Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelangga Han

Masa Lalu

ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2011

www.elsam .or.id www.elsam .or.id

editorial

04 M enggali Jalan Indonesia M enghadapi M asa Lalu

Masa lalu, ibarat bara dalam sekam, tak akan mati dan akan terus menghantui. Kalau tak kelam masa lalu, kenapa selama masa lalu seperti lorong yang gelap, terlalu banyak misteri yang tak mampu juga diklarifikasi kebenarannya.

laporan utama

5 - 14

M engurai Kembali Inisiatif Negara dalam Penyelesaian M asa Lalu

Presiden mengatakan bahwa sejumlah peristiwa pelanggaran HAM Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

yang berat tidak terjadi dalam masa pemerintahannya, sehingga (SBY) bahwa sejak tahun 2004 tidak ada pelanggaran

pemerintahan saat ini hanya memiliki tanggungjawab moral untuk HAM berat membuat korban dan keluarga korban

menyelesaikannya. Presiden malah memberikan pujian sepihak pelanggaran HAM kecewa. Hal itu dinilai keliru dan

bagi pemerintahannya, klaimnya, selama tujuh tahun kekuasannya, tidak sesuai fakta atau realitas yang ada.

tidak pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang serius. Semustinya Presiden SBY menyadari bahwa kasus- kasus pelanggaran HAM berat yang lalu belum ada satu pun yang dituntaskan melalui Pengadilan HAM ad

Jalan Berliku M eraih Keadilan

hoc karena tidak ada komitmen yang serius untuk mekanisme Pengadilan HAM belum mampu memberikan keadilan penuntasan.

kepada korban, dan kini seolah mandeg tanpa kelanjutan. (http://www.suarapembaruan.com) Sementara KKR juga belum juga terbentuk kembali. Kedua mekanisme tersebut seolah tak memberikan dampak kepada para koban, karena hak-hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan tak kunjung terpenuhi.

Kolom

M emetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM M asa Lalu

daerah

2 0 -21

Sejauh belum ada penyelesaian yang adil, tuntutan para korban dan

Luka Lama M asih M enganga pembela HAM akan terus mengemuka. Saat ini, tuntutan

penyelesaian tersebut tidak hanya semakin menguat, namun juga sembari menunjuk para pihak yang diidentifikasi sebagai

Masih ada korban yang belum mampu menghilangkan trauma akibat puluhan tahun didera konflik bersenjata.

penghambatnya.

Ada juga yang ingin agar negara secara resmi mengakui kesalahan sebagaimana dilakoni negeri beradab lainnya. Sebagian masih berharap agar

nasional

1 5 -17

negara bersedia memberikan mereka keadilan dan

M enanti Keadilan bagi

para pelaku dihukum setimpal. Tapi umumnya korban yang tergabung dalam organisasi-organisasi

Korban Pelanggaran HAM

masyarakat korban juga mendambakan agar peristiwa transisi kepemimpinan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi tragis dan mengenaskan yang mereka dan keluarga

pada awalnya memunculkan harapan bagi para korban dan alami, tidak dilupakan.

keluarga korban pelanggaran HAM untuk mencapai sebuah keadilan. Namun kenyataannya, upaya untuk mencapai keadilan tersebut seperti menemui jalan buntu. Semua pemimpin di masa

resensi reformasi gagal mewujudkan keadilan dan pemenuhan hak-hak

2 2 -2 3

bagi korban dan keluarganya.

Transaksi Kepentingan

1 8 -19 dalam Kinerja DPR

monitoring sidang

Nurani, M enggapai Keadilan

Resensi buku Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan

Sepanjang Hidup

HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR Nani Nurani, pada 1 Februari 2012 menjalani persidangan ke-VIII. RI Periode 2004-2009 Nurani menggugat Kepala Negara Republik Indonesia atas

tindakan yang telah dialami dirinya, baik di masa lampau hingga

profil elsam saat ini. Berupa tindakan diskriminatif, stigmatisasi, dan 24

kesewenang-wenangan dari pemerintah.

surat pembaca

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

www.elsam.or.id

Redaksional

Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum

Redaktur Pelaksana: Widiyanto

Dewan Redaksi: Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Otto Adi Yulianto, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman

Redaktur:

Duka Mendalam

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana

untuk Edison Robert Giay

Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien, Ester Rini Pratsnawati, Paijo

Sekretaris Redaksi:

Keluarga Besar ELSAM mengucapkan duka yang

Triana Dyah

sangat mendalam atas meninggalnya kawan, sahabat,

kaka tercinta Edyson Robert Giay, dalam kecelakaan

Sirkulasi/Distribusi:

Khumaedy

di Jayapura, Sabtu 14 Januari 2011. Semoga almarhum senantiasa mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

Desain & Tata Letak: alang-alang

Selamat jalan, Kaka Edi..

Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

ELSAM

(ELSAM) Penerbitan didukung oleh:

UNI EROPA

Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar

Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519

E-mail: office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id

Website: www.elsam.or.id.

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin

asasi@elsam.or.id

ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9

03

ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

04 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

editorial

M enggali Jalan Indonesia M enghadapi M asa Lalu

alam perbincangan pendek di suatu sore dengan salah seorang pelaku sejarah, saya terhenyak mendengar ungkapannya “Bangsa ini tidak memiliki kebanggaan

D pada sejarah bangsanya, karena masa lalu yang

kelam dan tak berani kita tatap”. “Ada yang mendasar yang hilang, yakni dignity, martabat sebagai bangsa yang terhormat,” lanjutnya tenang.

Selama beberapa saat, saya tercenung, mencoba menyelami kebenaran kata-kata tersebut, mencari kemungkinan adanya upaya mendramatisir

d a n m e l o d r a m a t i k a t a s n y a . Ta p i m e l i h a t kesungguhan uraiannya, sulit rasanya menampik kebenarannya. Kalau tak kelam masa lalu, kenapa selama masa lalu seperti lorong yang gelap, terlalu banyak misteri yang tak mampu juga diklarifikasi kebenarannya. Apalagi jika kita merujuk pada periode

35 tahun di bawah Orde Baru. Hanya satu narasi yang kita kenal, narasi yang keluar dari kantor Departemen Penerangan. Selebihnya adalah grundelan yang beredar melalui selebaran dan leaflet yang diedarkan dari tangan ke tangan. Meski cukup banyak beredar, bahkan hanya hantu bayangan kekejaman aparatus opresif orde baru sudah cukup membuatnya tak pernah mengemuka sebagai perbincangan publik dan tersimpan dalam diam. Cerita mengenai genangan merah sepanjang Kali Brantas, atau sungai di daerah Wedhi, Klaten, terus menjadi cerita dari mulut ke mulut, yang bagi generasi di awal tahun 2000 terdengar seperti 'gugon tuhon' sesuatu yang harus dipercaya meski secara nalar sulit dibuktikan. Meski setelah lengsernya Orde Baru, semakin banyak varian narasi mengenai berbagai peristiwa di masa lalu, tetap saja, sulit mendamaikan dan mencari satu simpul yang bisa menjadi rujukan bersama. Dalam situasi ini mestinya pemerintah, sebagai representasi dari Negara turun tangan, karena cuma di tangannyalah klaim 'resmi' dan formal, yang bersifat mengikat dapat ditemukan. Sayang negara tampak terus abai dan diam, tak terlihat geliat keberanian untuk menembus kebekuan. Mengutip ungkapan seorang politikus gaek, hanya “kreativitas politik” yang bisa memecah kebuntuan, dan untuk itu perlu “kualitas kenegarawanan” tertentu yang dapat mengampunya. Sayang figur semacam itu sepertinya sulit ditemukan dalam kepemimpinan formal saat ini.

Masa lalu, ibarat bara dalam sekam, tak akan mati dan akan terus menghantui. Oleh karenanya, di tengah absennya semua asumsi yang secara logis mendukung kelayakan politik mengurai kelamnya masa lalu; dan dilingkupi kelelahan yang sangat dari para korban yang terus tumbang karena usia, inisiatif dan ikhtiar untuk menggali jalan Indonesia menemukan kembali martabat dan kebanggaan atas sejarah bangsanya tak boleh padam. Menyitir Foucault, kuasa itu ada di mana-mana bukan karena ia melingkupi semuanya, tapi karena ia dapat berasal darimana saja. Karenanya tak ada modal yang terlalu kecil, untuk menciptakan momentum dan menggali jalan menghadapi masa lalu dan merebut kembali martabat kemanusiaan …

Indriaswati D. Saptaningrum Direktur Eksekutif ELSAM

ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

M engurai Kembali Inisiatif Negara dalam Penyelesaian M asa Lalu

Oleh Wahyudi Djafar

(Staf Pelaksana Program Bidang Pemantauan Kebijakan ELSAM)

aru-baru ini, pada sebuah pertemuan setelah keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak dengan sejumlah wartawan media massa, Asasi Manusia. UU ini memberikan mandat kepada Presiden Yudhoyono memberikan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan sekelumit tanggapan terkait dengan pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang di

komitmen negara dalam penyelesaian pelanggaran B dalamnya patut diduga telah terjadi pelanggaran hak

HAM masa lalu. Tanggapan ini muncul sebagai 1 asasi manusia. Berdasarkan mandat ini selanjutnya respon atas pertanyaan seorang wartawan, yang Komnas HAM membentuk sejumlah Komisi

mempertanyakan lambannya pemerintahan Penyelidik Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yudhoyono menyikapi persoalan pelanggaran HAM (KPP HAM), untuk melakukan penyelidikan atas masa lalu. Seperti biasa, jawaban Presiden dapat dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi dikatakan jauh dari memuaskan. Presiden SBY tidak manusia pada beberapa peristiwa, baik yang aktual menjelaskan secara detail mengenai langkah atau maupun yang terjadi di masa lalu. rencana konkrit yang akan ditempuh pemerintah.

KPP-HAM Timor Timur yang dibentuk guna Presiden justru terkesan cuci tangan.

menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur, Presiden mengatakan bahwa sejumlah jelang dan sesudah jajak pendapat, mengawali peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak terjadi wewenang baru Komnas HAM untuk melakukan dalam masa pemerintahannya, sehingga penyeledikan atas dugaan pelanggaran hak asasi pemerintahan saat ini hanya memiliki tanggungjawab manusia. Selain KPP-HAM Timor Timur, Komnas moral untuk menyelesaikannya. Presiden malah HAM juga membentuk KPP-HAM untuk beberapa memberikan pujian sepihak bagi pemerintahannya, peristiwa yang lain, antara lain KPP-HAM untuk klaimnya, selama tujuh tahun kekuasannya, tidak peristiwa Tanjung Priok 1984, tragedi Trisakti- pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang serius. Semanggi 1998, peristiwa Talang Sari 1989, peristiwa

Mengenai upaya penuntasan pelanggaran penghilangan paksa 1997-1998, dan KPP-HAM HAM masa lalu, beberapa inisiatif sebenarnya sudah untuk peristiwa 1965. dilakukan oleh negara. Sebagai awalan, pemerintahan Habibie pada 1998, telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa kerusuhan 13-

15 Mei 1998. Dalam laporannya, TGPF menyimpulkan adanya tindakan kejahatan hak asasi manusia dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Presiden Habibie juga mengeluarkan Keputusan Presidan (Keppres) No. 88 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Indepeden Pengusutan Tindak Kekekarasn di Aceh. Komisi ini dibentuk untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia selama penerapan daerah operasi militer (DOM), dan pembunuhan Teungku Bantaqiah.

