UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PERPAJAKAN.

(1)

ii

PERPAJAKAN

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

ANASTASIA MARIA PRIMA NAHAK NIM. 1203005075

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

(3)

(4)

v

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi yang berjudul “Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat adanya dukungan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S. H., M. H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S. H., M. H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S. H., M. H., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S. H., M. H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Nyoman A Martana, S. H., M. H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara. 6. Bapak Nyoman Satyayudha Dananjaya, S. H., M.Kn., selaku Sekretaris


(5)

vi

8. Bapak Nyoman Satyayudha Dananjaya, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan saran yang bermanfaat untuk penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

9. Bapak I Ketut Keneng, S. H., M. H., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

10.Bapak dan Ibu Dosen lain di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sangat berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

11.Seluruh Staf Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

12.Kedua Orang Tua penulis Dr. Simon Nahak, S.H., M.H., dan drg. Maria Martina Nahak, M.Biomed, yang selalu memberikan doa serta dukungan moril dan materiil kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13.Adik-adik penulis Teresita Marselina Nahak dan Albertus Joseph Nahak, yang telah memberikan doa dan dukungan moril kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vii

15.Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Udayana angkatan 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

16.Keluarga besar Asian Law Students’ Association Local Chapter Universitas Udayana (ALSA LC UNUD) yang telah memberikan pengalaman berorganisasi kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

17.Keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) yang telah

memberikan pengalaman berorganisasi kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan, khususnya Fungsionaris UMCC Periode 2014-2015: Fachry, Wah Bayu, Winda, Priska, Putri, Nanang, Ajus, Zaky, Gobang, Angga, Gustu, Yolanda, Sumi dan Tio.

18.Delegasi Universitas Udayana dalam Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Piala Prof. Soedarto IV yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro: Kak Juli, Kak Apdila, Fachry, Kak Yogi, Kak Riyani, Kak Susi, Nisa, Gek In, Kak El, Kak Cintya, Kak Alvin, Uus, Ari Dwiatmika, Bayu, Kak Gung Gek, Kevin, Kak Dasri, dan Taka.

19.Delegasi Universitas Udayana dalam Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Piala Prof. Soedarto V yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro: Angga, Ajus, Yolanda, Gung De Yoga, Sumi, Wisnu, Bayu Gaotama, Gobang, Nara, Rada, Agus, Gung Anis, Inten, Vica, Melati, Aji.


(7)

viii

Menyadari keterbatasan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bermanfaat pula bagi kepentingan kemajuan ilmu hukum.

Denpasar, 6 April


(8)

(9)

x

Halaman Sampul Depan Halaman Sampul Dalam

Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum ... ii

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iii

Halaman Pengesahan Panitia Penguji Skripsi ... iv

Kata Pengantar ... v

Halaman Surat Pernyataan Keaslian ... ix

Daftar Isi ... x

Tabel / Skema ……….. xiv

Abstrak ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 11

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5 Tujuan Penelitian... 13

1.5.1 Tujuan Umum ... 13

1.5.2 Tujuan Khusus ... 13

1.6 Manfaat Penulisan ... 14


(10)

xi

1.8.1 Jenis Penelitian ... 22

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 23

1.8.3 Sifat Penelitian ………... 24

1.8.4 Data dan Sumber Data ... 25

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data …... 26

1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……… 27

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK………... 28

2.1.Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak...………... 28

2.1.1.Dasar Hukum Upaya Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak..…... 28

2.1.2.Pengertian Upaya Hukum Keberatan……….. 29

2.1.3.Surat Ketetapan Pajak sebagai Dasar Upaya Hukum Keberatan………. 34

2.1.4.Prosedur Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak………. 37


(11)

xii

2.2.3 Fungsi dan Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak……... 55 2.2.4 Tugas dan Wewenang Pengadilan Pajak………. 56

BAB III EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK ………..………...….. 60

3.1.Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Kepada Direktorat

Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali ……… 60

3.2.Pentingnya Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian

Sengketa Pajak ………. 71

3.3.Efektivitas Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak di Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah

Bali……… 77

BAB IV PENGHAMBAT DAN SOLUSI PELAKSANAAN UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK... 86

4.1 Faktor Penghambat Penegakkan Upaya Hukum Keberatan


(12)

xiii

BAB V PENUTUP ... 107

5.1 Simpulan ... 107 5.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(13)

xiv

Gambar 1 Tabel jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak sejak didirikan pada tahun 2002 ... 9

Gambar 2 Skema Alur Timbulnya Keberatan ... 62

Gambar 3 Bagan Materi Sengketa Pajak melalui Upaya Hukum Keberatan.. 65

Gambar 4 Data Permohonan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak pada beberapa Kantor Pelayanan Pajak Pratam di Provinsi Bali... 78

Gambar 5 Diagram Keseluruhan pengajuan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah

Bali……… 82

Gambar 6 Data Wajib Pajak yang mengajukan upaya hukum banding ke


(14)

xv

UU KUP, upaya hukum keberatan seharusnya dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak tanpa harus dilanjutkan ke lembaga Pengadilan Pajak. Upaya hukum keberatan yang efektif juga seharusnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada setiap wajib pajak. Tidak efektifnya upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa pajak juga dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat, baik berupa ketentuan peraturan perundang-undangannya, aparat penegak hukumnya, maupun budaya hukum dari masyarakat itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat diangkat dua rumusan masalah yaitu efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali serta faktor-faktor penghambat dan solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan tersebut.

Untuk menjawab dua rumusan masalah tersebut, digunakan metode penelitian empiris, dengan konteks penelitian terhadap efektivitas hukum dikarenakan adanya kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum (das

sollen das sein). Penelitian ini bersifat eksploratif dan sumber data yang

digunakan bersifat data primer dan data sekunder.

Upaya hukum keberatan memiliki peran yang sangat penting untuk menjamin keadilan bagi tiap wajib pajak, namun dalam pelaksanaannya tidak selalu dapat berjalan secara efektif. Dengan begitu banyaknya ketentuan perpajakan yang berlaku, menyebabkan adanya tumpang tindih antara peraturan dan ketentuan perpajakan itu sendiri, hal ini berdampak pada timbulnya grey area yang menyebabkan adanya perbedaan persepsi antara fiskus dan wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak. Dalam praktiknya, kesenjangan antara das

sollen dan das sein dalam penegakkan upaya hukum keberatan dalam

penyelesaian sengketa pajak sangat terlihat dari faktor-faktor penghambatnya, yaitu ketentuan perundang-undangan yang bersifat multitafsir, aparat penegak hukum yang dirasa sangat tidak objektif walaupun sudah memiliki aparat pengawas secara internal maupun eksternal, perbedaan persepsi yang terkadang cenderung merugikan wajib pajak yang merupakan masyarakat terkait, dan sistem penegakan hukum yang dirasa tidak dapat memenuhi rasa keadilan bagi wajib pajak. Sehingga adanya sosialisasi sangat diperlukan dan untuk menghindari ketidakefektivan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan, fiskus khususnya yang berada pada daerah Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali perlu melakukan evaluasi-evaluasi dan pengawasan-pengawasan yang nantinya dapat mengurangi faktor-faktor penghambat yang menyebabkan kurang efektifnya upaya hukum keberatan itu sendiri dalam penyelesaian sengketa pajak.


