dicapai.
6 Kejujuran Menjunjung tinggi kebenaran, ikhlas dan lurus hari, tidak suka berbohong, mencuri dan memfitnah, tidak pernah bermaksud menjerumuskan orang lain.
7 Kerendahan Hati Mengakui adanya peranan dan jasa orang lain dan tidak pernah menonjolkan diri.
8 Kasih sayang Memiliki dan menunjukkan perasaan penuh kasih sayang, mencintai, dan bersikap penuh kelembutan
9 Tanggung Jawab Melakukan tugas sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja yang tinggi, berusaha keras mencapai prestasi terbaik, mampu mengontrol diri, dan berdisplin diri.
10 Kesederhanaan Suatu keadaan tentang bagaimana berlaku sederhana, tidak pamer, bermewah-mewah, tidak berpikiran melit, dan rumit.
11 Toleransi Menerima secara terbuka orang lain yang tingkat kematangan dan latar belakang yang berbeda.
12 Persatuan Menjalin rasa kebersamaan dan saling melengkapi satu sama lain, serta menjalin rasa kemanusiaan dan saling toleransi.
B. Sikap
1. Pengertian Sikap
Pengertian sikap didefinisikan berbeda-beda oleh para ahli. Azwar (2009) mendefinisikan sikap sebagai bentuk pernyataan seseorang
(34)
terhadap hal-hal yang ditemuinya seperti benda, orang ataupun fenomena. Sikap membutuhkan stimulus untuk menghasilkan respon. Sikap merupakan perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada suatu objek. Istilah sikap atau attitude pada awalnya digunakan untuk menunjukkan status mental individu. Sikap dapat menuntun perilaku individu sehigga individu akan bertindak sesuai dengan sikap yang diekspresikan. Kesadaran individu untuk menentukan tingkah laku nyata dan perilaku yang mungkin terjadi itulah yang dimaksud dengan sikap.
Kurinasih (2014, 65) mendefinisikan sikap sebagai sebuah ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Selanjutnya Kurinasih menjelaskan bahwa sikap dapat dibentuk, sehingga terjadi perilaku atau tindakan yang diinginkan. Ahmadi dalam Sukarmin (2009), menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negative terhadap objek atau situasi secara konsisten. Winkel (1999) memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Winkel (1999) berpendapat bahwa sikap merupakan kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan, lebih-lebih jika terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak.
Dari pengertian-pengertian sikap di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan nilai yang dimiliki seseorang dalam merespon fenomena-fenomena yang ada.
(35)
2. Komponen Sikap
Azwar (2005) menggolongkan komponen-komponen sikap ke dalam tiga komponen yaitu:
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif yakni kepercayaan seseorang mengenai apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan yang dibentuk menjadi dasar pengetahuan seseorang terhadap objek yang diharapkan.
b. Komponen Afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif sesorang terhadap suatu objek sikap. Reaksi emosional dari komponen afektif banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang dipercayai bagi objek tertentu.
c. Komponen Konatif
Komponen konatif menunjukkan perilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
3. Faktor pembentuk sikap
Faktor-faktor pembentuk sikap individu menurut Azwar (2005) yaitu:
a. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi meninggalkan kesan yang kuat dan dapat menjadi dasar pembentukan sikap. Sikap lebih mudah terbentuk
(36)
apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
b. Kebudayaan
Kebudayaan menanamkan pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat.
c. Orang Lain yang Dianggap Penting
Pada umumnya individu cenderung memiliki sikap konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang dianggap penting. d. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam penyampaian informasi, media massa memberikan pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan sugesti tersebut apabila cukup kuat akan memberi dasar efektif dalam menilai suatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Pemahaman baik dan buruk, sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan keagamaan. Konsep
(37)
moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan, maka konsep tersebut ikut berperan dalam menetukan sikap individu terhadap suatu hal.
f. Emosional
Suatu bentuk sikap pernyataan yang didasari oleh emosi berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
C. Menyontek
1. Pengertian Menyontek
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008), menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, mencontoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak. Sedangkan Anderman dan Murdock dalam Purnamasari (2013) menyatakan bahwa perilaku kecurangan akademik merupakan penggunaan segala kelengkapan dari materi ataupun bantuan yang tidak diperbolehkan digunakan dalam tugas-tugas akademik dan atau aktivitas yang mengganggu proses asesmen.
Bower dalam Purnamasari, (2013) mendefinisikan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah dan terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademik untuk menghindari kegagalan akademik. Sedangkan menurut Pincus & Schemelkin (Mujahidah, 2009) perilaku menyontek merupakan suatu
(38)
tindakan curang yang sengaja dilakukan ketika seseorang mencari dan membutuhkan adanya pengakuan atas hasil belajarnya dari orang lain meskipun dengan cara yang tidak sah seperti memalsukan informasi terutama ketika dilaksanakannya evaluasi akademik.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku menyontek adalah kegiatan, tindakan atau perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan cara-cara yang tidak jujur atau curang untuk memalsukan hasil belajar dengan menggunakan bantuan atau memanfaatkan informasi dari luar secara tidak sah pada saat dilaksanakan tes atau evaluasi akademik untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Faktor-faktor penyebab menyontek
Salah satu alasan yang mendorong individu untuk menyontek adalah untuk memuaskan harapan orang tua. Santrock (2003) mengatakan bahwa tidak jarang orang tua dalam mengasuh atau mendidik anak-anaknya dipengaruhi oleh keinginan atau ambisi dari orang tua tanpa melihat kemampuan anaknya. Orang tua bermaksud ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, namun keinginan tersebut tidak memperhatikan kemampuan anak.
Sikap orang tua yang mengharapkan terlalu berlebihan pada anak akan menghambat anak untuk menunjukkan prestasi sesuai dengan potensi yang dimiliki. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1991) biasanya anak menyadari harapan orang tuanya. Oleh karena itu sikap yang terlalu
(39)
menuntut dapat menyebabkan anak merasa takut kehilangan kasih sayang dari orang tuanya. Hal ini menimbulkan rasa rendah diri, gangguan tingkah laku, berkurangnya motivasi untuk belajar serta ketegangan atau kecemasan dalam diri anak.
Agustin (2014) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan siswa menyontek pada saat ujian. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa angka dan nilai yang diperoleh siswa dalam tes formatif atau sumatif. b. Pendidikan moral, baik di rumah maupun di sekolah kurang diterapkan
dalam kehidupan siswa.
c. Sikap malas yang tertanam dalam diri siswa sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab. d. Anak remaja sering menyontek daripada anak SD, karena masa remaja
bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di kalangan teman-teman sekelasnya.
e. Kurang mengerti arti dari pendidikan.
Disadari atau tidak, siswa yang menyontek pada saat ujian disebabkan oleh satu atau lebih faktor-faktor di atas.
Perilaku menyontek ini akan mengakibatkan perilaku atau watak tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak mau membaca buku pelajaran tetapi rajin membuat catatan kecil-kecil untuk bahan menyontek, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya menjadi koruptor (Buchari dalam Prihatnaningtyas 2014). Dengan
(40)
demikian tampak bahwa perilaku menyontek secara tidak langsung membelajarkan pada siswa untuk menjadi seorang koruptor.
3. Bentuk-Bentuk Menyontek
Bentuk-bentuk perilaku menyontek menurut Hetherington and Feldman dalam Veronikha (2013) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Social Active
1) Melihat jawaban teman yang lain ketika ujian berlangsung
2) Meminta jawaban kepada teman yang lain ketika ujian sedang berlangsung
b. Individualistic-Opportunistic
1) Menggunakan HP atau alat elektronik lain yang dilarang ketika ujian sedang berlangsung.
2) Mempersiapkan catatan yang digunakan pada saat ujian akan berlangsung.
3) Melihat dan menyalin sebagian atau seluruh hasil kerja teman lain pada saat tes.
c. Individual Planned
1) Mengganti jawaban ketika guru keluar kelas.
2) Membuka buku teks ketika ujian sedang berlangsung.
3) Memanfaatkan kelengahan/kelemahan guru ketika menyontek. d. Social Passive
(41)
1) Mengijinkan orang lain melihat jawaban ketika ujian sedang berlangsung.
2) Membiarkan orang lain menyalin pekerjaannya.
3) Memberi jawaban tes kepada teman pada saat ujian sedang berlangsung.
D. Remaja
1. Pengertian Remaja
Siswa dalam penelitian ini memiliki batasan istilah, yaitu lebih dikhususkan pada remaja awal yang kurang lebih berlangsung di masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir dan perubahan pubertal terbesar terjadi di masa ini. Masa remaja ini didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa (Santrock, 2007:20).
Remaja atau adolescence berasal dari kata kerja latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Piaget menyatakan bahwa istilah adolescence ini mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, dan sosial (Hurlock, 1990). Menurut Melly (1984) Remaja adalah merupakan taraf perkembangan dalam kehidupan manusia, di mana seseorang sudah tidak dapat disebut anak kecil lahi, tetapi juga belum dapat disebut orang dewasa. Taraf perkembangan ini pada umumnya disebut masa pancaroba atau masa perlihan dari masa
(42)
kanak-kanak menuju arah kedewasaan. Selain itu, WHO (dalam Sarwono, 2001) mendefinisikan tentang remaja sebagai berikut:
a. Individu yang berkembang dari pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mengalami kematangan secara seksual.
b. Individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak manjadi dewasa.
c. Terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Banyak ahli memberikan batasan tentang usia remaja. Sarwono (2001) mengungkapkan bahwa batasan usia remaja di Indonesia adalah antara 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Selain itu, Monks, dkk (2004) membagi usia remaja ini dalam tiga bagian yaitu: masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Dalam hal ini penulis lebih mengarahkan kepada subjek masa remaja awal. Berbeda dengan pendapat Santrock (2007), usia remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun.
Anna Freud menggambarkan masa adolecencia sebagai suatu proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka. Neidhart juga melihat masa adolecencia sebagai masa peralihan ditinjau dari kedudukan ketergantungannya
(43)
dalam keluarga menuju ke kehidupan dengen kedudukan yang ”mandiri” (Gunarsa, 2003).
Berdasarkan beberapa pendapat para tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan proses perkembangan atau masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa untuk menuju kehidupan yang lebih mandiri yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, kematangan psikologis dan terjadi perubahan-perubahan organ seksual.
2. Tahap-tahap Perkembangan Masa Remaja
Perubahan organ-organ reproduksi yang semakin matang pada remaja akan menyebabkan dorongan dan gairah seksual remaja yang main kuat dalam dirinya (Dariyi, 2004). Remaja memasuki usia subur dan produktif. Artinya, secara fisiologis, mereka telah mencapai kematangan organ-organ reproduksi. Kematangan organ reproduksi tersebut mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Mereka berupaya mengembangkan diri melalui pergaulan, dengan membentuk teman sebayanya. Selain itu, remaja harus belajar pola-pola tingkah laku sosial yang dilakukan orang dewasa dalam lingkungan kebudayaan pada masyarakat di mana mereka hidup (Meidina, 200)
Bloos (Sarwono, 2001) mengatakan bahwa terdapat tiga tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu:
(44)
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Tahap ini remaja merasa heran dengan perubahan-perubahan pada tubuhnya beserta munculnya dorongan-dorongan yang menyertai perubahan tersebut. Mereka seperti terangsang dengan lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.
Keadaan perasaaan emosinya juga sangat peka sehingga tidak stabil. Remaja awal dilanda pergolakan, sehingga selalu mengalami perubahan dalam perbuatannya. Remaja awal cenderung mempunyai kepekaan berlebihan sehingga sulit dimengerti dan juga sulit mengerti orang yang lebih dewasa.
b. Remaja Madya (15-18 tahun)
Remaja madya sangat membutuhkan kawan-kawan. Mereka mempunyai kecenderungan mencintai diri sendiri dan menyukai teman yang mempunyai sifat yang sama dengan dirinya.
c. Remaja akhir (18-24 tahun)
Tahap ini adalah masa menuju periode dewasa yang ditandai pencapaian 5 hal, yaitu:
1) Minatnya yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan
pengalaman-pengalaman baru.
(45)
4) Egosentrisnya (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan orang lain.
5) Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadi dari masyarakat umum.
3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Robert dalam bukunya Human Development and Education (Melly, 1984) menyebutkan adanya sepuluh tugas perkembangan remaja, yaitu:
a. Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman-teman sebanyanya, baik dengan teman-teman sejenis maupun dengan jenis kelamin lain.
Artinya para remaja memandang gadis-gadis sebagai wanita dan laki-laki sebagai pria, menjadi manusia dewasa di antara orang-orang dewasa. Mereka dapat berkerjasama dengan orang lain dengan tujuan-tujuan bersama, dapat menahan dan mengendalikan perasaan-perasaan pribadi dan belajar memimpin orang lain dengan atau tanpa dominasi. b. Dapat menjalankan peranan-peranan sosial menurut jenis kelamin
masing, artinya mempelajari dan menerima peranan masing-masing sesuai dengan ketentuan-ketentuan/ norma-norma masyarakat. c. Menerima kenyataan (realitas) jasmaniah serta menggunakannya
(46)
d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Ia tidak kekanak-kanakan lagi, yang selalu terikat pada orang tuanya. Ia membebaskan dirinya dari ketergantungannya terhadap orang tua atau orang lain.
e. Mencapai kebebasan ekonomi. Ia merasa sanggup untuk hidup berdasarkan usaha sendiri. Ini terutama sangat penting bagi laki-laki. Akan tetapi dewasa ini bagi kaum wanitapun tugas ini berangsur-angsur menjadi tambah penting.
f. Memilih dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan atau jabatan. Artinya belajar memilih satu jenis pekerjaan sesuai dengan bakatnya dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan tersebut.
g. Mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan dan hidup berumah tangga. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kehidupan keluarga dan memiliki anak. Bagi wanita ini harus dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan bagaimana mengurus rumah tangga (home management) dan mendidik anak.
h. Mengembangkan kecakapan intelektual serta konsep-konsep yang diperlukan untuk kepentingan hidup bermasyarakat. Maksudnya ialah, bahwa untuk menjadi warga negara yang baik perlu memiliki pengetahuan tentang hukum, pemerintah, ekonomi, politik, geografi, tentang hakikat manusia dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. i. Memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial dapat dipertanggung
(47)
orang dewasa yang bertanggung jawab, menghormati serta mentaati nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungannya, baik regional maupun nasional.
j. Memperoleh sejumlah norma-norma sebagai pedoman dalam tindakan-tindakannya dan sebagai pandangan hidupnya. Norma-norma tersebut secara sadar dikembangkan dan direalisasikan dalam menetapkan kedudukan manusia dalam hubungannya dengan sang pencipta, alam semesta dan dalam hubungannya dengan manusia-manusia lain; membentuk suatu gambaran dunia dan memelihara harmoni antara nilai-nilai pribadi dengan yang lain.
Kesuksesan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada suatu masa kehidupan tertentu akan mendatangkan keadaan di mana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang akan membuat seseorang dapat melaksanakan tugas-tugas selanjutnya. Sebaliknya kegagalan seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan dalam masa kehidupan tertentu dapat menyulitkan pelaksanaan tugas-tugas perkembangan dalam masa kehidupan selanjutnya.
Mohammad Ali, dkk (2005: 12) mengatakan tugas-tugas perkembangan remaja yang amat penting adalah mampu menerima keadaan dirinya, memahami peran seks/jenis kelamin, mengembangkan kemandirian, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial, menginternalisasikan nilai-nilai moral, dan merencanakan masa depan.
(48)
Selain itu tugas yang lain adalah belajar untuk memperoleh kemampuan bersosialiasi, mengerti peranan sosial, tingkah laku secara sosial, serta norma-norma sebagai pedoman hidup. Hal tersebut sangat berguna untuk melakukan penyesuaian dengan kehidupan sehari-hari. Membentuk hubungan sosial dengan teman sebayanya secara umum lebih cenderung di mana individu banyak beraktivitas.
Tugas perkembangan tersebut harus mereka jalani dengan baik, karena apabila tidak dijalani dan gagal maka dapat mempegaruhi kehidupan sosialnya selanjutnya. Selain itu jika tidak dijalani dengan baik, tidak sedikit remaja yang melakukan perbuatan antisosial maupun asusila karena tugas-tugas perkembangan tersebut kurang berkembang dengan baik, sebagai contoh jika siswa tidak memiliki pengetahuan dan perkembangan norma yang baik serta rasa sosial dengan lingkungan tidak baik maka ia cenderung melakukan tindakan mencontek.
4. Remaja Laki-laki dan Perempuan
Sang Pencipta menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya memiliki tujuan yang jelas. Semua yang diciptakan-Nya baik adanya. Kehidupan manusia dan maknanya dapat mencapai hasil yang baik, maka perbedaan antara pribadi, perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan perlu dijajaki. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai perbedaan jenis kelamin ini dapat membawa manusia menuju saling penyesuaian dan saling penyempurnaan, sebagimana yang harus dilakukan oleh remaja. Mereka perlu memiliki
(49)
pengetahuan dalam menjajaki proses penyesuaian dan penyempurnaan untuk menjadi manusia yang baik.
Pemahaman tentang kepribadian manusia yang berdasarkan jenis kelaminnya dan mempengaruhi perilaku dan nilai yang dikembangkan oleh individu merupakan peran identitas jenis kelamin. Perkembangan tersebut yang terjadi pada diri seseorang tidak bisa lepas dari unsur biologis dan psikologis.
Kartono (1997:317) menyebutkan bahwa manusia diciptakan menjadi dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Ahli gender yang memiliki orientasi lingkungan yang kuat mengakui bahwa anak perempuan dan anak laki-laki diperlakukan secara berbeda karena perbedaan fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam reproduksi (Santrock, 2014:184). Lingkungan keluarga, terutama pola asuh kedua orang tua memegang peran penting dalam menyikapi perbedaan ini. Dengan pola asuh yang baik dan benar, seorang anak laki-laki dan perempuan akan berperilaku sesuai dengan peran mereka masing-masing. Secara pesikologis dan fisiologis ternyata laki-laki dan perempuan mempunyai perkembangan yang berbeda. Seorang perempuan lebih mempunyai sifat keibuan yang lemah lembut, berperasaan dan lebih feminim. Sedangkan laki-laki mempunyai sifat yang maskulin, kasar, dan lebih perkasa.
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk sukses daripada
(50)
perempuan. Oleh karena itu laki-laki cenderung lebih agresif dalam menggapai cita-citanya daripada perempuan. Sifat perempuan berbeda dengan laki-laki. Kepribadian seorang pria menunjukkan adanya pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio, dan emosionalitas. Jalan pikirannya tidak dikuasai oleh emosi, perasaan ataupun suasana hati. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada pekerjaan dengan kecenderungan mementingkan keseluruhannya dan kurang memperhatikan hal-hal yang kecil (Gunarsa & Gunarsa, 1991). Dalam beraktivitas pun seorang pria lebih agresif, lebih aktif dan tidak sabar karena itu sifat pria lebih cenderung tidak mau menunggu, kurang tekun dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan hidup dan cepat putus asa. E. Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983:256). Seacar umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat daru nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, gender sebagai suatu kesadaran social,
(51)
gender sebagai suatu persoalan social budaya, gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan. (http://aagsyugimbal.blogspot.co.id/2011/02/teori-gender.html)
Menurut Sarlito (2005:86) peran yang dimiliki oleh gender pada hakikatnya adalah bagian dari peran social pula. Sama halnya dengan anak yang harus mempelajari perannya sebagai anak terhadap orang tua atau sebagi murid terhadap guru. Dengan begitu, ia harus mempelajari perannya sebagai anak dari jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Berbeda dengan anggapan awam, peran gender tidak hanya ditentukan oleh jenis kelamin orang yang bersangkutan, tetapi juga oleh lingkungan dan factor-faktor lainnya. Tidak otomatis seorang anak laki-laki harus bermain mobil-mobilan dan robot-robotan, sedangkan anak perempuan bermain boneka dan rumah-rumahan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak laki-laki tertarik pada boneka-boneka dan anak perempuan pada robot-robotan. Mereka akhirnya tetap menjadi orang dewasa pria atau wanita yang normal.
Dewasa ini, kontroversi gender masih dalam perbincangan masyarakat. Ketidakadilan dan diskriminasi gender menyebabkan berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki secara langsung berupa perlakuan dan sikap, maupun tidak langsung berupa dampak suatu perundang-undangan dan kebijakan menimbulkan berbagai ketidak-adialan yang telah berakar dalam sejarah dan budaya serta dalam berbagai struktur yang ada dalam masyarakat. Tetapi menurut Janet Shibley
(52)
Hyde (1986, 2005) dalam buku Santrock (2007: 233) berkesimpulan bahwa perbedaan gender tersebut terlalu dibesar-besarkan, khususnya sangat dipengaruhi oleh buku-buku popular seperti buku John Gray (1982) dan Deborah Tannen (1990), ia berpendapat bahwa hasil penelitian memperlihatkan perempuan dan laki-laki itu memiliki factor-faktor psikologis yangs serupa. Dalam sebuah rangkuman baru-baru ini, Hyde (2005) merangkum hasil dari 44 analisis terhadap perbedaan dan persamaan gender. Dalam sebagian besar bidang, perbedaan gender itu hampir tidak ada atau bahkan tidak ada sama sekali, termasuk dalam hal kemampuan matematika, komunikasi, dan agresi.
Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan antara kata gender dengan kata sex. Sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanent atau universal. Jenis kelamin atau sex adalah adalah karakteristik biologis hormonal dan anatomis. Sex tidak bias berubah, permanent dan tidak bias dipertukarkan karena bersifat mutlak. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal persifatan, peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh masyarakat. Karenanya ia bersifat relatif, dapat berubah, dan dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial untuk mejelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki
(53)
yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita sering sekali mencampuradukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah atau diubah. Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, akan memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis, yang lebih cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Kita perlu memisahkan perbedan jenis kelamin dan gender, karena konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis itu tidak dapat digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan. Di pihak lain, alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus mengoreksi alat analisis sosial yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial laki-laki dan perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.
(54)
Dengan demikian gender adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikontruksikan oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
(http://harriansaga.blogspot.co.id/2015/04/pengertian-dan-teori-gender.html).
F. Penghasilan Orang Tua
Jaman sekarang untuk dapat bertahan hidup dengan layak, orang harus bekerja. Dengan bekerja orang memperoleh upah atau imbalan yang untuk memenuhi kelangsungan hidup, baik hidup pribadi maupun hidup berkeluarga/rumah tangga. Orang harus bekerja keras untuk memperoleh penghasilan. Penghasilan yang di dapat itu kemudian dibelanjakan guna memenuhi kebutuhan hidup baik berupa barang dan jasa. Besar jumlah yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tergantung dari berbagai hal (Gilarso, 1986:42):
1. Besarnya penghasilan yang masuk
2. Besarnya keluarga (jumlah anggota keluarga) 3. Tingkat biaya kebutuhan hidup
4. Taraf pendidikan keluarga dan status sosial. Misalnya pola kebutuhan seorang dokter berbeda dengan pola kebutuhan seorang guru atau seorang tukang kayu. Dengan demikian jumlah dan pola pengeluarannya akan berbeda pula.
5. Lingkungan sosial dan ekonomi keluarga itu (misalnya tinggal di desa, di kota kecil, ataupun di kota besar seperti Jakarta).
Dengan penhasilan yang dihasilkan hendaknya orang tua memperhatikan perkembangan anak khususnya pendidikan. Tingkat penghasilan berpengaruh terhadap pemenuhan fasilitas pada si anak.
(55)
Semakin tinggi tingkat penghasilan orang tua, semakin banyak pula fasilitas yang akan di dapat oleh si anak, misalnya orang tua bisa memberikan komputer, gadget canggih serta bisa memasukkan anaknya di pendidikan non formal (bimbingan belajar) agar mereka lebih dapat memahami materi yang diajarkan di sekolah.
Sebuah tinjauan lingkungan kemiskinan anak menyimpulkan bahwa dibanding dengan rekan-rekan yang lebih diuntungkan secara ekonomi, anak-anak miskin mengalami kesengsaraan. Menurut Evans (2004) dalam Santrock (2014 : 163) lebih banyak konflik keluarga, kekerasan, kekacauan dan pemisahan keluarga dari mereka, kurang dukungan sosial; kurang stimulasi intelektual; lebih banyak menonton TV, fasilitas sekolah dan perawatan anak rendah, serta orang tua yang kurang terlibat dalam kegiatan sekolah mereka, lebih banyak polusi dan ramai, rumah berisik, dan lebih berbahaya, memburuknya lingkungan. Dengan adanya pendapat tersebut dapat memungkinan mereka malas untuk belajar dan dapat menimbulkan perilaku menyimpang di sekolah, seperti mencontek.
G. Kerangka Berpikir
1. Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau dari Jenis Kelamin.
Dalam penelitian ini tidak hanya memfokuskan mengenai jenis kelamin atau sex, tetapi juga tentang perbedaan gender di mana gender merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikontruksikan oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai
(56)
dengan perkembangan jaman. Setiap manusia laki-laki dan manusia perempuan pasti memiliki perbedaan. Menurut Gunarsa (1991) terdapat perbedaan pada laki-laki dan perempuan, yaitu jika perempuan lebih mengandalkan aspek-aspek emosional, perasaan dan suasana hati sedangkan untuk laki-laki lebih terlihat agresif, lebih aktif dan tidak sabaran dalam menyelesaikan masalah. Tetapi di sisi lain, secara psikologis dan fisiologis ternyata laki-laki dan perempuan mempunyai perkembangan yang berbeda. Seorang perempuan lebih mempunyai sifat keibuan yang lemah lembut, berperasaan dan lebih feminin. Sedangkan laki-laki mempunyai sifat yang maskulin, kasar, lebih perkasa dan lebih pemberani dibandingkan dengan perempuan.
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk sukses daripada perempuan. Oleh karena itu laki-laki cenderung lebih agresif dalam menggapai cita-citanya daripada perempuan. Sifat perempuan berbeda dengan laki-laki. Kepribadian seorang pria menunjukkan adanya pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio, dan emosionalitas. Jalan pikirannya tidak dikuasai oleh emosi, perasaan ataupun suasana hati. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada pekerjaan dengan kecenderungan mementingkan keseluruhannya dan kurang memperhatikan hal-hal yang kecil (Gunarsa & Gunarsa, 1991). Dalam beraktivitas pun seorang pria lebih agresif, lebih aktif dan tidak sabar
(57)
karena itu sifat pria lebih cenderung tidak mau menunggu, kurang tekun dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan hidup dan cepat putus asa.
Maka jika dilihat dari pernyataan tersebut, sikap laki-laki perempuan memperlihatkan adanya perbedaan terhadap sikap mencontek. Laki-laki lebih merasa pemberani, dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki bertindak tidak dengan perasaan, sehingga jika ada kesempatan untuk melakukan kecurangan, laki-laki cenderung langsung menggunakan kesempatan itu, sedangkan untuk perempuan, mereka lebih menggunakan perasaan dan lembut sehingga mereka kemungkinan tidak mempunyai keberanian.
2. Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau dari Tingkat Penghasilan Orang Tua
Semakin tinggi tingkat penghasilan orang tua akan dapat memenuhi segala fasilitas yang diperlukan anak dalam belajar misalnya selain dapat menempuh pendidikan formal, si anak juga dapat menempuh pendidikan nonformal seperti mengikuti bimbel atau les privat. Hal tersebut membuat anak lebih semangat dalam belajar dan lebih memahami materi yang diajarkan di sekolah sehingga anak tidak melakukan tindakan mencotek. Sebaliknya, semakin rendah tingkat penghasilan orang tua tidak dapat memenuhi fasilitas yang diperlukan si anak dalam belajar sehingga memuat anak dituntut untuk memikirikan kebutuhan lain yang akhirnya anak tidak ada waktu untuk belajar, kelelahan dan cenderung melakukan tindakan mencontek pada saat ujian.
(58)
Sebuah tinjauan lingkungan kemiskinan anak menyimpulkan bahwa dibanding dengan rekan-rekan yang lebih diuntungkan secara ekonomi, anak-anak miskin mengalami kesengsaraan. Menurut Evans (2004) dalam Santrock (2014 : 163) lebih banyak konflik keluarga, kekerasan, kekacauan dan pemisahan keluarga dari mereka, kurang dukungan sosial; kurang stimulasi intelektual; lebih banyak menonton TV, fasilitas sekolah dan perawatan anak rendah, serta orang tua yang kurang terlibat dalam kegiatan sekolah mereka, lebih banyak polusi dan ramai, rumah berisik, dan lebih berbahaya, memburuknya lingkungan. Dengan adanya pendapat tersebut dapat memungkinan mereka malas untuk belajar dan dapat menimbulkan perilaku menyimpang di sekolah, seperti mencontek.
Teori-teori dan penjelasan yang didapat, muncul kerangka berpikir ada perbedaan sikap terhadap perilaku mencontek berdasarkan tingkat penghasilan orang tua.
G. Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah kesimpulan sementara yang belum final dan masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis dalam pengertian ini merupakan perumusan jawaban dugaan atau sementara sehingga menjadi tuntutan dalam mencari jawaban yang sebenarnya atas dasar kerangka berpikir di atas.
(59)
Hipotesis 1:
Ho1: tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek berdasarkan jenis kelamin.
Ha1: ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek
berdasarkan jenis kelamin.
Hipotesis 2 :
Ho1: tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek berdasarkan tingkat penghasilan orang tua.
Ha1: ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek
(60)
38 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Menurut Sangaji dan Shopian (2010:35) studi kasus adalah penelitian yang melakukan penyelidikan secara mendalam mengenai subjek tertentu untuk memberikan gambaran lengkap mengenai subjek tertentu. Dalam penelitian ini siswa akan berperan sebagai responden. Penelitian ini akan dilakukan di SMP dan hasil atau kesimpulan ini tidak bisa direalisasikan pada SMP-SMP lainnya di Yogyakarta sebab penelitian studi kasus merupakan jenis penelitian dengan karakteristik serta masalah yang mempunyai kaitan antara latar belakang dan kondisi nyata saat ini dari subyek yang diteliti.
B. Tempat dan waktu penelitian 1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah negeri dan swasta yaitu SMPN 10 dan SMP Maria Immaculata di Kota Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari 2016 – April 2016.
(61)
C. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta.
2. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah sikap siswa terhadap mencontek.
D. Populasi, sampel dan teknik penarikan sampel 1. Populasi
Menurut Sugiono (2012: 80), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek / subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan menurut Margono (2010: 118), populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Jadi populasi adalah keseluruhan dari subjek yang memiliki karakteristik untuk diteliti dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang telah ditentukan.
Oleh sebab itu dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah siswa/i kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta pada tahun ajaran 2015/2016. Adapun jumlah populasi
(62)
penelitian ini sebanyak 339 responden. Nama sekolah dan jumlah siswa sebagai berikut:
Tabel 3.1
Nama Sekolah dan Jumlah Siswa
No. Nama Sekolah Jumlah Siswa
1. SMP Negeri 10 Yogyakarta 170
2. SMP Maria Immaculata Yogyakarta 169
Jumlah Siswa 339
Alasan memilih hanya beberapa sekolah di daerah Kota Yogyakarta karena adanya pertimbangan terhadap ketersediaan waktu, tenaga, dan biaya peneliti sehingga tidak mungkin populasi diambi dari seluruh SMP se- Kota Yogyakarta.
2. Sampel
Menurut Sugiono (2012: 81) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sedangkan menurut Yusuf (2014: 150), sampel adalah sebagian dari populasi yang terpilih dan mewakili populasi sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Jadi sampel adalah sebagian besar dari populasi yang sesuai dengan karakter yang telah ditentukan. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa kelas VIII SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata, di mana untuk SMP Negeri 10 sebanyak 60 siswa dan SMP Maria Immaculata sebanyak 60 siswa sehingga seluruhnya berjumlah 120 responden. Peneliti
(63)
mengambil sampel siswa SMP karena dengan pertimbangan siswa kelas VIII masuk dalam kisaran umur 12-14 tahun. Menurut Biehlier (1972) dalam buku Perkembangan Peserta Didik anak yang berumur 12-14 memiliki berbagai ciri-ciri emosional dalam diri siswa tersebut, misalnya: seorang remaja cenderung tidak tolerir terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri. Kurangnya kepercayaan diri ini membuat siswa mudah untuk melakukan hal-hal negtif seperti mencontek.
3. Teknik Penarikan Sampel
Pada penelitian ini akan menggunakan teknik penarikan sampel jenis Purposive Sampling atau yang sering disebut dengan sampel bertujuan. Menurut Effendi (2012:172) Purposive Sampling (sampel bertujuan) merupakan metode pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dianggap relevan atau dapat mewakili objek yang akan diteliti. Teknik ini digunakan karena beberapa pertimbangan, yaitu karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dan sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Walaupun cara ini diperbolehkan, tetapi tetap peneliti bisa menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu yang dianggap relevan.
Pertimbangan lain Peneliti menggunakan teknik ini yaitu, pertama, sekolah tempat penelitian ini memiliki responden yang heterogen, siswa laki laki dan perempuan memiliki jumlah yang proporsional sehingga peneliti dapat mengambil sampel siswa dari jenis kelamin laki-laki dan
(64)
perempuan tentang sikap mereka terhadap perilaku mencontek atau dengan kata lain jumlah antara siswa laki-laki tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Kedua, peneliti hanya mengambil responden hanya siswa di kelas VIII karena menurut peneliti jika mengambil kelas VII para siswa masih mengalami masa adaptasi dan masa peralihan dari SD ke SMP sehingga belum begitu paham dengan pengisian kuesioner seperti ini, selain itu mereka masih harus beradaptasi dengan lingkungan di tingkat Sekolah Menengah Pertama. Selanjutnya untuk yang kelas IX mereka sedang fokus menyiapkan Ujian Sekolah dan Ujian Nasional, sehingga para guru menghimbau untuk siswa kelas IX tidak diperkenankan menjadi responden dalam penelitian ini. Ketiga, siswa yang menjadi responden memiliki orang tua yang tingkat penghasilan berbeda-beda sehingga dapat dijadikan variabel dalam penelitian ini.