Upaya untuk melakukan pengungkapan kembali kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu kian mendapatkan ruang Para pencari Keadilan atas pelanggaran HAM di negeri ini. Sumber: swatt-online.com.jpg

ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

Khusus untuk peristiwa pelanggaran HAM Menelusuri Kebijakan Penyelesaian Masa Lalu

yang terjadi di masa lalu, sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM selanjutnya Asasi Manusia, menjadi itikad pertama bangsa ini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan setelah tumbangnya pemerintah otoritarian, tentang dengan langkah penyidikan dan penuntutan. Selain pentingnya penghormatan terhadap hak asasi itu, hasil penyelidikan juga wajib diserahkan ke DPR manusia. Dalam kerangka penghormatan inilah, untuk dilakukan penelaahan, yang kemudian setiap terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia, ditindaklanjuti dengan keluarnya rekomendasi DPR haruslah diikuti dengan proses pertanggungjawaban tentang langkah-langkah yang harus ditempuh yang akuntabel, termasuk terhadap kasus yang pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, terjadi di masa lalu. Dalam rangka menjalankan khususnya perlu tidaknya pembentukan pengadilan mandat ketetapan MPR inilah kemudian lahir UU No.

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang Dari beberapa kasus yang sudah dilakukan salah satu bagiannya secara khusus mengatur penyelidikan pro-justisia oleh Komnas HAM, dua kelembagaan dan mandat Komnas HAM.

ad hoc hak asasi manusia.

diantaranya sudah disidangkan di Pengadilan HAM Pemerintahan Habibie mendapat desakan

ad hoc. Kasus pelanggaran HAM di Timor Timur internasional terkait dengan kasus pembumi menjadi kasus pertama yang disidangkan di hangusan Timor Timur paska jajak pendapat, Pengadilan HAM ad hoc. Dalam persidangan kasus merespon dengan mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun ini, 18 terdakwa disidangkan, yang terdiri dari 10 1999 tentang Pengadilan HAM, pada 8 Oktober 1999. orang militer, 4 orang polisi, dan 4 orang sipil. Seluruh Namun Perppu ini akhirnya ditolak DPR untuk terdakwa akhirnya dibebaskan setelah melalui menjadi UU. DPR menyatakan Perpu No. 1 Tahun seluruh tingkatan proses peradilan.

1999 tidak secara komprehensif menyebutkan jenis Kasus kedua yang disidangkan dalam kejahatan dan bentuk tindak yang dapat

Pengadilan HAM ad hoc adalah pelanggaran HAM dikategorikan sebagai “pelanggaran HAM yang yang berat pada kasus Tanjung Priok 1984, yang berat”, tidak cukup rincinya pengaturan mengenai persidangannya digelar pada 2004. Pengadilan ini proses peradilan, dan tidak dapat diberlakukan menyidangkan 14 orang terdakwa, semuanya dari secara retroaktif. militer, dan akhirnya semua terdakwa bebas (di

Sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999, Pengadilan Tingkat I, 12 orang dinyatakan bersalah akibat kebutuhan yang mendesak, kemudian secara dan ada putusan tentang kompensasi korban, tingkat tergesa-gesa Pemerintah menyiapkan regulasi banding dan kasasi semua terdakwa dibebaskan).

pengadilan HAM yang baru, yang selanjutnya Pada beberapa kasus yang lain yang disahkan oleh DPR pada 23 November 2000, menjadi penyelidikannya sudah dirampungkan Komnas HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU

prosesnya mandeg di Kejaksaan, seperti kasus ini tidak hanya memungkinkan proses akuntabilitas Talangsari 1989 dan kasus penghilangan orang hukum bagi kasus yang terjadi setelah lahirnya secara paksa 1997-1998. Sementara itu sejumlah undang-undang ini, tetapi juga memungkinkan kasus lainnya, nasibnya masih menggantung proses digelarnya peradilan bagi kasus pelanggaran hak penyelesaiannya di DPR, bahkan untuk kasus asasi manusia di masa lalu. Selain menjadi pijakan Trisakti-Semanggi 1998 DPR menolak untuk bagi proses akuntabilitas hukum melalui jalur mengeluarkan rekomendasi pembentukan pengadilan, Pasal 47 UU ini juga memungkinkan pengadilan HAM ad hoc.

penggunaan ruang lain dalam penyelesaian masa Inkonsistensi pemerintah dan DPR dalam lalu, yakni melalui pembentukan Komisi Kebenaran menyikapi dan menyelesaikan berbagai kasus dan Rekonsiliasi. Pasal 47 UU Pengadilan HAM

pelanggaran HAM di masa lalu, sesungguhnya menyebutkan: menunjukkan betapa mereka belum memiliki

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat parameter yang akuntabel untuk mempertanggung

yang terjadi sebelum berlakunya Undang- jawabkan kejahatan-kejahatan negara di masa lalu.

undang ini tidak menutup kemungkinan Pertimbangan politik jelas lebih utama untuk

penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi menentukan lanjut tidaknya penyelesaian suatu kasus.

Kebenaran dan Rekonsiliasi.

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

06 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

(Pansus) yang terdiri dari 50 orang dari lintas fraksi. Pembahasan memakan waktu lebih dari satu setengah tahun sebelum akhirnya disahkan menjadi UU pada 7 September 2004.

Tragisnya, belum lagi sempat terbentuk kelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 7 Desember 2006, dalam perkara No. 006/PUU-IV/2006, membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam pertimbangan 3

hukum putusannya (ratio decidendi), MK menyatakan bahwa pasal yang dibatalkan merupakan pasal jantung dari apa yang menjadi tujuan UU KKR, sehingga dengan pembatalan pasal ini, maka KKR tidak lagi bisa menjadi tujuannya, karenanya UU KKR perlu dibatalkan secara keseluruhan.

Namun demikian, untuk tetap memastikan berlangsungnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, sebagai bagian dari transisi demokrasi, dalam putusannya MK menyatakan bahwa pembatalan UU KKR tidaklah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka

rehabilitasi dan amnesti secara umum. 4

Sesaat sebelum dibatalkannya UU No. 27 Ta h u n 2 0 0 4 t e n t a n g K K R , P e m e r i n t a h mengundangkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang juga mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Di Pasal 229 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh disebutkan, “Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh”. Mandat pembentukan KKR di Aceh ini, juga merupakan kelanjutan dari Kesepakatan Damai Helsinki, antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Di dalam bagian Hak Asasi Manusia, yang menjadi salah satu klausula kesepakatan damai, disebutkan bahwa KKR di Aceh akan dibentuk oleh KKR Indonesia, dengan tugas untuk memformulasikan dan menetapkan langkah- langkah rekonsiliasi. 5

(2) K o m i s i K e b e n a r a n d a n R e k o n s i l i a s i

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.

Ketentuan dalam Pasal 47 UU Pengadilan HAM ini selaras dengan mandat reformasi yang dituangkan di dalam TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Bab V Tap MPR No. V/MPR/2000 perihal Kaidah Pelaksanakan, dalam butir 3 secara lengkap disebutkan:

Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang- undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melak- sanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan sepenuhnya memerhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Sejalan dengan TAP MPR No. V/MPR/2000, mandat serupa juga ditemukan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Di dalam Pasal 45 UU ini disebutkan perlunya pembentukan perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua, dalam rangka menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia di Provinsi Papua. Bahkan dalam Pasal 46 UU Otsus Papua secara tegas dimandatkan perihal pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Pembentukan KKR di Papua berfungsi untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua, yang bertujuan guna pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih jauh, KKR di Papua bertugas untuk melakukan kerja-kerja rekonsiliasi, yang mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. 2

Guna meneruskan mandat TAP MPR No. V/MPR/2000, pada tahun 2003, Pemerintah dan DPR memulai pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di DPR. Pembahasan RUU ini dilakukan DPR dengan membentuk Panitia Khusus

ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

Mandeg Setelah Pembatalan

Menjadi pertanyaan besar kita semua, sebenarnya apa yang ada di dalam benak Presiden

Setelah pembatalan UU Komisi Kebenaran dan Yudhoyono, hingga dalam dua kali masa Rekonsiliasi, hampir tidak ada kebijakan yang pemerintahannya belum mengambil langkah apapun dikeluarkan oleh Pemerintah, terkait dengan upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Justru lalu? yang terjadi adalah sejumlah penundaan oleh Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM,

dengan melakukan proses penyidikan dan Keterangan

penuntutan. Terhitung sejak masa pemerintahan Yudhoyono, tidak satu pun pengadilan HAM ad hoc 1. Pasal 89 ayat (3) huruf b UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dibentuk untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran

menyebutkan, “penyelidikan dan pemeriksaan terhadap

HAM masa lalu. peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan

sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak

Mandat putusan MK untuk membuat

asasi manusia”. Kewenangan ini diperkuat oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan

kebijakan hukum baru atau mencari inisiatif baru

wewenang pada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu,

terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti di tegaskan di dalam Pasal 18 ayat (1). khususnya yang melalui jalur rekonsiliasi, pun tidak 2 Lihat Penjelasan Pasal 46 UU No. 21 Tahun 2001 tentang

dilakukan dalam lima tahun paska pembatalan. RUU

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

3 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kabarnya Dalam permohonannya para pemohon uji materiil ini

mendalilkan, bahwa sejumlah ketentuan UU KKR

sudah disiapkan Pemerintah, pun tidak kunjung

bertentangan dengan UUD 1945, diantaranya mengenai

dilakukan pembahasan, dengan alasan yang pemberian amnesti kepada pelaku, dan penyelesaian

pelanggaran HAM masa lalu yang “seolah” membiarkan

sebenarnya lebih bersifat politis dari pada prinsipil.

terjadinya tawar menawar dengan pelaku, karena adanya prasyarat rekonsiliasi atau penyelesaian pelanggaran HAM

Lebih mengherankannya lagi, merujuk pada

yang berat dilakukan setelah adanya amnesti kepada para

UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana

pelaku, klausul-klausul tersebut juga dianggap bertentang dengan hukum hak asasi manusia internasional, hukum

Pembangunan Jangka Panjang Nasional, disebutkan

humaniter, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip terkait

tentang pentingnya melaksanakan rekonsiliasi

hak-hak korban. Selengkapnya lihat: Indriaswati Dyah Saptaningrum, dkk., Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai

nasional untuk menyelesaikan dan menuntaskan

Hak Konstitusional: Pandangan Kritis atas Putusan

persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review UU KKR dan

Implikasinya bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa

masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan

Lalu, Seri Briefing Paper ELSAM, No. 01 January 2007. tindakan-tindakan kejahatan politik yang dilakukan 4 Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hal. 131.

5 atas nama negara, sebagai salah satu bagain dari Lihat Memorandum of Understanding antara Pemerintah RI

dengan GAM. konsolidasi demokrasi. Akan tetapi menjelang 6 Lihat Transkrip Dialog Presiden Republik Indonesia dengan

sewindu masa pemerintahan Yudhoyono, belum

Wartawan Istana Kepresidenan pada Acara Silaturahmi dengan Wartawan Istana Kepresidenan, di Istana Negara, 13

menampakan ada tanda-tanda untuk mengimple-

Februari 2012

mentasikan rencana ini. Rekomendasi DPR terkait kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 yang dikeluarkan pada 2009, sampai dengan saat ini pun belum ditindaklanjuti dengan langkah berarti, kecuali rencana ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa, yang dituangkan di dalam RAN HAM dan Prolegnas. Khusus untuk kasus penghilangan paksa, naif ketika dalam pidatonya, Presiden mengatakan, “Proses hukum itu sebetulnya sudah ada dan sudah dilakukan, bahkan mereka, nama-nama yang diduga terlibat dalam penculikan atau kasus orang hilang juga sudah dijatuhi hukuman, ada yang dipecat, ada yang diberikan hukuman apa pun. Berarti proses pengadilan itu sudah terjadi”. 6