(15)

xvi

Procedures, legal remedy of appeal should be used by taxpayers to resolve tax disputes without having to proceed forward to the Tax Court. An effective legal remedy of appeal should also be able to provide legal guarantee to every taxpayer. The ineffectiveness of the legal remedy of appeal in tax dispute resolution is also influenced by factors inhibiting, either the provisions of its legislation, law enforcement officers, as well as the legal culture of society itself. Based on this, it can be lifted two formulation of the problem, namely the effectiveness of the implementation of the legal remedy of appeal in resolving

disputes in the field of taxation at the Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah

Bali as well as inhibiting factors and solutions to resolve those barriers.

To solve the two formulations of the problem, empirical research methods is used in the context of research on the effectiveness of the law due to the gap

between theory and reality or fact of law (das sollen das sein). This research is

explorative and sources of data used are primary data and secondary data.

Legal remedy of appeal has a very important role to ensure justice for every taxpayer, but in reality are not always able to run effectively. With so many tax regulations, causing an overlap between the terms and conditions of taxation itself, this might impact the onset of gray area that makes the difference in perception between tax authorities and taxpayers in resolving tax disputes. In

practice, the gap between das sollen and das sein in the enforcement of legal

remedy of appeal in the resolution of tax disputes are highly visible on the factors inhibiting, the statutory provisions that are open to multiple interpretations, law enforcement officers were deemed very objective even when they have regulatory authorities in internal and external, differing perceptions that sometimes tend to harm the taxpayer which is related to society, and the law enforcement system were deemed not to fulfill a sense of justice for the taxpayer. So socialization is very necessary and to avoid ineffectiveness in the implementation of the legal remedy of appeal, tax authorities especially in the region of the Directorate General of Taxation Regional Office Bali needs to conduct evaluations and monitoring-supervision that will reduce limiting factors that cause a lack of effective remedy objection itself in the resolution of tax disputes.


(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual.1 Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak.

Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Sektor pajak merupakan sumber penerimaan negara, penerimaan negara dari sektor perpajakan memberikan sumbangan dalam menurunkun volume dan rasio deficit anggaran. Maka peranan pajak sebagai salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat penting dan strategis. Oleh sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama.

1 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2001, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, h.


(17)

Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.2

Tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembagapaksa badan. Keberadaan lembaga ini masih

kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.3

Dalam meraih target pendapatan pajak, ketetapan pajak yang diterbitkan oleh pejabat pajak yang berwenang tidak selalu dapat diterima oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, tentu ada perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan Fiskus yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam menafsirkan peraturan atau perundang-undangan perpajakan. Kemudian,

2 Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, 1984, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada,

Jakarta, h. 3.


(18)

terkait dengan mekanisme perpajakan yang tentunya juga melibatkan Wajib Pajak dan aparat perpajakan, dalam mekanisme ini dapat juga melibatkan orientasi yang berbeda. Aparat perpajakan perpajakan di satu sisi tentunya berkepentingan untuk mengamankan pendapatan negara dari bidang perpajakan, sedangkan bagi Wajib Pajak disisi lain berkepentingan untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan tetap menjalankan bisnisnya.

Perbedaan orientasi ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan sengketa, terhadap sengketa tersebut tentunya memerlukan penyelesaian yang memadai, baik secara administratif maupun secara yuridis. Dalam hal penyelesaian secara administratif menemui jalan buntu, maka opsi penyelesaian yuridis melalui upaya banding di peradilan pajak. Perbedaan pendapat tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya sengketa pajak. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740, selanjutnya disebut UU KUP) menjamin hak setiap Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan sampai dengan tingkat banding atas ketetapan pajak yang dikenakan terhadapnya, hal ini dikarenakan pada prosesnya peradilan bebas dari setiap pembatasan-pembatasan atau hasutan-hasutan secara langsung ataupun tidak langsung. Terlebih saat ini masih ada peluang untuk mengajukan peninjauan


(19)

kembali atas putusan banding ke Mahkamah Agung, yang tidak hanya berlaku untuk Wajib Pajak tetapi juga untuk pejabat pajak yang berwenang.

Definisi sengketa pajak sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189, selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) Pasal 1 angka 5 menjelaskan bahwa,

“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”

Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya di sebut BPSP). Penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3684, selanjutnya disebut UU BPSP) banyak mengandung kelemahan, dimana dalam pelaksanaannya masih terdapat


(20)

ketidakpastian hukum yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan.

Dengan disahkannya UU Pengadilan Pajak sebagai pengadilan yang khusus menangani sengketa di bidang pajak dan merupakan penyempurnaan UU BPSP, maka terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam penyelesaian sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Fiskus. Salah satu alasan mengapa UU BPSP diubah antaralain adalah meminimalisasi ketidak pastian hukum yang dapat menimbulkan ketidak-adilan.4

Menurut Pasal 12 ayat (1) UU KUP, setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Yang dimaksud Surat Ketetapan Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU KUP adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Kadangkala terjadi selisih perhitungan pajak yang terutang menurut wajib pajak dan pihak kantor pelayanan pajak. Namun, kalau wajib pajak yakin pembukuan sudah benar dan penerapan pajaknya juga sudah benar, Surat Ketetapan Pajak (SKP) bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada jalan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Pertama, menempuh jalur keberatan.

4 Gunawan Pribadi, 2014, UU Pengadilan Pajak sebagai Penyempurna UU BPSP,


(21)

Keberatan merupakan hak bagi wajib pajak yang dijamin oleh undang-undang perpajakan, dan itu merupakan pilihan.5 Hak keberatan juga diberikan kepada wajib pajak terkait pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Pengajuan keberatan harus memenuhi syarat formal dan material agar dapat diterima atau dikabulkan.6 Syarat formal menyangkut aspek formalitas pengajuan dan banding sesuai keberatan UU KUP, sedangkan syarat material sengketa, yaitu penetapan SKP atau penerapan ketentuan pajak yang tidak disetujui oleh wajib pajak.

Syarat formal akan terlebih dahulu disetujui dan sangat menentukan hasil akhir. Apabila syarat formal tidak terpenuhi oleh wajib pajak, maka permohonan keberatan atau banding pasti ditolak dan hak wajib pajak terbuang sia-sia.7 Bila formalitas keberatan terpenuhi, baru materi sengketa ditelaah. Selanjutnya keberatan akan dikabulkan atau ditolak tergantung bukti dan pembuktian kedua belah pihak. Perlu diperhatikan pula, meskipun bukan merupakan syarat utama, pemenuhan aspek formalitas oleh wajib pajak saat pemeriksaan pajak, bahkan pemenuhan kewajiban Surat Pemberitahuan (SPT) juga mempengaruhi hasil putusan keberatan.8

Terhadap adanya keberatan wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan diajukan dalam jangka

5 Fidel, 2014, Tax Law: Proses Beracara di Pengadilan Pajak dan Peradilan Umum, PT

Carofin Media, Jakarta, h. 28.

6Ibid. 7Ibid. 8Ibid.


(22)

waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak secara tertulis. Keberatan diajukan dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. Kemudian berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sudah harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Jika jangka waktu telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Tata cara pengajuan keberatan dan penyelesaian diatur lebih lanjut melalui Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dan jika wajib pajak tidak puas dengan keputusan Dirjen Pajak atas keberatan yang diajukan, wajib pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa banding maupun gugatan kepada pengadilan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP.

Pada dasarnya pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, setelah Pengadilan Pajak menjatuhkan putusan terhadap upaya hukum banding maupun gugatan yang diajukan oleh wajib pajak, namun wajib pajak masih tetap tidak puas dengan putusan


(23)

tersebut maka wajib pajak hanya dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Pengadilan Pajak.

Penyelesaian sengketa pajak seharusnya mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa serta dapat dilakukan melalui prosedur dan proses yang cepat, transparan, biaya ringan dan sederhana. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) juga mengamanatkan bahwa peradilan seharusnya dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan satu kasus pajak. Ada yang bisa selesai sampai proses keberatan saja, atau berlanjut ke proses banding, bahkan sampai peninjauan kembali. Masing-masing proses juga memakan waktu yang cukup lama, paling cepat selama satu tahun, dan jika dihitung sampai ke proses banding, bisa membutuhkan waktu tiga tahun lamanya.9 Berikut adalah tabel jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak sejak didirikan pada tahun 2002:10

9 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa

Pajak, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.

10 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2011, Jumlah Perkara di Pengadilan Pajak Meningkat,


(24)

Gambar 1: Tabel jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak Jakarta sejak didirikan pada tahun 2002.

Tahun Perkara Yang Masuk Perkara Yang Diselesaikan

2002 2.120 1.288

2009 14.473 4.650

2013 16.000 6.000

2014 10.866 8.845

Menurut Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi (PKE) Budi Christiadi, jika kasus pajak bisa diselesaikan tanpa proses hukum berbelit dan panjang tentu akan mempermudah Ditjen Pajak dalam menyelesaikan persoalan. Selain itu juga dapat memberikan pelayanan ke wajib pajak dalam proses penyelesaian sengketa dengan lebih cepat.11

Proses hukum panjang yang berujung pada adanya penumpukan perkara di pengadilan pajak menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas upaya hukum keberatan itu sendiri dalam penyelesaian sengketa di bidang pajak. Sebagai upaya hukum yang pertama kali ditempuh oleh wajib pajak dalam menyelesaikan sengketa pajaknya, sebaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP, upaya hukum keberatan seharusnya dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak tanpa

11

Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa


(25)

harus dilanjutkan ke lembaga Pengadilan Pajak. Upaya hukum keberatan yang efektif juga seharusnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada setiap wajib pajak. Tidak efektifnya upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa pajak juga dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat, baik berupa ketentuan peraturan perundang-undangannya, aparat penegak hukumnya, maupun budaya dari masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis dalam penulisan penelitian ini mengangkat judul “Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali?

2. Hambatan-hambatan apa yang timbul serta bagaimana solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali?


(26)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam Usulan Penelitian ini diperlukan ruang lingkup permasalahan untuk membatasi pembahasan guna menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari topik yang dibahas. Adapun ruang lingkup masalah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a.Terkait rumusan masalah yang pertama dibahas mengenai efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. b. Terkait rumusan masalah yang kedua dibahas mengenai

hambatan yang timbul serta solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penelitian Hukum dengan judul “Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan” merupakan hasil karya asli penulis. Sejauh observasi yang penulis lakukan baik di ruang koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun di internet, tidak terdapat penelitian yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan baik di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga di suatu perguruan tinggi manapun kecuali yang secara tertulis diacu dalam penulisan penelitian ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.


(27)

Untuk penelitian yang serupa dengan penelitian yang diajukan, ditulis oleh Putu Riyani Kartika Sari, 2014, Universitas Udayana, Denpasar, dengan judul skripsi “Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan bagi Sengketa Hak Kekayaan Intelektual di Propinsi Bali”. Skripsi ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu:

1. Mengapa mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan penting untuk diterapkan dalam menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan Intelektual?

2. Bagaimanakah presisi mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan Intelektual di Propinsi Bali dan faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual?

Selain itu terdapat juga penelitian yang ditulis oleh Ayu Komang Sari Merta Dewi, 2014, Universitas Udayana, Denpasar, dengan judul skripsi “Efektivitas Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Mediasi pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Denpasar”. Skripsi ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu, efektivitas penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Denpasar dan akibat hukum dari penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Konsumen Kota Denpasar.


(28)

Dari kedua judul penelitian sebagaimana yang telah dijabarkan diatas tidak ditemukan kesamaan baik dari segi judul, rumusan masalah maupun lokasi penelitian.

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan.

1.5.2Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dari usulan penelitian ini meliputi:

1. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul serta solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.


(29)

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan hukum formil khususnya dalam hal pemahaman mengenai penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan.

1.6.2Manfaat Praktis

Manfaat Praktis yang diharapkan dari penelitian ini yakni agar penelitian ini dapat memberikan informasi terkait kondisi yang nyata di masyarakat dalam hal penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan serta memberikan kontribusi dan solusi bagi masyarakat yang sedang mengalami sengketa perpajakan.

1.7 Landasan Teoritis

Adapun landasan teoritis yang berkaitan dan digunakan untuk membahas rumusan masalah dalam penelitian mengenai Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan adalah teori yang berkaitan dengan asas-asas hukum acara peradilan pajak dan sengketa pajak, upaya hukum dalam penyelesaian sengketa perpajakan, teori tentang penegakan hukum serta teori tentang efektivitas hukum.


(30)

1.7.1Teori tentang Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Pajak

Hukum acara peradilan pajak tidak berbeda dengan hukum acara lainnya yang diberlakukan, karena memiliki asas-asas hukum sebagai pedoman untuk menciptakan norma hukum atau kaidah hukum.12 Asas-asas hukum merupakan suatu sarana yang menyebabkan hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana perkembangan hukum pajak akhir-akhir ini. Satjipto Rahardjo mengatakan13 apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan

mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur yang paling penting dan pokok dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.14

Berpatokan pada undang-undang yang berkaitan dengan perpajakan yang berlaku maka asas-asas hukum yang diberlakukan atau diterapkan dalam hukum acara peradilan pajak, antara lain:

a. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas;

12 Muhammad Djafar Saidi, 2013, Hukum Acara Peradilan Pajak, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 7.

13 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, h. 45.


(31)

b. Pengadilan sebagai instrumen terakhir untuk mendapatkan perlindungan hukum;

c. Objektivitas;

d. Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan;

e. Kesatuan beracara dalam sengketa atau perkara yang sejenis; f. Praduga rechmatig;

g. Pencegahan untuk tidak menunda penagihan pajak; h. Ne bis in idem;

i. Sidang terbuka untuk umum; j. Hakim wajib aktif;

k. Kesamaan di hadapan lembaga peradilan; l. Satu saksi bukan saksi;

m. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15

Asas-asas hukum memiliki fungsi yang bersifat universal dan mengayomi kaidah hukum yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Tidak boleh dianggap bahwa asas-asas hukum acara peradilan pajak hanya untuk kepentingan hukum pajak, khususnya pada pembentukan kaidah hukum dalam kerangka penegakan hukum pajak.16 Asas-asas hukum pajak bersifat sangat fleksibel yang berfungsi sebagai pedoman untuk menegakkan hukum pajak secara utuh dan menyeluruh dalam kerangka mengisi kekosongan hukum pajak.

15

Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 8.

16


(32)

1.7.2Teori tentang Upaya Hukum

Dalam UU Pengadilan Pajak dikenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa yaitu keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan keberatan dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi dikarenakan wajib pajak merasa kurang atau tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya, maupun atas pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. Maka dalam hal ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan.

Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat Lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan fiskus yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan upaya hukum biasa.17

Pengadilan Pajak dalam menangani masalah gugatan kompetensinya diperluas sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU KUP. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak, gugatan

17

Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam


(33)

dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.18 Bagi pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, terhadap putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali oleh pihak-pihak yang bersengketa ke Mahkamah Agung berdasarkan alasan tertentu yang diatur dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak.

1.7.3Teori tentang Penegakan Hukum

Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi dengan sesama sehingga memerlukan aturan untuk menjaga perilaku para pihak agar tidak terjadi gesekan antar individu selama berinteraksi di masyarakat. Dalam rangka menjaga ketentraman dan kedamaian di masyarakat selama berinteraksi, maka aturan atau norma-norma yang ada harus ditegakkan. Arti dari penegakan hukum di masyarakat terletak pada penyerasian hubugan antara nilai yang ada dalam kaidah atau norma dengan realisasi atau penerapan dalam tindakan sebagai penjabaran nilai tersebut untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan.19 Dengan demikian

18

Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, 2002, dalam Makalah

Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”, Jakarta,

hlm.2

19 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


(34)

secara konsepsional penegakan hukum berkisar dalam hal penerapan kaidah atau norma sebagai pedoman bagi prilaku yang dianggap pantas aau yang seharusnya yang mana ditujukan untuk memelihara kedamaian.

Kemudian penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum.20 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam

rangka penegakan hukum identik dengan penerapan hukum di masyarakat yang mana amat dipengaruhi berbagai faktor untuk dapat terselenggaranya penegakan hukum yang baik. Oleh karena itu dalam hal penegakan hukum di masyarakat sering kali dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Faktor hukumnya sendiri yakni yang berkaitan dengan undang-undang;

b. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk atau menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yakni fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan;


(35)

e. Faktor kebudayaan yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang dirasakan manusia dalam pergaulan hidup.21

1.7.4Teori tentang Efektivitas Hukum

Efektivitas Hukum artinya bahwa seseorang atau masyarakat benar-benar berbuat sesuai dengan ketentuan norma-norma hukum sebagaimana yang harus mereka perbuat dalam norma-norma hukum tersebut dan bahwa norma hukum tersebut benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Menurut L.J. Van Apeldorn, Efektivitas Hukum berarti keberhasilan, kemajemukan, atau kemujaraban hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.22 Penerapan hukum di masyarakat dalam berbagai teori ditujukan sebagai alat untuk mengubah masyarakat serta mendukung pembagunan. Sebagai sarana pengubah masyarakat terdapat beberapa kondisi yang diperhatikan agar hukum dapat digunakan sebagai sarana pengubah masyarakat antara lain:

a. Hukum merupakan aturan umum yang tetap, bukan aturan yang bersifat ad-hoc;

b. Hukum harus jelas dan diketahui oleh warga masyarakat yang kepentingannya diatur;

c. Dalam penerapan hukum sebaiknya dihindari penerapan peraturan yang bersifat retroaktif;

21Ibid., h. 8.

22


(36)

d. Hukum harus dimengerti oleh umum; e. Tidak ada konflik peraturan;

f. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga masyarakan untuk mematuhi;

g. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan pada hukum karena masyarakat dapat kehilangan pegangan bagi kegiatannya;

h. Adanya korelasi antara hukum dengan penerapannya.23

Suatu kaidah hukum yang diterapkan di masyarakat agar dapat berlaku efektif harus memenuhi dua syarat utama yakni:

1. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan;

2. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat.24

Dalam rangka penerapan atau pemberlakuan hukum yang baik di masyarakat perlu memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan hukum itu sendiri yakni faktor yuridis, filosofis dan sosiologis. Secara yuridis, hukum berlaku apabila hukum tersebut dibentuk melalui proses tertentu oleh Badan atau lembaga negara yang berwenang. Secara filosofis, hukum yang berlaku di masyarakat sesuai dengan cita-cita hukum dari masyarakat. Secara

23

Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed.I-Cet.XVI, RajaGrafindo,

Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 148.

24

Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana,


(37)

sosiologis, hukum yang berlaku di masyarakat apabila hukum tersebut dapat diakui, ditaati oleh masyarakat meskipun diterima atau tidak.25

Berbicara mengenai hukum yang berlaku di masyarakat (efektivitas hukum) menurut Laurence M. Freidman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Perspective

menyebutkan bahwa suatu sistem hukum tersusun atas tiga perangkat yakni struktur hukum (lembaga hukum); substansi hukum (peraturan perundang-undangan); dan kultur atau budaya hukum.26 Dengan

demikian untuk melihat bahwa hukum tersebut berlaku secara efektif atau tidak di masyarakat maka dapat tolak ukurnya dapat kita lihat dari penerapan ketiga unsur dari sistem hukum tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing disesuaikan dengan kebutuhan di masyarakat.

1.8 Metode Penelitian 1.8.1Jenis Penelitian

Penulisan Skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.

25

Soerjono Soekanto II, Op.cit., h. 171.


(38)

Dalam konteks penelitian terhadap efektivitas hukum dibahas mengenai bagaimana hukum tersebut diterapkan dan beroperasi dalam masyarakakat.27 Dalam konteks efektivitas hukum diteliti bahwa

hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses penerapan hukum di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan

das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta

hukum. Senada dengan hal tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa penelitian hukum non doctrinal merupakan

penelitian yang berupa studi empiris untuk menemukan teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.28

1.8.2Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis pendekatan yakni:

a. Pendekatan Perundang-undangan b. Pendekatan Fakta

c. Pendekatan Analisis Konsep Hukum d. Pendekatan Kasus

27 Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31.

28 Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,


(39)

Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma/kaidah hukum dalam hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan.

Pendekatan Fakta adalah pendekatan dengan mendasarkan pada fakta-fakta yang didapat dari data-data yang ada di lapangan terutama berkaitan dengan pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

Kemudian pendekatan analisis konsep hukum dimaksudkan untuk memahami konsep-konsep yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab rumusan masalah terkait hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

1.8.3Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini bersifat eksploratif dimana dalam penelitian ini mengeksplorasi mengenai penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan di masyarakat, pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan serta hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian


(40)

sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

1.8.4Sumber Data

Sumber data dalam penelitian hukum empiris didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Data primer atau dikenal juga dengan nama data dasar adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.29 Adapun data Primer berdasarkan atas data diperoleh di masyarakat yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas dengan kondisi yang ada di masyarakat. Data ini diperoleh dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan yang akan dilakukan di Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali baik berupa hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung.

Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.30 Dalam penelitian ini data sekunder bersumber

dari bahan-bahan pustaka dalam bentuk bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Adapun beberapa bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai data sekunder dibedakan menjadi tiga, yakni:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat, seperti Peraturan Perundang-undangan. Adapun

29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif, Cet.XV, Raja

Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III) h. 12.


(41)

peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

- Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

- Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.

2. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian hukum; hasil karya ilmiah, literatur-literatur yang ditulis para ahli yang relevan dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, kamus hukum, bahan dari internet.

1.8.5Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain menggunakan Teknik Wawancara (interview) dan Teknik Studi Dokumen. Adapun Teknik Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data primer yang akan dilakukan dengan melakukan


(42)

wawancara terhadap beberapa staf di Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. Sedangkan teknik studi dokumen yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder sebagaimana yang telah dijabarkan diatas.

1.8.6Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Dalam pengolahan dan analisis data secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang diperoleh di lapangan dengan permasalahan terkait. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif maka data yang diperoleh akan disajikan dengan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hal tersebut dimaksudkan dengan menganalisis data yang didapat dikaitkan dengan teori-teori dalam landasan teoritis kemudian disajikan secara mendetail dan tersusun untuk merampungkan tulisan ini.


(43)

28

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

2.1. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak

2.1.1. Dasar Hukum Upaya Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak

Payung hukum dari upaya hukum keberatan adalah UU KUP, yang kemudian diatur secara khusus melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268, selanjutnya disebut PP Nomor 74 Tahun 2011). Selain itu Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/Pmk.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, selanjutnya disebut PMK Nomor 9 Tahun 2013) juga mengatur secara khusus mengenai upaya hukum keberatan serta cara penyelesaiannya.

Dalam UU KUP, terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai upaya hukum keberatan, yaitu Pasal 25 yang menjelaskan


(44)

mengenai ruang lingkup dari upaya hukum keberatan dan tata cara pengajuan upaya hukum keberatan, Pasal 26 yang menjelaskan mengenai keputusan keberatan, dan Pasal 26A yang menjelaskan bahwa tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan yang kemudian diatur berdasarkan PMK Nomor 9 Tahun 2013, antara lain mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan haknya, proses keberatan tetap dapat diselesaikan.

Selain melalui PMK Nomor 9 Tahun 2013, dasar hukum dari upaya keberatan dalam penyelesaian sengketa pajak juga diatur secara khusus melalui PP Nomor 74 Tahun 2011, khususnya dalam Bab IV tentang Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, Pembatalan dan Gugatan. Tetapi mengenai upaya hukum keberatan dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 33.

2.1.2. Pengertian Upaya Hukum Keberatan

Perihal keberatan perlu dipahami karena proses awal yang harus ditempuh jika terjadi persengketaan di bidang pajak untuk pengajuan banding adalah upaya keberatan. Artinya, sebelum seseorang wajib pajak atau penanggung pajak ke Pengadilan Pajak


(45)

untuk mengajukan upaya hukum banding, ia terlebih dahulu melakukan upaya keberatan ini.31 Kemudian, apabila putusan upaya keberatan ini ternyata tidak memuaskan wajib pajak atau penanggung pajak, pengajuan banding ke Pengadilan Pajak perlu dilakukan.

Upaya keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak sebagai akibat dari adanya perbedaan penafsiran dan pendirian mengenai ketentuan hukum di bidang pajak terhadap suatu kasus tertentu.32 Perbedaan ini terjadi antara wajib pajak atau penanggung pajak dan Direktur Jenderal Pajak dan jajarannya atas penetapan utang pajak untuk jenis Pajak Pusat yang pengelolaannya menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak. Perbedaan persepsi juga dapat terjadi antara wajib pajak dan Kepada Daerah/Kepada Dinas Pendapatan Daerah dan jajarannya di daerah (baik propinsi maupun kebupaten/kota) atas penetapan besarnya utang pajak untuk pajak daerah. Atau dapat pula terjadi perbedaan penafsiran antara wajib pajak dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan jajarannya atas penerapan bea masuk, bea keluar, cukai, dan sanksi administrasi.

Pada hakikatnya, keberatan merupakan upaya hukum biasa yang berada diluar Pengadilan Pajak yang diperuntukkan untuk

31 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, PT

Gramedia, Jakarta, h. 27. (Selanjutnya disebut Sri Pudyatmoko I)


(46)

memohon keadilan terhadap kerugian bagi wajib pajak.33 Oleh

karena wajib pajak tidak melakukan perbuatan hukum atau melakukan perbuatan, tetapi terjadi pelanggaran hukum pajak. Demikian pula terhadap pemotongan pajak atau pemungut pajak dalam kerangka menegakkan hukum pajak ternyata melakukan pelanggaran hukum pajak, karena tidak memenuhi kewajiban hukum yang melekat pada dirinya sebagai pemotong pajak atau pemungut pajak. Sebaliknya, pemotong pajak atau pemungut pajak berhak mengajukan keberatan tatkala mengalami kerugian atas tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam bentuk keberatan.

Keberatan bukan merupakan kewajiban melainkan hak yang diberikan oleh hukum pajak kepada wajib pajak sebagai upaya untuk mendapatkan atau memperoleh perlindungan hukum melalui lembaga keberatan.34 Sebagai suatu hak, penggunaan keberatan

tergantung pada kehendak atau kemauan wajib pajak untuk menggunakan atau tidak hak tersebut karena tidak ada sanksi hukum yang boleh dikenakan bilamana tidak menggunakan upaya keberatan. Keberatan tidak boleh disalahgunakan oleh wajib pajak dalam kaitannya untuk memperoleh keadilan atas kerugian yang dialaminya. Hal ini didasarkan bahwa penggunaan hak untuk mengajukan keberatan, terlebih dahulu wajib diataati persyaratan yang ditentukan oleh UU KUP karena undang-undang ini mengatur

33 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 43.


