PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL BERDASARKAN PENDEKATAN HUMANISTIK UNTUK MENGEMBANGKAN KONSEP DIRI PESERTA DIDIK.

(1)

PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL BERDASARKAN PENDEKATAN HUMANISTIK UNTUK

MENGEMBANGKAN KONSEP DIRI PESERTA DIDIK

(Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa di Sekolah Luar Biasa Tunanetra X Tahun Pelajaran 2012/2013)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh

IRMA NUMIASARI 1009521

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH:

PEMBIMBING I

Dr. Mamat Supriatna, M.Pd. NIP. 19600829 198703 1 002

PEMBIMBING II

Dr. Didi Tarsidi, M.Pd. NIP. 195106011979031003

Mengetahui,

Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. Nandang Rusmana, M.Pd NIP. 196005011986031004


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Program Bimbingan Pribadi-Sosial Berdasarkan Pendekatan Humanistik untuk Mengembangkan Konsep Diri Peserta Didik (Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa di Sekolah Luar Biasa Tunanetra Tahun Pelajaran 2012/2013)” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.

Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Juli 2013 Yang membuat pernyataan,

Irma Numiasari


(4)

Irma Numiasari. (2013). Program Bimbingan Pribadi-Sosial Berdasarkan Pendekatan Humanistik untuk Mengembangkan Konsep Diri Peserta Didik (Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa di Sekolah Luar Biasa Tunanetra Tahun Pelajaran 2012/2013).

Konsep diri berperan penting dalam kehidupan sebagai penentu perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Fenomena yang terjadi di sekolah menengah, terkadang sulit melakukan pengembangan konsep diri bagi peserta didik remaja, karena pada umumnya remaja dipenuhi oleh keraguan diri dan ketidakpastian masa depan, terlebih lagi apabila disertai adanya gangguan penglihatan, sehingga memerlukan bimbingan untuk mengembangkan konsep diri. Penelitian ini bertujuan menghasilkan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik. Penelitian dilakukan di SMPLB Tunanetra X Kota Bandung. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode eksperimen kuasi. Pengambilan data dilakukan melalui tes. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji parametris dengan menggunakan teknik uji t (independent sampel t test) melalui analisis data konsep diri peserta didik sebelum dan setelah mengikuti program bimbingan pribadi-sosial. Hasil penelitian di antaranya menunjukkan bahwa: (1) profil konsep diri peserta didik SMPLB Tunanetra X Kota Bandung berada dalam kategori tidak kongruen sebesar 60,87%; (2) program bimbingan pribadi-sosial efektif untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB Tunanetra X Kota Bandung. Berdasarkan hasil penelitian, rekomendasi disampaikan kepada: (1) Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor agar dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan konsep diri peserta didik; (2) Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian secara lebih mendalam dengan mempertimbangkan kembali metode penelitian dan penyusunan instrumen serta menguji efektivitas program bimbingan pribadi-sosial terhadap pengembangan konsep diri peserta didik SMPLB Tunanetra X Kota Bandung berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan penyebab ketunanetraan.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH... ii

ABSTRAK ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GRAFIK ... vii

DAFTAR BAGAN ... viii

DAFTAR MATRIK ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Penjelasan Istilah ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 21

E. Manfaat Penelitian ... 21

F. Asumsi Penelitian ... 22

G. Metode Penelitian ... 23

H. Kerangka Penelitian ... 24

BAB II. KONSEP DIRI DAN BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL ... 25

A. Konsep Diri ... 25

B. Ketunanetraan ... 35

C. Bimbingan Pribadi-Sosial ... 45

D. Program Bimbingan Pribadi-Sosial Berdasarkan Pendekatan Humanistik ... 48

E. Kerangka Teoretik Program Bimbingan Pribadi-Sosial Berdasarkan Profil Konsep Diri Peserta Didik ... 53

F. Penelitian Terdahulu ... 71

BAB III. METODE PENELITIAN ... 72

A. Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian ... 72

B. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian ... 75

C. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian ... 77

D. Pengembangan Instrumen Penelitian ... 82

E. Pengembangan Program ... 87

F. Teknik Analisis Data ... 91

G. Tahapan Penelitian ... 98

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 100

A. Hasil Penelitian ... 100

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 124

C. Keterbatasan Penelitian ... 145

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 147

DAFTAR PUSTAKA ... 152


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai proses dalam pengembangan potensi manusia secara optimal dan berfungsi untuk mengembangkan manusia ke arah kearifan, pengetahuan dan etika sehingga dapat membangun aspek kognisi, afeksi dan psikomotor secara optimal. Diungkapkan oleh Elmubarok (2009:3) peranan pendidikan bagi manusia sebagai proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar dapat melakukan peranannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal.

Menurut Kartadinata (2011:11) pendidikan berfungsi untuk pengembangan, peragaman dan integrasi. Dari ketiga fungsi tersebut memiliki arti bahwa pendidikan berfungsi untuk membantu manusia dalam pengembangan diri sesuai dengan keunikannya dimana keragaman perkembangan diri tersebut disesuaikan dengan potensi yang dimiliki individu agar menjadi manusia yang utuh.

Fungsi pendidikan yang diharapkan bagi perkembangan manusia tercantum di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab II Pasal 3:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.


(7)

Uraian fungsi pendidikan di atas berimplikasi terhadap pengertian pendidikan. Pengertian pendidikan di antaranya menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 (1) pendidikan adalah :

“usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Uraian di atas menyuratkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga peserta didik memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya secara optimal.

Menurut Makmun (2005:22) pendidikan mencakup seluruh proses hidup dan termasuk interaksi individu dengan lingkungannya yang berlangsung secara formal, nonformal maupun informal agar peserta didik dapat mewujudkan dirinya sesuai dengan tahapan tugas perkembangan secara optimal sehingga mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu.

Pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 15, jenis pendidikan mencakup pendidikan khusus, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan umum. Berkaitan dengan pendidikan khusus, pada Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Bab VII Pasal 127 dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.


(8)

Lebih lanjut terkait fungsi, tujuan dan peserta didik pada pendidikan khusus dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Bab VII Pasal 129 (1), (2) dan (3). Pasal 1 terkait fungsi pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan yakni memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fungsi,emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial. Pasal 2 terkait tujuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya. Pasal 3 terkait peserta didik yang mengikuti pendidikan khusus berkelainan terdiri dari peserta didik tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, gangguan motorik, menjadi penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain serta memiliki kelainan lain.

Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan dasar (Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Bab VII Pasal 133) terdiri atas sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat; dan sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa satuan pendidikan khusus adalah bentuk layanan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada jalur pendidikan formal untuk jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Peserta didik berkelainan karena keterbatasan fungsi indera dan/atau fisiknya adalah mereka yang tergolong sebagai penyandang


(9)

tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras dan autis. Secara spesifik satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan, terdapat dalam bentuk kelembagaan Sekolah Luar Biasa (SLB) jenjang SDLB, SMPLB dan SMALB. Uraian SLB berdasarkan spesifikasi kelainan yang disandangnya, yaitu: (1) SLB A untuk tunanetra; (2) SLB B untuk tunarungu dan wicara; (3) SLB C untuk tunagrahita; (4) SLB D untuk tunadaksa; (5) SLB E untuk tunalaras (Tuslina T, 2012).

Peserta didik yang menyandang kelainan tersebut dihadapkan pada permasalahan – permasalahan di antaranya terkait permasalahan akademik dan pribadi-sosial yang disebabkan oleh kurangnya pengalaman fisik dan kurang adanya proses interaksi belajar. Menurut Neely permasalahan tersebut dikelompokan menjadi empat, yaitu hubungan dengan orang lain, konflik internal, tingkah laku maladaptif dan konseling vokasional. Pada usia sekolah lanjutan pertama, permasalahan yang dapat mengganggunya di antaranya permasalahan pribadi-sosial seperti menguatnya kebutuhan diterima oleh teman sebaya selain itu penguasaan keterampilan dan pilihan kerja (Iin dan Purwanti, 2000:20).

Permasalahan pribadi-sosial tersebut tidak timbul dengan sendirinya. Sebagaimana diketahui bahwa perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan mengenai individu atau organisme tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Carl Rogers (Darminto, 2007:108) yang menyatakan bahwa manusia bereaksi terhadap lingkungannya sesuai dengan persepsi dan pengalamannya sendiri. Pengalaman tersebut meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan


(10)

pengalaman tersebut disebut medan fenomenal atau medan persepstual. Medan fenomenal adalah dunia privat individu (individual frame of reference) yang hanya diketahui oleh orang itu sendiri.

Tingkahlaku seseorang dapat dipahami dengan sangat baik dari kerangka internal individu itu sendiri. Rogers mendefinisikan kerangka acuan internal (internal frame of refrence) sebagai seluruh bidang pengalaman yang tersedia bagi pengalaman individu pada saat tertentu. Bidang pengalaman tersebut meliputi sensasi-sensasi, persepsi-persepsi, makna-makna, ingatan-ingatan yang tersedia bagi kesadaran. Beberapa pengalaman individu (medan fenomenal) berdiferensiasi dan dilambangkan sebagai kesadaran. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah pengalaman diri dan akhirnya sebagian dari pengalaman tersebut menjadi dasar dalam pembentukan konsep diri.

Menurut Rogers (Prabawa, 2009:10) konsep diri terbagi 2 yaitu real self dan ideal self. Real self adalah keadaan diri individu saat ini, sementara ideal self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut. Untuk menunjukkan kesesuaian antara kedua konsep diri tersebut, Rogers mengenalkan dua konsep, yaitu incongruence dan congruence. Dalam teori Rogers, terdapat dua arti dari kongruensi-inkongruensi. Pertama adalah kongruensi atau inkongruensi antara kenyataan subjektif dan kenyataan luar. Sedangkan yang kedua adalah tingkat ketidaksesuaian antara diri (pengalaman nyata) dan diri idealnya sangatlah besar, sehingga membuat orang merasa tidak puas sehingga sulit untuk menyesuaikan diri (Prabawa, 2009:11).


(11)

Lebih lanjut terkait konsep diri dan penyesuaian diri khususnya pada remaja, menurut Santrock (2003:334) perkembangan konsep diri dan penyesuaian diri remaja dipengaruhi oleh perkembangan kognisi. Perkembangan kognisi pada remaja sangat memungkinkan remaja untuk berfikir secara lebih abstrak dan idealistik sehingga pada pemahaman diri seorang remaja dapat menjadi semakin terdiferensiasi sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin terdiferensiasi. Setelah kebutuhan untuk mendiferensiasikan diri ke dalam banyak peran dalam konteks yang berbeda-beda ada dalam diri remaja, muncullah kontradiksi antara diri-diri yang terdiferensiasi tersebut. Adanya sifat kontradiktif tersebut pada masa remaja membuat munculnya fluktuasi diri remaja dalam berbagai situasi dan waktu tidaklah mengejutkan. Munculnya kemampuan remaja untuk mengkonstruksi diri ideal disamping diri yang sebenarnya, menjadi sesuatu yang membingungkan bagi remaja. Menurut Carl Rogers adanya perbedaan yang terlalu jauh antara diri yang nyata dengan diri yang ideal menunjukkan tanda ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.

Berkaitan dengan upaya penyesuaian diri remaja ke arah dewasa, biasanya para remaja mengalami kebingungan dalam menemukan konsep dirinya, karena remaja belum menemukan status dirinya secara utuh. Sisi lain yang dimiliki para remaja adalah adanya perasaan sudah besar, kuat, pandai dan telah menjadi dewasa. Tetapi mereka tetap memiliki perasaan ketidakpastiaan dan kecemasan sehingga membutuhkan perlindungan dari orangtua (Kartono, 1995:20).

Menurut Agustiani (2006:143), selama masa anak pertengahan dan akhir, kelompok teman sebaya mulai memainkan peran yang dominan, menggantikan


(12)

orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh pada konsep diri mereka. Anak makin mengidentifikasikan diri dengan anak-anak seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk tingkah laku dari kelompok teman sebaya dari jenis kelamin yang sama. Selama masa anak akhir konsep diri yang terbentuk sudah agak stabil. Tetapi dengan mulainya masa pubertas terjadi perubahan drastis pada konsep diri. Remaja yang masih muda mempersepsikan dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara, namun bagi orang tua ia tetap masih seseorang anak-anak.

Konsep diri berperan penting dalam kehidupan sebagai penentu perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Hartinah (2008:96) yang mengungkapkan pentingnya peranan konsep diri karena berpengaruh terhadap perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan orang lain. Sejauh mana individu menyadari dan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam dirinya, maka akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya. Apabila seseorang mampu menerima segala kelebihan dan kekurangannya maka dalam individu tersebut akan tumbuh konsep diri yang positif, sebaliknya bagi yang tidak mampu menerimanya maka akan menumbuhkan konsep diri yang negatif. Konsep diri yang positif akan mempengaruhi kemampuan individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik.

Penelitian Ary et al. (2009) berkaitan dengan hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi di SMP Negeri 2 dan SMP PL Domenico Savio Semarang. Penelitian dilakukan terhadap 61 subjek penelitian, ditemukan hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan


(13)

penyesuaian sosial. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa konsep diri peserta didik SMP merupakan hal penting untuk dikembangkan agar peserta didik memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana pun mereka berada.

Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Lailatul Rokhmatika dan Eko Darminto (2013) terhadap 50 peserta didik kelas unggulan di SMP Negeri 1 Kalitengah, Lamongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara konsep diri dan penyesuaian diri peserta didik di sekolah.

Menurut Forteza (2002), ”individu penting untuk memiliki konsep diri yang positif, namun meskipun demikian, beberapa individu mengalami kesulitan untuk menemukan konsep diri yang positif di dalam dirinya, terlepas dari apakah mereka memiliki kelainan atau tidak”. Pada dasarnya konsep diri yang dimiliki antara anak tunanetra dan anak awas adalah sama, terbukti dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Huurre et al. (1999) di India. Penelitian dilakukan terhadap 100 peserta didik dengan rentang umur antara 13 – 14 tahun, jumlah sampel perempuan tunanetra sebanyak 50 orang dan sampel laki-laki awas sebanyak 50 orang. Hasil penelitian tidak terdapat perbedaan antara konsep diri di antara kelompok partisipan awas dan tunanetra. Hal tersebut diperkuat dengan adanya hasil penelitian dari Universitas Hong Kong (Fok dan Fung, 2004), penelitian dilakukan terhadap 115 partisipan yang terdiri dari 52 orang tunanetra dan 63 orang awas, hasil penelitian antara konsep diri partisipan tunanetra dan awas memiliki level self esteem dan konsep diri yang setara.


(14)

Namun menurut Hare and Hare dalam Forteza (2000) “ketunanetraan dapat berdampak negatif terhadap konsep diri, karena mereka tidak bisa

mengalami situasi penuh atau belajar tentang obyek secara keseluruhan”. Hasil penelitian terhadap dampak psikososial dan perilaku yang dialami remaja tunanetra berkaitan dengan ketunanetraannya telah dilakukan oleh Wong et al. (2009) terhadap 1249 orang remaja yang terdiri dari remaja tunanetra dan remaja awas, umur di antara 11-18 tahun. Hasil penelitian remaja tunanetra memiliki skor psikososial dan peranan sekolah yang lebih rendah dibandingkan remaja awas.

Menurut Hatlen (2004) dan Kef (2002) dalam Halder dan Datta (2011:39), beberapa literatur berkaitan dengan kebahagiaan, depresi, kesehatan mental, dan studi tentang dampak psikososial remaja tunanetra menunjukkan bahwa isolasi sosial dan persepsi kelainan dari rekan-rekannya dapat berdampak terhadap harga diri remaja tunanetra. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Nurullah Bolat et al. (2011) terhadap 80 remaja, 40 remaja awas dan 40 remaja tunanetra. Umur partisipan antara 11-14 tahun. Hasil penelitian tingkat depresi dan konsep diri antara remaja awas dan remaja tunanetra berada pada level yang sama, namun remaja tunanetra cenderung memiliki kecemasan yang lebih tinggi.

Senada dengan pernyataan di atas, Blomquist et al., 1998 menyatakan,

“remaja yang mengalami kelainan di bagian wajah mendapatkan beberapa hambatan seperti tidak terlalu diharapkan oleh pihak orangtua maupun masyarakat, kurangnya mendapatkan pengetahuan tentang layanan karir dan pendidikan dan keterampilan advokasi diri untuk mencapai tujuan mereka”.


(15)

Remaja yang mengalami kelainan di bagian wajah di antaranya adalah remaja tunanetra. Mereka mengalami hambatan perkembangan sesuai dengan ketunaannya, namun hal-hal yang berhubungan dengan rangsangan mata diganti dengan indra lainnya sebagai kompensasinya, terkecuali tunanetra yang diiringi oleh kelainan ganda. Menurut Kirkwood (1997:110), salah satu aspek penting pada masa remaja adalah pengembangan identitas dan harga diri yang bersifat positif. Hal tersebut terkadang sulit melakukan pengembangan tersebut bagi remaja, karena pada umumnya remaja dipenuhi oleh keraguan diri dan ketidakpastian masa depan, terlebih lagi apabila disertai adanya gangguan penglihatan.

Menurut pernyataan dari para peneliti (Centers & Centers, 1963; Siller, Ferguson, Vann & Holland, 1968; Wright, 1960) dalam Backen (1996: 384), “ hampir semua nasib individu dengan kondisi kelainan/ketunaan mendapatkan penilaian yang negatif dari masyarakat, misalnya masyarakat cenderung melihat sisi ketidakmampuannya sehingga menghambat pengembangan konsep diri yang positif. Apabila individu tersebut memiliki konsep diri yang rendah, dengan adanya persepsi negatif dari lingkungannya terhadap dirinya maka konsep diri individu tersebut akan menjadi kurang berkembang ke arah yang positif”.

Menurut Tuttle dalam Forteza (2000) meskipun semua individu rentan terhadap perkembangan konsep diri yang negatif, individu tunanetra berada pada resiko yang lebih besar. Dia menyatakan bahwa rasa memiliki kompetensi diri dan persepsi dari orang lain penting dalam perkembangan konsep diri individu, karena individu dengan gangguan penglihatan dipandang berbeda oleh orang lain, sehingga mereka lebih mungkin untuk mengembangkan konsep diri yang negatif.