08 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA 08 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

Jalan Berliku M eraih Keadilan

Oleh Zainal Abidin

(Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM ( PSDHAM) ELSAM)

“There is no easy walk to freedom anywhere, and many of us will have to pass through the valley of the shadow of death again and again before we reach the mountaintop of our desires” (Nelson Mandela)

mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa K mampu memberikan keadilan kepada korban, dan

omitmen penyelesaian pelanggaran HAM diantaranya kasus Talangsari 1989 dan Penghilangan masa lalu telah menjadi agenda bangsa Orang Secara Paksa Tahun 1997-1998, dan sejumlah Indonesia sejak refomasi. Sejumlah tatanan kasus lainnya. normatif dibentuk untuk menciptakan

Namun, mekanisme Pengadilan HAM belum

lalu tersebut. Ketetapan MPR No. V tahun 2000 kini seolah mandeg tanpa kelanjutan. Sementara tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan KKR juga belum juga terbentuk kembali. Kedua Nasional, mengakui adanya kesadaran bersama mekanisme tersebut seolah tak memberikan dampak sebagai bangsa bahwa pada masa lalu telah terjadi kepada para koban, karena hak-hak atas kebenaran, penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak keadilan, dan pemulihan tak kunjung terpenuhi. asasi manusia. Pelanggaran tersebut perlu untuk Ditengah situasi tersebut, para korban dan diungkapkan demi menegakkan kebenaran, dan masyarakat sipil, tak berhenti untuk terus melakukan perlunya melakukan pengakuan kesalahan, upaya-upaya untuk mendorong penyelesaian permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, pelanggaran HAM masa lalu. penegakan hukum, rehabilitasi, atau alternatif lain

yang bermanfaat dengan sepenuhnya Upaya Para Korban Menggugat Hak

memperhatikan rasa keadilan dalam bermasyarakat. Pada tahun 2000, adanya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, memberikan ruang Situasi kemandegan mekanisme penyelesaian pertanggungjawaban hukum bagi perkara-perkara pelanggaran HAM masa lalu, tidak membuat para pelanggaran HAM yang berat (kejahatan genosida korban juga berdiam diri. Di luar mekanisme yang dan kejahatan kemanusiaan), termasuk pelanggaran “disediakan dan difasilitasi” negara tersebut, para HAM yang berat di masa lalu (terjadi sebelum tahun korban terus melakukan berbagai upaya untuk 2000). Pada tahun 2004, muncul UU No. 27 tahun mengembalikan hak-hak mereka. Upaya ini 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diantaranya dilakukan melalui jalur gugatan dan (KKR), yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah permohonan hukum, baik terkait dengan Konstitusi. Kedua mekanisme tersebut pada awalnya pengembalian hak-hak mereka atau dalam konteks merupakan “jalan” penyelesaian yang hendak menggugat kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil. ditempuh dalam menyelesaikan berbagai Sejumlah gugatan korban baik individu maupun pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi.

kelompok korban, diantaranya menghasilkan kemenangan, memberikan pengakuan tentang

Berdasarkan dua mekanisme tersebut, para terjadinya praktek pelanggaran HAM dimasa lalu, dan korban mengharapkan supaya hak-haknya terpenuhi, merehabilitasi hak-hak korban yang selama ini yang mencakup hak atas kebenaran (the right to know mengalami diskriminasi dan stigmatisasi. the truth), hak atas keadilan (the right to justice), maupun hak atas pemulihan (the rights to

Pada tahun 2003, Nani Nurani, seorang reparations). Pada tahun 2006, juga terbentuk UU No. penari Istana yang dituduh menjadi anggota PKI,

13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan menggugat Camat Koja, karena tidak menerbitkan Korban, yang memberikan pengaturan tentang hak KTP seumur hidup dengan alasan eks tahanan politik. korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, gugatan tersebut dimenangkan oleh pengadilan, sampai

Mekanisme Pengadilan HAM, kemudian dengan putusan akhir oleh Mahkamah Agung pada memang “sempat” menjadi ruang 2008. Pengadilan menyatakan bahwa tindakan pertanggungjawaban pelanggaran HAM masa lalu, Camat Koja yang tidak menerbitkan KTP adalah tidak dengan memeriksa 2 (dua) pelanggaran HAM masa sah, merupakan tindakan yang sewenang-wenang lalu, yakni pelanggaran HAM yang berat di Timor- dan perbuatan semacam itu pada saat ini adalah tidak Timur pra dan paska jajak pendapat 1999 dan Tanjung layak diberlakukan lagi dan merupakan pelanggaran Priok 1984. Mekanisme pengadilan HAM juga

hak asasi manusia. 1

membuka penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh Komnas HAM,

ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

Pada tahun 2003 juga, terdapat pengajuan uji pemulihan bagi para korban. Upaya-upaya materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU pengungkapan kebenaran tersebut, meski terbatas, Pasal 60 huruf g No. 12 Tahun 2003 tentang memberikan dampak “pembongkaran” tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. berbagai praktik pelanggaran HAM dimasa lalu. Ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor Pengungkapan kebenaran dilakukan oleh

12 Tahun 2003, berisi larangan menjadi anggota masyarakat sipil dengan berbagai bentuk, baik DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD berupa pendokumentasian pelanggaran HAM masa Kabupaten/Kota bagi mereka yang "bekas anggota lalu, penerbitan laporan pelanggaran HAM, organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, penerbitan buku-buku, proses public hearing dan termasuk organisasi massanya, atau bukan orang

berbagai bentuk lainnya. 5

yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam Untuk tetap mengingatkan publik tentang G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainnya". MK kekejaman masa lalu, masyarakat sipil di sejumlah

menyatakan bahwa pasal tersebut merupakan daerah juga melakukan memorialisasi dalam pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau berbagai bentuk. Pembuatan museum, tugu diskriminasi atas dasar keyakinan politik, dan oleh peringatan, maupun bentuk-bentuk memorialisasi karena itu, bertentangan dengan hak asasi yang lainnya, selain merupakan bentuk reparasi kepada

dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik 2 para korban, juga memberikan pemahaman kepada Indonesia Tahun 1945.

publik tentang praktik-praktek kekejaman masa lalu Pada tahun 2005, kemenangan Nani Nurani dan memberikan pelajaran bahwa peristiwa serupa

juga menginspirasi gugatan class action korban tidak boleh terulang kembali. Di Aceh, keluarga stigma kasus '65 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. korban pelanggaran HAM di Kampung Jamboe Para tergugat adalah Negara Republik Indonesia, Keupok, Bakongan, Aceh Selatan, mendirikan tugu Presiden dan mantan Presiden RI dengan gugatan peringatan tragedi kemanusian. Tugu peringatan permintaan rehabilitasi nama baik, mencabut dibangun di kompleks kuburan massal 16 korban

stigmatisasi, dan menuntut kerugian material dan 3 pembantaian. Di tugu tersebut ditulis kronologi immaterial. Sejumlah gugatan terkait dengan

kejadian dan daftar nama korban. 6 pelanggaran hak-hak warga negara karena dituduh

Sementara upaya pemulihan kepada para terlibat partai terlarang juga muncul di berbagai korban terus dilakukan oleh masyarakat sipil, karena

daerah. Gugatan tersebut misalnya terkait dengan 4 negara sampai sekarang belum melakukan pelanggaran atas hak sebagai pegawai negeri sipil, kewajibannya untuk memulihkan para korban secara dan sejumlah gugatan lain terkait dengan terjadinya layak. Upaya pemulihan ini, selain memfasilitasi perampasan tanah milik orang-orang yang dituduh korban untuk meringankan beban mereka, juga terlibat partai terlarang.

memberikan kekuatan kepada korban untuk terus Berbagai gugatan/permohonan hukum para memperjuangkan hak-haknya. Di sejumlah daerah

korban ini, telah menunjukkan kepada negara dan para korban dan LSM mengorganisir diri untuk saling publik, bahwa di masa lalu telah berbagai praktik membantu di bidang ekonomi, akses pendidikan, dan terjadi pelanggaran HAM dan masih berdampak kesehatan. Sejumlah pihak, misalnya universitas dan kepada para korban hingga sekarang. Kegagalan institusi kesehatan juga membantu akses pendidikan kebijakan dalam tingkat makro dan tersendatnya dan kesehatan kepada para korban dan keluarga pengadilan HAM, tidak menghentikan pencapaian mereka. keadilan melalui berbagai ruang-ruang lainnya.

Upaya lainnya yang juga terus dilakukan Berbagai inisiatif korban, di tengah masyarakat sipil adalah menginisiasi upaya-upaya

kemandekan penyelesaian pelanggaran HAM masa perdamaian melalui kegiatan (rekonsiliasi) kultural. lalu oleh negara, menjadi catatan penting dalam Setidaknya, upaya rekonsiliasi kultural ini terjadi proses meraih keadilan. Para korban, dapat terus diberbagai wilayah, diantaranya di beberapa daerah menerus melakukan gugatan atau permohonan

7 di Jawa, Aceh dan Bali. Di Aceh, rekonsiliasi kultural 8 hukum secara individual atau berkelompok melalui terjadi dengan upaya untuk merekonsiliasikan tiga

berbagai saluran pengadilan yang tersedia. etnis (Jawa, Aceh dan Gayo) di Bener Meriah, yang Pengalaman berbagai kemenangan dalam gugatan,

mencakup 16 Desa. Rekonsiliasi ini berupaya untuk 9 akan menjadi preseden penting pencapaian keadilan kembali merajut ikatan sosial warga yang terkoyak

bagi ribuan korban lainnya. Gugatan ke pengadilan akibat konflik dan perbedaan. dalam skala yang massif dapat menjadi gerakan alternatif melawan pengingkaran kewajiban negara untuk menyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Pengalaman Negara Lain

Upaya Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Berbagai inisiatif dilakukan korban dan masyarakat sipil untuk adanya penyelesaian pelanggaran HAM

masa lalu, pada satu sisi memberikan dampak positif Di samping melakukan gugatan hukum, para korban pencapaian keadilan. Namun demikian, mendorong

dan pendampingnya, termasuk kelompok negara untuk melakukan penyelesaian, baik melalui masyarakat sipil juga telah melakukan berbagai mekanisme hukum maupun mekanisme lainnya, inisiatif pengungkapan kebenaran dan upaya-upaya harus tetap dilakukan. Negara harus tetap

10 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 10 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

5 Saat ini telah berlangsung proses pendokumentasian

pelanggaran HAM masa lalu. Meski akan melalui

pelanggaran HAM masa lalu di berbagai wilayah baik yang

jalan yang panjang dan berliku, negara masih harus dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dan kelompok

korban. bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak korban. 6 VhrMedia.com., “Tugu Pelanggaran HAM Berdiri di Jamboe

Pengalaman di berbagai negara lain menunjukkan,

Keupok”, 28 Oktober 2011 - 16:46 WIB. Sumber:

akuntabilitas pelanggaran HAM masa lalu akan tetap

http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4758

menjadi tuntutan, bahkan setelah berpuluh-puluh 7 10 Rekonsiliasi kultural di beberapa daerah di Jawa diantaranya tahun setelah peristiwa terjadi.

diusahakan oleh Organisasi Syarikat, yang merekonsiliasikan pihak-pihak yang terkena dampak dari peristiwa tahun 1965.

Saat ini, sejumlah negara di Amerika Latin 8 Di Bali, terjadi rekonsiliasi kultural yang dilakukan di Desa berlangsung proses akuntabilitas yang dilakukan

Sumber Klampok, Buleleng. Rekonsiliasi dilakukan dalam

mulai dari permintaan maaf pemerintah kepada

bentuk ruwatan dan rekonsiliasi budaya. Ruwatan, yang telah

warganya yang mengalami kekejaman di masa lalu

dikenal pada banyak subkultur di Indonesia, dilakukan sebagai

sampai dengan upaya membawa pelaku ke bagian dari ritus penyucian diri terhadap segala sesuatu yang

bersifat “mengotori”. Acara ini diselenggarakan bersamas-

pengadilan. Di El Salvador, setelah 30 tahun, pada 17

sama antara Jaringan Informasi Kerja Alternatif (JIKA),

Januari 2012 Presiden El Salvador, Mauricio Funes,

Kesatuan Aksi Mahasiswa Seni Rupa (KAMASRA), Gerakan

telah meminta maaf atas pembantaian atas Mahasiswa Sosialis Bali (GMS - BALI), Aliansi pembantaian ribuan warga yang dilakukan militer

Jurnalis Independen Bali (AJI - BALI), Wahana Lingkungan Hidup Bali (WALHI - BALI), Aliansi Masyarakat Adat

pada tahun 1981 silam, dimana lebih dari 1.000 warga

Nusantara Bali ( AMAN - BALI), Kelompok Usaha Bersama

desa tewas selama perang sipil 1980-1992 di negara

(KUB) Sumber Klampok, dan Lembaga Studi dan Advokasi

Amerika Tengah itu. 11

Masyarakat (ELSAM).

9 Di Guatemala, mantan diktator Efraín Ríos Pada 22 Desember 2010, terjadi deklarsi “Kampung Damai”

yang diinisiasi oleh Komunitas Perempuan Cinta Damai

Montt dibawa ke pengadilan dalam kasus genosida

(KPCD) di di Simpang Tiga, Redelong kabupaten Bener

selama yang terjadi selama 17 bulan pemerintahan

Meriah, yang didukung oleh berbagai elemen antara lain

militernya antara tahun 1982-1983. Langkah hukum 12

IPEUDA, Kontras Aceh, Redelong Institute, Jaringan Anti

ini dilakukan atas nama 12 komunitas masyarakat Korupsi Gayo (Jang-Ko), Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Banda Aceh Pos Aceh Tengah, BEM Gajah Putih, SMABEM,

adat Maya dimana keluarga mereka menjadi korban

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia

pembunuhan massal pada tahun 1982 saat Efraín

Untuk Keadilan, K3BM dan RPuK. Sumber:

13 Ríos Montt menjadi pimpinan diktator militer. http://www.theglobejournal.com/sosial/deklarasi-kampung-

damai-di-bener-meriah/index.php

Masyarakat sipil juga sudah saatnya

10 Salah satu contoh dari pertanggungjawaban kekejaman masa

menyiapkan suatu proses pengungkapan kebenaran

lalu, misalnya dalam kasus pembantaian di Rawagede oleh

alternatif, di luar mekanisme negara. Pengungkapan

pasukan Belanda. Pada bulan September 2011, Pengadilan

kebenaran ini perlu dilakukan dengan adanya proses sipil di Den Haag, Belanda memenangkan gugatan korban dari

warga Rawagede, atas aksi militer Belanda yang terjadi 64

investigasi yang dianggap kredibel oleh masyarakat,

tahun silam. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar

dan mampu menunjukkan proses investigasi yang

kompensasi kepada para penggugat (korban).

cukup imparsial dan dengan metodologi yang

11 Detik.com., “Presiden El Salvador Minta Maaf Atas

sistematis dan teliti. Pengalaman sejumlah negara,

Pembantaian Ribuan Warganya”, Selasa, 17/01/2012 12:52 WIB. Sumber: http://www.detiknews.com/read/2012/

mekanisme pengungkapan kebenaran alternatif

01/17/125232/ 1817633/1148/presiden-el-salvador-minta-

banyak yang berhasil dengan terbitnya sebuah

maaf-atas-pembantaian-ribuan-warganya

laporan akhir yang disertai dengan berbagai

12 Guardian.co.uk., “Latin America confronts state atrocities of

rekomendasi, yang akhirnya diterbitkan dan

bloody past”, Wednesday 25 January 2012 15.32 GMT.

14 disebarluaskan ke publik. Meski laporan dan Sumber: http://www.guardian.co.uk/world/2012/jan/25/latin-

america-state-atrocities-violence

rekomendasi tersebut tidak merupakan pengakuan

13 Guardian.co.uk., “Guatemalan leader faces genocide

resmi, laporan tersebut berhasil atau memberikan

charges”, Thursday 7 June 2001 01.07 BST. Sumber:

kontribusi besar kepada upaya-upaya penyelesaian

http://www.guardian.co.uk/world/2001/jun/07/duncancampbel

pelanggaran HAM masa lalu dan upaya pencapaian

l.jotuckman?INTCMP=SRCH

keadilan bagi korban.

14 Sejumlah proses pengungkapan kebanaran masyarakat sipil yang mengasilkan laporan pelanggaran HAM, dianyaranya Brazil, Paraguay, Uruguay, Guatemala, Rwanda, dan berbagai negara lainnya.

Keterangan

1. Untuk memahami gugatan ini lihat buku, Nani Nurani Affandi, “Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno”, Galangpress, 2010.

2 Permohonan ini diajukan diantaranya oleh Para Pemimpin Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-LPRKROB). Lihat Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003.

3 Untuk memahami gugatan ini, lihat Restaria F. Hutabarat, “Stigma 65, Strategi Mengajukan Gugatan Class Action”, LBH Jakarta, 2011.

ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

M emetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM M asa Lalu

Oleh Otto Adi Yulianto

(Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi ELSAM)

S belum ada penyelesaian yang adil, tuntutan para

etelah lebih dari satu dekade reformasi, pelbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu belum juga mendapat penyelesaian yang adil. Sejauh

korban dan pembela HAM akan terus mengemuka. Saat ini, tuntutan penyelesaian tersebut tidak hanya semakin menguat, namun juga sembari menunjuk para pihak yang diidentifikasi sebagai peng- hambatnya. Misalnya Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sumatera Utara, yang secara terbuka menunjuk bahwa Presiden beserta jajarannya tidak menjalankan komitmen untuk menyelesaikan pelbagai pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu. 1

Jelas bahwa Presiden telah mengabaikan rekomendasi DPR tahun 2009 menyangkut penyelesaian kasus Penghilangan Orang secara Paksa periode 1997-1998. Dalam rekomendasinya, DPR telah meminta agar Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc, mencari para korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi bagi keluarga korban yang hilang, serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Sementara penyelesaian pelbagai pelanggaran HAM di masa lalu yang lain, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, serta Peristiwa Wasior dan Wamena, Papua (2001 dan 2003) dinilai mandeg di Kejaksaan Agung. Institusi ini dituding tak kunjung melakukan penyidikan terhadap Lenteradiatasbukit.blogspot.com kasus-kasus tersebut, menindaklanjuti laporan penyelidikan yang telah diserahkan oleh Komisi berhasil diselesaikan. Sementara korban yang Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

mendamba penyelesaian banyak yang kian renta. Kalaupun ada langkah progresif dari institusi Komnas

Penyelidikan Komnas HAM

HAM, baru sebatas mengeluarkan sertifikat status korban penghilangan paksa.

Komnas HAM pun terkena imbas dan menjadi Menurut Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM saat sasaran tudingan. Melalui surat terbuka, korban dan ini, paska reformasi, institusinya setidaknya telah

keluarga korban, bersama Kontras, menilai bahwa melakukan lebih dari lima penyelidikan pro-justisia. salah satu institusi utama bagi perlindungan HAM ini Laporan hasil penyelidikan tersebut telah diserahkan tidak mempunyai terobosan yang signifikan untuk kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti dengan mengatasi kebuntuan penyelesaian pelanggaran penyidikan dan penuntutan. Dari sejumlah kasus HAM masa lalu dan menyerah kepada alasan Jaksa yang sudah selesai diselidiki Komnas HAM tersebut, Agung yang tidak bersedia menindaklanjuti hasil setidaknya dua kasus telah ditindaklanjuti dan penyelidikannya. 2

diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc, yaitu Dalam lima tahun terakhir, belum ada satu kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur paska

peristiwa pelanggaran berat HAM yang dinilai jajak pendapat 1999 dan kasus pelanggaran HAM

12 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012 12 ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

terjadi paska diundangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, telah ditindaklanjuti dan Apakah benar bahwa soal belum adanya Pengadilan diselesaikan melalui Pengadilan HAM permanen. HAM ad hoc ini tepat sebagai alasan bagi Kejaksaan Sementara hasil penyelidikan yang lain belum Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan ditindaklanjuti penyidikannya oleh Kejaksaan Agung Komnas HAM? Selain adanya perbedaan yang dengan alasan belum terbentuknya Pengadilan HAM

3 signifikan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi,

ad hoc untuk masing-masing peristiwa. keraguan terhadap kesahihan alasan Kejaksaan Agung ini juga ditopang dengan bukti empirik, yakni

Dalih Kejaksaan Agung

tidak dijalankannya rekomendasi DPR oleh Presiden. Pada 2009, DPR pernah merekomendasikan

Domu P. Sihite, Direktur Penanganan Pelanggaran kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM HAM Berat di Kejaksaan Agung, membenarkan

ad hoc guna menyelesaikan kasus penculikan dan bahwa saat ini setidaknya ada empat berkas kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998. DPR sempat

pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sudah pula berkirim surat meminta Presiden agar diterima Kejaksaan Agung, yakni berkas peristiwa: (1) menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Namun Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, (2) Kerusuhan rupanya surat tersebut tidak memperoleh tanggapan Mei 1998, (3) Penghilangan Orang secara Paksa, dan

resmi. Yang muncul justru tanggapan Menteri Hukum 6 (4) Talangsari, Lampung.

dan HAM waktu itu, Patrialis Akbar, melalui media Namun, seperti yang diakui Sihite, Kejaksaan massa, yang mengatakan bahwa, bila membongkar

Agung belum dapat melakukan penyidikan karena siapa yang bertanggung jawab atas kasus Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan penghilangan paksa tersebut, tindakan ini akan HAM mengharuskan Pengadilan HAM ad hoc harus

4 menimbulkan kegaduhan politik.

dibentuk terlebih dahulu. Alasan Sihite ini tampaknya Dalam Pasal 43 Ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 berbeda, bahkan dapat disebut bertolak belakang, jelas disebut bahwa Pengadilan HAM ad hoc dibentuk

dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan putusannya No 18/PUU-V/2007 tentang Pengujian Keputusan Presiden. Kewenangan untuk terhadap UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak mengusulkan ini dipunyai oleh DPR dengan Asasi Manusia, UU yang sama dengan yang dirujuk pertimbangan bahwa selain sebagai bagian dari oleh Sihite. Menurut Mahkamah Konstitusi, DPR dalam fungsi pengawasan, DPR juga dinilai sebagai merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad

representasi rakyat Indonesia. Benar bahwa sebagai 8 hoc justru yang terlebih dahulu harus memperhatikan, sebuah kata, rekomendasi berarti saran atau usul.