E. Variabel Penelitian dan Pengukurannya 1. Variabel Penelitian
Dalam sebuah penelitian, merumuskan variabel sangat penting dilakukan karena dengan perumusan variabel, peneliti bisa memperjelas objek yang akan diteliti. Menurut Sugiyono (1999:31), variabel penelitian pada dasarnya adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini diperlukan
(65)
dua variabel pokok yaitu variabel bebas (Independent Variable) dan variabel terikat (Dependent Variable).
a. Variabel Bebas atau Independent Variable
Menurut Sugiyono (1999:33) Variabel bebas atau Independent Variable merupakan variabel stimulus, prediktor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan variabel bebas. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya varibel dependen (terikat). Sedangkan menurut Nawawi (1994:50), variabel bebas adalah himpunan sejumlah gejala yang mewakili berbagai aspek atau unsur yang berfungi memengaruhi atau menentukan munculnya variabel lain yang disebut variabel terikat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel bebas berfungsi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah: jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dan tingkat penghasilan orang tua.
1) Jenis Kelamin
Jenis kelamin dalam penelitian ini adalah ciri-ciri biologis pada manusia berdasarkan alat kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini diungkapkan melalui identitas diri subjek (responden) yang telah diisi pada skala sikap terhadap perilaku mencontek.
2) Tingkat Penghasilan Orang Tua
Variabel tingkat penghasilan orang tua dalam penelitian ini adalah jumlah perkiraaan tingkat penghasilan dari orang tua
(66)
siswa-siswi, di mana peneliti membagi 3 bagian tingkat penghasilan yaitu < 2.000.000 dikategorikan rendah, 2.000.000 - 5.000.000 dikategorikan sedang, dan > 5.000.000 dikategorikan tinggi. Hal tersebut telah diungkapkan melalui identitas diri pada subjek (responden) yang telah diisi pada skala sikap terhadap perilaku mencontek.
b. Variabel Terikat atau Dependent Variable
Menurut Sugiyono (1999:33) Variabel ini sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Jadi dapat dikatakan bahwa variabel terikat ini dirumuskan untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah perilaku mencontek siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
1) Sikap siswa SMP terhadap perilaku mencotek
Sikap terhadap perilaku mencontek ini dapat diartikan sebagai bentuk reaksi siswa SMP laki-laki dan perempuan terhadap perilaku mencontek. Sikap tersebut dapat bereaksi positif dan negatit, di mana reaksi positif artinya siswa laki-laki dan perempuan menerima perilaku mencotek dan menganggap perilaku mencontek tersebut merupakan hal yang wajar dan biasa dilakukan oleh pelajar.
(67)
Sedangkan reaksi atau sikap negatif terhadap perilaku mencontek dapat diartikan menolak perilaku itu sendiri. Dengan kata lain, mereka tidak setuju dengan perilaku mencontek dan menganggap perilaku mencontek merupakan hal yang tidak wajar dan tidak boleh dilakukan oleh pelajar.
Skala sikap perilaku mencontek disusun berdasarkan tiga aspek sikap, yaitu: kognitif, afektif, dan perilaku sedangkan perilaku mencontek ditentukan oleh dua aspek yaitu asper bekerjasama dengan teman dalam mengerjakan ujian dan menggunakan material yang tidak baik/dilarang pada saat ujian. Data dikumpulkan menggunakan alat ukur berupa skala sikap terhadap perilaku mencontek.
Sikap terhadap perilaku mencontek dapat dilihat dari tingi rendahnya skor total yang diperoleh melalui skala sikap terhadap perilaku mencontek. Semakin positif sikap siswa maka skornya akan semakin tinggi. Begitupun sebaliknya, semakin negatif sikap siswa maka skornya semakin rendah. Skala sikap terhadap perilaku mencontek menggunakan model Likert yang berupa pernyataan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
2. Pengukuran Variabel
a. Variabel sikap siswa SMP dan perilaku mencontek dapat diukur dengan menggunakan kuesioner yaitu skala likert. Menurut
(68)
Sugiyono (1999:86) Skala likert digunakan untuk mrngukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Skala likert yang digunakan telah dimodifikasi yaitu peneliti menyediakan empat opsi jawaban untuk setiap item pernyataan yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun penentuan skor dalam opsi jawaban adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2
Skor Skala Likert dalam Kuesioner
Jawaban Skor
Pernyataan Positif
Pernyataan Negatif
Sangat Setuju (SS) 4 1
Setuju (S) 3 2
Tidak Setuju (TS) 2 3
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4
b. Variabel jenis kelamin dan tingkat penghasilan orang tua merupakan variabel nominal yang digolongkan ke dalam jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan tingkat penghasilan orang tua dengan takaran nominal <Rp 2.000.000, Rp 2.000.000 – Rp 5.000.000, dan > Rp 5.000.000. Variabel nominal merupakan variabel yang dikategorikan atau kelompok dari suatu subyek. Dalam pengelompokkan peneliti memberi kode di tiap variabel. Variabel jenis kelamin diberi kode 1 untuk laki-laki dan untuk perempuan diberi kode 2. Sedangkan untuk tingkat penghasilan orang tua yang < Rp 2.000.000 diberi kode 1, Rp 2.000.000 –Rp 5.000.000 diberi kode 2, dan > Rp 5.000.000 diberi
(1)
74 0,1901 0,2257 0,2664 0,2938 0,3701 75 0,1888 0,2242 0,2647 0,2919 0,3678 76 0,1876 0,2227 0,2630 0,2900 0,3655 77 0,1864 0,2213 0,2613 0,2882 0,3633 78 0,1852 0,2199 0,2597 0,2864 0,3611 79 0,1841 0,2185 0,2581 0,2847 0,3589 80 0,1829 0,2172 0,2565 0,2830 0,3568 81 0,1818 0,2159 0,2550 0,2813 0,3547 82 0,1807 0,2146 0,2535 0,2796 0,3527 83 0,1796 0,2133 0,2520 0,2780 0,3507 84 0,1786 0,2120 0,2505 0,2764 0,3487 85 0,1775 0,2108 0,2491 0,2748 0,3468 86 0,1765 0,2096 0,2477 0,2732 0,3449 87 0,1755 0,2084 0,2463 0,2717 0,3430 88 0,1745 0,2072 0,2449 0,2702 0,3412 89 0,1735 0,2061 0,2435 0,2687 0,3393 90 0,1726 0,2050 0,2422 0,2673 0,3375 91 0,1716 0,2039 0,2409 0,2659 0,3358 92 0,1707 0,2028 0,2396 0,2645 0,3341 93 0,1698 0,2017 0,2384 0,2631 0,3323 94 0,1689 0,2006 0,2371 0,2617 0,3307 95 0,1680 0,1996 0,2359 0,2604 0,3290 96 0,1671 0,1986 0,2347 0,2591 0,3274 97 0,1663 0,1975 0,2335 0,2578 0,3258 98 0,1654 0,1966 0,2324 0,2565 0,3242 99 0,1646 0,1956 0,2312 0,2552 0,3226 100 0,1638 0,1946 0,2301 0,2540 0,3211 101 0,1630 0,1937 0,2290 0,2528 0,3196 102 0,1622 0,1927 0,2279 0,2515 0,3181 103 0,1614 0,1918 0,2268 0,2504 0,3166 104 0,1606 0,1909 0,2257 0,2492 0,3152 105 0,1599 0,1900 0,2247 0,2480 0,3137
DF = n-2 0,1 0,05 0,02 0,01 0,001
r 0,005 r 0,05 r 0,025 r 0,01 r 0,001 106 0,1591 0,1891 0,2236 0,2469 0,3123 107 0,1584 0,1882 0,2226 0,2458 0,3109 108 0,1576 0,1874 0,2216 0,2446 0,3095 109 0,1569 0,1865 0,2206 0,2436 0,3082 110 0,1562 0,1857 0,2196 0,2425 0,3068 111 0,1555 0,1848 0,2186 0,2414 0,3055 112 0,1548 0,1840 0,2177 0,2403 0,3042
(2)
113 0,1541 0,1832 0,2167 0,2393 0,3029 114 0,1535 0,1824 0,2158 0,2383 0,3016 115 0,1528 0,1816 0,2149 0,2373 0,3004 116 0,1522 0,1809 0,2139 0,2363 0,2991 117 0,1515 0,1801 0,2131 0,2353 0,2979
118 0,1509 0,1793 0,2122 0,2343 0,2967
119 0,1502 0,1786 0,2113 0,2333 0,2955 120 0,1496 0,1779 0,2104 0,2324 0,2943 121 0,1490 0,1771 0,2096 0,2315 0,2931 122 0,1484 0,1764 0,2087 0,2305 0,2920 123 0,1478 0,1757 0,2079 0,2296 0,2908 124 0,1472 0,1750 0,2071 0,2287 0,2897 125 0,1466 0,1743 0,2062 0,2278 0,2886 126 0,1460 0,1736 0,2054 0,2269 0,2875 127 0,1455 0,1729 0,2046 0,2260 0,2864 128 0,1449 0,1723 0,2039 0,2252 0,2853 129 0,1443 0,1716 0,2031 0,2243 0,2843 130 0,1438 0,1710 0,2023 0,2235 0,2832 131 0,1432 0,1703 0,2015 0,2226 0,2822 132 0,1427 0,1697 0,2008 0,2218 0,2811 133 0,1422 0,1690 0,2001 0,2210 0,2801 134 0,1416 0,1684 0,1993 0,2202 0,2791 135 0,1411 0,1678 0,1986 0,2194 0,2781 136 0,1406 0,1672 0,1979 0,2186 0,2771 137 0,1401 0,1666 0,1972 0,2178 0,2761 138 0,1396 0,1660 0,1965 0,2170 0,2752 139 0,1391 0,1654 0,1958 0,2163 0,2742 140 0,1386 0,1648 0,1951 0,2155 0,2733
DF = n-2 0,1 0,05 0,02 0,01 0,001
r 0,005 r 0,05 r 0,025 r 0,01 r 0,001 141 0,1381 0,1642 0,1944 0,2148 0,2723 142 0,1376 0,1637 0,1937 0,2140 0,2714 143 0,1371 0,1631 0,1930 0,2133 0,2705 144 0,1367 0,1625 0,1924 0,2126 0,2696 145 0,1362 0,1620 0,1917 0,2118 0,2687 146 0,1357 0,1614 0,1911 0,2111 0,2678 147 0,1353 0,1609 0,1904 0,2104 0,2669 148 0,1348 0,1603 0,1898 0,2097 0,2660 149 0,1344 0,1598 0,1892 0,2090 0,2652 150 0,1339 0,1593 0,1886 0,2083 0,2643 151 0,1335 0,1587 0,1879 0,2077 0,2635
(3)
152 0,1330 0,1582 0,1873 0,2070 0,2626 153 0,1326 0,1577 0,1867 0,2063 0,2618 154 0,1322 0,1572 0,1861 0,2057 0,2610 155 0,1318 0,1567 0,1855 0,2050 0,2602 156 0,1313 0,1562 0,1849 0,2044 0,2593 157 0,1309 0,1557 0,1844 0,2037 0,2585 158 0,1305 0,1552 0,1838 0,2031 0,2578 159 0,1301 0,1547 0,1832 0,2025 0,2570 160 0,1297 0,1543 0,1826 0,2019 0,2562 161 0,1293 0,1538 0,1821 0,2012 0,2554 162 0,1289 0,1533 0,1815 0,2006 0,2546 163 0,1285 0,1528 0,1810 0,2000 0,2539 164 0,1281 0,1524 0,1804 0,1994 0,2531 165 0,1277 0,1519 0,1799 0,1988 0,2524 166 0,1273 0,1515 0,1794 0,1982 0,2517 167 0,1270 0,1510 0,1788 0,1976 0,2509 168 0,1266 0,1506 0,1783 0,1971 0,2502 169 0,1262 0,1501 0,1778 0,1965 0,2495 170 0,1258 0,1497 0,1773 0,1959 0,2488 171 0,1255 0,1493 0,1768 0,1954 0,2481 172 0,1251 0,1488 0,1762 0,1948 0,2473 173 0,1247 0,1484 0,1757 0,1942 0,2467 174 0,1244 0,1480 0,1752 0,1937 0,2460 175 0,1240 0,1476 0,1747 0,1932 0,2453
DF = n-2 0,1 0,05 0,02 0,01 0,001
r 0,005 r 0,05 r 0,025 r 0,01 r 0,001 176 0,1237 0,1471 0,1743 0,1926 0,2446 177 0,1233 0,1467 0,1738 0,1921 0,2439 178 0,1230 0,1463 0,1733 0,1915 0,2433 179 0,1226 0,1459 0,1728 0,1910 0,2426 180 0,1223 0,1455 0,1723 0,1905 0,2419 181 0,1220 0,1451 0,1719 0,1900 0,2413 182 0,1216 0,1447 0,1714 0,1895 0,2406 183 0,1213 0,1443 0,1709 0,1890 0,2400 184 0,1210 0,1439 0,1705 0,1884 0,2394 185 0,1207 0,1435 0,1700 0,1879 0,2387 186 0,1203 0,1432 0,1696 0,1874 0,2381 187 0,1200 0,1428 0,1691 0,1869 0,2375 188 0,1197 0,1424 0,1687 0,1865 0,2369 189 0,1194 0,1420 0,1682 0,1860 0,2363 190 0,1191 0,1417 0,1678 0,1855 0,2357
(4)
191 0,1188 0,1413 0,1674 0,1850 0,2351 192 0,1184 0,1409 0,1669 0,1845 0,2345 193 0,1181 0,1406 0,1665 0,1841 0,2339 194 0,1178 0,1402 0,1661 0,1836 0,2333 195 0,1175 0,1398 0,1657 0,1831 0,2327 196 0,1172 0,1395 0,1652 0,1827 0,2321 197 0,1169 0,1391 0,1648 0,1822 0,2315 198 0,1166 0,1388 0,1644 0,1818 0,2310 199 0,1164 0,1384 0,1640 0,1813 0,2304 200 0,1161 0,1381 0,1636 0,1809 0,2298 201 0,1158 0,1378 0,1632 0,1804 0,2293 202 0,1155 0,1374 0,1628 0,1800 0,2287 203 0,1152 0,1371 0,1624 0,1795 0,2282 204 0,1149 0,1367 0,1620 0,1791 0,2276 205 0,1146 0,1364 0,1616 0,1787 0,2271
DF = n-2 0,1 0,05 0,02 0,01 0,001
r 0,005 r 0,05 r 0,025 r 0,01 r 0,001 206 0,1144 0,1361 0,1612 0,1782 0,2265 207 0,1141 0,1358 0,1608 0,1778 0,2260 208 0,1138 0,1354 0,1604 0,1774 0,2255 209 0,1135 0,1351 0,1601 0,1770 0,2250 210 0,1133 0,1348 0,1597 0,1766 0,2244 211 0,1130 0,1345 0,1593 0,1761 0,2239 212 0,1127 0,1342 0,1589 0,1757 0,2234 213 0,1125 0,1338 0,1586 0,1753 0,2229 214 0,1122 0,1335 0,1582 0,1749 0,2224 215 0,1120 0,1332 0,1578 0,1745 0,2219 216 0,1117 0,1329 0,1575 0,1741 0,2214 217 0,1114 0,1326 0,1571 0,1737 0,2209 218 0,1112 0,1323 0,1568 0,1733 0,2204 219 0,1109 0,1320 0,1564 0,1729 0,2199 220 0,1107 0,1317 0,1561 0,1726 0,2194 221 0,1104 0,1314 0,1557 0,1722 0,2189 222 0,1102 0,1311 0,1554 0,1718 0,2184 223 0,1099 0,1308 0,1550 0,1714 0,2179 224 0,1097 0,1305 0,1547 0,1710 0,2175 225 0,1094 0,1303 0,1543 0,1707 0,2170 226 0,1092 0,1300 0,1540 0,1703 0,2165 227 0,1090 0,1297 0,1537 0,1699 0,2161 228 0,1087 0,1294 0,1533 0,1695 0,2156 229 0,1085 0,1291 0,1530 0,1692 0,2151
(5)
230 0,1083 0,1288 0,1527 0,1688 0,2147 231 0,1080 0,1286 0,1523 0,1684 0,2142 232 0,1078 0,1283 0,1520 0,1681 0,2138 233 0,1076 0,1280 0,1517 0,1677 0,2133 234 0,1073 0,1277 0,1514 0,1674 0,2129 235 0,1071 0,1275 0,1510 0,1670 0,2124 236 0,1069 0,1272 0,1507 0,1667 0,2120 237 0,1067 0,1269 0,1504 0,1663 0,2115 238 0,1064 0,1267 0,1501 0,1660 0,2111 239 0,1062 0,1264 0,1498 0,1656 0,2107 240 0,1060 0,1261 0,1495 0,1653 0,2102 241 0,1058 0,1259 0,1492 0,1650 0,2098 242 0,1055 0,1256 0,1489 0,1646 0,2094 243 0,1053 0,1254 0,1486 0,1643 0,2090 244 0,1051 0,1251 0,1483 0,1640 0,2085 245 0,1049 0,1249 0,1480 0,1636 0,2081 246 0,1047 0,1246 0,1477 0,1633 0,2077 247 0,1045 0,1244 0,1474 0,1630 0,2073 248 0,1043 0,1241 0,1471 0,1626 0,2069 249 0,1041 0,1239 0,1468 0,1623 0,2065 250 0,1039 0,1236 0,1465 0,1620 0,2061 251 0,1036 0,1234 0,1462 0,1617 0,2057 252 0,1034 0,1231 0,1459 0,1614 0,2053 253 0,1032 0,1229 0,1456 0,1610 0,2049 254 0,1030 0,1226 0,1453 0,1607 0,2045 255 0,1028 0,1224 0,1451 0,1604 0,2041 256 0,1026 0,1222 0,1448 0,1601 0,2037 257 0,1024 0,1219 0,1445 0,1598 0,2033 258 0,1022 0,1217 0,1442 0,1595 0,2029 259 0,1020 0,1215 0,1439 0,1592 0,2025 260 0,1018 0,1212 0,1437 0,1589 0,2022 261 0,1016 0,1210 0,1434 0,1586 0,2018 262 0,1015 0,1208 0,1431 0,1583 0,2014 263 0,1013 0,1205 0,1428 0,1580 0,2010 264 0,1011 0,1203 0,1426 0,1577 0,2006 265 0,1009 0,1201 0,1423 0,1574 0,2003 266 0,1007 0,1199 0,1420 0,1571 0,1999 267 0,1005 0,1196 0,1418 0,1568 0,1995 268 0,1003 0,1194 0,1415 0,1565 0,1992 269 0,1001 0,1192 0,1413 0,1562 0,1988 270 0,0999 0,1190 0,1410 0,1559 0,1984
(6)
271 0,0998 0,1187 0,1407 0,1557 0,1981 272 0,0996 0,1185 0,1405 0,1554 0,1977 273 0,0994 0,1183 0,1402 0,1551 0,1974 274 0,0992 0,1181 0,1400 0,1548 0,1970 275 0,0990 0,1179 0,1397 0,1545 0,1967 276 0,0989 0,1177 0,1395 0,1543 0,1963 277 0,0987 0,1175 0,1392 0,1540 0,1960 278 0,0985 0,1173 0,1390 0,1537 0,1956 279 0,0983 0,1170 0,1387 0,1534 0,1953 280 0,0981 0,1168 0,1385 0,1532 0,1949 281 0,0980 0,1166 0,1382 0,1529 0,1946 282 0,0978 0,1164 0,1380 0,1526 0,1943 283 0,0976 0,1162 0,1377 0,1524 0,1939 284 0,0975 0,1160 0,1375 0,1521 0,1936 285 0,0973 0,1158 0,1373 0,1518 0,1932 286 0,0971 0,1156 0,1370 0,1516 0,1929 287 0,0969 0,1154 0,1368 0,1513 0,1926 288 0,0968 0,1152 0,1366 0,1510 0,1923 289 0,0966 0,1150 0,1363 0,1508 0,1919