Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM
DAFTAR PUSTAKA
Al Marsudi, Subandi. 2003, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
A. Hansen, Stephen. 2000. Thesaurus of Economic, Social and Cultral Rights: Terminology and Potential Violation, Washington: American Association for Advancement of Science.
Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Penerbit Tim ICCE UIN.
Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Brewer, Anthony. 1999. Kajian Kritis: DAS KAPITAL KARL MARX, Jakarta: Teplok Press.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
E. Shobirin Nadj & Naning Mardiniah. 2000. Disemasi Hak Asasi Manusia.Jakarta, CESDA-LP3ES.
Faisal, Sanafiah. 1995. Format Penulisan Sosial Dasa-Dasar Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Fauzi, Noer dalam M. Mas’oed, 1997. Tanah dan pembangunan, Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Idrus, Muhammad. 2005. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Erlangga.
(2)
Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid 1, edisi terjemahan, Jakarta: Gramedia.
Koalisi Untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). 2014. Menemukan Kembali Indonesia : Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. KKPK.
Kusumandaru, Ken Budha, 2006, Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme: Sanggahan Terhadap Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Resist Book. Mandel, Ernest. 2005. Tesis-Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta: Resist Book.
Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Salam, Burhanuddin. 1996. Filsafat Pancasilaisme, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Salim, Arkal. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Press.
Sumber Lain :
“Dampak Abaikan Pertanian. Perlu Sikap Revolusioner untuk Ciptakan Lapangan Kerja”. Kompas, Jumat, 4 April 2014.
(3)
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II tentang profil lokasi penelitian, maka pada bab III ini peneliti akan mencoba menjelaskan jawaban dari rumusan pertanyaan yang ada pada bab I yaitu menegenai sebab-sebab terjadinya konflik dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan. Peneliti akan membagi bab III ke dalam tiga sub-bab. Sub-bab pertama akan membahas tentang pendeskripsian kronologi konflik yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan sesuai berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti. Sub-bab kedua, akan mencoba memaparkan bagaimana bentuk okupasi lahan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) dan pada sub-bab ketiga, peneliti akan menganalisis kasus ini dengan menggunakan teori konflik oleh Karl Marx dan menganalisis Pelanggaran HAM yang terjadi di konflik tersebut.
3.1. Asal Muasal Konflik Agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia
Sengketa kepemilikan tanah antara masyarakat Kelurahan Sari Rejo dan TNI-AU diawali oleh klaim TNI-AU terhadap 260 Ha tanah yang dihuni masyarakat di register 50506001. Pernyataan yang menguatkan pihak
(4)
TNI-AU adalah surat keterangan hak pakai nomer 1 tanggal 13 Juni 1997 seluas 35,35 Ha dan surat keterangan hak pakai nomer 4 tanggal 25 Juni 1997 seluas 267,53 Ha atas nama Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.
Masyarakat menilai bahwa tanah yang mereka duduki tidak pernah diterbitkan surat keputusan hak pakai atas nama Departemen Pertahanan dan Keamanan. Hal senada juga diungkapkan bapak Riwayat Pakpahan:
“Surat keputusan Mendagri saat itu yang berisi tentang pemberian HPL (Hak Pengelolaan Lahan) kepada Komando Wilayah Udara I Pangkalan Udara Medan kan sudah pernah dicabut. Tetapi mereka (TNI-AU) diberikan hak untuk mengajukan HPL lagi tetapi dengan syarat tanah yang mereka ajukan bebas dari pihak ketiga. Nah masalahnya masyarakat kan sudah lebih dulu ada di area ini yang artinya tanah ini tidak bebas dari pihak ketiga”.28
28
Wawancara dilakukan dengan Bapak Riwayat Pakpahan pada 22 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
Menurut penuturan informan di atas menunjukkan bahwa seharusnya TNI-AU tidak lagi berhak mengklaim bahwa tanah di register 50506001 merupakan hak TNI-AU. Dengan landasan ini masyarakat mulai berusaha untuk mempertahankan apa yang dianggap menjadi hak mereka. Masyarakat menganggap bahwa keberadaan mereka sejak 1948 sampai dengan sekarang menunjukkan bahwa tanah ini merupakan hak mereka yang diperoleh turun menurun maupun pemindahtanganan dari pemilik sebelumnya yang juga tinggal sejak 1940an.
(5)
Masyarakat yang berdomisili di Kelurahan Sari Rejo saat ini berjumlah sekitar 26.083 kepala keluarga, tersebar di sembilan lingkungan dan sebagian telah menetap sejak tahun 1948 hingga sekarang dan terus berkembang. Bukti masyarakat telah berada di tanah Sari Rejo juga dikuatkan oleh pernyataan oleh Bapak Supadi :
“Saya masih ingat, saya dulu pindah bersama orang tua sekitar tahun 1946. Saat itu Belanda bersama sekutunya kembali ke Indonesia, dulu tempat ini semuanya tembakau dan sebagian rambung (pohon karet). Saya masih mengingat ada orang India di tanah ini (yang sekarang menjadi wilayah administratif Kelurahan Sari Rejo) banyak yang berternak sapi perah, bahkan sampai sekarang ada walaupun tidak sebanyak dulu”29
Konflik yang melibatkan masyarakat dan TNI-AU ini memuncak yang diawali gugatan dari 87 warga (penggarap) terhadap Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Udara (TNI-AU) sebagai tergugat pada register IKN No 50506001 yang terdapat di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan
.
Awal masuknya penduduk ke tanah Sari Rejo memang terjadi setelah masa kemerdekaan. Masyarakat pendatang mulai berdatangan ke tanah Sari Rejo akibat adanya pemilik tanah yang dulu banyak ditempati oleh suku bangsa India yang mayoritas bermatapencaharian peternak sapi perah mengalihkan kepemilikan tanah mereka ke masyarakat pendatang mengingat saat itu Sari Rejo tidak lagi memungkinkan digunakan sebagai lahan peternakan karena semakin padatnya penduduk yang bermukim di area ini.
29
(6)
Polonia. Putusan Pengadilan Negeri Medan No 310/Pdt G/1989/PN-Mdn tanggal 8 Mei 1990. Putusan tersebut memenangkan masyarakat penggarap tanah di register 50506001. Tidak hanya itu saja, TNI-AU juga dinilai telah melanggar hukum oleh pengadilan dengan melakukan pelarangan kegiatan pembangunan oleh masyarakat di area yang mereka klaim menjadi bagian dari tanah mereka.
Di sisi lain, keputusan Pengadilan Negeri Medan tidak serta merta menyurutkan semangat TNI-AU untuk memperjuangkan tanah Sari Rejo menjadi bagian dari otoritas mereka. TNI-AU yang saat itu kalah di tingkatan Pengadilan Negeri banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Medan. Melalui putusan PT Medan No 294/PDT/1990/PT-MDN tanggal 26 September 1990, menguatkan putusan PN Medan 310/Pdt G/1989/PN-Mdn tanggal 8 Mei 1990. Pihak TNI-AU melakukan kasasi atas keputusan Pengadilan Tinggi Medan ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung (MA) RI No 229 K/Pdt/1991 tanggal 18 Mei 1995 menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi yaitu TNI-AU. Hal senada juga diungkapkan oleh bapak Tampilen:
”Di tahun 90an memang masyarakat menggugat TNI-AU di Pengadilan Negeri Medan. Tetapi saat itu TNI-AU kalah sampai tingkatan kasasi. Ini kan jelas bukti TNI-AU memang tidak memiliki hak atas tanah yang mereka klaim sebagai tanah meraka”.30
30
Wawancara dilakukan dengan Bapak Tampilen pada 24 Maret 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(7)
Keputusan Mahkamah Agung yang menyebutkan tindakan pelarangan mendirikan bangunan yang dilakukan TNI-AU kepada 56 persil (nomor pokok wajib pajak) milik masyarakat Kelurahan Sari Rejo merupakan bentuk pelanggaran hukum dan secara otomatis menganulir batas-batas wilayah yang tercantum pada keputusan KSAP No 023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950. Tetapi, keputusan Mahkamah Agung tidak serta merta memberikan sedikit kejelasan atas penyelesaian konflik di Kelurahan Sari Rejo pada register IKN No 50506001. Keputusan Mahkamah Agung yang hanya memenangkan 56 persil (nomor pokok wajib pajak) juga tidak serta merta membuat masyarakat puas, dari 260 Ha yang di gugat. Hanya sebagian kecil yang bisa dimenangkan tetapi, masyarakat tetap menganggap bahwa klaim TNI-AU terhadap 260 Ha tanah di wilayah kelurahan Sari Rejo merupakan tindakan ilegal.
Kondisi obyektif masyarakat Kelurahan Sari Rejo saat ini memang merupakan masyarakat yang meduduki wilayah Sari Rejo lebih dari 20 tahun. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomer 24 tahun 1997 pasal 24 ayat 2 yang mengungkapkan bahwa “penguasaan secara fisik atas sebidang tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh warga masyarakat, dapat didaftarkan hak atas tanahnya. Hal ini juga ditegaskan oleh pernyataan bapak Supadi:
“Saya tinggal di sini sejak 62 tahun silam seharusnyakan saya sudah mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah yang saya tinggali sekarang. Tapi kan TNI-AU tetap saja ngotot bahwa ini adalah bagian dari mereka. Ini kan jadi sesuatu yang aneh
(8)
terjadi di negeri ini. Jelas-jelas masyarakat di sini lebih duluan bermukin dibanding pendirian pangkalan mereka”.31
31
Wawancara dilakukan dengan Bapak Supadi pada 24 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo Menurut penuturan informan di atas bahwa penerbitan setifikat kepemilikan hak atas tanah yang ditempatinya sampai sekarang belum mendapat realisasi dari pemerintah.Pemerintah seakan mengabaikan hak masyarakat yang harusnya telah mendapatkan sertifikat hak atas tanah mereka.Dalam hal ini jelas pemerintah telah melakukan pelanggaran dengan tidak diterbitkannya sertifikat masyarakat atas tanah yang mereka tempati selama lebih dari 20 tahun.
Di sisi lain pada tanggal 26 April 2011 Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan surat yang merujuk pada pemberian legalitas atas kawasan CBD (Central Business District). Surat Keputusan (SK) Kepala BPN Kota Medan nomor 541/HGB/BPN/.12.71.2011. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan telah mengeluarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pusat bisnis CBD Polonia. Namun dari total 341.586 meter areal CBD, baru 79.028 meter yang dikeluarkan sertifikatnya. BPN Kota Medan mengeluarkan setifikat tanah di area CBD menyusul dibayarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) oleh PT Mestika Mandala Perdana (MMP) selaku pemilik areal CBD kepada Pemko Medan. Hal ini juga ditegaskan juga oleh pernyataan bapak Riwayat Pakpahan:
(9)
“Saya sudah mendengar hal itu sejak tahun 2011.Memang itu ada dan saya menilai ini permainan orang berkuasa. Kami selama ini kan demonstrasi untuk memberikan kesadaran pemerintah kalau kami itu masyarakat Sari Rejo. Kalau begini ceritanya kan memang masyarakat tidak dianggap, apa lagi kami masyarakat yang memenangkan perkara di Mahkamah Agung, bukan mereka (CBD)”.32
Realisasi dari rekomendasi DPRD tersebut juga belum menunjukkan dampak bagi penyelesaian konflik antara masyarakat dangan TNI-AU. Hal ini ditunjukkan dengan penerbitan surat oleh Komandan Lanud Soewondo kepada pemerintahan Kelurahan Sari Rejo untuk tidak menerbitkan surat keterangan tanah di atas tanah TNI-AU. Hal ini di nilai sebagai pelanggaran
Ketidak jelasan posisi pemerintah lagi-lagi menciptakan kondisi semakin memanas.Negara kembali tidak menempatkan posisinya sebagai wadah emansipasional terhadap warganya. Hal ini jelas akan menimbulkan rasa tidak percaya warga negara terhadap negara yang akhirnya berujung munculnya potensi konflik di tengah-tengah masyarakat.
Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Medan pada tanggal 30 Juli 2008 sebenarnya telah memberikan rekomendasi kepada Mentri Keuangan, Mentri Pertahanan, dan Kepala BPN RI untuk meralat batas-batas tanah yang ada di register 50506001 karena dianggap tanah tersebut tidak pernah dikuasai TNI-AU. DPRD Kota Medan juga merekomendasikan penerbitan sertifikat tanah yang telah ditempati masyarakat Sari Rejo sejak 1948.
32
Wawancara dilakukan dengan Bapak Riwayat Pakpahan pada 22 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(10)
dan tidak lebih dari interfensi militer kepada masyarakat sipil. Hal ini juga ditegaskan oleh bapak Rinto Pasaribu:
“Hal yang paling menunjukkan bahwa tentara itu suka ngasih intervensi ya ini. Masak tentara ngasih surat yang isinya melarang lurah mengeluarkan surat keterangan atas tanah yang di klaim milik mereka. Jelas itu bukan bagian dari pekerjaannya, tetapi tetap saja dilakukan”33
Pertemuan di tanggal 30 April 2012 sebenarnya merupakan bentuk mediasi masyarakat Sari Rejo dengan pemerintah Kota Medan karena isu penutupan Bandara Polonia Medan dalam rangka aksi bersama Dewan
Intervensi militer sangat kental dalam usaha penyelesaian konflik ini. Walau saat itu pihak kelurahan tidak menggubris surat Komandan Pangkalan Lanud Soewondo karena dianggap itu bukan merupakan hak mereka.
Sebelumnya Walikota Medan juga telah mengeluarkan surat yang sama yaitu pelarangan pengeluarkan surat dalam bentuk apapun di area 260 Ha yang menjadi sengketa dengan masyarakat. Akan tetapi, surat tersebut telah dicabut pada tanggal 30 April 2012. Rahudman Harahap yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Medan beranggapan jika surat pelarangan penerbitan surat dalam bentuk apapun di lahan seluas 260 Ha yang menjadi wilayah sengketa merupakan upaya pemerintah untuk mencari jalan keluar terhadap sengketa yang melibatkan masyarakatnya.
33
Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(11)
Buruh Sumatera Utara. Saat itu juga Wali Kota Medan mencabut surat pelarangan dengan diterbitkannya surat nomor 593/6939 tentang “Pencabutan Surat Tentang Tidak Menerbitkan Surat Berkaitan dengan Tanah Sari Rejo” yang disaksikan masyarakat, perwakilan dari kepolisian, camat Medan Polonia dan pimpinan aliansi yang tergabung dalam DBSU.
3.2. Gambaran Konflik Agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.
3.2.1. Konflik Masyarakat dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara
Pada masa awal sengketa kepemilikan tanah ini terjadi, masyarakat Sari Rejo mendapatkan intimidasi dari beberapa oknum AURI (TNI-AU) saat mereka hendak melakukan pembangunan tempat tinggal. Kondisi ini menciptakan suasana Sari Rejo semakin memanas dimana kedua belah pihak (TNI-AU dan masyarakat) merasa mempunyai hak atas tanah yang mereka duduki saat itu. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan ibu Boru Bondar:
”Saya dulu pernah mau ganti atap, dulu kan masih yang apa adanya saya bangun rumah ini, namanya baru berumahtangga, terus datang tentara menyuruh saya untuk tidak membongkar atap lama yang saya punya karena mengganggu penerbangan dan gak Cuma itu aja yang pernah kualami, pernah lupa tahunnya kapan kami tidak boleh masang air dan listrik, padahal itu yang paling penting sama kami yang berkeluarga inikan”34.
34
Wawancara dilakukan dengan Ibu Boru Bondar pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(12)
Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Supadi:
”Dulu mau ganti seng aja udah gak boleh, paling banter kalo boleh diganti sengnya harus di cat hijau, katanya biar gak ganggu penerbangan. Tapi dari atas kan nanti kalo di cat hijau semua jadi kayak perumahan AURI. Jadinya kayak AURI mau klaim tanah ini”.
Kejadian ini sempat menimbulkan kepanikan ditengah masyarakat mengingat posisi mereka sebagai masyarakat sipil di era Orde Baru yang kental dengan nuansa militerismenya. Tidak jarang mereka melakukan ronda malam untuk mengantisipasi tentara yang masuk ke pemukiman mereka untuk melakukan hal yang serupa yang telah mereka lakukan. Masyarakat saat itu mulai terorganisir walau dalam tahap ronda malam dan aksi-aksi gotong royong lainnya.
Simbolisasi militer di era orde baru tidak bisa dipungkiri dapat mendeskripsikan dominasi, kekuasaan dan kekuatan politik yang besar. Penggunaan otoritas dalam rangka melarang masyarakat melakukan pembangunan tempat tinggal jelas menunjukkan bagaimana dominasi, kekuasaan dan kekuatan politik itu digunakan. Permasalahan yang timbul adalah masyarakat dihadapkan dengan pilihan mempertahankan dominasinya terhadap tanah yang mereka anggap bagian dari miliknya dan kekuatan militer saat itu.
Tanah tidak hanya memiliki segi ekonomis, tanah juga memiliki unsur budaya. Tidak jarang tanah di kelurahan Sari Rejo merupakan tanah
(13)
yang ditinggalkan turun menurun oleh pendahulunya yang akhirnya tanah tersimbolkan menjadi sesuatu yang sakral bagi masyarakat.
Kebijakan pemberlakuan jam malan, pembongkaran bangunan drainase dan pelarangan melakukan pembangunan membuat warga dari Kelurahan Sari Rejo mendatangi pintu masuk kawasan militer angkatan udara. Warga membakar ban bekas di dekat portal yang dijaga oleh sejumlah tentara secara bergantian. Tidak sampai disitu saja, masyarakat yang belum puas dengan membakar ban kemudian menyulut api di dalam pos jaga. Setelah kejadian itu masyarakat beramai-ramai mendatangi markas TNI-AU di Pangkalan Udara Medan. Di pangkalan udara masyarakat mendesak dipertemukan langsung dengan komandan pangkalan udara. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan bapak Rinto Pasaribu:
”Jujur kami merasa tertekan sejak dilakukannya sistem portal oleh TNI-AU. Kami sering mendiskusikannya dengan warga lainnya karena itu jelas mengganggu aktivitas kami. ditambah lagi dengan penghancuran pembangunan irigasi, ini kan proyek pemerintah kok dirusak?. Saat itu masyarakat melihat pihak AURI semakin arogan saja kepada masyarakat Sari Rejo makanya secara spontan masyarakat membakar pos tersebut”.35
Aksi-aksi sporadis menjadi ciri masyarakat Kelurahan Sari Rejo untuk menunjukkan reaksi terhadap penolakan atas kebijakan yang dilakukan TNI-AU terhadap masyarakat seperti pemberian portal di setiap pintu masuk bandara polonia yang juga menjadi pintu masuk ke wilayah
35
Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(14)
kelurahan Sari Rejo dan pemberlakukan jam malam terhadap setiap warga kelurahan Sari Rejo. Hal ini menyulut reaksi masyarakat dengan menutup akses pintu masuk bandara Polonia dari arah jalan Avros dengan aksi bakar ban.
Saling mengklaim antara TNI-AU dan masyarakat seakan tidak mendapatkan perhatian pemerintah Kota Medan selaku pemangku kekuasaan. Pemerintah hanya memposisikan dirinya saat konflik berubah menjadi sebuah gerakan perlawanan namun belum ada usaha signifikan untuk menyelesaiakannya sampai ke akarnya.
Pemerintah Kota Medan selaku pemangku kekuasaan selayaknya dapat menjadi penengah dalam kasus ini.Mediator diantara kedua belah pihak yang berkonflik sangat diperlukan. Tetapi faktanya proses pembiaran masih dilakukan pemerintah Kota Medan dengan tidak memberikan kepastian hukum terhadap tanah yang menjadi pokok masalah dalam terjadinya konflik di Kelurahan Sari Rejo. Salah satu bentuk proses pembiaran yang dilakukan adalah dimana pemerintah Kota Medan menerbitkan suratpelarangan pihak kelurahan mengeluarkan surat dalam bentuk apapun (termasuk jual beli) di wilayah konflik seluas 260Ha yang berlokasi di kelurahan Sari Rejo di tahun 2011.
FORMAS meluapkan kekecewaanya terhadap pemerintah Kota Medan dan Badan Pertanahan Nasional. FORMAS meminta kepala BPN Kota Medan untuk segera memproses permohonan legalitas atas tanah
(15)
masyarakat di Kelurahan Sari Rejo sesuai Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor 229 K/Pdt/1991, tanggal 18 Mei 1995, sekaligus realisasi dari Surat Pernyataan Kepala Badan Pertahanan Kota Medan, bertanggal 07 Januari 2008. FORMASSari Rejo juga meminta kepada Kepala BPN Kota Medan untuk segera mencabut/membatalkan Sertifikasi Hak Pakai No.1 Tahun 1997 karena jelas secara fakta bahwa proses penerbitannya mengandung Cacat Hukum dan batal demi hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Agung RI No.229 K/Pdt/1991,tanggal 18 Mei 1995.
Gambar 2
Aksi yang Dilakukan FORMAS Bersama DBSU Menutup Bandara Polonia Medan
Bersama dengan aliansi Dewan Buruh Sumatera Utara (DBSU), FORMAS melakukan mediasi dengan walikota Medan tanggal 30 April
(16)
2012 sebelum melakukan aksi yang bertepatan dengan peringatan hari buruh saat itu. Walikota Medan yang saat itu dijabat Rahudman Harahap langsung bertindak mencabut surat perintah itu di tanggal yang sama dengan kegiatan mediasi di saksikan oleh perwakilan Polda Sumatera Utara, pimpinan aksi DBSU, dan masyarakat Sari Rejo.
Melihat bahwa tujuan utama adalah pengakuan atas tanah yang mereka duduki, FORMAS bersama DBSU tetap melakukan aksi dengan menutup bandara Polonia Medan di tanggal 1 Mei 2012. Hal ini dilakukan untuk memberikan tekanan kepada pemerintah pusat dan daerah agar memperhatikan apa yang menjadi tuntutan mereka.
Masyarakat yang semakin tertekan semakin solid mengingat ini adalah konflik vertikal yang melibatkan masyarakat dan TNI-AU. Gerakan-gerakan ini akan terus mencari klimaks untuk memenuhi eksistensi kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini gerakan sosial baru melihat fenomena gerakan masyarakat Sari Rejo dengan wadah FORMAS sebagai gerakan insidental yang tidak bertujuan untuk merubah supra-strukturnya. Gerakan ini hanya mencoba memperjuangkan kepentingan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang hakiki bagi kelompoknya. Hal ini berarti gerakan dengan tipe ini akan meledak kapanpun saat mendapatkan tekanan dari luar kelompoknya.
(17)
3.2.2. Konflik Horizontal Organisasi Forum Masyarakat Sari Rejo
Berdirinya FORMAS tanggal 24 Februari 2011 tidak serta memerta memberikan kepuasan terhadap pemenuhan kepentingan masyarakat terhadap penuntutan legalitas atas hak tanah mereka. Proses berjalannya perjuangan masyarakat menemui banyak halangan. Muncul faksi-faksi baru dalam tubuh FORMAS yang mencoba memberikan pandangan baru terhadap gaya gerak FORMAS yang mereka anggap belum dapat memberikan perubahan yang signifikan.
Proses pencapaian tujuan yang tidak kunjung terealisasi menjadi isu utama dalam internal FORMAS. Masyarakat mulai mempertanyakan visi kepengurusan. Anggota Formas pada saat itu mulai membentuk opini pro dan kontra terhadap kepengurusan FORMAS pimpinan bapak Riwayat Pakpahan. Hal ini dikemukakan oleh bapak Rinto Pasaribu:
“Ada penilaian saat itu tentang adanya oknum yang bermain di kepengurusan, kayak yang ku bialang tadi, seperti ada ibu-ibu dulu yang coba untuk jadi makelar tanah, saya rasa itu yang dirasakan masyarakat saat itu.Ini kan akibat pemerintah gak mau ngasih kepastian tanah kami, kalo kami gak legal kenapa SK camat ada dan kepengurusan saat itu kami nilai banyak diduduki oleh orang baru”.36
Ketidak jelasan targetan gerakan yang dilakukan masyarakat Sari Rejo dengan wadahnya FORMAS menjadi awal bagaimana konflik internal organisasi terbentuk. Faksi-faksi mulai bermunculan dalam tubuh organisasi
36
Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(18)
sebagai simbol ketidakpercayaan terhadap organisasi. Organisasi dinilai tidak dapat menjadi wadah kepentingan bersama oleh beberapa anggota.
Faksi-faksi mulai bermunculan dengan lebel orang lama dan orang baru sebagai akibat perbedaan misi dalam cara pandang konflik dalam menjalankan aktifitas organisasi saat tersebut.
“Kami melihat ini ada pilih kasih dalam kepengurusan dalam hal penyelesaian, oke, ku akui di masa kepemimpinan pak Riwayat memang bukti keberhasilan ada contohnya ya keputusan Mahkamah Agung itu.Tapi setelah itu tidak ada”.37
Karena itu warga masyarakat Kelurahan Sari Rejo yang berada di lokasi yang sama dengan pihak kelurahan telah berupaya dalam memperjuangkan sertifikasi hak atas tanah dengan berusaha mengajukan
Perbandingan mencolok memang timbul di tengah masyarakat yang menjadi anggota FORMAS dengan warga masyarakat yang tinggal di Perumahan Taman Malibu Indah, Villa Polonia, Villa Grand Polonia,warga masyarakat yang ada di Kelurahan Polonia, dan Pangkalan Mashyur yang berbatasan langsung dengan Kelurahan Sari Rejo yang telah memiliki sertifikasi atas tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.Yang paling menyedihkan kenyataan bahwa warga masyarakat yang berada di Jalan Antariksa yang lokasinya masih berada di Kelurahan Sari Rejo dapat memperoleh sertifikasi hak atas tanah No. 4 tanggal 5 juli 2002, namun lingkungan lainnya di Kelurahan Sari Rejo belum mendapatkan sertifikat tanahnya.
37
(19)
permohonan kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan warga masyarakat telah melengkapi segala persyaratan yang diperlukan terutama surat keterangan dari pihak kelurahan dan kecamatan yang menerangkan bahwa warga masyarakat merupakan penduduk tetap dan pemilik terhadap tanah yang ada di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia.
Konflik internal semakin menemukan klimaksnya pada tahun 2012 kelompok Pahala Napitupulu menciptakan FORMAS tandingan dengan cara melakukan musyawarah luar biasa yang dilakukan di kantor kelurahan Sari Rejo. Hal ini ditegaskan oleh bapak Pahala Napitupulu:
“Kami merasa banyak dari kami yang tidak diakomodir di FORMAS yang terdahulu, makanya kami memilih untuk melakukan regenerasi FORMAS dengan cara musyawarah luarbiasa di kantor lurah”.38
Kondisi ini memperlihatkan kaum intelektual dalam organisasi belum dapat menginternalisasikan idiologi yang mereka gunakan dalam perjuangan. Hal ini juga menyulut tingkatan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi semakin rendah. Internalisasi idiologi yang tidak Jelas terlihat bagaimana kondisi organisasi saat itu yang dianggap tidak lagi dapat menampung seluruh kepentingan yang ada dalam struktur organisasi. Munculnya paradigma orang lama dan orang baru menjadi isu hangat dalam organisasi selain realisasi visi organisasi yang tidak kunjung memperoleh hasil yang maksimal.
38
Wawancara dilakukan dengan Bapak Pahala Napitupulu pada 24 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(20)
berjalan dengan baik juga memicu ketidaksepahaman anggota organisasi yang berujung pada perbedaan pandangan terhadap cara gerakan sosial yang dilakukan.
Ketidak percayaan sebagian masyarakat terhadap kelompok yang mereka bentuk menunjang faksi baru dalam organisasi terbentuk. Ketidakpercayaan terhadap kelompok menjadi salah satu potensi yang menimbulkan perpecahan dalam organisasi. Dalam perjalannya, terbentuknya kelompok baru dalam FORMAS Sari Rejo tidak dapat dielakkan lagi sebagai reaksi dari tidak diakomodirnya berbagai kepentingan yang ada.
Analisis teori Gramsci, yaitu ketika terjadi suatu perlawanan atas kondisi tatanan hegemoni baik terstruktur atau tidak maka hal yang mutlak yang mesti dilakukan adalah membangkitkan semangat perlawanan atas eksploitasi dan hegemoni tersebut. Supremasi dari sebuah kelompok sosial ditunjukkan ada dua cara, yaitu dalam bentuk dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual. Hal ini juga diungkapkan oleh bapak Rinto Pasaribu:
“Kami merasa hanya sebagian orang yang diuntungkan dengan pembentukan Formas, sampai sekarang bukti nyatanya kami belum dapat apa yang menjadi tujuan kami yaitu sertifikat tanah. Saya juga melihat pandangan kami jarang yang jadi perhatian oleh organisasi. Daripada kami selalu menjadi orang yang tidak dianggap di FORMAS yang lama”.39
39
Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
(21)
Dari pernyataan informan di atas dan berangkat dari pemahaman yang ada, suatu gerakan sosial dalam historisnya ataupun secara dialektika memiliki determinasi bagi perubahan sosial itu sendiri. Suatu gerakan yang dilatarbelakangi suatu kondisi secara kualitas maupun kuantitas yang tidak sesuai dengan keinginan atau cita-cita (idea) yang dimiliki oleh individu-individu atau masyarakat. dimana suatu gerakan itu diharapkan dapat terorganisir secara sadar ataupun dalam bentuk reaksi, agar dapat mencapai titik yang dicita-citakan atau yang dibutuhkan oleh manusia-manusia itu sendiri. Oleh karena itu agar gerakan itu dapat terorganisir, maka masyarakat atau agen perubahan itu juga harus sadar apa yang menjadi arah atau cita-cita dari gerakan dan kondisi objektif yang mereka alami. Dengan kata lain, munculnya FORMAS yang diketuai oleh Pahala Napitupulu merupakan hal logis yang terjadi dalam kelompok masyarakat yang diakibatkan perbedaan pandangan dalam cara gerak dalam mencapai tujuan.
Pandangan lain diungkapkan oleh ibu Sri kunarsih:
“Sebenarnya saya tidak melihat adanya kekuatan organisasi untuk memberikan legalitas dalam konflik agraria di kelurahan Sari Rejo ini dan hal ini harus kita akui bersama.Saya melihat sebenarnya peran pemerintah dalam menetapkan status tanah adalah penentu utama dalam penyelesaian konflik. Malah saya melihat adanya proses pembiaran, masyarakat dituntut untuk melawan sebuah institusi besar dalam Negara yang terstigma memiliki kekuatan besar. Dalam hal ini organisasi bertindak sebagai bentuk konsolidasi masyarakat dalam mengawal penyelesaian konflik dan bukan memberikan legalisasi terhadap tanah yang kami tempati”.40
40
(22)
Kenyataan yang terjadi adalah perbedaan cara Pandang konflik yang terjadi membuat kelompok baru terbentuk di dalam tubuh masyarakat dengan satu institusi yang sama. Kondisi ini menunjukkan bagaimana tokoh intelektual dalam organisasi belum dapat memainkan perannya sebagai penggerak dan belum mampu memberikan hegemoni secara idiologis terhadap kelompok.
Dahrendorf melihat di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu.
Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan menimbulkan perubahan struktur sosial.
3.3. Analisis Konflik Agraria terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia.
Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia dimana pihak-pihak yang berkonflik yaitu kelompok masyarakat dengan pihak TNI-AU bahwa dengan penjelasan dari kronologi yang jelas peneliti paparkan di atas bahwa kita dapat melihat dimana adanya praktek-praktek pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya terutama keberlangsungan hidup masyarakat Kelurahan Sari Rejo.
Sebelum masuk kepada konflik agraria di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, maka peneliti akan mencoba menjabarkan bagaimana konflik agraria menurut beberapa responden yang telah peneliti wawancarai.
(23)
Seperti yang diungkapkan oleh Saudara Suwardi selaku ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) mengenai konflik agraria, yaitu :
“Konflik agraria dilihat dari sisi perjalanannya, seperti secara historis dari pra kolonial sebelum Belanda, Jepang, dll sudah muncul konflik agraria tetapi ruang lingkupnya ada di tataran desa, jadi masyarakat desa kemudian berkonflik dengan elit desa terutama kaum-kaum feodal yang memiliki/menguasai tanah. Tetapi pada masa kolonial dan paska kolonial, semenjak adanya Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 yang dibuat oleh Belanda pada saat itu maka konflik agraria tidak lagi menjadi konflik internal desa yaitu terjadi antara masyarakat desa dengan komunitas desa itu. Tetapi sudah menjadi konflik antara desa dengan komunitas luar, seperti Belanda yang memberikan konsesi yang begitu mudah kepada pengusaha untuk mengakses tanah, dari sini secara mau tidak mau menegasika hak petani atas tanah karena dalam Agrarische Wet 1870 ini menyatakan bahwa “setiap tanah yang hak kepemilikan nya tidak ada, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara.” Inilah celah yang digunakan Belanda untuk memberikan tanah secara de jure kepada para pengusaha-pengusaha, oleh karena pada masa itu, Jawa dan Sumatera merupakan daerah penghasil devisa terbesar bagi Belanda karena ada begitu banyak perkebunan yang muncul, seperti perkebunan tembakau, dll. Dan ternyata Agrarische Wet ini diubah oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960, inilah yang dikenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dan sangat disayangkan Undang-undang ini “tidak berlaku lama”, UU ini hanya berlaku pada 1960-1965 ini dikarenakan adanya pergantian regim kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dimana regim Orde Lama pro kepada rakyat dan regim Orde Baru pro kepada investasi. Seperti pada tahun 1967 muncul Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, dimana inilah yang menjadi cikal bakal dari penegasian UUPA No. 5 tahun 1960, ketika adanya UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini keluar maka secara otomatis UUPA tidak berlaku di Orde Baru, pada UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini bertentangan dengan UUD 1945. Dari sinilah konflik agraria mulai mengemuka secara massif.”41
41
Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015
(24)
Jika dilihat konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan dalam perspektif HAM, melihat konflik yang terjadi ini sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak manusia, Saudara Suwardi menjelaskan bagaimana konflik agraria dilihat dalam perspektif HAM yang seharusnya:
(1) Setiap individu berhak untuk mendapatkan kepastian hukum,
(2) Setiap individu berhak untuk mendapatkan kesetaraan di depan hukum
(3) Setiap individu berhak untuk mendapatkan pekerjaan. (4) Setiap individu berhak hak atas hidup,
(5) Setiap individu berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak,42
Kedua, soal kesetaraan di depan hukum dimana HAM itu berazaskan equal (setara). Tetapi dalam permasalahan konflik agraria di kelurahan ini azas ini tak berlaku, selalu saja ketika masyarakat melakukan aksi-aksi tuntutan, polisi menanyakan alas hak mereka dalam mempertahankan tanah sehingga selalu saja masyarakat yang disalahkan, tetapi ketika TNI-AU menyatakan hak atas kepemilikan, polisi tidak pernah menanyakan keberadaan Hak kepemilikan milik TNI-AU sehingga equal dihadapan hukum ini tidak ada. Inilah yang menyebabkan tidak adanya kesetaraan antara masyarakat dan pihak TNI-AU di depan hukum. Masyarakat selalu
Jika peneliti melihat yang terjadi dalam konflik agraria pada kasus di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia menciderai hak itu semua terhadap masyarakat tak terkecuali hak atas hidup. Pertama, dalam hal kepastian hukum, di Indonesia hanya ada dua model penyelesaian yang dilakukan dalam konflik agraria, yaitu model mediasi yang dilakukan oleh BPN. Ini dikarenakan kebanyakan apa yang dialami dalam konflik agraria ini kebanyakan besar oleh kesalahan BPN, ini dikarenakan BPN tidak dapat menjelaskan secara jelas mana wilayah kepemilikan masyarakat dan TNI-AU.
42
(25)
dipandang sebelah mata dan tidak mempunyai legitimasi dalam hukum dan kerap dijadikan korban dari atas konflik yang terjadi,
Ketiga, Hak atas pekerjaan. Pada kenyataannya bahwa pasal 27 ayat 2 yang terdapat dalam UUD 1945 “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan juga pada pasal 38 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Keempat, Hak untuk mendapat kehidupan yang layak dalam pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” seperti yang diungkapkan
Melihat ini juga cukup menjelaskan bahwa masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia secara otomatis tidak mendapatkan hidup yang layak jika tanah mereka tidak memiliki kepastian hukum dan mereka sendiri tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dikarenakan tidak dapat memanfaatkan potensi-potensi ekonomis dari tanah tersebut.
Kelima, Hak atas hidup seperti yang terdapat dalam pasal 9 dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jelas bahwa ketika negara melalui TNI-AU mengambil alih tanah sebagai alat produksi untuk pemenuhan kebutuhan pasar membuat masyarakat Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Mereka tidak lagi dapat dikategorikan mendapatkan hak atas hidup ketika hak mereka, yaitu tanah sebagai alat utama produksi dirampas dan masyarakat tidak lagi diberi akses untuk mengelola tanah yang sudah mereka miliki.
Masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia juga berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin oleh karena itu upaya-upaya penguasaan tanah yang dilakukan oleh pihak TNI-AU sudah mengganggu masyarakat mendapatkan hidup yang tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Akibat dari konflik berkepanjangan yang terjadi membuat masyarakat menjadi trauma dan takut
(26)
akan situasi yang terus mereka alami. Para tentara yang selalu berpakaian dan bersenjata lengkap dan lambatnya upaya pemerintah dalam mengupayakan penyelesaian konflik serta ketidakpastian hukum membuat posisi dari rakyat sangat jauh dari rasa aman itu sendiri, seperti juga yang terdapat dalam pasal 30 UU No. 39 tahun 1999 “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu” dimana yang seharusnya polisi membantu menegakkan keamanan tetapi pada kenyataannya polisi membantu pihak TNI AU dalam konflik yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.
Saudara Suwardi mengatakan Undang-undang yang mengatur tentang pelanggaran HAM terkait konflik agraria ini adalah:
1.UUD 1945
2.UUPA No 5 tahun1960
3.UU No 39 tahun 1999 soal Hak Asasi Manusia
4.UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya
5.UU No 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik43
Dengan adanya tuntutan rakyat ini negara justru mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) sehingga ujung dari konflik ini negara lebih memilih Adanya undang-undang yang menjamin Hak Asasi Manusia di Indonesia seperti UUD 1945, UUPA No. 5 tahun 1960, UU No. 39 tahun 1999, maupun itu Ratifikasi Kovenan Internasional yang terdapat dalam UU No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Jika melihat ketimpangan struktur agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, yaitu bagaimana TNI-AU melakukan klaim atas tanah di tempat tersebut, tetapi dengan jelas bahwa masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia mempunyai alas hak dalam perjuangan mereka.
43
Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015
(27)
jalan-jalan kekerasan yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap petani seperti hak atas hidup, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan hidup yang layak dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan setara dihadapan hukum.
Saudara Suwardi dari lembaga yang salah satunya mengusung Hak Asasi Manusia, yaitu IKOHI mengatakan bahwa konflik agraria itu muncul akibat dari kesalahanan pemerintah, yaitu:
1. Kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi pertanahan Indonesia
2. Pemerintah tidak sesegera mungkin mencari alternatif dalam penyelesaian konflik agraria, oleh karena itu konflik agraria akan terus muncul dengan eskalasi yang terus meningkat. Pemerintah tidak memberikan solusi yang berarti kepada petani, sehingga pelanggaran HAM ini ada muncul menjadi 2 level, yaitu pemerintah yang melakukan dan pemerintah yang membiarkan. Dalam konflik agraria pemerintah melakukan dua hal ini, mereka secara langsung melakukan tindak pelanggaran HAM, dan pemerintah membiarkan hak mereka diciderai oleh adanya pihak ketiga, yaitu pengusaha.44
Jelas bahwa kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi pertanahan disini sangat semrawut dan membiarkan masyarakat tidak terinformasi dengan baik dan adanya perampasan yang dilakukan dan ganti rugi yang tidak terselesaikan dengan baik ini akan terus menjadi permasalahan antara masyarakat dan pihak TNI-AU tanpa adanya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berusaha untuk membantu dan mencari alternatif lain dalam meminimalisir konflik agraria terutama konflik agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, sehingga masyarakat yang menjadi korban atas segala hal-hal yang tidak diinginkan atas konflik yang terjadi dan pihak masyarakatlah yang selalu disalahkan juga, tidak diberikannya alat produksi kepada masyarakat dan tindak kekerasan merupakan bentuk pelanggaran HAM kepada masyarakat yang sangat merugikan masyarakat itu sendiri karena kita tahu sendiri bahwa Indonesia merupakan negara agraris dan mayoritas penduduk
44
Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015
(28)
bekerja memanfaatkan tanah, terlebih lagi tindak kekerasan yang dialami oleh masyarakat selama konflik yang dilakukan oleh pihak TNI-AU kepada masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia namun tidak ada itikad baik dari pemerintah sendiri untuk menyelesaikan ini meskipun sudah ada Undang-undang yang mengatur dalam tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia tetapi tetap saja masyarakat diabaikan baik itu dalam memperoleh hak di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Undang-undang No. 12 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagai salah satu instrument HAM Internasional yang paling penting dan merupakan induk dari seluruh instrument lainnya. Dimana jelas bahwa Undang-undang ini tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri sebab jika UU ini dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri maka pemerintah harus melakukan yang bertentangan dengan UU ini yaitu: (a) Mencabut UU yang bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya, seperti UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal baik itu Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri yang kini telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Karena jelas bahwa jika masih adanya UU seperti itu merupakan awal dari bentuk kapitalistik yang masuk sehingga UUPA sebagai UU yang memerdekakan petani tidaklah lagi berlaku di Indonesia seiring perubahan regim kekuasaan pemerintahan dan undang-undang turunan dari UUPA No. 5 tahun 1960 pun tidak ada, (b) Pemerintah seharusnya selain mencabut UU yang bertentangan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik tersebut pemerintah juga seharusnya melakukan kajian secara komprehensif tentang bagaimana melakukan penyelesaian konflik agraria. Dalam lingkup pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah soal konflik agraria, HAM dalam Undang-undang No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
(29)
Politik maka jelas masyarakat tidak dianggap sama di depan hukum, masyarakat sering dihukum tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan dan dalam dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya membuktikan bahwa akses terhadap tanah yang nota bene sebagai alat produksi itu ditutup.
(30)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Awal sengketa agraria kelurahan Sari Rejo adalah keadaan saling klaim tanah antara masyarakat Sari Rejo dengan Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Udara yang berujung gugatan 87 masyarakat terhadap TNI-AU dengan hasil kalahnya TNI-AU sampai tingkatan kasasi.
2. Konflik agraria kelurahan Sari Rejo dengan areal seluas 260Ha yang terletak di register 50506001 sebenarnya adalah kasus agraria yang belum memiliki titik temu akibat ketidaktegasan pemerintah daerah terhadap pemberian status tanah.
3. Akibat adanya berbagai tekanan yang diterima. Masyarakat kemudian membentuk FORMAS (Forum Masyarakat Sari Rejo) sebagai wadah gerakan sosial yang mereka lakukan untuk menuntut hak atas.
4. Salah strategi yang dilakukan FORMAS untuk menuntut hak atas tanah mereka adalah dengan cara aksi. Salah satu aksi yang mereka lakukan adalah aksi penutupan Bandara Polonia Medan.
5. Munculnya perbedaan fokus dan kepentingan terhadap gerakan, FORMAS tepecah menjadi dua yang
(31)
masing-masing di pimpin oleh Riwayat Pakpahan dan Pahala Napitupulu.
6. Ketidakmampuan tokoh intelektual dalam menjalankan proses hegemoni idiologi dan mengakomodir kepentingan menciptakan potensi munculnya kelompok baru dalam internal mereka.
4.2. Saran
1. Pemerintah juga ditutut selalu hadir di tengah-tengah konflik sebagai penengah. Mengingat konflik ini melibatkan masyarakat dan lembaga militer yang menimbulkan gesekan-gesekan dengan potensi memunculkan konflik yang besar.
2. Pemerintah Kota Medan harus segera memberikan kejelasan terhadap status hukum tanah yang obyek konflik antara masyarakat dan TNI-AU. Hal ini harus segera dilakukan untuk mencegah munculnya potensi-potesi konflik baru yang terjadi antara masyarakat dan TNI-AU mengingat berbagai kemungkinan berbagai kepentingan yang akan terus berkembang di tengah-tengah konflik.
3. FORMAS selaku organisasi masyarakat sipil harus dapat
mengoptimalkan fungsi kaum intelektualnya guna mempertegas sudut pandang FORMAS dalam melihat konflik yang sedang mereka jalani.
(32)
BAB II
PROFIL LOKASI PENELITIAN
2.1. Gambaran Umum Kelurahan Sari Rejo 2.1.1 Letak Geografis
Kelurahan Sari Rejo merupakan Kelurahan yang terdapat di wilayah administratif Kecamatan Medan Polonia. Luas wilayah Kelurahan Sari Rejo adalah 2,46 Km2 atau 27,58% dari total keseluruhan luas wilayah Kecamatan Medan Polonia. Kelurahan Sari Rejo terdiri dari 9 lingkungan yaitu : lingkungan I sampai lingkungan IX. Kelurahan Sari Rejo mempunyai jumlah penduduk mencapai 26.083 jiwa. Kelurahan Sari Rejo mempunyai batas-batas dengan daerah lain sebagai berikut:
Gambar 1 Peta Kelurahan Sari Rejo
(33)
Sebelah Utara: berbatasan dengan kelurahan Suka Damai yaitu kecamatan Medan Polonia.
Sebelah Selatan: berbatasan dengan Pangkalan Mansyur yaitu kecamatan Medan Johor.
Sebelah Timur: berbatasan dengan kelurahan Suka Damai yaitu kecamatan Medan Polonia.
Sebelah Barat: berbatasan dengan kelurahan Binjai yaitu kecamatan Medan Selayang.
2.1.2. Keadaan Alam
Secara umum kondisi iklim di wilayah penelitian dikategorikan pada iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia berkisar antara 23,2° C - 24,3° C dan suhu maksimum berkisar antara 30,8° C – 33,2° C serta menurut Stasiun Sampali suhu minimumnya 23,3° C - 24,1° C dan suhu maksimum berkisar antara 31,0° C – 33,1° C. Berdasarkan pengukuran stasiun klimatologi Polonia, curah hujan di Kota Medan mencapai rata-rata 3.594 mm dengan hari hujan sebanyak 230 hari serta menurut Stasiun Sampali mencapai rata-rata 2.712 mm dengan hari hujan sebanyak 224 hari.
Selanjutnya mengenai kelembapan udara di wilayah Kota Medan rata-rata berkisar antara 84 – 85%. Dan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,48 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 104,3 mm. Hari hujan di Kota Medan rata-rata per bulan 19 hari dengan rata-rata
(34)
curah hujan menurut Stasiun Sampali per bulannya 226,0 mm dan pada Stasiun Polonia per bulannya 299,5 mm.
2.1.3. Sejarah Tanah Sari Rejo
Kedatangan suku bangsa Punjabi ke Sumatera Utara dimulai pada akhir abad ke 19, untuk bekerja sebagai buruhkontrak pada perkebunan tembakau raya milik Belanda.Suku bangsa Punjabi yang datang ke Indonesia khususnya ke Sumatera Utara adalah para pria yang belum menikah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan bekerja di perkebunan milik Belanda.24
Di Sari Rejo, suku bangsa Punjabi dapat tinggal dan menetap. Hal ini disebabkan, karena adanya bantuan Belanda pada tahun 1940-an. Suku bangsa Punjabi diberi tanah atau lahan oleh Belanda untuk memelihara sapi. Dengan keahliannya inilah suku bangsa Punjabi dapat tinggal di daerah tersebut. Dari kebersamaan dan kekompakan suku bangsa Punjabi yang tinggal di Sumatera Utara membuat mereka bertambah banyak, yang mana jumlah suku bangsa Punjabi saat ini kurang lebih 1000 kepala keluarga.25
Kelurahan Sari Rejo terdiri dari 9 (sembilan) lingkungan.Setiap lingkungan terdiri dari berbagai suku, salah satunya adalah suku bangsa Punjabi.Diantara kesembilan lingkungan ini, suku bangsa Punjabi lebih
24
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18482/4/Chapter%20II.pdf pada: 1 Mei 2015 pukul 16:20)
25
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18482/4/Chapter%20II.pdf diakses pada 1 Mei 2015 pukul: 12.04)
(35)
dominan berada di lingkungan 4, 5 dan 6. Hal ini disebabkan, pada zaman dahulu para nenek moyang mereka sudah tinggal diwilayah tersebut.
Belanda yang saat itu bertindak sebagai pemerintah kolonial memberi tanah kepada suku bangsa Punjabi khususnya yang memelihara sapi. Dengan persyaratan yaitu suku bangsa Punjabi yang memelihara sapi harus memberi susu sapi ke orang Belanda dan ke rumah sakit Elisabet. Rumah sakit Elisabet merupakan rumah sakit yang pertama didirikan oleh Belanda di Kota Meda. Tanah yang diberikan Belanda itu juga dekat dengan lokasi rumah sakit tersebut yakni Sari Rejo Belanda memberi tanah kepada suku bangsa Punjabi khususnya yang memelihara sapi. Dengan persyaratan yaitu suku bangsa Punjabi yang memelihara sapi harus memberi susu sapi ke orang Belanda dan ke rumah sakit Elisabet.
Dahulu Sari Rejo merupakan lahan kosong dan masih ditumbuhi tanaman-tanaman liar. Oleh karena itu, Belanda memberikan lahan kosong ini untuk ditempati suku bangsa Punjabi dan juga memelihara sapi. Dari kemampuan berternak sapi inilah yang membuat kalangan suku bangsa Punjabi dapat tinggal di daerah dekat dengan perkotaan seperti Sari Rejo. Hal ini dikarenakan pada masa penjajahan Belanda, suku bangsa Punjabi yang berternak sapi dengan mudah mengantarkan susu sapi tersebut kepada orang Belanda yang umumnya tinggal di dekat daerah perkotaan.
Beternak sapi perah merupakan sistem mata pencaharian yang pertama ditekuni oleh suku bangsa Punjabi, setelah mereka tidak bekerja lagi sebagai buruh di perkebunan milik belanda. Pekerjaan ini ditekuni
(36)
mereka sebagaimana kebiasaan di daerah asalnya dan untuk memenuhi kebutuhan hidup akan susu dan minyak sapi. Peternak sapi perah ini menjual susu sapi tersebut ke rumah sakit negeri, swasta, pabrik, sesama suku bangsa Punjabi dan suku bangsa lain juga yang membutuhkan dan minyak sapi tersebut berguna untuk campuran dalam makanan yang dibuat dalam Gurdwaradan untuk minyak membakar jenazah suku bangsa Punjabi yang meninggal dunia.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Kota Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan suku bangsa, sampai saat sekarang ini usia Kota Medan telah tercapai 419tahun. Tionghoadan Jawasebagai kuli kontrak perkebunan.Setelah tahun 1880perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan suku bangsaTionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan.Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan suku bangsaJawa sebagai kuli perkebunan.Suku bangsaTionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan.
Gelombang kedua ialah kedatangan suku bangsa Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Kota Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru, dan ulama.Begitu juga yang terjadi di wilayah Sari Rejo, peternak sapi tidak lagi mendominasi, tanah garapan mereka sudah banyak berpindah tangan kepada pendatang dengan berbagai profesi baru yang ada. Hal ini disebabkan tidak
(37)
memungkinkannya lagi adanya peternakan di Sari Rejo yang saat itu mengalami kemajuan yang ditandai dengan intensitas kepadatan penduduk yang semakin meningkat.26
No
Saat ini kelurahan Sari Rejo merupakan hasil dari pemekaran Kelurahan Polonia. Pada awalnya masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Medan Baru yang kemudian dimekarkan sesuai dengan S.K. Gubsu No. 821:4/1991 pada tanggal 31 Oktober 1991. Kecamatan Medan Baru kemudian dimekarkan menjadi Kecamatan Medan Polonia dan Kecamatan Medan Maimoon Kota Medan.
2.1.4. Jumlah dan Susunan Penduduk
2.1.4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2. Gambaran Jumlah Penduduk Kelurahan Sari Rejo Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Rumah Tangga
Jumlah Penduduk Rata-rata
Anggota Rumah Tangga
Laki-laki Perempuan
13.122 12.961
5.824 26.083 4,48
1
( Sumber: Data BPS 2013)
26
(38)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Kelurahan Sari Rejo didominasi oleh masyarakat dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 13.122 jiwa yang terbagi dalam 5.824 rumah tangga.
2.1.4.2 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1 Pegawai Negeri Sipil 414
2 Karyawan Swasta 9.934
3 TNI 375
4 Petani 55
5 Pedagang 2.250
6 Pensiunan 356
7 Lainnya 1.001
(Sumber: Data BPS 2013)
Dari tabel di atas dapat dilihat bagaimana jenis pekerjaan karyawan swasta mendominasi jenis pekerjaan yang di lakukan masyarakat kelurahan Sari Rejo sebanyak 9.934 jiwa disusul berikutnya pedagang dengan 2.250 jiwa, jenis pekerjaan lainnya sebesar 1.001 jiwa, PNS sebesar 414, TNI sebesar 375, pensiunan sebesar 356 dan petani sebesar 55 jiwa.
(39)
2.1.4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
Tabel 4. Pembagian Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama Jumlah
1 Islam 20.379
2 Kristen dan Katolik 3.782
3 Hindu 235
(Sumber: Data BPS 2013)
2.2. Asal Mula Pangkalan Udara Soewondo
2.2.1. Sejarah Lanud Soewondo
Kekalahan bala tentara Jepang terhadap kedahsyatan pasukan Sekutu di seluruh Republik pada tahun 1945 telah membuat kocar-kacir unit-unit pasukannya. Begitu juga dengan unit tentara udaranya di Polonia Medan yang juga tak luput dari bombardir pesawat-pesawat sekutu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Letnan Khasmir untuk membentuk Bala Tentara Udara Republik di Polonia. Bala Tentara Udara ini bertugas untuk merampas senjata-senjata dan suku cadang pesawat milik Jepang yang tersimpan di gudang-gudang Polonia untuk dimanfaatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) udara. Selanjutnya Khasmir membentuk TKR Udara Berastagi. Sementara di bekas lapangan udara milik Jepang di desa Padang Cermin Kabupaten Langkat 40 km dari Medan telah pula terbentuk TKR Udara
(40)
Padang Cermin dibawah pimpinan Kapten Abdul Karim Saleh, yang kemudian lapangan terbang ini sempat menjadi pusat (Angkatan Udara Republik Indonesia) AURI di Sumatera Timur pada tahun 1946 diawal terbentuknya AURI.
Seperti semua Pangkalan Udara lain pada saat setelah Belanda takluk kepada pemerintah Republik Indonesia belum sepenuhnya mereka serahkan kepada Tentara Republik, demikian juga dengan Pangkalan Udara Polonia Medan. Baru pada tanggal 18 April 1950 “Militaire Luuchtvaart” Kerajaan Belanda dengan diwakili tiga perwiranya, dua diantaranya adalah Kapten Benjamin dan Kapten Sthud menyerahkan kepada pemerintah RI yang diwakili oleh Kapten Udara Mulyono sebagai Komandan Lanud Medan yang pertama. Penyerahan dilaksanakan dengan upacara militer yang dihadiri oleh seluruh anggota AURI yang ada di Sumatera Utara dan Aceh bertempat di depan Markas Lanud Medan.
Setelah serah terima Lanud Medan dari Kerajaan Belanda ke AURI maka dimulailah pengoperasian Lanud Medan yaitu dengan datangnya deploy pesawat-pesawat AURI seperti Mustang, Harvard dan lain-lain. Komandan Lanud Medan Kapten Udara Mulyono sendiri ikut menerbangkan pesawat-pesawat Mustang yang standby du Lanud Medan.
Tidak berapa lama kemudian pada tahun 1951 untuk melengkapi struktur organisasi Pangkalan Udara Medan, sekaligus antisipasi kemungkinan ancaman terhadap Pangkalan maka dibentuklah Batalyon
(41)
PGT pertama di Medan yaitu Batalyon Tempur C PGT Medan, dan yang menjabat sebagai Komandan Batalyon adalah LU I Yatiman.
Masa pemberontakan PRRI di Sumatera khususnya di kota Medan pada tahun 1957 juga tidak terlepas dari perjalanan sejarah keberadaan Lanud Medan, hal itu terbukti dengan dijadikannya Lanud Medan sebagai sasaran tembakan senjata lengkung pemberontak. Tidak kurang tiga lubang bekas jatuhnya peluru hampir melubangi landasan dan satunya jatuh di sebelah kanan pegawai sipil persenjataan atau lebih kurang sepuluh meter dari gudang senjata namun peluru tidak meledak. Untungnya lagi saat sebelum terjadinya serangan, para penerbang telah terlebih dahulu menerbangkan pesawat-pesawatnya meninggalkan Medan.
Serangan yang dilakukan pemberontak hanya dengan penembakan senjata lengkung tanpa ada upaya dari mereka untuk mencoba masuk ke areal Lanud, hal ini dikarenakan sebelumnya pemberontak sudah mengetahui bahwa areal Lanud dijaga oleh Pasukan Pertahanan Pangkalan yang sangat militan dan akan sulit menembusnya. “Silakan pemberontak masuk pangkalan...!!! akan saya habisi mereka.” Demikian teriakan yang dilontarkan oleh Letnan Harizt perwira Belanda yang tidak mau kembali ke tanah airnya dan lebih memilih bergabung dengan AURI sebagai Pasukan Pertahanan Pangkalan, sekarang jejaknya diteruskan oleh putrinya Hendrica menjadi penerbang TNI AU. Teriakan itu dilakukan sambil menenteng 12,7 ditangannya (dituturkan kembali oleh Bapak Rajha Gobhal mantan pegawai Miltaere Luchtvaart-Angkatan Udara Belanda)
(42)
Sehari setelah terjadinya serangan pemberontak ke Lanud Medan keesokan paginya dilaksanakan serangan balasan oleh AURI dengan membombardir tempat pengunduran pasukan pemberontak di jalan Binjai Stasion pemancar RRI dengan tiga pesawat Mustang yang salah satu penerbangnya adalah Letnan Udara II Soewondo. Pasukan pemberontak dibawah pimpinan Letkol Nainggolan akhirnya lari menuju daerah Tapanuli bergabung dengan pemberontak lainnya di Sumatera Barat dibawah pimpinan Ahmad Husein. Siangnya, Soewondo pada periode kedua terbang melakukan pengejaran. Namun naas karena terbang terlalu rendah pesawatnya tertembak oleh anak buah Nainggolan di desa Tangga Batu Tapanuli, Soewondo gugur. Untuk mengenang jasa Almarhum Letnan Udara II Soewondo namanya diabadikan menjadi nama komplek perumahan TNI Angkatan Udara Soewondo yang ada di Polonia Medan.
Setelah likuidasi organisasi, Pangkalan TNI Angkatan Udara Medan dijadikan Pangkalan Operasi dibawah jajaran Komando Operasi TNI Angkatan Udara I yang berkedudukan di Jakarta. Pada era ini Lanud Medan telah dijadikan sebagai Pangkalan tempat pelaksanaan latihan bersama dengan negara-negara tetangga sekawasan dan pada era ini juga Pangkalan TNI Angkatan Udara Medan diresmikan oleh Menhankam Pangab yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI M. Yusuf sebagai tempat dislokasi satuan tempur udara pesawat “A-4 Skyhawk”.
Kemudian kedatangan pesawat-pesawat tempur baru menyusun kekuatan baru dijajaran Koopsau I. Sejak ditempatkannya pesawat Hawk di
(43)
Skadron udara 12 Lanud Pekanbaru dan Skadron Udara 1 Lanud Supadio Pontianak, Lanud Soewondo tidak lagi dijadikan Pangkalan Udara tempat pelaksanaan Latihan Bersama.
2.2.2. Sejarah Perkembangan Bandar Udara Polonia
Nama Polonia berasal dari nama negara asal para pembangunnya, Polandia (Polonia merupakan nama "Polandia" dalam Bahasa Latin). Sebelum menjadi bandar udara, kawasan tersebut merupakan lahan perkebunan milik orang Polandia bernama Michalski. Tahun 1872 dia mendapat konsesi dari Pemerintah Belanda untuk membuka perkebunan tembakau di Pesisir Timur Sumatera tepatnya daerah Medan. Kemudian dia menamakan daerah itu dengan nama Polonia, yang saat itu belum merdeka.
Tahun 1879 karena suatu hal, konsesi atas tanah perkebunan itu berpindah tangan kepada Deli Maatschappij (Deli MIJ) atau NV Deli Maskapai. Tahun itu terdapat kabar pionir penerbang bangsa Belanda van der Hoop akan menerbangkan pesawat kecilnya Fokker dari Eropa ke wilayah Hindia Belanda dalam waktu 20 jam terbang. Maka Deli MIJ yang memegang konsesi atas tanah itu, menyediakan sebidang lahan untuk diserahkan sebagai lapangan terbang pertama di Medan. Pada tahun 1924,
(44)
setelah berita pertama tentang kedatangan pesawat udara itu tidak terdengar, maka rencana kedatangan pesawat udara kembali terdengar.27
Pada tahun 1936 lapangan terbang Polonia untuk pertama kalinya melakukan perbaikan yaitu pembuatan landasan pacu (runway) sepanjang 600 meter. Pada tahun 1975, berdasarkan keputusan bersama Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Perhubungan dan Departemen Keuangan, pengelolaan pelabuhan udara Polonia menjadi hak pengelolaan
Mengingat waktu itu sangat pendek, persiapan untuk lapangan terbang tidak dapat dikejar, akhirnya pesawat kecil yang diawaki van der Hoop yang menumpangi pesawat Fokker, bersama VN Poelman dan van der Broeke mendarat di lapangan pacuan kuda yakni Deli Renvereeniging, disambut Sultan Deli, Sulaiman Syariful Alamsyah.
Setelah pesawat pertama mendarat di Medan, maka Asisten Residen Sumatera Timur Mr. CS Van Kempen mendesak pemerintah Hindia Belanda di Batavia, agar mempercepat dropping dana untuk menyelesaikan pembangunan lapangan terbang Polonia. Pada 1928 lapangan terbang Polonia dibuka secara resmi, ditandai dengan mendaratnya enam pesawat udara milik KNILM, anak perusahaan KLM, pada landasan yang masih darurat, berupa tanah yang dikeraskan. Mulai tahun 1930, perusahaan penerbangan Belanda KLM serta anak perusahaannya KNILM membuka jaringan penerbangan ke Medan secara berkala
27
(45)
bersama antara Pangkalan Udara AURI dan Pelabuhan Udara Sipil. Dan mulai 1985 berdasarkan Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1985, pengelolaan pelabuhan udara Polonia diserahkan kepada Perum Angkasa Pura yang selanjutnya mulai 1 Januari 1994 menjadi PT. Angkasa Pura II (Persero).
Panjang landasan pacu saat ini adalah 2.900 meter, sementara yang dapat digunakan sepanjang 2.625 meter (sehingga terdapat displaced threshold sebesar 275 meter). Hal ini terjadi karena banyaknya benda yang menghalang di sekitar tempat lepas landas dan mendarat. Polonia juga memiliki 4 taxiway dan apron seluas 81.455 meter. Polonia dirancang untuk dapat memuat maksimum sekitar 900.000 penumpang. Dari tahun ke tahun arus penumpang Polonia cenderung mengalami peningkatan antara 15 hingga 20 persen. Pada tahun 2003, arus penumpang mencapai sebesar 2.736.332 orang, naik dari 2.090.519 orang pada tahun sebelumnya. Jumlah pergerakan pesawat adalah 36.359 pada tahun 2003, naik dari 29.894 pada tahun 2002. Tercatat ada 13.713 penerbangan domestik dan 4.387 penerbangan internasional dari Polonia pada 1998. Pada 2004 jumlahnya telah mencapai 35.100 penerbangan domestik dan 8.266 penerbangan internasional.
Dari segi jumlah penerbangan, pada 1998 terdapat 56 penerbangan dalam sehari, namun pada tahun 2005 telah meningkat antara 125 hingga
(46)
melebihi 150 penerbangan perhari, dengan penumpang lebih kurang 3,8 juta orang pertahun, baik domestik dan internasional.
Terdapat dua terminal penumpang di terminal keberangkatan dan satu untuk kedatangan, dan jika ditotal luasnya mencapai 13.811 meter². Keduanya juga masing-masing dibagi untuk penerbangan domestik dan internasional. Terminal domestik Polonia mempunyai luas 7.941 meter² dan saat ini (laporan Januari 2006) menampung 1.810 orang yang datang bersamaan, sehingga setiap penumpang mempunyai luas 4m², kurang dari standar sebesar 14m² yang ditetapkan pemerintah. Mulai 1 Oktober 2006, menyusul peristiwa penyimpangan muatan barang di 2006, dioperasikan pula sebuah terminal kargo satu pintu yang diharapkan dapat menertibkan pergerakan kargo dan mencegah terjadinya manipulasi muatan barang.
Bandara Kualanamu menjadi penggati bandara Polonia Medan setelah tahun 1994 sejumlah pejabat Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara yang saat itu dipimpin Raja Inal Siregar mengeluarkan wacana pemindahan bandara Polonia mengingat pertumbuhan kota Medan menjadi kota yang cukup padat saat itu. Setahun kemudian, pemerintah pusat memberikan dukungan lewat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 41 Tahun 1995.
(47)
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara lalu menentukan daerah pinggiran sebagai pengganti lokasi Bandara Polonia yang saat ini bernama Bandara Kualanamu Medan. Awalnya, pada 1994, sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan wacana pembangunan bandara baru untuk menggantikan Polonia yang berada di tengah kota Medan yang saat itu mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat. Setahun kemudian, pemerintah pusat memberikan dukungan lewat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 41 Tahun 1995.Sedianya, pembangunan bandara akan dilakukan pada 1997. Pembangunan harus tertunda lama lantaran badai krisis ekonomi menerpa Indonesia.Di awal 2000, ide pembangunan bandara di Kuala Namu yang mengendap cukup lama, kembali diangkat dalam rencana pembangunan nasional. Pengerjaan kontruksi perdana baru dilakukan pada 2006 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.Pengerjaan konstruksi yang lambat karena berbagai hal, membuat target pengoperasian Kuala Namu dimundurkan beberapa kali.Hingga akhirnya pemerintah menyatakan bandara yang diproyeksi menjadi hub Internasional di Asia Tenggara itu siap dioperasikan pada Kamis, 25 Juli 2013 dini hari.
(48)
2.3. Forum Masyarakat Sari Rejo (FORMAS)
Masalah pertanahan ini masih disadari sebagai faktor yang sangat rentan.Hal itu disebabkan tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia.Karena itubanyak yang berkepentingan dengan tanah.Tanah bisa dijadikan tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat berbagai lokasi kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya manusia.Adanya keinginan untuk memiliki atau mendapatkan tanah, maka bisa menyebabkan munculnya konflik.
Konflik yang berkelanjutan antara masyarakat Kelurahan Sari Rejo dan Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Udara (TNI-AU) sampai saat ini belum menemui titik temu. Kondisi ini diperparah dengan tidak seriusnya pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik yang sampai saat ini masih berlangsung.
Masyarakat menganggap tanah yang dihuni sejak tahun 1948 seluas 260 Ha tidak termasuk dalam area yang tertuang dalam seritifikat hak pakai nomer 1 tanggal 13 Juni 1997 dan sertifikat hak pakai nomer 4 tanggal 25 juni 1997 yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Repubilk Indonesia.
Dengan adanya kasus tersebut, tuntutan terhadap legalitas tanah yang mereka duduki sekarang ini dirasa perlu.Masyarakat menilai legalitas diperlukan guna memberikan kepastian hukum dalam pengembangan perekonomian masyarakat.Dengan adanya legalisasi hak atas tanah tersebut, warga masyarakat dapat menjadi kekuatan untuk meningkatkan perekonomian di Kelurahan Sari Rejo, karena hak legalisasi tanah tersebut
(49)
dapat dijadikan sebagai agunan di bank dan dapat menambah uang pemasukan bagi negara.
Masyarakat merasa terancam dengan status tanah sengketa di tanah yang mereka duduki. Proses sengketa yang berjalan lama dan belum menunjukkan jalan keluar atas penyelesaian konflik mengakibatkan masyarakat sulit untuk melakukan pembangunan. Proses ini dianggap masyarakat berpotensi pada matinya roda ekonomi masyarakat yang berada di area sengketa.
Masyarakat yang merasa terdesak oleh TNI-AU mulai mengasosiasikan dirinya menjadi satu kesatuan. Mereka merasa tanah yang mereka tempati merupakan hak mereka.Konflik vertikal ini yang selanjutnya menumbuhkan kesadaran perlunya sebuah organisasi yang dapat menjadi wadah perjuangan masyarakat Sari Rejo dalam memperjuangkan haknya.
Berdasarkan akta pendirian Formas tanggal 24 Februari 2011 No.30 dihadapan notaris Muhammad Dodi Budiantoro yang berkantor di Jalan Jenderal Ahmad Yani No 70 lantai dua, masyarakat kelurahan Sari Rejo memiliki organisasi kemasyarakatan yang mempunyai tujuan pembelaan hak-hak masyarakat Sari Rejo.
Konsep gerakan yang lebih terlihat insidental akibat adanya tekanan mendorong masyarakat menciptakan asosiasi dalam tubuhnya yang
(50)
bertujuan sebagai sarana penampung aspirasi dan konsolidasi gerak menuju perubahan. Dalam hal ini gerakan sosial masyarakat Sari Rejo dalam sebuah institusi FORMAS memiliki satu fokus utama dalam penuntutan hak kepemilikan atas tanah oleh negara atau dalam hal ini TNI-AU.
Guna memperkuat konsolidasi antar anggota. FORMAS mengembangkan asosiasi-asosiasi berbasis kebudayaan, agama dan dan kemasyarakatan guna memperkuat suprastruktur organisasi. Konsolidasi-konsolidasi ini dianggap sebagai penopang dan sistem adaptasi organisasi terhadap semua isu yang ada di tataran anggota..
(51)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang berupaya untuk mencapai tujuan pembangunan di segala bidang kehidupan. Dengan potensi alam dan manusia yang begitu berlimpah, maka sangat wajar jika harapan agar terwujudnya kesejahteraan sosial selalu ada.
Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa “ bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat tersebut mengisyaratkan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya dengan melakukan pengelolaan sumber daya yang dimilikinya secara adil.
Selama ini pembangunan selalu diukur semata dengan angka pertumbuhan ekonomi. Terjadi kemunduran di sektor tempat bernaung penduduk miskin yang berbanding lurus degan kesenjangan ekonomi.1
1
“Dampak Abaikan Pertanian. Perlu Sikap Revolusioner untuk Ciptakan Lapangan Kerja”. Kompas, Jumat, 4 April 2014. Hal 1
. Hal ini kian menajam akibat praktek korupsi ditambah dengan krisis ekonomi berkepanjangan yang telah membuka peluang bagi setiap potensi konflik menjadi ledakan kerusuhan yang pada gilirannya melahirkan pelanggaran
(52)
Hak Asasi Manusia (HAM). Persebaran kondlik di Indonesia dewasa ini (2008-2010) tercatat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1. Distribusi Jumlah Konflik dan Kekerasan di Indonesia Tahun 2008-2010
Isu Konflik Jumlah Presentase
Konflik Berbasis Agama/Etnis 90 2,2
Konflik Politik 559 13,9
Konflik Antaraparat Negara 31 0,8
Konflik Sumber Daya Alam 313 7,8
Konflik Sumber Daya Ekonomi 332 8,3
Tawuran 1.089 27,1
Penghakiman Massa 1.107 27,5
Pengeroyokan 302 7,5
Lain-lain 198 4,9
Total 4.021 100
Sumber : Institut Titian Perdamaian. Dinamika Konflik & Kekerasan Di Indonesia 2011.
Varian konflik yang berumur panjang dan mengandung komposisi pelanggaran HAM yang sangat banyak dengan grafik yang meningkat dari waktu ke waktu adalah konflik agraria. Hal ini selaras dengan keberadaan sumber daya alam yang melimpah sebagai karakteristik utama negara-negara agraris seperti Indonesia. Terutama peningkatan kebutuhan atas
(53)
tanah yang berkembang seiring dengan kebutuhan pengelolaan tanah untuk kepentingan pembangunan nasional dan industri.
Keberadaan konflik agraria sebagai konflik sosial dalam kehidupan bangsa Indonesia diawali sejak masa kolonial, dimana perkebunan besar menjadi sistem agraria yang berperan langsung sebagai hulu dari proses memasukkan rakyat dan tanah Indonesia ke dalam ekonomi pasar global. Namun pada 24 September 1960, Presiden Soekarno secara resmi mengesahkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA 1960). Pada awalnya, UU ini dimaknai sebagai kulminasi usaha untuk meruntuhkan dominasi modal asing sebagai bagian utama politik agraria, sekaligus sebagai bentuk upaya pembangunan dengan membagikan tanah secara merata kepada petani yang tidak mempunyai tanah.
Pada tahun 1967, orientasi politik agraria dan pembangunan diganti drastis dan dramatis oleh Presiden Soeharto, semula ideologi yang anti dengan kapitalisme diubah menjadi ideologi kapitalisme yang pro modal asing. Penggantian ini merupakan kelanjutan upaya pembasmian orang-orang komunis, keberhasilan kudeta atas presiden Soekarno, dan kepemimpinan rezim militer di arus politik nasional pada periode 1965-1966.2
2
Koalisi Untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran(KKPK). Menemukan Kembali Indonesia : Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. KKPK. 2014. Hal 157
(54)
Pola konflik agraria di Indonesia sudah bergeser dari konflik secara horizontal di masa Orde Lama menjadi konflik yang bersifat vertikal di masa Orde Baru, yang artinya bahwa pada masa Orde Lama konflik agraria lebih di dominasi antara rakyat dengan rakyat, akan tetapi pada masa Orde baru konflik agraria tidak hanya antara rakyat dengan rakyat tetapi terdapat kecenderungan lebih didominasi konflik antar rakyat dengan pemodal yang sering di dukung oleh intervensi pemerintah. Pengambilan tanah-tanah rakyat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran dengan menggunakan kekerasan, penaklukan, dan manipulasi ideologis dengan cara-cara yang melanggar hak asasi manusia. 3
Kebijakan pemerintahan Orde Baru Jenderal Soeharto yang meletakkan prioritas pembangunan nasional dalam proses-proses ekonomi (investasi), menjadikan politik sebagai kegiatan sekunder. Akibatnya ialah pelemahan daripada politik penyelesaian konflik-konflik secara damai terkhusus konflik agraria, yang karenanya memperbesar potensi timbulnya kekerasan dalam masyarakat, juga dalam hubungan-hubungan antara negara/pemerintah dengan rakyat. Dampaknya ialah rentannya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang menjadi penyebab pokok pelanggarannya ialah ekses dari kekerasan.4
Setelah jatuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998 hingga sekarang, bangsa Indonesia belum mampu melepaskan diri dari belenggu kekerasan.
3
Noer Fauzi, dalam M. Mas’oed, Tanah dan pembangunan, Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 9.
4
E. Shobirin Nadj & Naning Mardiniah. Disemasi Hak Asasi Manusia.Jakarta, CESDA-LP3ES 2000.Hal 55.
(55)
Kesenjangan sosial ekonomi yang semakin menguat akibat praktek korupsi ditambah dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan telah membuka peluang bagi setiap potensi konflik agraria melahirkan beragam pelanggaran HAM.
Kuatnya jaminan perlindungan HAM yang diberikan konstitusi, tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan pemenuhan hak asasi. Lengkapnya instrumen hukum nasional yang secara khusus mengatur mengenai bagaimana negara harus memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi, pun nampak tidak memiliki makna. Sehari-hari bisa dengan mudah kita saksikan terjadinya pelanggaran, baik secara langsung (by commision), maupun tindakan pembiaran (by ommision), dan kegagalan negara untuk bertindak secara layak (failure to act) dalam melindungi HAM.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan selama tahun 2013 mencatat 369 kasus konflik agraria yang luasannya mencakup 1,2 juta hektare, dengan banyak korban sebanyak 21 orang meninggal dunia, 30 orang menjadi korban penembakan, 130 orang mengalami penganiayaan dan 239 orang ditahan oleh pihak keamanan.5
Seirama dengan KPA, data yang disuguhkan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mencatat konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, terjadi menyebar
5
http://inilahguwah.blogspot.com/2013_07_01_archive.html diakses pada: 15 September 2014 pukul: 15.19
(56)
di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi alias setara separuh Sumatera Barat. Penyumbang konflik terbesar sektor perkebunan dan kehutanan, mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan non kebun. Sektor perkebunan 119 kasus, dengan luasan area mencapai 413.972 hektar, sedang sektor kehutanan 72 kasus, dengan luas area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.6
Salah satu konflik agraria yang melibatkan masyarakat dan pemerintah yang terjadi di perkotaan adalah sengketa tanah yang terjadi di kelurahan Sari Rejo, kecamatan Medan Polonia, Sumatera Utara. Sejak
Buruknya situasi pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) sepertinya belum menjadi refleksi dan pertimbangan utama pemerintahan Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah perbaikan. Situasi ini tergambar dari masih tingginya praktik pelanggaran HAM masa lalu yang belum menemukan titik terang, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang belum mendapat perlindungan memadai, konflik masyarakat melawan perusahaan maupun negara untuk memperebutkan lahan terus berkecamuk dan semakin lengkap dengan masih tingginya peristiwa kekerasan di berbagai daerah. Terkhusus pada konflik agraria kita melihat bahwa lemahnya upaya penyelesaian konflik tersebut mengakibatkan semakin tingginya praktek konflik agraria yang kemudian tidak hanya menjadikan masyarakat pedesaan (petani) sebagai korban tetapi juga terjadi di perkotaan.
6 Ibid.
(57)
tahun 1984, tanah seluas 260 hektar yang telah dikuasai oleh masyarakat yang dihuni sekitar 30 ribu jiwa (4724KK) ini memang belum memiliki sertifikat.
Awal dari sengketa lahan di kelurahan Sari Rejo adalah putusan gugatan dari 87 warga (penggarap) terhadap Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU) sebagai tergugat pada register IKN No. 50506001 yang terdapat di kelurahan Sari Rejo kecamatan Medan Polonia. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 310/Pdt G/1989/PN-Mdn tanggal 8 Mei 1990, mengabulkan gugatan para penggarap. Perbuatan tergugat yang melarang para penggugat untuk membangun rumah atau mengharuskan para penggugat agar terlebih dahulu memperoleh izin dari tergugat untuk membangun rumah diatas tanah sengketa adalah perbuatan melanggar hukum. Tidak hanya sampai disitu, tergugat TNI-AU banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Medan melalui putusan PT Medan No. 294/PDT/1990/PT-MDN tanggal 8 mei 1990 yang dimohonkan banding. Pihak TNI-AU melakukan kasasi atas keputusan Pengadilan Tinggi Medan ke Mahkamah Agung. Kemudian, putusan Mahkamah Agung (MA) RI No.229 K/Pdt/1991 tanggal 18 Mei 1995 menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi, pemerintah RI di jakarta c/q Panglima ABRI di jakarta c/q Komandan Pangkalan TNI-AU Polonia Medan.
Keputusan Mahkamah Agung yang menyebutkan tindakan pelarangan mendirikan bangunan yang dilakukan TNI-AU kepaada 56 persil (nomor pokok wajib pajak) milik masyarakat Kelurahan Sari Rejo
(58)
merupakan bentuk pelanggaran hukum dan secara otomatis menganulir batas-batas wilayah yang tercantum pada keputusan KSAP No. 023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950. Tetapi, keputusan Mahkamah Agung tidak serta merta memberikan kejelasan atas penyelesaian konflik di Kelurahan Sari Rejo pada register IKN No. 50506001. Keputusan Mahkamah Agung yang hanya memenangkan 56 persil juga tidak serta merta membuat masyarakat puas, karena dari tanah yang bersengketa (260 ha) hanya sebagian kecil yang bisa dimenangkan.
Kebuntuan hukum dalam penyelesaian konflik tanah Kelurahan Sari Rejo yang berlarut-larut menimbulkan sepekulasi dari masyarakat bahwa konflik ini merupakan bagian dari skenario politik pemerintah . Hal ini muncul seiring dengan isu pemindahan Bandara Polonia Medan yang dinilai tidak lagi kondusif sebagai Bandara yang melayani Penerbangan Komersil. Akan tetapi, masyarakat merasa adanya kejanggalan dengan melihat semakin pesatnya pertumbuhan perumahan elit dan pembangunan Central Business District (CBD). Padahal aset tersebut masih termasuk dalam register IKN No.50506001 yang sampai saat ini masih dalam area sengketa tanah dengan masyarakat Kelurahan Sari Rejo. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat yang belum dapat memaksimalkan asetnya (tempat tinggal dan membuka usaha) karena belum adanya kepastian hukum tentang kepemilikan tanah.
Puncaknya, pada 24 Februari 2011 masyarakat Kelurahan Sari Rejo membentuk Organisasi kemasyarakatan yang mempunyai tujuan
(59)
mengakomodir aktivitas pembelaan hak-hak masyarakat Sari Rejo dalam memperjuangkan hak atas tanahnya dengan nama Forum Masyarakat Sari Rejo (FORMAS).
Masyarakat menilai bahwa perjuangan yang dilakukan selama ini terlalu bergantung pada tokoh-tokoh tertentu dalam menyelesaikan konflik ini. Masyarakat menginginkan semua kepentingannya dapat ditampung dalam satu institusi yang sama untuk menghindari munculnya faksi-faksi baru yang akan mengurangi semangat perjuangan masyarakat Sari Rejo karena mengingat sebagian kecil tanah yang bersengketa telah mendapatkan sertifikat sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung.
Selain perjuangan di jalur perdata yang masih mengalami kebuntuan, masyarakat juga melakukan aksi-aksi demonstrasi. Berbagai aksi demonstrasi dilakukan oleh FORMAS sendiri maupun beraliansi dengan berbagai elemen masyarakat. Maka, konflik ini semakin menemui klimaksnya saat 1 Mei 2012 yang bertepatan dengan perayaan Hari Buruh Internasional (MAYDAY), FORMAS bergabung dengan berbagai elemen masyarakat dan membentuk Aliansi bernama Dewan Buruh Sumatera Utara (DBSU) untuk melakukan aksi unjuk rasa dengan menghentikan aktivitas Bandara Polonia sebagai bentuk protes terhadap seluruh masalah sektoral yang tidak kunjung dapat diselesaikan oleh pemerintah termasuk konflik agraria Kelurahan Sari Rejo.
(60)
Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait fenomena”Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM
(Studi Deskriptif terhadap kasus di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia).”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu
1. Mengapa konflik agraria terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara?
1.3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan usaha-usaha bagaimana untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Dimana batasan masalah berfungsi untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang masuk ke dalam ruang penelitian dan faktor mana yang tidak masuk ke dalam ruang penelitian, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Apa sebab-sebab terjadinya Konflik Agraria di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan?
2. Bentuk pelanggaran apa yang dialami oleh masyarakat
(61)
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui penyebab Konflik Agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.
2. Memahami dan menganalisa bagaimana keterkaitan Konflik Agraria dalam perspektif HAM.
1.5. Signifikansi Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu memberikan sebuah sumbangsih pemikiran mengenai konflik agraria di perkotaan dalam perspektif HAM.
2. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam Ilmu Politik, khususnya dalam Konflik Agraria di perkotaan dalam perspektif HAM dan menjadi referensi/kepustakaan Departemen Ilmu Politik FISIP USU
3. Bagi masyarakat luas, kiranya hasil penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang konflik agraria dan HAM.
(1)
KONFLIK AGRARIA DI PERKOTAAN DALAM
PERSPEKTIF HAM
(Studi Deskriptif terhadap Kasus di Kelurahan Sari Rejo,
Kecamatan Medan Polonia)
SKRIPSI
OLEH :
Abdul Halim Sukma Sembiring 090906052
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
(2)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerah-Nya, skripsi yang berjudul “Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM (Studi Deskriptif terhadap Kasus di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia)” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian akhir Strata-1, jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara Medan.
Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis haturkan kepada :
1. Kedua orang tua saya, Bapak Syamsudin Sembiring dan Ibu Rosmita Kaban yang selalu memberikan semangat kepada saya baik secara moril maupun materi. Terimakasih atas semuanya. SKRIPSI INI SAYA PERSEMBAHKAN UNTUK KALIAN.
2. Keempat saudara kandung saya, Syahrial Mori Sembiring,
Kurniawan Sembiring, Firmansyah Sembiring, dan Luthfy Hanafi Sembiring. Terimakasih atas semua motivasinya.
3. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU.
4. Terima kasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua
Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
5. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Tonny P.
Situmorang selaku dosen pembimbing untuk segala saran, kritik, dan motivasi yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
(3)
8. Kepada seluruh teman-teman saya yang selalu mendukung saya selama proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam pengumpulan data, pengolahan data, serta penyajiannya. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca walaupun masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih bagi semua pihak yang telah memberi bimbingan, masukan, bantuan dan dukungan selama proses pengerjaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Medan, 23 Januari 2016
(4)
DAFTAR ISI
Ha l KataPengantar... I
Daftar Isi ... ii
Daftar Tabel ... iii
Daftar Gambar………. iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang…………... 1
1.2 Perumusan Masalah... 10
1.3 Pembatasan Masalah….. ... 10
1.4 Tujuan Penelitian... 11
1.5 Signifikansi Penilitian... 11
1.6 Kerangka Teori 1.6.1. Hak Asasi Manusia... 12
1.6.2. Teori Konflik Karl Marx... 16
1.7. Metodologi Penelitian 24 1.7.1. Jenis Penelitian... 25
1.7.2. Lokasi Penelitian... 26
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data... 26
1.7.4. Teknik Analisis Data... 27
(5)
2.1.2. Keadaan Alam... 31 2.1.3. Sejarah Tanah Sari Rejo...
2.1.4. Jumlah dan Susunan Penduduk... 2.1.4.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin...
35
2.1.4.2. Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan....
36
2.1.4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama... 37 2.2. Asal Mula Pangkalan Udara Soewondo... 37
2.2.1. Sejarah Lanud Soewondo...
37 2.2.2. Sejarah Perkembangan Bandar Udara Polonia.
41
2.3. Forum Masyarakat Sari Rejo
(FORMAS)... 46
BAB III Penyajian Dan Analisis Data
3.1. Asal Muasal Konflik Agraria Kelurahan Sari Rejo,
Kecamatan Medan Polonia... 49
3.2. Gambaran Konflik Agraria Kelurahan Sari Rejo,
Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.... 57
3.2.1. Konflik Masyarakat dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara... 57 3.2.2. Konflik Horizontal Organisasi Forum Masyarakat Sari Rejo... 63 3.3. Analisis Konflik Agraria terhadap Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia...
68
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 76
4.1. Kesimpulan……… 76
(6)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Distribusi Jumlah Konflik dan Kekerasan di Indonesia
Tahun 2008-2010...2 Tabel 2 Gambaran Jumlah Penduduk Kelurahan Sari Rejo
Berdasarkan Jenis Kelamin...35 Tabel 3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan... 36 Tabel 4 Pembagian Penduduk Berdasarkan Agama... 37
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Peta Kelurahan Sari Rejo... 30 Gambar 2 Aksi yang Dilakukan FORMAS Bersama DBSU ...61