Persentase Tutupan dan Bentuk Pertumbuhan Karang Hidup di Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains
TONISMAN HAREFA 100805061
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2015
(2)
ii
ii
PERSETUJUAN
Judul : Persentase Tutupan dan Bentuk Pertumbuhan
Karang Hidup di Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah
Kategori : Skripsi
Nama : Tonisman Harefa
Nomor Induk Mahasiswa : 100805061
Program Studi : Sarjana (S-1) Biologi
Departemen : Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, Juni 2015
Komisi Pembimbing
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Mayang Sari Yeanny, S.Si., M.Si. Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si.
NIP:197221126 199802 2 002 NIP: 19691010 199702 1 002
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP: 19630123 199003 2 001
(3)
PERNYATAAN
PERSENTASE TUTUPAN DAN BENTUK PERTUMBUHAN
KARANG HIDUP DI PERAIRAN PULAU UNGGE
KABUPATEN TAPANULI TENGAH
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya
Medan, Juni 2015
TONISMAN HAREFA 100805061
(4)
iv
iv
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
PERSENTASE TUTUPAN DAN BENTUK PERTUMBUHAN KARANG HIDUP DI PERAIRAN PULAU UNGGAEH KABUPATEN TAPANULI TENGAH sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Departemen Biologi FMIPA USU Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si. selaku dosen Pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny,S.Si.,M.Si. selaku dosen Pembimbing II atas bimbingan arahan, dan dukungan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr.Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc dan Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. selaku dosen Penguji yang telah memberikan banyak kritik dan saran membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Biologi, Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA USU, seluruh Bapak/Ibu Dosen Departemen Biologi, Kak Roslina dan Bang Ewin selaku staff pegawai administrasi Departemen Biologi.
Teristimewa penulis berterimakasih kepada orangtua dan keluarga tercinta, kepada Alm. Bapak E. Harefa yang akan selalu dikenang sepanjang masa dan juga Ibu I. Harefa sebagai orangtua yang kuat dan tangguh yang pernah dimiliki, terimakasih atas kasih, jerih payah, air mata dan dukungan yang membuat penulis selalu kagum dan membutuhkan hal tersebut. Terimakasih kepada saudaraku Abangda Arlinus Harefa untuk dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini.
Terimakasih penulis sampaikan juga kepada kawan-kawan seperjuangan stambuk 2010 (BIOLOGI REVOLUTION) atas semangat dan kerjasama selama ini. Terimakasih kepada Tim Diver Edwarman Zalukhu, Delisma Siregar, Yusniarti, Richard, Julpiter, dari DKP Tapanuli Tengah Pak Edward, Pak Penas yang membantu selama di lapangan, kepada Pak Jufriwandi Siregar (DKP Prov SU) yang selalu memberikan arahan dan bantuan selama pembuatan skripsi ini. Terimakasih kepada sahabat Doni, Norton, Posma, Trisi, Maria, Sandi, Tiur, Juwita, Sylvia dkk. Terimakasih kepada kekasih sekaligus sahabat penulis Veronika H.L. Tobing yang selalu memberikan dukungan. Terimakasih kepada abang/kakak 2008 khususnya bang Albert Sembiring, S.Si, bang Tombak, S. Si (abang asuh), untuk abang/kakak 2009, adek-adek 2011 (Ribka Zebua dan Nelly Zebua), adek asuh stambuk 2012 (Ester Lase dan Novita), adek 2013-2014 (Ayu Zebua, Indah , Dina Laia)
Terimakasih juga kepada organisasi GEMA NIAS, PKBKB, HIMABIO, BIOPALAS sebagai wadah bagi penulis untuk membangun dan mengembangkan karakter yang membuat penulis semakin dekat dan mengenal Tuhan Yesus
(5)
sebagai Juruselamat, sadar akan arti kebersamaan dan kerjasama, arti sebuah tanggung jawab, arti berbagi kepada sesama, memanajemen diri sendiri, disiplin waktu. Terimakasih kepada KSE dan Paguyuban KSE USU yang memberikan bantuan dana kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
Semoga Tuhan yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan ketulusan dari semua pihak yang membantu penulis hingga menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai kita semua.
Medan, Juni 2015
(6)
vi
vi
PERSENTASE TUTUPAN DAN BENTUK PERTUMBUHAN
KARANG HIDUP DI PERAIRAN PULAU UNGGE
KABUPATEN TAPANULI TENGAH
ABSTRAK
Penelitian tentang “Persentase Tutupan dan Bentuk Pertumbuhan Karang Hidup di Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah” telah dilakukan pada bulan Februari 2015. Penelitian bertujuan mengetahui kondisi terbaru persen tutupan karang hidup dan hubungannya dengan parameter fisika kimia perairan. Penentuan stasiun menggunakan metode Purposive Sampling berdasarkan perbedaan aktivitas dan posisi pulau. Pengambilan data karang menggunakan metode “Line Intercept Transect”. Nilai pesentase tutupan pada stasiun 1 sebesar 74,63%, stasiun 2 sebesar 62,57%, stasiun 3 sebesar 70,63%. Nilai rata-rata 69,28% dan tergolong dalam kategori baik. Diperoleh 10 bentuk pertumbuhan dan yang mendominasi adalah coral encrusting dan coral massive. Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS) berkorelasi sangat kuat terhadap persentase tutupan.
(7)
COVER PERCENTAGE AND LIFEFORM OF CORAL
LIVING IN UNGGE ISLAND OF TAPANULI TENGAH
ABSTRACT
The research about “ Cover Percentage And Lifeform of Coral Living In Ungge Island Regency of Tapanuli Tengah” has been done on February 2015. The research aims to find out the latest conditions of cover percentage of coral life and its relationship with the parameters of water chemistry physics. Determination station using purposive sampling method based on differences in the activity and position of the island. Coral data retrieval using the "Line Intercept Transect". Pesentage value cover at Station 1 at 74.63%, station 2 at 62.57% , station 3 amounted to 70.63%. The average value of 69.28% and classified in good category. Retrieved 10 forms and dominate the growth coral encrusting and coral massive. Total Suspended Solid (TSS) and Total Dissolved Solid (TDS) strongly correlate to the cover percentage of coral.
(8)
viii viii DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN ii PERNYATAAN iii PENGHARGAAN iv ABSTRAK vi ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR LAMPIRAN xi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang 4
2.2 Terumbu Karang dan Karang 4
2.2.1 Biologi Karang 4
2.2.2 Struktur Anatomi dan Morfologi Karang 5
2.2.3 Reproduksi Karang 6
2.3 Bentuk Petumbuhan Karang 8
2.4 Bentuk Formasi Terumbu Karang 9
2.5 Faktor-Faktor Pembatas Terumbu Karang 10
2.6 Ancaman Pada Ekosistem Terumbu Karang 11
2.7 Peranan Terumbu Karang 12
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat 13
3.2 Alat dan Bahan 13
3.3 Penentuan Stasiun Pengamatan 13
3.4 Deskripsi Stasiun 13
3.5 Pengamatan dan Pengambilan Data Karang 15
3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 16
3.7 Analisis Data 18
3.7.1 Persentase Tutupan Karang 18
3.7.2 Analisis Korelasi 18
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
(9)
4.2 Persentase Tutupan Kategori Dead Coral, Algae, Other Biota dan Abiotic
24
4.3 Faktor Fisik Kimia Perairan Pulau Ungge 25
4.3.1 Suhu 25
4.3.2 Intensitas Cahaya 26
4.3.3 Salinitas 27
4.3.4 pH 27
4.3.5 DO 28
4.3.6 BOD5 28
4.3.7 Total Suspended Solid (TSS) 29
4.3.8 Total Dissolved Solid (TDS) 30
4.4 Analisis Korelasi Faktor Fisik Kimia Perairan
Terhadap Persentase Tutupan Karang di Pulau Ungge
30
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 32
5.2 Saran 32
(10)
x
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Halaman
1 Morfologi Karang 6
2 Stasiun 1 14
3 Stasiun 2 14
4 Stasiun 3 15
5 Grafik Perbandingan Persentase Tutupan Bentuk Pertumbuhan Karang Hidup
22 6 Grafik Perbandingan Persentase Tutupan Kategori
Dead Coral, Algae, Other Biota Dan Abiotic.
(11)
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Halaman
3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan Alat/Metode yang Digunakan
19 4.1 Persentase Tutupan Karang Pada Setiap Stasiun
Penelitian
20 4.2 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Setiap Stasiun
Penelitian
25 4.3 Nilai Korelasi Antara Faktor Fisik Kimia Terhadap
Persentase Tutupan Karang
(12)
xii
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Judul Halaman
1 Peta Lokasi 37
2 Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 38
3 Bagan Kerja Untuk Mengukur BOD5 39
4 Alat 40
5 Bentuk Pertumbuhan Karang Acropora 41
6 Bentuk Pertumbuhan Karang non-Acropora 42
7 Data Hasil Pengukuran Karang 44
8 Data Hasil Perhitungan Persentase Tutupan Karang Biota dan Substrat
48
9 Contoh Perhitungan Persentase Tutupan 49
10 Analisis Uji Korelasi Parameter Fisik Kimia Perairan Dengan Persentase Tutupan
(13)
PERSENTASE TUTUPAN DAN BENTUK PERTUMBUHAN
KARANG HIDUP DI PERAIRAN PULAU UNGGE
KABUPATEN TAPANULI TENGAH
ABSTRAK
Penelitian tentang “Persentase Tutupan dan Bentuk Pertumbuhan Karang Hidup di Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah” telah dilakukan pada bulan Februari 2015. Penelitian bertujuan mengetahui kondisi terbaru persen tutupan karang hidup dan hubungannya dengan parameter fisika kimia perairan. Penentuan stasiun menggunakan metode Purposive Sampling berdasarkan perbedaan aktivitas dan posisi pulau. Pengambilan data karang menggunakan metode “Line Intercept Transect”. Nilai pesentase tutupan pada stasiun 1 sebesar 74,63%, stasiun 2 sebesar 62,57%, stasiun 3 sebesar 70,63%. Nilai rata-rata 69,28% dan tergolong dalam kategori baik. Diperoleh 10 bentuk pertumbuhan dan yang mendominasi adalah coral encrusting dan coral massive. Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS) berkorelasi sangat kuat terhadap persentase tutupan.
(14)
vii
vii
COVER PERCENTAGE AND LIFEFORM OF CORAL
LIVING IN UNGGE ISLAND OF TAPANULI TENGAH
ABSTRACT
The research about “ Cover Percentage And Lifeform of Coral Living In Ungge Island Regency of Tapanuli Tengah” has been done on February 2015. The research aims to find out the latest conditions of cover percentage of coral life and its relationship with the parameters of water chemistry physics. Determination station using purposive sampling method based on differences in the activity and position of the island. Coral data retrieval using the "Line Intercept Transect". Pesentage value cover at Station 1 at 74.63%, station 2 at 62.57% , station 3 amounted to 70.63%. The average value of 69.28% and classified in good category. Retrieved 10 forms and dominate the growth coral encrusting and coral massive. Total Suspended Solid (TSS) and Total Dissolved Solid (TDS) strongly correlate to the cover percentage of coral.
(15)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada pusat segitiga terumbu karang (the coral triangle) yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri lebih dari 17.480 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai 95.186 km (Mulyana & Agus, 2008). Luas ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 50.875 km2 (Wilkinson, 2008). Namun, sebagian besar dari luas terumbu karang tersebut telah mengalami kerusakan yang sangat serius. Data dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (2012), menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang hanya 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong kondisi sangat baik. Sementara 27,18 % tergolong dalam baik, 37,25 % tergolong dalam kondisi cukup baik, dan 30,45 % berada dalam kondisi buruk.
Kabupaten Tapanuli Tengah berada pada pantai barat pulau Sumatera. Kabupaten Tapanuli Tengah terbagi atas 20 kecamatan dengan luas wilayah secara keseluruhan 2.194.98 km2. Sebagian besar wilayah kabupaten berada pada daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada pada pulau-pulau kecil di sekitarnya (BPS, 2012). Pulau Ungge atau pulau unggas berada pada koordinat 01034’23” -01034’37” LU dan 98045’26”-98045’42” dan secara administrasi terletak di desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah pada koordinat BT. (COREMAP II, 2008).
Pulau Ungge memiliki topografi, terdiri dari dataran rendah dengan sedikit perbukitan pada arah barat. Pada bagian barat dan selatan terdapat pantai berbatu, sedangkan bagian utara dan timur dengan pantai berpasir. Paparan dasar laut sebelah selatan, barat dan utara landai dengan dasar pasir dan ditumbuhi terumbu karang, sedangkan sebelah timur curam dengan dasar laut yang dalam. Pada bagian barat, ditemukan ekosistem mangrove, kondisi pantai berpasir, dasar perairan yang landai dan tidak dalam serta kondisi terumbu karang yang masih baik (COREMAP II, 2008).
(16)
2
2
Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang menjadi lokasi pelaksanaan Coremap II. Program ini dilakukan sebagai upaya rehabilitasi dan pengelolaan sumber daya terumbu karang. Pulau Ungge adalah salah satu pulau yang dijadikan sebagai lokasi penelitian sejak tahun 2004 oleh program COREMAP tersebut. Penelitian terakhir oleh Sirait (2009) di Pulau Ungge yang berkerjasama dengan program COREMAP dengan metode Line Intercept Transect (LIT) memperoleh hasil persentase tutupan karang sebesar 63,37 % dengan kategori baik.
Perairan laut sebagai habitat dari terumbu karang memiliki hubungan erat untuk mendukung pertumbuhan terumbu karang. Adanya aktivitas masyarakat seperti snorkeling, penyelaman, lintas perahu nelayan di sekitar terumbu karang berpotensi untuk merusak karang. Adanya perubahan musim juga berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang. Hal ini baik pengaruh langsung maupun tidak langsung akan merubah faktor fisik kimia perairan di Pulau Ungge yang berdampak pada pertumbuhan karang. Untuk mengetahui kondisi terbaru mengenai persen tutupan karang dan bentuk pertumbuhan karang serta hubungannya terhadap faktor fisik kimia perairan di kawasan ini, maka perlu dilakukan penelitian mengenai “Persentase Tutupan dan Bentuk Pertumbuhan Karang Hidup di Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah”.
1.2Permasalahan
Keberadaan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan. Ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Ungge pada beberapa tahun terakhir dikhawatirkan telah mengalami penurunan kualitas disebabkan oleh faktor alam dan aktivitas manusia. Adanya aktivitas manusia berupa lintas perahu nelayan dan juga perubahan musim menyebabkan adanya perubahan pada faktor fisik kimia perairan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan dan persen tutupan terumbu karang hidup. Sejauh ini belum diketahui kondisi terbaru persentase tutupan dan bentuk pertumbuhan karang hidup serta hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan di Pulau Ungge, Kabupaten Tapanuli Tengah.
(17)
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi terbaru persen tutupan dan bentuk pertumbuhan karang hidup di Perairan Pulau Ungge.
2. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia perairan terhadap persen tutupan terumbu karang di Pulau Ungge.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah dan pihak terkait mengenai kondisi terbaru persen tutupan dan bentuk pertumbuhan terumbu karang di perairan Pulau Ungge serta kaitannya terhadap kondisi faktor fisik kimia perairan dalam rangka pengelolaan kawasan ekosistem terumbu karang.
(18)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas yang pemanfaatannya harus lestari. Ekosistem terumbu karang ini umumnya terdapat pada perairan dangkal dan jernih serta suhunya hangat dan memiliki kadar karbonat yang tinggi. Sinar matahari diperlukan untuk proses fotosintesis sedangkan kadar kapur yang tinggi diperlukan untuk membentuk kerangka hewan penyusun karang dan biota lainnya (Hadie, 2008).
Menurut Rembet (2008), ekosistem terumbu karang dibentuk dari berbagai komponen seperti karang batu, dan alga berkapur bersama dengan biota lainnya yang hidup di dasar perairan seperti molusca, crustacean, echinodermata, polychaeta, porifera, dan tunicate serta biota yang hidup bebas di perairan seperti plankton dan jenis-jenis ikan karang.
2.2 Terumbu Karang dan Karang
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (Timotius, 2003). Selanjutnya Kordi (2010) menyatakan bahwa terumbu karang dibedakan antara binatang karang (reef coral) sebagai suatu individu organisme atau komponen ekosistem dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem, termasuk di dalamnya organisme-organisme karang.
2.2.1 Biologi Karang
Karang merupakan penamaan umum untuk spesies dari kelompok Cnidaria, yang merupakan penyusun utama terumbu karang, khususnya spesies yang memiliki rangka yang terbuat dari calcium carbonat. Spesies yang memiliki kerangka keras dikenal dengan nama karang batu (hard coral) yang merupakan anggota dari kelas
(19)
Anthozoa. Semua spesies dari kelas Anthozoa bersifat radial simetri, dimana secara morfologi terkondisikan sebagai hewan yang hidup di dasar perairan. Kelas
Anthozoa dibagi menjadi dua sub kelas yaitu Alcyonaria yang merupakan kelompok karang lunak yang dicirikan dengan delapan buah tentakel, sedangkan sub kelas Zoantharia dicirikan dengan enam buah tentakel yang merupakan kelompok karang keras (Veron, 1993).
Terumbu karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel (Sorokin, 1993). Veron (1993), secara umum hewan karang hidup secara berkoloni dalam kerangka yang terbuat dari kapur yang disebut corralite serta eksoskeleton yang diproduksi dari jaringan epitel. Selanjutnya masing-masing polip karang dihubungkan oleh jaringan tipis yang disebut cenosark.
Ada dua tipe karang, yaitu karang yang dapat menghasilkan terumbu (reef) atau membentuk bangunan kapur yang disebut karang hermatifik (hermatypic corals atau reef building corals) dan karang ahermatifik (ahermatypic corals) yang tidak dapat membentuk terumbu atau bangunan karang (Kordi, 2010). Kemampuan hermatypic coral membentuk terumbu tidak lepas dari peranan
zooxanthellae yang merupakan kelompok mikroalga. Spesies yang umum ditemukan dalam jaringan karang adalah Sybiodinium microadriaticum dari kelompok Dinophyta (Veron, 1993). Keberadaan zooxanthellae dalam jaringan karang merupakan bentuk simbiosis yaitu simbiosis mutualisme. Nontji (1987), Sumich (1999) dan Burke et al. (2002) mengatakan bahwa zooxanthellae melalui proses fotosintesis membantu memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu proses pembentukan karang kapur. Sebaliknya polip karang akan menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa karbondioksida, fosfat, dan nitrogen yang digunakan zooxanthellae untuk fotosintesis dan pertumbuhannya.
2.2.2 Struktur Anatomi dan Morfologi Karang
(20)
6
6
a. Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.
b. Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular).
c. Dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang. Material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur) (Timotius, 2003).
Gambar 1. Morfologi Karang (Castro & Huber, 2005).
2.2.3 Reproduksi Karang
Karang bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Secara seksual, karang bereproduksi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut dengan planula (Suwingnyo et al, 2005). Menurut Timotius (2003) karang yang bereproduksi secara seksual memiliki cara yang beragam yang didasari pada penghasil gamet dan fertilisasi. Keragaman itu meliputi:
a. Gonokoris
Dalam satu jenis (spesies), telur dan sperma dihasilkan oleh individu yang berbeda. Sehingga terdapat karang jantan dan karang betina. Contoh: dijumpai pada genus Porites dan Galaxea.
(21)
b. Hermafrodit
Karang dengan sifat telur dan sperma dihasilkan oleh satu polip. Karang hermafrodit memiliki kematangan seksual yang berbeda, yaitu:
1. Hermafrodit yang simultan, yaitu karang yang menghasilkan sperma dan telur pada waktu yang bersamaan (egg-sperma packets). Contoh jenis Acroporidae, Favidae.
2. Hermafrodit yang berurutan, yaitu individu karang yang menjadi jantan dulu dan menghasilkan sel sperma, kemudian menjadi betina dan menghasilkan sel telur (protandri), atau menjadi karang betina terlebih dahulu dan menghasilkan sel telur kemudian menjadi jantan dan menghasilkan sel sperma (protogini). Contoh Stylophora pistillata dan
Goniastrea favulus.
Dari kedua tipe reproduksi karang secara seksual di atas, sebagian besar karang bersifat gonokoris.
Richmond (1996) dalam Munasik (2005) mengemukakan bahwa mekanisme pembuahan pada karang ada dua dimana ditentukan oleh cara pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Mekanisme pertama adalah karang yang melakukan brooding, yaitu telur-telur dibuahi secara internal di dalam gastrovasculer kemudian ditahan hingga perkembangannya mencapai stadium larva planula. Selanjutnya Timotius (2003) menyatakan planula yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk melekat pada dasar perairan untuk melanjutkan proses kehidupan. Sedangkan mekanisme kedua adalah karang yang melakukan
spawning yaitu telur dan sperma dilepaskan ke perairan dan pembuahan terjadi secara eksternal (external fertilization) selanjutnya embrio juga berkembang di perairan. Kebanyakan karang mencapai dewasa pada umur antara 7-10 tahun (Kordi, 2010).
Pada karang yang melakukan reproduksi secara aseksual tidak melibatkan peleburan antara gamet jantan dan gamet betina. Pada reproduksi ini, polip/koloni karang akan membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Reproduksi aseksual dibagi menjadi:
(22)
8
8 a. Pertunasan
Terbagi dua yaitu intertentakuler yaitu 1 (satu) polip membelah menjadi 2 polip sehingga polip baru tumbuh dari polip lama dan ekstratentakuler yaitu polip baru tumbuh diantara polip-polip yang lama.
b. Fragmentasi
Koloni baru terbentuk oleh patahan karang. terjadi terutama pada karang bercabang. Patahan (koloni) karang yang lepas dari koloni induk dapat membentuk tunas serta koloni baru.
c. Polip bailout
Polip baru terbentuk karena tumbuhnya jaringan yang keluar dari karang mati. Pada karang mati, kadang kala jaringan-jaringan yang masih hidup dapat meninggalkan skletennya untuk kemudian terbawa air. Jika menemukan dasaran yang sesuai, jaringan tersebut akan melekat dan tumbuh menjadi koloni baru.
d. Partogenesis
Larva tumbuh dari telur yang tidak mengalami fertilisasi. (Timotius, 2003).
2.3 Bentuk Pertumbuhan Karang
Karang pembentuk terumbu adalah hewan yang pada umumnya seperti bebatuan. Karang pembentuk terumbu atau karang batu terdiri dari beragam bentuk yang memiliki ciri-ciri yang berbeda di antara jenis satu dengan yang lainnya. Menurut English et al. (1994), bentuk pertumbuhan karang keras terbagi atas karang
acropora dan karang non-acropora. Karang non-acropora adalah karang yang tidak memiliki axial coralite yang terdiri atas:
a. Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki.
b. Coral Massive (CM), memiliki bentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi, permukaan karang halus dan padat. Dapat mencapai ukuran tinggi dan lebar sampai beberapa meter.
c. Coral Encrusting (CE), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta memiliki lubang-lubang kecil.
(23)
d. Coral Submassive (CS), cenderung untuk membentuk kolom kecil, wedge like.
e. Coral Foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol yang pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar.
f. Coral Mushroom (CMR), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. g. Coral Millepora (CME), yaitu karang api.
h. Coral Heliopora (CHL), yaitu karang biru.
Sedangkan untuk karang jenis acropora adalah karang yang memiliki
axial coralit dan radial coralite. Penggolongannya adalah sebagai berikut: a. Acropora Branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon. b. Acropora Encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada karang
yang belum sempurna.
c. Acropora Tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja.
d. Acropora Submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh. e. Acropora digitate (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti
jari-jari tangan.
2.4 Bentuk Formasi Terumbu Karang
Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang dibagi menjadi tiga tipe, yaitu terumbu karang tepi atau terumbu karang pantai (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), dan terumbu karang cincin (atoll). Terumbu karang tepi tumbuh mulai dari tepian pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang penghalang berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh goba (lagoon) yang dalamnya sekitar 40-75m. Sedangkan terumbu karang cincin membentuk cincin atau oval yang mengelilingi goba yang dalamnya 40-100 m. selain itu, di Indonesia terdapat jenis terumbu karang gosong (patch reef), seperti terumbu karang di Kepulauan Seribu di utara Pulau Jawa (Kordi, 2010).
(24)
10
10
2.5 Faktor-Faktor Pembatas Terumbu Karang
Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang serta kelestarian terumbu karang sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi lingkungan tidak selalu tetap, namun selalu dinamis karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam maupun aktivitas manusia. Berikut adalah beberapa faktor lingkungan pembatas kehidupan terumbu karang:
2.5.1 Cahaya
Cahaya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pertumbuhan hewan karang mengingat hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang menghasilkan kalsium karbonat pembentuk terumbu juga akan berkurang. Jumlah spesies terumbu karang dapat berkurang secara nyata pada kedalaman penetrasi cahaya sebesar 15-20% dari penetrasi permukaan yang secara cepat menurun mulai dari kedalaman 10 m (Mellawati et al., 2012).
2.5.2 Suhu
Karang pembentuk terumbu memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perubahan suhu. Meskipun batas toleransi karang terhadap suhu bervariasi antarspesies dan antardaerah pada spesies yang sama, tetapi dapat dinyatakan bahwa karang dan organisme terumbu hidup pada suhu dekat dengan batas toleransinya. Suhu optimum untuk pertumbuhan karang di perairan adalah berkisar antara 23-30 0C dengan suhu minimum 18 0C. Namun hewan karang masih bisa hidup sampai suhu 15 0C, tetapi akan terjadi penurunan pertumbuhan reproduksi, metabolisme serta produktivitas kalsium karbonat (Arini, 2013).
2.5.3 Kedalaman
Selain suhu faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan karang adalah kedalaman. Menurut Nybakken (1998), kedalaman berkaitan dengan pengaruh cahaya, sehingga kebanyakan terumbu karang hidup di kedalaman di bawah 25 m. Hewan karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m.
(25)
Kedalaman lebih dari 50-100 m (150-300 ft) juga terlalu dingin sehingga menghambat sekresi kalsium karbonat (Sverdrup, 2006). Semakin dalam suatu lautan maka penetrasi cahaya yang masuk semakin berkurang sehingga mempengaruhi laju fotosintesis pada karang.
2.5.4 Sedimentasi
Sedimentasi yang terjadi di ekosistem terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Sedimentasi dapat menutupi karang dan menghalangi proses makannya, dan juga dapat mengurangi cahaya yang diperlukan oleh zooxanthellae
dalam melakukan fotosintesis (Nybakken, 1992). Beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya aktivitas pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan (Arini, 2013).
2.5.5 Arus dan Gelombang
Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami arus dan gelombang cukup besar. Arus dan gelombang memberikan oksigen dalam air laut, mengurangi dan menghilangkan proses sedimentasi pada terumbu karang, serta mensuplai plankton dan sumber makanan lain yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang (Nybakken, 1992). Selain itu, arus juga berfungsi untuk pemindahan larva serta menghalau sampah (Tomascik et al., 1997)
2.5.6 Salinitas
Salinitas suatu perairan mempengaruhi pertumbuhan karang. Salinitas air laut di daerah tropis adalah sekitar 35‰. Salinitas optimum bagi pertumbuhan karang adalah sekitar 32-35‰ (Nybakken, 1992).
2.6 Ancaman Pada Ekosistem Terumbu Karang
Beberapa aspek penyebab kematian hewan karang adalah aspek biologis, fisik dan kimia. Secara biologis kematian hewan karang dapat terjadi karena pemangsaan
(26)
12
12
oleh beberapa spesies, serta adanya bioerosi oleh beberapa jenis organisme yang hidup dalam ekosistem. Predator hewan karang adalah Acanthaster planci dan
Drupela sp. sedangkan yang melakukan bioerosi adalah kelompok tumbuhan rendah seperti bakteri, filamentous alga yang masuk ke jaringan karang, juga kelompok fungi, sponge, poluchaeta, krustasea, sipincula, dan moluska. Dari aspek fisik, kerusakan terjadi karena beberapa hal seperti adanya gelombang besar, peningkatan suhu. Sedangkan dari aspek kimia adalah adanya polutan dari aktivitas manusia di daratan yang menyebabkan eutrofikasi, sedimentasi, polusi, serta masuknya air tawar yang berlebihan dari darat karena terjadi erosi melalui proses run-off (Purnomo & Mahmudi, 2008).
Selanjutnya Hadie (2008) menyatakan bahwa ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh karena adanya faktor alam. Ancaman tersebut dapat berupa angin topan, badai, tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh CoTs (Crown of Thorns, Starfish) dan pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang (bleaching).
2.7 Peranan Terumbu Karang
Secara umum, manfaat terumbu karang dalam Lampiran Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 adalah sebagai berikut: (a) pelindung pantai dari angin, pasang surut, arus dan badai; (b) sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang diperlukan bagi industri pangan, bioteknologi, dan kesehatan; (c) tempat hidup ikan-ikan, baik ikan hias maupun ikan target, yaitu ikan-ikan yang tinggal di terumbu karang; (d) tempat perlindungan bagi organisme laut; (e) penghasil bahan-bahan organik sehingga memiliki produktivitas organik yang sangat tinggi dan menjadi tempat mencari makan, tempat tinggal, dan penyamaran bagi komunitas ikan; (f) bahan konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri dan perhiasan, seperti karang batu; (g) merupakan daerah perikanan tangkap dan wisata karang yang secara sosial ekonomi memiliki potensi yang tinggi; (h) perlindungan pantai terhadap erosi gelombang.
(27)
BAB 3
METODA PENELITIAN
3.1Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 - 16 Februari 2015, di Perairan Pulau Ungge, Desa Sitardas, Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara.
3.2Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah SCUBA diving, perahu motor, roll meter, kamera bawah air, bola pelampung, kertas sabuk, pensil, lamhnot, refraktometer, termometer, secchi disk, erlenmeyer, spit 3 ml dan 5 ml, pipet tetes, GPS, pH meter, botol alkohol. Bahan yang digunakan adalah tissue, KOH-KI, MnSO4, H2SO4, amilum, Na2S2O3 0,0025 M.
3.3Penentuan Stasiun Pengamatan
Penentuan lokasi pengambilan data menggunakan metode Purposive Sampling dengan 3 stasiun pengamatan. Penentuan stasiun pengamatan mewakili kondisi perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah yang didasarkan ada tidaknya aktivitas masyarakat dan posisi pulau.
3.4 Deskripsi Stasiun 3.4.1 Stasiun 1
Daerah ini merupakan daerah alami yang secara geografis terletak pada 01034’38,20” LU dan 098045’29,53” BT. Daerah ini tidak ada aktifitas masyarakat dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
(28)
14
14
Gambar 2. Stasiun 1
3.4.2 Stasiun 2
Daerah ini secara geografis terletak pada 01034’29,87” LU dan 098045’00,1” BT. Di daerah ini terdapat dermaga yang merupakan tempat berlabuhnya perahu yang ingin masuk ke Pulau Ungge, daerah ini juga merupakan tempat peristirahatan perahu-perahu nelayan. Daerah ini berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia.
Gambar 3. Stasiun 2
3.4.3 Stasiun 3
Daerah ini merupakan daerah alami yang secara geografis terletak pada 01034’25,53” LU dan 098045’30.57” BT. Daerah ini jauh dari aktivitas masyarakat dan berhadapan langsung dengan daratan pulau Sumatera.
(29)
Gambar 4. Stasiun 3
3.5Pengamatan dan Pengambilan Data Karang
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Line Intercept Transect (LIT). Metode ini digunakan untuk menentukan komunitas bentik sesil di terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan dalam satuan persen, dengan cara mencatat semua biota bentik yang ada di sepanjang garis transek (COREMAP-LIPI, 2006).
Pengambilan data karang dilakukan pada kedalaman 5-7m. Teknis pelaksanaan, penyelam meletakkan pita berskala (roll meter) sepanjang 70 meter sejajar dengan garis pantai dimana posisi pantai berada di sebelah kiri. Pengamatan LIT dilakukan pada titik transek yaitu 0-10 m, 30-40 m, 60-70 m, jarak antar transek yaitu 20 m. Semua biota karang yang menyinggung garis transek dicatat berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form) (English et al.,
1997) hingga ketelitian sentimeter. Kondisi dasar, patahan karang, kehadiran karang lunak, karang mati yang yang menyinggung garis transek juga dicatat. Dan untuk mempermudah pengambilan data dilakukan pendokumentasian dengan bantuan kamera bawah air.
3.6Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
Parameter fisik kimia lingkungan yang dianalisis adalah parameter yang berpengaruh dan sebagai faktor pembatas terumbu karang. Beberapa parameter
(30)
16
16
yang dianalisis adalah suhu, pH, intensitas cahaya, salinitas, DO, BOD5, Total
Suspended Solid, Total Dissolved Solid.
3.6.1 Suhu
Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa yang berskala 0-100 0. Termometer dimasukkan ke dalam air dan dibiarkan selama beberapa menit sampai menunjukkan skala yang konstan lalu dibaca skala yang tertera pada termometer tersebut
3.6.2 Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH (derajat keasaman) dilakukan dengan menggunakan pH meter. pH meter dimasukkan ke dalam air yang sebelumnya telah dikalibrasi pada pH netral (pH = 7) selama beberapa menit kemudian dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
3.6.3 Intensitas Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan Luxmeter.
Luxmeter diletakkan pada tempat terbuka untuk menangkap cahaya. Faktor pengali disesuaikan dengan intensitas cahaya yang diperoleh kemudian dicatat.
3.6.4 Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Diteteskan sampel air pada kaca refraktometer dengan menggunakan pipet tetes, kemudian ditutup dan dibaca skala yang tertera pada alat tersebut.
3.6.5 Oksigen Terlarut (DO)
Pengukuran oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan metode Winkler. Sampel air diambil dan dimasukkan ke dalam botol Winkler, kemudian ditetesi dengam MnSO4 dan KOHKI masing-masing sebanyak 1 ml, dihomogenkan dan didiamkan selama beberapa saat sampai terbentuk endapan berwarna putih atau kecoklatan. Selanjutnya ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 lalu dihomogenkan sampai terbentuk endapan cokelat. Diambil sebanyak 100 ml sampel tersebut dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan
(31)
menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat. Selanjutnya ditetesi dengan 5 tetes amilum dihomogenkan hingga berwarna biru. Lalu dititrasi lagi dengan Na2S2O3 0,125 N sampai air berwana bening. Jumlah Na2S2O3 0,125 N yang terpakai menunjukkan kadar oksigen terlarut pada perairan tersebut (Lampiran B).
3.6.6 Biochemical Oxygen Demand (BOD5)
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metode Winkler, yaitu dengan cara mengukur DO air yang telah diinkubasi selama 5 hari sebagai DO akhir air. Nilai dari BOD5 adalah hasil pengurangan dari nilai DO awal dengan nilai DO akhir air (Lampiran C).
3.6.7 Total Suspended Solid (TSS)
Pengukuran Total Suspended Solid (TSS) dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri. Pengambilan air sampel diambil pada kedalaman pemasangan transek menggunakan Lamhnot. Selanjutnya dianalisa secara laboratorium di BTKLPP Kelas 1 Medan.
3.6.8 Total Dissolved Solid (TDS)
Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS) dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri. Pengambilan air sampel diambil pada kedalaman pemasangan transek menggunakan Lamhnot. Selanjutnya dianalisa secara laboratorium Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas 1 Medan.
Selanjutnya pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.6.
(32)
18
18
Tabel 3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan Alat/Metode yang digunakan
No Parameter Satuan Alat/Metode Tempat
Pengukuran
1 Suhu 0C Termometer In-situ
2 pH - pHmeter In-situ
3 Intensitas Cahaya Candela Luxmeter In-situ
4 Salinitas ‰ Refraktometer In-situ
5 DO mg/L Winkler In-situ
6 BOD5 mg/L Winkler Laboratorium
7 Total Suspended Solid mg/L Gravimetri Laboratorium 8 Total Dissolved Solid mg/L Gravimetri Laboratorium
3.7Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menghitung persentase tutupan terumbu karang dan korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan persentase tutupan karang
3.7.1 Persentase Tutupan Karang
Persentase tutupan terumbu karang dapat dihitung dengan rumus dari English et al (1997) yaitu:
Dimana L : Persentase tutupan karang Li : Panjang suatu kategori karang N : Luas Pengamatan
Gomez dan Yap (1988) membagi kategori tutupan karang terbagi dalam 4 kategori yaitu:
Kategori Buruk : 0 - 24,9 % Kategori Sedang : 25 - 49,9 %
Kategori Baik : 50 - 74,9 %
Kategori Sangat Baik : 75 - 100%
3.7.2 Analisis Korelasi
Untuk mengetahui hubungan antara faktor-fisik kimia perairan dengan persentase tutupan terumbu karang dilakukan uji korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS ver. 16.
(33)
Menurut Sugiyono (2005), interval korelasi dan tingkat hubungan antar faktor adalah sebagai berikut:
a. Jika nilai = 0,00 – 0,199 : Tingkat hubungan sangat rendah b. Jika nilai = 0,20 - 0,399 : Tingkat hubungan rendah c. Jika nilai = 0,40 – 0,599 : Tingkat hubungan sedang d. Jika nilai = 0,60 – 0,799 : Tingkat hubungan kuat
(34)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Persentase Tutupan Karang
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Pulau Ungge persentase tutupan karang pada masing-masing stasiun penelitian seperti terlihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Persentase tutupan karang pada setiap stasiun penelitian.
No Bentuk Pertumbuhan Kode Stasiun 1 (%) Stasiun 2 (%) Stasiun 3 (%) Rata-rata (%) A Acropora
1 Acropora Branching ACB 6.33 3.67 3.10 4.37
2 Acropora Digitate ACD 2.13 2.90 5.83 3.62
3 Acropora Encrusting ACE 8.57 9.17 6.10 7.94
4 Acropora Submassive ACS 7.27 6.93 5.77 6.66
5 Acropora Tabulate ACT 2.50 0.00 2.83 1.78
Sub total 26.80 22.67 23.63 24,37
B Non-Acropora
1 Coral Branching CB 5.93 8.93 6.17 7.01
2 Coral Encrusting CE 20.23 12.57 14.93 15.91
3 Coral Foliose CF 4.70 0.97 6.83 4.17
4 Coral Massive CM 12.10 12.53 8.10 10.91
5 Coral Mushroom CMR 3.00 2.17 3.77 2.98
6 Coral Submassive CS 0,73 2.73 4.20 2.56
7 Coral Millepora CME 1.13 0.00 1.63 0.92
8 Coral Heliopora CHL 0.00 0.00 1.37 0.46
Sub Total 47.82 39.90 47.00 44.91
Total 74.63 62.57 70.63 69.28
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun diperoleh bahwa persentase tutupan karang pada stasiun 1 sebesar 74,63 %, stasiun 2 sebesar 62,57%, dan stasiun 3 dengan sebesar 70,63%. Persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 74,63 % sedangkan persentase tutupan karang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 62,57%. Tingginya persentase tutupan karang pada stasiun 1 dan stasiun 3 disebabkan daerah ini masih alami dan tidak banyak aktifitas manusia. Sedangkan pada stasiun 2, daerah ini merupakan dekat dengan dermaga dan merupakan jalur bagi perahu-perahu nelayan yang ingin berlabuh untuk beristirahat di pulau ini. Menurut Westmacott
et al. (2000), kerusakan pada ekosistem terumbu karang selain disebabkan oleh faktor alam juga sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia yang merusak terumbu karang. Salah satu aktivitas manusia tersebut yakni penangkapan ikan
(35)
oleh nelayan, dimana pada saat menangkap ikan nelayan melabuhkan jangkar kapal ke daerah yang terdapat terumbu karang. Selain itu menurut Supriharyono (2000) menyatakan bahwa kegiatan wisata bahari juga berpotensi untuk menurunkan kualitas dan fungsi perairan yang mengakibatkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang.
Hasil penelitian persentase tutupan karang yang dilakukan pada 3 stasiun di Pulau Ungge tahun 2015 menunjukkan kondisi terumbu karang berada dalam kategori baik. Hal ini diketahui dari nilai rata-rata persentase secara keseluruhan tutupan karang adalah 69,28%. Menurut Gomez & Yap (1988) nilai persentase tutupan karang pada kisaran 50 – 74,9 % berada pada kategori baik.
Penelitian dan monitoring persentase tutupan karang di sekitar perairan desa Sitardas termasuk Pulau Ungge telah dilakukan oleh COREMAP (2004). Penelitian terakhir oleh Sirait (2009) mendapatkan nilai persentase tutupan karang di Pulau Ungge sebesar 63,37%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase tutupan karang di Pulau Ungge dari tahun 2009 ke tahun 2015 terjadi peningkatan yaitu dari 63,37% menjadi 69,28%. Adanya kegiatan transplantasi karang yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah dan juga sosialiasi pentingnya ekosistem terumbu karang yang dilakukan oleh COREMAP kepada masyarakat memberikan dampak positif terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di pulau ini.
Gambar 5. Grafik Perbandingan Persentase Tutupan Bentuk Pertumbuhan Karang Hidup
(36)
22
22
Persentase tutupan karang hidup ditunjukkan oleh persentase tutupan karang Acropora dan non-Acropora. Persentase tutupan karang Acropora pada stasiun 1 sebesar 26,80%, stasiun 2 sebesar 22,67% dan stasiun 3 sebesar 23,63%. Sedangkan persentase tutupan karang non-Acropora pada stasiun 1 sebesar 47,82%, stasiun 2 sebesar 39,90%, dan stasiun 3 sebesar 47,91 %. Hasil ini menunjukkan bahwa bentuk pertumbuhan karang hidup di perairan Pulau Ungge didominasi oleh karang non Acropora dengan rata-rata persentase tutupan sebesar 44,91 % sedangkan rata-rata persentase tutupan karang Acropora adalah 24,37 %. Hal ini disebabkan oleh faktor kekeruhan dan cahaya karena kedua faktor ini saling berkaitan. Hasil penelitian Tuti et al. (2010) menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara tingkat kekeruhan dengan persentase tutupan karang di Kepulauan Seribu yang didominasi oleh karang non Acropora. Kondisi perairan yang keruh menyebabkan tidak semua karang dapat tumbuh dengan baik. Hanya jenis-jenis karang batu yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang mampu bertahan hidup. Banyaknya partikel dalam suatu perairan mengindikasikan tingkat kekeruhan. Dalam hal ini akan mempengaruhi jumlah cahaya yang masuk ke dalam air. Menurut Kojis et al. (2006), kurangnya cahaya pada karang Acropora akan mengakibatkan stress berupa berkurangngya kemampuan reproduksi karang Acropora sehingga mengakibatkan berkurangnya jumlah koloni karang tersebut.
Bentuk pertumbuhan kelompok Acropora dari masing-masing stasiun penelitian didominasi oleh Acropora Encrusting (ACE)dan Acropora Submassive
(ACS). Rata-rata persentase tutupan Acropora Encrusting (ACE) dan Acropora Submassive (ACS) masing-masing sebesar 7,94% dan 6.66%. Selanjutnya bentuk pertumbuhan Acropora Branching (ACB) dengan rata-rata persentase tutupan sebesar 4,37% dan Acropora Digitate (ACD) dengan rata-rata persentase tutupan sebesar 3,62%. Sedangkan bentuk pertumbuhan kelompok Acropora dengan rata-rata persentase tutupan terendah diperoleh pada Acropora Tabulate sebesar 1.78%.
Bentuk pertumbuhan kelompok non Acropora dari masing-masing stasiun penelitian di Pulau Ungge didominasi oleh Coral Encrusting (CE) dan Coral Massive (CM). Rata-rata persentase tutupan Coral Encrusting (CE) sebesar 15,91
(37)
% dan Coral Massive (CM) sebesar 10,91%. Selanjutnya Coral Branching (CB) sebesar 7,01 %, Coral Foliose (CF) sebesar 4,17%, Coral Mushroom (CMR) sebesar 2,98%, Coral Submassive sebesar 2,56%. Bentuk pertumbuhan dari kelompok karang non Acropora dengan persentase tutupan terendah adalah Coral Millepora (CME) sebesar 0,92% dan Coral Heliopora (CHL) sebesar 0,46%.
Menurut English et. al (1994), jenis karang yang dominan di suatu habitat tergantung oleh lingkungan atau kondisi dimana karang tersebut hidup. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya,
hydrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan makanan, sedimen, perairan terbuka dan faktor genetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pertumbuhan karang di Pulau Ungge didominasi oleh bentuk pertumbuhan yang mengerak (Encrusting). Hasil penelitian sebelumnya oleh Sirait (2009) juga memperoleh bahwa bentuk pertumbuhan mengerak (Encrusting) mendominasi di perairan Pulau Ungge. Hal ini disebabkan karena Pulau Ungge termasuk perairan terbuka dan memilki arus yang cukup kuat. Menurut Supriharyono (2000), tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang, dengan adanya kecenderungan semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke arah bentuk pertumbuhan mengerak (Encrusting).
4.2 Persentase Tutupan Kategori Dead Coral, Algae, Other Biota dan Abiotic Selain persentase tutupan karang hidup, dalam penelitian ini juga diperoleh persentase tutupan kategori dead coral seperti kehadiran karang mati (Dead Coral/DC) akibat pemutihan, karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae/DCA); kategori Other Biota seperti kehadiran karang lunak (Soft Coral/SC), makrozoobenthos dan biota lain (Other/OT); kategori alga seperti kehadiran makroalga (MA); serta kategori Abiotic seperti kehadiran patahan karang (Rubble/R), pasir (Sand/S) dan batu (Rock/RCK) pada masing-masing stasiun penelitian. Masing-masing nilai persentase tutupan kategori tersebut dapat dilihat di (lampiran 8).
(38)
24
24
Gambar 6. Grafik Perbandingan Persentase Tutupan Kategori Dead Coral, Algae, Other Biota Dan Abiotic.
Meskipun persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Ungge termasuk dalam kategori baik, tetapi ditemukannya dead coral atau karang mati yang disebabkan pemutihan dengan rata-rata persentase tutupan yang cukup tinggi sebesar 5,20% dan juga dead coral algae atau karang mati yang ditumbuhi alga dengan rata-rata persentase tutupan sebesar 7,78 % (Lampiran 8) menunjukkan adanya kerusakan pada ekosistem terumbu karang di Pulau ini. Kerusakan pada ekosistem terumbu karang ini disebabkan oleh adanya aktivitas manusia berupa penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Selain itu adanya perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan pemutihan karang . Ikawati et al. (2001) menyatakan bahwa adanya perubahan iklim menyebabkan adanya perubahan suhu laut dan dengan kenaikan suhu tersebut maka kehidupan karang yang semula terbiasa pada suhu konstan akan terancam rusak.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diperoleh juga persentase tutupan patahan karang (rubble) yang tergolong cukup tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 5,98%. Persentase tutupan patahan karang tertinggi diperoleh pada stasiun 2 sebesar 8,37 (Lampiran 8). Hal ini disebabkan daerah ini dijadikan sebagai tempat peristirahatan atau tempat persinggahan nelayan. Umumnya nelayan membuang jangkarnya pada daerah karang sehingga menyebabkan patahan pada karang.
(39)
4.3 Faktor Fisik-Kimia Perairan Pulau Ungge
Hasil pengukuran parameter fisik kimia perairan meliputi suhu, pH, intensitas cahaya, salinitas, DO, BOD5, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Nilai faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun penelitian
No Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Suhu 0C 28,5 29 28
2 Intensitas cahaya Candela 790 720 680
3 Salinitas ‰ 31 31 30
4 pH - 7.9 7.80 7.80
5 DO mg/l 6.00 6.1 5.5
6 BOD5 mg/l 1,7 1,9 2,1
7 Total Suspended Solid (TSS)
mg/l <5 9 7
8 Total Dissolved Solid (TDS)
mg/l 31.7 32.3 32.2
4.3.1 Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu faktor pembatas dari pertumbuhan karang. Dari Tabel 4.2 di atas diperoleh bahwa nilai suhu di setiap stasiun penelitian berada pada kisaran 28-290C. Suhu tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 290C dan suhu terendah pada stasiun 3 yaitu 280C. Berdasarkan baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, kisaran suhu yang optimal untuk biota karang adalah 28-300C. Jadi kisaran suhu di kawasan perairan ini masih tergolong baik untuk pertumbuhan dan perkembangan biota karang.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Pulau Ungge oleh Sirait (2009), suhu perairan Pulau Ungge berkisar 280C, sedangkan hasil penelitian ini diperoleh suhu dengan rata-rata 28,50C. Namun peningkatan ini tidak langsung menyebabkan kematian pada karang. Neudecker (1987) menyatakan bahwa peningkatan suhu beberapa derajat di atas ambang batas (≈ 2-3 0C) dapat mengurangi laju pertumbuhan dan kematian yang luas pada spesies-spesies karang secara umum.
(40)
26
26
4.3.2 Intensitas Cahaya
Berdasarkan Tabel 4.2, nilai intesitas cahaya di perairan Pulau Ungge berada pada kisaran 720-820 candela. Pengukuran intesitas cahaya dilakukan pada waktu pagi menjelang siang. Hasil pengukuran intesitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 790 candela, disebabkan pada saat pengukuran cuaca cerah. Sedangkan nilai intesitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 680 candela disebabkan pada saat pengukuran cuaca mendung.
Cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi kehidupan terumbu karang. Adanya zooxanthelae yang bersimbiosis dengan karang menyebabkan karang umumya hidup di tempat dangkal dan jernih.
Zooxanthelae tersebut memerlukan cahaya untuk proses fotosintesis, tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat juga akan berkurang. Veron (1995), karang pembangun terumbu memanfaatkan cahaya untuk produksi CaCO3. Selain itu cahaya diperlukan oleh karang untuk proses perkembangan larva karang. Penelitian Babcock dan Mundy (1996) pada skala laboratorium dengan menggunakan intesitas cahaya berbeda menyatakan bahwa cahaya merupakan variabel yang bertanggung jawab terhadap orientasi penempelan larva karang.
4.3.3 Salinitas
Nilai salinitas perairan pada stasiun penelitian berkisar 30-31 ‰. Stasiun 1 dan 2 memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi sebesar 31 ‰ disebabkan karena berhadapan langsung dengan samudera. Sedangkan stasiun 3 salinitas sebesar 30 ‰ karena berhadapan dengan daratan sumatera. Posisi pulau yang dekat dengan daratan pulau Sumatera dan adanya sungai yang mengalir langsung ke laut mampu mempengaruhi nilai salinitas.
Penelitian sebelumnya oleh Sirait (2009), hasil pengukuran untuk salinitas di Pulau Ungge berkisar 29‰. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan salinitas di perairan Pulau Ungge. Peningkatan salinitas diduga karena semakin tingginya aktivitas manusia baik di sekitar sungai maupun di pesisir laut Pulau Ungge.
(41)
Menurut Supriharyono (2000), pengaruh salinitas terhadap hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Selanjutnya Buddeimer dan Kinzie (1976)
dalam Muttaqien (2012), karang tidak dapat bertahan di perairan yang memiliki salinitas dibawah 25‰ atau di atas 40‰.
4.3.4 pH
Hasil pengukuran pada stasiun penelitian nilai pH perairan berkisar 7,8 – 7,9. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, pH perairan laut berkisar 7-8,5. Hal ini menunjukkan bahwa pH perairan Pulau Ungge masih tergolong baik untuk biota laut sesuai dengan standar baku mutu air laut.
Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang penting dalam memantau kestabilan perairan karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan pencemar dalam air (Effendi, 2003). Menurut Burke et al. (2012), peningkatan CO2 di lautan dapat mengubah kimia lautan. Peningkatan pengasaman laut dapat meperlambat laju pertumbuhan karang dan pada akhirnya akan melemahkan karang. Perubahan nilai pH terhadap organisme aquatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi (Simajuntak, 2012).
4.3.5 DO (Demand of Oxygen)
Hasil pengukuran oksigen terlarut di lokasi penelitian berkisar antara 5,5 -6,1 mg/L. Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, bahwa DO perairan untuk mendukung kehidupan biota laut adalah >5 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa DO perairan Pulau Ungge masih bagus untuk kehidupan biota laut.
Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan karang. Oksigen terlarut digunakan dalam proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak. Adanya perubahan konsentrasi oksigen terlarut dalam badan air dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian karang dan efek tidak langsung berupa peningkatan tingkat toksisitas bahan pencemar (Romimohtarto, 1991).
(42)
28
28
Kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung dari beberapa faktor seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut (Salmin, 2005). Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut akan bertambah dengan semakin bertambah suhu dan akan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kedalaman juga memberikan pengaruh, dimana semakin bertambah kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut.
4.3.6 BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Nilai BOD5 pada lokasi penelitian berkisar antara 1,4-2,1 mg/L. Berdasarkan baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, batas BOD5 perairan laut untuk mendukung biota laut adalah 20 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa BOD5 hasil penelitian masih mendukung untuk kehidupan biota laut.
Parameter BOD5, secara umum digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran. Menurut Wirosarjono (1974) dalam Salmin (2005), Nilai BOD dengan kisaran 0-10 termasuk dalam kategori pencemaran rendah, nilai 10-20 termasuk dalam kategori pencemaran sedang dan nilai 25 termasuk dalam kategori pencemaran tinggi. Hasil pengukuran nilai BOD5 menunjukkan bahwa perairan Pulau Ungge termasuk dalam kategori tingkat pencemaran rendah.
BOD merupakan parameter yang menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan bahan-bahan-bahan buangan dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut (DO) dalam air, maka kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen untuk diuraikan adalah tinggi (Kristanto, 2002).
4.3.7. TSS (Total Suspended Solid)
Hasil Pengukuran TSS di laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Provinsi Sumatera Utara berkisar <5 – 9 mg/L. Berdasarkan baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, batas padatan tersuspensi total suatu perairan untuk mendukung biota
(43)
laut adalah 20 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah padatan yang tersuspensi dalam badan air di perairan pulau ungge memenuhi untuk kehidupan karang. Padatan tersuspensi total, kecerahan dan kekeruhan perairan merupakan parameter yang saling berkaitan (Kusumaningtyas et al, 2014).
Menurut Connel & Miller (1995), zat padat tersuspensi mampu menghambat penetrasi cahaya matahari, sehingga proses fotosintesis dalam perairan oleh organisme fotosintetik tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara.
Menurut Brown (1987) dalam Sirait (2009) salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan. Sejalan dengan adanya pembangunan mengakibatkan jumlah aliran air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah besar, nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem pembuangan, dan juga bahan pencemar lain seperti bahan bakar minyak dan insektisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan pada lingkungan perairan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya matahari yang mencapai karang serta dapat menyebabkan pemutihan dan kematian karang.
4.3.8 TDS (Total Dissolved Solid)
Hasil pengukuran sampel air laut di laboratorium BTKLPP Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa total dissolved solid berada pada kisaran 31,7 mg/L- 32,3 mg/L. Menurut Sastrawijaya (2000) jumlah padatan terlarut (TDS) mencerminkan jumlah kepekatan dalam suatu contoh air yang mempengaruhi ketransparanan dan warna air.
4.4 Analisis Korelasi Faktor Fisik Kimia Perairan terhadap Persentase Tutupan Karang Hidup di Pulau Ungge.
Hasil uji korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan persentase tutupan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
(44)
30
30
Tabel. 4.4 Nilai korelasi antara faktor fisik-kimia terhadap persentase tutupan karang
Parameter Fisika Kimia Nilai Korelasi
Suhu -0,656
Intensitas cahaya 0,469
Salinitas -0,191
pH 0,141
DO -0,341
BOD5 -0,326
Total Suspended Solid -0,982
Total Dissolved Solid -0,848
Hasil uji korelasi antara beberapa faktor fisik kimia perairan dengan persentase tutupan karang hidup, dimana hubungan yang positif (+) adalah hubungan yang searah antara faktor fisik kimia perairan dengan persentase tutupan artinya semakin tinggi nilai faktor fisik kimia perairan maka semakin tinggi nilai persentase tutupan karang sedangkan hubungan yang negative (-) adalah hubungan yang berlawanan antara faktor fisik kimia dengan persentase tutupan karang artinya semakin tinggi nilai faktor fisik kimia maka semakin rendah nilai persentase tutupan karang. Berdasarkan tabel korelasi di atas dapat diketahui bahwa intensitas cahaya dan pH berkorelasi posistif sedangkan suhu, salinitas, DO, BOD5, TSS dan TDS berkorelasi negatif.
Hasil analisis uji korelasi juga menunjukkan hubungan masing-masing parameter fisik kimia perairan terhadap persentase tutupan karang. Berdasarkan tabel korelasi di atas, dapat diketahui bahwa Total Suspended Solid, Total Disolved Solid (interval 0,848 – 0,982) memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap persentase tutupan karang di Pulau Ungge. Suhu memiliki korelasi yang kuat terhadap persentase tutupan karang dengan nilai 0,656. Intensitas cahaya, DO dan BOD5 berkorelasi cukup (interval 0,326 – 0,469). Sedangkan pH dan Salinitas memiliki nilai korelasi yang sangat lemah dibandingkan parameter fisik kimia lainnya (interval 0,141 -0,191).
Korelasi yang sangat kuat antara persentase tutupan karang dengan TSS dan TDS disebabkan karena TSS dan TDS merupakan parameter fisika-kimia yang berkaitan terhadap kekeruhan dan kecerahan suatu perairan. Sebaran dan total padatan secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi biota laut. Secara langsung akan berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan mekanik biota laut
(45)
dan secara tidak langsung akan menghalangi penetrasi cahaya matahari yang berdampak terhadap proses fotosintesis dan kadar oksigen terlarut dalam perairan (Tomascik et al., 1991).
Hasil uji korelasi juga menunjukkan bahwa suhu berkorelasi kuat terhadap persentase tutupan karang hidup di Pulau Ungge. Hal ini disebabkan suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi stabilitas dari ekosistem terumbu karang. Menurut Adriman et al (2012) suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas metabolisme, perkembangbiakan dan proses fisiologis organisme. Selanjutnya Kurniawan (2011) selain kecepatan metabolisme dan reproduksi, suhu juga mempengaruhi perombakan bentuk luar dari karang, dan sebaran karang.
(46)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian yang telah dilakukan di ekosistem terumbu karang di Perairan Pulau Ungge diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Persentase tutupan karang di Pulau Ungge adalah sebesar 69,28%, tergolong dalam kategori baik.
b. Bentuk pertumbuhan karang hidup yang terdapat di Pulau Ungge dari kelompok karang Acropora adalah Acropora branching, Acropora Digitate, Acropora Encrusting, Acropora Submassive, dan Acropora Tabulate, sedangkan dari kelompok non Acropora adalah Coral branching, Coral Encrusting, Coral Foliose, Coral Massive, Coral Mushroom, Coral Submassive, Coral Millepora dan Coral Helioppora.
c. TSS dan TDS berkorelasi negatif dan berpengaruh sangat kuat terhadap persentase tutupan karang.
5.2 Saran
1. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan bentuk pertumbuhan pada kedalaman yang berbeda.
(47)
DAFTAR PUSTAKA
Adriman., Ari, P., Sugeng, B., Ario, D. 2012. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Jurnal Berkala Terubuk. Vol 4 (1).
Arini, D.I.D. 2013. Potensi Terumbu Karang Indonesia “Tantangan dan Upaya Konservasinya”. Jurnal Info BPK Manado. 3:147-173.
Babcock, R.C And Mundy, C. 1996. Coral Recruitment: Consequences for settlement choice for early growth and survivorshop in two scleractinians.
Experimental Marine Biology And Ecology. 206:179-201
Birkeland, C. 1997. Life and Death of coral reefs. Chapman & Hall. New York. [BPS] Badan Pusat Statistik-Kabupaten Tapanuli Tengah. 2012. Statistik Daerah
Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012. Tapanuli Tengah.
Burke, L., Elizabeth, S., Mark, S. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara. World Resources Institute. USA.
Burke, L., Katheleen, R., Mark, S., Allison, P. 2012. Reefs at Risk Revisited In The Coral Triangle. World Resources Intitute. ISBN 978-1-56973-791-0. Castro, P., Michael, E.H. 2005. Marine Biology. Fifth Edition. Mc.Graw Hill
Higher Education. New York.
[COREMAP] Coral Reef Management Project II, 2008. Buletin COREMAP II Provinsi Sumatera Utara: Midterm Review ADB. Edisi ke-3. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera, Medan.
Connel, W.D., Miller, G.J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Terjemahan: Yanti Koestoer. Universitas Indonesia. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan. Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogjakarta.
English, et, al,. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia
English, S.A., Wilkinson, C., Baker, V. 1997. Survey Manual fo Tropical Marine Resources. 2.nd Edition. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia.
Gomez, E.D. & H.T.Yap. 1988. Monitoring Reef Condition. Coral Reef Management Handbook. UNESCO. Jakarta
(1)
LINE INTERCEPT TRANSECT
Identitas Stasiun
: Stasiun 2 (Daerah Dekat Dermaga, Berhadapan
Perairan S. Hindia)
Titik Koordinat
: 01
034’29,87” LU dan 098
045’00,1” BT
Tahun
: 2015
Tanggal/ Waktu
: 13 Februari 2015/ 10.00 – 10.30 WIB
Cuaca
: Cerah
No. Pengulangan
01
No. Pengulangan
02
No. Pengulangan
03
Peneliti
Tonis H.
Peneliti
Tonis H.
Peneliti
Tonis H.
Waktu Mulai
10.00 WIB Waktu Mulai
10.15WIB
Waktu Mulai
10. 30WIB
Waktu Selesai
10.10 WIB
Waktu Selesai
10.25 WIB
Waktu Selesai
10.40 WIB
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Trans.
Kode
Pertumb
Panjang
(cm)
Trans.
Kode
Pertumb
Panjang
(cm)
Trans.
Kode
Pertumb
Panjang
(cm)
28
S
28
3012
CM
12
6015
ACB
15
59
R
31
3046
DCA
34
6040
CB
25
83
CB
24
3061
S
15
6062
CE
22
141
CM
58
3102
DCA
41
6102
R
40
169
ACD
28
3111
CM
9
6126
CM
24
200
DC
31
3124
CMR
13
6148
DC
22
212
OT
12
3133
R
9
6189
CB
41
241
ACS
29
3192
ACE
59
6243
ACE
54
264
CB
23
3213
CM
21
6277
R
34
272
SC
8
3249
DCA
36
6293
ACB
16
301
ACB
29
3293
S
44
6307
DCA
14
321
CM
20
3308
DC
15
6325
CS
18
350
R
29
3329
ACD
21
6341
RCK
16
361
CMR
11
3356
CM
27
6357
CMR
16
374
R
13
3389
DC
33
6369
OT
12
396
CB
22
3425
CB
36
6393
ACS
24
422
ACE
26
3450
CS
25
6411
DC
18
437
CM
15
3461
S
11
6434
CM
23
496
CE
59
3518
CM
57
6489
R
55
513
DC
17
3540
MA
22
6507
CM
18
540
CM
27
3580
R
40
6535
DC
28
555
DC
15
3597
CB
17
6589
ACS
54
571
CMR
16
3624
ACS
27
6623
SC
34
591
ACE
20
3653
SC
29
6682
CE
59
623
S
32
3662
CMR
9
6702
DCA
20
646
CE
23
3728
DC
66
6723
ACS
21
703
DCA
57
3741
S
13
6754
R
31
719
SC
16
3798
CE
57
6783
CF
29
751
CE
32
3814
DCA
16
6813
ACB
30
794
R
43
3853
CS
39
6856
ACE
43
811
OT
17
3882
ACE
29
6896
CB
40
822
CM
11
3902
ACB
20
6924
CE
28
866
ACE
44
3940
ACD
38
6978
CM
54
889
DC
23
3960
CE
20
7000
ACS
22
925
S
36
4000
CB
40
947
CE
22
(2)
LINE INTERCEPT TRANSECT
Identitas Stasiun
: Stasiun 3 (Daerah Alami, Berhadapan
Daratan P. Sumatera)
Titik Koordinat
: 01
034’25,53” LU dan 098
045’30.57” BT
Tahun
: 2015
Tanggal/ Waktu
: 14 Februari 2015/ 10.00 – 10.30 WIB
Cuaca
: Cerah
No. Pengulangan
01
No. Pengulangan
02
No. Pengulangan
03
Peneliti
Tonis H.
Peneliti
Tonis H.
Peneliti
Tonis H.
Waktu Mulai
10.00 WIB Waktu Mulai
10.15WIB
Waktu Mulai
10. 30WIB
Waktu Selesai
10.10 WIB
Waktu Selesai
10.25 WIB
Waktu Selesai
10.40 WIB
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Trans.
Kode
Pertumb
Panjang
(cm)
Trans.
Kode
Pertumb
Panjang
(cm)
Trans.
Kode
Pertumb
Panjang
(cm)
16
CM
16
3021
CE
21
6020
CF
20
39
ACE
23
3029
CM
8
6061
CHL
41
57
CE
18
3039
CMR
10
6089
R
28
69
CMR
12
3051
MA
12
6098
OT
9
91
CE
22
3080
CS
29
6123
ACB
25
109
CMR
18
3090
OT
10
6154
CB
31
129
DCA
20
3111
CE
21
6169
R
15
163
ACB
34
3128
CS
17
6179
CMR
10
179
SC
16
3139
SC
11
6198
ACS
19
223
CS
44
3197
ACD
58
6215
CE
17
246
R
23
3218
SC
21
6242
S
27
261
S
15
3270
ACS
52
6253
CMR
11
283
RCK
22
3291
R
21
6282
ACE
29
312
ACE
29
3302
S
11
6296
OT
14
331
DC
19
3332
DC
30
6375
CE
79
342
R
11
3366
ACB
34
6393
CM
18
379
ACT
37
3382
OT
16
6423
CE
30
421
CE
42
3407
CM
25
6469
SC
46
446
DCA
25
3449
S
42
6510
CF
41
487
ACD
41
3467
DCA
18
6546
CS
36
512
ACE
25
3489
R
22
6571
ACD
25
539
CF
27
3522
DCA
33
6610
ACE
39
581
CB
42
3571
CME
49
6631
DC
21
598
CE
17
3603
CB
32
6653
CE
22
611
SC
13
3644
ACS
41
6672
CM
19
687
DCA
76
3673
ACD
29
6708
R
36
737
CM
50
3711
ACE
38
6737
DCA
29
751
DC
14
3733
DCA
22
6761
ACS
24
(3)
Keterangan
Hard Coral
a. Acropora
b. Non Acropora
ACB :
Acropora Branching
CB :
Coral Branching
ACE :
Acropora Ecrusting
CE :
Coral Encrusting
ACS :
Acropora Submassive
CS :
Coral Submassive
ACD :
Acropora Digitate
CM :
Coral Massive
ACT :
Acropora Tabulate
CF : Coral Foliose
CMR :
Coral Mushroom
CHL :
Coral Heliopora
CML :
Coral Millepora
c. Other Biota
SC
:
Soft Coral
OT
:
Other Biota
d. Algae
MA
: Makro Alga
e. Death Coral
DC
:
Dead Coral
DCA :
Dead Coral With Algae
f. Abiotic
R
: Ruble
RCK : Rock
(4)
Lampiran 8. Data Hasil Perhitungan Persentase Tutupan Karang,
Dead
Coral, Algae, Other Biota dan Abiotic
.
No Bentuk
Pertumbuhan Stasiun 1 Rata-rata (%) Stasiun 2 Rata-rata (%) Stasiun 3 Rata-rata (%) Rata-Rata Keselur uhan (%) 01 (%) 02 (%) 03 (%) 01 (%) 02 (%) 03 (%) 01 (%) 02 (%) 03 (%)
A Acropora
1 Branching 8,80 5,20 5.00 6.33 2.90 2.00 6.10 3.67 3.40 3.40 2.50 3.10 4.37
2 Digitate 0.00 0.00 6.40 2.13 2.80 5.90 0.00 2.90 4.10 8.70 4.70 5.83 3.62
3 Encrusting 8.10 11.00 6.60 8.57 9.00 8.80 9.70 9.17 7.70 3.80 6.80 6.10 7.94
4 Submassive 10.10 5.90 5.80 7.27 6.00 2.70 12.10 6.93 3.70 9.30 4.30 5.77 6.66
5 Tabulate 0.00 4.60 2.90 2.50 0.00 0.00 0.00 0.00 3.70 4.80 0.00 2.83 1.78
Sub total 27.00 26.70 26.70 26.80 20.70 19.40 27.90 22.67 22.60 30.00 18.30 23.63 24.37
B
Non-Acropora
1 Coral
Branching
6.80 4.70 6.30 5.93 6.90 9.30 10.60 8.93 4.20 7.10 7.20 6.17 7.01
2 Coral
encrusting
23.40 15.60 21.70 20.23 15.80 11.00 10.90 12.57 14.00 12.10 18.70 14.93 15.91
3 Coral foliose 4,30 7.40 2.40 4.70 0.00 0.00 2.90 0.97 6.80 5.10 8.60 6.83 4.17
4 Coral massive 12.00 13,80 10.50 12.10 13.10 12.60 11.90 12.53 11.60 5.60 7.10 8.10 10.91
5 Coral
mushroom
3,00 2.90 3.10 3.00 2.70 2.20 1.60 2.17 7.10 2.10 2.10 3.77 2.98
6 Coral
submassive
0.00 0.00 2.20 0.73 0.00 6.40 1.80 2.73 4.40 4.60 3.60 4.20 2.56
7 Coral
Millepora
0,00 3.40 0.00 1.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.90 0.00 1.63 0.92
8 Coral
Heliopora
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.10 1.37 0.46
Sub Total 49.50 47,80 46.20 47.83 38.50 41.5 39.70 39.90 48.10 41.50 51.40 47.00 44.91 C Death Coral
Dead Coral 5,70 5.80 3.40 4.97 8.60 8.10 6.80 8.93 3.30 3.00 2.10 2.80 5.20
Dead Coral With Algae
6,10 6.10 7.00 6.40 5.70 11.10 3.40 6.73 12.10 9.80 8.70 10.20 7.78
Sub Total 11.80 11.90 10.40 11.37 14.30 19.2 10.20 15.67 15.40 12.80 10.80 13.00 12.98 D Algae
Makro 0.00 3.30 2.60 1.97 0.00 2.20 0.00 0.73 0.00 1.20 0.00 1.20 1.30
Turf 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Coraline 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Halimade 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Alga Asemblage
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sub Total 0.00 3.30 2.60 1.97 0.00 2.20 0.00 0.73 0.00 1.20 0.00 0.4 1.03 D Other Biota
Soft Coral 2,50 1.50 2.20 2.07 2.40 2.90 3.40 2.90 2.90 3.20 4.60 3.57 2.84
Other 0.50 1.60 1.20 1.10 2.90 1.60 1.20 1.90 1.70 2.60 2.30 2.20 1.73
Sub Total 3.00 3.10 3.40 3.17 5.30 4.50 4.60 4.80 4.60 5.80 6.90 5.77 4.58 E Abiotic
Rock 0,00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.60 0.53 2.20 0.00 0.00 0.73 0.42
Ruble 6.20 5.00 3.70 4.97 11.60 4.90 8.60 8.37 5.60 5.60 2.6 4.60 5.98
Sand 2.50 2.20 7.00 3.90 9.60 8.30 0.00 5.97 1.50 5.30 3.60 3.47 4.44
(5)
Lampiran 9. Contoh Perhitungan
a.
Perhitungan persentase tutupan suatu kategori bentuk pertumbuhan karang:
(6)
Lampiran 10. Analisis Uji Korelasi Parameter Fisik Kimia dengan
Persentase Tutupan
Correlations
Persetase
Tutupan Suhu
Intensitas
Cahaya Salinitas
Derajat Keasaman
Oksigen
Terlarut BOD5
Total Suspeded
Solid
Total Dissolved
Solid Persetase
Tutupan
Pearson
Correlation 1 -.656 .469 -.191 .141 -.341 -.326 -.982 -.848
Sig.
(2-tailed) .544 .689 .878 .910 .778 .789 .112 .356
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Suhu Pearson
Correlation -.656 1 .359 .866 .655 .933 -.500 -.513 .156
Sig.
(2-tailed) .544 .766 .333 .546 .234 .667 .657 .901
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Intensitas Cahaya
Pearson
Correlation .469 .359 1 .778 .941 .670 -.988 .617 -.866
Sig.
(2-tailed) .689 .766 .433 .220 .532 .099 .577 .333
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Salinitas Pearson
Correlation -.191 .866 .778 1 .945 .988 -.866 -.015 -.359
Sig.
(2-tailed) .878 .333 .433 .212 .099 .333 .990 .766
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Derajat Keasaman
Pearson
Correlation .141 .655 .941 .945 1 .882 -.982 .313 -.645
Sig.
(2-tailed) .910 .546 .220 .212 .312 .121 .798 .554
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Oksigen Terlarut
Pearson
Correlation -.341 .933 .670 .988 .882 1 -.778 -.171 -.210
Sig.
(2-tailed) .778 .234 .532 .099 .312 .433 .891 .866
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
BOD5 Pearson
Correlation -.326 -.500 -.988 -.866 -.982 -.778 1 -.487 .778
Sig.
(2-tailed) .789 .667 .099 .333 .121 .433 .677 .433
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Total Suspeded Solid
Pearson
Correlation .984 -.513 .617 -.015 .313 -.171 -.487 1 -.928
Sig.