Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman periode Oktober-Desember 2006.

(1)

INTISARI

Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi baik kalau masing-masing profesi kesehatan memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan standar profesi, kode etika, sumpah profesi masing-masing, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada masyarakat, telah disusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/ SK/IX/2004.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman yang bersedia mengisi kuisioner sebagai instrumen dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menyatakan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman. Maka perlu peran pemerintah melalui Dinas Kesehatan, ISFI, dan perguruan tinggi farmasi dalam membina, membimbing, dan menyiapkan Apoteker untuk lebih meningkatkan pelayanan kefarmasian di apotek.

Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, KepMenKes RI Nomor 1027/ MenKes/SK/IX/2004, Apotek


(2)

ABSTRACT

The quality of health service will be good if every health profession gives service to the patient based on profession standard, ethic code, profession oath, according to the law and legal regulation. To guarantee the quality of pharmaceutical care which is given to society, it has been arranged The Pharmaceutical Care Standard at dispensary based on KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/ SK/IX/2004.

The aim of this research is to know the description of The Pharmaceutical Care Standard at Dispensary based on KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 in Sleman regency. This research includes the kind of non experimental research with descriptive research plan. The respondence is pharmacist at the dispensaries in Sleman regency, which are ready to fill questionnaires as the instrument in this research. The data analysis is done with using descriptive statistics.

The result of research states that The Pharmaceutical Care Standard at Dispensary based on KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 has not been done all yet by pharmacists at the dispensaries in Sleman regency. Therefore, it needs the role of government through Public Health Service, ISFI, and the faculty of pharmacy in guiding, giving direction and preparing pharmacists to increase more their pharmaceutical care at dispensary.

Key words: The Pharmaceutical Care Standard, KepMenKes RI Nomor. 1027/MenKes/SK/IX/2004, Dispensary


(3)

PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004

DI KABUPATEN SLEMAN PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2006

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Adhy Kurniawan Soedarsono NIM : 038114036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004

DI KABUPATEN SLEMAN PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2006

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Adhy Kurniawan Soedarsono NIM : 038114036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(5)

(6)

(7)

Life is hard, so we must STRONG to STRUGGLE and WIN!!!

(Ps Jonatan Setiawan)

Kaulah kuatku kebanggaanku, gunung batu dan keselamatanku

Kuat tanganMu perlindunganku Kaulah Allah sumber kemenanganku

(Franky Sihombing)

Tidak ada keberhasilan yang abadi tanpa kesungguhan

(Anthony Robbins)

Dengan segala kerendahan hati dan penuh ucapan syukur,

ku persembahkan hasil karyaku ini

kepada :

Yesus Kristus Tuhan

Ayahanda dan Ibunda tercinta,

Ibu Theresia Kurniawati dan Benny Kurniawan,

serta Almamaterku.


(8)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman Periode Oktober-Desember 2006”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Banyak bantuan dan dukungan yang penulis terima selama penyusunan skripsi ini, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt., selaku pembimbing I yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt., selaku pembimbing II yang juga telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(9)

4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt., selaku pemberi ide awal pada penelitian ini dan juga sebagai dosen penguji. Terima kasih untuk masukan, saran, dan kritik yang telah diberikan.

5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji dan pembimbing akademik. Terima kasih untuk masukan, saran, dan kritik yang telah diberikan.

6. Pemerintah Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

7. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, yang telah memberikan Data Apotek Kabupaten Sleman tahun 2005.

8. Para Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

9. Kedua orang tua serta adikku, Benny Kurniawan. Terima kasih atas doa, dukungan, dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

10. Ibu Theresia Kurniawati, yang telah memberikan motivasi pada penulis untuk selalu pantang menyerah dalam menghadapi kehidupan.

11. Teman-teman seperjuangan : Monica, Bambang, Bangun, dan Totok atas kerjasama, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

12. Keluarga Besar Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta angkatan 2003 kelas A, khususnya Eriet, Yohana, Raya, Yeyen, Jevi, Sulis, Angger, Ratih, Ningrum, Nanda, Andika, dan Watik Terima kasih untuk kebersamaan dan bantuannya selama kuliah dan praktikum.


(10)

13. Komsel “Healing” pimpinan Bapak Robby Kumoro Sugiarto, terima kasih untuk doa, sharing, dan dukungan yang telah diberikan.

14. Teman-teman sharing dan berbagi: Agung, Dwi, Alex, Yudi, Yanuar, Budiaji, Andryan; Pradu, Stasia, dan Yuli. Terima kasih untuk doa, sharing, dan dukungan yang telah diberikan.

15. Teman-teman Wisma Manunggal: Kris, Riko, Olzen, Hendrik, Bram, Doddy, Happy, Erick, Felix, Yoki, Agung, Ali, Ray, Dewi, Ratna, Yola, Ica, Pipin, Nonie, Lina, dan Rani. Terima kasih untuk persahabatan, dukungan, dan kebersamaannya.

16. Teman-teman Kos Mulia, terutama Hartono, Wllliam, Winarto, dan Widi. 17. Keluarga Eks Kolese Loyola 2003 dan sahabat-sahabatku: Henry, Samuel,

Aldo, Adji, Yonathan, Faizal, Ellen, Angga, Maria, Helmy, Orlin, Hanny, dan Lisa. Terima kasih untuk persahabatan, doa, dan dukungannya.

18. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dan telah memberikan bantuan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin penulis lakukan dalam penyusunan skripsi ini. Maka dengan rendah hati, penulis mengharapkan masukan, saran, dan kritik yang membangun.

Yogyakarta, 10 Oktober 2007

Penulis


(11)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 10 Oktober 2007 Penulis,

Adhy Kurniawan Soedarsono


(12)

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……… iv

PRAKATA……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... viii

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR TABEL………. xiii

DAFTAR GAMBAR……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN………. xviii

INTISARI……….. xix

ABSTRACT……….. xx

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang………. 1

1. Rumusan masalah……….. 3

2. Keaslian penelitian………. 3

3. Manfaat penelitian……….. 4

B. Tujuan Penelitian………. 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Apotek……….. 6

B. Apoteker……… 7


(13)

C. Pharmaceutical Care………. 11

D. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004………. 12

E. Sumpah apoteker……….. 16

F. Kode Etik Apoteker………. 17

G. Etika Bisnis……….. 17

H. Keterangan Empiris………. 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… 21

B. Definisi Operasional Penelitian……… 21

C. Instrumen Penilitian……….. 22

D. Populasi dan Sampel………. 22

1. Populasi……….. 22

2. Sampel……… 23

E. Tata Cara Penelitian………...……….. 25

1. Pembuatan kuesioner………. 25

2. Pengujian kuesioner………..………. 26

3. Penyebaran kuesioner……… 27

4. Pengumpulan kuesioner………. 27

5. Wawancara……… 28

F. Tata Cara Analisis Data……… 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi responden………... 30


(14)

1. Usia responden………. 30

2. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang………. 30

3. Posisi responden di apotek………. 31

4. Adanya pekerjaan lain yang dimiliki responden sebagai apoteker… ` 32 5. Lama kerja responden dalam sehari……… 33

B. Pengelolaan Sumber Daya……….. 34

1. Sumber daya manusia……… 34

2. Sarana dan prasarana………. 36

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya….. 42

4. Administrasi……….. 49

C. Pelayanan………. 56

1. Skrining resep……… 56

2. Penyiapan obat……….. 61

3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi……….. 68

D. Evaluasi Mutu Pelayanan………. 71

1. Tingkat kepuasan konsumen……….. 71

2. Dimensi waktu………... 72

3. Prosedur tetap……… 73

E. Rangkuman Pembahasan……….. 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 78

B. Saran……… 78


(15)

DAFTAR PUSTAKA... 80

LAMPIRAN……… 83

BIOGRAFI PENULIS……… 104


(16)

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel I Populasi Apotek di Kabupaten Sleman Tahun 2005… 23 Tabel II Apotek Sampel di Kabupaten Sleman….………. 25 Tabel III Pengambilan Keputusan di Apotek yang selalu

Berdasarkan Persetujuan APA……….. 34 Tabel IV Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek ……..……. 36

Tabel V Pemisahan Produk Kefarmasian dari Produk Lainnya.. 37 Tabel VI Adanya Ruang Tunggu bagi Pasien……….. 38 Tabel VII Ketersediaan brosur / informasi kesehatan di apotek... 38 Tabel VIII Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi. 39 Tabel IX Adanya Ruang Racikan di Apotek ………. 41 Tabel X Ketersediaaan Keranjang Sampah untuk Staf dan

Pasien……… 41

Tabel XI Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek………. 43 Tabel XII Sumber Perolehan Obat di Apotek……… 45 Tabel XIII Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke

Wadah Lain………... 46 Tabel XIV Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru ………. 47 Tabel XV Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan

Khusus……….. 48


(17)

Tabel XVI Semua Obat yang Dibeli selalu Disertai Faktur Pembelian……….. 50 Tabel XVII Apotek yang Selalu Memasukkan Semua Obat Yang

Dipesan / Dibeli Ke Dalam Buku Penerimaan………. 50 Tabel XVIII Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur/Nota

Penjualan……….. 51 Tabel XIX Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam

Buku Penjualan………. 51 Tabel XX Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran

Narkotika dan Psikotropika……….. 52 Tabel XXI Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara

Berurutan………... 53 Tabel XXII Apotek yang Selalu Melakukan Skrining Resep

berdasarkan Persyaratan Administratif………. 57 Tabel XXIII Skrining Resep berdasarkan Kesesuaian Farmasetik… 58 Tabel XXIV Skrining Resep berdasarkan Pertimbangan Klinis…… 59 Tabel XXV Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan

Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep…….. 60 Tabel XXVI Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang

Etiket oleh Pasien………. 62 Tabel XXVII Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Obat dan

Etiket terhadap Resep Sebelum Obat Diserahkan pada

Pasien……… 62


(18)

Tabel XXVIII Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung Dalam Penyerahan Obat ke Pasien………... 63 Tabel XXIX Informasi Obat yang Diberikan Apoteker……… 64 Tabel XXX Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling

Setiap Hari di Apotek……… 65 Tabel XXXI Apoteker yang Memberikan Konseling Secara

Berkelanjutan……… 66 Tabel XXXII Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi

Informasi Kesehatan …... 68 Tabel XXXIII Apotek yang Pernah Melakukan Survei………... 72 Tabel XXXIV Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan………….. 73 Tabel XXXV Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap 73


(19)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Diagram Usia Responden……… 30

Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden di Apotek yang Sekarang………... 31

Gambar 3. Diagram Posisi Responden di Apotek………... 31

Gambar 4. Diagram Adanya Pekerjaan Lain dari Responden…………. 32

Gambar 5. Diagram Lama Kerja Responden di Apotek dalam Sehari 33

Gambar 6. Pengambilan Keputusan di Apotek yang selalu Berdasarkan Persetujuan APA……… 35

Gambar 7. Adanya Ruangan Tertutup untuk Konseling... 40

Gambar 8. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek……….. 42

Gambar 9. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya………. 48

Gambar 10. Apotek yang Selalu Melaksanakan Medication Record……… 54

Gambar 11. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi ……….. 56

Gambar 12. Pelaksanaan Skrining Resep……….…. 61

Gambar 13. Pelaksanaan Penyiapan Obat………. 67

Gambar 14. Adanya Tindak Lanjut Terapi dari Apoteker……….… 69

Gambar 15. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi… 71

Gambar 16. Bentuk Survei……….. 72

Gambar 17. Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan………. 74


(20)

Gambar 18. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek-apotek Kabupaten Sleman……….……… 77


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian………. 83

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian……….. 84

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian……….. 90

Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker………. 91

Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia……….. 93

Lampiran 6. Jalur Distribusi Obat………... 96

Lampiran 7. Tabulasi Data……….………… 97


(22)

INTISARI

Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi baik kalau masing-masing profesi kesehatan memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan standar profesi, kode etika, sumpah profesi masing-masing, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada masyarakat, telah disusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/ SK/IX/2004.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman yang bersedia mengisi kuisioner sebagai instrumen dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menyatakan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman. Maka perlu peran pemerintah melalui Dinas Kesehatan, ISFI, dan perguruan tinggi farmasi dalam membina, membimbing, dan menyiapkan Apoteker untuk lebih meningkatkan pelayanan kefarmasian di apotek.

Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, KepMenKes RI Nomor 1027/ MenKes/SK/IX/2004, Apotek


(23)

ABSTRACT

The quality of health service will be good if every health profession gives service to the patient based on profession standard, ethic code, profession oath, according to the law and legal regulation. To guarantee the quality of pharmaceutical care which is given to society, it has been arranged The Pharmaceutical Care Standard at dispensary based on KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/ SK/IX/2004.

The aim of this research is to know the description of The Pharmaceutical Care Standard at Dispensary based on KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 in Sleman regency. This research includes the kind of non experimental research with descriptive research plan. The respondence is pharmacist at the dispensaries in Sleman regency, which are ready to fill questionnaires as the instrument in this research. The data analysis is done with using descriptive statistics.

The result of research states that The Pharmaceutical Care Standard at Dispensary based on KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 has not been done all yet by pharmacists at the dispensaries in Sleman regency. Therefore, it needs the role of government through Public Health Service, ISFI, and the faculty of pharmacy in guiding, giving direction and preparing pharmacists to increase more their pharmaceutical care at dispensary.

Key words: The Pharmaceutical Care Standard, KepMenKes RI Nomor. 1027/MenKes/SK/IX/2004, Dispensary


(24)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apoteker sebagai tenaga kesehatan pada umumnya dan tenaga kefarmasian pada khususnya telah diakui secara universal sebagai pekerjaan yang tergolong profesi. Apoteker mempunyai kewenangan di bidang kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberikan otoritas dalam berbagai aspek kefarmasian yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya. Mengingat kewenangan keprofesian yang dimilikinya, Apoteker harus menjalankan tugasnya berdasarkan prosedur-prosedur kefarmasian (Anonim, 2003a).

Pada saat ini, pelayanan kefarmasian telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu pada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi telah bergeser orientasinya menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Anonim, 2004).

Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi baik kalau masing-masing profesi kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien didasarkan pada standar


(25)

profesi, sumpah, dan kode etik masing-masing profesi kesehatan (Anonim, 2003a). Dalam rangka meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan kefarmasian yang berasaskan Pharmaceutical Care, perlu ditetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian dengan Keputusan Menteri (Anonim, 2004).

Sebagai upaya agar para Apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, telah ditetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004. Standar Pelayanan Kefarmasian ini meliputi pengelolaan sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan sebagai pedoman praktek Apoteker dalam menjalankan profesinya di apotek.

Menurut PerMenKes Nomor 184 tahun 1995 Pasal 17, Apoteker selama menjalankan tugas profesinya wajib menaati semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 8 juga menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya, dalam hal ini terkait dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004.

Terapi dengan obat merupakan proses kolaboratif antara pasien, dokter, apoteker, dan penyelenggara pelayanan kesehatan (Anonim, 2003a). Akan tetapi, sampai sekarang masyarakat masih belum begitu mengenal profesi Apoteker dan belum merasakan peran yang maksimal dari profesi tersebut. Mereka berpendapat bahwa Apoteker adalah sosok yang masih susah ditemui di apotek. Mereka juga


(26)

3

merasa bahwa standar pelayanan yang diberikan oleh apotek masih kurang memuaskan.

Karena inilah, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 tersebut telah sepenuhnya dilaksanakan oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah:

Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran penulis di Perputakaan Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan, belum pernah dilakukan penelitian tentang Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No 1027/MenKes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman. Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta (Sukmajati, 2007). Hasil penelitian Sukmajati adalah Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta


(27)

belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No 1027/MenKes/SK/IX/2004 secara menyeluruh.

Perbedaan penelitian Sukmajati dengan penelitian ini adalah:

• Wilayah penelitian Sukmajati (2007) berada pada Kota Yogyakarta dengan periode September-November 2006, sedangkan wilayah penelitian ini berada pada Kabupaten Sleman dengan periode Oktober-Desember 2006.

• Penelitian Sukmajati (2007) tidak mencantumkan alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, sedangkan pada penelitian ini dilengkapi dengan alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dengan menitikberatkan pada tiga aspek, yaitu ruangan tertutup untuk konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Memberikan gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No 1027/MenKes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman.


(28)

5

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :

1) bahan evaluasi bagi tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas profesinya di Apotek, khususnya Apoteker Pengelola Apotek.

2) bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon Apoteker yang tertarik dalam pelayanan perapotekan.

3) bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek.

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MENKES/SK/ IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Sleman.


(29)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Apotek

Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa apotik adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur tugas dan fungsi apotek, yaitu:

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan,

b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat

c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Menurut Permenkes RI No. 922 tahun 1993 pasal 10, pengelolaan apotek meliputi :

a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.

b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.

c. pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi

Menurut KepMenKes No.1332 tahun 2002 maupun KepMenKes No.1027 tahun 2004, apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.


(30)

7

B. Apoteker

Menurut peraturan perundang-undangan dengan hirarki tertinggi, yaitu Undang-Undang Obat Keras/St.No.419 tanggal 22 Desember 1949 Pasal 1, Apoteker adalah mereka yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sebagai Apoteker sambil memimpin sebuah apotek.

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 32 tahun 1996 Pasal 2, Apoteker merupakan salah satu tenaga kefarmasian yang tergabung dalam tenaga kesehatan. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027 tahun 2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.

Mengacu pada definisi apoteker di KepMenKes RI No. 1027/MENKES/ SK/IX/2004 maka untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan di perguruan tinggi farmasi baik di jenjang S-1 maupun jenjang pendidikan profesi (Hartini dan Sulasmono, 2006). Setiap profesi harus disertifikasi secara formal oleh suatu lembaga keprofesian untuk tujuan diakuinya keahlian pekerjaan keprofesiannya (Anonim, 2003a). Menurut Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1, pencapaian kompetensi akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat kompetensi. Pada Pasal 5, dinyatakan bahwa sertifikat kompetensi diterbitkan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh


(31)

lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui Pemerintah sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi.

Kegiatan keprofesian merupakan implikasi dari kompetensi, otoritas, teknikal dan moral profesi sehingga seorang profesional memiliki posisi hirarkial dalam masyarakat. Profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut

1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas.

2. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi. 3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian. 4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom. 5. memberlakukan kode etik keprofesian.

6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan. 7. proses pembelajaran seumur hidup.

8. mendapat jasa profesi (Anonim, 2003a).

Pekerjaan profesi ditandai oleh adanya otoritas melakukan pekerjaan yang melekat pada diri pribadi pelaku profesi masing-masing. Untuk apoteker, pekerjaan tersebut didefinisikan sebagai pekerjaan kefarmasian yang diperoleh nya dari negara sebagai otoritas keahlian, sehingga sebelum melaksanakan pekerjaan kefamasian, Apoteker perlu disumpah terlebih dahulu (Anonim, 2003a).

Pada profesi, melekat keahlian khusus yang menghasilkan produk dan produk profesinya tersebut dapat dilayankan kepada client, sehingga client

mendapatkan kepuasan dan kenikmatan atas produk profesi tersebut. Sebaliknya,


(32)

9

bagi pelaku profesi. Pekerjaan profesi dilakukan berdasarkan atas standar profesi yang diatur oleh organisasi profesinya, serta tata cara lain yang menjamin keseragaman dalam pelaksanaan pekerjaannya (Anonim, 2003a).

Dengan berkembangnya ruang lingkup pelayanan kefarmasian, peran Apoteker telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam dua puluh tahun terakhir ini. Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “Seven Star of Pharmacist” meliputi :

1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan

klinis, analisis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan,

keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.

3. Comunicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan

dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi


(33)

tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan.

4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.

Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia,

fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan

semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.

7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih

apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan (Anonim, 2003a).


(34)

11

C. Pharmaceutical Care

Peran Apoteker kini didasarkan pada filosofi “Pharmaceutical Care” atau diterjemahkan sebagai “asuhan kefarmasian” (Anonim, 2003a). Pharmaceutical care berkembang akibat dari sejarah perkembangan obat yang mengakibatkan makin banyaknya drug adverse reaction. (Kisdarjono, 2004). Menurut KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004, Pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pharmaceutical care juga merupakan kemampuan dari praktek farmasi yang memerlukan interaksi langsung dari Apoteker dengan pasien dengan tujuan kepedulian kepada pasien mengenai kebutuhan yang berkaitan dengan obat (Kisdarjono, 2004).

Terapi dengan obat merupakan proses kolaboratif antara pasien, dokter, Apoteker, dan penyelenggara pelayanan kesehatan. Proses ini merupakan proses yang harus ditingkatkan terus menerus agar penggunaan obat menjadi tanggung jawab bersama antara Apoteker, tenaga kesehatan lain, dan pasien memperoleh keluaran terapi yang optimal. Apoteker memberikan jaminan bahwa obat yang diberikan adalah obat yang benar dan diperoleh maupun diberikan dengan benar, dan pasien menggunakannya dengan benar. Segala keputusan profesional Apoteker didasarkan pada pertimbangan atas kepentingan pasien dan aspek ekonomi yang menguntungkan pasien (Anonim, 2003a).

Peran apoteker diharapkan tidak hanya menjual obat seperti yang selama ini terjadi, tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakainya, dan


(35)

harga yang wajar, serta pada saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi (Anonim, 2003a).

D. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004

PENGELOLAAN SUMBER DAYA 1. Sumber Daya Manusia

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai menempatkan pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2. Sarana dan Prasarana

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.

Apotek harus memiliki :

1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur / materi informasi.

3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.

4. Ruang racikan.

5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.

Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi,


(36)

13

terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out)

3.1 Perencanaan.

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan :

a. Pola penyakit.

b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. 3.2 Pengadaan.

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.

3.3 Penyimpanan.

1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang – kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.

2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak, dan menjamin kestabilan bahan.

4. Administrasi.

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :

4.1.Administrasi Umum.

Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.2.Administrasi Pelayanan.

Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

PELAYANAN 1. Pelayanan Resep.

1.1.Skrining resep.

Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1.Persyaratan administratif :

- Nama,SIP, dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.

- Tanda tangan/ paraf dokter penulis resep.


(37)

- Nama obat, potensi, dosis, dan jumlah yang minta. - Cara pemakaian yang jelas.

- Informasi lainnya.

1.1.2.Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3.Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya, bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2.Penyiapan obat. 1.2.1.Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2.Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3.Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4.Penyerahan Obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5.Informasi Obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6.Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti

cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis

lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.


(38)

15

1.2.7 Monitoring Penggunaan Obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet

/ brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. 3. Pelayanan residensial (Home Care).

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini, apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

EVALUASI MUTU PELAYANAN

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1. Tingkat kepuasan konsumen: dilakukan dengan survei berupa angket

atau wawancara langsung.

2. Dimensi waktu: lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).

3. Prosedur Tetap: Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk:

• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;

• Adanya pembagian tugas dan wewenang;

• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;

• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;

• Membantu proses audit.

Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:

• Tujuan : merupakan tujuan protap.

• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.

• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.

• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.

• Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.


(39)

E. Sumpah Apoteker

Selain terikat secara horizontal dengan masyarakat termasuk tenaga kesehatan yang lain, Profesi Apoteker terikat pula dalam hubungan vertikal dengan Tuhan. Hal ini terlihat pada isi PP No. 41 tahun 1990 pada penjelasan Pasal 12, menyebutkan Profesi Apoteker adalah keahlian yang menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawab Apoteker sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sumpah apoteker. Menurut PP No. 20 tahun 1962 Pasal 1, sebelum seorang apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya, atau mengucapkan janji

Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada lampiran 4.


(40)

17

F. Kode Etik Apoteker

Sebagai pekerjaan profesi, terdapat hubungan khusus di antara sesama pelaku profesi yang diatur melalui praktek organisasi profesi serta berlakunya etika profesi Etika profesi yaitu suatu aturan yang mengatur suatu pekerjaan itu boleh atau tidak dilakukan oleh pelaku profesi sewaktu menjalankan praktek profesinya (Anonim, 2003a).

Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker. Oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005 dapat dilihat pada lampiran 5.

G. Etika Bisnis

Menurut Miller dan Coady, etika kerja adalah keyakinan, nilai dan prinsip yang akan membimbing individu berinteraksi dalam kaitannya dengan pekerjaan dan tanggung jawab akan suatu tugas. Etika kerja akan membimbing bagaimana berperilaku, terutama ketika menghadapi dilema (Putra, 2005).


(41)

Etika berpengaruh terhadap citra manusia, hasil pekerjaan, dan kelangsungan perusahaan. Dalam menjalankan kebijakan perusahaan, etika yang baik akan memberikan kejernihan berpikir, khususnya untuk perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan publik (Putra, 2005).

Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).

Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah :

1. Prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan masyarakat yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.

2. Prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.


(42)

19

3. Prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain.

4. Prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

5. Prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain (Isdaryadi, 2005)

Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :

1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)

Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan lainnya.


(43)

2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)

Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu sendiri

(Anief, 1995).

H. Keterangan Empiris

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027 tahun 2004 mempunyai tiga parameter utama, yaitu pengelolaan sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI No 1027 tahun 2004 di Kabupaten Sleman berdasarkan tiga parameter utama dari KepMenKes RI No 1027 tahun 2004 tersebut.


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti. (Praktiknya, 2001). Rancangan penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998).

B. Definisi Operasional Penelitian

1. Apotek adalah tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat, dalam hal ini yang berada di wilayah Kabupaten Sleman.

2. Standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah patokan apoteker dalam menjalankan profesinya terkait bidang perapotekan, dalam hal ini berdasarkan pada Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004.

3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila


(45)

persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan.

4. Apotek sampel adalah 35 apotek yang disampling dari Data Apotek Kabupaten Sleman 2005 menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

5. Responden adalah Apoteker yang menjalankan profesinya di apotek sampel serta bersedia mengisi kuesioner.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang 1. Deskripsi responden

2. Deskripsi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Nawawi (1998), populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memilikik karakteristik tertentu dalam suatu penelitian.

Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang berada di wilayah Kabupaten Sleman. Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2005, jumlah apotek yang terdaftar di wilayah Kabupaten Sleman adalah sebanyak 125 apotek.


(46)

23

Seratus dua puluh lima apotek yang berada di Kabupaten Sleman terbagi dalam masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman. Perinciannya dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel I. Populasi Apotek di Kabupaten Sleman Tahun 2005

No. Nama Kecamatan Jumlah apotek

1. Depok 53

2 Ngemplak 1

3 Mlati 9

4 Godean 11

5 Ngaglik 16

6 Prambanan 2

7 Gamping 11

8 Kalasan 7

9 Sleman 6

10 Berbah 2

11 Turi 1

12 Seyegan 2

13 Moyudan 1

14 Pakem 1

15 Tempel 2

Total 125

2. Sampel

Menurut Sevilla dkk (1993), sampel adalah kelompok kecil yang kita amati dan populasi adalah kelompok besar yang merupakan sasaran generalisasi kita. Menurut Gay (1976), karena penelitian ini bersifat deskriptif, maka ukuran minimum sampel yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen.

Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan


(47)

representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan sampel sebesar 20 % dari populasi yaitu sebanyak 35 apotek. Untuk menentukan apotek yang dipilih, peneliti menggunakan metode proportional cluster non random

sampling, di mana apotek dikelompokkan berdasarkan kecamatan terlebih

dahulu baru kemudian dilakukan pengambilan sampel sebesar 20% dari jumlah apotek di setiap kecamatan sehingga diperoleh jumlah sampel yang berbeda di tiap kecamatan sesuai dengan jumlah apotek yang berada di kecamatan tersebut. Perincian dari 35 apotek sampel ini dapat dilihat pada tabel II.


(48)

25

Tabel II. Apotek Sampel di Kabupaten Sleman

No. Nama Kecamatan Jumlah apotek

1. Depok 11

2 Ngemplak 1

3 Mlati 2

4 Godean 3

5 Ngaglik 4

6 Prambanan 1

7 Gamping 3

8 Kalasan 2

9 Sleman 2

10 Berbah 1

11 Turi 1

12 Seyegan 1

13 Moyudan 1

14 Pakem 1

15 Tempel 1

Total 35

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan kuesioner

Kuesioner merupakan suatu set pertanyaan yang berurusan dengan topik tunggal atau satu set topik yang saling berkaitan yang harus dijawab oleh subyek (Kartono,1990).

Kuesioner yang digunakan memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian, meliputi deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan, dan evaluasi mutu pelayanan.


(49)

2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa

Fungsi uji pemahaman bahasa adalah untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek yang terletak di luar populasi penelitian.

b. Uji validitas isi

Yang dimaksud dengan validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Pratiknya, 2001).

Prosedur validitas isi kuesioner dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Jadi penilaian setiap orang mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner telah tercapai adalah belum tentu sama (Azwar, 1999).


(50)

27

c. Uji reliabilitas

Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).

3. Penyebaran kuesioner

Peneliti menyebarkan kuesioner secara langsung kepada responden dan peneliti akan mendampingi responden selama pengisian kuesioner. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya responden yang kurang paham terhadap maksud pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Namun, jika responden tidak bisa mengisi pada saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah responden mengisinya. Adapun periode penyebaran kuesioner ini adalah pada bulan Oktober – Desember 2006.

4. Pengumpulan kuesioner

Peneliti mengumpulkan kuesioner setelah responden selesai mengisi semua pertanyaan yang ada pada kuesioner. Jumlah kuesioner yang


(51)

dikumpulkan jumlahnya sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan, yaitu sebanyak 35 buah.

5. Wawancara

Menurut Nawawi (1998), wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula. Wawancara ini dilakukan setelah peneliti melihat hasil penelitian Sukmajati dan hasil penelitian pribadi yang presentasenya di bawah 50%, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Kepmenkes RI No.1027 tahun 2004. Secara khusus, wawancara dititikberatkan pada tiga hal, yaitu adanya ruangan konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi melalui home care. hal tersebut serta bersedia untuk diwawancarai.

F. Tata Cara Analisis Data

Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik (Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif. Statistik deskriptif merupakan teknik statistik yang memberikan informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud menguji hipotesis. Data pada umumnya disajikan dalam bentuk tertentu, misalnya tabel dan gambar, sehingga dapat dipahami dengan mudah dan cepat (Nurgiyantoro, 2002).


(52)

29

Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter dalam KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004, kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Standar Pelaksanaan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No.1027 tahun 2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika persentasenya kurang dari 50%, maka dikatakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No.1027 tahun 2004 belum dilaksanakan


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Responden

Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi usia, pengalaman kerja di apotek yang sekarang, posisi di apotek, adanya pekerjaan lain yang dimiliki, dan lama kerja dalam sehari.

1. Usia responden

Gambaran mengenai usia responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Usia Responden

69% 17%

14%

21-35 thn 36-50 thn > 50 thn

Gambar 1. Diagram Usia Responden

Sebagian besar responden, yaitu enam puluh sembilan persen, ada dalam rentang umur 21-35 tahun yang merupakan usia dewasa muda. Tujuh belas persen responden ada dalam rentang umur 18-35 tahun yang merupakan usia dewasa menengah dan 14% responden ada dalam umur di atas 50 tahun yang merupakan usia dewasa tua.

2. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang

Gambaran mengenai pengalaman kerja responden sebagai Apoteker di apotek yang sekarang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.


(54)

31

Pengalaman Kerja Reponden di apotek

14%

52% 20%

14%

<1 1 s/d 5 6 s/d 10 >10

Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden di Apotek Yang Sekarang

Lebih dari jumlah separuh responden, yaitu 52%, rresponden memiliki rentang pengalaman kerja 1-5 tahun. Dua puluh persennya memiliki rentang pengalaman kerja 6-10 tahun dan masing –masing 14% responden mempunyai pengalaman kerja di bawah 1 tahun dan di atas 10 tahun.

3. Posisi responden di apotek

Sebagian besar responden adalah Apoteker Pengelola Apotek dan yang lainnya adalah Apoteker Pendamping.

Posisi Re sponde n

77% 23%

A poteker Pengelola A potek

A poteker Pendamping

Gambar 3. Diagram Posisi Responden di Apotek

Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993, apoteker di apotek ada yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Menurut PerMenKes RI No. 26 tahun 1981 Pasal 18 ayat


(55)

(2) dan KepMenKes RI Nomor 1332 tahun 2002 Pasal 19 ayat (1), apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping.

4. Adanya pekerjaan lain yang dimiliki responden sebagai apoteker

Sebagian besar responden tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai apoteker.

Adanya Pekerjaan Lain 40%

60%

Ya Tidak

Gambar 4. Diagram Adanya Pekerjaan Lain dari Responden

Menurut Surat KepMenKes RI Nomor 831/Ph/64/b, apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker yang bekerja penuh (full-time). Responden seharusnya tidak memiliki pekerjaan lain apabila telah menjadi Apoteker di suatu apotek. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan penuh pelayanan pada profesinya. Sebagai contoh adalah apoteker yang bekerja di apotek yang merupakan Badan Usaha Milik Negara.


(56)

33

5. Lama kerja responden dalam sehari

Gambaran mengenai lama kerja responden dalam sehari dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Lama kerja dalam sehari 11%

55% 34%

< 4 4 s/d 6 > 6

Gambar 5. Diagram Lama Kerja Responden di Apotek dalam Sehari Sebagian besar responden bekerja 4-6 jam dalam sehari, di mana hal ini belum sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam.

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Bila apotek pada umumnya buka 13 jam dalam sehari (dari pukul 8.00 sampai 21.00 WIB), maka untuk 6 hari kerja dalam seminggu apotek akan buka 78 jam. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 2 menyebutkan bahwa waktu kerja dalam seminggu adalah 40 (empat puluh) jam untuk 6 (enam) hari kerja, sehingga setiap apotek minimal harus memiliki 2 orang apoteker.


(57)

B. Pengelolaan Sumber Daya 1. Sumber daya manusia

Menurut KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004, Apoteker harus dapat mengambil keputusan yang tepat. Jadi, semua keputusan yang diambil dalam apotek harus diketahui dan disetujui oleh APA sebagai penanggung jawab apotek.

Tabel III. Pengambilan Keputusan di Apotek yang selalu Berdasarkan Persetujuan APA

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 20 74,1 %

2. Tidak 7 25,9 %

Total 27 100 %

Salah satu peran Apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai

leader, di mana diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.

Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

Dalam Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 6, disebutkan bahwa seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Maka pengambilan keputusan tidak boleh berdasarkan kepentingan pribadi Apoteker, tapi berdasarkan pada kepentingan apotek tempat Apoteker bekerja. Dengan demikian, Apoteker dapat menjadi contoh yang baik di lingkungan kerjanya.

Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja apoteker pendamping, asisten


(58)

35

apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Apoteker Pendamping dapat menggantikan Apoteker Pengelola Apotek dalam hal pelayanannya, tetapi tidak pada pengambilan keputusan di apotek. Karena itulah, pengambilan keputusan di apotek harus berdasarkan persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.

Keputusan dalam apotek yang diambil berdasarkan persetujuan APA meliputi bidang administrasi obat (pemilihan, pesanan, dan pembayaran obat), penatalaksanaan terapi (penggantian obat pasien dan jam konseling pasien), pengaturan staf, dan pengelolaan keuangan di apotek.

Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia dapat dilihat pada gambat I di bawah ini.

74,10%

25,90%

0% 50% 100%

Ya Tidak

Gambar 6. Pengambilan Keputusan di Apotek yang selalu Berdasarkan Persetujuan APA

Berdasarkan Gambar 6, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Pengelolaan Sumber Daya Manusia telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, yaitu sebesar 74,1%.


(59)

2. Sarana dan prasarana a. Papan petunjuk apotek

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa pada halaman apotek harus terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek.

Tabel IV. Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 35 100 %

2. Tidak 0 0 %

Total 35 100 %

Papan yang bertuliskan kata apotek bertujuan untuk menunjukkan identitas dari apotek yang telah berdiri dengan sah. KepMenKes RI No.278/MENKES/SK/V/1981 Pasal 6 ayat (1), menyatakan bahwa setiap Apotek harus memasang papan nama pada bagian muka Apotek, yang terbuat dari papan, seng atau bahan lain yang memadai. Dalam lampiran Form Apt-3 KepMenKes No.1332 tahun 2002, lebih jelas lagi disebutkan ukuran papan nama apotek, yaitu minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam di atas dasar putih, tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm.

b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya PerMenKes RI No. 922 tahun 1993 Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi, sedangkan ayat 3


(60)

37

menyebutkan bahwa apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan.

TabelV. Pemisahan Produk Kefarmasian dari Produk Lainnya

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 21 60 %

2. Tidak 14 40 %

Total 35 100 %

Dari Tabel V, dapat disimpulkan bahwa pemisahan produk kefarmasian dari produk lainnya telah dilaksanakan dengan baik. Adapun penjualan produk non kefarmasian di apotek merupakan diferensiasi usaha apotek, di mana produk-produk tersebut masih berhubungan dengan bidang kesehatan. Contoh produk non kefarmasian yang dijual di apotek-apotek Kabupaten Sleman adalah makanan bayi, susu, dan food

supplement.

c. Ruang tunggu bagi pasien

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest.


(61)

Tabel VI. Adanya Ruang Tunggu bagi Pasien

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 35 100 %

2. Tidak 0 0 %

Total 35 100 %

KepMenKes Nomor 278 tahun 1981 Pasal 4 juga menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu. Keberadaan ruang tunggu bagi pasien sangat penting karena pasien akan merasa nyaman berada di ruangan tunggu yang memiliki tempat duduk yang nyaman dengan ventilasi udara dan penerangan yang cukup. Sebagai sumber informasi dan hiburan, biasanya tersedia koran, majalah, maupun tayangan televisi.

d. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien

Salah satu peran Apoteker dalam pelayanannya adalah sebagai manager. Artinya Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran, dan informasi. Apoteker harus tanggap terhadap informasi dan di apoteknya harus tersedia berbagai informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Informasi yang ada di apotek dapat berupa leaflet/brosur dan poster.

Tabel VII. Ketersediaan Informasi Kesehatan di Apotek

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 35 100 %

2. Tidak 0 0 %

Total 35 100 %


(62)

39

Informasi tentang kesehatan sangat berguna bagi masyarakat karena masyarakat dapat meningkatkan pengetahuannya tentang kesehatan lewat membaca brosur-brosur tersebut.

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan materi informasi tersebut.

Tabel VIII. Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplai Informasi

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 32 91,4 %

2. Tidak 3 8,6 %

Total 35 100 %

Tempat untuk mendisplai informasi bertujuan untuk menjaga kerapian dalam apotek, sehingga staf maupun pengunjung apotek merasa nyaman ketika berada di apotek.

e. Ruangan tertutup untuk konseling pasien

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Ruangan tertutup untuk konseling pasien bertujuan untuk menjaga kerahasiaan

(privacy) pasien dan kenyamanan pasien maupun Apoteker dalam

melakukan konseling.


(63)

Adanya ruang konseling 20%

80%

Ya Tidak

Gambar 7. Adanya Ruangan Tertutup untuk Konseling Delapan puluh persen apotek di Kabupaten Sleman belum mempunyai ruang konseling. Dari 20 apotek di Kabupaten Sleman yang bersedia diwawancarai, semua apotek mengalami keterbatasan ruangan. Salah satu penyebabnya adalah pada saat pendirian apotek, belum ada peraturan yang mengharuskan setiap apotek mempunyai ruang konseling. Ada juga Apoteker yang belum mengetahui adanya peraturan tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 8, yang menyatakan bahwa seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

f. Ruang racikan

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur dalam KepMenKes Nomor 278 tahun 1981 Pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3 KepMenKes Nomor 1332 tahun 2002, yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang peracikan.


(64)

41

Tabel IX. Adanya Ruang Racikan di Apotek

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ruang racikan kering dan basah 22 62,9 % 2. Ruang racikan kering 11 31,4 % 3. Tidak punya sama sekali 2 5,7 %

Total 35 100 %

Sebagian besar apotek di Kabupaten Sleman masih menjadikan ruang racikan basah dan kering dalam satu ruangan. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit resep yang masuk ke apotek dengan meminta racikan basah. Untuk efisiensi tempat, maka apotek menyatukan ruang racikan basah dan kering. Ruang racikan kering dan basah seharusnya dipisahkan untuk memudahkan pencarian bahan obat berdasarkan sifat fisiknya dan juga mempermudah proses pembersihannya.

g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Lampiran Form Apt-3 KepMenKes Nomor 1332 tahun 2002 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan salah satu fasilitas untuk menjaga kebersihan di apotek.

Tabel X. Ketersediaan Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Untuk staf dan pasien 33 94,3%

2. Untuk staf 2 5,7 %

Total 35 100 %


(65)

h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sarana dan prasarana

100% 60%

100% 91,40%

20%

94,30%94,30%

0% 50% 100%

papan petunjuk apotek

tempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya ruang tunggu

tempat displai informasi ruang tertutup untuk konseling ruang racikan

keranjang sampah untuk staf dan pasien

Gambar 8. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan prasarana telah dilaksanakan dengan baik karena persentasenya sudah di atas 50 %. Pengelolaan sarana dan prasarana yang belum dilaksanakan yaitu adanya ruang tertutup untuk konseling (20%), sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan.


(66)

43

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Menurut KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004, dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat, serta budaya masyarakat.

Tabel XI. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek

No .

Jawaban Jumlah Persentase 1. Pola penyakit, kemampuan

masyarakat, dan budaya masyarakat

25 71,4 %

2. Pola penyakit 4 11,4 %

3. Pola penyakit dan kemampuan masyarakat

2 5,7 %

4. Tidak berdasarkan pola penyakit, kemampuan masyarakat, dan budaya

masyarakat

2 5,7 %

5. Kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat.

1 2,9 %

6. Kemampuan masyarakat 1 2,9 %

Total 35 100 %

Yang dimaksud dengan memperhatikan pola penyakit adalah mencermati pola penyakit yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obatan untuk penyakit tersebut.


(67)

Yang dimaksud dengan memperhatikan kemampuan masyarakat adalah mengacu pada tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat perekonomian masyarakat di sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya belinya terhadap obat-obatan. Jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian menengah ke bawah, maka apotek perlu menyediakan obat-obatan yang harganya terjangkau, seperti obat generik berlogo. Demikian pula sebaliknya, jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian menengah ke atas yang cenderung memilih membeli obat-obat paten, maka apotek juga harus menyediakan obat-obat paten yang sering diresepkan.

Yang dimaksud dengan memperhatikan budaya masyarakat adalah pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat. Pandangan masyarakat tersebut dapat mempengaruhi pemilihan obat-obatan, khususnya obat-obat tanpa resep. Demikian juga dengan budaya masyarakat yang lebih senang berobat ke dokter, maka apotek perlu memperhatikan obat-obat yang sering diresepkan oleh dokter tersebut (Hartini dan Sulasmono, 2006).

b. Pengadaan

Pengadaan barang dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian, dan penerimaan barang (Hartini dan Sulasmono, 2006).


(68)

45

Tabel XII. Sumber Perolehan Obat di Apotek No

.

Jawaban Jumlah Persentase 1. PBF, apotek lain, dan toko obat 13 37,1

2. PBF dan apotek lain 8 22,9

3. PBF 6 17,1

4. PBF, apotek lain, toko obat, dan swalayan

2 5,7

5. PBF, apotek lain, dan swalayan 2 5,7

6. PBF dan toko obat 2 5,7

7. PBF, pabrik farmasi, apotek lain, toko obat, dan swalayan

1 2,9

8. PBF, pabrik farmasi, apotek lain, dan toko obat

1 2,9

Total 35 100 %

KepMenKes RI Nomor 1027 tahun 2004 menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. Sumber perolehan obat di apotek pada Tabel XII yang melalui jalur resmi adalah menurut Hartini dan Sulasmono (2006).

Menurut Hartini dan Sulasmono (2006), pengadaaan sediaan farmasi melalui jalur resmi hanya berasal dari Pedagang Besar Farmasi (Pasal 3 PerMenKes RI No. 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar Farmasi), pabrik farmasi, apotek lain, dan toko obat untuk golongan obat bebas. Jadi perolehan obat melalui swalayan termasuk jalur tidak resmi.

Menurut Slamet (2001), jalur distribusi obat ke apotek dapat berasal dari Pedagang Besar Farmasi/distributor, sub-distributor untuk golongan obat keras, dan industri farmasi. Bagan jalur distribusi obat menurut Slamet (2001) dapat dilihat pada lampiran 6.


(69)

c. Penyimpanan

Menurut KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004, obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Tetapi dalam pengecualian atau darurat, isi dapat dipindahkan pada wadah lain sesuai ketentuan yang berlaku.

Tabel XIII. Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke Wadah Lain

No. Jawaban Jumlah Persentase

1. Ya 11 31,4%

2. Tidak 24 68,6%

Total 35 100 %

Pada umumnya, apotek memindahkan obat ke wadah baru dalam jumlah tertentu, di mana jumlah tertentu tersebut berdasarkan kebiasaan dokter meresepkan suatu obat dalam jumlah tertentu. Hal ini akan mempercepat pelayanan kepada pasien dengan hanya mengambil dari wadah baru tersebut. Pasien juga lebih efisien karena dapat membeli obat dalam jumlah yang dibutuhkan dan tidak harus membeli seluruh obat dalam wadah asli.

Menurut KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004, bila isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang – kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Gambaran mengenai informasi yang disertakan apoteker pada wadah baru dapat dilihat pada Tabel XIV berikut.


(70)

47

Tabel XIV. Informasi yang Disertakan pada Wadah Baru No

.

Jawaban Jumlah Persentase 1 Produsen (pabrik), nomor batch,

tanggal kadaluwarsa, aturan pakai, dan cara penyimpanan

6 54,5 %

2 Produsen (pabrik), tanggal kadaluwarsa, aturan pakai, dan cara

penyimpanan

1 9,1 %

3 Produsen (pabrik) dan tanggal kadaluwarsa

1 9,1 %

4 Tanggal kadaluwarsa dan aturan pakai

1 9,1 %

5 Produsen (pabrik) 1 9,1 %

6 Tidak ada informasi 1 9,1 %

Total 11 100 %

Menurut KepMenKes RI No. 1332 tahun 2002 Pasal 12, Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. Pencantuman informasi tersebut bertujuan untuk menjamin kepercayaan masyarakat terhadap apoteker, bahwa obat yang dibelinya dari apotek tersebut bermutu baik, dalam hal ini belum melewati tanggal kadaluwarsanya. Sedangkan pencantuman nomor batch bertujuan untuk penelusuran obat, apabila ada obat yang sudah beredar namun tidak memenuhi syarat, sehingga mempermudah penarikan dari peredaran untuk segera dimusnahkan.

KepMenKes RI No. 1027 tahun 2004 juga menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak, dan menjamin kestabilan bahan


(1)

8 c Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 26 74,3

Tidak v v v v v v v v v 9 25,7

9 1 a Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

b Ya v v v 3 8,6

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 32 91,4 c Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 27 77,1

Tidak v v v v v v v v 8 22,9

d Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 19 54,3

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v 16 45,7

e Ya v v v v v v 6 17,1

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 29 82,9 2 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 34 97,1

Tidak v 1 2,9

3 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

10 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 32 91,4

Tidak v v v 3 8,6

11 1 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

2 Ya v v v v v v v v v v v 11 31,4

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 24 68,6

3 a Ya v v v v v v v v v 9 81,8

Tidak v v 2 18,1

b Ya v v v v v v 6 54,5


(2)

11 3 c Ya v v v v v v v v v 9 81,8

Tidak v v 2 18,1

d Ya v v v v v v v v 8 72,7

Tidak v v v 3 27,3

e Ya v v v v v v v 7 63,6

Tidak v v v v 4 36,4

12 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 21 60

Tidak v v v v v v v v v v v v v v 14 40

13 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v V v v v v v 22 62,9

Tidak v v v v v v v v v v v v v 13 37,1

14 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

15 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 32 91,4

Tidak v v v 3 8,6

16 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

17 Ya v v v v v v v v v v v v v v 14 40

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 21 60

III 0

18 1 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

2 a Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 33 94,3

Tidak v v 2 5,7

b Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 33 94,3

Tidak v v 2 5,7


(3)

18 2 Tidak v v v v v v v v v v v 11 31,4 d Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 22 62,9

Tidak v v v v v v v v v v v v v 13 37,1

e Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 21 60 Tidak v v v v v v v v v v v v v v 14 40

f Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

g Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 30 85,7

Tidak v v v v v 5 14,3

3 a Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 30 85,7

Tidak v v v v v 5 14,3

b Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 31 88,6

Tidak v v v v 4 11,4

c Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 25 71,4

Tidak v v v v v v v v v v 10 28,6

d Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

e Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 30 85,7

Tidak v v v v v 5 14,3

f Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 34 97,1

Tidak v 1 2,9

19 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 33 94,3

Tidak v v 2 5,7

20 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0


(4)

21 Tidak v v v v v v v v v v v v 12 34,3 22 a Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 35 100

Tidak 0 0

b Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 31 88,6

Tidak v v v v 4 11,4

c Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 34 97,1

Tidak v 1 2,9

d Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 25 71,4

Tidak v v v v v v v v v v 10 28,6

e Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 23 65,7

Tidak v v v v v v v v v v v v 12 34,3

23 Ya v 1 2,9

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 34 97,1 24 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 20 74,1

Tidak v v v v v v v 7 25,9

25 Ya v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 22 62,9 Tidak v v v v v v v v v v v v v 13 37,1

26 Ya v v v v v v v v v v v 11 31,4

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 24 68,6

27 Ya v v v v v v 6 17,1

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 29 82,9

28 Ya v v v v v v 6 17,1

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 29 82,9

IV 0

29 1 Ya v v v v v v v 7 20


(5)

29 2 a Ya v v 2 5,7 Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 33 94,3

b Ya v v v v v 5 14,3

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 30 85,7

30 Ya v v v v v v 6 17,1

Tidak v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 29 82,9

31 Ya v v v v v v v v v v v 11 31,4


(6)

Adhy Kurniawan Soedarsono, lahir di Semarang

pada tanggal 2 Oktober 1985. Penulis merupakan

anak pertama dari pasangan Setijo Santoso

Soedarsono dan Patricia. Penulis telah menempuh

pendidikan di TK – SD Cor Jesu Semarang, SLTP

PL Domenico Savio Semarang, SMU Kolese

Loyola Semarang, dan melanjutkan di Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa kuliah, penulis pernah

mengiringi Paduan Suara Fakultas “Veronica” dan menjadi panitia Pengucapan

Sumpah/Janji Apoteker Baru Angkatan XI.


Dokumen yang terkait

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar pelayanan kefarmasian di apotik - [PERATURAN]

0 6 12

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul.

0 1 175

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul.

0 2 159

Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.

0 0 133

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo.

0 1 133

Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta - USD Repository

0 0 131

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo - USD Repository

0 1 131

Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman periode Oktober-Desember 2006 - USD Repository

0 0 125

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul - USD Repository

0 0 157

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul - USD Repository

0 0 173