EVALUASI SISTEM TUNJANGAN KINERJA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG.

(1)

LAPORAN'AKHIR'

EVALUASI'SISTEM'TUNJANGAN'KINERJA'

PROVINSI'KEPULAUAN'BANGKA'BELITUNG'

'

Oleh:''Tim'Peneliti'Administrasi'Publik''

FISIP'UNPAD''


(2)

Tim Peneliti

Ketua :

Sintaningrum

Anggota :

Heru Nurasa Enjat Munadjat

Beny Alexandri Ida Widianingsih

Ahmad Buchori Yogi Suprayogi Tomi Setiawan Herijanto Bekti


(3)

!

! !

LAPORAN AKHIR

EVALUASI SISTEM TUNJANGAN KINERJA

PROPINSI KEPUAUAN BANGKA BELITUNG

Disusun oleh: Tim Peneliti Administrasi Publik

FISIP UNPAD

Bandung, Oktober 2014

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran

2014


(4)

!

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat... 3

1.4. Metoda... 3

BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Kerangka Teori... 6

2.2. Evaluasi 2.2.1. Definisi Evaluasi... 7

2.2.2. Tujuan Evaluasi... 11

2.2.3. Evaluasi Kebijakan Publik... 12

2.2.3.1. Tujuan Evaluasi Kebijakan... 13

2.2.3.2. Metode Evaluasi Kebijakan... 16

2.2.3.3. Tipe Evaluasi Kebijakan... 18

2.2.3.4. Pengukuran dan Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik... 22

2.3. Pengertian Kinerja... 28

2.3.1. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja... 29

2.3.2. Penilaian Kinerja... 32

2.3.3. Indikator Kinerja... 34

2.3.4. Kinerja Pegawai... 38

2.3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai... 39

2.3.4.2. Penilaian Kinerja Pegawai... 39

BAB III DESKRIPSI DATA LAPANGAN 3.1. Deskripsi Data Lapangan... 42

51 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Isu-isu Yang Berkaitan Dengan TPP... 47

4.2. Analisa dan Pembahasan... 48

4.2.1. TPP dan Dampaknya Terhadap Kinerja... 49

4.2.2. Penetapan dan Pemberian TPP Berdasarkan Kinerja... 57

4.2.3. Analisa Besaran Tarif TPP Berdasarkan Klas Jabatan dan Perbandingandengan TPP Bebebrapa Provinsi... 68


(5)

!

4.2.4. TPP dan Punishment... 83

4.2.5. TPP dan Upaya Perusakan dan Memanipulasi

Fungsi Alat Absensi Elektronik... 83 4.2.6. TPP dan isu Politis... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan dan Saran... 92 5.2. Saran... 93

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

!

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Lima Tahap Siklus Kebijakan dan Hubungannya

dengan penerapan Pemecahan Masalah... 13

Tabel 2.2. Tipe Evaluasi Kebijakan... 20

Tabel 2.3. Indikator Evaluasi Kebijakan... 23

Tabel 2.4. Kriteria Evaluasi... 24

Tabel 3.1. Tarif TPP Pada Pergub Kep. Babel No. 22 Tahun 2014... 46

Tabel 4.1. Analisis Evaluasi Kebijakan TPP yang didasarkan kepada Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014... 51

Tabel 4.2. Tarif TPP yang Didasarkan Kepada Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014... 58

Tabel 4.3. Kelas dan Nilai Jabatan diLingkungan Instansi Pemerintah... 61

Tabel 4.4. Contoh Perhitungan Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Kepegawaian Negara... 65

Tabel 4.5. TKD Provinsi Gorontalo... 71

Tabel 4.6. Perkembangan Dasar Perhitungan TKD Provinsi Gorontalo... 72

Tabel 4.7. Perbandingan Tarif TPP Provinsi Kep. Bangka Belitung Terhadap TKD Provinsi Gorontalo... 74

Tabel 4.8. Skala Jabatan untuk Pemberian TKD... 79

Tabel 4.9. Jenis Jabatan dan Besarnya TKD di Provinsi DKI Jakarta... 80

Tabel 4.10 Pemberian TKD Berdasarkan Tuntutan Pekerjaan... 81


(7)

!


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam upaya mendukung terwujudnya tata pemerintahan yang baik, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya guna, hasil guna, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan tersebut akan dicapai antara lain melalui berbagai kegiatan, salah satu diantaranya adalah penataan sistem tunjangan kinerja pegawai.

Tunjangan kinerja berbeda dengan Renumerasi. Tunjangan kinerja merupakan fungsi keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi atas dasar kinerja yang telah dicapai oleh seseorang individu pegawai. Kinerja individu pegawai harus sejalan dengan kinerja instansi. Tunjangan kinerja individu pegawai dapat meningkat atau menurun sejalan dengan peningkatan atau penurunan kinerja yang diukur berdasarkan Indikator Kinerja Utama.

Tunjangan kinerja dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menggunakan prinsip-prinsip: pertama, efisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja pemerintah dan daerah. Kedua, Equal pay for equal work, yaitu pemberian besaran tunjangan kinerja sesuai dengan harga jabatan dan pencapaian kinerja. Tunjangan kinerja dipertimbangkan untuk diberikan setelah dilakukan penilaian terhadap dokumen usulan dan verifikasi lapangan oleh UPRBN, hasil penilaian dan verifikasi disampaikan kepada TRBN untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan KPRBN.


(9)

Penetapan pemberian tunjangan kinerja terutama didasarkan pada kesiapan pemerintah dan daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara berkesinambungan, dan dampak potensial strategis dari pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah dan daerah. Tambahan/pengurangan tunjangan kinerja (reward and punishment) dipertimbangkan untuk diberikan setelah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah dan daerah oleh Tim Independen.

Pada saat ini dapat ditemukan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan pedoman atau standar pelaksanaan Analisis Jabatan, Analisis Beban Kerja,serta Sistem Tunjangan Kinerja baik yang dikeluarkan dengan maksud untuk menjadi pedoman secara nasional maupun sebagai pedoman dalam lingkup yang terbatas pada kementerian atau lembaga internal. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), maka maka diperlukan suatu upaya evaluasi kebijakan yang saat ini telah dilakukan yang dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan Sistem Tunjangan Kinerja Daearah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung di masa yang akan datang dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan ketetapan-ketetapan dalam UU ASN tersebut.

Sebagai salah satu upaya untuk meninjau kembali Sistem Tunjangan Kinerja Daerah yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka Biro Organisasi Sekretariat Daerah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memandang perlu untuk melakukan kajian Evaluasi Sistem Tunjangan Kinerja Daerah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang didasarkan oleh kebijakan yang di tetapkan oleh Kementerian PAN dan RB, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).


(10)

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dari kajian ini adalah bagaimana pelaksanaan

eksisting Sistem Tunjangan Kinerja Daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

1.3. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Kegiatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sistem tunjangan kinerja daerah eksistng yang selama ini dilakukan di lingkungan Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

2. Manfaat Kegiatan

Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran sistem pemberian tunjangan eksisting yang sekaligus memberikan umpan balik bagi penyempurnaan sistem pemberian tunjangan.

1.4. Metode

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan tahapan pekerjaan meliputi : tahapan pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data serta pembahasan hasil penelitian untuk menjawab permasalahan. Penelitian ini didukung dua jenis data, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Kedua jenis data ini diperoleh dari studi pustaka dan diskusi dengan para informan kunci, juga melalui pengumpulan data lapangan yang melibatkan beberapa unit kerja yang menjadi sampel di lingkungan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Secara terinci tahapan penelitian dilakukan sebagai berikut: 1. Penyusunan Riset Disain dan Instrumen Penelitian


(11)

Pada tahap ini dilakukan penyusunan disain penelitian meliputi penentuan metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik penetapan informan kunci, teknik analisis data dan pedoman wawancara sebagai instrumen penelitian.

2. Pembahasan Riset Disain dan Instrumen Penelitian

Dilakukan pembahasan mengenai riset disain dan dan instrument penelitian yang telah disusun sebelumnya dengan pihak Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui :

• Studi pustaka, yaitu dengan melakukan penelahaan terhadap dokumen dan literature seperti Dokumen renstra 2012-2017, Peraturan Perundangan terkait, Lakip, Dokumen Analisa Jabatan seluruh Provinsi Kep. Bangka Belitung dan Dokumen Evaluasi Jabatan BKD dan Biro Organisasi.

• Studi lapangan, yang terdiri dari Observasi dan Wawancara terstruktur.

4. Pengolahan Data

Dalam tahap ini, dimaksudkan hasil pengolahan data dapat disajikan dalam bentuk pengelompokan atau kategorisasi, grafik, tabel, maupun bentuk-bentuk lainnya untuk keperluan analisa yang dapat memberikan arti dan digunaka untuk memecahkan masalah penelitian.

5. Penyusunan Draft Laporan

Pada tahap ini dilaksanakan Penyusunan draft laporan akhir penelitian yang dibuat dengan memenuhi unsur - unsur sebagai berikut :


(12)

a. Latar Belakang

b. Perumusan Masalah

c. Tujuan dan Manfaat Penelitian

d. Metoda

e. Kerangka Teori

f. Deskripsi Data Lapangan

g. Analisis dan Pembahasan

h. Kesimpulan

i. Saran/Rekomendasi 6. Seminar

7. Finalisasi Laporan: Penyempurnaan draft Laporan Akhir Penelitian.


(13)

BAB II KERANGKA TEORI

2.1. Kerangka Teori

Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan organisasi. Pencapaian tujuan organisasi menunjukkan hasil kerja/prestasi organsisasi dan menunjukkan kinerja organisasi . Hasil kerja organisasi diperoleh dari serangkaian aktivitas yang dijalankan. Aktivitas tersebut dapat berupa pengelolaan sumberdaya organisasi maupun proses pelaksanaan kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk menjamin agar aktivitas tersebut dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan upaya manajemen dalam pelaksanaan aktivitasnya.

Manajemen sebagai inti dari kegiatan administrasi memiliki fungsi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan dalam batas-batas kebijaksanaan umum yang sudah dirumuskan. Menurut George R Terry dalam bukunya Principles of Management, Manajemen merupakan suatu proses yang menggunakan metode ilmu dan seni untuk menerapkan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok manusia yang dilengkapi dengan sumber daya dan faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan lebih dahulu, secara efektif dan efisien".

Dalam manajemen terdapat jenis-jenis manajemen diantaranya manajemen sumber daya manusia. Dimana Manajemen sumber daya manusia merupakan suatu ilmu atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya atau tenaga kerja yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan organisasi . Baik di tingkatan organisasi ataupun individu, salah satu fungsi kunci dari manajemen adalah mengukur dan mengelola kinerja.


(14)

Dalam melaksanakan kegiatan manajemen, diperlukan kinerja yang sangat baik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dimana kinerja merupakan suatu hasil yang dicapai atau tindakan pencapaian dalam pelaksanaan sesuatu kegiatan atau pekerjaan.

2.2. Evaluasi

2.2.1. Definisi Evaluasi

Evaluasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai menentukan nilai (Suharso, 2005: 136). Dalam Kamus Besar Balai Pustaka evaluasi adalah “penilaian” (Tim Balai Pustaka, 1989:238). Istilah Evaluasi dalam Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Edisi Kedua) yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),

pemberian angka (rating) dan penilaian (assesment). Suatu evaluasi mempunyai karakteristik tertentu yang membedakan dari analisis, yaitu: fokus nilai, interdependensi fakta nilai, orientasi masa kini dan masa lampau, dualitas nilai.

1) Fokus Nilai. Evaluasi ditujukan kepada pemberian nilai dari sesuatu kebijakan, program maupun kegiatan. Evaluasi terutama ditujukan untuk menentukan manfaat atau kegunaan dari suatu kebijakan, program maupun kegiatan, bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai sesuatu hal. Ketepatan suatu tujuan maupun sasaran pada umumnya merupakan hal yang perlu dijawab. Oleh karena itu suatu evaluasi mencakup pula prosedur untuk mengevaluasi tujuan dan sasaran itu sendiri.

2) Interdepedensi Fakta – Nilai. Suatu hasil evaluasi tidak hanya tergantung kepada “fakta” semata namun juga terhadap “nilai”. Untuk memberi pernyataan bahwa suatu kebijakan, program atau kegiatan telah mencapai hasil yang maksimal atau minimal bagi seseorang, kelompok orang atau masyarakat; haruslah didukung


(15)

dengan bukti-bukti (fakta) bahwa hasil kebijakan, program dan kegiatan merupakan konsekuensi dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam mengatasi/memecahkan suatu masalah tertentu. Dalam hal ini kegiatan monitoring merupakan suatu persyaratan yang penting bagi evaluasi.

3) Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Evaluasi diarahkan pada hasil yang sekarang ada dan hasil yang diperoleh masa lalu. Evaluasi tidaklah berkaitan dengan hasil yang diperoleh di masa yang akan datang. Evaluasi bersifat retrospektif, dan berkaitan dengan tindakantindakan yang telah dilakukan (ex-post). Rekomendasi yang dihasilkan dari suatu evaluasi bersifat prospektif dan dibuat sebelum tindakan dilakukan (ex-ante).

4) Dualitas Nilai. Nilai yang ada dari suatu evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena evaluasi dipandang sebagai tujuan sekaligus cara. Evaluasi dipandang sebagai suatu rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai-nilai yang ada (misalnya kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ektrinsik (diperlukan karena kesehatan mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan yang lain). (LAN, 2004:237-238)

Evaluasi dapat dipilah-pilah menurut beberapa hal, seperti menurut jenis yang dievaluasi, menurut pelakunya (evaluator), menurut lingkupnya, menurut kadar kedalamannya, menurut masa atau periodenya. Dalam Modul Akuntabilitas Kinerja, dikemukakan bahwa evaluasi dapat dibagi ke dalam dua bagian besar, misalnya: evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.

Scriven dalam Purwanto dkk menyatakan bahwa evaluasi formatif digunakan untuk memperbaiki program selama program tersebut sedang


(16)

program tersebut telah berlangsung. Melalui evaluasi formatif ini dapat dideteksi adanya ketidakefisienan sehingga segera dilakukan revisi.

Selain itu evaluasi memberikan data yang relatif cepat (short term data). Hasil evaluasi formatif harus diberikan pada saat yang tepat agar efektif. Evaluasi sumatif bertujuan mengukur efektivitas keseluruhan program. Mengukur dan menilai hasil akhir dari akhir program ini bertujuan untuk membuat keputusan tentang kelangsungan program tersebut, yaitu diteruskan atau dihentikan (Purwanto dkk, 1999:21).

Menurut Sondang Siagian istilah evaluasi diartikan sebagai penilaian, yaitu: “Proses pengukuran dan pembandingan dari pada hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil-hasil-hasil yang seharusnya dicapai”. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa hakikat dari penilaian itu adalah:

a) Penilaian ditujukan kepada satu fase tertentu dalam satu proses setelah fase itu seluruhnya selesai dikerjakan. Berbeda dengan pengawasan yang ditujukan kepada fase yang masih dalam proses pelaksanaan. Secara sederhana dapat dikatakan dengan selesainya pekerjaan tidak dapat diawasi lagi karena pengawasan hanya berlaku bagi tugas yang sedang dilaksanakan.

b) Penilaian bersifat korektif terhadap fase yang telah selesai dikerjakan. Mungkin akan timbul pertanyaan: Jika sesuatu telah selesai dikerjakan, nilai korektif yang diperoleh untuk apa? “Korektifitas” yang menjadi sifat dari penilaian sangat berguna, bukan untuk fase yang telah selesai, tetapi untuk fase berikutnya. Artinya, melalui penilaian harus dikemukakan kelemahan-kelemahan sistem yang dipergunakan dalam fase yang baru saja selesai itu. Juga harus dikemukakan penyimpangan -penyimpangan dan/atau penyelewengan-penyelewengan itu terjadi. Jika ini telah dilakukan, maka akan diperoleh bahan yang sangat


(17)

berguna untuk dipergunakan pada fase yang berikutnya sehingga kesalahan-kesalahan yang dibuat pada fase yang baru diselesaikan tidak terulang, sehingga dengan demikian organisasi tumbuh dan berkembang dalam bentuk tingkat “performance” yang lebih tinggi dan efisien yang semakin besar, atau peling sedikit, inefisiensi yang semakin berkurang.

c) Penilaian bersifat “prescriptive”. Sesuatu yang bersifat “prescriptive”

adalah yang bersifat “mengobati”. Setelah melalui diketemukan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem pelaksanaan dalam fase yang lalu, setelah sumber-sumber yang menyebabkan mungkinnya penyimpangan dan/atau penyelewengan terjadi, melalui penilaian harus pula dapat diberikan “resep” untuk mengobati penyakit-penyakit proses itu penyakit yang sama tidak timbul kembali, dan sekaligus jika mungkin, dicegah pula timbulnya “penyakit” yang baru.

d) Penilaian ditujukan kepada fungsi-fungsi organik lainnya. Fungsi-fungsi administrasi dan manajemen itu tidak merupakan Fungsi- fungsi-fungsi yang “berdiri sendiri” dalam arti lepas dari fungsi-fungsi-fungsi-fungsi lainnya. Malahan sesungguhnya kelima fungsi organik administrasi dan manajemen itu merupakan satu rantai kegiatan dan masing-masing fungsi itu merupakan mata rantai yang terikat kepada semua mata rantai yang lain. (Siagian, 1970:143-144)

Wollman berpendapat mengenai evaluasi kebijakan adalah sebagai berikut: “Evaluation in the field of public policy may be defined, in very general terms, as an analytical tool and procedure meant to do two things. First, evaluation research, as an analytical tool, involves investigating a policy program to obtain all information pertinent to the assessment of its performance, both process and result; second, evaluation as a phase of the policy cycle more generally refers to the reporting of such information back to the policy-making process”. (Wollmann 2007:393)


(18)

Berdasarkan pendapat Wollman tersebut maka Peneliti berpendapat bahwa riset evaluasi (suatu kebijakan publik) adalah suatu alat analisis yang melibatkan pengamatan terhadap suatu program kebijakan untuk mendapatkan seluruh informasi yang berhubungan dengan penilaian terhadap kinerja suatu program kebijakan , baik proses maupun hasilnya. Disamping itu, evaluasi adalah merupakan satu tahap dari siklus kebijakan yang secara umum merujuk kepada pelaporan terhadap informasi sebagai umpan balik terhadap proses pembuatan kebijakan.

Pendapat Wolman tersebut akan dijadikan landasan utama oleh peneliti dalam meneliti Evaluasi Sistem Tunjangan Kinerja Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kemudian proses pengukuran dan pembandingan dari pada hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai peneliti akan menggunakan pendapat dari Sondang P. Siagian yang mengemukakan tentang hakikat penilaian yang telah dikemukakan sebelumnya.

2.2.2. Tujuan Evaluasi

Terdapat enam hal tujuan evaluasi yang disampaikan Sudjana (2006:48), yaitu untuk :

1. Memberikan masukan bagi perencanaan program;

2. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program;

3. Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi atau perbaikan program;

4. Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program;


(19)

5. Memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi, dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola dan pelaksana program.

Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar (2004:13) menyatakan bahwa terdapat dua macam tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Dalam hak tersebut keduanya menyarankan agar dapat melakukan tugasnya, maka seorang evaluator program dituntut untuk mampu mengenali komponen-komponen program.

William N. Dunn menyebutkan bahwa evaluasi bertujuan : (1) memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik, (2) memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target, (3) memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.(William N Dunn, 2003:609)

2.2.3. Evaluasi Kebijakan Publik

Menurut Brewer dalam Studying Public Policy, proses kebijakan terdiri atas 6 tahap: 1) permulaan /penanaman (invensi), 2) estimasi (perkiraan), 3) seleksi (pemilihan), 4) implementasi (penerapan), 5) evaluasi (penilaian), 6) terminasi (penyelesaian). Dalam pandangan Brewer, invensi atau permulaan mengacu pada tahap paling awal dalam rangkain tersebut ketika masalah akan dirumuskan. Dia menjelaskan bahwa tahap ini dapat digolongkan sebagai tahap perumusan masalah dan pencarian solusi. Tahap kedua adalah perkiraan yang menghitung dan memperkirakan tentang resiko, biaya, dan manfaat yang berhubungan dengan berbagai solusi yang akan


(20)

diterapkan pada tahap sebelumnya. Tahap ini akan melibatkan evaluasi teknis dan pilihan normatif. Tujuan tahap ini adalah untuk mempersempit pilihanpilihan yang masuk akal dengan tidak memasukkan pilihan-pilihan yang tidak memungkinkan dan menggunakan pilihan-pilihan yang mungkin saja dapat diterapkan. Tahap ketiga terdiri atas pengambilan satu atau kombinasi solusi yang diterapkan hingga akhir tahap ini. ketiga tahap selanjutnya adalah tahap yang memberikan pilihan-pilihan, mengevaluasi hasil dan seluruh proses dan pemberhentian kebijakan untuk mendapatkan kesimpulan yang dicapai dari evaluasi tersebut.

Menurut Ramesh dalam Studying Public Policy ada lima tahap siklus kebijakan, yaitu: (1) penyusunan agenda, (2) perumusan kebijakan, (3) pembuatan keputusan, (4) penerapan kebijakan, (5) evaluasi kebijakan.

Tabel 2.1

Lima tahap siklus kebijakan dan hubungannya dengan penerapan pemecahan masalah

Fase penerapan pemecahan

masalah Tahap-tahap siklus kebijakan

• pengenalan masalah • perumusan solusi • pilihan solusi • penerapan solusi

menjadi • pengaruh

pengawasan hasil

• Penyusunan agenda • perumusan kebijakan • pembuatan keputusan • penerapan kebijakan • evaluasi kebijakan

Sumber : (Ramesh, 1990:12)

2.2.3.1. Tujuan Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan. Pada umumnya evaluasi kebijakan dilakukan setelah kebijakan publik tersebut diimplementasikan. Ini tentunya dalam rangka menguji tingkat kegagalan dan keberhasilan, keefektifan dan


(21)

Abdulkahar Badjuri dan Teguh Yuwono (2002:132) menyatakan Evaluasi kebijakan setidak-tidaknya dimaksudkan untuk memenuhi tiga tujuan utama, yaitu : (1) untuk menguji apakah kebijakan yang diimplementasikan telah mencapai tujuannya?, (2) untuk menunjukkan akuntabilitas pelaksana publik terhadap kebijakan yang telah diimplementasikan; (3) untuk memberikan masukan pada kebijakan-kebijakan publik yang akan datang.

Sekalipun penerapan suatu kebijakan oleh pemerintah telah dirancang sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya, namun tidak selalu penerapan tersebut dapat mewujudkan semua tujuan yang hendak dicapai. Terganggunya implementasi yang menjadikan tidak tercapainya tujuan kebijakan mungkin pula disebabkan oleh pengaruh dari berbagai kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya.

Samodra dkk (1994:15) menyatakan bahwa kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Di dalam “cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan kinerja atau kinerja kebijakan diukur.

Menurut Sofian Efendi, tujuan dari evaluasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:

a. Bagaimana kinerja kebijakan publik?, Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu

b. Faktor-faktor apa saja yang menimbulkan variasi itu?, Jawabannya berkaitan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi


(22)

kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan.

c. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan “tugas” dari pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variabel – variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak dapat dan dimasukkan sebagai variabel evaluasi.

Evaluasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan (Darwin, 1994: 34). Evaluasi merupakan penilaian terhadap suatu persoalan yang umumnya menunjuk baik buruknya persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi dilakukan dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.(Hanafi & Guntur, 1984: 16). Evaluasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu:

1) Proses pembuatan kebijakan, 2) Proses implementasi kebijakan, 3) Konsekuensi kebijakan,

4) Efektivitas dampak kebijakan (Wibowo, 1994: 9).

Sementara itu Pall (1987: 52) membagi evaluasi kebijakan ke dalam empat kategori, yaitu: 1) Planning and need evaluations, 2)

Process evaluations, 3) Impact evaluations, 4) Efficiency evaluations. Menurut Ripley (Riyanto, 1997: 35), evaluasi kebijakan adalah evaluasi yang dirumuskan sebagai berikut :

1. Ditujukan untuk melakukan evaluasi terhadap proses

2. Dilaksanakan dengan menambah pada perspektif apa yang terjadi selain kepatuhan


(23)

2.2.3.2 Metode Evaluasi Kebijakan

Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan, secara rinci Casley dan Kumar dalam Samodra (1994:16-17) menunjukkan sebuah metode dengan enam langkah sebagai berikut :

1. Identifikasi masalah. Yaitu membatasi masalah yang akan dipecahkan atau dikelola dan memisahkan dari gejala yang mendukungnya, yaitu dengan merumuskan sebuah hipotesis. Menentukan faktor-faktor yang menjadikan adanya masalah, dengan mengumpulkan data kuantitatif maupun kualitatif yang memperkuat hipotesis.

2. Mengkaji hambatan dalam pembuatan keputusan dengan menganalisis situasi politik dan organisasi yang mempengaruhi pembuatan kebijakan. Berbagai variabel seperti komposisi staf, moral dan kemampuan staf, tekanan politik, kepekaan budaya, kemauan penduduk dan efektivitas manajemen.

3. Mengembangkan solusi-solusi alternatif.

4. Memperkirakan/mempertimbangkan solusi yang paling layak, dengan menentukan kriteria yang jelas dan aplikatif untuk menguji kelebihan dan kekurangan setiap solusi alternatif.

5. Memantau secara terus-menerus umpan balik dari tindakan yang telah dilakukan guna menentukan tindakan selanjutnya.

Menurut Dunn (2000:601) menyatakan bahwa evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Pada dasarnya nilai juga dapat dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Evaluasi kebijakan adalah proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil,


(24)

yaitu membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan (Sundarso, dkk.2006:22). Selanjutnya Ripley (Wibawa,1994:8-9) mengatakan bahwa kegiatan evaluasi kebijakan merupakan langkah awal untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya. Beberapa persoalan yang harus dijawab oleh suatu kegiatan evaluasi adalah :

1. Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses di dalam pembuatan kebijakan.

2. Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi prosedur.

3. Apakah program didesain secara logis.

4. Apakah sumber daya yang menjadi input program telah cukup memadai untuk mencapai tujuan.

5. Apakah standar implementasi yang baik menurut kebijakan tersebut.

6. Apakah program dilaksanakan sesuai standar efisien dan ekonomi. Apakah uang digunakan dengan jujur dan tepat.

7. Apakah kelompok sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang didesain dalam program.

8. Apakah program memberikan dampak kepada kelompok non-sasaran.

9. Apa dampaknya, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan, terhadap masyarakat.

10. Kapan tindakan program dilakukan dan dampaknya diterima oleh masyarakat.


(25)

11. Apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan.

2.2.3.3 Tipe Evaluasi Kebijakan

Menurut William N. Dunn, berdasar waktu pelaksanaannya, evaluasi kebijakan dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:

a. Evaluasi sebelum dilaksanakan (evaluasi summative), b. Evaluasi pada saat dilaksanakan (evaluasi proses), dan

c. Evaluasi setelah kebijakan {evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan atau evaluasi impak/pengaruh (outcome) kebijakan}.

Pada prinsipnya tipe evaluasi kebijakan sangat bervariasi tergantung dari tujuan dan level yang akan dicapai. Dari segi waktu, evaluasi dibagi menjadi dua yaitu evaluasi preventif kebijakan dan evaluasi sumatif kebijakan. Dalam penelitian ini evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi setelah kebijakan. Hal ini dikarenakan kebijakan peraturan Wali Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Sistem dan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik di Kota Semarang telah dilaksanakan pada bulan Juni 2008, sedangkan penelitiannya dilakukan pada bulan Mei 2009.

Menurut Finance (1994:4) ada empat dasar tipe evaluasi sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Keempat tipe ini adalah evaluasi kecocokan (appropriateness evaluation), evaluasi efektivitas (effectiveness evaluation), evaluasi efisiensi (efficiency evaluation) dan evaluasi meta (meta-evaluations).

Evaluasi kecocokan (appropriateness) menguji dan mengevaluasi tentang apakah kebijakan yang sedang berlangsung cocok untuk dipertahankan? juga, apakah kebijakan baru dibutuhkan untuk mengganti


(26)

siapakah semestinya yang menjalankan kebijakan publik tersebut pemerintah atau sektor swasta? Jawaban atas pertanyaan ini memungkinkan penentuan tingkat kecocokan implementasi kebijakan.

Evaluasi efektivitas menguji dan menilai apakah program kebijakan tersebut menghasilkan dampak hasil kebijakan yang diharapkan?, Apakah tujuan yang dicapai dapat terwujud?, Apakah dampak yang diharapkan sebanding dengan usaha yang telah dilakukan?, Tipe evaluasi ini memfokuskan diri pada mekanisme pengujian berdasar tujuan yang ingin dicapai yang biasanya secara tertulis tersedia dalam setiap kebijakan publik.

Evaluasi efisiensi, merupakan pengujian dan penilaian berdasarkan tolok ukur ekonomis yaitu apakah input yang digunakan telah digunakan dan hasilnya sebanding dengan output kebijakannya?, Apakah cukup efisien dalam penggunaan keuangan publik untuk mencapai dampak kebijakan?.

Meta evaluasi, menguji dan menilai terhadap proses evaluasi itu sendiri. Apakah evaluasi yang dilakukan lembaga berwenang sudah profesional?, apakah evaluasi tersebut sensitif terhadap kondisi sosial, kultural dan lingkungan?, apakah evaluasi tersebut menghasilkan laporan yang mempengaruhi pilihan-pilihan manajerial?.

Secara substansial, keempat tipe evaluasi ini, dapat disajikan dalam tabel berikut ini :


(27)

Tabel 2.2

Tipe Evaluasi Kebijakan

No Tipe Evaluasi Pengujian Dasar 1 Evaluasi Kecocokan a. Apakah kebijakan yang

sedang berlangsung cocok untuk dipertahankan ?. b. Apakah kebijakan baru

di-butuhkan untuk mengganti kebijakan ini ?.

c. Siapakah semestinya yang menjalankan kebijakan publik tersebut : pemerintah atau sektor swasta ?.

2 Evaluasi Efektivitas a. Apakah program kebijakan tersebut menghasilkan hasil dan dampak kebijakan yang diharapkan ?.

b. Apakah tujuan yang dicapai dapat terwujud ?.

c. Apakah dampak yang diharapkan sebanding dengan usaha yang telah dilakukan?.

3 Evaluasi Efisiensi a. Apakah input yang digunakan telah mendapat-kan hasil sebanding dengan output kebijakan-nya ?.

b. Apakah cukup efisien dalam Penggunaan ke-uangan publik untuk mencapai dampak kebijak-an tersebut ?.


(28)

4 Evaluasi Meta a. Apakah evaluasi yang dilakukan oleh lembaga

berwenang sudah

profesional ?.

b. Apakah Evaluasi tersebut sensitive terhadap kondisi sosial, kultural dan lingkungan ?.

c. Apakah evaluasitersebut mengh mempengaruhipilihan-pilihan manajerial ?

Sumber : Badjuri & Yuwono (2002:136-138)

Sedangkan menurut James Anderson (1969:151-152) membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe. Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, maka evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.Tipe kedua, merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu.

Tipe evaluasi ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut : apakah program dilaksanakan dengan semestinya?, berapa biayanya?, Siapa yang menerima manfaat (pembayaran atau pelayanan), dan berapa jumlahnya?, Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain?, Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedur-prosedur secara sah diikuti?. Tipe ketiga, tipe evaluasi kebijakan sistematis.

Tipe ini secara komparatif masih dianggap baru, tetapi akhir-akhir ini telah mendapat perhatian yang meningkat dari para peminat kebijakan publik. Evaluasi sistematis melihat secara obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.


(29)

ingin mengetahui program kebijakan tersebut menghasilkan hasil dan dampak kebijakan yang diharapkan, tujuan yang dicapai dapat terwujud, dan dampak yang diharapkan sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

2.2.3.4 Pengukuran dan Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik

Menurut Bridgman & Davis (2000:130) Pengukuran evaluasi kebijakan publik secara umum mengacu pada empat indikator pokok yaitu : (1) indikator input, (2) indikator process, (3) indikator

outputs dan (4) indikator outcomes. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1. Indikator input (masukan) memfokuskan pada penilaian apakah sumber daya pendukung dan bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan. Indikator ini dapat meliputi sumber daya manusia, uang atau infrastruktur pendukung lainnya.

2. Indikator proscess (proses) memfokuskan pada penilaian bagaimana sebuah kebijakan ditransformasikan dalam bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat. Indikator ini meliputi aspek efektivitas dan efisiensi dari metode atau cara yang dipakai untuk melaksanakan kebijakan publik tertentu.

3. Indikator outputs (hasil) memfokuskan penilaian pada hasil atau produk yang dapat dihasilkan dari sistem atau proses kebijakan publik. Indikator hasil ini misalnya berapa orang yang berhasil mengikuti program tertentu.

4. Indikator outcomes (dampak) memfokuskan diri pada pertanyaan dampak yang diterima oleh masyarakat luas atau pihak yang terkena kebijakan.


(30)

Menurut Crossfield & Byrner (1994:4) evaluasi kebijakan publik merupakan penilaian kinerja dari sebuah program atau kebijakan dengan pertanyaan dasar: (1) apakah input yang digunakan telah memaksimalkan outputnya?, (2) apakah dampak yang diinginkan telah tercapai sebagaimana tujuan tertulisnya?, (3) apakah kebijakan tersebut selaras dengan prioritas pemerintah dan kebutuhan rakyatnya?. Untuk memudahkan tentang pengukuran evaluasi kebijakan Badjuri & Yuwono (2002:140-141) menyajikan tabel indikator evaluasi kebijakan sebagai berikut :

Tabel 2.3

Indikator Evaluasi Kebijakan No Indikator Fokus Penilaian

1 Input a. apakah sumber daya pendukung dan bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan ? b. berapakah SDM (sumber daya), uang

atau infrastruktur pendukung lain yang diperlukan?

2 Process a. bagaimanakah sebuah kebijakan ditransformasikan dalam bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat ?

b. bagaimanakah efektivitas dan efisiensi dari metode / cara yang dipakai untuk melaksanakan kebijakan publik tersebut ?

3 Outputs a. apakah hasil atau produk yang dihasilkan sebuah kebijakan publik ? b. berapa orang yang berhasil mengikuti


(31)

4 Outcomes a. apakah dampak yang diterima oleh masyarakat luas atau pihak yang terkena kebijakan ?

b. berapa banyak dampak positif yang dihasilkan ?

c. adakah dampak negatifnya ? seberapa seriuskah ?

Sumber : Badjuri & Yuwono (2002:140-141)

Kriteria evaluasi oleh William Dunn dalam Pengantar Analisis Kebijakan Publik disajikan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 2.4 Kriteria Evaluasi TIPE

KRITERIA

PERTANYAAN

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai? Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk

mencapai hasil yang diinginkan? Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang

diinginkan memecahkan masalah?

Perataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan

kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yangdiinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

William N Dunn (1999:610)

Selanjutnya, Howlett dan Ramesh (1995:170) menyatakan bahwa secara umum evaluasi kebijakan dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu :

“At general level, policy evaluations can be classified in three broad categories administrative evaluation, judicial evaluation, dan political evaluation which differ in the way they are conducted, the actor they involve, and their effects.”


(32)

Evaluasi administratif memerlukan kumpulan informasi yang tepat untuk penyampaian program dan himpunannya dengan cara dibakukan dengan mengadakan perbandingan biaya dan hasil dari waktu ke waktu dan melewati sektor kebijakan. Evaluasi yudisial menyangkut persoalan hukum, dimana berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan program pemerintah dilaksanakan, yang biasanya dilaksanakan oleh pengadilan. Sedangkan evaluasi politik berusaha untuk mengatas namakan suatu kebijakan yang berhasil atau gagal yang diikuti oleh permintaan untuk dilanjutkan atau perubahan.

Selain berusaha memberikan penjelasan tentang berbagai fenomena kebijakan, evaluasi kebijakan dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah selaku pembuat kebjakan tentang tindakan apa yang perlu diambil terhadap kebijakan yang dievaluasi.

Evaluator kebijakan harus mengetahui secara jelas aspek-aspek apa yang perlu dikajinya. Disamping itu harus mengetahui sumber-sumber informasi yang perlu dikejarnya untuk memperoleh data yang valid. Selain mengetahui teknik analisis yang tepat untuk melakukan evaluasi.

Sejumlah metode dapat digunakan untuk membantu dalam mengevaluasi kebijakan, namun hampir semua teknik yang ada dapat juga digunakan dalam hubungannya dengan metode-metode evaluasi lainnya. Berbagai macam teknik dapat digunakan dengan lebih dari satu metode analisis kebijakan, ini menunjukkan sifat saling ketergantungan dari perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi di dalam analisis kebijakan.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas, maka dapat diartikan bahwa evaluasi kebijakan merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut


(33)

digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.

Berbagai macam keputusan dapat diambil atas dasar evaluasi yang dilakukan beberapa diantaranya yaitu (1) meneruskan dan mengakhiri program, (2) memperbaiki praktek dan prosedur administrasi, (3) menambah atau mengurangi strategi dan teknik implementasi, (4) melembagakan program ke tempat lain, (5) mengalokasikan sumber daya ke program lain dan (6) menerima dan menolak pendekatan/teori yang dipakai (Wibawa,op.cit:12). Dari kelima keputusan yang diambil atas dasar evaluasi dilihat dari jenis kebijakan yang dievaluasi.

Dalam melakukan evaluasi kebijakan publik setidak-tidaknya mengandung tiga komponen dasar, yakni tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci maka dari itu birokrat harus menterjemahkan sebagai program aksi.

Penetapan suatu kebijakan dalam pelaksanaan program bermaksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu evaluasi harus dapat menjelaskan seberapa jauh kebijakan dan implementasinya telah dapat mendekati tujuan. Dengan adanya evaluasi diharapkan akan ditemukan beberapa hal yang membuat tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan.

Berdasarkan paparan konseptual alat analisis evaluasi kebijakan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan alat analisis evaluasi kebijakan yang dikemukakan Ripley (Wibawa,op.cit:8-9). Ripley mengemukakan bahwa kegiatan evaluasi kebijakan merupakan langkah awal untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya. Beberapa persoalan yang harus


(34)

dijawab oleh kegiatan Evaluasi Sistem Tunjangan Kinerja Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah :

1. Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses di dalam pembuatan kebijakan?.

2. Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi prosedur?.

3. Apakah program didesain secara logis?.

4. Apakah sumber daya yang menjadi input program telah cukup memadai untuk mencapai tujuan?.

5. Apakah standar implementasi yang baik menurut kebijakan tersebut?.

6. Apakah program dilaksanakan sesuai standar efisien dan ekonomi. Apakah uang digunakan dengan jujur dan tepat?.

7. Apakah kelompok sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang didesain dalam program?.

8. Apakah program memberikan dampak kepada kelompok non-sasaran?.

9. Apa dampaknya, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan, terhadap masyarakat?.

10. Kapan tindakan program dilakukan dan dampaknya diterima oleh masyarakat?.

11. Apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan?.

Sebelas pokok pikiran Ripley tersebut akan menjadi landasan peneliti dalam proses analisis Sistem Tunjangan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.


(35)

2.3. Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan suatu istilah yang menjadi fokus perhatian dan tujuan dari Tunjangan Kinerja Daerah. Tunjangan Kinerja Daerah merupakan suatu upaya untuk meningkatakan kinerja pegawai negeri sipil di suatu daerah tertentu. Tunjangan Kinerja Daerah diharapkan dapat menjadi sarana yang dapat meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil ditempat Tunjangan Kinerja Daerah tersebut diberlakukan.

Kinerja memiliki kesamaan makna dengan kata performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi”. (Keban, 2004 : 191). Secara etimologis, kinerja merupakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata dasar “kerja” yang menerjemahkan kata dari bahasa asing prestasi , bisa pula berarti hasil kerja. Dengan demikian pengertian kinerja dalam organisasi merupakan suatu jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Indra Bastian menyatakan bahwa kinerja adalah:

“Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan misi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi”.!!

(Bastian, 2001 : 329)

Bernardin dan Russel seperti yang dikutip oleh Yeremias T. Keban mengartikan kinerja sebagai :

The record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”. Dalam definisi ini , aspek yang ditekankan oleh kedua pengarang tersebut adalah catatan tentang outcome atau hasil akhir yang diperoleh setelah suatu pekerj aan atau aktivitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian kinerja hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh seorang pegawai selama periode tertentu dan tidak termasuk karakteristik pribadi pegawai yang dinilai .

(Keban, 2004 : 192)


(36)

“Kinerja sebagai performance, yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika” .

(Prawirosentono,1999 : 2)

Definisi kinerja organisasi yang dikemukakan oleh Bastian dalam Hessel Nogi S. Tangki lisan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut. (Tangkilisan, 2005 : 175)

Dapat ditarik suatu kesimpulan dari beberapa definisi yang telah dikemukakan sebelumnya adalah bahwa kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.

2.3.1. Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja adalah suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi serta dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Yeremias T. Keban menyatakan bahwa untuk melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, maka perlu melihat beberapa faktor penting sebagai berikut:

a) “Kejelasan tuntutan hukum atau peraturan perundangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat. Dalam kenyataan-nya, orang menilai secara subyektif dan penuh dengan bias tetapi


(37)

tidak ada suatu aturan hukum yang mengatur atau mengendaikan perbuatan tersebut.

b) Manajemen sumber daya manusia yang berlaku memiliki fungsi dan proses yang sangat menentukan efektivitas penilaian kinerja. Aturan main menyangkut siapa yang harus menilai, kapan menilai, kriteria apa yang digunakan dalam sistem penilaian kinerja sebenarnya diatur dalam manajemen sumber daya manusia tersebut. Dengan demikian manajemen sumber daya manusia juga merupakan kunci utama keberhasilan sistem penilaian kinerja. c) Kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen suatu

organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Apabila paradigma yang dianut masih berorientasi pada manajemen klasik, maka penilaian selalu bias kepada pengukuran tabiat atau karakter pihak yang dinilai, sehingga prestasi yang seharusnya menjadi fokus utama kurang diperhatikan.

d) Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja. Bila mereka selalu memberikan komitmen yang tinggi terhadap efektivitas penilaian kinerja, maka para penilai yang ada dibawah otoritasnya akan selalu berusaha melakukakan penilaian secara tepat dan benar.”

(Keban, 2004 : 203)

Soesilo dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan, menyatakan bahwa kinerja suatu organisasi dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor berikut :

a) Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas organisasi ;

b) Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi organisasi;

c) Sumber daya manusia, yang berhubungan dengan kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya secara optimal;

d) Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan database untuk digunakan dalam mempertinggi kinerja organisasi .

e) Sarana dan prasarana yang dimiliki , yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan organisasi pada setiap aktivitas organisasi .

(Tangkilisan, 2005 : 180)

Yuwono dkk. Dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan mengemukakan bahwa:

"Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kinerja suatu organisasi meliputi upaya manajemen dalam menerjemahkan dan


(38)

menyelaraskan tujuan organisasi, budaya organisasi, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan kepemimpinan yang efektif".

(Tangkilisan, 2005 : 180)

Banyak faktor yang ternyata mempengaruhi kinerja organisasi. Baik itu organisasi publik maupun swasta. Ruky dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan secara detail mengidentifikasikan faktor-faktor yang ber-pengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi yakni:

a) Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang digunakan untuk menghasilkan produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi, semakin berkualitas teknologi yang digunakan, maka akan semakin tinggi kinerja organisasi tersebut;

b) Kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi ;

c) Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan ruangan, dan kebersihan;

d) Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam organisasi yang bersangkutan;

e) Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan standard dan tujuan organisasi;

f) Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi, imbalan, promosi, dan lain-lainnya.

(Tangkilisan, 2005 : 180)

Atmosoeprapto dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan me-ngemukakan bahwa kinerja organisasi dipengaruhi baik oleh faktor internal dan faktor eksternal. Lebih lanjut kedua faktor tersebut diuraikan sebagai berikut:

a) Faktor eksternal, yang terdiri dari :

1) Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan Negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal. 2) Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang

berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainya sebagai suatu system ekonomi yang lebih besar.

3) Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di masyarakat, yang mempengaruhi pandangan mereka


(39)

terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.

b) Faktor internal, yang terdiri dari :

1) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi.

2) Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada.

3) Sumber Daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi sebagai penggerak jalannya organisasi secara keseluruhan.

4) Budaya Organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.

(Tangkilisan, 2005 : 181)

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja dalam suatu organisasi. Secara garis besar, faktor yang sangat dominan mempengaruhi kinerja organisasi adalah faktor internal (faktor yang datang dari dalam organisasi) dan faktor eksternal (faktor yang datang dari luar organisasi).

Setiap organisasi akan mempunyai tingkat kinerja yang berbeda-beda. Karena pada hakekatnya setiap organisasi memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga permasalahan yang dihadapi juga cenderung berbeda tergantung pada faktor internal dan eksternal organisasi tersebut.

2.3.2. Penilaian Kinerja

Larry D. Stout dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan mengemukakan bahwa :

"Pengukuran atau penilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses".


(40)

Pernyataan berbeda dikemukakan oleh Bastian dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan yang menyatakan bahwa :

"pengukuran dan pemanfaatan penilaian kinerja akan mendorong pencapaian tujuan organisasi dan akan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus. Secara rinci, Bastian mengemukakan peranan penilaian pengukuran kinerja organisasi sebagai berikut :

a) Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi,

b) Memastikan tercapaianya skema prestasi yang disepakati , c) Memonitor dan mengeval uasi kinerja dengan perbandingan

antara skema kerja dan pelaksanaanya,

d) Memberikan penghargaan maupun hukuman yang objektif atas prestasi pelaksanaan yang telah diukur, sesuai dengan sistem pengukuran yang telah disepakati,

e) Menjadikanya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi ,

f) Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi,

g) Membantu proses kegiatan organisasi ,

h) Memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan secara objektif,

i) Menunjukan peningkatan yang perlu dilakukan, j) Mengungkapkan permasalahan yang terjadi”. (Tangkilisan, 2005 : 173)

Begitu pentingnya penilaian kinerja bagi keberlangsungan organisasi dalam mencapai tujuan, maka perlu tersedianya indikator-indikator pengukuran kinerja yang dipakai secara tepat dalam organisasi tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut Agus Dwiyanto menyatakan bahwa :

“Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup dilakukan denganmenggunakan indikator yang melekat pada birokrasi itu, seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi juga harus dilihat dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas”. (Dwiyanto, 2006 : 49)

Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa dan stakeholder menjadi sangat penting. Hal tersebut dikarenakan birokrasi publik juga muncul


(41)

karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sekedar memiliki stakeholder yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering berbenturan satu sama lainnya. Hal tersebut menyebabkan birokrasi publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Sehingga mengakibatkan ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholder

juga berbeda-beda.

2.3.3. Indikator Kinerja

McDonald dan Lawton dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih mengemukakan indikator kinerja adalah: output oriented measures throughput, efficiency, effectiveness. Selanjutnya indikator tersebut dijelaskan sebagai berikut :

a) Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antaramasukan dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

b) Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organsiasi.

(Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005 : 174)

Salim dan Woodward dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih mengemukakan bahwa indikator kinerja antara lain adalah: economy, efficiency, effectiveness, equity. Lebih lanjut, indikator tersebut diuraikan sebagai berikut:

a) Economy atau ekonomis adalah penggunaan sumber daya sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

b) Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

c) Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.

d) Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.


(42)

(Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005:174)

Lenvinne dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih mengemukakan bahwa indikator kinerja terdiri dari : responsiveness, responsibility, accountability.Indikator tersebut diuraikan sebagai berikut:

a) Responsiveness atau responsivitas ini mengukur daya tanggap provider terhadap harapan, keinginan, aspirasi serta tuntutan customers.

b) Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik dilakukan dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

c) Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat dan dimiliki oleh stake holders, seperti nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

(Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005 : 175)

Kumorotomo dalam Agus Dwiyanto mengemukakan bahwa untuk menilai kinerja organisasi dapat digunakan beberapa kriteria sebagai pedoman penilaian kinerja organisasi pelayanan publik, Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :

a) Efisiensi

Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta Pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secara objektif, kriteria seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan criteria efisiensi yang sangat relevan.

b) Efektivitas

Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan.

c) Keadilan

Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat


(43)

kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilaidalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang menyangkut pemerataan pembangunan, layanan pada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.

d) Daya Tanggap

Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan olehperusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruahan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini.

(Dwiyanto, 2006 : 52)

Agus Dwiyanto dalam bukunya Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia menyatakan bahwa pengukuran kinerja yang baik dapat diukur dengan cara sebagai berikut :

a) Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office

(GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

b) Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik.

c) Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi


(44)

indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

d) Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

e) Akuntabilitas

Akuntabilitas Publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep dasar akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yangberkembang dalam masyarakat.

(Dwiyanto, 2006 : 50)

Dari berbagai macam indikator pengukuran kinerja yang dikemuka-kan oleh para pakar di atas, peneliti memilih untuk menggunadikemuka-kan indikator pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto. Peneliti me-milih menggunakan teori tentang pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto tersebut karena dipandang dapat digunakan sebagai


(45)

acuan awal dalam membangun analisis peneliti dalam mengevaluasi sistem tunjangan kinerja daerah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

2.3.4. Kinerja Pegawai

Anwar (2004:67) menjelaskan bahwa istilah kinerja berasal dari kata “job performance" atau "actual performance" yang berarti prestasi kerja atau prestasi yang dicapai seseorang dalam bekerja. Pendapat tersebut lebih menitikberatkan pada aspek individual atau personal, di mana kinerja yang dimaksud adalah kinerja pegawai atau karyawan yang diukur melalui prestasi yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan pekerjaanya.

Payaman (2005:2) mengartikan kinerja sebagai pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Selain itu kinerja pegawai adalah merupakan tingkat pencapaian hasil kerja pegawai dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.

Pendapat diatas seiring dengan pernyataan Indra (2000:329) yang mengartikan kinerja pegawai, Menurut Sukanto (2002:235) menjelaskan bahwa kinerja adalah terjemahan dari kata “Performance " yang berarti kemauan dan kemampuan melakukan sesuatu pekerjaan.

Hal senada juga dikemukakan Siswanto (2002:231) bahwa kinerja adalah kemampuan dalam melaksanakan tugasnya yang didasarkan kecakapan, usaha dan kesempatan. Andreas (2005:15) mengartikan kinerja pegawai adalah hasil tingkah laku pegawai dalam melaksanakan suatu kegiatan atau pekerjaan. Pendapat ini menunjukkan bahwa kinerja pegawai berhubungan dengan sikap dan tingkah laku pegawai dalam bekerja.

Mangkunegara (2005:9) mengemukakan definisi kinerja atau prestasi kerja merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance


(46)

dicapai seseorang) atau perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya per jam). Kinerja karyawan atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang tercapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

2.3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai

Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi maju tidaknya suatu perusahaan terutama sekali pada kinerja pegawai. Dibawah ini akan dipaparkan beberapa defenisi dan pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Beberapa definisi dan pendapat para ahli tentang faktor kinerja yaitu:

Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2001: 82) mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu:

a. Kemampuan mereka b. Motivasi

c. Dukungan yang diterima

d. Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan e. Hubungan mereka dengan organisasi.

2.3.4.2. Penilaian Kinerja Pegawai.

Secara konsep, Unjuk kerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan perannya dalam organisasi. Unjuk kerja pegawai tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian berbagai kegiatan harus dilakukan organisasi untuk meningkatkan unjuk kerja tersebut. Salah satu diantaranya adalah melalui penilaian unjuk kerja tersebut.

Arti pentingnya penilaian unjuk kerja secara lebih rinci dikemukakan sebagai berikut:


(47)

a. Perbaikan unjuk kerja memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengambil tindakan-tindakan perbaikan untuk meningkatkan kinerja melalui feedback yang diberikan oleh organisasi.

b. Penyesuaian gaji dapat dipakai sebagai informasi untuk mengkompetensi pegawai secara layak sehingga dapat memotivasi mereka.

c. Keputusan untuk penempatan, yaitu dapat dilakukannya penempatan pegawai sesuai dengan keahliannya.

d. Pelatihan dan pengembangan, yaitu melalui penilaian akan diketahui kelemahan-kelemahan dari pegawai sehingga dapat dilakukan program pelatihan dan pengembangan yang lebih efektif.

e. Perencanaan karier, yaitu organisasi dapat memberikan bantuan perencanaan karier bagi pegawai dan menyelaraskannya dengan kepentingan organisasi.

f. Mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam proses penempatan, yaitu unjuk kerja yang tidak baik menunjukkan adanya kelemahan dalam penempatan sehingga dapat melakukan perbaikan.

g. Dapat mengidentifikasi adanya kekurangan dalam desain pekerjaan, yaitu kekurangan kinerja akan menunjukkan adanya kekurangan dalam perancangan jabatan.

h. Meningkatkan adanya perlakuan kesempatan yang sama pada pegawai, yaitu dengan dolakukan penilaian yang obyektif berarti meningkatkan perlakuan yang adil bagi pegawai.

i. Dapat membantu pegawai mengatasi masalah yang bersifat ekternal,yaitu dengan penilaian unjuk kerja atasan akan


(48)

mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya unjuk kerja yang jelek, sehingga atasan dapat membantu menyelesaikannya.


(49)

BAB III

DESKRIPSI DATA LAPANGAN

3.1. DESKRIPSI DATA LAPANGAN

Berdasarkan observasi awal peneliti ke Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, peneliti mendapatkan data-data dari seluruh instansi mengenai Sistem Tunjangan Kinerja Daerah yang telah diimplementasikan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Adapun format Sistem Tunjangan Kinerja Daerah yang saat ini sedang digunakan adalah mengacu kepada Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Di Lingkungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun Anggaran 2014 (Selanjutnya disebut Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014).

Sistem Tunjangan Kinerja yang didasarkan kepada Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014 adalah sebagai berikut :

1. Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) berdasarkan

beban kerja.

Adapun kriteria pemberian tambahan penghasilan pegawai berdasarkan beban kerja. Yakni:

a. TPP diberikan secara lumpsum setiap bulan kepada pegawai yang namanya tercantum dalam Daftar Gaji bulan berkenaan dan melaksanakan tugas secara nyata di Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkup Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan ketentuan perhitungan didasarkan pada tarif TPP sebagaimana

tercantum dalam Lampiran 1 Pergub Kep. Babel No 22 Tahun

2014.

b. Besarnya TPP untuk suatu masa kinerja dihitung berdasarkan pada kondisi kinerja seorang pegawai dalam


(50)

memenuhi kewajiban terhadap tingkat kehadiran dan jam kerja serta pelaksanaan disiplin pegawai guna pelaksanaan t u g a s

p o k o k d a n f u n g s i d a r i j a b a t a n n y a , b a i k

struktural/fungsional maupun staf atau peran nyata

melaksanakan tugas kedinasan lainnya dalam masa kinerja.

c. TPP tidak dapat diberikan kepada :

• Pegawai yang berstatus Masa Persiapan Pensiun (MPP) atau;

• Pegawai yang tidak hadir kerja tanpa izin / keterangan

selama 5 (lima) hari berturut-turut atau apabila diakumulasikan melebihi 10 (sepuluh) hari kerja dalam 1 (satu) bulan atau;

• Pegawai yang tidak hadir kerja karena ditahan oleh

pihak berwajib dikarenakan melakukan tidak pidana atau pelanggaran atau;

• Menjalani cuti melebihi 12 (dua belas) hari kerja dalam bulan

berjalan atau;

• Sedang menjalani tugas belajar atau ;

• Hukuman disiplin tingkat berat.

2. Potongan Tambahan Penghasilan Pegawai.

Potongan Tambahan Penghasilan Pegawai berdasarkan Beban Kerja akan dikenakan apabila pegawai tersebut:

a. Tidak melaksanakan apel pagi dan atau apel sore dan atau

senam kesegaran jasmani pada hari Jum'at tanpa ada pemberitahuan baik lisan maupun tulisan kepada atasan, diadakan pemotongan 2,5 % perhari yang didasarkan pada daftar kehadiran apel.


(51)

b. Meninggalkan tugas pada saat jam kerja tanpa izin atasan,

diadakan pemotongan 2,5 % perhari yang didasarkan pada surat teguran/peringatan dari atasan.

c. Tidak masuk kerja tanpa surat izin / keterangan, kurang dari

5 (lima) hari secara berturut-turut atau apabila

diakumulasikan kurang dari 6 (enam) hari kerja, dipotong

sebesar 10 % perhari yang didasarkan pada Daftar

Kehadiran Kerja.

d. Tidak hadir kerja dikarenakan sakit berdasarkan Surat

Keterangan Dokter sudah melebihi 3 (tiga) hari kerja dalam 1 (satu) bulan dikenakan pemotongan sebesar 2 % perhari ;

e. Mendapat hukuman disiplin yang didasarkan pada surat

keputusan penjatuhan hukuman disiplin dengan ketentuan :

1 . Hukuman disiplin tingkat ringan dikenakan pemotongan

sebesar 25 % perbulan yang berlaku selama 1 (satu) bulan.

2 . Hukuman disiplin tingkat sedang dikenakan

pemotongan sebesar 50 % perbulan berlaku selama 1 (satu) bulan.

3. Penganggaran.

TPP dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun Anggaran 2014.

4. Tata Cara Permintaan Pembayaran TPP.

Tata cara permintaan pembayaran TPP adalah sebagai berikut:

(1) Permintaan pembayaran uang TPP diajukan pada bulan berikutnya, kecuali untuk bulan Desember dapat diajukan pada bulan berkenaan.

(2) Tata cara permintaan pemhayaran uang TPP ditetapkan sebagai berikut :


(52)

a. Pejabat penanggung jawab mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) melalui Bendahara Pengeluaran dari masing-masing SKPD sesuai dengan prosedur yang berlaku dengan melampirkan :

1. Daftar perhitungan uang TPP yang telah disahkan oleh Pejabat Penanggung Jawab.

2. Daftar rekapitulasi kehadiran kerja. 3. Daftar rekapitulasi kehadiran apel.

4. Surat pernyataan tanggung jawab mutlak.

b. Daftar perhitungan uang TPP untuk Pejabat Eselon II di lingkungan Sekretariat Daerah disahkan oleh Sekretaris Daerah, sedangkan daftar perhitungan uang TPP untuk Badan, Dinas, Biro, Sekretariat (DPRD/KPU/KORPRI) dan Kantor disahkan oleh Kepala Badan/Dinas/Biro, Sekretaris (DPRD/KPU/KORPRI) dan Kepala Kantor terkait.

c. Bentuk daftar perhitungan uang TPP adalah sebagaimana contoh pada Lampiran II Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung ini.

d. Bentuk Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak adalah sebagaimana contoh pada Lampiran HI Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung ini


(53)

5. Tarif TPP berdasarkan Beban Kerja.

Tarif TPP berdasarkan Beban Kerja yang ditetapkan berdasarkan Pergub Kep Babel No. 22 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1.

Tarif TPP pada Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014

No. JABATAN STRUKTURAL/

FUNGSIONAL/GOLONGAN RUANG

BESAR TARIF PERBULAN

1. ESELON I Rp. 20.000.000,-

ASISTEN SEKERTARIS DAERAH/ ESELON II Rp. 10.000.000,- 2. ESELON II a Rp. 5.175.000,- 3. ESELON II b /

FUNGSIONAL IV/d - IV/e (D4/S1/S2/S3)

Rp. 4.398.750,-

4. ESELON III /

FUNGSIONAL IV/a - IV/c (D4/S1/S2/S3)

Rp. 3.622.500,-

5. ESELON IV /

FUNGSIONAL III/b - III/d (D4/S1/S2/S3)

Rp. 3.151.000,-

6. STAF GOLONGAN IV Rp. 2.213.750,- 7. STAF GOLONGAN III Rp. 1.627.500,- 8. STAF GOLONGAN II Rp. 1.200.000,- 9. STAF GOLONGAN I Rp, 1.070.000,-

CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

1. GOLONGAN III Rp. 1.302.000,-

2. GOLONGAN II Rp. 960.000,-


(1)

92

! BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan paparan yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, maka peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan observasi dan interview yang kami lakukan,para responden menyatakan bahwa TPP yang saat ini diberlakukan belum dirasakan dampaknya terhadap peningkatan kinerja PNS. Akan tetapi walaupun dirasakan belum memberikan dampak peningkatan kinerja, TPP dirasakan telah memberikan peningkatan kesejahteraan bagi PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

2. Besaran tarif TPP yang ditetapkan pada Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014 ini disusun hanya berdasarkan asumsi-asumsi pangkat dan jabatan saja. Belum dilaksanakan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Perka BKN No. 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri Sipil.Oleh sebab itu peneliti berkesimpulan bahwa TPP ini baru sebatas kepada sifat kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan pegawai, serta belum menjadikan kinerja sebagai

landasan pemikiran utamanya dalam rangka mendorong

peningkatan kinerja PNS di lingkungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini tercermin dari aturan-aturan yang di tetapkan dalam Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014 yang terfokus kepada hukuman terhadap tingkat kehadiran PNS di lingkungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, serta belum menjadikan aspek-aspek kinerja sebagai indikator pengukurannya.

3. Kami tidak mendapatkan naskah akademik maupun dokumen lain yang bersifat ilmiah yang menjadi dasar, pedoman serta metode


(2)

dan ilmiah. Berdasarkan keterangan para responden diakui bahwa besaran tarif TPP yang ditetapkan pada Pergub Kep. Babel No 22 Tahun 2014 ini masih didasarkan kepada asumsi-asumsi dan perkiraan-perkiraan saja.

5.2. Saran

Berdasarkan paparan yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, maka peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam penetapan kebijakan tunjangan kinerja Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sebaiknya disertakan pula Naskah Akademik yang dijadikan landasan bagi penetapan kebijakan tersebut. Naskah Akdemik juga akan sangat berguna untuk membantu menjelaskan kepada para pemangku kepentingan landasan-landasan fikiran yang digunakan dalam membangun kebijakan tersebut secara logis, rasional dan ilmiah.

2. Perusakan dan memanipulasi fungsi alat absensi elektronik peneliti simpulkan sebagi suatu tindakan yang melawan hukum serta memiliki unsur suatu tindakan pidana. Sehingga pelakunya dapat dikenai sanksi hukum pidana. Untuk mengantisipasi dan melindungi alat absensi elektronik agar tetap berfungsi dan terlindungi dari oknum-oknum yang bermaksud merusak bentuk dan fungsi alat absensi elektronik tersebut, maka peneliti menyarankan agar difungsikannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah (PPNSD) untuk melindungi, menyidik dan menegakkan hukum dan peraturan daerah, terutama berkaitan dengan


(3)

upaya-!

! !

!

1

1

1

!!!

!

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin, 2001, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Anonim (2005). The Governance and Decentralisation Survey. Jogjakarta: Centre of Population and Policy Studies, Gadjah Mada University

Armstrong, Michael (1994). Performance Management. London: Kogan Page

Badjuri, Abdulkahar & Yuwono, Teguh, 2002, Kebijakan Publik Konsep & Strategi, Undip Press, Semarang.

Bastian, Indra, 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada.

Bungin, Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Sosial: Format -format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University Press, Surabaya. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media

Group.

Bridgman, J. & Davis G, 2000, Australian Policy Handbook, Allen & Unwin, NSW

Danim, Sudarwan, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif: Ancangan Metodologi, Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora, Pustaka Setia, Bandung.

Dharma, Surya (2005). Manajemen Kinerja: Falsafah, Teori dan Penerapannya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Drucker, P.F. 1989. The New Realities: In Goverment and Politics/In ecoomics and Business/In Society and World View. New York: Harper & Row Publisher.

Dunn, W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:Gadjah Mada Univercity Press, Jogjakarta.

Dunn, W. 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gajah Mada University Press, Jogjakarta.

Dwiyanto, Agus. 2006. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dye, R. Thomas, 1978, Understanding Public Policy, Prentice – Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.


(4)

Ekowati, Mas Roro Lilik, 2005, Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program, Edisi Revisi, PT Rosdakarya, Bandung.

Gibson, J.L. Ivanccvich dan JH. Donnely. 1990. Organisasi dan Manajemen, perilaku struktur, proses. Editor Agus Darma. Jakarta: Erlangga.

Handayaningrat, Soewarno. 1996. Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen.

Husein Kosasih, Drs. H., 2004, Teknik Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Departemen Agama, Modul Diklat AKIP/LAKIP, Jakarta: Bafan Litbang dan Diklat Keagamaan Pusdiklat Administrasi, Departemen Agama RI. Indonesia,

Kumorotomo, W. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kumorotomo, W. 2011. Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) dan Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai: Kasus di Provinsi Gorontalo dan Provinsi DKI Jakarta. Yogyakarta

LANRI, 2004, Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Edisi Kedua, Jakarta: LAN.

Islamy, Irfan M, 2001, Prinsip -prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik, Edisi Kedua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

McKenzie, Richard B. & David R. Lee (1998). Managing Through Incentives. New York: Oxford University Press

Milkovich, George T. & Jerry M. Newman (1999). Compensation. Boston: Irwin McGraw-Hill

Muhammad, Fadel (2007). Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja Pemerintah Daerah. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press

Moleong. L. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung.


(5)

!

! !

!

3

3

3

!!!

! Nasution, S, 2002, Metode Research: Penelitian Ilmiah, Bumi Aksara,

Jakarta Nazir, Mochammad, 1985, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Purwanto, Drs, M.Pd., Atwi Suparman, Prof. Dr. M.Sc., 1999, Evaluasi Program Diklat, Jakarta: Setia LAN, Press.

Prawirosentono, S. 1999. Manajemen Sumber Daya Manausia, Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta: BPFE.

Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rummler, Geary A. & Alan P. Brache (1995). Improving Performance: How to Manage the White Space on the Organization Chart. San Francisco: JosseyBass Publishers

Siagian, Sondang P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Singarimbun, M. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Slameto, Drs., 2001, Evaluasi Pendidikan, Cetakan ketiga, Jakarta: PT Bhumi Aksara.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi Dilengkapi dengan metode R&D. Jakarta: Cv Alfabeta

Suharsimi, Arikunto, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.

Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, 2004, Evaluasi

Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Bagi Praktisi

Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta.

Suharsimi Arikunto, 2005, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi, Cetakan Kelima, Jakarta:Bumi Aksara.

Suharso, Drs. Dan Ana Retnoningsih Dra, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama, Semarang: Widya Karya.

Tan, M.G. 1990. Pelapisan Sosial: Siapa yang Mendapat Apa, Kapan, Bagaimana. dalam Pardede, S. (ed) 70 tahun Dr. I.B Simatupang; Saya Orang yang Berhutang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo. Terry, George R. 1986. Asas-asas Manajemen Alih Bahasa; Winardi.

Bandung: Penerbit Alumni.


(6)

Yeremias T. Keban, 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik (Konsep Teori dan Isu). Yogyakarta : Gava Media.

Wibawa, Samodra, dkk, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

PERATURAN - PERATURAN:

Peraturan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Tambahan Pengahasilan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun Anggaran 2014.

Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penghitungan Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nommor 39 Tahun 2013 Tentang Penetapan Kelas Jabatan di Lingkungan Instansi Pemerintah.