(16)

Menurut Clock-Clampert dalam Forteza (2000), “aspek yang paling fundamental dari anak tunanetra adalah konsep dirinya yaitu cara anak belajar untuk melihat dirinya sendiri, memiliki dampak besar terhadap ambisi masa

depan, prestasi dan kebahagiaan pribadinya”.

Anak tunanetra merupakan individu yang mengembangkan dirinya melalui hubungan dan interaksi dinamis dengan inividu lain dan dengan kelompok sosial, baik di lingkungan sekolah, asrama, rumah maupun di lingkungan masyarakat. Dengan demikian untuk mengembangkan diri anak tunanetra khususnya konsep diri anak tunanetra diperlukan rancangan bimbingan dalam ruang lingkup pribadi-sosial yang menekankan pada peningkatan pengalaman yang positif dan pengembangan konsep real self agar tidak terlalu khawatir mengenai apa yang orang lain inginkan pada diri anak tunanetra.

Bimbingan pribadi-sosial berarti upaya untuk membantu individu dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi konflik-konflik dalam diri, sebagai upaya untuk mengatur dirinya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta upaya membantu individu dalam membina hubungan sosial di berbagai lingkungan (pergaulan sosial) (Yusuf, 2009: 53).

Bimbingan pribadi-sosial dimaksudkan di atas yaitu untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan pribadi-sosial dalam mewujudkan pribadi yang takwa, mandiri, dan bertanggung jawab. Dalam aspek pribadi-sosial, layanan bimbingan membantu peserta didik agar: 1) memiliki kesadaran diri dan dapat mengembangkan sikap positif, 2) membuat pilihan secara sehat, 3) menghargai


(17)

orang lain, 4) mempunyai rasa tanggung jawab, 5) mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi (interpersonal), 6) menyelesaikan konflik, 7) membuat keputusan secara efektif.

Program bimbingan tersebut selayaknya berbasis pendekatan yang bertitiktolak dari pandangan yang positif terhadap manusia atau bahwa manusia pada dasarnya baik, perilaku manusia dengan sadar, bebas dan bertanggungjawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari dalam dirinya sendiri ke arah pemekaran seluruh potensi manusiawi secara penuh, serta agar berkembang ke arah positif, manusia membutuhkan suasana dan pendampingan personal serba penuh penerimaan dan penghargaan demi mekarnya potensi positif yang melekat dalam dirinya (Hall dan Lindzey dalam Supriatna, 2010: 11)

Pernyataan tersebut menghantarkan perancangan program bimbingan untuk mengembangkan konsep diri yang didasarkan atas pendekatan humanistik. Menurut Alwisol (2009:265) pendekatan humanistik menekankan manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri, rasional, utuh, mudah berubah dan sukar dipahami.

Dalam hal ini, program bimbingan dipandang sebagai upaya pendidikan dalam bentuk layanan yang: (1) memusatkan perhatian pada pribadi yang mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomenon primer dalam mempelajari manusia; (2) menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia seperti realisasi diri; (3) bersandarkan pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang digunakan; (4) memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan


(18)

martabat manusia, serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu (Misiak dan Sexton dalam Supriatna, 2010:11).

Bimbingan pribadi-sosial dengan pendekatan humanistik dilakukan dengan mengintegrasikan bimbingan pribadi-sosial yang di dalamnya memungkinkan peserta didik mengembangkan konsep diri yang meliputi aspek kognitif dan afektif untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kondisi fisiknya, identitas dirinya terkait sifat yang dimilikinya, mengenal kemampuan dan ketidakmampuannya, mempelajari cara pengambilan keputusan, memaknai pengalaman, menghargai diri, sikap percaya diri dan mengembangkan nilai moral peserta didik pada saat itu agar anak tunanetra tidak terlalu khawatir mengenai apa yang orang lain inginkan pada diri anak tunanetra sehingga mempengaruhi ideal selfnya. Asumsinya berdasarkan pada pandangan positif tentang manusia, dengan memandang manusia memiliki sifat bawaan untuk berjuang keras untuk menjadi individu yang selaras dan berfungsi secara penuh (becoming fully functioning) (Feist dan Feist, 2010:7).

Individu dapat mengembangkan keselarasan di dalam konsep dirinya dan keberfungsiannya sebagai manusia secara penuh setelah diberi kebebasan dan dukungan emosional serta didorong dengan lingkungan yang menerima dan memahami situasi terapeutik. Dengan demikian Sekolah memerlukan “Program Bimbingan Pribadi-Sosial untuk Mengembangkan Konsep Diri Peserta Didik berdasarkan Pendekatan Humanistik ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fakta empirik di atas memunculkan masalah penelitian secara umum adalah “Bagaimana program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan


(19)

pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013?”. Secara lebih rinci masalah utama tersebut diuraikan ke dalam pertanyaan sebagai berikut:

1) bagaimana profil umum konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013?

2) bagaimana kondisi awal profil konsep diri subjek penelitian ?

3) bagaimana rumusan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013 yang layak menurut pakar dan praktisi bimbingan dan konseling? 4) bagaimana gambaran efektivitas program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan

pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013?

C. Penjelasan Istilah

Dalam rumusan permasalahan di atas terdapat dua istilah, yaitu konsep diri dan bimbingan pribadi-sosial. Berikut ini adalah uraian penjelasan istilah tersebut. 1) Konsep Diri

Menurut Burn (1993:87) konsep diri yaitu konseptualisasi individu mengenai pribadinya sendiri, dipandang sebagai seseorang yang diinvestasikan dengan konotasi-konotasi emosional yang potensial dan evaluatif karena keyakinan-keyakinan subyektif dan pengetahuan faktual yang dianggap berasal dari diri individu yang bersifat pribadi dalam berbagai tingkatan, intens dan sentral terhadap keunikan identitasnya.


(20)

Menurut Hurlock (1993: 234) konsep diri diartikan sebagai gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri yang meliputi karasteristik fisik, emosional, psikologis sosial, aspirasi dan prestasi. Berdasarkan pendapat Hurlock, keyakinan terhadap apa yang menjadi karakteristik individu tidak seharusnya didapatkan dari orang lain sebagai pemberi informasi. Individu dapat menggali dan mengolahnya sendiri menjadi sebuah kepribadian yang khas.

Menurut Carl Rogers (Alwisol, 2004:338) konsep diri diartikan sebagai: (a) persepsi, keyakinan, perasaan/sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas pensifatan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya sendiri; (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya.

Lebih lanjut menurut Rogers, konsep diri merupakan gestalt konseptual yang teratur dan bersifat konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang ciri atau karakteristik diri individu dan juga persepsi yang individu miliki tentang hubungan antara diri individu dengan orang lain, pendapat orang lain yang diyakini terhadap diri, juga berbagai aspek dalam kehidupan individu. Konsep diri menurut Rogers (Prabawa, 2009:10) tidak hanya terdiri dari persepsi tentang apa yang individu sukai, tetapi juga apa yang individu fikirkan tentang apa yang seharusnya individu lakukan dan ingin menjadi seperti apa diri individu. Keadaan diri individu saat ini disebut real self, sementara ideal self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut.


(21)

Menurut Atwater (Desmita, 2010:163) konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Atwater mengidentifikasikan konsep diri atas tiga bentuk, pertama, body image yaitu kesadaran tentang tubuhnya; kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya; ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan konsep diri adalah cara pandang individu terhadap gambaran pribadinya yang merupakan gabungan dari persepsi dan sikap terhadap keadaan diri individu saat ini dan keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu tersebut dengan dipengaruhi aspek-aspek yang terikat meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif meliputi pengalaman masa lalu, keyakinan terhadap pilihan, pemahaman kelebihan dan kelemahan diri, pertimbangan konsekuensi pilihan-pilihan, tujuan yang ingin dicapai, harapan, nilai-nilai kehidupan, kesadaran akan perilaku diri dan orang lain. Aspek afektif meliputi dorongan-dorongan, perasaan subjektif individu tetrhadap diri, penghargaan terhadap diri dan orang lain, keterlibatan dalam sebuah komunitas dan taat pada norma yang berlaku. Aspek psikomotorik meliputi interaksi dengan lingkungan sosial, kemampuan berbahasa dan mengelola emosi. Konsep diri mempresentasikan pola persepsi yang terorganisasi dan kosisten. Walaupun diri berubah, diri akan selalu memiliki kualitas pola, integrasi dan organisasi yang sama.


(22)

Istilah konsep diri dalam penelitian ini adalah cara pandang individu terhadap gambaran pribadinya saat ini, meliputi aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif meliputi pengetahuan diri terkait kondisi fisik, penjabaran identitas diri terkait kepribadian, pemahaman kelebihan dan kelemahan diri, pertimbangan konsekuensi pilihan-pilihan, pemaknaan terhadap pengalaman, kesadaran akan perilaku diri dan orang lain. Aspek afektif meliputi dorongan-dorongan, perasaan subjektif individu terhadap diri, penghargaan terhadap diri dan orang lain, sikap percaya diri dan keyakinan terhadap nilai dan norma yang berlaku.

2) Bimbingan Pribadi-Sosial

Menurut Winkel (2006:118) bimbingan pribadi-sosial berarti bimbingan yang diberikan kepada konseli oleh konselor dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi berbagai pergumulan dalam batinnya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan (pergaulan sosial).

Menurut Rochman Natawidjaja (Yusuf, 2010:40) bimbingan pribadi-sosial diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu (konseli) yang dilakukan secara berkesinambungan oleh konselor, supaya individu dapat memahami dirinya sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya.

Lebih lanjut Yusuf dan Nurihsan (2010:11) menjabarkan bimbingan pribadi-sosial merupakan bimbingan untuk membantu para individu dalam


(23)

memecahkan masalah-masalah pribadi-sosial. Yang tergolong dalam permasalahan pribadi-sosial adalah masalah hubungan dengan sesama teman, pemahaman sifat dan kemampuan diri, penyesuaian diri dengan lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal dan penyelesaian konflik.

Berdasarkan uraian di atas bimbingan pribadi-sosial dapat diartikan sebagai proses bantuan kepada individu (konseli) yang dilakukan oleh tenaga ahli (konselor) untuk membantu individu (konseli) memecahkan masalah-masalah pribadi-sosial, yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi, serta ragam permasalahan yang dialami oleh individu (konseli). Bimbingan pribadi-sosial diberikan dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, interaksi pendidikan yang akrab, mengembangkan pemahaman diri dan sikap-sikap yang positif serta keterampilan-keterampilan sosial yang tepat.

Pendekatan humanistik menurut Rochman Natawidjaja (Supriatna, 2010:56) memiliki pandangan yang menghargai pemahaman pengalaman subjektif individu dan mementingkan aspek pertumbuhan dan perkembangan pribadi untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis tersebut sangat tergantung pada konsep diri yang sehat. Perkembangan konsep diri yang sehat akan tercapai jika seseorang memperoleh penghargaan positif atau cinta tanpa syarat.

Lebih lanjut pendekatan humanistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Misiak dan Sexton dalam Supriatna, 2010:56): 1) berfokus pada pengalaman sebagai fenomenon primer dalam mempelajari manusia, atau perhatian terpusat


(24)

pada pribadi yang mengalami; 2) menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai dan realisasi diri sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistik dan reduksionistik; 3) dalam memilih masalah-masalah yang dipelajari dan prosedur penelitian yang dipergunakan bersandar pada kebermaknaan serta menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan signifikansi; dan 4) memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan martabat manusia, serta tertarik pada perkembangan potensi yang melekat pada setiap individu. Artinya, individu dipandang dapat menemukan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial.

Pendekatan humanistik Rogers memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia tersebut berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek pendekatan humanistik Rogers atau disebut terapi person centered (PCT). Menurut Roger konsep inti PCT adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.

Program bimbingan pribadi-sosial dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan konselor untuk melaksanakan bantuan kepada individu (konseli) dalam mengembangkan potensi diri dan kemampuan berhubungan sosial sehingga


(25)

membina hubungan sosial di berbagai lingkungan atau pergaulan sosial, serta bertujuan untuk mencapai perkembangan diri khususnya pengembangan konsep diri individu dengan menggunakan pendekatan humanistik dari Rogers melalui metode yang mengandung aktivitas dialogis, reflektif dan ekspresif, sebagaimana dipergunakan dalam proses pendidikan yang humanis. Adapun struktur program sebagai berikut.

1. Orientasi program yaitu landasan pembuatan program bimbingan yang mengacu pada teori Rogers sebagai pedoman utama.

2. Rasional dan asumsi program menjelaskan mengenai pandangan Rogers terhadap manusia khususnya dalam mengembangkan konsep diri peserta didik.

3. Tujuan program yaitu menerapkan pendekatan humanistik dari Rogers untuk mengembangkan konsep diri peserta didik.

4. Peran konselor yaitu menjabarkan tugas-tugas konselor dalam melaksanakan program pribadi-sosial dari mulai persiapan, pelaksanaan dan evaluasi program. 5. Kompetensi konselor yaitu menjelaskan kemampuan-kemampuan konselor

dalam melaksanakan program bimbingan pribadi-sosial dalam penelitian ini. 6. Struktur dan tahapan program yaitu menjelaskan dengan rinci tahapan, tujuan,

deskripsi kegiatan, dan sistem penunjang pelaksanaan program. 7. Evaluasi program yaitu mencakup evaluasi proses dan hasil.

8. Indikator pencapaian pelaksanaan program bimbingan pribadi-sosial dalam mengembangkan konsep diri peserta didik.


(26)

D.Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik. Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk menemukanfakta empirik tentang:

1) profil umum konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013; 2) kondisi awal profil konsep diri subjek penelitian;

3) rumusan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013 yang layak menurut pakar dan praktisi bimbingan dan konseling; 4) keefektifan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan

humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat bermanfaat bagi konselor sekolah dan peneliti selanjutnya. 1) Bagi guru bimbingan dan konseling/konselor sekolah

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar bagi konselor untuk mengembangkan konsep diri peserta didik khususnya peserta didik tunanetra satuan pendidikan SMP.

2) Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian dapat ditindaklanjuti untuk mengembangkan konsep diri peserta didik dalam setting sekolah SLB maupun sekolah inklusi yang lebih luas.


(27)

F. Asumsi Penelitian

Penelitian dan pengembangan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut.

1) Bimbingan pribadi-sosial diarahkan untuk memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya. Bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami individu (Syamsu, 2010).

2) Pendekatan humanistik memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan martabat manusia, serta tertarik pada perkembangan potensi yang melekat pada setiap individu. Artinya, individu dipandang dapat menemukan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial (Misiak dan Sexton dalam Supriatna, 2010:56).

3) Pendekatan person centered therapy lebih menekankan nilai-nilai positif individu, lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan dan kemampuannya

daripada kekurangan dan kesulitannya. Disamping itu, konsep “unconditional

positive regard” besar artinya untuk mempromosikan penerimaan diri (self acceptance) dan mempertinggi rasa harga diri (self esteem). Selain itu, pendekatan person centered juga menghargai upaya keras, dan hal ini sangat relevan dengan pengalaman individu penyandang cacat tertentu, termasuk ketunanetraan (Tarsidi, 2008:69).


(28)

G. Metodologi Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian eksperimen kuasi, dengan desain kelompok kontrol yang non-ekuivalen (nonequivalent control group design). Desain penelitian nonequivalent pretest-posttest control group design, yaitu jenis desain yang biasanya dipakai pada eksperimen yang menggunakan kelas-kelas yang sudah ada sebagai kelompoknya, dengan memilih kelas-kelas yang diperkirakan sama keadaan atau kondisinya. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.


(29)

H.Kerangka Penelitian

Bagan 1.1

Kerangka Penelitian Bimbingan Pribadi-Sosial untuk Mengembangkan Konsep Diri Peserta Didik berdasarkan Pendekatan Humanistik

Rancangan Instrumen Konsep Diri

1. Judgment ke ahli dan Praktisi 2. Uji Keterbacaan

3. Uji validitas dan Reliabilitas Studi Pendahuluan:

1.kajian literatur 2.studi lapangan

Instrumen Konsep Diri yang Valid

Program Bimbingan Pribadi-Sosial yang Efektif untuk Mengembangkan

Konsep Diri Peserta Didik TAHAP PERSIAPAN

TAHAP PELAKSANAAN

TAHAP AKHIR

Uji Efektivitas Profil Umum Konsep Diri

Pre tes

Data Awal Konsep Diri

Rancangan Program Bimbingan Pribadi -Sosial

Judgment Rasional

Program Hipotetik Bimbingan Pribadi -Sosial

Tes terhadap populasi penelitian

Post tes Eksperimentasi Program

kepada Sampel Penelitian kelompok eksperimen Data Hasil Eksperimen Sampel Penelitian: Kel. Eksperimen & Kel Kontrol


(30)

METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang pendekatan dan desain penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, rancangan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan langkah-langkah penelitian.

A. Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang banyak menggunakan angka-angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasilnya (Arikunto, 2006:12). Sedangkan menurut Azwar penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode statistika. Pada dasarnya, pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial (dalam rangka pengujian hipotesis). Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikasi hubungan antar variabel yang diteliti (Azwar, 2007:5).

Dalam penelitian ini digunakan metode pre eksperimental design. Menurut Arikunto (2006:84), pre eksperimental design sering kali dipandang sebagai eksperimen tidak sebenarnya. Oleh karena itu, sering disebut dengan “quasi experiment” atau eksperimen semu. Penelitian eksperimen kuasi dapat diartikan sebagai penelitian yang mendekati eksperimen atau eksperimen semu. Bentuk penelitian ini banyak digunakan di bidang ilmu pendidikan atau penelitian lain


(31)

kelompok kontrol. Metode penelitian eksperimen kuasi (quasi experiment) mirip dengan metode eksperimen namun lebih fleksibel karena tidak menggunakan random assigment (Hepner et al., 2008:176). Penelitian eksperimen semu, dilakukan untuk menguji hipotesis tentang ada tidaknya pengaruh suatu perlakuan bila dibandingkan dengan perlakuan lain dengan pengontrolan variabelnya sesuai dengan kondisi yang ada (situasional).

Alasan peneliti menggunakan metode penelitian quasi experiment adalah karena (1) sampel penelitian yang digunakan melalui teknik sampel purposive yaitu pemilihan sampel dilakukan tidak secara random; (2) peneliti tidak mungkin menempatkan subjek penelitian dalam situasi laboratorik murni yang sama sekali bebas dari pengaruh lingkungan sosial selama diberikan perlakuan eksperimental. Penelitian ini menggunakan eksperimen kuasi dengan desain kelompok kontrol yang non-ekuivalen (Nonequivalent Control Group Design). Desain penelitian nonequivalent pretest-posttest control group design, yaitu jenis desain yang biasanya dipakai pada eksperimen yang menggunakan kelas-kelas yang sudah ada sebagai kelompoknya, dengan memilih kelas-kelas yang diperkirakan sama keadaan atau kondisinya. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Kedua kelompok tersebut terdiri dari peserta didik yang memiliki konsep diri tidak kongruen berdasarkan data penyebaran instrumen konsep diri oleh peneliti. Jumlah anggota kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dibandingkan dengan porsi yang seimbang. Kelompok eksperimen diberikan


(32)

kelompok kontrol. Alasan peneliti menggunakan desain ini adalah sebagai manipulasi, dimana peneliti menjadikan variabel bebas untuk menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh peneliti, sehingga variabel lain dipakai sebagai pembanding yang bisa membedakan antara kelompok yang memperoleh perlakuan/manipulasi dengan kelompok yang tidak memperoleh perlakuan/manipulasi (kelompok yang memperoleh perlakuan konvensional).

Adapun desain penelitiannya mengadaptasi dari Sugiono (2010:112), digambarkan sebagai berikut.

Tabel 3.1 Desain Penelitian

KELAS Pre Test Perlakuan Post Test

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O3 - O4

Keterangan: X =

O1 =

O2 =

Perlakuan dengan program bimbingan pribadi-sosial dengan menggunakan pendekatan humanistik terhadap pengembangan konsep diri

Pengungkapan awal kondisi konsep diri peserta didik kelas eksperimen dengan menggunakan instrumen konsep diri peserta didik

Pengungkapan akhir kondisi konsep diri peserta didik kelas eksperimen dengan menggunakan instrumen konsep diri peserta didik

O3 =

O4 =

Pengungkapan awal kondisi konsep diri peserta didik kelas kontrol dengan menggunakan instrumen konsep diri peserta didik

Pengungkapan akhir kondisi konsep diri peserta didik kelas kontrol dengan menggunakan instrumen konsep diri peserta didik


(33)

1. Lokasi

Tempat atau lokasi penelitian di SLBN A Kota Bandung bertempat di Jl. Padjajaran Kota Bandung Provinsi Jawa Barat yang selanjutnya disebut SMPLB X. Alasan dipilihnya sekolah tersebut sebagai tempat penelitian dikarenakan mudah dalam hal pengawasan karena sekolah tersebut terletak di pusat kota Bandung. Sekolah ini dapat dikatakan sebagai sekolah pemula di kota Bandung yang menerima peserta didik tunanetra selain itu sekolah ini terakreditasi A di kota Bandung. Jumlah peserta didik SMPLB tunanetra yang mengikuti pendidikan di sekolah ini relatif banyak dibandingkan di SLBN A lainnya.

2. Populasi

Populasi penelitian ini adalah peserta didik SMPLB. Jumlah populasi penelitian sebanyak 23 orang. Karakteristik populasi penelitian, yaitu a) peserta didik SMPLB; b) berusia 13 sampai dengan 21 tahun; c) pria dan wanita; d) jenis ketunaan adalah tunanetra tanpa memiliki ketunaan ganda. Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan populasi adalah sebagai berikut.

a) Peserta didik SMPLB berada dalam rentang usia remaja, yaitu berkisar antara 13-21 tahun yang merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional.

b) Peserta didik SMPLB termasuk kategori “remaja” yang mulai berfikir secara lebih abstrak dan idealistik. Pada diri remaja muncul kemampuan untuk mengkonstruksi diri ideal dan diri sebenarnya, menjadi membingungkan bagi remaja. Menurut


(34)

tanda ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri (Santrock, 2003:333)

c) Peserta didik SMPLB mendapatkan perlakuan konvensional berupa layanan bimbingan dan konseling secara rutin oleh guru pembimbing di sekolah, sehingga peneliti mencoba membandingkan perlakuan konvensional tersebut dengan perlakuan yang peneliti berikan sesuai dengan rancangan penelitian yang dibuat peneliti.

3. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang akan diteliti. Subjek yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013 yang teridentifikasi memiliki konsep diri tidak kongruen, berdasarkan hasil perhitungan dari penyebaran instrumen konsep diri. Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment dengan teknik yang digunakan purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2010:124).

Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling ditentukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a) Menyebarkan instrumen konsep diri peserta didik terhadap 23 orang peserta didik SMPLB X

b) Mengambil peserta didik secara homogen, yaitu berdasarkan kategori konsep diri tidak kongruen yaitu sebanyak 14 orang peserta didik.


(35)

menjadi dua kelompok, yaitu 7 peserta didik untuk kelompok eksperimen dan 7 peserta didik untuk kelompok kontrol.

Langkah pengambilan sampel tersebut dimaksud agar dapat menyaring peserta didik yang memiliki kategori konsep diri tidak kongruen kemudian dikelompokan dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Penelitian

Dalam penelitian terdapat dua variabel yaitu konsep diri peserta didik dan program bimbingan pribadi-sosial, yaitu.

a) Variabel bebas (X) adalah variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai variabel bebas adalah program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik

b) Variabel terikat (Y) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi sebab akibat. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai variabel terikat adalah konsep diri .

Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. 2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik dan konsep diri.

a) Bimbingan Pribadi-Sosial

Menurut Winkel (2007:35) bimbingan pribadi-sosial berarti proses bantuan yang diberikan dari konselor ke konseli dalam menghadapi permasalahan


(36)

bimbingan pribadi-sosial merupakan bimbingan untuk membantu para individu dalam memecahkan masalah-masalah pribadi-sosial. Permasalahan yang bersifat pribadi-sosial adalah masalah hubungan dengan sesama teman, pemahaman sifat dan kemampuan diri, penyesuaian diri dengan lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal dan penyelesaian konflik.

Pendekatan humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar pendekatan ini sesuai dengan pengertian humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu. Falsafah dan asumsi dasar pendekatan ini berdasarkan pada pandangan positif tentang manusia yang melihat orang memiliki sifat bawaan berjuang keras ke arah menjadi untuk berfungsi secara penuh (becoming fully functioning) (Feist dan Feist, 2010:7). Istilah bimbingan pribadi-sosial dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan konselor untuk melaksanakan bantuan kepada konseli dalam mengembangkan potensi diri dan kemampuan berhubungan sosial sehingga membina hubungan sosial di berbagai lingkungan atau pergaulan sosial, serta bertujuan untuk mencapai perkembangan diri mengacu pada data profil konsep diri peserta didik. Secara operasional bimbingan pribadi-sosial dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan peneliti sebagai konselor untuk melaksanakan bantuan kepada peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013 sebagai konseli dalam


(37)

hubungan sosial di berbagai lingkungan atau pergaulan sosial, serta bertujuan untuk mencapai perkembangan diri khususnya pengembangan konsep diri peserta didik dengan menekankan nilai-nilai positif individu, lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan dan kemampuannya daripada kekurangan dan kesulitannya serta

menerapkan konsep “unconditional positive regard”. b) Konsep Diri

Menurut Burn (1993:87) konsep diri yaitu konseptualisasi individu mengenai pribadinya sendiri, dipandang sebagai seseorang yang diinvestasikan dengan konotasi-konotasi emosional yang potensial dan evaluatif karena keyakinan-keyakinan subyektif dan pengetahuan faktual yang dianggap berasal dari diri individu yang bersifat pribadi dalam berbagai tingkatan, intens dan sentral terhadap keunikan identitasnya.

Menurut Carl Rogers (Alwisol, 2004:338) terkait konsep diri diartikan sebagai: (a) persepsi, keyakinan, perasaan/sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas pensifatan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya sendiri; (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya.

Konsep diri menurut Rogers (Prabawa, 2009:9) merupakan sebagian dari medan fenomenal yang lama kelamaan menjadi terpisah. Menurut Rogers, konsep diri merupakan gestalt konseptual yang teratur dan bersifat konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang ciri atau karakteristik diri individu dan juga persepsi yang individu miliki tentang hubungan antara diri individu dengan orang lain,


(38)

kehidupan individu.

Menurut Rogers (Prabawa, 2009:10) konsep diri tidak hanya terdiri dari persepsi tentang apa yang individu sukai, tetapi juga apa yang individu fikirkan tentang apa yang seharusnya individu lakukan dan ingin menjadi seperti apa diri individu. Keadaan diri individu saat ini disebut real self, sementara ideal self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut.

Menurut Atwater (Desmita, 2010:163) konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Atwater mengidentifikasikan konsep diri atas tiga bentuk, pertama, body image yaitu kesadaran tentang tubuhnya; kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya; ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan konsep diri merupakan cara pandang individu terhadap gambaran pribadinya yang merupakan hasil penggabungan dari persepsi mengenai karakteristik diri pada saat ini (real self) dan persepsi mengenai diri terhadap orang lain dan kehidupan sehingga memunculkan diri yang diinginkan dalam dirinya (ideal self) meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif meliputi pengalaman masa lalu, keyakinan terhadap pilihan, pemahaman kelebihan dan kelemahan diri, pertimbangan konsekuensi pilihan-pilihan, tujuan yang ingin dicapai, harapan,


(39)

meliputi dorongan-dorongan, perasaan subjektif individu tetrhadap diri, penghargaan terhadap diri dan orang lain, keterlibatan dalam sebuah komunitas dan taat pada norma yang berlaku. Aspek psikomotorik meliputi interaksi dengan lingkungan sosial, kemampuan berbahasa dan mengelola emosi. Selanjutnya konsep diri mempresentasikan pola persepsi yang terorganisasi dan kosisten. Walaupun diri berubah, diri akan selalu memiliki kualitas pola, integrasi dan organisasi yang sama.

Secara operasional konsep diri yang diungkap dalam penelitian ini dibatasi pada real self sedangkan aspek dalam penelitian ini dibatasi pada aspek kognitif dan afektif. Indikator yang terdapat dalam aspek kognitif dan afektif tidak semua digunakan. Secara operasional konsep diri dalam penelitian ini adalah cara pandang peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013 terhadap gambaran pribadinya pada saat ini, meliputi aspek kognitif dan afektif. Indikator-indikator dari aspek tersebut yaitu sebagai berikut.

a. Kognitif

1) Mengetahui kondisi fisik

2) Menjabarkan identitas diri terkait kepribadian 3) Mengenal kemampuan dan ketidakmampuan diri

4) Mempelajari cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah 5) Memaknai pengalaman

b. Afektif


(40)

3) Meyakini nilai-nilai moral

D. Pengembangan Instrumen Penelitian

Berdasarkan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini maka dikembangkan alat pengumpul data yaitu skala konsep diri, digunakan untuk memperoleh gambaran tentang konsep diri peserta didik sebelum dan sesudah mengikuti proses bimbingan pribadi-sosial.

1. Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Instrumen konsep diri peserta didik dikembangkan dari definisi operasional variabel. Instrumen ini berisi pernyataan-pernyataan tentang konsep diri merujuk pada aspek kognitif dan afektif berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh Rogers. Instrumen disusun berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat sehingga menghasilkan item-item pernyataan dan kemungkinan jawabannya. Instrumen digunakan untuk mengukur konsep diri peserta didik. Angket menggunakan format rating scale (skala penilaian) model Likert . Adapun kisi-kisi instrumen disajikan dalam tabel 3.2 berikut ini dan instrumen secara lengkap terlampir dalam lampiran.

Tabel 3.2

Kisi-kisi Instrumen Konsep Diri Peserta Didik

ASPEK INDIKATOR No. Item Jml

Kognitif (pengetahuan individu terhadap dirinya sendiri yang akan membentuk gambaran dirinya)

a. Mengetahui kondisi fisik 1,2,3,4,5,6,7,8 8 b. Menjabarkan identitas diri

terkait kepribadian

9,10,11,12,13,14,15,16 ,17,18,19,20

12 c. Mempelajari cara-cara

pengambilan keputusan dan


(41)

2. Penimbangan Instrumen (Expert Judgment) dan Uji Keterbacaan Instrumen

Penimbangan instrumen dilakukan untuk memperoleh item-item yang valid yang dapat mengukur permasalahan konsep diri peserta didik. Instrumen penelitian ditimbang oleh tiga orang pakar untuk dikaji dan ditelaah dari segi isi, redaksi kalimat, serta kesesuaian item dengan aspek-aspek yang akan diungkap (apakah item layak digunakan untuk mengungkapkan atribut yang dikehendaki oleh peneliti sebagai perancang instrumen).

Ketiga penimbang tersebut adalah Dr. Mubiar Agustin, M.Pd., yang merupakan pakar dalam bimbingan dan konseling, Dr. Nurhuda, M.Pd., yang merupakan pakar dalam testing psikologis dan konstruksi tes serta Dr. Jaja Raharja, M.Pd., yang merupakan pakar dalam bidang pendidikan luar biasa khususnya ketunanetraan.

Penimbangan perlu dilakukan guna mendapatkan angket yang sesuai dengan kebutuhan peneliti. Bila terdapat butir pernyataan yang tidak sesuai, maka

ketidakmampuan diri 5,36,37

e. Memaknai pengalaman 38,39,40,41,42,43,44,4 5,46,47,48,49

11 Afektif

(penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang akan membentuk bagaimana

penerimaan terhadap diri dan harga diri individu)

a. Menghargai diri dan orang lain 50,51,52,53,54,55,56,5 7,58,59,60,61,62,63,64 ,65,66,67,68,69,70,71, 72

22

b. Sikap percaya diri 73,74,75,76,77,78,79,8 0,81,82,83,84,85,86,87 ,88,89,90,92

91,93,94

21

c. Meyakini nilai-nilai moral 95,96,97,98,99 5


(42)

disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Hasil penilaian dosen penimbang, pada angket penelitian ini mengalami revisi bahasa dan sejumlah 9 item dibuang karena tidak memenuhi kualifikasi, sehingga jumlah item pada angket yang akan diujicobakan sebanyak 99 item.

Instrumen yang telah memperoleh penilaian dari ketiga pakar kemudian direvisi sesuai dengan saran dan masukan dari para penimbang tersebut. Setelah itu instrumen yang telah direvisi, kemudian dilakukan uji keterbacaan oleh lima responden untuk mengetahui apakah setiap item dapat dan mudah dipahami oleh responden. 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

a. Uji Validitas

Instrumen ini diujicobakan terhadap 5 orang peserta didik SMPLB di SLBN A Citeurep dan 5 orang di SLBN A Kota Bandung, dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan/kesahihan (validity) dan keterandalan (reliability) alat ukur yang telah disusun dan akan digunakan penelitian

Uji validitas instrumen dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan software SPSS version 17.0 for Windows. Hasil uji validitas dapat dilihat pada lampiran 2 (pengolahan data). Validitas menunjukan sejauh mana relevansi pertanyaan terhadap apa yang di tanyakan dan apa yang ingin di ukur dalam penelitian. Suatu pertanyaan dikatan valid dan dapat mengukur variabel penelitian jika nila koefesien validitasnya lebih dari atau sama dengan 0,30 (Sugiono, 2010:179). Proses pengujian validitas instrumen dilakukan dengan koofesien korelasi product moment dengan rumus sebagai berikut:


(43)

 

 

2

2 2

2

Y Y

N X X

N rxy

Keterangan :

rxy = Koefesien indek korelasi product moment N = Jumlah Subyek

ΣX = Jumlah skror total variable X

ΣY = Jumlah skor total variable Y

ΣX2

= Jumlah kuadrat skor variable X

ΣY2

= Jumlah kuadrat skor variable Y (Arikunto, 2006 : 170)

Setelah mendapatkan r hitung, kemudian untuk menguji nilai signifikansi validitas butir soal tersebut, digunakan uji t yaitu dengan menggunakan rumus berikut.

t

Keterangan:

r = Nilai Koefesien Korelasi N = Jumlah sampel

Dasar pengambilan keputusan, yaitu sebagai berikut.

Jika r positif, serta r 0.30 maka item pertanyaan tersebut valid. Jika r negatif, serta r 0.30 maka item pertanyaan tersebut tidak valid.

Perhitungan validitas dengan menggunakan rumus koofesien korelasi product moment dilakukan dengan bantuan Software SPSS. Di antara sejumlah 99 item yang diujicobakan, hanya diperoleh 85 item yang memenuhi kriteria penerimaan r tersebut.


(44)

Hasil Uji Validitas Instrumen

KESIMPULAN ITEM JUMLAH

Memadai 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 22. 23, 24, 25, 26, 38, 29, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 85, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 100, 103, 104, 107, 108

85

Buang 1,11,12,14,23,24,30,31,36,42,43,45,58,62 14 b. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas instrumen bertujuan untuk melihat tingkat keterandalan atau kemantapan sebuah instrumen (level of consistency) penelitian atau dengan kata lain sejauh mana instrumen mampu menghasilkan skor-skor secara konsistens (Rakhmat dan Solehudin, 2006:70). Reliabilitas instrumen merupakan penunjuk sejauh mana hasil pengukuran dengan menggunakan instrumen tersebut dapat dipercaya. Reliabilitas intrumen ditunjukkan sebagai derajat keajegan (konsistensi) skor yang diperoleh oleh subjek penelitian dengan instrumen yang sama dalam kondisi yang berbeda. Derajat konsistensi diperoleh sebagai proporsi varians skor perolehan subjek. Dalam hal ini, skor perolehan terdiri dari skor murni dan skor kekeliruan galat pengukuran. Oleh karena itu, reliabilitas instrumen secara operasional dinyatakan sebagai koefisien korelasi (r) (Suryabrata, 1999:41).

Hasil uji reliabilitas pada instrumen konsep diri dengan menggunakan software SPSS version 17.0 for Windows diperoleh koefisien Alpha Cronbach untuk konsep diri peserta didik sebesar α = 0, 989. Titik tolok ukur koefisien reliabilitas digunakan pedoman koefisien korelasi dari Sugiyono (2010: 149) yang disajikan pada Tabel 3.4 berikut.


(45)

Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi

Berdasarkan hasil koefisien Alpha Cronbach yang diperoleh (α = 0, 989) dan mengacu pada titik tolak ukur pada Tabel 3.4, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen konsep diri peserta diri memiliki tingkat reliabilitas sangat tinggi. E. Pengembangan Program Bimbingan Pribadi-Sosial berdasarkan

Pendekatan Humanistik

Pengembangan produk merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan dalam sebuah penelitian yang menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan. Adapun tahapan dalam pengembangan produk yang berupa program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Penyusunan Draf Program

Setelah memperoleh landasan teoretis mengenai konsep diri dan kondisi awal konsep diri, maka kegiatan berikutnya dalam pengembangan program adalah menyusun draf program berisi pedoman umum operasional program yang meliputi: (1) orientasi program; (2) rasional dan asumsi; (3) tujuan program; (4) peran konselor; (5) kompetensi konselor; (6) penunjang teknis layanan; (7) struktur dan tahapan program, (8) refleksi dan indikator keberhasilan.

Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 ─ 0,199

0,20 ─ 0, 399 0,40 ─ 0,599 0,60 ─ 0, 799 0,80 ─ 1, 000

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi


(46)

Uji rasional dalam penelitian ini melalui dua jenis pengujian yaitu: uji validitas isi program dan uji empiris.

a. Uji Validitas Isi Program

Uji validitas isi program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik pada penelitian ini menggunakan pendekatan humanistik yang diberikan oleh lima orang pakar/ahli Bimbingan dan Konseling yaitu Dr. Mubiar Agustin, M. Pd., Dr. Ipah Saripah, M. Pd., Dr. Jaja R, M.Ed., Dr. Ehan, M.Pd., dan Agus Sensus, M.Pd.

b. Uji Empiris

Uji empiris dilakukan melalui uji keterbacaan dan uji kepraktisan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik dalam mengembangkan konsep diri dengan teknik group discussion dari para praktisi bimbingan dan konseling. dalam penelitian ini uji kepraktisan dilakukan oleh Guru BK yaitu Tri Bagio, M.Pd.

3. Hasil Uji Program Hipotetik Bimbingan Pribadi-Sosial berdasarkan Pendekatan Humanistik untuk Mengembangkan Konsep Diri Peserta Didik SMPLB X

Program bimbingan pribadi-sosial dalam penelitian ini dirancang berdasarkan pendekatan humanistik yang dipadukan dengan hasil studi pendahuluan tentang profil konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013. Program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik


(47)

dan afektif.

Program bimbingan pribadi-sosial yang dikembangkan dijabarkan dari konsep pendekatan humanistik, artinya secara umum konten dari layanan bimbingan pribadi-sosial yang harus dikembangkan peserta didik adalah konsep diri dengan bernuansa humanistik. Pengembangan program dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu.

Tahap pertama, penyusunan draf program bimbingan pribadi-sosial untuk mengembangkan konsep diri peserta didik. Sistematika program yang dikembangkan meliputi: (1) orientasi program; (2) rasional dan asumsi; (3) tujuan program; (4) peran konselor; (5) kompetensi konselor; (6) penunjang teknis layanan; (7) struktur dan tahapan program, (8) refleksi dan indikator keberhasilan.

Tahap kedua, uji validasi rasional yang terdiri dari uji validasi isi program dan uji empiris atau uji kepraktisan. Uji validasi isi program ditimbang oleh lima orang pakar/ahli Bimbingan dan Konseling yaitu Dr. Mubiar Agustin, M. Pd., Dr. Ipah Saripah, M. Pd., Dr. Jaja R, M.Ed., Dr. Ehan, M.Pd dan Agus Sensus, M.Pd.

Adapun masukan yang diperoleh dari pakar dan praktisi yang melakukan judgement terhadap program ini dipaparkan sebagai berikut.

Tabel 3.5

Hasil Penimbangan Pakar dan Praktisi Terhadap Layanan Bimbingan Pribadi-Sosial berdasarkan Pendekatan Humanistik

ASPEK LAYANAN HASIL PENIMBANGAN PAKAR

Orientasi program Orientasi program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik sudah memadai, namun ada beberapa


(48)

teori dalam orientasi program dan belum terlihatnya definisi program bimbingan pribadi-sosial dan relevansi antara program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik dengan konsep diri. Tindak lanjut masukan tersebut dilakukan revisi yang sesuai dengan yang disarankan.

Rasional dan Asumsi Program

Rasional dan asumsi program merupakan landasan teoritis maupun empiris sebagai need assessment yang dijadikan dasar dalam pembuatan program. Hasil pertimbangan pakar menyatakan bahwa rasional dan asumsi program memadai, namun ada beberapa saran yang menjadi masukan yaitu terlalu banyak teori yang dicantumkan sehingga peneliti menindak lanjutinya dengan mengurangi landasan teori sesuai dengan yang disarankan penimbang. Selain itu saran yang diberikan dengan mendeskripsikan profil konsep diri peserta didik. Tujuan Tujuan program merupakan gambaran hasil yang

diharapkan setelah peserta didik mengikuti layanan. Berdasarkan hasil penimbangan pakar terhadap tujuan program dinilai memadai, sedangkan dua pakar memberi nilai sangat memadai. Saran dan komentar yang diberikan adalah perlunya diklasifikasikan dalam tujuan umum dan tujuan khusus program, dan perlunya disesuaikan dengan need assesment.

Peran Konselor Peran konselor adalah kemampuan dasar yang perlu dimiliki konselor untuk melaksanakan layanan. Hasil penimbangan pakar diketahui tiga pakar menyatakan sangat memadai dan dua pakar lain menyatakan memadai. Masukan yang diberikan adalah perlu dijelaskan dengan bahasa yang lebih deskriptif dan operasional. Tindak lanjut masukan tersebut dilakukan revisi yang sesuai dengan yang disarankan.

Kompetensi Konselor Kemampuan konselor dalam melaksanakan program bimbingan pribadi-sosial untuk mengembangkan konsep diri peserta didik. Berdasarkan kelima pakar menilai kompetensi konselor memadai dan masukan yang diberikan adalah perlu dijelaskan dengan bahasa yang lebih deskriptif dan operasional. Tindak lanjut terhadap masukan tersebut dilakukan dilakukan revisi yang sesuai dengan yang disarankan.

Penunjang Teknis Layanan

Penunjang teknis layanan dinilai oleh pakar sudah memadai. Masukan yang diberikan adalah perlu diperjelas dalam tahapan pelaksanaan bimbingan. Tindak lanjut dari saran tersebut dilakukan dilakukan revisi yang


(49)

Struktur dan Tahapan Layanan

Struktur dan tahapan berisi gambaran singkat langkah kerja dan aktivitas yang ada dalam setiap layanan. Hasil penimbangan menurut lima pakar menunjukkan struktur dan tahapan dianggap memadai. Setiap tahapan dalam dianggap sudah mengakomodir dalam pencapaian tujuan program. Masukan yang diberikan adalalah perlu ditambah pengembangan tema dan materi program pada setiap tahapan.

Refleksi Layanan dan Indikator

Keberhasilan

Refleksi layanan dinilai oleh pakar sudah memadai. Masukan yang diberikan adalah perlu disertakan format lampiran refleksi. Tindak lanjut dari saran tersebut dilakukan dilakukan revisi yang sesuai dengan yang disarankan. Indikator keberhasilan dinilai oleh kelima orang pakar sudah memadai dan tidak ada masukan yang perlu diperbaiki.

F. Teknik Analisis Data

Penelitian menggunakan metode eksperimen kuasi yang menyajikan profil umum tentang konsep diri peserta didik dan efektivitas program bimbingan pribadi-sosial. Untuk uji efektivitas program, dibandingkan hasil skor rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Mengacu pada kepentingan tersebut, penting diadakan analisis statistika untuk menjawab pertanyaan penelitian dan memperoleh data dalam bentuk angka.

1. Teknik Analisis Profil Umum Konsep Diri Peserta Didik

Teknik analisis pertama ditujukan untuk mengetahui gambaran umum konsep diri, alat yang digunakan berupa instrumen. Instrumen disusun berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat sehingga menghasilkan item-item pernyataan dan kemungkinan jawabannya. Instrumen digunakan untuk mengukur konsep diri peserta didik.

Item pernyataan dalam instrumen konsep diri peserta didik menggunakan bentuk skala Likert, dengan pilihan Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Kurang Setuju


(50)

penskoran untuk mendapat skor angket konsep diri peserta didik dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini.

Tabel 3.6

Ketentuan Pemberian Skor Angket Konsep Diri Peserta Didik

Pernyataan Skor

SS S KS TS STS

Positif 5 4 3 2 1

Negatif 1 2 3 4 5

Tabel konversi skor setiap indikator untuk menentukan kategorisasi konsep diri peserta didik yang dimaknai sebagai profil umum konsep diri peserta didik, disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 3.7

Konversi Skor Mentah Menjadi Skor Matang Dengan Batas Lulus Aktual Skala Skor Mentah Kategori Skor Kategori Konsep Diri

X  + 0,25 s Tinggi Kongruen

X  + 0,25 s Rendah Tidak kongruen

(Rachmat dan Solehuddin, 2006) Penentuan konversi skor sebagai standardisasi dalam menafsirkan skor ditujukan untuk mengetahui makna skor yang dicapai individu dalam pendistribusian responsnya terhadap instrumen. Konversi skor disusun berdasarkan skor yang diperoleh subjek uji coba pada setiap aspek maupun skor total instrumen dengan jumlah kelas dua.

Penentuan konversi skor sebagai standardisasi dalam menafsirkan skor ditujukan untuk mengetahui makna skor yang dicapai individu dalam pendistribusian responsnya terhadap instrumen. Konversi skor disusun berdasarkan skor yang diperoleh subjek uji coba pada setiap aspek maupun skor


(51)

2) Menentukan Range (R) = nilai terbesar – nilai terkecil

3) Menghitung banyak kelas Ρ= 1 + 3,3 log n

4) Menghitung panjang kelas = range : banyak kelas ( ) 5) Memasukan data peserta didik kedalam tabel frekuensi 6) Mencari rata-rata aktual dengan rumus

= + p

Keterangan:

= rata-rata terduga, yang dijadikan rata-rata terduga adalah titik tengah kelas interval yang terbanyak frekuensinya atau kelas interval yang berada di tengah-tengah p = panjang kelas interval

d = selisih titik tengah kelas interval dari dibagi p 7) Mencari simpangan dengan rumus

S = p

8) Mencari batas lulus (BL) = + 0,25 s

Berdasarkan perhitungan pada Tabel 3.7, maka kriteria konsep diri yang digunakan sebagai acuan dalam pengelompokan skor konsep diri peserta didik dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut ini.

Tabel 3.8

Kriteria Gambaran Umum Konsep Diri Peserta Didik

Kriteria Konsep Diri Rentang

Kongruen ≥ 248


(1)

Misiak, H dan Staudt, S.V.(2005). Psikologi Fenomenologi, eksistensial dan humanistik. Bandung: PT Refika Aditama.

Purwanta,E dan HN.S.(2011). Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa.Jakarta: Depdikbud-Dikti.

Prabawa, J.(2009) .Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Konsep Diri Remaja Panti Asuhan Kristen Tanah Putih Semarang Dilihat Dari Teori Rogers.[onine]. http://eprints.unika.ac.id/view /creators/Prabawa=3AJohan_=3A=3A.default.html.( 23/01/2013). Rachmat, C dan Solehuddin. (2006). Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar.

Bandung: CV.Andira.

Rahardja, D.(2006). Pengantar Pendidikan Luar Biasa (Introduction Special Education). Uniersity of Tsukuba: Center for Research on International Cooperation in Education Development (CRICED). Rakhmat, J. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rohmatika, L dan Darminto, E.(2013). Hubungan Antara Persepsi Terhadap

Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Konsep Diri Dengan Penyesuaian Diri di Sekolah Pada Siswa Kelas Unggulan. Journal Mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2013, 149-157.[on line]. http://www.google.com/url?sa=t&rct= j&q=&esrc=s&source=web&cd=19&ved=0CGQQFjAIOAo&url=ht tp%3A%2F%2Fejournal.unesa.ac.id%2Farticle%2F3532%2F13%2F article.pdf&ei=8NmVUe6VJMa5rgfvlYD4Cg&usg=AFQjCNEd7zE VgrLLjkTGTlctdJLJ520Z2g&bvm=bv.46751780,d.bmk.(

17/05/2013).

Santrock, W.J.(2007). Remaja.Jakarta: Erlangga.

Steinberg, L.(2002). Adolescence. New York: McGraw Hill, Inc.

Sugiono.(2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suherman, U.(2007).Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bekasi : Madani. Suherman, U.(2008). Konseling Karir Sepanjang Rentang Kehidupan. Bahan

Ajar.(tidak diterbitkan). Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Sukardi, D.K.(2000).Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sunardi, et.al.(2008). Teori Konseling.[online].http://file.upi.edu/Direktori/FIP/ JUR._PEND._ LUAR_BIASA/196002011987031-SUNARDI/ karya_tls-materi_ajar_pdf/TEORI_KONSELING.pdf.[online].(27


(2)

Sunarta.(1999).Meminimalkan Adatan Pada Anak Tunanetra Melalui Pendidikan Jasmani. Makalah (Tidak diterbitkan). Bandung: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung.

Supriatna, M.(2010). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan Kecakapan Pribadi Mahasiswa. Disertasi (tidak diterbitkan). Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Suryabrata, S.(1998). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT RajaGrafindo. Sutjihati, T. S.(2006). Psikologi Anak luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Syah, M.(2003). Psikologi Belajar. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Tarsidi, D.(2007). Model Konseling Rehabilitatif. Disertasi (Tidak Diterbitkan). Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Tuslina, T.(2012). Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia. [online]. http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/20/perkembangan-pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia-463559.html. (28 Agustus 2012).

Undang-Undang No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Were, C.M dan Indoshi, F.C.(2010). Gender differences in self concept and academic achievement among visually impaired pupils in Kenya. [online]. http://www. Interesjournals.org/ER. (22 Agustus 2012). Widodo, P.B.(2006). Konsep Diri Mahasiswa Jawa Pesisiran Dan Pedalaman.

Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006.

Winkel, W.S.(2005). Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia. Yusuf, S dan Nurihsan, J.(2010). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung:

Remaja Rosdakarya.


(3)

Asmin, Konsep dan Metode Pembelajaran Untuk Orang Dewasa (Andragogi),

http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/34/konsep_dan_metode_pembelajaran.htm, Diakses tanggal 11 November 2006

Nana Syaodih Sukmadinata. (2007). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya

Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya

Riduwan. (2005). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007).Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal . Kutawaringin Kabupaten Bandung: ABKIN


(4)

Tashakkori, A dan Teddlie, C.(2010). Mixed Methodology-Mengombinasikan

Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. California: Sage.

Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat.(2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan

Anak di Sekolah Luar Biasa. [online].

http://www.gizikia.depkes.go.id/wp- content/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-YANKES-ANAK-DI-SLB-BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. Diunduh tanggal 22 Juli 2012.

Kindergarten. Counseling Psychology Dissertations.[online]. http://iris.lib.neu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1007&context=cou ns_psych_diss. Diunduh tanggal 16 Juli 2012

Direktorat Pendidikan Menengah.(2011).

http://118.98.166.62/application/media/file/Pedoman%20Pemberian

%20Penghargaan%20Kepada%20Guru%20PLB-PK%20Berdedikasi%20Tingkat%20Nasional%20Tahun%202011.pd f. Diunduh tanggal 22 Juli 2012.

. (1995). Psikologi Anak. Bandung: Mandar Maju.

. (2010) Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung. Alfabeta.

Juntika Nurihsan (2003:53) Syamsu Yusuf, 2010:40 Winkel (2006:118

Sunaryo Kartadinata (2010:15)

John W Creswell, 2003:14

Van Dallen, 1973:34

Sugiono (2010:112 .S Winkel (2007:35

WHO.(2012). [Online]. Visual impairment and blindness. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/. Diunduh Tanggal 22 Juli 2012.


(5)

Ponchilla, P. E dan Ponchilla, S. V. (1996). Foundations of Rehabilitation Teaching with Persons who are Blind or Visually Impaired. New York: AFB Press.

Scholl, G. T. (ed). (1986). Foundations of Education for Blind and Visually Handicapped Children and Youth: Theory and Practice . New York: American Foundation for the Blind, Inc.

Suhaeri iin dan edi purwanti, 2000

Lailatul Rokhmatika dan Eko Darminto, 2013

Utter ohle , T.L. 1997 . O passi g through adolesce ce. Journal of Visual

Impairment and Blindness, 91 (3), 309- 314

Cook -Clampert, M.A. (1981). The development of self-concept in blind children. Journal of Visual Impairment and Blindness, Vol. 75(6), 233-238.

Wong et,al, 2009 Huure, 1999 Fok dan fung, 2004

Paulinelli dan tamayo, 1986 Lopez justicia, 2003

Eccles, 2005, Snow et al., 1996

Richard J Shavelson dan Roger Bolus, 1982:1 Raymond M. Bergner

Donna Brandes dan Paul Ginnis (1987:163) Thomas J. Berndt dan Leah Burgy (1996:171) Hardy & Hayes (1998)

Ittyerah dan Kumar, 2007

Coleman, 1974; Offer, 1974; Piers dan Harris, 1964 Harter (1990)


(6)

Anak yang tengah tumbuh dan berkembang itu tidak akan pernah bisa mencapai kulminasi perkembangan (titik puncak perkembangan) kalau dia tidak melampaui banyak rintangan dan kesulitan. Sebab, selama perjuangannya menuju kedewasaan itu pastilah pernah menderita, berduka hati, jatuh, luka-luka, kecewa, kalah, dan menangis pedih. Maka salah satu sukses dalam usaha perjuangan hidup individu itu ialah: mampu memikul derita dan bisa mengatasi kesulitan hidupnya. Sebab setiap duka-derita dan kesulitan itu pasti memberikan pengajaran, arti/makna, dan tuah pada kehidupan anak maupun orang dewasa.

Kartini Kartono (1995:1667)

Pribadi yang sehat bukannya seorang yang kalis dari hambatan, ketegangan, kesusahan, penderitaan dan luka-luka. Dan ciri hidup yang sehat itu bukan ditandai oleh absennya kekecewaan dan kemalangan: akan tetapi justru dicirikan oleh kemampuan menanggulangi cobaan hidup, kepedihan, ketegangan, kemalangan, kekalahan dan duka derita, dengan jalan tawakal, beriman dan terus berusaha; disertai keberanian dan kemauan besar untuk mengatasi setiap ujian hidup. Dengan begitu anak akan mendapatkan manfaat dari setiap pengalaman menuju pendewasaan dirinya.