Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Pasien Post Terapi Malaria Terhadap Kepatuhan Follow Up.

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERSEPSI

PASIEN POST TERAPI MALARIA TERHADAP

KEPATUHAN FOLLOW UP DI KLINIK

MALARIA SUMBA FOUNDATION

KABUPATEN SUMBA BARAT

OLEH

AGUSTINA MBILIYORA

NIM. 1302115017

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

i

PASIEN POST TERAPI MALARIA TERHADAP

KEPATUHAN FOLLOW UP DI KLINIK

MALARIA SUMBA FOUNDATION

KABUPATEN SUMBA BARAT

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH

AGUSTINA MBILIYORA

NIM. 1302115017

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Agustina Mbiliyora

NIM : 1302115017

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Februari 2015 Yang membuat pernyataan


(4)

(5)

(6)

v

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi berjudul Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Pasien Post Terapi Malaria Terhadap Kepatuhan Follow Up di Klinik Malaria Sumba Foundation

Kabupaten Sumba Barat

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.,OT (K)., M.Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar 2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa MS., AIF, sebagai Ketua PSIK Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan

3. Made Pasek Kardiwinata, SKM., M.Kes, sebagai pembimbing utama yang telah sabar membimbing, menuntun serta memberikan saran perbaikan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai tepat waktu

4. Ns. Komang Menik Sri K, S.Kep, sebagai pembimbing pendamping yang telah sabar membimbing, menuntun serta memberikan saran perbaikan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai tepat waktu

5. Ns. Ni Luh Putu Eva Yanti, M.Kep., Sp.Kep.Kom, sebagai penguji yang telah memberikan masukan demi perbaikan skripsi ini


(7)

vi

6. Dr. Claus Bogh, sebagai Direktur The Sumba Foundation yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di Klinik Malaria Sumba Foundation dan membantu dalam penyediaan data sekunder yang diperlukan dalam melengkapi skripsi ini

7. Ibu Chatrine Down dan Ibu Lynda Lim yang telah membantu biaya perkuliahan

8. Keluarga tercinta: ayah (alm) Wuka Mbiliyora dan ibu (almh) Hana Anadjawa, yang selama hidup mereka telah banyak membimbing dan merawat saya dengan penuh kasih, saudara: Nimrot H Awat, Hermin Mbiliyora, Johanes Y B, Yuliana, Daud L B, yang selalu setia memberikan dukungan selama perkuliahan

9. Teman-teman seperjuangan (Simson, Early, Efron, Oche, Nina, Micks, Eneth, Don, Sylvia), yang telah banyak membantu serta memberikan dukungan moril kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini

10. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan kritik yang membangun.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Februari 2015


(8)

vii

Mbiliyora, Agustina. 2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Pasien Post Terapi Malaria Terhadap Kepatuhan Follow Up. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Made Pasek Kardiwinata, SKM., M.Kes (2) Ns. Komang Menik Sri K, S.Kep

Penyakit Malaria merupakan penyakit endemis di Kabupaten Sumba Barat. Kasus relaps dan resistensi obat malaria semakin meningkat. Salah satu upaya dalam penanggulangan malaria yang harus diperhatikan adalah kepatuhan follow up bagi pasien post terapi malaria, hal ini penting untuk mengontrol perkembangan parasit, sehingga dapat mencegah kasus relaps dan penularan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi sasaran adalah pasien post terapi malaria. Sampel penelitian sejumlah 98 orang yang dipilih secara random. Uji statistik data dilakukan dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan : 59 orang (60,2%) dari 98 orang memiliki persepsi yang buruk terhadap follow up. Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0.000 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi pasien post terapi malaria terhadap kepatuhan follow up. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan Dinas Kesehatan setempat memberikan bimbingan dan informasi kesehatan kepada masyarakat terutama pasien malaria secara intensif terkait manfaat follow up malaria dan akibat yang akan ditimbulkan bila tidak melakukan follow up dengan demikian diharap mereka patuh untuk follow up.


(9)

viii ABSTRACT

Mbiliyora, Agustina. 2015. Relationship Knowledge Level and Perception of Patient Malaria Post Therapy towards Compliance Follow Up. Undergraduate Thesis Nursing Science Program, Faculty of Medicine, University of Udayana. Mentors (1) Made Pasek Kardiwinata, SKM., M.Kes (2) Ns. Komang Menik Sri K, S.Kep

Malaria is endemic in West Sumba. Cases of relapse and drug resistance of malaria is increasing. One of the efforts in the prevention of malaria that must be considered is compliance follow-up for patients with post-treatment of malaria, it is important to control the development of the parasite, thus preventing relapse and transmission case.This research is analytic research with cross sectional approach. The target population is patients post-treatment of malaria, number of sample 98 people randomly selected. Statistical test data using univariate and bivariate analysis with chi-square test. The results showed: 59 persons (60.2%) out of 98 people have a poor perception of the follow-up. Based on the chi-square test p value = 0.000 means that there is a significant relationship between perceptions of patients post-therapy follow-up of malaria on compliance.Based on the results of this study are expected local Health Department provides guidance and information to the public health, especially malaria patients in intensive follow-up of malaria-related benefits and consequences that will result if you do not follow up with them obedient thus expected to follow-up


(10)

ix

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… i

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ……….. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………. iii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iv

KATA PENGANTAR ……….. v

ABSTRAK ………... vii

DAFTAR ISI ………. ix

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR GAMBAR ……… xii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii

DAFTAR SINGKATAN ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 6

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 6

1.4 Manfaat Penelitian……… 7

1.5 Keaslihan Penelitian ……… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.I Malaria ……….. 10

2.2 Konsep Pengetahuan……….. 26

2.3 Konsep Persepsi ……… 29

2.4 Konsep Kepatuhan ……… 33

2.5 Perilaku ………. 38

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep ……….. 47

3.2 Hipotesis Penelitian ……….. 48

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……….. 48

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.I Desain Penelitian ……….. 50

4.2 Kerangka Kerja ………. 50

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ………... 51

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian ……… 52

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ……… 54

4.6 Etika Penelitian ………. 59

4.7 Pengolahan dan Analisa Data ………... 60

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ………. 63


(11)

x

5.3 Pembahasan ………... 75

5.4 Keterbatasan dan Hambatan Penelitian ……… 80 BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ………... 81

6.2 Saran ………. 81

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

xi

Halaman

Tabel 2.1 Masa Inkubasi Ekstrinsik ………... 13

Tabel 2.2 Masa Inkubasi Intrinsik………... 13

Tabel 2.3 Pengobatan Lini 1 untuk p.falciparum dan p.vivax menurut Kelompok Umur………. 16

Tabel 2.4 Pengobatan Lini 2 untuk p.falciparum dan p.vivax………. 17

Tabel 2.5 Pengobatan Malaria pada Pasien defisiensi G6PD ………... 18

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ………... 49

Tabel 51 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ………. 65

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ………... 65

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ………... 66

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ……….. 66

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Penanggung Biaya ……… 67

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ………. 67

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi ………. 68

Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan ………. 68

Tabel 5.9 Hubungan Umur terhadap Kepatuhan Follow UP ………... 69

Tabel 5.10 Hubungan Jenis Kelamin terhadap Kepatuhan Follow UP ………….. 70

Tabel 5.11 Hubungan Pendidikan terhadap Kepatuhan Follow UP ………... 71

Tabel 5.12 Hubungan Pekerjaan terhadap Kepatuhan Follow UP ……….. 72

Tabel 5.13 Hubungan Penanggung Biaya terhadap Kepatuhan Follow UP ……... 73

Tabel 5.14 Hubungan Pengetahuan terhadap Kepatuhan Follow UP ………. 74


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian: Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Pasien Post Terapi Malaria Terhadap Kepatuhan

Follow Up ………. 47

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian : Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Pasien Post Terapi Malaria Terhadap Kepatuhan


(14)

xiii Lampiran 1 : Jadwal Kegiatan Penelitian Lampiran 2 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 3 : Surat Persetujuan Menjadi Responden Penelitian Lampiran 4 : Rencana Anggaran Biaya Penelitian

Lampiran 5 : Lembar Kuesioner Lampiran 6 : Kisi-kisi Kuesioner Lampiran 7 : Master Tabel

Lampiran 8 : Karakteristik Responden

Lampiran 9 : Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner Lampiran 10 : Uji Chi Squere

Lampiran 11 : Surat Permohonan Ijin Penelitian dan Pengambilan Data Lampiran 12 : Surat Keterangan Telah Selesai Melaksanakan Penelitian Lampiran 13 : Lembar Konsultasi Pembimbing 1

Lampiran 14 : Lembar Konsultasi Pembimbing 2 Lampiran 15 : Lembar konsultasi Penguji


(15)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

AMI : Annual Malaria Incidence API : Annual Parasite Incidence ACT : Artesunate Combination Therapy

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia G6DP : Glucosa 6- Phosphat Dehydrogenase Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

MBS : Mass Blood Survey

NTT : Nusa Tenggara Timur

sp : Spesies

PAD : Pendapatan Asli Daerah

PF+ : Plasmodium Falcifarum Postif Satu (1)

Pf : Plasmodium Falcifarum

Pm : Plasmodium Malariae

Po : Plasmodium Ovale

Pv : Plasmodium Vivax

RDT : Rapid Diagnostic Test

School Lunch : Program makan siang bagi anak sekolah dasar (SD) SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

D3 : Diploma 3


(16)

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan plasmodium. Parasit ini hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi plasmodium malaria (Harijanto, 2012).

World Health Organization (WHO) melaporkan kejadian malaria cenderung meningkat dari tahun 2011 sebanyak 206.000.000 kasus dan tahun 2012 sebanyak 207.000.000 kasus. Data pasien yang meninggal karena kasus malaria tahun 2012 sebanyak 627.000 kasus. Wilayah Asia Tenggara salah satu wilayah yang memiliki angka kejadian malaria sebanyak 2,9 juta kasus yang terdiri dari tiga negara yang memiliki angka tertinggi adalah India (54%), Myanmar (24%), dan Indonesia (22%) (World Malaria Report, 2013).

Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2013, melaporkan prevalensi malaria yaitu 6%. Provinsi dengan prevalensi malaria tertinggi adalah Papua (28,6%), Nusa Tenggara Timur (23,3%), Papua Barat (19,4%), Sulawesi Tengah (12,5%), dan Maluku (10,7%). Wilayah ini berada di Indonesia bagian timur yang memiliki banyak hutan dan rawa sehingga wilayah ini menjadi daerah yang endemis terhadap malaria (Riskesdas, 2013).

Kasus malaria di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2011 tercatat 118.494 kasus malaria dan pada tahun 2012 terdapat 114.321 kasus. Salah satu


(17)

2

kabupaten di NTT yang masih cukup tinggi jumlah kasus malaria yaitu: Kabupaten Sumba Barat. Annual Parasite Inciden (API) di Kabupaten Sumba Barat memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 angka kejadian malaria sebesar 19,63%, pada tahun 2012 naik menjadi 37,77% , dan pada tahun 2013 sebesar 35,72% (Laporan Statistik Provinsi NTT, 2013).

Angka kejadian relaps malaria di Indonesia dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang masih rendah serta sikap pencegahan dan pencarian pengobatan yang kurang baik pada saat kejadian malaria. Berbagai upaya promosi dan preventif telah dilakukan pemerintah melalui dinas kesehatan bekerja sama dengan lintas sektoral dalam upaya memberantas malaria. Pemberian kelambu, mass blood survey (MBS), dan beberapa program malaria lainya masih kurang menunjukkan hasil yang maksimal (Zega, 2006).

Salah satu permasalahan dan hambatan yang dihadapi dalam usaha pengobatan malaria adalah timbulnya resistensi terhadap obat antimalaria selama beberapa dekade. Resistensi terhadap obat antimalaria telah ditemukan pada tiga dari lima spesies parasit malaria yang sering menyerang manusia, yaitu: P.falciparum, P.vivax, dan P.malariae. Timbulnya resistensi dapat disebabkan oleh mutasi genetik pada parasit malaria dimana parasit ini bermultiplikasi dan menghasilkan populasi parasit yang resisten terhadap obat antimalaria (WHO, 2010). Penyakit malaria menjadi semakin sulit diatasi dan diperkirakan akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena penyakit malaria bisa kambuh kembali. Seorang penderita malaria bisa mengalami serangan ulang sebanyak 35-40 kali selama periode tiga sampai empat tahun. Serangan ulang


(18)

malaria antara lain berkaitan dengan eliminasi parasit fase eritrosit yang tidak sempurna karena pengobatan yang tidak adekuat dengan obatan-obatan skizontisida darah, reaktifasi bentuk hipnozoit, rendahnya respon imun atau adanya reinfeksi dengan plasmoidium baru (Cogswel, 1992; Fiyanti, 2013).

Beberapa penelitian mengenai kejadian relaps pada penderita malaria yaitu penelitian Fiyanti Tallane (2013) menunjukan bahwa dari 196 responden terdapat 139 orang (70,9%) yang mengalami relaps malaria, sedangkan yang tidak mengalami relaps malaria sebanyak 57 orang (29,1%). Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Tommy Kartono (2012) ditemukan dari 36 orang penderita malaria falciparum yang mendapat terapi artemeter, terdapat enam orang (16,67%) dengan Plasmodium falciparum positif (PF+) pada pemeriksaan mikroskopis ulang. Kasus relaps dan resistensi obat muncul dikarenakan pasien tidak melakukan pemeriksaan ulang darah tepi (follow up) dan juga kepatuhan berobat yang kurang.

Data yang didapatkan peneliti dari hasil pemeriksaan mikroskopis di Klinik Malaria Sumba Foundation dari Januari-September 2014, jumlah penderita positif malaria: 865 kasus, yang datang follow up: 375 orang (43,35%) dan terdapat 37 orang masih positif malaria (9,87%). Pasien post terapi malaria yang tidak follow up mungkin saja masih terdapat parasit dalam tubuhnya, dan ini akan menjadi bahaya karena beresiko tinggi terhadap penularan kepada anggota keluarga dan orang-orang disekitarnya


(19)

4

Tingginya angka kejadian malaria di Kabupaten Sumba Barat disebabkan oleh upaya pencegahan, pencarian pengobatan dan perilaku kontrol ulang yang masih rendah. Berdasarkan wawancara peneliti terhadap 10 dari 75 penderita pasca pengobatan malaria di wilayah klinik malaria sumba foundation tidak datang follow up, dengan alasan jarak klinik malaria yang jauh dan juga sudah merasa sembuh sehingga tidak perlu lagi untuk follow up

Banyak faktor penyebab pasien tidak datang follow up merasa sudah sembuh setelah dua atau tiga hari minum obat malaria, jarak yang jauh dan akses yang sulit ke tempat pelayanan kesehatan, keyakinan terhadap pengobatan tradisional, dan biaya transportasi yang mahal. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wuryanto (2005) yang menyatakan bahwa 64% pasien menghentikan pengobatan karena perasaan sehat pasien setelah tiga atau lima hari pengobatan obat malaria.

Dampak dari ketidak patuhan follow up yaitu gagal dalam penyembuhan. Malaria yang tidak sembuh akan mengakibatkan munculnya kasus relaps, resistensi obat anti malaria, dan terutama adalah high risk transmisi malaria. Hal ini akan menjadi lingkaran setan yang sulit untuk dieliminasi.

Penyakit malaria merupakan penyakit menular yang berkaitan dengan pengetahuan dan persepsi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Suharjo (2004) yang menyatakan bahwa, terdapat 57% pengetahuan penderita malaria tentang perkembangan parasit, penularan dan kontrol ulang masih rendah. Demikian juga hasil penelitian fathonah (2010) pengetahuan responden terhadap upaya pencegahan dan pengobatan terhadap malaria masih sangat rendah yaitu: 34,5%


(20)

Pengetahuan yang baik tentang perkembangan parasit dan penularannya dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya follow up, sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik. Pengetahuan akan suatu obyek meliputi pengetahuan tentang manfaat/kebaikan maupun kerugian/kejelekan (Notoatmodjo, 2005). Penelitian Purnawati (2009), menemukan bahwa faktor pengetahuan mempunyai hubungan yang bermakna dengan sikap dan tindakan. Pengetahuan yang baik diharapkan pasien post terapi malaria patuh dan aktif untuk ikut follow up, guna mencegah kasus relaps, resistensi obat dan penularan penyakit malaria.

Pengetahuan yang terbatas dan sikap individu atau keluarga yang kurang merupakan determinan penting bagi munculnya penyakit malaria. Pengetahuan yang diharapkan dari penderita malaria bukan hanya bisa menjelaskan tentang malaria, tetapi diharapkan juga adanya sikap dan tindakan yang positif dalam upaya pencegahan dan pengobatan malaria

Pemberdayaan masyarakat dalam mencegah malaria dimulai dengan meningkatkan pengetahuan, persepsi masyarakat tentang penyakit dan kemampuan dalam penanggulangan malaria. Melalui upaya tersebut diharapkan dapat membantu menekan angka kejadian relaps malaria (Suharjo dkk, 2004).

Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dan persepsi pasien post terapi malaria terhadap kepatuhan follow up (pemeriksaan ulang darah tepi) di Klinik


(21)

6

Malaria Sumba Foundation, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik rumusan masalah, yaitu: apakah ada hubungan tingkat pengetahuan dan persepsi pasien post terapi malaria dengan kepatuhan follow up di Klinik Malaria Sumba Foundation Kabupaten Sumba Barat.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan Umum Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan persepsi pasien post terapi malaria dengan kepatuhan follow up di Klinik Malaria Sumba Foundation, Kabupaten Sumba Barat.

1.3.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan pasien post terapi malaria terhadap kepatuhan follow up di Klinik Malaria Sumba Foundation, Kabupaten Sumba Barat

2. Mengetahui hubungan persepsi pasien post terapi malaria dengan kepatuhan follow up di Klinik Malaria Sumba Foundation, Kabupaten Sumba Barat.


(22)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menjelaskan tentang penyakit malaria, siklus penularan, dan pentingnya follow up dalam pengobatan

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi peneliti, sebagai suatu pengalaman belajar dalam kegiatan penelitian, sehingga dapat memperoleh pengalaman dan meningkatkan wawasan peneliti tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Persepsi pasien post terapi malaria terhadap kepatuhan follow up.

2. Bagi pasien malaria, sebagai bahan informasi pentingnya follow up guna mengetahui perkembangan parasite dan efektifitas obat anti malaria untuk mencegah infeksi berulang dan resiko penularan penayakit malaria.

3. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan informasi data sehingga diharapkan dapat wacana keilmuwan terutama tentang penyakit malaria.

4. Bagi puskesmas, dapat menjadi pedoman dan masukan bagi petugas kesehatan dalam upaya pencegahan penularan penyakit malaria.

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan telaah literatur, penelitian yang berkaitan dengan judul dari penelitian ini belum ada yang meneliti, namun ada beberapa hasil penelitian yang menjadi referensi dalam penelitian ini, yaitu:


(23)

8

1. Fiyanti Tallane, dkk (2013) dengan judul Analisis Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Relaps Malaria di Kabupaten Sorong. Desain penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Populasinya adalah pasien yang berkunjung ke Puskesmas di Wilayah Kabupaten Sorong pada tahun 2013. Sampelnya adalah sebagian pasien yang berkunjung ke Puskesmas di Wilayah Kabupaten Sorong pada tahun 2013 sebanyak 196 responden. Pengambilan sampel secara purposive sampling. Uji statistik yang digunakan adalah chi square dan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan pekerjaan (p= 0,000), mobilitas penduduk (p= 0,000), perilaku kepatuhan minum obat (p= 0,000) dengan kejadian relaps malaria. Analisis multivariat faktor yang paling berhubungan mobilitas penduduk (p Wald 31,09). Sedangkan status gizi tidak berhubungan dengan kejadian relaps malaria di Kabupaten Sorong.

2. M. Arie Wuryanto (2005), tentang tingkat kepatuhan penderita malaria vivax dalam minum obat serta faktor yang mempengaruhinya. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional, populasi dalam penelitian ini adalah penderita malaria dari bulan Oktober 2004–Maret 2005. Sampel yang diambil 120 responden yang menderita malaria dengan umur diatas 15 tahun. Kasus malaria vivax yang ketidak patuhan adalah 64%, itu berarti bahwa tingkat kepatuhan adalah 36%. Alasan untuk menghentikan pengobatan itu disebabkan oleh perasaan sehat pasien setelah tiga atau lima hari pengobatan obat malaria. Hasil uji chi-square menunjukan hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan tingkat kepatuhan pasien terapi obat malaria


(24)

(p value 0,002, rasio lazim 4,8 (95% CI:1,7-13,7). Tingkat kepatuhan pengobatan tergantung pada tingkat pengetahuan pasien. Pasien dengan pengetahuan rendah memiliki 4,8 kali tidak patuh dalam terapi obat malaria. 3. Tommy Kartono dan Sinta Murti (2011) tentang pengobatan malaria

falciparum dengan Artemeter di RSUD I. A. Moeis Samarinda, desain penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan cross-sectional. Data diambil dari rekam medik penderita malaria falciparum yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUD I. A. Moeis Samarinda dari Januari 2008 sampai akhir Januari 2009. Ada 36 orang penderita malaria falciparum yang mendapat terapi artemeter, masih terdapat enam (16,67%) orang dengan Plasmodium falciparum positif (PF+) pada pemeriksaan mikroskopis ulang. Karakteristik klinis dan laboratoris keenam penderita itu berupa anemia (66,66%), ikterus (66,66%), trombositopenia (66,66%), leukopenia (50%) 83,33% pasien memiliki kepadatan parasit ++ atau lebih, dan 66,66% pasien memiliki lebih dari satu karakteristik tersebut.


(25)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Malaria 2.1.1 Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal (Prabowo, 2004).

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu protozoa dari genus Plasmodium. Saat ini dikenal ada 5 jenis plasmodium yang dapat menginfeksi manusia secara alami (Harijanto, 2012), yaitu:

1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian) dan mudah menyebabkan resisteni obat

2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana

3. Plasmodium malariae, dapat menimbulkan sindrom nefrotik dan penyebab malaria quartana

4. Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale banyak dijumpai di daerah Afrika dan Pasik Barat, di Indonesia dijumpai di Irian Jaya dan Nusa


(26)

Tenggara, memberikan infeksi yang paling ringan dan sembuh spontan tanpa pengobatan

5. Plasmodium Knowlesi, pertama kali dilaporkan tahun 2004 jenis malaria baru yang sudah ditemukan di Malaysia, dan juga ditemukan Singapura, Thailand, Myanmar serta Filipina penularannya dari monyet, bentuk plasmodium menyerupai P. malariae. Tingkat keganasan seperti falsifarum dan tingkat kekebalan seperti malaria vivax.

2.1.3 Gejala malaria

Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam turun naik, anemia sekunder dan splenomegali. Gejala fase awal berupa malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, mual, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan ini sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan awal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak (Harijanto, 2010).

Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya schizon matang (sporolasi). Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P.vale), pematangan schizon tiap 48 jam maka

periodisitas demamnya setiap hari ke tiga, sedangkan malaria kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap empat

hari. Gejala klasik malaria biasanya terdiri atas tiga stadium yang berurutan, yaitu stadium dingin, demam dan berkeringat (Depkes, 2005).

Stadium dingin (cold stage), penderita akan merasakan dingin menggigil yang amat sangat, nadi cepat dan lemah, sianosis, kulit kering, pucat, dan kadang


(27)

12

muntah. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai satu jam diikuti dengan meningkatnya temperatur. Stadium demam (hot stage) muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin dapat berlangsung sampai dua jam atau lebih. Stadium berkeringat (sweating stage) dimulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh sampai basah, temperature turun, lelah dan sering tidur, dan jika penderita bangun akan merasa sehat dan bisa melakukan aktifitas seperti biasa, hal ini berlangsung dua samapi tiga jam (Harijanto, 2010).

Daerah dengan endemisitas malaria tinggi, seringkali pada orang dewasa tidak ditemukan gejala klinis meskipun dalam darahnya ada parasit malaria. Hal ini merupakan imunitas yang terjadi akibat infeksi berulang-ulang. Gejala anemia yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik terutama pada anak-anak dan ibu hamil (Harijanto,2010). Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Limpa akan teraba setelah tiga hari dari serangan infeksi akut dimana akan terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Pembesaran terjadi akibat timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Harijanto, 2012). Hampir semua kematian akibat penyakit malaria disebabkan oleh P. falciparum. Pada infeksi P. falciparum dapat menimbulkan malaria berat yang menurut


(28)

World Health Organisation (WHO) didefinisikan sebagai infeksi P. falciprum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi

2.1.4 Masa Inkubasi

Menurut Depkes RI (1999) dalam Susana (2011) masa inkubasi ada dua tahap: 1. Masa inkubasi ekstrinsik

Tabel 2.1 Masa inkubasi ekstrinsik

Jenis Pasmodium Masa Inkubasi

Plasmodium falciparum 12-14 hari Plasmodium vivax 8-11 hari Plasmodium malariae 14 hari

Plasmodium ovale 15 hari

2. Masa inkubasi intrinsik

Masa inkubasi intrinsik adalah waktu mulai saat masuknya sporozoit ke dalam darah sampai timbulnya gejala klinis/demam atau sampai pecahnya scizon.

Tabel 2.2 Masa inkubasi intrinsik

Jenis Pasmodium Masa Inkubasi

Plasmodium falciparum 9-14 hari (12) Plasmodium vivax 12-17 hari (15) Plasmodium malariae 18-40 hari (28) Plasmodium ovale 16-18 hari (17)


(29)

14

2.1.5 Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria 1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)

Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi memerlukan dua macam siklus yaitu: Sporogoni (seksual) dan Skizoni (Aseksual). 2. Host (penjamu)

Penjamu terdiri dari nyamuk Anopheles (host definitive) dan manusia (host intermediate). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan

mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respons immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2010).

3. Faktor Lingkungan (Environment)

Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, ada beberapa faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu: lingkungan fisik, biologi, kimiawi, dan sosial budaya. Lingkungan fisik terdiri dari suhu, kelembaban, hujan, angin, sinar matahari, arus air, kedalaman air dan ketinggian (Susana, 2010).

Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah kemungkinan risiko tertular malaria tiga kali dibandingkan masyarakat yang berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang memiliki sikap kurang lima-tujuh kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap baik. Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari


(30)

mempunyai risiko tertular malaria empat kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari

2.1.6 Diagnosis Malaria

Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada gejala klinis, penemuan fisik, pemeriksaan laboratorium darah dan uji imunoserologis. Ada dua cara diagnostik yang diperlukan untuk menentukan seseorang itu positif malaria atau tidak yaitu pemeriksaan darah tepi (tipis/tebal) dengan mikroskop dan deteksi antigen (Harijanto, 2010). Meskipun sangat sederhana pemeriksaan darah tepi dengan mikroskop merupakan gold standard dan menjadi pemeriksaan terpenting yang tidak boleh dilupakan. Interpretasi yang didapat dari hasil pemeriksaan darah tepi adalah jenis dan kepadatan parasit (Guerin, 2002).

Deteksi antigen digunakan apabila tidak tersedia mikroskop untuk memeriksa preparat darah tepi atau pada daerah yang sulit dijangkau dan keadaan darurat yang perlu diagnosis segera. Teknik yang digunakan untuk deteksi antigen adalah immunokromatografi dengan kertas dipstick yang dikenal dengan Rapid Diagnostic Test (RDT). Alat ini dapat mendeteksi antigen dari P. falciparum dan non falciparum terutama P. vivax (Tjitra, 2005).


(31)

16

2.1.7. Pengobatan Malaria

Pengobatan malaria menggunakan artemisinin based combination therapy (ACT) yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat anti malaria lainnya (Depkes,2008)

Tabel 2.3. Pengobatan lini 1 untuk falciparum dan vivax menurut kelompok umur

Hari Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur

Dosis Tunggal 0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun > 15 tahun

Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

H1 Amodiaquin ¼ ½ 1 2 3 4

Fal. Primaquin - - ¾ 1½ 2 3

H2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiaquin ¼ ½ 1 2 3 4

H3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiaquin ¼ ½ 1 2 3 4

H1-14 Vivax. Primaquin - - ½ ½ ¾ 1

Atau pengobatan dengan Dihydroartemisinin + Piperaquin (DHP)

H1 DHP ¼ ½ 1 1½ 3 4

Fal. Primaquin ¼ ½ ¾ 1½ 2 3

H2-3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 4

H1-14 Vivax. Primaquin - - ½ ½ ¾ 1

Amodiaquin basa = 10mg/kgbb dan artesunat = 4 mg/kgbb

Primaquin = 0,75 mg/kgbb


(32)

Tabel 2.4 Pengobatan lini 2 untuk p.falciparum dan p.vivax

Hari Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur

Species 0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun

> 15 tahun

1

Kina

Falciparum

*) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)

Doksisiklin - - - - 2x1**) 2x1***)

Primaquin - - ¾ 1½ 2 3

H2- 7

Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)

Doksisiklin - - - - 2x1**) 2x1***)

ATAU

1

Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)

Tetrasiklin - - - - *) 4x1**)

Primaquin - - ¾ 1½ 2 3

H2- 7

Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)

Tetrasiklin - - - - *) 4x1**)

Vivax

H1-7 Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x3

H1-14 Primaquin - - ¼ ½ ¾ 1

Keterangan :

*) dosis diberikan kg/bb

**) 2x50 mg doksisiklin

***) 2x100mg doksisiklin


(33)

18

Tabel 2.5 Pengobatan malaria pada pasien defisiensi G6PD

Lama minggu

Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun

> 15 tahun

8 s/d 12 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 3-4

8 s/d 12 Amodiaquin ¼ ½ 2 3 4 4-4

Pengobatan untuk p.malariae cukup diberikan ACT (artemisinin combination therapy) satu kali perhari selama tiga hari, dengan dosis sama pengobatan malaria lainnya. Sedangkan pengobatan untuk p.ovale sama seperti pengobatan pada p.vivax. Pengobatan untuk mix species (p. falciparum + p.vivax) diberikan ACT selama tiga hari serta pemberian primaquin pada hari satu dengan dosis 0,75/kgbb dilanjutkan pada hari 2-14 primaquin dengan dosis 0,25 mg/kgbb. Pengobatan kasus malaria vivax relaps sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primaquin ditingkatkan, primaquin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgbb/hari.

Pemberian dosis obat malaria perlu diperhatikan dengan ketat terutama pada ibu hamil, anak-anak dan balita, karena efek samping obat anti malaria yang keras. a. Artesunate +Amodiaquin, dapat menimbulkan efek samping seperti: mual,

muntah, sakit perut, diare, gatal-gatal, sakit kepala, demam dan perdarahan abnormal, hematuria. Namun obat ini tidak menunjukkan efek samping yang


(34)

berat sehingga dapat diberikan pada ibu hamil trimester dua dan tiga, anak-anak dan balita

b. Primaquin, efek sampingnya: anorexia, mual, muntah, sakit perut dan kram, kejang-kejang/ gangguan kesadaran, gangguan system hemopoitik. Karena efek samping obat yang keras pemberian primaquin tidak dianjurkan pada: wanita hamil dan anak-anak dibawah satu tahun (<1 tahun), penderita defisiensi G6PD, penderita rheumatoid artritis dan lupus eritematosus

c. Kina, merupakan obat malaria tertua yang masih efektif terhadap parasit malaria dan merupakan pilihan utama untuk malaria berat. Efek samping kina: tinitus/ telinga berdenging, gangguan pendengaran dan vertigo. Kina aman untuk wanita hamil, bayi dan anak-anak

d. Doksisiklin, merupakan pilihan terapi ke dua mempunyai efek samping: iritasi saluran pencernaan, reaksi fototoksik, depresi sum-sum tulang yang reversible, perubahan warna gigi dan hypoplasia. Tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui, dan anak dibawah 10 tahun.

e. Tetrasiklin, merupakan pilihan terapi ke dua mempunyai efek samping: gangguan pada saluran pencernaan, perubahan warna gigi dan displasia enamel yang permanen pada anak, reaksi fototoksik, pemakaian lama akan menimbulkan flora usus, dan pertumbuhan jamur candida. Tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui, dan anak dibawah 10 tahun.


(35)

20

2.1.8. Follow Up (Pemeriksaan Ulang Darah Tepi)

Sifat parasit malaria yang cenderung hipnozoit diperlukan kontrol ulang yang ketat untuk memastikan perkembangan parasit setelah pengobatan. Follow up merupakan salah satu tahap pengobatan untuk memantau perkembangan parasit dan efektifitas obat anti malaria. WHO (2003) menetapkan standar follow up untuk setiap penderita yang didiagnosa malaria untuk melakukan follow up pada hari ke tiga, hari tujuh, hari 14, dan hari ke 28 atau tiga bulan setelah pengobatan. (Depkes,2008). Namun Dinas Kesehatan Sumba Barat menatapkan untuk follow up sebanyak tiga kali yaitu: hari ke tiga, hari ke tujuh dan hari ke 14, dengan berbagai pertimbangan banyak hal. Mengacu pada peraturan Dinas Kesehatan , Klinik Malaria Sumba Foundation menetapkan untuk follow up sebanyak tiga kali yaitu: hari ke tiga, hari ke tujuh dan hari ke 14 (Dinkes Sumba Barat, 2008)

Relaps atau kambuh adalah adanya serangan ulang dari suatu penyakit setelah serangan pertama hilang atau sembuh. Istilah ini juga digunakan untuk penyakit malaria, namun sedikit lebih spesifik. Relaps pada penyakit malaria dapat bersifat rekrudesensi (relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu delapan minggu setelah serangan pertama hilang. Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang (Prabowo, 2004).


(36)

1. Mekanisme Terjadinya Malaria Relaps

Mekanisme terjadinya relaps pada penyakit malaria sebagai berikut:

a. Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk ke dalam peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di hati (hipnosoit) tetapi beberapa di fagositosis. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu (beberapa bulan hingga lima tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Proses ini dianggap sebagai timbulnya relaps jangka panjang (long term relaps) atau rekurens (recurrence) (Harijanto, 2010). b. Perkembangannya P.falciparum dan P.malariae tidak memiliki fase

eksoeritrosit sekunder. Parasit dapat tetap berada di dalam darah selama berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala berulang dari waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short term relapse). Malaria falsifarum dan rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari dari serangan awal dan ini mungkin menunjukkan adanya suatu resistensi terhadap chloroquine. Rekrudesensi yang panjang kadang dijumpai pada P.malariae yang disebabkan oleh stadium eritrositik yang menetap dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan (Harijanto, 2010).

2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Relaps

Timbulnya relaps atau serangan ulang pada penderita malaria berkaitan dengan keadaan berikut:


(37)

22

a) Tidak efektifnya respon imun dari penderita

Suatu kenyataan bahwa terjadinya penyakit akan menimbulkan respons imun dari hospes yaitu dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi tersebut. Respon imun terhadap malaria bersifat spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap P.vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh P.falciparum (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).

b)Pengobatan yang tidak sempurna

Obat-obat malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses skizogoni fase eritrosit dan mengurangi gejala klinis. Merasa sudah sehat penderita tidak melakukan follow up dan berhenti minum obat sebelum seluruh dosis obat habis. Kebiasaan lain adalah penderita berbagi obat dengan penderita lain sehingga dosis yang diharapkan tidak tercapai. Ini mengakibatkan relaps jangka pendek. Pada kasus p.vivax dan P.ovale dapat terjadi pengaktifan kembali dari hipnozoit di hati dan menyebabkan relaps jangka panjang (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).

c) Reinfeksi atau terpapar dengan gigitan nyamuk yang berulang,

Penyebab paling sering terutama di daerah endemis adalah adanya reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi segera setelah penderita menyelesaikan pengobatannya. Reinfeksi bisa terjadi 14 hari setelah pengobatan. Hal ini dimungkinkan bila lingkungan penderita mendukung berkembangnya vektor malaria sehingga penderita selalu terpapar dengan gigitan nyamuk yang infektif


(38)

3. Dampak Malaria Relaps Terhadap Pembangunan Kesehatan

Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian kesakitan dapat berlangsung berulang kali dan menyebabkan kelemahan fisik bagi penderitanya. Kerugian semakin terasa bila kelompok usia produktif yang terkena, mengingat mereka adalah tenaga pembangunan utama ( Sahli, 2004) Kerugian jangka pendeknya mudah diperhitungkan dengan hilangnya hari produktif dari seseorang yang menderita malaria. Seorang pekerja yang terkena malaria paling tidak akan kehilangan hari kerja tiga sampai lima hari. Nilai hari produktif diubah dengan hitungan kerugian dalam bentuk uang, maka seorang yang biasanya memperoleh penghasilan Rp.20.000 perhari. Penderita malaria akan kehilangan peluang mendapatkan uang sejumlah Rp.60.000 sampai Rp.100.000. Perhitungan dengan biaya pengobatan dan jumlah serangan ulang yang mungkin terjadi, tentunya akan bertambah besar lagi economic loss penderita tadi (Sahli, 2004). Kerugian jangka pendek yang ditimbulkan akibat malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa Kabupaten/Kota. Pada dimensi jangka panjangnya, ternyata akibat malaria tidak kalah hebat. Ia akan menyebabkan gangguan kesehatan ibu dan anak, intelegensia dan produktivitas angkatan kerja (Achmadi, 2005).

4. Pencegahan

Pencegahan merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam penanggulangan malaria. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya relaps adalah dengan mencegah infeksi awal terutama bila berada di daerah endemis malaria.


(39)

24

Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan profilaksis bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah malaria (Barnas, 2003).

Selanjutnya pencegahan terhadap serangan ulang malaria atau relaps yang perlu dilakukan adalah mecegah terjadinya reinfeksi dengan menghindari gigitan nyamuk. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis, dianjurkan untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi rumah serta menggunakan kelambu saat tidur, juga menggunakan lotion anti nyamuk (mosquito repellent) saat tidur atau keluar rumah di malam hari (Susana, 2011).

Penelitian Dasril (2005) menunjukkan bahwa resiko penularan malaria pada rumah yang tidak dipasang kawat kasa lima kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang dipasang kawat kasa. Masyarakat dengan kebiasaan tidak menggunakan repellent malam hari kemungkinan risiko dua-tiga kali lebih besar dibandingkan masyarakat dengan kebiasaan menggunakan repellent malam hari.

Pengobatan yang adekuat pada penderita malaria diberikan obat anti malaria yang sesuai dengan dosis dan aturan yang tepat. Seluruh kasus yang telah di konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus mendapatkan pengobatan radikal dengan primaquin. Pengobatan radikal dapat membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh manusia dan bertujuan mendapatkan kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan (Depkes, 2006).

Pemberian primaquin selama 14 hari pada infeksi oleh P.vivax dapat menghancurkan bentuk hipnozoit dan untuk sterilisasi gametocyt P.falciparum


(40)

diberikan primaquin single dose. Perlu ditekankan kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatan secara lengkap dengan melakukan follow up (pemerikasaan ulang darah tepi) pada hari ke tiga, hari ke tujuh dan hari ke 14 (Buletin malaria, 2011).

2.1.9. Resistensi Resistensi terhadap obat anti malaria didefinisikan sebagai kemampuan parasit

untuk bertahan hidup dan/atau berkembang biak pada pemeberian dosis setara atau lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan, tetapi masih dalam batas toleransi dari pasien (Harijanto, 2012).

Menurut Aditama (2014) ada enam faktor penyebab resistensi obat malaria dan pencegahanya :

1. Vektor nyamuk: mutasi genetik, imunitas, pengendalian vektor 2. Plasmodium: mutasi genetik, resistensi alamiah, cross resistance 3. Obat: kualitas obat, efikasi

4. Provider: kepatuhan standar pengobatan, (dosis obat), monitoring dan pengawasan pengobatan.

5. Pasien: imunitas, kepatuhan dan tuntas terhadap pengobatan 6. sistem manajemen: ketersediaan obat, akses layanan.

Terjadinya resistensi terhadap obat anti malaria dapat dicegah/diatasi dengan melakukan program yg tepat, yaitu: dengan pemberikan kelambu berinsektisida, indoor residual spray, obat ACT yang dikontrol baik (tersedia garatis), penanggulangan nyamuk lainnya (ikan, larvasida, dll), kepatuhan pasien terhadap follow up untuk pengobatan tuntas.


(41)

26

2.2. Konsep Pengetahuan 2.2.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dapat terbentuk melalui pengindraan terjadi melalui panca indera manusia dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera penglihatan dan pendengaran (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa perilaku yang didasari oleh pemgetahuan dan sikap yang positif lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan sikap yang positif (Maulana, 2009).

2.2.2Tingkat Pengetahuan dan Domain Kognitif

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2010)

mempunyai enam tingkat berikut:

1. Tahu (know): mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (Comprehension): kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar

3. Aplikasi (Application): kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajaripada situasi atau kondisi riil

4. Analisis (Analysis): kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut


(42)

5. Sintesis (Synthesis): kemampuan untuk meletakkan ataumenghubungkan bagian-bagiandi dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

6. Evaluasi (evaluation): kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

2.2.3Faktor yang mempengaruhi pengetahuan 1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Melalui pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa (Notoatmodjo, 2003).

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula (Notoatmodjo, 2003)

2. Media masa/ informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek, sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi menghasilkan tersedianya


(43)

28

bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat (Notoatmodjo, 2010).

3. Ekonomi

Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2010).

4. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu (Notoatmodjo, 2010).

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu (Notoatmodjo, 2010).

6. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003).


(44)

7. Sosial Budaya

Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan ini seeorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).

2.2.4 Pengukuran pengetahuan

Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Pengetahuan digolongkan menjadi 3 kategori yaitu baik, sedang dan kurang. Dikatakan baik (> 75%), cukup (60-75%), dan kurang (<60%) (Nursalam, 2008).

2.3 Konsep Persepsi 2.3.1 Pengertian persepsi

Persepsi adalah suatu proses otomatis yang terjadi dengan sangat cepat dan kadang kita tidak sadari, dimana kita dapat mengenali stimulus yang kita terima, persepsi yang kita miliki ini dapat mempengaruhi tindakan kita (Notoatmodjo,2010). Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, karena persepsi masyarakat mengenai penyakit juga bergantung dari budaya yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Perbedaan masyarakat dalam mempersepsikan, kerentanan,


(45)

30

keseriusan, dan ancaman terkena malaria ada hubungannya dengan upaya pencegahan dan pengobatan malaria (Harijanto, 2010).

Health Promotion Model dikembangkan untuk menganalisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perilaku kesehatan dalam hal ini perilaku dalam pemeriksaan ulang darah tepi atau follow up malaria. Menurut Pender (2001) perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1. Karakteristik individu

Dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: personal biological, psychological dan socio-cultural. Hai ini akan mempengaruhi individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.

2. Kognisi dan afek spesifik perilaku

Merupakan inti utama intervensi karena dapat dimodifikasi melalui intervensi keperawatan. Kognisis spesifik perilaku dapat berupa :

a. Persepsi manfaat tindakan

Manfaat atau hasil yang diharapkan mempengaruhi rencana sesorang untuk ikut dalam perilaku promosi kesehatan. Pengalaman positif sebelumnya dengan perilaku atau pengamatan terhadap orang lain yang terlibat dalam perilaku merupakan faktor motivasi. Diharapkan penderita mengetahui dan tahu manfaat follow up yaitu:

1. Mencegah relaps malaria

2. Mencegah resistensi obat anti malaria


(46)

b. Persepsi yang menghambat.

Persepsi sesorang mengenai waktu yang tersedia, ketidaknyamanan, biaya dan kesulitan melakukan tindakan dapat dianggap sebagai kendala.

Persepsi yang menghambat penderita untuk follow up yaitu: 1. Waktu follow up yang lama

2. Tindakan pengambilan darah secarah berulang-ulang 3. Biaya yang mahal dalam hal ini biaya tranportasi c. Persepsi kepercayaan diri

Keyakinan atau kepercayaan diri bahwa sesorang dapat berhasil melaksanakan perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Dengan melakukakan follow up individu yakin tidak terserang malaria lagi

d. Afek terkait tindakan

Perasaan subyektif yang terjadi sebelum, selama dan setelah aktifitas dapat mempengaruhi apakah seseorang akan mengulangi perilaku tersebut kembali atau mempertahankan perilaku tersebut. Perasaan subyektif terhadap follow up yaitu perasaan selama mengikuti follow up yang mencakup:

1. Waktu pemeriksaan darah yang lama

2. Cara pengambilan darah oleh petugas laboratorium 3. Keyakinan terhadap hasil pemeriksaan laboratorium e. Pengaruh interpersonal

Pengaruh interpersonal merupakan persepsi seseorang tentang perilaku, keyakinan atau sikap orang lain. Keluarga, teman sebaya dan professional kesehatan merupakan sumber pengaruh interpersonal yang dapat


(47)

32

mempengaruhi perilaku kesehatan sesorang. Tokoh masyarakat atau tokoh agama merupakan orang yang mampu memberikan pengaruh besar sehingga mengubah perilaku penderita untuk melakukukan follow up

f. Pengaruh situasi

Merupakan pengaruh langsung dan tidak langsung pada perilaku kesehatan dan mencakup persepsi terhadap pilihan yang tersedia, karateristik kebutuhan, dan gambaran estetika lingkungan. Ketersediaan akses layanan kesehatan untuk follow up, jarak ke tempat follow up, suasana lingkungan follow up yang nyaman merupakan faktor-faktor situasi yang dapat mempengaruhi penderita untuk melakukan follow up

3. Komitmen terhadap rencana tindakan

Komitmen terhadap rencana tindakan mencakup dua proses: komitmen dan identifikasi strategi khusus untuk melaksanakan dan menguatkan perilaku. Ketiga faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana & petugas kesehatan (Kozier, 2010).

Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, dan adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan yang merekomen-dasikan perubahan perilaku, dan


(48)

pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa. Perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan dan sikap. Secara khusus bahwa persepsi sesorang tentang kerentanan dan kemujaraban pengobatan dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku kesehatannya

2.3.5 Pengukuran Persepsi

Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi sub variabel, kemudian subvariabel dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur (indikator). Indikator ini kemudian dijadikan titik tolak untuk menyusun item instrument yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang kemudian dijawab oleh responden (Sugiyono, 2012). Skor ditentukan dengan skala likert 0-3, Untuk pernyataan positif diberikan nilai 0 untuk tidak setuju, 1 untuk kurang setuju, 2 untuk setuju dan 3 untuk sangat setuju. Pernyataan negatif, diberikan nilai 0 untuk sangat setuju, 1 untuk setuju, 2 untuk kurang setuju, dan 3 untuk tidak setuju. Jumlah skor yang diperoleh dibandingkan skor maksimal dikalikan 100.

2.4 Konsep Kepatuhan

Berbicara tentang kepatuhan artinya kita akan berbicara atau membahas tentang tindakan dimanakan tindakan itu sendiri merupakan wujud dari perilaku. Oleh karena itu dalam konsep kepatuhan penelitian ini akan membahas tentang perilaku.


(49)

34

2.4.1 Pengertian Kepatuhan

Patuh adalah taat pada perintah atau aturan, disiplin (Kamus Bahasa Indonesia, 2014). Berikut pendapat para ahli mengenai kepatuhan yang diuraikan oleh Suparyanto (2010), mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.

Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Suparyanto, 2010).

2.4.2 Faktor - faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:

1. Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Kadang kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh penderita (Suparyanto, 2010).


(50)

2. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu. Semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur–umur tertentu. Bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur–umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah (Suparyanto, 2010).

3. Kesakitan dan pengobatan

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas (Suparyanto, 2010).

4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal, Orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan memiliki kehidupan social yang lebih, memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai dengan kurangnya penguasaan terhadap lingkunganya.


(51)

36

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidak patuhan (Suparyanto, 2010).

5. Dukungan Keluarga

Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Suparyanto, 2010).

6. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidak patuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidak patuhan (Suparyanto, 2010). 7. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan contoh yang sederhana, jika tidak ada transportasi dan biaya dapat mengurangi kepatuhan penderita. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk


(52)

mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya efektif di negara seperti Indonesia yang memeliki status sosial lebih kuat, dibandingkan dengan negara-negara barat (Suparyanto, 2010).

8. Perilaku sehat

Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku tetapi juga dapat mempertahankan perubahan tersebut. Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri terhadap perilaku yang baru tersebut (Dinicola & Dimatte 1984, Suparyanto, 2010).

9. Dukungan profesi keperawatan (kesehatan)

Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan hal yang penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku penderita dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari penderita, dan secara terus menerus memberikan yang positif bagi penderita yang telah mampu beradabtasi dengan program pengobatanya (Suparyanto, 2010).

2.4.3 Pengukuran Kepatuhan

Pengukuran kepatuhan berdasarkan data klinik (data sekunder) sesuai standar pengobatan berdasarkan pedoman penatalaksanaan malaria. Berdasarkan protap yang berlaku di klinik malaria pemeriksaan darah tepi dilakukan sebanyak 3 kali yaitu : hari ke tiga , hari ke tujuh dan hari ke 14 post terapi. Dikatakan patuh jika


(53)

38

melakukan pemeriksaan sebanyak tiga kali dan tidak patuh jika pemeriksaan dibawah 3 kali.

2.5 Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 2004).

Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat di rumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).

2.5.1. Proses perubahan sikap dan perilaku

Perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap


(54)

ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan (Suparyanto, 2010).

Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi perilakunya sendiri (Suparyanto, 2010).

Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).

Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam


(55)

40

hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut (Suparyanto, 2010).

Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya. Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau tokoh merupakan seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri (Suparyanto, 2010).

2.5.2 Bentuk Perilaku

Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis besar bentuk perilaku menurut Notoatmodjo (2010)ada dua macam, yaitu: 1. Perilaku Pasif (respons internal)

Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata.

2. Perilaku Aktif (respons eksternal)

Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata.


(56)

2.5.3. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Respons atau reaksi organisme dapat berbentuk pasif (respons yang masih tertutup) dan aktif (respons terbuka, tindakan yang nyata atau practice/psychomotor)(Notoatmodjo, 2010).

Rangsangan yang terkait dengan perilaku kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan (Notoatmodjo, 2003).

2.5.4. Perilaku Terhadap Sehat dan Sakit

Perilaku tentang bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit dan penyakit yang bersifat respons internal (berasal dari dalam dirinya) maupun eksternal (dari luar dirinya), baik respons pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun aktif (praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit dan penyakit. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit sesuai dengan tingkatan-tingkatan pemberian pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau sesuai dengan tingkatan pencegahan penyakit, yaitu perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan (health promotion behavior), perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior), perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior), dan perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior).


(57)

42

2.5.5. Perilaku Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan

Perilaku ini adalah respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan, meliputi respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, respon terhadap cara pelayanan kesehatan, respon terhadap petugas kesehatan, dan respon terhadap pemberian obat-obatan. Respon-respon tersebut terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas maupun penggunaan obat-obatan (Notoatmodjo, 2010).

2.5.6. Perilaku Terhadap Lingkungan Kesehatan (Environmental behaviour)

Perilaku ini adalah respons individu terhadap lingkungan sebagai determinant (faktor penentu) kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini sesuai lingkungan kesehatan lingkungan menurutNotoatmodjo (2010), yaitu:

1. Perilaku terhadap air bersih, meliputi manfaat dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan

2. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor atau kotoran. Disini menyangkut pula hygiene, pemeliharaan, teknik dan penggunaannya

3. Perilaku sehubungan dengan pembuangan limbah, baik limbah cair maupun padat. Dalam hal ini termasuk sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat dan dampak pembuangan limbah yang tidak baik

4. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat. Rumah sehat menyangkut ventilasi, pencahayaan, lantai, dan sebagainya


(58)

2.5.7. Perilaku Pencegahan Penyakit

Perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kpribadian dan sikap yang saling berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang – kadang kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Azwar (2007) mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal yaitu:

1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu

2. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma – norma subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat

3. Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma–norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

2.5.8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, antara lain:


(59)

44

1. Faktor predisposisi (predisposing faktor), yang terwujud dalam pendidikan, umur, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya 2. Faktor pendukung (enabling faktor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedia atau tidak tersedianya sarana-sarana kesehatan dengan fasilitas yang lengkap, misalnya puskesmas, klinik malaria, Laboratorium, obat-obatan, alat-alat steril dan sebagainya

3. Faktor pendorong (reinforcing faktor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau tokoh masyarakat setempat, yang merupakan kelompok referensi sebagai role model dari perilaku masyarakat serta adanya dukungan dari orang-orang terdekat individu bersangkutan, misalnya support dari keluarga.

2.5.9 Perilaku dalam Pengendalian Malaria

Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat. Mantra (1997), membedakan perilaku individu atas 3 jenis, yaitu perilaku ideal (ideal behaviour), perilaku sekarang (current behaviour) dan perilaku yang diharapkan (expected behaviour).

Bentuk perilaku ideal Notoatmodjo (2010) yang berkaitan dengan kejadian malaria pada individu atau keluarga disuatu daerah endemis antara lain perilaku ideal yang berkaitan dengan pencegahan malaria adalah:

1. Malam hari berada di dalam rumah dan bila keluar rumah selalu memakai obat anti nyamuk oles (repellent) atau mengenakan pakaian yang tertutup


(60)

3. Tidak menggantungkan pakaian bekas di dalam kamar/rumah

4. Mengupayakan keadaan dalam rumah tidak gelap dan lembab dengan memasang genting kaca dan membuka jendela pada siang hari

5. Memasang kawat kasa di semua lubang/ventilasi dan jendela untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah

6. Membuang air limbah di saluran air limbah agar tidak menyebabkan genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk

7. Melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai 8. Menjauhkan kandang ternak dari rumah/tempat tinggal

9. Membunuh jentik nyamuk dengan menebarkan ikan pemakan jentik (kepala timah, gupi, mujair) pada mata air, saluran irigasi tersier, sawah, anak sungai yang dangkal, rawa-rawa pantai dan tambak ikan yang tidak terpelihara

10.Merawat tambak-tambak ikan dan membersihkan lumut yang ada di permukaan secara teratur.

Perilaku ideal berkaitan dengan pengobatan malaria antara lain: 1. Segera ke tempat pelayanan kesehatan bila demam

2. Bersedia diperiksa sediaan darah

3. Minum obat sesuai anjuran petugas kesehatan

4. Kembali kepelayanan kesehatan untuk follow up untuk memastikan bahwa tubuh bebas dari parasit malaria


(61)

46

Perilaku sekarang adalah perilaku yang dilakukan saat ini yang dapat diidentifikasi melalui observasi langsung atau wawancara baik langsung atau tidak langsung. Perilaku ini bisa sesuai atau bertentangan dengan perilaku ideal atau perilaku yang diharapkan (Daulay, 2006).


(1)

2.5.3. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Respons atau reaksi organisme dapat berbentuk pasif (respons yang masih tertutup) dan aktif (respons terbuka, tindakan yang nyata atau

practice/psychomotor) (Notoatmodjo, 2010).

Rangsangan yang terkait dengan perilaku kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan (Notoatmodjo, 2003).

2.5.4. Perilaku Terhadap Sehat dan Sakit

Perilaku tentang bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit dan penyakit yang bersifat respons internal (berasal dari dalam dirinya) maupun eksternal (dari luar dirinya), baik respons pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun aktif (praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit dan penyakit. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit sesuai dengan tingkatan-tingkatan pemberian pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau sesuai dengan tingkatan pencegahan penyakit, yaitu perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan

(health promotion behavior), perilaku pencegahan penyakit (health prevention

behavior), perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior), dan perilaku


(2)

2.5.5. Perilaku Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan

Perilaku ini adalah respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan, meliputi respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, respon terhadap cara pelayanan kesehatan, respon terhadap petugas kesehatan, dan respon terhadap pemberian obat-obatan. Respon-respon tersebut terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas maupun penggunaan obat-obatan (Notoatmodjo, 2010).

2.5.6. Perilaku Terhadap Lingkungan Kesehatan (Environmental behaviour) Perilaku ini adalah respons individu terhadap lingkungan sebagai determinant (faktor penentu) kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini sesuai lingkungan kesehatan lingkungan menurut Notoatmodjo (2010), yaitu:

1. Perilaku terhadap air bersih, meliputi manfaat dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan

2. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor atau kotoran. Disini menyangkut pula hygiene, pemeliharaan, teknik dan penggunaannya

3. Perilaku sehubungan dengan pembuangan limbah, baik limbah cair maupun padat. Dalam hal ini termasuk sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat dan dampak pembuangan limbah yang tidak baik

4. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat. Rumah sehat menyangkut ventilasi, pencahayaan, lantai, dan sebagainya


(3)

2.5.7. Perilaku Pencegahan Penyakit

Perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kpribadian dan sikap yang saling berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang – kadang kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Azwar (2007) mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal yaitu:

1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu

2. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma – norma subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat

3. Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma–norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

2.5.8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, antara lain:


(4)

1. Faktor predisposisi (predisposing faktor), yang terwujud dalam pendidikan, umur, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya 2. Faktor pendukung (enabling faktor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedia atau tidak tersedianya sarana-sarana kesehatan dengan fasilitas yang lengkap, misalnya puskesmas, klinik malaria, Laboratorium, obat-obatan, alat-alat steril dan sebagainya

3. Faktor pendorong (reinforcing faktor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau tokoh masyarakat setempat, yang merupakan kelompok referensi sebagai role model dari perilaku masyarakat serta adanya dukungan dari orang-orang terdekat individu bersangkutan, misalnya support dari keluarga.

2.5.9 Perilaku dalam Pengendalian Malaria

Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat. Mantra (1997), membedakan perilaku individu atas 3 jenis, yaitu perilaku ideal (ideal behaviour), perilaku sekarang (current behaviour) dan perilaku yang diharapkan (expected behaviour).

Bentuk perilaku ideal Notoatmodjo (2010) yang berkaitan dengan kejadian malaria pada individu atau keluarga disuatu daerah endemis antara lain perilaku ideal yang berkaitan dengan pencegahan malaria adalah:

1. Malam hari berada di dalam rumah dan bila keluar rumah selalu memakai obat anti nyamuk oles (repellent) atau mengenakan pakaian yang tertutup


(5)

3. Tidak menggantungkan pakaian bekas di dalam kamar/rumah

4. Mengupayakan keadaan dalam rumah tidak gelap dan lembab dengan

memasang genting kaca dan membuka jendela pada siang hari

5. Memasang kawat kasa di semua lubang/ventilasi dan jendela untuk mencegah

nyamuk masuk ke dalam rumah

6. Membuang air limbah di saluran air limbah agar tidak menyebabkan genangan

air yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk 7. Melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai

8. Menjauhkan kandang ternak dari rumah/tempat tinggal

9. Membunuh jentik nyamuk dengan menebarkan ikan pemakan jentik (kepala timah, gupi, mujair) pada mata air, saluran irigasi tersier, sawah, anak sungai yang dangkal, rawa-rawa pantai dan tambak ikan yang tidak terpelihara

10.Merawat tambak-tambak ikan dan membersihkan lumut yang ada di

permukaan secara teratur.

Perilaku ideal berkaitan dengan pengobatan malaria antara lain:

1. Segera ke tempat pelayanan kesehatan bila demam

2. Bersedia diperiksa sediaan darah

3. Minum obat sesuai anjuran petugas kesehatan

4. Kembali kepelayanan kesehatan untuk follow up untuk memastikan bahwa tubuh bebas dari parasit malaria


(6)

Perilaku sekarang adalah perilaku yang dilakukan saat ini yang dapat diidentifikasi melalui observasi langsung atau wawancara baik langsung atau tidak langsung. Perilaku ini bisa sesuai atau bertentangan dengan perilaku ideal atau perilaku yang diharapkan (Daulay, 2006).


Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penyakit Kardiovaskular dalam Melaksanakan Latihan Aktivitas Fisik Rehabilitasi Jantung Fase I di RSUP H. Adam Malik Medan

14 116 134

Efektifitas terapi Musik Terhadap Penurunan Nyeri Post Operasi pada Anak Usia Sekolah di RSUP H. Adam Malik Medan

9 98 66

HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT TERHADAP KEBERHASILAN TERAPI PADA PASIEN Hubungan Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Terhadap Keberhasilan Terapi Pada Pasien Hipertensi Di RSUD Dr. Moewardi Bulan Mei-Juni 2014.

0 3 12

HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT TERHADAP KEBERHASILAN TERAPI PADA PASIEN Hubungan Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Terhadap Keberhasilan Terapi Pada Pasien Hipertensi Di RSUD Dr. Moewardi Bulan Mei-Juni 2014.

0 3 14

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN UMUM DENGAN KEPATUHAN PASIEN HIPERTENSI Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Pasien Hipertensi di RS PKU Aisyiyah Boyolali.

0 1 11

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN UMUM DENGAN KEPATUHAN PASIEN HIPERTENSI Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Pasien Hipertensi di RS PKU Aisyiyah Boyolali.

1 8 12

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP KEPATUHAN PADA PASIEN DIABETES Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II Di Poliklinik Rejosari Husada Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten.

0 1 12

Post follow up e pupns

0 0 1

Follow Up Assessment

0 0 53

Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Kepatuhan Pasien dalam Terapi Pengobatan Tuberkulosis (TB) Paru di Puskesmas Guntung Payung

0 3 16