69
3.2.2. Konflik Horizontal Organisasi Forum Masyarakat Sari Rejo
Berdirinya FORMAS tanggal 24 Februari 2011 tidak serta memerta memberikan kepuasan terhadap pemenuhan kepentingan masyarakat
terhadap penuntutan legalitas atas hak tanah mereka. Proses berjalannya perjuangan masyarakat menemui banyak halangan. Muncul faksi-faksi baru
dalam tubuh FORMAS yang mencoba memberikan pandangan baru terhadap gaya gerak FORMAS yang mereka anggap belum dapat
memberikan perubahan yang signifikan. Proses pencapaian tujuan yang tidak kunjung terealisasi menjadi isu
utama dalam internal FORMAS. Masyarakat mulai mempertanyakan visi kepengurusan. Anggota Formas pada saat itu mulai membentuk opini pro
dan kontra terhadap kepengurusan FORMAS pimpinan bapak Riwayat Pakpahan. Hal ini dikemukakan oleh bapak Rinto Pasaribu:
“Ada penilaian saat itu tentang adanya oknum yang bermain di kepengurusan, kayak yang ku bialang tadi, seperti ada ibu-
ibu dulu yang coba untuk jadi makelar tanah, saya rasa itu yang dirasakan masyarakat saat itu.Ini kan akibat pemerintah
gak mau ngasih kepastian tanah kami, kalo kami gak legal kenapa SK camat ada dan kepengurusan saat itu kami nilai
banyak diduduki oleh orang baru”.
36
Ketidak jelasan targetan gerakan yang dilakukan masyarakat Sari Rejo dengan wadahnya FORMAS menjadi awal bagaimana konflik internal
organisasi terbentuk. Faksi-faksi mulai bermunculan dalam tubuh organisasi
36
Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
Universitas Sumatera Utara
70
sebagai simbol ketidakpercayaan terhadap organisasi. Organisasi dinilai tidak dapat menjadi wadah kepentingan bersama oleh beberapa anggota.
Faksi-faksi mulai bermunculan dengan lebel orang lama dan orang baru sebagai akibat perbedaan misi dalam cara pandang konflik dalam
menjalankan aktifitas organisasi saat tersebut. “Kami melihat ini ada pilih kasih dalam kepengurusan dalam
hal penyelesaian, oke, ku akui di masa kepemimpinan pak Riwayat memang bukti keberhasilan ada contohnya ya
keputusan Mahkamah Agung itu.Tapi setelah itu tidak ada”.
37
Karena itu warga masyarakat Kelurahan Sari Rejo yang berada di lokasi yang sama dengan pihak kelurahan telah berupaya dalam
memperjuangkan sertifikasi hak atas tanah dengan berusaha mengajukan Perbandingan mencolok memang timbul di tengah masyarakat yang
menjadi anggota FORMAS dengan warga masyarakat yang tinggal di Perumahan Taman Malibu Indah, Villa Polonia, Villa Grand Polonia,warga
masyarakat yang ada di Kelurahan Polonia, dan Pangkalan Mashyur yang berbatasan langsung dengan Kelurahan Sari Rejo yang telah memiliki
sertifikasi atas tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.Yang paling menyedihkan kenyataan bahwa warga masyarakat
yang berada di Jalan Antariksa yang lokasinya masih berada di Kelurahan Sari Rejo dapat memperoleh sertifikasi hak atas tanah No. 4 tanggal 5 juli
2002, namun lingkungan lainnya di Kelurahan Sari Rejo belum mendapatkan sertifikat tanahnya.
37
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
71
permohonan kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional BPN dan warga masyarakat telah melengkapi segala
persyaratan yang diperlukan terutama surat keterangan dari pihak kelurahan dan kecamatan yang menerangkan bahwa warga masyarakat merupakan
penduduk tetap dan pemilik terhadap tanah yang ada di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia.
Konflik internal semakin menemukan klimaksnya pada tahun 2012 kelompok Pahala Napitupulu menciptakan FORMAS tandingan dengan cara
melakukan musyawarah luar biasa yang dilakukan di kantor kelurahan Sari Rejo. Hal ini ditegaskan oleh bapak Pahala Napitupulu:
“Kami merasa banyak dari kami yang tidak diakomodir di FORMAS yang terdahulu, makanya kami memilih untuk
melakukan regenerasi FORMAS dengan cara musyawarah luarbiasa di kantor lurah”.
38
Kondisi ini memperlihatkan kaum intelektual dalam organisasi belum dapat menginternalisasikan idiologi yang mereka gunakan dalam
perjuangan. Hal ini juga menyulut tingkatan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi semakin rendah. Internalisasi idiologi yang tidak
Jelas terlihat bagaimana kondisi organisasi saat itu yang dianggap tidak lagi dapat menampung seluruh kepentingan yang ada dalam struktur
organisasi. Munculnya paradigma orang lama dan orang baru menjadi isu hangat dalam organisasi selain realisasi visi organisasi yang tidak kunjung
memperoleh hasil yang maksimal.
38
Wawancara dilakukan dengan Bapak Pahala Napitupulu pada 24 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
Universitas Sumatera Utara
72
berjalan dengan baik juga memicu ketidaksepahaman anggota organisasi yang berujung pada perbedaan pandangan terhadap cara gerakan sosial yang
dilakukan. Ketidak percayaan sebagian masyarakat terhadap kelompok yang
mereka bentuk menunjang faksi baru dalam organisasi terbentuk. Ketidakpercayaan terhadap kelompok menjadi salah satu potensi yang
menimbulkan perpecahan dalam organisasi. Dalam perjalannya, terbentuknya kelompok baru dalam FORMAS Sari Rejo tidak dapat
dielakkan lagi sebagai reaksi dari tidak diakomodirnya berbagai kepentingan yang ada.
Analisis teori Gramsci, yaitu ketika terjadi suatu perlawanan atas kondisi tatanan hegemoni baik terstruktur atau tidak maka hal yang mutlak
yang mesti dilakukan adalah membangkitkan semangat perlawanan atas eksploitasi dan hegemoni tersebut. Supremasi dari sebuah kelompok sosial
ditunjukkan ada dua cara, yaitu dalam bentuk dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual. Hal ini juga diungkapkan oleh bapak Rinto Pasaribu:
“Kami merasa hanya sebagian orang yang diuntungkan dengan pembentukan Formas, sampai sekarang bukti nyatanya
kami belum dapat apa yang menjadi tujuan kami yaitu sertifikat tanah. Saya juga melihat pandangan kami jarang
yang jadi perhatian oleh organisasi. Daripada kami selalu menjadi orang yang tidak dianggap di FORMAS yang
lama”.
39
39
Wawancara dilakukan dengan Bapak Rinto Pasaribu pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
Universitas Sumatera Utara
73
Dari pernyataan informan di atas dan berangkat dari pemahaman yang ada, suatu gerakan sosial dalam historisnya ataupun secara dialektika
memiliki determinasi bagi perubahan sosial itu sendiri. Suatu gerakan yang dilatarbelakangi suatu kondisi secara kualitas maupun kuantitas yang tidak
sesuai dengan keinginan atau cita-cita idea yang dimiliki oleh individu- individu atau masyarakat. dimana suatu gerakan itu diharapkan dapat
terorganisir secara sadar ataupun dalam bentuk reaksi, agar dapat mencapai titik yang dicita-citakan atau yang dibutuhkan oleh manusia-manusia itu
sendiri. Oleh karena itu agar gerakan itu dapat terorganisir, maka masyarakat atau agen perubahan itu juga harus sadar apa yang menjadi arah
atau cita-cita dari gerakan dan kondisi objektif yang mereka alami. Dengan kata lain, munculnya FORMAS yang diketuai oleh Pahala Napitupulu
merupakan hal logis yang terjadi dalam kelompok masyarakat yang diakibatkan perbedaan pandangan dalam cara gerak dalam mencapai tujuan.
Pandangan lain diungkapkan oleh ibu Sri kunarsih: “Sebenarnya saya tidak melihat adanya kekuatan organisasi
untuk memberikan legalitas dalam konflik agraria di kelurahan Sari Rejo ini dan hal ini harus kita akui
bersama.Saya melihat sebenarnya peran pemerintah dalam menetapkan status tanah adalah penentu utama dalam
penyelesaian konflik. Malah saya melihat adanya proses pembiaran, masyarakat dituntut untuk melawan sebuah
institusi besar dalam Negara yang terstigma memiliki kekuatan besar. Dalam hal ini organisasi bertindak sebagai bentuk
konsolidasi masyarakat dalam mengawal penyelesaian konflik dan bukan memberikan legalisasi terhadap tanah yang kami
tempati”.
40
40
Wawancara dengan Ibu Sri Kunarsih pada 26 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo
Universitas Sumatera Utara
74
Kenyataan yang terjadi adalah perbedaan cara Pandang konflik yang terjadi membuat kelompok baru terbentuk di dalam tubuh masyarakat
dengan satu institusi yang sama. Kondisi ini menunjukkan bagaimana tokoh intelektual dalam organisasi belum dapat memainkan perannya sebagai
penggerak dan belum mampu memberikan hegemoni secara idiologis terhadap kelompok.
Dahrendorf melihat di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur
kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan
yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan menimbulkan perubahan struktur sosial.
3.3. Analisis Konflik Agraria terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia.
Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia dimana pihak-pihak yang berkonflik yaitu
kelompok masyarakat dengan pihak TNI-AU bahwa dengan penjelasan dari kronologi yang jelas peneliti paparkan di atas bahwa kita dapat melihat
dimana adanya praktek-praktek pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya terutama keberlangsungan
hidup masyarakat Kelurahan Sari Rejo. Sebelum masuk kepada konflik agraria di Kelurahan Sari Rejo,
Kecamatan Medan Polonia, maka peneliti akan mencoba menjabarkan bagaimana konflik agraria menurut beberapa responden yang telah peneliti
wawancarai.
Universitas Sumatera Utara
75
Seperti yang diungkapkan oleh Saudara Suwardi selaku ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang IKOHI mengenai konflik agraria, yaitu :
“Konflik agraria dilihat dari sisi perjalanannya, seperti secara historis dari pra kolonial sebelum Belanda, Jepang, dll sudah
muncul konflik agraria tetapi ruang lingkupnya ada di tataran desa, jadi masyarakat desa kemudian berkonflik dengan elit
desa terutama kaum-kaum feodal yang memilikimenguasai tanah. Tetapi pada masa kolonial dan paska kolonial,
semenjak adanya Undang-undang Agraria Agrarische Wet tahun 1870 yang dibuat oleh Belanda pada saat itu maka
konflik agraria tidak lagi menjadi konflik internal desa yaitu terjadi antara masyarakat desa dengan komunitas desa itu.
Tetapi sudah menjadi konflik antara desa dengan komunitas luar, seperti Belanda yang memberikan konsesi yang begitu
mudah kepada pengusaha untuk mengakses tanah, dari sini secara mau tidak mau menegasika hak petani atas tanah
karena dalam Agrarische Wet 1870 ini menyatakan bahwa “setiap tanah yang hak kepemilikan nya tidak ada, maka tanah
tersebut akan menjadi milik negara.” Inilah celah yang digunakan Belanda untuk memberikan tanah secara de jure
kepada para pengusaha-pengusaha, oleh karena pada masa itu, Jawa dan Sumatera merupakan daerah penghasil devisa
terbesar bagi Belanda karena ada begitu banyak perkebunan yang muncul, seperti perkebunan tembakau, dll. Dan ternyata
Agrarische Wet ini diubah oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960, inilah yang dikenal dengan nama Undang-undang
Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dan sangat disayangkan Undang-undang ini “tidak berlaku lama”, UU ini hanya
berlaku pada 1960-1965 ini dikarenakan adanya pergantian regim kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dimana regim
Orde Lama pro kepada rakyat dan regim Orde Baru pro kepada investasi. Seperti pada tahun 1967 muncul Undang-
Undang tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, dimana inilah yang menjadi cikal bakal
dari penegasian UUPA No. 5 tahun 1960, ketika adanya UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam
Negeri ini keluar maka secara otomatis UUPA tidak berlaku di Orde Baru, pada UU Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal Dalam Negeri ini bertentangan dengan UUD 1945. Dari sinilah konflik agraria mulai mengemuka
secara massif.”
41
41
Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015
Universitas Sumatera Utara
76
Jika dilihat konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan dalam perspektif HAM, melihat
konflik yang terjadi ini sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak manusia, Saudara Suwardi menjelaskan bagaimana konflik agraria
dilihat dalam perspektif HAM yang seharusnya: 1 Setiap individu berhak untuk mendapatkan kepastian
hukum, 2 Setiap individu berhak untuk mendapatkan kesetaraan di
depan hukum 3 Setiap individu berhak untuk mendapatkan pekerjaan.
4 Setiap individu berhak hak atas hidup, 5 Setiap individu berhak untuk mendapatkan kehidupan
yang layak,
42
Kedua, soal kesetaraan di depan hukum dimana HAM itu berazaskan equal setara. Tetapi dalam permasalahan konflik agraria di kelurahan ini
azas ini tak berlaku, selalu saja ketika masyarakat melakukan aksi-aksi tuntutan, polisi menanyakan alas hak mereka dalam mempertahankan tanah
sehingga selalu saja masyarakat yang disalahkan, tetapi ketika TNI-AU menyatakan hak atas kepemilikan, polisi tidak pernah menanyakan
keberadaan Hak kepemilikan milik TNI-AU sehingga equal dihadapan hukum ini tidak ada. Inilah yang menyebabkan tidak adanya kesetaraan
antara masyarakat dan pihak TNI-AU di depan hukum. Masyarakat selalu Jika peneliti melihat yang terjadi dalam konflik agraria pada kasus di
Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia menciderai hak itu semua terhadap masyarakat tak terkecuali hak atas hidup. Pertama, dalam hal
kepastian hukum, di Indonesia hanya ada dua model penyelesaian yang dilakukan dalam konflik agraria, yaitu model mediasi yang dilakukan oleh
BPN. Ini dikarenakan kebanyakan apa yang dialami dalam konflik agraria ini kebanyakan besar oleh kesalahan BPN, ini dikarenakan BPN tidak dapat
menjelaskan secara jelas mana wilayah kepemilikan masyarakat dan TNI- AU.
42
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
77
dipandang sebelah mata dan tidak mempunyai legitimasi dalam hukum dan kerap dijadikan korban dari atas konflik yang terjadi,
Ketiga, Hak atas pekerjaan. Pada kenyataannya bahwa pasal 27 ayat 2 yang terdapat dalam UUD 1945 “Tiap-tiap warganegara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan juga pada pasal 38 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Keempat, Hak untuk mendapat kehidupan yang layak dalam pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “Setiap orang
berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” seperti yang diungkapkan
Melihat ini juga cukup menjelaskan bahwa masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia secara otomatis tidak mendapatkan
hidup yang layak jika tanah mereka tidak memiliki kepastian hukum dan mereka sendiri tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari
dikarenakan tidak dapat memanfaatkan potensi-potensi ekonomis dari tanah tersebut.
Kelima, Hak atas hidup seperti yang terdapat dalam pasal 9 dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jelas bahwa ketika
negara melalui TNI-AU mengambil alih tanah sebagai alat produksi untuk pemenuhan kebutuhan pasar membuat masyarakat Kelurahan Sari Rejo,
Kecamatan Medan Polonia tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Mereka tidak lagi dapat dikategorikan mendapatkan hak
atas hidup ketika hak mereka, yaitu tanah sebagai alat utama produksi dirampas dan masyarakat tidak lagi diberi akses untuk mengelola tanah yang
sudah mereka miliki. Masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia juga
berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin oleh karena itu upaya-upaya penguasaan tanah yang dilakukan oleh pihak TNI-
AU sudah mengganggu masyarakat mendapatkan hidup yang tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Akibat dari konflik
berkepanjangan yang terjadi membuat masyarakat menjadi trauma dan takut
Universitas Sumatera Utara
78
akan situasi yang terus mereka alami. Para tentara yang selalu berpakaian dan bersenjata lengkap dan lambatnya upaya pemerintah dalam
mengupayakan penyelesaian konflik serta ketidakpastian hukum membuat posisi dari rakyat sangat jauh dari rasa aman itu sendiri, seperti juga yang
terdapat dalam pasal 30 UU No. 39 tahun 1999 “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu” dimana yang seharusnya polisi membantu menegakkan keamanan tetapi pada kenyataannya polisi
membantu pihak TNI AU dalam konflik yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.
Saudara Suwardi mengatakan Undang-undang yang mengatur tentang pelanggaran HAM terkait konflik agraria ini adalah:
1.UUD 1945 2.UUPA No 5 tahun1960
3.UU No 39 tahun 1999 soal Hak Asasi Manusia 4.UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya 5.UU No 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil Politik
43
Dengan adanya tuntutan rakyat ini negara justru mengeluarkan Hak Guna Usaha HGU sehingga ujung dari konflik ini negara lebih memilih
Adanya undang-undang yang menjamin Hak Asasi Manusia di Indonesia seperti UUD 1945, UUPA No. 5 tahun 1960, UU No. 39 tahun
1999, maupun itu Ratifikasi Kovenan Internasional yang terdapat dalam UU No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan
Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Jika melihat ketimpangan
struktur agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, yaitu bagaimana TNI-AU melakukan klaim atas tanah di tempat
tersebut, tetapi dengan jelas bahwa masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia mempunyai alas hak dalam perjuangan mereka.
43
Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015
Universitas Sumatera Utara
79
jalan-jalan kekerasan yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap petani seperti hak atas hidup, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan hidup
yang layak dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan setara dihadapan hukum.
Saudara Suwardi dari lembaga yang salah satunya mengusung Hak Asasi Manusia, yaitu IKOHI mengatakan bahwa konflik agraria itu muncul
akibat dari kesalahanan pemerintah, yaitu: 1. Kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi
pertanahan Indonesia 2. Pemerintah tidak sesegera mungkin mencari alternatif dalam
penyelesaian konflik agraria, oleh karena itu konflik agraria akan terus muncul dengan eskalasi yang terus meningkat.
Pemerintah tidak memberikan solusi yang berarti kepada petani, sehingga pelanggaran HAM ini ada muncul menjadi 2
level, yaitu pemerintah yang melakukan dan pemerintah yang membiarkan. Dalam konflik agraria pemerintah melakukan dua
hal ini, mereka secara langsung melakukan tindak pelanggaran HAM, dan pemerintah membiarkan hak mereka diciderai oleh
adanya pihak ketiga, yaitu pengusaha.
44
Jelas bahwa kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi pertanahan disini sangat semrawut dan membiarkan masyarakat tidak
terinformasi dengan baik dan adanya perampasan yang dilakukan dan ganti rugi yang tidak terselesaikan dengan baik ini akan terus menjadi
permasalahan antara masyarakat dan pihak TNI-AU tanpa adanya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berusaha
untuk membantu dan mencari alternatif lain dalam meminimalisir konflik agraria terutama konflik agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan
Polonia, sehingga masyarakat yang menjadi korban atas segala hal-hal yang tidak diinginkan atas konflik yang terjadi dan pihak masyarakatlah yang
selalu disalahkan juga, tidak diberikannya alat produksi kepada masyarakat dan tindak kekerasan merupakan bentuk pelanggaran HAM kepada
masyarakat yang sangat merugikan masyarakat itu sendiri karena kita tahu sendiri bahwa Indonesia merupakan negara agraris dan mayoritas penduduk
44
Wawancara dengan Saudara Suwardi di sekretariat IKOHI SU, yang dilakukan pada 22 Agustus 2015
Universitas Sumatera Utara
80
bekerja memanfaatkan tanah, terlebih lagi tindak kekerasan yang dialami oleh masyarakat selama konflik yang dilakukan oleh pihak TNI-AU kepada
masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia namun tidak ada itikad baik dari pemerintah sendiri untuk menyelesaikan ini meskipun
sudah ada Undang-undang yang mengatur dalam tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia tetapi tetap saja masyarakat diabaikan baik itu dalam
memperoleh hak di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Undang-undang No. 12 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik sebagai salah satu instrument HAM Internasional yang paling penting dan merupakan induk dari seluruh
instrument lainnya. Dimana jelas bahwa Undang-undang ini tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri sebab jika UU ini dijalankan
dengan baik oleh pemerintah sendiri maka pemerintah harus melakukan yang bertentangan dengan UU ini yaitu: a Mencabut UU yang
bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya, seperti UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal baik
itu Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri yang kini telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Karena jelas bahwa jika masih adanya UU seperti itu merupakan awal dari bentuk kapitalistik yang
masuk sehingga UUPA sebagai UU yang memerdekakan petani tidaklah lagi berlaku di Indonesia seiring perubahan regim kekuasaan pemerintahan
dan undang-undang turunan dari UUPA No. 5 tahun 1960 pun tidak ada, b Pemerintah seharusnya selain mencabut UU yang bertentangan terhadap
hak ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik tersebut pemerintah juga seharusnya melakukan kajian secara komprehensif tentang bagaimana
melakukan penyelesaian konflik agraria. Dalam lingkup pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah soal konflik agraria, HAM dalam Undang-
undang No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Universitas Sumatera Utara
81
Politik maka jelas masyarakat tidak dianggap sama di depan hukum, masyarakat sering dihukum tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan
dan dalam dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya membuktikan
bahwa akses terhadap tanah yang nota bene sebagai alat produksi itu ditutup.
Universitas Sumatera Utara
82
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN