Konflik Horizontal Organisasi Forum Masyarakat Sari Rejo

69

3.2.2. Konflik Horizontal Organisasi Forum Masyarakat Sari Rejo

Berdirinya FORMAS tanggal 24 Februari 2011 tidak serta memerta memberikan kepuasan terhadap pemenuhan kepentingan masyarakat terhadap penuntutan legalitas atas hak tanah mereka. Proses berjalannya perjuangan masyarakat menemui banyak halangan. Muncul faksi-faksi baru dalam tubuh FORMAS yang mencoba memberikan pandangan baru terhadap gaya gerak FORMAS yang mereka anggap belum dapat memberikan perubahan yang signifikan. Proses pencapaian tujuan yang tidak kunjung terealisasi menjadi isu utama dalam internal FORMAS. Masyarakat mulai mempertanyakan visi kepengurusan. Anggota Formas pada saat itu mulai membentuk opini pro dan kontra terhadap kepengurusan FORMAS pimpinan bapak Riwayat Pakpahan. Hal ini dikemukakan oleh bapak Rinto Pasaribu: “Ada penilaian saat itu tentang adanya oknum yang bermain di kepengurusan, kayak yang ku bialang tadi, seperti ada ibu- ibu dulu yang coba untuk jadi makelar tanah, saya rasa itu yang dirasakan masyarakat saat itu.Ini kan akibat pemerintah gak mau ngasih kepastian tanah kami, kalo kami gak legal kenapa SK camat ada dan kepengurusan saat itu kami nilai banyak diduduki oleh orang baru”. 36 Ketidak jelasan targetan gerakan yang dilakukan masyarakat Sari Rejo dengan wadahnya FORMAS menjadi awal bagaimana konflik internal organisasi terbentuk. Faksi-faksi mulai bermunculan dalam tubuh organisasi 36 Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo Universitas Sumatera Utara 70 sebagai simbol ketidakpercayaan terhadap organisasi. Organisasi dinilai tidak dapat menjadi wadah kepentingan bersama oleh beberapa anggota. Faksi-faksi mulai bermunculan dengan lebel orang lama dan orang baru sebagai akibat perbedaan misi dalam cara pandang konflik dalam menjalankan aktifitas organisasi saat tersebut. “Kami melihat ini ada pilih kasih dalam kepengurusan dalam hal penyelesaian, oke, ku akui di masa kepemimpinan pak Riwayat memang bukti keberhasilan ada contohnya ya keputusan Mahkamah Agung itu.Tapi setelah itu tidak ada”. 37 Karena itu warga masyarakat Kelurahan Sari Rejo yang berada di lokasi yang sama dengan pihak kelurahan telah berupaya dalam memperjuangkan sertifikasi hak atas tanah dengan berusaha mengajukan Perbandingan mencolok memang timbul di tengah masyarakat yang menjadi anggota FORMAS dengan warga masyarakat yang tinggal di Perumahan Taman Malibu Indah, Villa Polonia, Villa Grand Polonia,warga masyarakat yang ada di Kelurahan Polonia, dan Pangkalan Mashyur yang berbatasan langsung dengan Kelurahan Sari Rejo yang telah memiliki sertifikasi atas tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.Yang paling menyedihkan kenyataan bahwa warga masyarakat yang berada di Jalan Antariksa yang lokasinya masih berada di Kelurahan Sari Rejo dapat memperoleh sertifikasi hak atas tanah No. 4 tanggal 5 juli 2002, namun lingkungan lainnya di Kelurahan Sari Rejo belum mendapatkan sertifikat tanahnya. 37 Ibid. Universitas Sumatera Utara 71 permohonan kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional BPN dan warga masyarakat telah melengkapi segala persyaratan yang diperlukan terutama surat keterangan dari pihak kelurahan dan kecamatan yang menerangkan bahwa warga masyarakat merupakan penduduk tetap dan pemilik terhadap tanah yang ada di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. Konflik internal semakin menemukan klimaksnya pada tahun 2012 kelompok Pahala Napitupulu menciptakan FORMAS tandingan dengan cara melakukan musyawarah luar biasa yang dilakukan di kantor kelurahan Sari Rejo. Hal ini ditegaskan oleh bapak Pahala Napitupulu: “Kami merasa banyak dari kami yang tidak diakomodir di FORMAS yang terdahulu, makanya kami memilih untuk melakukan regenerasi FORMAS dengan cara musyawarah luarbiasa di kantor lurah”. 38 Kondisi ini memperlihatkan kaum intelektual dalam organisasi belum dapat menginternalisasikan idiologi yang mereka gunakan dalam perjuangan. Hal ini juga menyulut tingkatan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi semakin rendah. Internalisasi idiologi yang tidak Jelas terlihat bagaimana kondisi organisasi saat itu yang dianggap tidak lagi dapat menampung seluruh kepentingan yang ada dalam struktur organisasi. Munculnya paradigma orang lama dan orang baru menjadi isu hangat dalam organisasi selain realisasi visi organisasi yang tidak kunjung memperoleh hasil yang maksimal. 38 Wawancara dilakukan dengan Bapak Pahala Napitupulu pada 24 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo Universitas Sumatera Utara 72 berjalan dengan baik juga memicu ketidaksepahaman anggota organisasi yang berujung pada perbedaan pandangan terhadap cara gerakan sosial yang dilakukan. Ketidak percayaan sebagian masyarakat terhadap kelompok yang mereka bentuk menunjang faksi baru dalam organisasi terbentuk. Ketidakpercayaan terhadap kelompok menjadi salah satu potensi yang menimbulkan perpecahan dalam organisasi. Dalam perjalannya, terbentuknya kelompok baru dalam FORMAS Sari Rejo tidak dapat dielakkan lagi sebagai reaksi dari tidak diakomodirnya berbagai kepentingan yang ada. Analisis teori Gramsci, yaitu ketika terjadi suatu perlawanan atas kondisi tatanan hegemoni baik terstruktur atau tidak maka hal yang mutlak yang mesti dilakukan adalah membangkitkan semangat perlawanan atas eksploitasi dan hegemoni tersebut. Supremasi dari sebuah kelompok sosial ditunjukkan ada dua cara, yaitu dalam bentuk dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual. Hal ini juga diungkapkan oleh bapak Rinto Pasaribu: “Kami merasa hanya sebagian orang yang diuntungkan dengan pembentukan Formas, sampai sekarang bukti nyatanya kami belum dapat apa yang menjadi tujuan kami yaitu sertifikat tanah. Saya juga melihat pandangan kami jarang yang jadi perhatian oleh organisasi. Daripada kami selalu menjadi orang yang tidak dianggap di FORMAS yang lama”. 39 39 Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo Universitas Sumatera Utara 73 Dari pernyataan informan di atas dan berangkat dari pemahaman yang ada, suatu gerakan sosial dalam historisnya ataupun secara dialektika memiliki determinasi bagi perubahan sosial itu sendiri. Suatu gerakan yang dilatarbelakangi suatu kondisi secara kualitas maupun kuantitas yang tidak sesuai dengan keinginan atau cita-cita idea yang dimiliki oleh individu- individu atau masyarakat. dimana suatu gerakan itu diharapkan dapat terorganisir secara sadar ataupun dalam bentuk reaksi, agar dapat mencapai titik yang dicita-citakan atau yang dibutuhkan oleh manusia-manusia itu sendiri. Oleh karena itu agar gerakan itu dapat terorganisir, maka masyarakat atau agen perubahan itu juga harus sadar apa yang menjadi arah atau cita-cita dari gerakan dan kondisi objektif yang mereka alami. Dengan kata lain, munculnya FORMAS yang diketuai oleh Pahala Napitupulu merupakan hal logis yang terjadi dalam kelompok masyarakat yang diakibatkan perbedaan pandangan dalam cara gerak dalam mencapai tujuan. Pandangan lain diungkapkan oleh ibu Sri kunarsih: “Sebenarnya saya tidak melihat adanya kekuatan organisasi untuk memberikan legalitas dalam konflik agraria di kelurahan Sari Rejo ini dan hal ini harus kita akui bersama.Saya melihat sebenarnya peran pemerintah dalam menetapkan status tanah adalah penentu utama dalam penyelesaian konflik. Malah saya melihat adanya proses pembiaran, masyarakat dituntut untuk melawan sebuah institusi besar dalam Negara yang terstigma memiliki kekuatan besar. Dalam hal ini organisasi bertindak sebagai bentuk konsolidasi masyarakat dalam mengawal penyelesaian konflik dan bukan memberikan legalisasi terhadap tanah yang kami tempati”. 40 40 Wawancara dengan Ibu Sri Kunarsih pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo Universitas Sumatera Utara 74 Kenyataan yang terjadi adalah perbedaan cara Pandang konflik yang terjadi membuat kelompok baru terbentuk di dalam tubuh masyarakat dengan satu institusi yang sama. Kondisi ini menunjukkan bagaimana tokoh intelektual dalam organisasi belum dapat memainkan perannya sebagai penggerak dan belum mampu memberikan hegemoni secara idiologis terhadap kelompok. Dahrendorf melihat di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan menimbulkan perubahan struktur sosial. 3.3. Analisis Konflik Agraria terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia dimana pihak-pihak yang berkonflik yaitu kelompok masyarakat dengan pihak TNI-AU bahwa dengan penjelasan dari kronologi yang jelas peneliti paparkan di atas bahwa kita dapat melihat dimana adanya praktek-praktek pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya terutama keberlangsungan hidup masyarakat Kelurahan Sari Rejo. Sebelum masuk kepada konflik agraria di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, maka peneliti akan mencoba menjabarkan bagaimana konflik agraria menurut beberapa responden yang telah peneliti wawancarai. Universitas Sumatera Utara 75 Seperti yang diungkapkan oleh Saudara Suwardi selaku ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang IKOHI mengenai konflik agraria, yaitu : “Konflik agraria dilihat dari sisi perjalanannya, seperti secara historis dari pra kolonial sebelum Belanda, Jepang, dll sudah muncul konflik agraria tetapi ruang lingkupnya ada di tataran desa, jadi masyarakat desa kemudian berkonflik dengan elit desa terutama kaum-kaum feodal yang memilikimenguasai tanah. Tetapi pada masa kolonial dan paska kolonial, semenjak adanya Undang-undang Agraria Agrarische Wet tahun 1870 yang dibuat oleh Belanda pada saat itu maka konflik agraria tidak lagi menjadi konflik internal desa yaitu terjadi antara masyarakat desa dengan komunitas desa itu. Tetapi sudah menjadi konflik antara desa dengan komunitas luar, seperti Belanda yang memberikan konsesi yang begitu mudah kepada pengusaha untuk mengakses tanah, dari sini secara mau tidak mau menegasika hak petani atas tanah karena dalam Agrarische Wet 1870 ini menyatakan bahwa “setiap tanah yang hak kepemilikan nya tidak ada, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara.” Inilah celah yang digunakan Belanda untuk memberikan tanah secara de jure kepada para pengusaha-pengusaha, oleh karena pada masa itu, Jawa dan Sumatera merupakan daerah penghasil devisa terbesar bagi Belanda karena ada begitu banyak perkebunan yang muncul, seperti perkebunan tembakau, dll. Dan ternyata Agrarische Wet ini diubah oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960, inilah yang dikenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dan sangat disayangkan Undang-undang ini “tidak berlaku lama”, UU ini hanya berlaku pada 1960-1965 ini dikarenakan adanya pergantian regim kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dimana regim Orde Lama pro kepada rakyat dan regim Orde Baru pro kepada investasi. Seperti pada tahun 1967 muncul Undang- Undang tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, dimana inilah yang menjadi cikal bakal dari penegasian UUPA No. 5 tahun 1960, ketika adanya UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini keluar maka secara otomatis UUPA tidak berlaku di Orde Baru, pada UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini bertentangan dengan UUD 1945. Dari sinilah konflik agraria mulai mengemuka secara massif.” 41 41 Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015 Universitas Sumatera Utara 76 Jika dilihat konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan dalam perspektif HAM, melihat konflik yang terjadi ini sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak manusia, Saudara Suwardi menjelaskan bagaimana konflik agraria dilihat dalam perspektif HAM yang seharusnya: 1 Setiap individu berhak untuk mendapatkan kepastian hukum, 2 Setiap individu berhak untuk mendapatkan kesetaraan di depan hukum 3 Setiap individu berhak untuk mendapatkan pekerjaan. 4 Setiap individu berhak hak atas hidup, 5 Setiap individu berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, 42 Kedua, soal kesetaraan di depan hukum dimana HAM itu berazaskan equal setara. Tetapi dalam permasalahan konflik agraria di kelurahan ini azas ini tak berlaku, selalu saja ketika masyarakat melakukan aksi-aksi tuntutan, polisi menanyakan alas hak mereka dalam mempertahankan tanah sehingga selalu saja masyarakat yang disalahkan, tetapi ketika TNI-AU menyatakan hak atas kepemilikan, polisi tidak pernah menanyakan keberadaan Hak kepemilikan milik TNI-AU sehingga equal dihadapan hukum ini tidak ada. Inilah yang menyebabkan tidak adanya kesetaraan antara masyarakat dan pihak TNI-AU di depan hukum. Masyarakat selalu Jika peneliti melihat yang terjadi dalam konflik agraria pada kasus di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia menciderai hak itu semua terhadap masyarakat tak terkecuali hak atas hidup. Pertama, dalam hal kepastian hukum, di Indonesia hanya ada dua model penyelesaian yang dilakukan dalam konflik agraria, yaitu model mediasi yang dilakukan oleh BPN. Ini dikarenakan kebanyakan apa yang dialami dalam konflik agraria ini kebanyakan besar oleh kesalahan BPN, ini dikarenakan BPN tidak dapat menjelaskan secara jelas mana wilayah kepemilikan masyarakat dan TNI- AU. 42 Ibid, Universitas Sumatera Utara 77 dipandang sebelah mata dan tidak mempunyai legitimasi dalam hukum dan kerap dijadikan korban dari atas konflik yang terjadi, Ketiga, Hak atas pekerjaan. Pada kenyataannya bahwa pasal 27 ayat 2 yang terdapat dalam UUD 1945 “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan juga pada pasal 38 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Keempat, Hak untuk mendapat kehidupan yang layak dalam pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” seperti yang diungkapkan Melihat ini juga cukup menjelaskan bahwa masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia secara otomatis tidak mendapatkan hidup yang layak jika tanah mereka tidak memiliki kepastian hukum dan mereka sendiri tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dikarenakan tidak dapat memanfaatkan potensi-potensi ekonomis dari tanah tersebut. Kelima, Hak atas hidup seperti yang terdapat dalam pasal 9 dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jelas bahwa ketika negara melalui TNI-AU mengambil alih tanah sebagai alat produksi untuk pemenuhan kebutuhan pasar membuat masyarakat Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Mereka tidak lagi dapat dikategorikan mendapatkan hak atas hidup ketika hak mereka, yaitu tanah sebagai alat utama produksi dirampas dan masyarakat tidak lagi diberi akses untuk mengelola tanah yang sudah mereka miliki. Masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia juga berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin oleh karena itu upaya-upaya penguasaan tanah yang dilakukan oleh pihak TNI- AU sudah mengganggu masyarakat mendapatkan hidup yang tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Akibat dari konflik berkepanjangan yang terjadi membuat masyarakat menjadi trauma dan takut Universitas Sumatera Utara 78 akan situasi yang terus mereka alami. Para tentara yang selalu berpakaian dan bersenjata lengkap dan lambatnya upaya pemerintah dalam mengupayakan penyelesaian konflik serta ketidakpastian hukum membuat posisi dari rakyat sangat jauh dari rasa aman itu sendiri, seperti juga yang terdapat dalam pasal 30 UU No. 39 tahun 1999 “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu” dimana yang seharusnya polisi membantu menegakkan keamanan tetapi pada kenyataannya polisi membantu pihak TNI AU dalam konflik yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan. Saudara Suwardi mengatakan Undang-undang yang mengatur tentang pelanggaran HAM terkait konflik agraria ini adalah: 1.UUD 1945 2.UUPA No 5 tahun1960 3.UU No 39 tahun 1999 soal Hak Asasi Manusia 4.UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya 5.UU No 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik 43 Dengan adanya tuntutan rakyat ini negara justru mengeluarkan Hak Guna Usaha HGU sehingga ujung dari konflik ini negara lebih memilih Adanya undang-undang yang menjamin Hak Asasi Manusia di Indonesia seperti UUD 1945, UUPA No. 5 tahun 1960, UU No. 39 tahun 1999, maupun itu Ratifikasi Kovenan Internasional yang terdapat dalam UU No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Jika melihat ketimpangan struktur agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, yaitu bagaimana TNI-AU melakukan klaim atas tanah di tempat tersebut, tetapi dengan jelas bahwa masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia mempunyai alas hak dalam perjuangan mereka. 43 Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015 Universitas Sumatera Utara 79 jalan-jalan kekerasan yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap petani seperti hak atas hidup, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan hidup yang layak dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan setara dihadapan hukum. Saudara Suwardi dari lembaga yang salah satunya mengusung Hak Asasi Manusia, yaitu IKOHI mengatakan bahwa konflik agraria itu muncul akibat dari kesalahanan pemerintah, yaitu: 1. Kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi pertanahan Indonesia 2. Pemerintah tidak sesegera mungkin mencari alternatif dalam penyelesaian konflik agraria, oleh karena itu konflik agraria akan terus muncul dengan eskalasi yang terus meningkat. Pemerintah tidak memberikan solusi yang berarti kepada petani, sehingga pelanggaran HAM ini ada muncul menjadi 2 level, yaitu pemerintah yang melakukan dan pemerintah yang membiarkan. Dalam konflik agraria pemerintah melakukan dua hal ini, mereka secara langsung melakukan tindak pelanggaran HAM, dan pemerintah membiarkan hak mereka diciderai oleh adanya pihak ketiga, yaitu pengusaha. 44 Jelas bahwa kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi pertanahan disini sangat semrawut dan membiarkan masyarakat tidak terinformasi dengan baik dan adanya perampasan yang dilakukan dan ganti rugi yang tidak terselesaikan dengan baik ini akan terus menjadi permasalahan antara masyarakat dan pihak TNI-AU tanpa adanya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berusaha untuk membantu dan mencari alternatif lain dalam meminimalisir konflik agraria terutama konflik agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, sehingga masyarakat yang menjadi korban atas segala hal-hal yang tidak diinginkan atas konflik yang terjadi dan pihak masyarakatlah yang selalu disalahkan juga, tidak diberikannya alat produksi kepada masyarakat dan tindak kekerasan merupakan bentuk pelanggaran HAM kepada masyarakat yang sangat merugikan masyarakat itu sendiri karena kita tahu sendiri bahwa Indonesia merupakan negara agraris dan mayoritas penduduk 44 Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015 Universitas Sumatera Utara 80 bekerja memanfaatkan tanah, terlebih lagi tindak kekerasan yang dialami oleh masyarakat selama konflik yang dilakukan oleh pihak TNI-AU kepada masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia namun tidak ada itikad baik dari pemerintah sendiri untuk menyelesaikan ini meskipun sudah ada Undang-undang yang mengatur dalam tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia tetapi tetap saja masyarakat diabaikan baik itu dalam memperoleh hak di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Undang-undang No. 12 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagai salah satu instrument HAM Internasional yang paling penting dan merupakan induk dari seluruh instrument lainnya. Dimana jelas bahwa Undang-undang ini tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri sebab jika UU ini dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri maka pemerintah harus melakukan yang bertentangan dengan UU ini yaitu: a Mencabut UU yang bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya, seperti UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal baik itu Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri yang kini telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Karena jelas bahwa jika masih adanya UU seperti itu merupakan awal dari bentuk kapitalistik yang masuk sehingga UUPA sebagai UU yang memerdekakan petani tidaklah lagi berlaku di Indonesia seiring perubahan regim kekuasaan pemerintahan dan undang-undang turunan dari UUPA No. 5 tahun 1960 pun tidak ada, b Pemerintah seharusnya selain mencabut UU yang bertentangan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik tersebut pemerintah juga seharusnya melakukan kajian secara komprehensif tentang bagaimana melakukan penyelesaian konflik agraria. Dalam lingkup pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah soal konflik agraria, HAM dalam Undang- undang No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Universitas Sumatera Utara 81 Politik maka jelas masyarakat tidak dianggap sama di depan hukum, masyarakat sering dihukum tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan dan dalam dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya membuktikan bahwa akses terhadap tanah yang nota bene sebagai alat produksi itu ditutup. Universitas Sumatera Utara 82

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN