Pengembangan metode analisis deltametrin dalam matriks ikan nila (Oreochromis niloticus) dan aplikasinya pada asesmen resiko deltametrin melalui asupan ikan nila

(1)

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DELTAMETRIN DALAM MATRIKS IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN APLIKASINYA PADA ASESMEN RESIKO DELTAMETRIN MELALUI ASUPAN IKAN

NILA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Oei Johanes Darma Hendra Sandjaja

NIM : 098114032

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

i

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DELTAMETRIN DALAM MATRIKS IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN APLIKASINYA PADA ASESMEN RESIKO DELTAMETRIN MELALUI ASUPAN IKAN

NILA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Oei Johanes Darma Hendra Sandjaja

NIM : 098114032

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

iv

An Umbrella cannot stop the rain but it allows us to stand in the rain. Just like faith in God,

it may not remove our trials but it gives us God’s strength to overcome them.

Karya ini kupersembahkan untuk:

Papa dan Mama serta adik-adikku sebagai rasa syukur atas kasih sayang yang berlimpah, perhatian, semangat, dan dukungannya Teman - teman Almamaterku


(6)

(7)

(8)

xvii

INTISARI

Pestisida merupakan substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid. Deltametrin bersifat non polar dan memiliki nilai log Kow 4,6. Senyawa yang

memiliki nilai log Kow lebih besar dari 3 memiliki kemungkinan terjadinya

bioakumulasi pada organisme. Bioakumulasi deltametrin dapat terjadi dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) apabila deltametrin dipaparkan pada ikan nila. Ikan nila merupakan ikan yang sering dikonsumsi manusia. Manusia yang mengkonsumsi ikan nila yang mengandung deltametrin dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimum proses clean-up, mengetahui validitas dari metode kromatografi gas detektor penangkap elektron (Gas Chromatography Electron Capture Detector/GC-ECD)sehingga dapat digunakan dalam penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila, dan untuk mengetahui laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila.

Metode yang digunakan meliputi ekstraksi dan clean-up. Instrumen yang digunakan adalah kromatografi gas detektor penangkap elektron menggunakan fase diam Cp-Sil 5. Dari hasil penelitian dengan clean-up dan GC-ECD yang optimal didapatkan hasil validitas yang baik. Hasil validasi menunjukkan sensitivitas dengan nilai LOD 17,81 ng/mL dan LOQ 1,30 ng/g; korelasi antara konsentrasi dan respon yang linear pada rentang 5,3 ng/g – 70,5 ng/g dengan nilai r 0,999; akurasi dinyatakan dengan nilai recovery sebesar 82,74 – 110,46 %; presisi dinyatakan dengan nilai % RSD sebesar 0,3 – 3,4 %; dan matriks ikan nila tidak berpengaruh secara signifikan terhadap metode analisis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hingga hari ke-14 terjadi bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila dengan laju bioakumulasi untuk konsentrasi deltametrin 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L berturut-turut adalah 0,07 ng/hari dan 0,15 ng/hari. Karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila menunjukkan bahwa bila manusia Indonesia menkonsumsi ikan nila dengan berat 200 gram per hari dikatakan aman karena jumlah deltametrin yang terpejan adalah 374,46 ng dan 1159,61 ng. Jumlah ini jauh lebih kecil (0,062 dan 0,19 % dari ADI) bila dibandingkan dengan ADI deltametrin (0,01 mg/kg BB).

Kata kunci: ikan nila (Orechromis niloticus), deltametrin, validasi metode,


(9)

xviii

ABSTRACT

Pesticides are chemical substances used to kill or control pests. Deltamethrin is a pyrethroid class of pesticides. Deltamethrin is non-polar and has a log Kow value 4.6. Compounds that have log Kow values greater than 3 have the

possibility of bioaccumulation in organisms. Deltamethrin bioaccumulation may occur in Nile tilapia (Oreochromis niloticus) exposed deltamethrin. Nile tilapia is a fish that is commonly consumed. Humans who consume tilapia containing deltamethrin can cause harms to health. The purpose of this study was to determine the optimum conditions of clean-up process, determine the validity of gas chromatography - electron capture detector (GC-ECD) method that can be used in the determination of deltamethrin levels in Nile tilapia, and to determine the rate of deltamethrin bioaccumulation in Nile tilapia

The method which used in this study was extraction and clean-up. The instrument used is gas chromatography - electron capture detector using CP-Sil 5 as a stationary phase. The results using clean-up and GC-ECD in optimum condition obtained a good validity with high selectivity; linearity with r 0.999; % recovery 82.74 - 100.46%; % RSD 0.3 – 3.4 % ; range 5.3 ng / g - 70.5 ng / g; LOD 17.81 ng/mL; LOQ 1.30 ng/g, and the matrix that used do not significantly affect analytical procedures.

The results of this study showed that up to day 14 occurred deltamehtrin bioaccumulation in Nile tilapia with rate of bioaccumulation for the concentration deltamethrin 0.17 µg/L and 0.34 µg/L are respectively 0.07 ng/day and 0.15 ng/day. Risk characterization of deltamethrin through Nile tilapia intake showed that when humans consume 200 g of Nile tilapia per day is safe because the amount of consumed deltamethrin was 374.46 ng and 1159.61 ng/g. This results is much smaller (0.062 and 0.19 % of the ADI) than the ADI of deltamethrin (0.01 mg/kg BW).

Keywords: deltamethrin, nile tilapia, Orechromis niloticus, method validation,


(10)

ix

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus berkat kasih

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi

yang berjudul “Pengembangan Metode Analisis Deltametrin dalam Matriks Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen Resiko Deltametrin

Melalui Asupan Ikan Nila” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis

banyak mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

2. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku Ketua Program Studi Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang turut memberikan saran

dan masukan untuk penulis selama tahap penelitian.

3. Prof. Dr. Sri Noegrohati Apt, selaku Dosen pembimbing utama yang telah

memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal

penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.

4. Sanjayadi, M.Si., selaku Dosen pembimbing pendamping yang telah

memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal


(11)

x

5. Jeffry Julianus, M.Si. dan Enade Perdana I., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji

atas segala masukan dan bimbingannya.

6. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt. atas dukungan dan segala bantuan dalam perijinan

penggunaan lab.

7. Segenap dosen yang telah berkenan membagikan ilmu kepada penulis selama

belajar di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Teman seperjuangan skripsi: Kristina Nety Indriati, untuk kesabaran,

kebersamaan dan suka dukanya selama menyelesaikan penelitian ini.

9. Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, Mas Kethul Ismadi, Mas Ottok dan seluruh

staff laboratorium Fakultas Farmasi serta staff keamanan dan kebersihan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya.

10.Teman seperjuangan di laboratorium Kimia Analisis Instrumentasi : Jimmy,

Rachel, Gunggek, Leo, Topan, Ina, Shinta, Sasya, Metri, Victor, Agnes, Novia,

Teti, Febrin, Wisnu dan Ozy atas kebersamaan, suka duka, dan canda tawanya.

11.Is, Fendy, Felix atas keluangan waktu untuk bersama pergi sejenak dari

penatnya skripsi dan yang selalu memberikan dukungan dan masukan.

12.Teman-teman FST A 2009 dan seluruh angkatan 2009 atas dukungan dan suka

duka yang diberikan, Semoga pengalaman yang telah kita lalui bersama bisa

menjadi bekal untuk perjuangan hidup kita kelak.

13.Seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas yang telah

membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian dan


(12)

xi

sangat diharapkan adanya masukan dan saran yang membangun untuk penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi dunia ilmu

pengetahuan.


(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………... vi

INTISARI..………... vii

ABSTRACT...………... viii

PRAKATA……...………... ix

DAFTAR ISI……….……….. xii

DAFTAR TABEL………... xix

DAFTAR GAMBAR………... xxi

DAFTAR LAMPIRAN.……….. xxiii

BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang……… 1

1. Perumusan Masalah ……….. 5

2. Keaslian Penelitian ………. 5

3. Manfaat Penelitian ………... 5

B. Tujuan Penelitian ………... 6 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pestisida…………..………..…………...

1. Pengertian………..

8


(14)

xiii

2. Residu……… 10

3. Golongan………..…..………...………… 10

4. Jalur Masuk Tubuh……..…...………...… 10

5. Efek Terhadap Kesehatan dan Lingkungan...………..…….. 11

B. Deltametrin………..……… 12 1. Pengertian………...………...

2. Disipasi..……...……….

3. Efek Toksik….………...………

a. Toksisitas Akut..………..

b. Toksisitas Jangka Pendek………

c. Toksisitas Jangka Panjang dan Karsinogenisitas……….

d. Ekotoksikologi….………

4. Mekanisme Aksi………

5. Metabolisme……….. 6. Akumulasi………….………. 13 15 18 19 19 19 19 20 21 23

C. Biota Percobaan……….……….……….

1. Ikan Nila………….……..………. 2. Habitat…………...………. 3. Makanan…………...………. 4. Perkembangbiakan……….

5. Uptake pada ikan………..

D. Bioakumulasi………... E. Analisis Kelumit..………...

24 24 25 26 27 28 29 29


(15)

xiv

F. Ekstraksi..………

G. Kromatografi Gas………

1. Pengertian.……...………..

2. Prinsip…..………..…

3. Skema Alat.………

a. Gas Pembawa….………...

b. Ruang Suntik Sampel...………. c. Kolom………... d. Pemilihan Temperatur Kolom ……….. e. Detektor Penangkap Elektron………... 4. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif ……….... H. Validasi Metode Analisis..………...

1. Selektivitas…...………..

2. Linearitas dan Rentang………..

3. Akurasi...………

4. Presisi……….

a. Repeatability……… b. Intermediate Precision………. c. Reproducibility………

5. LOD dan LOQ………...

I. Landasan Teori………

J. Hipotesis………..

K. Rancangan Penelitian………...

31 34 34 35 35 36 37 38 40 42 45 45 47 47 48 48 48 48 48 49 49 53 54


(16)

xv BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………...………... 56 B. Variabel Penelitian………...………

1. Variabel Bebas………...

2. Variabel Tergantung……….. 3. Variabel Pengacau Tak Terkendali………

56

56

56

56

C. Definisi Operasional……… 57 D. Alat Penelitian ………..……….. 57

E. Bahan Penelitian…..……… 58

F. Tatacara Penelitian ………..

1. Optimasi Kromatografi Gas…...………. 2. Validasi Metode Pengukuran…...………...

a. Kestabilan Alat………..

b. Pembuatan Larutan Stok Deltametrin…..………... c. Pembuatan Larutan Intermediet Deltametrin.………... d. Linearitas dan Sensitivitas Metode Pengukuran Deltametrin

dengan GC-ECD...………….……… 3. Optimasi Fase Diam dan Fase Gerak untuk Clean-up….……...…...

a. Ekstraksi ikan………...

b. Clean-updengan Fase Diam Alumina……….……….…... c. Clean-up dengan Karbon Aktif dan Karbon Nonaktif………… 4. Validasi Metode Analisis Deltametrin……..……….

a. Ekstraksi Deltametrin dalam Sampel Ikan Nila.……….. 58 59 59 59 59 59 60 60 61 61 62 62 62


(17)

xvi

b. Clean-up………….………. c. Perolehan Kembali, Pengaruh Matriks, Penentuan LOD,

Presisi, Akurasi………

5. Penentuan Deltametrin dalam Ekstrak Ikan Nila.………...

a. Perlakuan Ikan Nila….………

b. Waktu Pengambilan Sampel………

c. Ekstraksi Deltametrin dalam Sampel Ikan Nila………... d. Clean-updan Determinasi………...

63 63 63 63 63 64

G. Analisis Hasil Penelitian....……….. 1. Optimasi Kromatografi Gas…….…….……….. 2. Optimasi Jenis Fase Diam dan Fase Gerak untuk Clean-up……….. 3. Kestabilan Alat...………... 4. Perhitungan Linearitas, Sensitivitas, dan Batas Deteksi……… 5. Penentuan Perolehan Kembali dan Batas Kuantitasi……….

6. Perhitungan Kadar………..………...

7. Pengaruh Prosedur Analisis..………. 8. Penentuan Laju Bioakumulasi………...

64 64 64 64 64 65 66 66 66

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Metode Analisis...……… 1. Uji Kesesuaian Sistem..………. a. Optimasi GC-ECD………... b. Presisi GC-ECD..………. c. Sensitivitas………...

68

68

68

69


(18)

xvii

c.1. Kurva Baku dan Linearitas………...

c.2. LOD………..

2. Preparasi Sampel Ikan Nila..………. a. Ekstraksi Deltametrin dalam Ikan Nila..………... b. Optimasi Jenis Fase Diam Dan Fase Gerak untuk Clean-up…… b.1. Optimasi Fase Diam untuk Clean-up Ekstrak Ikan Nila..…. b.2. Optimasi Fase Gerak untuk Clean-up Ekstrak Ikan Nila.….. 3. Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Ikan Nila...…………. a. Selektivitas...……….

b. Akurasi………..………

c. Presisi……….…….………..

d. Rentang Linearitas..………..

e. LOQ………....………...

f. Pengaruh Prosedur Analisis………..……… B. Bioakumulasi Deltametrin dalam Ikan Nila..………..

1. Aklimatisasi dan penanganan ikan nila untuk uji bioakumulasi

deltametrin dalam ikan nila…….………..

2. Penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila……… C. Karakterisasi Resiko Asupan Deltametrin Melalui Ikan Nila………….

70 73 75 75 75 76 79 82 82 83 85 87 87 88 89 90 92 98

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.……….

B. Saran ………...

100

101


(19)

xviii

LAMPIRAN ………... 106


(20)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I Sifat fisika kimia deltametrin.……… 15

Tabel II Toksisitas deltametrin pada organisme akuatik ..……….. 20

Tabel III Klasifikasi teknik dan metode analisis berdasarkan konsentrasi analit dalam sampel...………. 30

Tabel IV Parameter validasi untuk setiap kategori uji.……….. 47

Tabel V Hasil optimasi GC-ECD…………...……….. 69

Tabel VI Hasil rata-rata Tr dan CV DCB...………... 69

Tabel VII Hasil rata-rata luas puncak dan CV DCB..………. 70

Tabel VIII Persamaan regresi linier baku deltametrin….……… 71

Tabel IX Persamaan regresi linier baku deltametrin…..………... 72

Tabel X Hasil perolehan kembali……….……… 84

Tabel XI Persen perolehan kembali yang dapat diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit……… 84

Tabel XII Persen koefisien variasi dari metode penambahan baku……… 86

Tabel XIII Persen koefisien variasi yang diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit……… 86

Tabel XIV Hasil uji F standar deviasi kurva baku dan kurva adisi……….. 89

Tabel XV Hasil uji t slope kurva baku dan kurva adisi……….. 89

Tabel XVI Hasil uji t slope konsentrasi 0,17 µg/L………. 98

Tabel XVII Hasil uji t slope konsentrasi 0,34 µg/L………. 99


(21)

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur deltametrin………...……… 14

Gambar 2. Kanal sodium……….……… 21

Gambar 3. Ikan nila………..………... 24

Gambar 4. Struktur insang ikan………... 28

Gambar 5. Diagram skematik kromatografi gas…………... 36

Gambar 6. Gas yang digunakan dalam kromatografi gas….…………... 37

Gambar 7 Diagram split injection…...……… 38

Gambar 8. Tipe kolom kapiler kromatografi gas...………. 40

Gambar 9. Jenis pemrograman suhu..………. 43

Gambar 10. Perbandingan detektor pada gas kromatografi..……… 43

Gambar 11. Diagram skematik detektor penangkap elektron.……….. 45

Gambar 12. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC deltametrin/DCB……… 71

Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC deltametrin/DCB………. 72

Gambar 14. Ilustrasi pencarian LOD……….………… 73

Gambar 15. Overlapping kurva LOD……… 73

Gambar 16 Perbandingan hasil recovery deltametrin menggunakan karbon aktif (250 mg) dan karbon nonaktif (250 mg)………....… 78 Gambar 17 Hasil recovery adisi baku deltametrin sebelum clean-up dan


(22)

xxi

sulfat 0,4 g……….. 80 Gambar 18 Perbandingan kromatogram (1) = standar baku deltametrin,

(2) = deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui

proses ekstraksi dan clean-up……… 81 Gambar 19 Gabungan kurva baku dan kurva adisi……….. 88 Gambar 20 Kurva bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila……….. 95 Gambar 21 Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila

konsentrasi 0,17 µg/L………... 96 Gambar 22 Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila


(23)

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pembuatan larutan stok deltametrin ……….……….. 108 Lampiran 2. Pembuatan larutan intermediet deltametrin…..…………... 108 Lampiran 3. Pembuatan larutan kerja…..... 108 Lampiran 4. Data optimasi kromatografi gas……….…………. 109 Lampiran 5. Data hasil rata-rata Tr dan CV DCB….……….. 109 Lampiran 6. Data hasil rata-rata AUC dan CV DCB……….. 110 Lampiran 7. Data rasio AUC Deltametrin/DCB vs konsentrasi baku…. 110 Lampiran 8. Grafik kurva baku……… 111 Lampiran 9. Perhitungan sensitifitas alat………. 112 Lampiran 10. Perbandingan hasil recovery standar deltametrin yang

diperoleh antara karbon yang diaktifkan dan karbon yang

tidak diaktifkan……… 113 Lampiran 11. Hasil recovery adisi standar deltametrin sebelum clean-up

dan sebelum ekstraksi………..……… 114 Lampiran 12. Data hasil perolehan kembali.………….……… 115 Lampiran 13. Data hasil persen koefisen variasi…..………. 116 Lampiran 14. Data LOQ……… 116 Lampiran 15. Pengaruh prosedur analisis………. 118 Lampiran 16. Data penetapan kadar bioakumulasi)………. 120 Lampiran 17. Data laju bioakumulasi……… 125 Lampiran 18. Uji t slope untuk melihat apakah telah mencapai kondisi


(24)

xxiii

steady-state……….. 126 Lampiran 19. Karaterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila… 128


(25)

1

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, dimana sektor pertanian memegang

peranan yang penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Pertanian tidak

lepas dari masalah hama yang dapat menurunkan produksi pertanian. Pengendalian

hama dan penyakit dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh alami

(predator) dan menggunakan senyawa kimiawi, misalnya pestisida. Pengendalian

hama dengan cara menyebarkan hewan yang menjadi musuh alami (predator) hama

ke areal pertanian dinilai kurang efisien dan kurang praktis. Pengendalian hama

yang paling cepat dan efektif adalah menggunakan pestisida (Cahyono, 2005).

Oleh karena itu penggunaan pestisida di Indonesia cukup tinggi. Saat ini,

hampir semua kegiatan pertanian di seluruh dunia menggunakan pestisida untuk

mengendalikan hama, termasuk Indonesia. Jenis pestisida yang banyak digunakan

di Indonesia adalah insektisida, dimana penggunaannya mencapai 70% (Sutanto,

2002). Data survei tahun 2011 dari Yayasan FIELD pada 306 petani padi di Klaten

menunjukkan penggunaan pestisida rata-rata 5,7 kali per musim tanam, suatu

jumlah penggunaan pestisida yang sangat tinggi (Wienarto dan Hakim, 2012).

Penyebaran dan distribusi pestisida di daerah hingga ke tingkat perdesaan

tidak terkontrol sama sekali, kios-kios makanan di desa-desa juga menjual

pestisida. Tidak ada mekanisme yang mengendalikan penggunaan agar sesuai


(26)

hanya terjadi di tempat latihan (hanya skala kecil) yang diselenggarakan oleh

pemerintah dengan dukungan perusahaan pestisida. Studi FAO tahun 1993

menemukan dari 800 petani penyemprot di Tegal dan Brebes sekitar 21% terbukti

keracunan secara langsung dari kegiatan penyemprotan pestisida (Wienarto dan

Hakim, 2012).

Imidakloprin, profenolos, dan deltametrin merupakan contoh pestisida

yang sering digunakan petani (Zein, Munaf, Nurhamidah, dan Suyani, 2002).

Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid yang dapat membunuh

serangga melalui kontak langsung ataupun sistemik. Deltametrin bersifat toksik

bagi ikan, toksisitas akut deltametrin bagi ikan Onchorhynchus mykiss selama 96

jam adalah 0,26 µg/L, sedangkan toksisitas jangka panjang selama 28 hari terhadap

Onchorhynchus mykiss adalah <0,032 µg/L (European Commission, 2002). Potensi

bioakumulasi pada ikan Oncorhynchus mykiss (rainbow trout) pada hari ke-4

adalah 0,0599 µg/L dengan bioconcentration factor (BCF) sebesar 817 (Anonima,

2012).

Pestisida merupakan bahan beracun yang berbahaya, terutama jika

penggunaanya berlebihan. Beberapa jurnal penelitian dan ahli lingkungan

melaporkan bahwa pestisida dapat menimbulkan retensi hama, ledakan hama,

timbulnya hama sekunder, akumulasi pada produk pertanian, mencemari

lingkungan seperti tanah dan perairan. Residu pestisida dapat terbawa aliran air dan

dapat mencemari tanah serta organisme akuatik yang hidup di air (ikan, amfibi,


(27)

Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami

oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Manusia yang keracunan

deltametrin mengalami pusing, muntah, mual, mata berair, kulit terasa gatal-gatal

dan menjadi luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan

kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas

keselamatan kerja dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.

Selain keracunan langsung, dampak negatif deltametrin bisa mempengaruhi

kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak

berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa

residu pestisida yang ada didalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia.

Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah terpejan

pestisida melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari (Natawigena dan Satari,

1981).

Organisme aquatik sangat rentan terhadap keracunan pestisida. Pestisida

tertentu telah terbukti dapat mencemari lingkungan perairan dari sisa pemberian di

lingkungan pertanian atau melayang di udara akibat penyemprotan, dapat

menimbulkan ancaman serius bagi populasi ikan yang terkena paparan langsung,

terutama ikan muda yang cenderung kurang toleran terhadap pestisida. Konsentrasi

pestisida yang tinggi di dalam air dapat membunuh organisme air diantaranya ikan.

Sementara pestisida dengan konsentrasi rendah dapat terakumulasi pada tubuh ikan.

Tentu akan berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh manusia. Maka perlu


(28)

Untuk menjaga kemanan konsumsi ikan, batas maksimal residu

deltametrin yang diperbolehkan dalam ikan bersirip (fin fish) dalam Annex III of

Council Regulation (EEC) No. 2377/90 adalah 10 µg/kg (Committee for Veterinary

Medicinal Products, 2000).

Salah satu ikan yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah ikan nila

karena pembudidayaannya yang mudah. Permintaan yang besar terhadap ikan nila

mengakibatkan budidaya ikan nila termasuk komoditas unggulan dalam bisnis

perikanan air tawar. Ikan nila banyak dikonsumsi manusia karena dagingnya yang

empuk, lembut, enak, dan tebal (Sutanto, 2012). Ikan nila mengandung nutrisi yang

cukup baik (Suloma, Ogata, Garibay, Chavez, and El-Haroun, 2008).

Bila lingkungan tempat pembudidayaan ikan nila tercemar residu

deltametrin, maka ada kemungkinan deltametrin dapat terakumulasi dalam ikan

nila. Dan bila ikan nila tersebut dikonsumsi oleh manusia, deltametrin dapat

terakumulasi dalam tubuh manusia dan dapat berbahaya bagi kesehatan. Oleh

karena itu perlu menjaga keamanan makanan yang dikonsumsi dengan melalukan

karakterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila.

Diperlukan pengembangan metode yang selektif dan sensitif untuk

menetapkan kadar residu deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) dan

penelitian tentang kemungkinan terjadinya bioakumulasi deltametrin dalam ikan

nila (Oreochromis niloticus). Metode yang dapat digunakan untuk menganalisis

deltametrin adalah menggunakan metode kromatografi gas dengan detektor


(29)

1. Perumusan masalah

Dari uraian masalah di atas, dapat disampaikan perumusan masalah:

1. a. Bagaimana optimasi proses ekstraksi dan clean up residu deltametrin

dalam sampel ikan?

b. Apakah lemak ikan nila dan deltametrin dapat dipisahkan menggunakan

penjerap karbon?

2. Apakah proses ekstraksi dan clean up menggunakan fase diam dan fase

gerak yang optimal dapat memberikan data dengan validitas yang baik saat

dilakukan determinasi menggunakan GC-ECD?

3. Apakah terjadi bioakumulasi deltametrin dalam sampel ikan nila

(Oreochromis niloticus)?

4. Apakah asupan deltametrin pada manusia melalui ikan nila melebihi ADI?

2. Keaslian penelitian

Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai “Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya Pada

Penetapan Laju Bioakumulasi Deltametrin Menggunakan Model Lingkungan

Perairan”. Penelitian ini perlu dilakukan sebagai acuan dalam menentukan bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat metodologis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

memberikan alternatif metode dengan validitas yang baik untuk penetapan kadar


(30)

menggunakan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap

elektron.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat dan menjadi acuan baik untuk pemerintah maupun peneliti lingkungan

dalam penetapan kadar residu deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus)

yang valid, reliabel, dan memenuhi jaminan kualitas.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode analisis

residu deltametrin dalam sampel ikan nila (Oreochromis niloticus) sehingga

memperoleh data yang valid, reliabel, serta memenuhi jaminan kualitas sehingga

dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dan dapat menjadi pedoman teknik analisis

pestisida yang tepat dan memenuhi quality assurance. Juga untuk mengetahui

bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila.

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan komposisi fase diam dan fase gerak optimal pada proses

pembersihan ko-ekstraktan, sehingga residu deltametrin dapat terpisah dari

ko-ekstraktan.

2. Mendapatkan kondisi yang optimal untuk determinasi residu deltametrin

menggunakan instrument kromatrografi gas detektor penangkap elektron

(Gas Chromatography-Electron Capture Detector/GC-ECD) sehingga


(31)

3. Mengetahui bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis

niloticus)


(32)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pestisida 1. Pengertian pestisida

Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau

mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest, yang berarti

hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan

sebagai pembunuh hama. Yang dimaksud hama bagi petani adalah tungau,

tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur),

bakteria dan virus, kemudian nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus,

burung, dan hewan lain yang dianggap merugikan (Sudarmo, 1991).

Menurut European Pharmacopoeia (EP), pestisida adalah suatu zat atau

campuran zat yang digunakan untuk mencegah, membunuh, atau mengontrol hama

tumbuhan atau hewan yang tidak diinginkan. Federal Environmental Pesticide

Control Act (FEPCA) mendefinisikan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang

dimaksudkan untuk mencegah, membunuh, mengusir atau mengurangi

hama/serangga, hewan pengerat, nematoda, jamur, rumput (Nollet and Rathore,

2010).

Menurut Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1973 tentang pengawasan,

peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, pestisida didefinisikan sebagai


(33)

a. Memberantas atau mencegah hama penyakit yang merusak tanaman,

bagian-bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian.

b. Memberantas rerumputan.

c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman

tidak termasuk pupuk.

e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan dan

ternak.

f. Memberantas atau mencegah hama-hama air.

g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah

tangga, bangunan, alat-alat angkutan, alat-alat pertanian dan gudang.

h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan

penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan

pada tanaman, air, dan tanah (Anonim, 1998).

Menurut (Wardojo, 1977), pestisida dapat memberikan dampak

pencemaran lingkungan karena dapat mengendap (terdeposit) dalam tumbuhan

ataupun lahan pertanian selama bertahun-tahun sesuai dengan mekanisme

degradasinya. Umumnya degradasi pestisida di lingkungan mengikuti hukum

kinetika reaksi pertama, yaitu bahwa derajat/kecepatan degradasi berhubungan

dengan dosis pengaplikasiannya. Reaksi ini berlangsung dalam dua tahap, yaitu

disipasi (residu menghilang dengan cepat) dan persistensi (residu menghilang

dengan lambat). Terjadinya dua tahap reaksi ini karena deposit insektisida dapat


(34)

fotodegradasi (rusaknya pestisida karena cahaya), sedangkan persistensi dapat

disebabkan karena absorpsi pestisida ke dalam tanah.

2. Residu pestisida

Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil

pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun

tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan

pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat

pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologis (Anonim, 2006).

3. Golongan pestisida

Pestisida dapat digolongkan menjadi:

a. Organoklorin (seperti DDT, lindan, aldrin, klordan, endosulfan)

b. Organofosfat (seperti etion, malation, diklorovos)

c. Karbamat (seperti karbaril, karbofuran, karbanolat, propoksur)

d. Piretroid sintetik (seperti sipermetrin, deltametrin, fenvalerat, fluvalinat)

e. Pestisida urea (seperti sulkouron, fikofuron, diafenthiurun) (Nollet and

Rathore, 2010)

4. Jalur masuk ke tubuh

Tubuh dapat terpapar pestisida melalui 4 cara, yaitu:

a. Pemejanan secara oral sering disebabkan karena tidak mencuci tangan sebelum

makan, minum, merokok, tidak sengaja memaparkan pestisida ke makanan,

atau tidak sengaja memaparkan pestisida ke dalam mulut.

b. Pemejanan secara inhalasi sering disebabkan karena kontak yang lama dengan


(35)

ventilasi udara yang buruk, menangani pestisida tanpa menggunakan alat

pelindung, menghirup udara sesaat setelah pestisida diaplikasikan,

menggunakan respirator yang buruk atau filter yang lama yang tidak diganti.

c. Pemejanan melalui mata disebabkan karena percikan atau semprotan pestisida

yang mengenai mata, mengaplikasikan pestisida saat cuaca berangin tanpa

menggunakan pelindung mata, mengusap mata dengan sarung tangan atau

tangan yang telah terkontaminasi, menuang formula dalam bentuk granul,

serbuk tanpa pelindung mata.

d. Pemejanan melalui kulit sering disebabkan karena tidak mencuci tangan

setelah menangani pestisida atau wadahnya, tidak sengaja mengenai kulit atau

mata yang tidak menggunakan alat pelindung, menggunakan pakaian yang

terkontaminasi pestisida (termasuk sepatu dan sarung tangan),

mengaplikasikan pestisida saat cuaca berangin, memegang permukaan yang

telah diaplikasikan pestisida (Nollet and Rathore, 2010).

5. Efek terhadap kesehatan dan lingkungan

Pestisida dapat menyebabkan 4 macam efek akut pada tubuh, yaitu:

a. Efek akut oral: Beberapa pestisida dapat menyebabkan rasa terbakar pada

mulut, tenggorokan, dan perut. Pestisida lain bila tertelan tidak menyebabkan

rasa terbakar pada sistem pencernaan, tetapi akan terabsorbsi dan terbawa

dalam aliran darah dan dapat membahayakan dalam berbagai cara.

b. Efek inhalasi akut: Beberapa pestisida, membuat seseorang menjadi sulit

bernafas, dapat menyebabkan rasa terbakar pada sistem pernafasan. Pestisida


(36)

terbawa dengan cepat dalam aliran darah dan dapat membahayakan dalam

berbagai cara.

c. Efek dermal akut: Kontak dengan beberapa pestisida dapat membahayakan

kulit. Pestisida mungkin dapat menyebabkan kulit menjadi gatal, melepuh,

pecah-pecah, atau berubah warna. Pestisida lain dapat melewati kulit dan mata

dan masuk ke dalam tubuh.

d. Efek akut pada mata: Mata yang terkena pestisida dapat menjadi buta

sementara atau permanen atau iritasi yang parah. Pestisida lainnya mungkin

tidak mengiritasi mata, namun dapat melewati mata dan masuk ke dalam tubuh.

e. Efek alergi: Ini adalah efek berbahaya ketika pada beberapa orang dapat

menimbulkan reaksi terhadap senyawa yang tidak menyebabkan reaksi yang

sama pada kebanyakan orang. Efek alergi meliputi: Efek sistemik seperti asma;

iritasi kulit seperti ruam, melepuh, atau luka terbuka; iritasi pada mata dan

hidung seperti gatal, mata berair, dan bersin (Nollet and Rathore, 2010).

B. Deltametrin

Insektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang

merupakan tiruan analog dari piretrin. Piretrin merupakan suatu senyawa kimia

yang bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang

diekstrak dari bunga krisan (Chrysanthemum spp.). Piretrum alami sudah jarang

digunakan dalam dunia pertanian dikarenakan harga yang mahal dan tidak stabil

bila terkena sinar matahari. Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada

bahan aktif masing-masing. Banyak piretroid yang memiliki efek sebagai racun


(37)

saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam kerja pada susunan saraf

sentral. Hingga saat ini, telah dikembangkan 4 generasi piretroid, yaitu generasi I

(alletrin); generasi II (resmetrin); generasi III (fenvalerat, permetrin); serta generasi

IV (deltametrin, fluvalinat, dan sipermetrin) (Djojosumarto, 2008).

Meskipun lebih stabil daripada piretrin, piretroid mudah terbiodegradasi

dan tidak memiliki waktu paruh dalam tubuh yang panjang. Piretroid dapat

berikatan dengan partikel di tanah dan sedimen dan menunjukkan beberapa

persitensi di lokasi tersebut. Dengan kelarutannya yang rendah dalam air, piretroid

tidak menunjukkan sifat sistemik yang signifikan dan tidak digunakan sebagai

insektisida sistemik. Masalah utama terhadap lingkungan terkait dengan toksisitas

piretroid pada ikan dan invertebrata lainnya. Piretroid umumnya diformulasikan

menjadi emulsi yang digunakan dengan cara disemprotkan. Piretroid digunakan

untuk mengontrol berbagai macam hama serangga pada lahan pertanian dan

tanaman hortikultura di seluruh dunia dan sekarang digunakan secara luas untuk

mengendalikan serangga vektor penyakit (misalnya lalat tsetse di beberapa bagian

Afrika) (Walker, 2001).

Piretroid sintetik generasi pertama memiliki sifat sangat sensitif terhadap

cahaya, udara, dan temperatur. Oleh sebab itu, piretroid jenis ini digunakan untuk

mengontrol hama dalam ruangan. Sementara piretroid generasi kedua memiliki

stabilitas yang baik pada kondisi di luar ruangan oleh sebab itu, piretroid generasi

kedua digunakan diseluruh dunia untuk mengatasi hama pertanian (Krieger, 2010).


(38)

Deltametrin ((S)-α-cyano-3-phenoxybenzyl (1R, 3R)-3-(2,2-dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane carboxylate) merupakan insektisida

golongan piretroid yang memiliki struktur seperti Gambar 1.

Gambar 1. Struktur deltametrin (World Health Organization, 2012)

Deltametrin di sintesis pada tahun 1974, dan pertama kali dipasarkan pada

tahun 1977. Penggunaan deltametrin di dunia mencapai 250 ton per tahun pada

1987. Umumnya digunakan pada kapas (45% dari konsumsi total), dan pada lahan

kopi, jagung, sereal, buah, sayuran, dan produk-produk yang dipasarkan.

Deltametrin diformulasikan dalam bentuk emulsi konsentrat, suspensi konsentrat,

serbuk, atau dikombinasikan dengan pestisida lainnya (World Health Organization,


(39)

Tabel I. Sifat fisika kimia deltametrin (European Commision, 2002)

2. Disipasi deltametrin

Proses disipasi pestisida memegang peranan penting dalam penentuan

keberadaan di lingkungan. Disipasi pestisida terkait erat dengan struktur

fisikokimia senyawa pestisida yang dipelajari. Jalur disipasi pestisida di lingkungan Nama umum Deltametrin

Nama kimia (IUPAC)

(S)-α-cyano-3-phenoxybenzyl (1R, 3R )-3-(2,2-dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane carboxylate

Nama kimia (CA)

1R-[1α(S*),3α]]

-3-(2,2-dibromoethenyl)-2,2-dimethyl-cyclopropanecarboxylic acid, cyano (3-phenoxyphenyl) methyl ester

Rumus molekul C22H19Br2NO3

Bobot molekul 505,2

titik lebur 100-102°C (373-375°K)

titik didih terdekomposisi pada suhu diatas 300°C

Pemerian Serbuk kristal, tidak berwarna dan tidak berbau Kerapatan relatif 0,550 g/cm3

Tekanan uap 1,24 x 10-8 Pa pada 25°C Konstanta Henry 3,1 x 10-2 Pa.m3/mol pada 25°C

Kelarutan dalam air 0,0002 mg/L pada 25°C, kelarutan tidak tergantung pH (dilakukan pada pH 7,49-7,85)

Kelarutan dalam pelarut organik

memiliki kelarutan tinggi pada kebanyakan pelarut ogranik pada temperatur ruangan

1,2-dichloroethane > 600 g/L, 20°C acetone 300-600 g/L, 20°C

dimethylsulfoxide 200-300 g/L, 20°C ethyl acetate 200-300 g/L, 20°C p-xylene 150-200 g/L, 20°C xylene 175 g/L, 20°C acetonitrile 60-75 g/L, 20°C methanol 8,15 g/L, 20°C n-heptane 2,47 g/L, 20°C Koefisien partisi (log

Pow)

4,6 (25°C, pH 7,6) tidak tergantung pH, ada kemungkinan terjadi bioakumulasi

Stabilitas fotolitik dalam air (Dt50)

fototransformasi langsung t1/2 = 48 hari


(40)

meliputi translokasi dan degradasi. Deltametrin di tanah dapat hilang/terdegradasi

melalui proses fisika, kimia, dan mikrobiologis. Proses fisika meliputi: penyerapan,

penguapan, pelindihan, dan diserap tanaman. Proses kimia meliputi proses

fotokimia dan mikrobiologis. Deltametrin kemungkinan tidak terjerap secara kuat

pada bagian dedaunan dari tanaman, dan penguapan dari permukaan ini juga lebih

tinggi dibandingkan dengan tanah. Pada salah satu penelitian di lapangan, 12-72%

deltametrin menguap dari permukaan tanaman pada 24 jam setelah aplikasi

(Anonima, 2009).

Deltametrin diinkubasi pada pasir dan tanah organik pada suhu 28 °C

dalam kondisi laboratorium, setelah 8 minggu perlakuan sekitar 52% dan 74%

deltametrin yang diaplikasikan diperoleh kembali dari pasir dan tanah organik

(World Health Organization, 1990).

Degradasi dari deltametrin diteliti oleh Zhang et al. (1984) pada tanah

organik selama periode 180 hari. Waktu paruh deltametrin yang diperoleh adalah

72 hari, mengindikasikan bahwa deltametrin kemungkinan besar lebih kurang

rentan terdegradasi dalam tanah organik daripada tanah mineral. Degradasi

deltametrin juga diteliti oleh Thier and Schmidt (1977) pada 2 jenis tanah di Jerman.

Waktu paruh untuk tanah berpasir dan tanah liat berpasir berturut-turut adalah 35

dan 60 hari. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa deltametrin cepat

terdegradasi dalam tanah. Waktu paruh deltametrin tergantung pada kondisi tanah

dan temperatur. Secara umum waktu paruhnya berkisar antara 11-72 hari, pada


(41)

kondisi steril, mengindikasikan bahwa mikroorganisme dan proses biologis yang

lain memegang peranan yang sangat penting (World Health Organization, 1990).

Hidrolisis deltametrin tidak signifikan pada pH 5 dan 7. Pada pH 9,

hidrolisis signifikan dengan waktu paruh 2,5 hari (25 ºC) hingga 7 hari (12 ºC).

pada pH 8, waktu paruhnya 31 hari (23 ºC) hingga 75 hari (12 ºC) (Standing

Committee on Biocidal Products, 2011).

Pada lingkungan akuatik, deltametrin akan sangat cepat terpartisi ke

sedimen, dan biota. Pada laboratorium, 60% dari radioaktivitas yang diaplikasikan

ditemukan pada sedimen sesaat setelah diaplikasikan. Dalam sistem air/sedimen,

degradasi DT50 sekitar 45 dan 141 hari pada 2 sistem yang berbeda pada 20 ºC (104

dan 253 hari pada suhu 12 ºC). pH fase air pada sistem adalah 8,0-9,1 dan hidrolisis

mungkin mempunyai pengaruh terhadap degradasi. Di tanah, nilai DT50 orde 1

adalah 11-27 hari. Pada suhu 12 ºC, DT50 adalah 31-74 hari. pH dari 4 macam tanah

yang digunakan masing-masing adalah 5,8, 5,9, 7,5, dan 8,1 dan hidrolisis mungkin

adalah rute degradasi yang tidak signifikan pada tanah. Metabolit utama

deltametrin, Br2CA telah dihitung sekitar 0,7-11,6 hari (Standing Committee on

Biocidal Products, 2011).

Degradasi abiotik: stabil pada pH 5 dan 7 (25°C), pH 8 31 hari, pH 9 2,5

hari. Metabolit terbanyak: mPaldehyde (utama), Br2CA (trace). Degradasi fotolisis:

fototransformasi langsung yang tidak signifikan (DT50≥ 48 hari), fototransformasi


(42)

3. Efek toksik deltametrin

Deltametrin sangat toksik terhadap ikan, 96 jam LC50 berkisar antara 0,4

– 2,0 µg/L. deltametrin juga sangat toksik untuk invertebrata akuatik, 48 jam LC50

untuk Daphnia magna adalah 5 µg/L (World Health Organization, 1990).

Pada beberapa kasus yang tidak fatal terpejannya deltametrin pada

manusia karena kelalaian, efek yang ditimbulkan adalah mati rasa, gatal, perasaan

geli, dan terbakar pada kulit dan vertigo adalah efek yang sering dilaporkan.

Kebanyakan efek ini hanya sementara dan menghilang setelah 5-7 hari. Tidak ada

efek samping jangka panjang yang pernah dilaporkan (World Health Organization,

1990).

Tanda keracunan pada manusia adalah paresthesia yang paling sering

dilaporkan. Selain itu juga rasa geli, gatal, rasa terbakar, dan mati rasa setelah

pemejanan pada kulit. Paresthesia dilaporkan bersifat reversible kadang hingga 48

jam. paresthesia terjadi hanya pada tempat pemejanan pada kulit. Seorang wanita

berusia 25 tahun yang mengalami keracunan cukup hebat setelah menyemprotkan

deltametrin pada ladang kapas mengeluh pusing, nausea, rasa lelah, pandangan

menjadi kabur, kehilangan nafsu makan, rasa terbakar dan geli pada wajah, mual,

vertigo, gangguan tidur, dan hilangnya kesadaran. Seorang pria berusia 31 tahun

dengan gejala keracunan ringan setelah menyemprotkan deltametrin pada ladang

kapas mengalami pusing, nausea, rasa lelah, pandangan menjadi kabur, kehilangan

nafsu makan, sensasi terbakar dan gatal pada muka dan dada (National Pesticide


(43)

a. Toksisitas akut: Pada tikus LD50 oral 87 mg/kg BB, LD50 dermal >2000

mg/kg BB, LC50 inhalasi 0,6 mg/L (6 jam pemejanan seluruh tubuh, aerosol), iritasi

kulit: Tidak iritasi, iritasi mata: Tidak iritasi (European Commision, 2002).

Toksisitas oral akut deltametrin pada tikus menunjukkan gejala seperti:

muncul warna pada bulu, grooming berlebihan, pengeluaran air liur, diare,

mengantuk, menjadi lemah, dyspnea, piloerection, ptosis, kesulitan berjalan,

inkordinasi gerakan, hipotonia, kematian (World Health Organization, 1990).

b. Toksisitas jangka pendek: Target: Sistem saraf (efek neurologi),

NOAEL/NOEL oral terendah: NOAEL 1 mg/kg bw/d ( uji oral selama 90 hari pada

tikus, dan studi 1 tahun pada anjing), NOAEL/NOEL dermal terendah: NOAEL

1000 mg/kg bw/d (berdasarkan pada uji dermal selama 21 hari pada tikus),

NOAEL/NOEL inhalasi terendah: NOAEL < 3 mg/L (berdasarkan pada studi pada

tikus selama 14 hari) (European Commision, 2002).

c. Toksisitas jangka panjang dan karsinogenisitas: Target: Sistem saraf (efek

neurologi), NOAEL 25 ppm atau 1 mg/kg bw/d (2 tahun pada tikus),

karsinogenisitas: Tidak ada potensi karsinogenik (European Commision, 2002).

d. Ekotoksikologi: Vertebrata terestrial: Toksisitas akut pada mamalia: LD50

87 mg/kg BB (tikus), toksisitas akut pada burung: LD50 > 2250 mg/kg BB (Colinus

virginianus), LD50 > 4640 mg/kg BB (Anas platyrhynchus), toksisitas oral jangka

pendek pada mamalia: NOEL 2,5 mg/ kg bw/d (studi oral pada anjing selama 13


(44)

Tabel II. Toksisitas deltametrin pada organisme akuatik (European Commision, 2002) Spesies Skala waktu Toksisitas (µg a.s./l) Hasil akhir Toksisitas akut ikan O. mykiss 96 h1 0,26 LC50 Toksisitas akut ikan

jangka panjang O. mykiss 28 d

1 <0,032 NOEC

Bioakumulasi pada

ikan 1400 28 d

1 - BCF

Toksisitas akut pada invertebrata

Deltametrin: D. magna

24 h1

48 h1

> 1,3 0,56 EC50 EC50 D. magna

24 h2

48 h2

0,25 0,11 EC50 EC50 Decis EC: Gammarus fasciatus

96 h1 96 h1 96 h4

0,00031 0,0032 > 0,043 LC50 LC50 LC50

A. aquaticus 96 h2 0,00051 LC50 Toksisitas kronik

invertebrata

Deltametrin: D. magna 21d

1 0,0041 NOEC

Keterangan: 1flow trough, 2semi static, 4 one pulse exposure, followed by flow-through of clean water, sediment/water system

4. Mekanisme aksi

Deltametrin termasuk piretroid tipe II, tanda keracunan meliputi tremor,

pengeluaran air liur, dan konvulsi. Onsetnya cepat dan kemudian akan hilang

setelah beberapa hari pada yang selamat (World Health Organization, 1990).

Deltametrin efektif melawan serangga melalui saluran pencernaan dan

kontak langsung. Piretroid secara umum mengganggu produksi normal sinyal saraf

dalam sistem saraf. Piretroid bekerja pada membrane saraf dengan menunda

menutupnya gerbang sodium ion channel. Piretroid tipe II, termasuk deltametrin

mempunyai gugus α-cyano yang menginduksi long lasting inhibiton dari sodium channel activation gate. Hasilnya adalah memperpanjang permeabilitas dari saraf


(45)

ke sodium dan menghasilkan sinyal saraf berulang pada sensory organ, sensory

nerves, dan otot (National Pesticide Information Center, 2010). Ciri dari keracunan

yang terlihat adalah terjadinya tremor otot yang tidak terkoordinasi (Walker,

Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001).

Gambar 2. Kanal Sodium (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001)

Membran sel saraf memiliki muatan spesifik. Dengan berubahnya jumlah

ion (charged atoms) melewati kanal ion menyebabkan depolarisasi membran yang

menyebabkan dilepaskannya neurotransmiter. Neurotransmiter membantu

komunikasi sel saraf. Pesan elektrikal yang dikirim diantara sel saraf menyebabkan

mereka menghasilkan respon seperti gerakan pada hewan atau serangga. Piretroid

bekerja sebagai racun kontak yang mempengaruhi sistem saraf serangga. Meskipun

piretroid adalah racun saraf, tetapi piretroid tidak menghambat kolinesterase seperti

insektisida organofosfat atau karbamat (National Pesticide Telecommunications

Network, 1998).

5. Metabolisme deltametrin

Kecepatan absorbsi deltametrin secara oral sekitar 75%, berdasarkan data

ekskresi dari urin pada tikus. Deltametrin akan segera diabsorbsi ketika


(46)

selama 24 jam setelah pemejanan, 19-47% di urin, 32-55% di feses) dan

distribusikan pada jaringan. Residu pada jaringan relatif rendah, residu terbanyak

ditemukan pada lemak. Tidak ada indikasi akumulasi, meskipun residu deltametrin

pada jaringan adipose dieliminasi dengan waktu paruh > 24 jam. deltametrin

dengan cepat diekskresikan melalui urin dan feses (Standing Committee on

Biocidal Products, 2011).

Deltametrin diabsorbsi melalui rute oral, dan sedikit melalui rute dermal,

kecepatan absorbsinya sangat tergantung dari pembawa atau solven. Deltametrin

yang telah diabsorbsi kemudian akan dimetabolisme dan diekskresikan (World

Health Organization, 1990).

Metabolit terbanyak adalah Br2CA (Decamethrinic acid) bebas dan

terkonjugasi, trans-hydroxymethyl-Br2CA, dan 3-(4-hydroxyphenoxy) benzoic

acid yang dibentuk dari esterifikasi, oksidasi, dan konjugasi (World Health

Organization, 1990).

Reaksi metabolisme yang utama adalah oksidasi, pemecahan ikatan ester,

dan konversi bagian siano menjadi tiosianat dan 2-iminothiazolidine-4-carboxylic

acid (ITCA). Asam karboksilat dan derivat fenol dikonjugasikan dengan asam

sulfur, glisin, dan/atau asam glukoloronik (World Health Organization, 1990).

Metabolisme deltametrin pada manusia. Tiga pria muda menerima dosis

tunggal 3 mg deltametrin yang dikombinasikan dengan 1 gram glukosa dan

dilarutkan terlebih dahulu dalam 10 mL PEG 300 dan kemudian dalam 150 mL air.

Radioaktivitas total adalah 1,8 ± mBq. Sampel darah, urin, air liur, dan feses


(47)

setiap 12 jam selama perlakuan dan 1 minggu setelah perlakuan berakhir.

Pemeriksaan klinis dan biologis tidak mendeteksi adanya kelainan. Tidak ada tanda

efek samping atau intolerance reaction, baik selama atau setelah masa percobaan.

Radioaktivitas maksimal plasma muncul antara 1-2 jam setelah administrasi. Waktu

paruh eliminasi yang diperoleh antara 10,0 dan 11,5 jam. Radioaktivitas pada sel

darah, juga air liur sangat rendah. Ekskresi urin menunjukkan 90% radioaktivitas

diekskresikan selama 24 jam setelah absorbsi. Waktu paruh ekskresi urin yang

tampak adalah 10,0 – 13,5 jam dimana hasil ini konsisten dengan data plasma. Eliminasi feses pada akhir periode observasi menunjukkan 10 – 26% dari dosis. Total eliminasi feses dan urin sekitar 64-77% dari dosis awal yang diberikan setelah

96 jam (World Health Organization, 1990).

Mamalia umumnya memetabolisme piretroid melalui hidrolisis ester,

oksidasi, dan konjugasi. Pemutusan ester adalah rute utama degradasi dalam tubuh.

Tiosianat adalah metabolit utama setelah tikus diberikan deltametrin secara oral dan

intraperitonial. Metabolit yang lainnya meliputi PBA (3-phenoxybenzoic acid), 4’ -OH-PB acid sulfate (4’-hydroxy-3-phenoxybenzoic acid sulfate), Br2CA

(3-(2,2-dibromoethenyl)-2,2-dimethylcyclopropanecarboxylic acid) dan konjugat

glukoronat (National Pesticide Information Center, 2010).

6. Akumulasi deltametrin

Bioakumulasi deltametrin diteliti pada bluegill sunfish (Lepomis

machrochirus). Nilai biokonsentrasi (BCF) yang diperoleh adalah 310, 2800, dan

1400 untuk edible, non-edible dan seluruh jaringan tubuh. Setelah 14 hari periode


(48)

jaringan tubuh. Waktu paruh biologis adalah 4,3 hari pada seluruh jaringan tubuh

(Standing Committee on Biocidal Products, 2011).

Biokonsentrasi deltametrin pada cacing tanah adalah 483 menggunakan

Kow 40 200 untuk deltametrin (Standing Committee on Biocidal Products, 2011).

C. Biota Percobaan 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Klasifikasi ikan nila menurut Myers, Espinosa, Parr, Jones, Hammond,

and Dewey (2013):

Kingdom: Animalia

Filum: Chordata

Subfilum: Vertebrata

Kelas: Actinopterygii

Ordo: Perciformes

Famili: Ciclidae

Genus: Oreochromis

Spesies: Oreochromis niloticus


(49)

Ikan nila hidup di perairan air tawar hampir di seluruh Indonesia. Jenis

ikan ini sebenarnya bukan ikan asli Indonesia. Habitat asli ikan nila adalah di

Sungai Nil dan daerah perairan di sekitarnya. Menurut sejarahnya, ikan nila masuk

ke Indonesia pada tahun 1969. Ikan nila didatangkan oleh Balai Penelitian

Perikanan Air Tawar (BPAT) Bogor dari Taiwan. Setelah diteliti dan dilakukan

adaptasi, ikan ini mulai disebarkan ke beberapa daerah di Indonesia. Nila adalah

nama khas Indonesia yang diberikan pemerintah melalui Direktur Jenderal

Perikanan. Nama tersebut diambil dari nama spesies ikan ini, yakni nilotica yang

kemudian diadaptasi menjadi nila (Sutanto, 2012).

Ikan nila merupakan ikan air tawar yang cukup dikenal luas masyarakat

Indonesia. Secara deskripsi dan bentuk ikan nila mirip dengan ikan mujair, tetapi

memiliki ukuran yang lebih besar. Ikan nila termasuk jenis ikan yang mudah

dibudidyakan, oleh karena itu ikan nila termasuk komoditas unggulan dalam bisnis

perikanan air tawar. Permintaan yang besar terhadap ikan nila mengakibatkan

budidaya ikan nila semakin berkembang dan menjadi ladang bisnis yang

menjanjikan. Perkembangan budidaya ikan nila ini juga sehingga sekarang banyak

dihasilkan jenis ikan nila unggulan (Sutanto, 2012).

Ikan nila mengandung 77-79% air, 17-18% protein, 1,5-3,2 % lemak, dan

1,1-15% mineral (Muchiri, 2006).

2. Habitat ikan nila

Habitat nila adalah perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk, dan

rawa-rawa, teteapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas (euryhaline), dapat


(50)

0-35 ppt (part per thousand) dengan pH 6-8,5. Nila dapat hidup pada perairan

dengan kandungan oksigen minim, kurang dari 3 ppm (part per million) (Kordi,

2010).

Hal yang paling berpengaruh dengan pertumbuhan ikan nila adalah

salinitas atau kadar garam. Jumlah 0-29% adalah kadar maksimal untuk ikan nila

agar tumbuh dengan baik. Meski ikan nila dapat hidup di kadar garam sampai 35%,

tetapi di lingkungan seperti itu ikan nila tidak dapat berkembang dengan baik

(Sutanto, 2012).

Ikan nila hanya dapat berkembang pada suhu air yang hangat dan tidak

dapat hidup pada air yang dingin. Ikan nila juga dikenal dengan sebutan ikan tropis

karena memang hanya ada di daerah tropis dengan suhu di antara 23-32 ºC. maka

tidak heran, ikan nila tidak sulit ditemukan di daerah-daerah seluruh Indonesia

(Sutanto, 2012).

Keasaman air yang cocok adalah 6 – 8,5, namun pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7 – 8. pH yang masih ditoleransi nila adalah 5-11. Suhu optimal untuk pertumbuhan nila antara 25 – 30 °C. Pada suhu 22 °C nila masih dapat memijah, begitu pula pada suhu 37 °C. pada suhu di bawah 14 °C atau lebih 38 °C

nila mulai tergannggu. Sedangkan suhu mematikan adalah 6 °C dan 42 °C (Kordi,

2010).

3. Makanan ikan nila

Ikan nila termasuk omnivora atau pemakan segala. Ikan ini dapat

berkembang biak dengan berbagai macam makanan, baik yang berasal dari hewani


(51)

ikan nila. Pada saat larva, setelah habis kuning telur, ikan nila suka dengan

phytoplankton. Setelah ukuran badannya menjadi sedikit lebih besar, benih ikan

nila sangat suka dengan zooplankton, seperti Rotifera sp, Impusoria sp, Daphnia

sp, Moina sp, dan Cladocera sp. Setelah dewasa, ikan nila sangat suka dengan

cacing, seperti cacing tanah, cacing darah, dan tubifex. Selain itu, bahan makanan

nabati berupa daun talas adalah makanan kesukaan ikan nila (Sutanto, 2012).

Untuk pemeliharaan nila diberi pakan buatan (pelet) yang mengandung

protein antara 20-25%. Menurut penelitian, nila yang diberi pelet yang mengandung

protein 25% tumbuh optimal. Namun nila peliharaan yang diberi makanan berupa

dedak halus, tepung bungkil kacang, ampas kelapa dan sebagainya, juga dapat

tumbuh dengan baik. Untuk memacu pertumbuhan ikan nila, pakan yang diberikan

harus mengandung protein 25-35% (Kordi, 2010).

4. Perkembangbiakan ikan nila

Ikan nila dikatakan dewasa jika sudah berumur 4-5 bulan. Pertumbuhan

maksimal ikan nila untuk melakukan perkembangbiakan adalah sekitar 1,5-2 tahun.

Ikan nila yang sudah berumur lebih dari 1 tahun beratnya mencapai 800 gram. Ikan

nila dapat mengeluarkan 1200-1500 larva setiap kali memijah. Pemijahan dapat

berlangsung 6-7 kali dalam setahun (Sutanto, 2012).

Siklus hidup ikan nila dapat dibagi menjadi lima fase yaitu telur, larva,

benih, konsumsi, dan induk. Bentuk, ukuran tubuh, dan sifat ikan nila selalu

berubah dalam setiap fase. Semua fase dilewati dalam waktu yang berbeda-beda


(52)

5. Uptake pada ikan

Pada organisme akuatik seperti ikan, proses uptake dapat terjadi melalui

isang, dari makanan yang kemudian akan masuk ke dalam saluran pencernaan,

maupun dari permukaan tubuh organisme tersebut. Tetapi insang merupakan organ

uptake utama pada ikan. Rute uptake dapat berbeda pada tiap organisme, tergantung

senyawa, dan tergantung pada kondisi lingkungan (Walker, Hopkin, Sibly, and

Peakal, 2001).

Gambar 4. Struktur insang ikan (Evans, Piermarini, and Choe, 2005)

Insang merupakan respirasi organisme akuatik yang berfungsi

mengekstrak oksigen dari air, dan juga dapat mengambil senyawa yang larut dalam

air. Insang seringkali memiliki area permukaan total yang jauh lebih besar daripada

area permukaan tubuh yang lain. Pergerakan media respirasi melintasi permukaan

respirasi, proses yang disebut ventilasi, mempertahankan gradient tekanan parsial

O2 dan CO2 melintasi insang yang diperlukan untuk pertukaran gas. Untuk

mendorong ventilasi, sebagian besar hewan yang memiliki insan menggerakkan


(53)

menggunakan gerakan berenang atau gerakan yang terkoordinasi dari mulut dan

penutup insang untuk memventilasi insangnya. Arus air akan memasuki mulut,

melewati celah-celah di faring, mengalir melintasi insang, dan kemudian keluar dari

tubuh (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, et. al, 2010).

Susunan kapiler-kapiler di dalam insang memungkinkan pertukaran

melawan arus, pertukaran zat-zat atau panas di antara dua cairan yang mengalir

kearah yang berlawanan (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, et.

al, 2010).

D. Bioakumulasi

Bioakumulasi adalah adanya peningkatan konsentrasi senyawa uji pada

biota, misalnya ikan. Proses akumulasi dari senyawa pada berbagai organisme

melalui fase akuatik umumnya diklasifikasikan menjadi 2 tipe: bioconcentration

dan biomagnification. Bioconcentration adalah akumulasi dari senyawa yang

terlarut dalam air, ikan, dan organisme akuatik melalui insang dan permukaan tubuh

secara langsung. Bioconcentration factor (BCF) didefinisikan sebagai rasio

konsentrasi senyawa dalam organisme akuatik terhadap fase air dibawah kondisi

setimbang (steady-state). Pengukuran BCF dilakukan dengan konsentrasi rata-rata

dari senyawa dalam seluruh tubuh yang diserap melalui insang, kulit, dan saluran

pencernaan ikan. Kadang BCF diperkirakan terhadap kadar lemak ikan. (Krieger,

2010).

E. Analisis Kelumit (Trace Analysis)

Analisis kelumit (trace analysis) adalah istilah yang digunakan untuk


(54)

keadaan dimana jumlah analit sangat kecil. Analisis kelumit umumnya dilakukan

pada kisaran di bawah bagian per juta (part per million / ppm) misalnya 1 ppm =

1µg/g = 0,0001% atau 1 mg/L untuk cairan. Analis lain medefinisikan secara lebih

umum bahwa analisis kelumit adalah analisis dimana konsentrasi analit cukup kecil

yang menyebabkan kesulitan dalam memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Selain

disebabkan karena rendahnya konsentrasi analit dalam matriks, ada beberapa faktor

yang mungkin dapat mempengaruhi kesulitan yang dirasakan oleh analis pada

konsentrasi rendah, seperti kehilangan analit, kontaminasi, atau interferensi

(Prichard, MacKay, Points, 1996).

Tabel III. Klasifikasi teknik dan metode analisis berdasarkan konsentrasi analit dalam sampel menurut Namiesnik (2002)

Beberapa masalah yang sering terjadi dalam analisis kelumit adalah:

a. Konsentrasi analit yang akan ditentukan jauh lebih rendah dibandingkan


(55)

b. Adanya kontaminasi dari reagen, alat, atau lingkungan laboratorium yang dapat

menghasilkan false results

c. Hilangnya analit akibat adsorpsi, degradasi, atau selama proses analisis

d. Konstituen matriks dapat mengganggu sistem deteksi yang digunakan,

menyebabkan nilai palsu menjadi lebih tinggi, sehingga dibutuhkan pemurnian

yang lebih baik dan atau detektor yang lebih selektif.

e. Hasil yang diperoleh dengan teknik instrumen yang umum digunakan kurang

tepat dibandingkan dengan menggunakan prosedur klasik

f. Secara umum, sulit untuk memastikan keandalan metode karena material

referensi yang tersedia untuk berbagai aplikasi analisis kelumit cukup sedikit

(Prichard, MacKay, Points, 1996).

F. Ekstraksi

Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau

clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen

matriks yang mungkin mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di

samping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada

dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan

untuk deteksi atau kuantifikasinya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dalam bentuk paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan

pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi

cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat


(56)

Meskipun demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non

polar ke dalam air) juga mungkin terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah

molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang

bersifat non polar atau agak polar. Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan

senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air

(Gandjar dan Rohman, 2007).

Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang

menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan

terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak

campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan dirumuskan

sebagai berikut:

KD = [�]� �

[�]�

Keterangan:

KD = koefisien partisi

[S]org = konsentrasi analit dalam fase organik

[S]aq = konsentrasi analit dalam fase air

Dalam prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang

berbeda karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau

polimerasi karenanya ekspreksi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau

rasio partisi (D). Persamaannya adalah sebagai berikut:

D = � � �


(57)

Keterangan:

D = rasio partisi

(Cs)org = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik

(Cs)aq = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase air

Analit yang mempunyai rasio distribusi besar (104 atau lebih) akan mudah

terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang berarti

100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi (Gandjar dan Rohman,

2007).

Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah

dalam waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan

rasio distribusi yang kecil (< 1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan

pelarut baru pada larutan sampel secara terus menerus (Gandjar dan Rohman,

2007).

Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang

mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat menguap sehingga

memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan

mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi

sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi

pelarut yaitu: Terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada partikulat, analit

terserap oleh partikulat yang mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang

mempunyai berat molekul tinggi, dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama


(58)

Oleh karena itu, jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang

diperoleh kurang baik. Emulsi dapat dipecah dengan cara:

i. Penambahan garam ke dalam fase air

ii. Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan

iii. Penyaringan melalui glass-wool

iv. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring

v. Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda

vi. Sentrifugasi (Gandjar dan Rohman, 2007).

G. Kromatografi Gas 1. Pengertian

Kromatografi gas merupakan metode dinamis untuk pemisahan dan

deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran.

Kromatografi gas diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950 dan saat ini

merupakan alat utama yang digunakan oleh laboratorium untuk melakukan analisis.

Perkembangan teknologi yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer, dan

kolom telah menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta identifikasi

senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik analisis dengan resolusi yang

meningkat (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi gas merupakan teknik analisis yang telah digunakan dalam

bidang-bidang: industri, lingkungan, farmasi, kimia, klinik, forensik, makanan, dan

lain-lain (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi gas dapat diotomasisasi untuk analisis sampel-sampel padat,


(59)

sehingga dapat diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi gas, demikian juga

sampel gas dapat langsung diambil dengan syringe yang kedap terhadap gas

(Gandjar dan Rohman, 2007).

2. Prinsip Gas kromatografi

Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut

yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang

mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio

distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik

didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam.

Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa

dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase

diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu

menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada

kisaran 50 – 350 ºC) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Terdapat 2 jenis kromatografi gas:

a. Kromatografi gas-cair (KGC). Pada KGC, fase diam yang digunakan adalah

cairan yang dilarutkan pada suatu pendukung sehingga solut akan terlarut

dalam fase diam. Mekanisme sorpsi nya adalah partisi.

b. Kromatografi gas-padat (KGP). Pada KGP, digunakan fase diam padatan.

Mekanisme sorpsi nya adalah adsorpsi (Gandjar dan Rohman, 2007).


(60)

Diagram skematik peralatan kromatografi gas ditunjukkan oleh Gambar 5.

dengan komponen adalah kontrol dan penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel,

kolom yang diletakkan di dalam oven yang dikontrol secara termostatik, sistem

deteksi dan pencatat, serta komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah

data (Dean, 2003).

Gambar 5. Diagram skematik kromatografi gas (Dean, 2003)

a. Gas pembawa. Fase gerak dalam kromatografi gas disebut gas

pembawa dan harus murni dan inert secara kimia. Gas pembawa yang umumnya

digunakan adalah helium, nitrogen, argon, dan hidrogen (Skoog, West, Holler,

and Crouch, 2004).

Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan jenis

detektor yang digunakan. Untuk setiap pemisahan dengan kromatografi gas

terdapat kecepatan optimum gas pembawa yang tergantung pada diameter kolom.

Kolom kapiler menggunakan kecepatan alir gas yang rendah, yakni antara 0,2 – 2 mL/menit. Karena kecepatan alir gas pembawa pada kolom kapiler sangat rendah,


(61)

maka pada kebanyakan detektor ditambah gas tambahan yang ditambahkan ke

dalam efluen setelah keluar dari kolom tetapi belum mencapai detektor. Gas

tambahan umumnya sama dengan gas pembawa, meskipun kadangkala digunakan

helium. Gas pembawa bekerja paling efisien pada kecepatan alir tertentu. Gas

nitrogen akan efisien jika digunakan dengan kecepatan alir ± 10 mL/menit,

sementara helium akan efisien pada kecepatan alir 40 mL/menit (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Gambar 6. Gas yang digunakan dalam kromatografi gas (Grob, 2004)

b. Ruang suntik sampel. Ruang suntik atau inlet berfungsi untuk

menghantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan

dikromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang

biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang

suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan umumnya 10 – 15 ºC lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh sampel akan menguap


(62)

Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan sampai

0,01 µL, karenanya berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1 – 100 µL sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang

disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara untuk

mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah satu cara yang dilakukan

adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikan (split injection). Dengan

menggunakan pemecah suntikan ini, sampel yang banyaknya diketahui,

disuntikkan ke dalam aliran gas pembawa dan sebelum masuk ke kolom, gas

pembawa ini dibagi menjadi 2 aliran. Satu aliran masuk ke dalam kolom dan

satunya lagi akan dibuang. Aliran relatif dalam kedua aliran ini dikendalikan

dengan sejenis penghambat seperti katup jarum pada aliran yang dibuang. Laju alir

di dalam kedua aliran diukur dan ditentukan nisbah (rasio) pemecahannya. Jika 1

µL sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran yang mempunyai nisbah

pemecahan 1:100, maka sebanyak 0,01 µL sampel masuk ke dalam kolom dan

sisanya akan dibuang (Gandjar dan Rohman, 2007).


(63)

c. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan

karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan

komponen sentral pada kromatografi gas. Terdapat 2 jenis tipe kolom yang

digunakan dalam gas kromatografi, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler atau

sering disebut open tubular columns. Pada masa lalu, lebih banyak digunakan

kolom kemas untuk melakukan analisis menggunakan gas kromatografi. Untuk

aplikasi masa kini, kolom kemas digantikan dengan kolom kapiler karena lebih

efisien dan lebih cepat (Skoog, West, Holler, and Crouch, 2004).

Semakin sempit diameter kolom, maka efisiensi pemisahan kolom

semakin besar atau puncak kromatogram yang dihasilkan semakin tajam. Pada

umumnya, seorang analis akan memilih kolom dengan diameter 0,2 mm atau yang

lebih kecil ketika menganalisis sampel dengan konsentrasi sekelumit atau ketika

seorang analis akan memisahkan komponen yang sangat kompleks (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Kolom kapiler terbuat dari silica (SiO2) dan dilapisi dengan polymide

(plastik yang mampu menahan suhu 350 ºC). Pada bagian dalam terdapat rongga

yang menyerupai pipa, oleh karena itu kolom kapiler juga disebut Open Tubular

Columns. Fase diam melekat mengelilingi dinding dalam kolom. Terdapat 4 macam

jenis lapisan pada kolom kapiler ini, yaitu: WCOT (Wall Coated Open Tubular

Column), SCOT (Support Coated Open Tubular Column), PLOT (Porous Layer

Open Tubular Column), dan FSOT (Fused Silica Open Tubular Column). WCOT

(Wall Coated Open Tubular Column) memiliki 0,1 – 5 µm lapisan tipis fase diam cair yang terdapat pada dinding bagian dalam kolom. SCOT (Support Coated Open


(64)

Tubular Column) memiliki partikel solid yang dilapisi dengan fase diam cair yang

terdapat pada bagian dalam dinding. Pada PLOT (Porous Layer Open Tubular

Column) partikel padat sebagai fase diam aktif. Dengan besarnya luas area yang

dimiliki, SCOT dapat menampung sampel lebih besar daripada WCOT. Performa

SCOT berada diantara WCOT dan kolom kemas. Diameter dalam kolom kapiler

memiliki ukuran 0,10 – 0,53 mm dengan panjang 15 sampai 100 m, umumnya adalah 30 m (Harris, 2010).

Menurut Moffat, Osselton, and Widdop (2011) kolom kapiler

menghasilkan resolusi, sensitivitas, daya tahan yang lebih baik daripada kolom

kemas.

Gambar 8. Tipe kolom kapiler kromatografi gas (Harris, 2010)

Kolom kapiler sangat banyak dipakai atau lebih disukai oleh para

ilmuwan. Salah satu penyebabnya adalah kemampuan kolom kapiler memberikan

harga jumlah plat teori yang sangat besar (> 300.000 pelat). Fase diam yang dipakai


(65)

polar yang paling banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1;

SE-30; 5) dan fenil 5% - metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE-52;

CPSIL-8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50% - metilpolisiloksan 50% (HP-17;

DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diam yang polar adalah seperti polietilen

glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M). Jenis fase diam akan

menentukan urutan elusi komponen-komponen dalam campuran. Seorang analis

harus memilih fase diam yang mampu memisahkan komponen-komponen dalam

sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kolom kemas mengandung partikel padat berukuran halus yang dilapisi

dengan fase diam cair yang dapat menguap. Dibandingkan dengan kolom kapiler,

kolom kemas memiliki kapasistas sampel yang lebih besar tetapi menghasilkan

puncak lebih lebar, waktu retensi lebih lama, dan resolusi yang lebih buruk. Kolom

kemas umumya dibuat dari logam tahan karat atau gelas dengan diameter dalam 3

– 6 mm dan panjang 1 – 5 m (Harris, 2010). Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam ini. Semakin kecil diameter partikel

fase diam, maka efisiensinya akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya

berkisar antara 60 – 80 mesh (250 – 170 µm) (Gandjar dan Rohman, 2007).

d. Pemilihan temperatur kolom. Pemilihan temperatur pada

kromatografi gas tergantung pada beberapa faktor. Temperatur injeksi harus relatif

tinggi yang memberikan kecepetan penguapan yang paling tinggi sehingga

memberikan resolusi yang baik. Temperatur injeksi terlalu tinggi dapat

menyebabkan karet septum menjadi rusak dan menyebabkan tempat injeksi


(66)

resolusi. Pada temperatur kolom yang tinggi, komponen sampel lebih banyak

berada pada fase gas sehingga akan cepat terleusi tetapi resolusi nya menjadi buruk.

Pada temperatur rendah, komponen sampel akan memiliki lebih banyak waktu

untuk berada pada fase diam dan terelusi secara perlahan, resolusi menjadi

meningkat tetapi sensitivitas menurun karena puncak yang dihasilkan akan

melebar. Temperatur detektor harus cukup tinggi untuk mencegah kondensasi

sampel (Christian, 2004).

Kromatografi gas didasarkan pada 2 sifat senyawa yang dipisahkan yakni

kelarutan senyawa dalam cairan tertentu dan tekanan uapnya. Karena tekanan uap

berbanding langsung dengan suhu, maka temperatur merupakan faktor yang utama

pada kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pemisahan pada kromatografi gas dapat dilakukan pada suhu tetap yang

biasanya disebut dengan pemisahan isotermal dan dapat dilakukan dengan

menggunakan suhu yang berubah secara terkendali yang disebut dengan suhu

terprogram. Pemisahan isotermal paling baik digunakan pada analisis rutin atau jika

kita mengetahui sifat sampel yang akan dipisahkan dengan baik. Pemisahan dengan

temperatur terprogram mempunyai keuntungan yakni mampu meningkatkan

resolusi komponen-komponen dalam suatu campuran yang mempunyai titik didih

pada kisaran yang luas. Selain itu, juga mampu mempercepat waktu analisis karena

senyawa-senyawa dengan titik didih tinggi akan terelusi dengan cepat.

Pemrograman suhu dilakukan dengan menaikkan suhu dari suhu tertentu ke suhu

tertentu yang lain dengan laju yang diketahui dan terkendali dalam waktu tertentu


(1)

106


(2)

Lampiran 1. Perhitungan Sensitivitas Alat

Sensitifitas alat ditentukan dengan menghitung LOD dari: a. Kurva baku 1

Konsentrasi Baku Deltametrin (µg/mL) Rasio AUC Deltametrin/DCB

0,155 0,2329

0,206 0,3141

0,258 0,4046

y = 1,66723 x - 0,02681 r = 0,99967

Menggunakan program powerfit didapatkan: POLYNOMIAL is: F(x) = 1,66723 x - 0,02681

Coefficient Std Dev, Min, Limit Max, Limit a0 -2,68051E-002 9,00928E-003 -1,41275E-001 8,76651E-002 a1 1,66723E+000 4,27843E-002 1,12362E+000 2,21084E+000

Dihitung menggunakan rumus: LOD = 3,3 � �� = 3,3 x ,

,

= 0,017814 µg/mL b. Kurva baku 2

c. Konsentrasi Baku Deltametrin (µg/mL) Rasio AUC Deltametrin/DCB

0,155 0,9775

0,206 1,3185

0,258 1,6780

y = 6,80134 x - 0,07868 r = 0,99995

Menggunakan program powerfit didapatkan: POLYNOMIAL is: F(x) = 6,80134 x - 0,07868

Coefficient Std Dev, Min, Limit Max, Limit a0 -7,86762E-002 1,38084E-002 -2,54123E-001 9,67710E-002 a1 6,80134E+000 6,55750E-002 5,96816E+000 7,63452E+000

Dihitung menggunakan rumus: LOD = 3,3 � �� = 3,3 x ,

,


(3)

Lampiran 2. Kurva Adisi Deltametrin pada sampel ikan nila

Menggunakan powerfit maka diperoleh:

POLYNOMIAL is: F(x) = 0,02250 + 0,03796 x

Coefficient Std. Dev Min. Limit Max. Limit a0 2,25047E-002 1,50047E-002 -9,90658E-003 5,49159E-002 a1 3,79603E-002 4,11805E-004 3,70708E-002 3,88498E-002 Dihitung menggunakan rumus: LOQ = 3,3 x ��

= 3,3 x , ,


(4)

Lampiran 3. Uji Signifikansi Perbedaan Slope Kurva Baku dan Kurva Adisi

Baku Deltametrin Adisi Deltametrin

b 1,30359 1,30001

SDb 0,0073 0,0141

n 7 15

- Uji signifikansi standar deviasi dengan uji F F = �

� (S1

2 = standar deviasi slope baku; S

22 = standar deviasi slope adisi

F = ,

, = 0,2680

Perhitungan Degrees of freedom (df) = n1-1 dan n2-1

n1-1 = 7-1 = 6

n2-1 = 15-1 = 14

α F hitung F tabel Kesimpulan 0,05 0,2680 3,501 Tidak signifikan

Uji t untuk melihat signifikansi slope antara kurva baku dan kurva adisi

Dari hasil perhitungan uji F diatas dapat dilihat SD antara kurva baku dan kurva adisi tidak berbeda signifikan, maka standar deviasi untuk uji t dihitung dengan persamaan:

S2 = � − � + � − �

� +� −

Adisi y = 1.3x + 0.0225

R² = 0.9992 Baku y = 1.3036x + 0.0569

R = 0.9999

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 1 2 3 4 5 6

R as io A U C D el tam et ri n/ D C B Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku vs Kurva Adisi

Adisi Baku


(5)

S2 = − , + − , + −

S2 = , � − + , � − S2 = 1,55152 x 10-4

S = 0,0125

Perhitungan nilai t: t = | − |

� √ +

t = | , − , | , √7+ t = , � −

, � − t = 0,6257 perhitungan df: df = n1 + n2 -2

df = 7 + 15 -2 df = 20

α F hitung F tabel Kesimpulan 0,05 0,6257 2,09 Tidak signifikan


(6)

111

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “Pengembangan Metode Analisis Deltametrin dalam Matriks Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen Resiko Deltametrin Melalui Asupan Ikan

Nila” ini memiliki nama lengkap Oei Johanes Darma

Hendra Sandjaja. Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 19 Juli 1991 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Oei Bharata Putra Sandjaja dan Jeni. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu TK Pangudi Luhur Bernardus Semarang (1995 – 1997). Sekolah Dasar (SD) Pangudi Luhur Bernardus Semarang (1997 – 2000), Sekolah Dasar (SD) Santo Yoseph 1 Denpasar (2000 – 2003) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tegaljaya Denpasar (2003 – 2006), Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Denpasar (2006 – 2009) dan pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan antara lain Panitia Kampanye Informasi Obat (KIO) 2010 sebagai Perkap, Panitia Pharmacy Performance and Event Cup (PPnEC) 2010 sebagai Perkap, Panitia Donor Darah JMKI 2010 sebagai Perkap, Panitia Seminar Kanker Serviks dan Kanker Paru-paru sebagai Perkap, Panitia Malam Keakraban JMKI sebagai Perkap, Panitia Inisiasi Tiga Hari Temu Akrab Farmasi (TITRASI) 2011 sebagai Perkap, Panitia Paingan Festival 2011 sebagai Keamanan, Panitia Pharmacy Performance (PP) 2011 sebagai Perkap, Panitia Pharmacy Days 2012 sebagai tentor, Panitia Pharmacy Performance and Event Cup (PPnEC) 2012 sebagai Ketua Eksternal, serta menjadi asisten praktikum Mikrobiologi 2010, Farmakognosi Fitokimia I 2011, Mikrobiologi 2011, Analisis Farmasi 2012, Validasi Metode Analisis 2012, Kimia Analisis 2013, Pharmaceutical Analysis 2013, Anatanomi dan Fisiologi Manusia 2014, Mikrobiologi 2014, Analisis Farmasi 2014, Validasi Metode Analisis 2014.