(47)

tentang substansi keberatan.35 Tujuannya agar penggunaan keberatan

oleh wajib pajak tepat pada sasarannya berupa memperoleh keadilan dalam penyelesaian sengketa pajak, baik terhadap pajak negara maupun pajak daerah. Dengan demikian, wajib diperhatikan dan dipenuhi persyaratan pengajuan keberatan sehingga dapat dikabulkan substansi tuntutan yang terkandung dalam keberatan yang dimaksud.

Ketika terjadi pelanggaran hukum pajak di bidang pajak negara yang meliputi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah, keberatan diajukan kepada direktur jenderal pajak. Dalam arti, direktur jenderal pajak memiliki kewengan untuk memeriksa dan memutuskan keberatan tersebut.36 Akan tetapi, kewenangan direktur jenderal pajak telah dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, misalnya kepala kantor wilayah atau kepala kantor pelayanan pajak. Kemudian yang berhak mengajukan keberatan adalah wajib pajak. Hal ini secara tegas diatur pada Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang menegaskan bahwa, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.

Keberatan sebagai upaya hukum biasa dalam hukum acara peradilan pajak, tidak boleh diajukan kepada lembaga keberatan ketika tidak mempunyai objek yang diperselisihkan. Keberadaan

35Ibid. 36Ibid.


(48)

objek keberatan memberikan legalitas terhadap pihak-pihak yang bersengketa untuk dapat digunakan dalam kerangka memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum.37 Dasar hukum objek

sengketa bagi pajak negara diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang meliputi atas suatu,

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau

e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 25 ayat (1) UU KUP menegaskan, apabila wajib pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada direktur jenderal pajak. keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi ketetapan pajak, yaitu:

a. Jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. Jumlah besarnya pajak c. Pemotongan pajak, atau

37Ibid., h. 60.


(49)

d. Pemungutan pajak.

Hukum pajak memiliki karakteristik yang berbeda dengan hukum lainnya, misalnya hukum administrasi maupun hukum perdata. Walaupun berada dalam kapasitas sebagai hukum positif yang mengikat para pihak yang bersengketa, baik diluar maupun didalam lembaga peradilan berdasarkan kompetensi absolut masing-masing. Karakteristik yang dimiliki hukum pajak tertuju pada pihak yang bersengketa, baik pada lembaga keberatan maupun pada pengadilan pajak. Hal ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang memungkinkan terjadinya karakteristik tersebut, tetapi tidak boleh dikategorikan sebagai penyimpangan di bidang hukum pajak.38 Oleh karena itu, pihak yang bersengketa kadangkala berada dalam identitas yang sama dalam suatu sengketa pajak pada salah satu lembaga peradilan pajak, seperti yang terjadi di lembaga keberatan.

2.1.3. Surat Ketetapan Pajak sebagai Dasar Upaya Hukum Keberatan

Sistem Perpajakan yang dianut oleh Indonesia dan telah diundangkan adalah Self Asessment System, yang berarti suatu sistem

pemungutan pajak yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian penentuan besarnya pajak

38Ibid., h. 52.


(50)

yang terutang berada pada wajib pajak sendiri, sedangkan tugas aparatur perpajakan adalah melaksanakan pengendalian tugas, pembinaan, penelitian, pengawasan dan penetapan sanksi.39 Y. Sri

Pudyatmoko mengatakan bahwa sistem self assessment ini umumnya

diterapkan pada jenis pajak yang memandang wajib pajaknya cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri.40

Dalam rangka penerimaan negara melalui pajak tentu saja self assessment system harus diawasi agar wajib pajak menghitung dan/atau melaporkan pajak yang terutang dengan benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu ada instumen berupa berkas yang digunakan untuk menghitung dan menetapkan pajak tersebut. Intrumen yang dimaksud adalah Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.41

Setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan menandatangani serta menyampaikan ke

39 Djamaludidin Gede, 2002, Hukum Pajak, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, Jakarta, h. 32.

40 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak, Lembaga Penerbit Andi,

Yogyakarta, h. 145. (Selanjutnya disebut Sri Pudyatmoko II).


(51)

kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan. Sebagai salah satu bentuk diterapkannya self assement

system, dimana wajib pajak tidak lagi dilayani dan bersifat pasif,

melainkan sudah harus bersikap aktif, yang dalam hal ini bahkan mengambil sendiri blanko SPT tersebut di tempat yang ditetapkan. Blanko SPT yang telah diambil oleh wajib pajak itu harus diisi dengan lengkap, jelas dan benar.

Setelah SPT diisi, wajib pajak menandatangani SPT tersebut untuk kemudian menyampaikannya kembali ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan. SPT yang sudah diisi dapat dikembalikan secara langsung oleh wajib pajak atau disampaikan kembali melalui pos. kebenaran ini SPT sangat penting karena merupakan dasar penetapan utang pajak dari wajib pajak yang bersangkutan. oleh karena itu kesalahan dalam pengisian SPT yang menimbulkan kerugian negara di dalam undang-undang dianggap sebagai sebuah tindakan pidana.42

Untuk kepentingan tax compliance tersebut pemerintah

melakukan evaluasi SPT, setidaknya dalam hal:

a. Terdapat data dari pihak luar tentang ketidakbenaran SPT;

b. System score pengisian SPT mengindikasikan SPT tidak

benar;

42Ibid., h. 136.


(52)

c. Berdasarkan bank data pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak) menimbulkan pertanyaan bahwa SPT tidak benar;

d. SPT menetapkan lebih bayar.

Terhadap SPT yang akan dilakukan penetapan jumlah pajak yang terutang tersebut maka outputnya adalah surat ketetapan pajak

yang terdiri dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Tagihan Pajak. Ketatapan pajak sebagai suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak selaku pejabat administrasi negara dapat menimbulkan sengketa antara wajib pajak dan aparatur pajak, dan salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa ini adalah upaya hukum keberatan.

2.1.4. Prosedur Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak

Berikut adalah prosedur penyelesaian sengketa pajak melalui upaya hukum keberatan sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 9 Tahun 2013.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau


(53)

Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak. Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan. Keberatan diajukan oleh Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Keberatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 9 Tahun 2013, pengajuan keberatan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;

2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;

3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;


(54)

4. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak diterbitkan; atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga;

5. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan

6. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.

Pengajuan keberatan untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, memiliki ketentuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), namun terdapat tambahan dimana Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP. Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan tersebut, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7, Surat Keberatan yang tidak


(55)

memenuhi persyaratan tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.

Wajib Pajak kemudian menyampaikan Surat Keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan yang dapat dilakukan: 1. Secara langsung

2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau 3. Melalui cara lain.

Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir yang dilampiri dengan pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan dan formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan. Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan haknya untuk hadir maka sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (4), Wajib Pajak dibuat berita acara ketidakhadiran dan proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan atas keberatan yang diajukan diterbitkan berdasarkan laporan penelitian


(56)

keberatan, yang dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar yang dituangkan dalam Surat Keputusan Keberatan.

2.2. Tinjauan Umum tentang Sengketa Pajak dan Peradilan Pajak 2.2.1. Dasar Hukum Pengadilan Pajak

Pengadilan pajak berbeda dengan pengadilan lainnya. Banyak perbedaan yang mendasar, misalnya administrasinya masih berada dibawah kewenangan Departemen Keuangan, serta hakimnya pun masih bersifat hakim ad hoc.43 Pengadilan pajak merupakan

pengadilan yang khusus bertugas menyelesaikan sengketa pajak yang timbul dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan, dengan mengutamakan proses penyelesaian yang adil. Dalam melaksanakan operasionalnya, pembentukan pengadilan pajak yaitu berdasar pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. UU Pengadilan Pajak mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).

43Ibid., h. 99.


(57)

UU Pengadilan Pajak dibentuk dan disusun berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, diantaranya:44

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berarti keberadaan Pengadilan Pajak tidak bisa keluar dari kerangka pelaksanaan kehakiman bagi pencari keadilan di bidang perpajakan termasuk bea dan cukai.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Digunakannya UU Mahkamah Agung sebagai landasan pembentukkan Pengadilan Pajak menunjukkan bahwa Pengadilan Pajak termasuk badan peradilan yang berada dalam pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung sebagai instansi tertinggi jajaran peradilan di Indonesia.

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada Pasal 27 UU KUP ini mengamanatkan dibentuknya Badan Peradilan Pajak. UU KUP adalan undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan formal dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU PPh dan UU PPn.

44Ibid.


(58)

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.

7. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan adanya landasan dari berbagai undang-undang tersebut, maka tentunya cakupan operasional pekerjaan yang dilakukan di Pengadilan Pajak bukan hanya masalah perpajakan saja, namun juga dalam hal pajak pusat, pajak daerah, bea dan cukai dan pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Dengan demikian masyarakat yang menginginkan keadilan terkait dapat bersidang di Pengadilan Pajak.


(59)

2.2.2. Pengertian Sengketa Pajak dan Peradilan Pajak

Dalam menjalankan kegiatan usaha (bisnis) sehari-hari, para pengusaha tentu tidak terlepas dan pengawasan aparatur pemerintah sesuai bidang usaha atau pekerjaannya masing-masing. Demikian juga aparatur pajak (fiskus) tentu akan mengawasi semua pengusaha (termasuk orang pribadi) khususnya pengawasan dalam rangka pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU KUP. Sebagai produk akhir dari pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) atau kurang bayar tambahan (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT), lebih bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Dari ketiga kondisi ketetapan pajak tersebut yang paling tidak disukai oleh wajib Pajak adalah kondisi kurang bayar, karena Wajib Pajak harus membayar kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya terutang berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, padahal Wajib Pajak sudah merasa benar ketika menyampaikan laporan perpajakannya setiap bulan atau setiap tahun ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Surat ketetapan pajak yang kurang bayar inilah yang sering kali menimbulkan sengketa atau perselisihan antara Wajib Pajak


(60)

dengan fiskus (aparatur pajak pemeriksa pajak). Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini bisa terjadi apabila fiskus menertibkan SK.PLB dengan nilai lebih kecil dan nilai SKPLB yang diharapkan Wajib Pajak.

Dengan demikian, maka upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa yang dapat dilakukan oleh wajib Pajak adalah keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal pajak. Sedangkan upaya hukum banding dan gugatan diajukan ke Pengadilan Pajak. Khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung.

Pengertian sengketa pajak diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan Pajak bukan dalam UU KUP yang sebenarnya merupakan payung hukum (kaderwet) bagi peraturan

perundang-undangan di bidang perpajakan. Adapun pengertian sengketa pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Peradilan Pajak adalah,

“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”


(61)

Berdasarkan pengertian sengketa pajak tersebut, ternyata hanya tertuju kepada upaya hukum banding dan upaya hukum gugatan sebagai kewenangan absolut pengadilan pajak. Sengketa pajak dalam bentuk banding dan gugatan hanya merupakan sengketa pajak dalam arti sempit karena masih ada sengketa pajak yang tidak termasuk didalamnya.45 Misalnya, sengketa pajak yang

penyelesaiannya melalui keberatan sebagai upaya hukum biasa. Dengan demikian, sengketa pajak dalam arti luas meliputi sengketa pajak yang diajukan dalam bentuk keberatan, banding, dan gugatan pada lembaga peradilan pajak.

Muhammad Djafar Saidi memberi pengertian sengketa pajak sebagai perselisihan antara pembayar pajak, pemotong pajak, atau pemungut pajak dengan pejabat pajak, ataukah pembayar pajak dengan pemotong pajak atau pemungut pajak.46 Sementara yang

menjadi objek sengketa pajak adalah penerapan undang-undang pajak yang tidak sesuai dengan kaidah hukum pajak sehingga menimbulkan kerugian, baik terhadap pembayar pajak, pemotong pajak, atau pemungut pajak.

Mengenai timbulnya sengketa pajak, berintikan pada dua hal yang sangat prinsipil.47 Pertama, tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan oleh kaidah hukum pajak. Kedua,

45 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 28.

46Ibid., h. 29. 47Ibid., h. 30.


(62)

melakukan perbuatan hukum, tetapi tidak sesuai dengan kaidah hukum pajak. Pihak-phak yang terkait dengan timbulnya sengketa pajak adalah wajib pajak, pemotong pajak atau pemungut pajak, penanggung pajak, dan pejabat pajak. Pihak-pihak tersebut adalah sumber timbulnya sengketa pajak karena kurangnya kesadaran hukum dalam pelaksanaan atau penegakan hukum pajak.

Waktu berakhirnya sengketa pajak merupakan kajian hukum pajak sebagai hukum positif. Sebenarnya sengketa pajak berakhir ditentukan oleh instrumen hukum yang terdapat dalam hukum pajak.48 Inisiatif untuk menyelesaikan sengketa pajak lebih besar datang dari pejabat pajak dibandingkan dengan wajib pajak. Dalam arti, wajib pajak hanya bersifat pasif sehingga pejabat pajak harus berinisiatif melakukan penagihan pajak dengan menggunakan instrumen hukum yang disediakan. Instrumen hukum pajak yang dapat digunakan bagi pejabat pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak adalah:

1. Surat ketetapan pajak;

2. Surat ketetapan pajak kurang bayar;

3. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan; 4. Surat ketetapan pajak lebih bayar;

5. Surat ketetapan pajak nihil; 6. Surat tagihan pajak;

48Ibid., h. 37.


(63)

7. Surat paksa;

8. Surat keputusan keberatan; 9. Putusan banding;

10.Putusan gugatan; dan

11.Putusan peninjauan kembali.

Sengketa pajak tidak hanya boleh diselesaikan di luar lembaga peradilan pajak, tetapi dapat pula dilakukan pada saat berlangsungnya pemeriksaan sengketa pajak dalam lembaga peradilan pajak.49 Hal ini disebabkan karena terdapat kaidah hukum pajak yang membuka peluang untuk itu, tetapi bukan merupakan perbuatan melanggar hukum pajak. Berakhirnya sengketa pajak selama dalam pemeriksaan sebelum diputuskan melalui lembaga peradilan pajak bukan merupakan pelanggaran hukum pajak, bahkan menguntungkan dari aspek penegakkan hukum pajak. Oleh karena tujuan penegakkan hukum pajak adalah menyelesaikan sengketa pajak tanpa melakukan pelanggaran hukum pajak dan memberikan perlindungan hukum kepada wajib pajak.50

Sengketa pajak mengenal adanya sengketa yang terjadi karena menurut fiskus apa yang diberitahukan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau perhitungannya berseberangan dengan ketentuan seperti yang telah diatur dalam akuntansi perpajakan. Pelanggaran atau kesalahan tersebut dapat dibagi

49Ibid., h. 39. 50Ibid., h. 40.


(1)

Berbeda dengan kompetensi absolut yang menghadapkan

kewenangan mengadili dari suatu pengadilan dengan kewenangan

mengadili dari pengadilan dari lingkungan peradilan lain, maka

kompetensi relatif menyangkut kewenangan mengadili suatu

lembagaa pengadilan terhadap kewenangan mengadili pengadilan

dari lingkungan peradilan yang sama dengan wilayah hukum yang

berbeda. Dalam kaitan dengan hal tersebut, kedudukan dan wilayah

hukum dari sebuah lembaga pengadilan memegang peranan yang

sangat penting. Untuk pengadilan pajak sendiri mengenai hal ini

diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Pengadilan Pajak. Dari

ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan Pengadilan Pajak

adalah di ibukota Negara (Jakarta). Dengan demikian tidak ada

Pengadilan Pajak di daerah. Pengadilan Pajak tidak mengenal sistem

pengadilan tingkat I dan pengadilan banding. Hal tersebut secara

eksplisit diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU Pengadilan Pajak yang

menjelaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat

pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.

Sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas

sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Oleh

karenanya putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke

Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lainnya, kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang menyangkut kewenangan/kompetensi. Hanya saja memang ada


(2)

kemungkinan bagi sengketa pajak tertentu untuk diajukan upaya

hukum luar biasa untuk upaya peninjauan kembali oleh Mahkamah

Agung.

2.2.3. Fungsi dan Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak

Pasal 2 UU Pengadilan Pajak menyatakan bahwa, Pengadilan

Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan

kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung jawab yang mencari

keadilan dalam sengketa pajak. Pengadilan Pajak juga merupakan

suatu badan peradilan tingkat banding yang berfungsi khusus

menyelesaikan perkara atau sengketa di bidang perpajakan dalam

kerangka pelaksaan kekuasaan kehakiman.56

Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan yang berada

dibawah Mahkamah Agung, namun administrasinya dilakukan oleh

Departemen Keuangan. Keterkaitan operasional dengan Mahkamah

Agung diatur dalam Pasal 5 UU Pengadilan Pajak, dimana

pembinaan teknis bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah

Agung. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Pajak adalah sebuah

peradilan di bidang perpajakan yang telah memenuhi persyaratan

untuk disebut sebagai peradilan murni tidak seperti badan peradilan

pajak yang sebelumnya.

Fungsi yang dilakukan Pengadilan Pajak adalah untuk

bertindak sebagai institusi yang dapat melindungi kepentingan wajib

56 Fidel, Op.cit., h. 100.


(3)

pajak terhadap kesewenangan Direktorat Jenderal Pajak khususnya

dan pihak pemerintah pada umumnya.57 Dengan demikian pengertian

pelaksanaan pekerjaan yang di emban Pengadilan Pajak sangatlah

luas. Di Indonesia tempat kedudukan Pengadilan Pajak berada di

Jakarta. Namun, dikarenakan banding masalah perpajakan, bea cukai

begitu banyak, maka pelaksanaan persidangan Pengadilan Pajak itu

dapat dilakukan di daerah, misalnya di Yogyakarta maupun di

Makassar.

2.2.4. Tugas dan Wewenang Pengadilan Pajak

Pengadilan Pajak mempunya tugas dan wewenang

memeriksa dan memutus sengketa pajak yang timbul dalam bidang

perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat

pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan

yang dapat diajukan banding kepada pengadilan pajak berdasarkan

undang-undang perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan

penagih berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat

pajak.

Dalam sengketa pajak yang dijadikan objek pemeriksaan

adalah sengketa yang dikemukakan pemohon banding dalam

permohonan keberatan yang seharusnya diperhitungkan dan

diputuskan dalam keputusan keberatan. Selain itu pengadilan pajak

dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atau

57Ibid.


(4)

keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang

sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait,

dengan demikian dalam hal banding, pengadilan pajak hanya

memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali

ditentukan lain oleh undang-undang.

Disisi lain yaitu mengenai gugatan, pengadilan pajak

memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak

atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat

(2) UU KUP yang mengatur masalah diajukannya gugatan antara

lain yaitu gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap

pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan

(SPMP) atau pengumuman lelang, keputusan pembetulan yang

berkaitan dengan surat tagihan pajak (Pasal 16 UU KUP) dan lain

sebagainya, dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang

berlaku.

Kewenangan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam

Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pengadilan Pajak, yaitu:

1. Dalam hal banding Pengadilan Pajak hanya berwenang

memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang

dikeluarkan oleh Dirjen Pajak, kecuali ditentukan lain oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu,

Pengadilan Pajak dapat pula memeriksa dan memutus


(5)

oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan

perundang-undangan yang terkait mengatur demikian, sebagaimana

dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) UU Pengadilan

Pajak;

2. Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan

memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, atau

keputusan pembetulan, atau keputusan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU KUP; dan

3. Pengadilan Pajak berwenang mengawasi kuasa hukum yang

memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang

bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pengadilan

Pajak di atas dapat disimpulkan bahwa, kewenangan Pengadilan

Pajak meliputi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pajak

(yaitu berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak

dalam hal banding dan gugatan) dan kewenangan dalam mengawasi

kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak

yang bersengketa pada Pengadilan Pajak.

Selanjutnya dalam hal hal gugatan, menurut Pasal 31 Ayat

(3) UU Pengadilan Pajak disebutkan bahwa Pengadilan Pajak

berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa atas

pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau


(6)

UU KUP dan keputusan lainnya menurut peraturan perpajakan yang

berlaku. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23

Ayat (2) UU KUP yang dapat menjadi obyek sengketa dalam hal

gugatan, yaitu:

1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan

Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;

2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan

perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan

Pasal 26; dan

4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan

yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata

cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan