Pengaruh Pemberian Propolis Secara Topikal Terhadap Proses Reepitelisasi Epidermis pada Luka Bakar Mencit (Mus musculus)

(1)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : RAUDHAH SARI

Tempat / Tanggal Lahir : Takengon / 3 April 1994

Agama : Islam

Alamat : Jln. Setia No.40, Tanjung Rejo, Medan

Riwayat pendidikan :

Nama Institusi Tahun

TK Aisyiah Bustanul Athfal Takengon 1999-2000

SD Negeri 4 Takengon 2000-2006

SMP Negeri 1 Takengon 2006-2009

SMA Negeri 1 Takengon 2009-2012

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012 – Sekarang

Riwayat Organisasi :

Organisasi Tahun

Anggota Divisi Keuangan SCORE PEMA FK USU

Periode 2013-2014 2013-2014


(2)

Manager Keuangan SCORE PEMA FK USU Periode

2014-2015 2014-2015

Anggota Majelis Pertimbangan Agung SCORE PEMA

FK USU 2015-2016

Riwayat Pelatihan, Seminar, dan Simposium:

1. Get Together SCORE “Bukan Mahasiswa Biasa” (SCORE PEMA FK USU, 2012)

2. Pekan Ilmiah Mahasiswa “Doing a Research, Healing the World” (SCORE PEMA FK USU, 2012)

3. Seminar dan Workshop Basic Life Support & Traumatology (TBM FK USU, 2013)

4. Seminar, Symposium, dan Talkshow “Islamic Medicine 4” (PHBI FK USU, 2013)

5. Get Together SCORE “Get Together, Get Your Dreams” (SCORE PEMA FK USU, 2013)

6. Simposium Nasional Scripta Research Festival 2014 “Supporting The Survivors and Never Ever Giving Up on Leukemia” (SCORE PEMA FK USU, 2014)

7. Seminar Nasional Diabetes Melitus Type II (FK Udayana, 2014) 8. Get Together (SCORE PEMA FK USU, 2014)

9. Symposium and Workshop “Errors of Metabolism and Hormonal Disorders” (INAMSC FK UI, 2015)

10. Seminar dan Workshop Nasional “Good Clinical Practice (Cara Uji Klinik yang Baik)” (Komisi Etik Penelitian FK USU, 2014)

11. Simposium Nasional Scripta Research Festival 2015 “Clinical Updates and Current Management of Infectious Disease (Highlight on Dengue Hemorrhagic Fever and Thypoid Fever)” (SCORE PEMA FK USU, 2015)


(3)

Penghargaan Ilmiah yang Pernah Diraih :

Tahun Event Ilmiah Kategori

Lomba Prestasi Judul Karya

2014

Scientific Atmosphere 7

KIH FK UDAYANA

KTI-GT Finalis

Terapi Kombinasi Tanaman Ekstrak Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) dan Meniran (Phyllanthus niruri L.) dalam Mengatasi Diabetes dan Komplikasi Nefropati Diabetik

2014 Temilnas 2014 PMC Finalis

Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Terhadap Penanganan Diare Pada Balita Pasca Banjir di

Indonesia

2015 INAMSC FK UI 2015

Literature

Review Semifinalist

Resveratrol Improves Insulin Secretion and Action by Activating


(4)

SIRT1-AMPK-Pathway: a Novel Treatment for Type 2 Diabetes Mellitus

Karya-Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat :

Tahun Kategori Event Ilmiah Judul Karya

2013 KTI-GT

Seleksi Masuk SCORE PEMA

FK USU

Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Tingkat Obesitas

2014 KTI-GT

Scientific Atmosphere 7

KIH FK Udayana

Terapi Kombinasi Tanaman Ekstrak Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) dan Meniran (Phyllanthus niruri L.) dalam Mengatasi Diabetes dan Komplikasi Nefropati Diabetik

2014 Video Edukasi Scientific Fair

FK UNDIP Diary of My Heart

2014 PMC Temilnas 2014

Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Terhadap Penanganan Diare Pada Balita Pasca Banjir di Indonesia 2014 Video Edukasi Temilnas 2014 Sigap Tangani Gunung Api

2015 Literature

Review INAMSC FK UI

Resveratrol Improves Insulin Secretion and Action by Activating SIRT1-AMPK-Pathway: a Novel Treatment for Type 2 Diabetes Mellitus


(5)

Lampiran 2


(6)

Lampiran 3


(7)

Lampiran 4


(8)

Lampiran 5

TAHAP PEMBUATAN SEDIAAN HISTOPATOLOGI

Pembuatan sediaan histopatologis dilakukan agar jaringan dapat diamati di bawah mikroskop. Adapun tahap pembuatan sediaan tersebut adalah sebagai berikut.

Tahapan Tujuan Cara

1. Fiksasi (Fixation)

Untuk membuat struktur unsur-unsur jaringan stabil dan menghindari kerusakan jaringan akibat enzim di dalam sel (autolisis) atau bakteri.

Mencelupkan jaringan kedalam formalin buffer 10% selama 2 jam.

2. Dehidrasi (Dehydration)

Untuk mengambil semua air (H2O) yang terkandung di

dalam jaringan dan untuk membersihkan sisa-sisa fiksatif

Mencelupkan jaringan kedalam alkohol 70%, 80%, 96%, atau alkohol absolut.

3. Pembeningan (Clearing)

Untuk menghilangkan alkohol dari jaringan dan mempersiapkan jaringan untuk pembenaman.

Mencelupkan jaringan kedalam larutan Xylol.

4. Pembendaman (Embedding)

Agar jaringan mudah dipotong menjadi irisan-irisan yang sangat tipis

Jaringan dibenamkan ke dalam parafin cair (58-60oC) selama 2 jam. 5. Pengecoran

(Blocking)

Membuat balok parafin disekitar jaringan agar mudah dipotong.

Menggunakan 2 buah potongan besi yang berbentuk L (Leuckhart) yang disusun diatas


(9)

lembaran logam hingga rapat dan membentuk ruang seperti kubus. 6. Pemotongan

(Sectioning)

Memotong jaringan menjadi irisan-irisan tipis.

Menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5-12µ. 7. Pewarnaan

(Staining)

Agar unsur jaringan menjadi kontras dan dapat dikenali di bawah mikroskop.

Menggunakan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE).

8. Perekatan (Mounting)

Pengawet dan refraksi jaringan tersebut sehingga lebih jelas dilihat batas antar selnya.

Mounting media (gliserol atau balsam kanada).

9. Pelabelan (Labelling)

Memudahkan dalam pengenalan preparat.

Merekatkan kertas label pada preparat.

Seperti yang tertera pada tabel di atas, pewarnaan menggunakan Hematoxylin-Eosin (HE), sehingga inti sel dan reticulum endoplasma kasar yang mengandung banyak asam nukleat akan tampak berwarna ungu/biru (basofilik), sedangkan sitoplasma dan serat kolagen akan tampak berwarna merah muda (eosinofilik) (Pakurar dan Bigbee, 2004).

Adapun cara melakukan pewarnaan tersebut adalah sebagai berikut.

Proses Larutan Waktu

Deparafinisasi Xylol Xylol

15 menit 15 menit

Hidrasi Alkohol 96%

Alkohol 95% Alkohol 80% Air mengalir 2 menit 2 menit 2 menit 10 menit Cat Utama Haematoxylin Meyer

Air mengalir

10 menit 15 menit


(10)

Cat Pembanding Eosin 1.5 menit Dehidrasi Alkohol 80%

Alkohol 95% Alkohol 86%

5 celup 5 celup 2 menit

Dikeringkan 1 menit

Clearing Xylol

Xylol

10 menit 5 menit

Mounting Entelallan 5 menit


(11)

Lampiran 6

OUTPUT DATA HASIL PENELITIAN

a. Hasil Uji Normalitas Data Ketebalan Reepitelisasi Epidermis pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Tebal Epitel

P1 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%

P4 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%

P21 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%

K1 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%

K4 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%

K21 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%

Descriptives

Kelompok Statistic Std. Error

Tebal Epitel P1

Mean 7.8300 .64323

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 5.7829

Upper Bound 9.8771

5% Trimmed Mean 7.8261

Median 7.7950

Variance 1.655

Std. Deviation 1.28647

Minimum 6.32

Maximum 9.41

Range 3.09

Interquartile Range 2.47

Skewness .151 1.014

Kurtosis .434 2.619

P4

Mean 20.8725 2.18432

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 13.9210

Upper Bound 27.8240

5% Trimmed Mean 20.8672


(12)

Variance 19.085

Std. Deviation 4.36865

Minimum 15.57

Maximum 26.27

Range 10.70

Interquartile Range 8.04

Skewness .065 1.014

Kurtosis 1.502 2.619

P21

Mean 75.1425 4.72506

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 60.1053

Upper Bound 90.1797

5% Trimmed Mean 75.0789

Median 74.5700

Variance 89.305

Std. Deviation 9.45011

Minimum 64.17

Maximum 87.26

Range 23.09

Interquartile Range 17.38

Skewness .362 1.014

Kurtosis 1.570 2.619

K1

Mean 14.6600 1.23772

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 10.7210

Upper Bound 18.5990

5% Trimmed Mean 14.7556

Median 15.5200

Variance 6.128

Std. Deviation 2.47544

Minimum 11.10

Maximum 16.50

Range 5.40

Interquartile Range 4.38

Skewness -1.557 1.014

Kurtosis 2.238 2.619

K4

Mean 18.2925 .55617

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 16.5225


(13)

5% Trimmed Mean 18.2561

Median 17.9650

Variance 1.237

Std. Deviation 1.11234

Minimum 17.34

Maximum 19.90

Range 2.56

Interquartile Range 1.95

Skewness 1.557 1.014

Kurtosis 2.890 2.619

K21

Mean 38.8825 2.70453

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 30.2755

Upper Bound 47.4895

5% Trimmed Mean 38.7467

Median 37.6600

Variance 29.258

Std. Deviation 5.40906

Minimum 33.72

Maximum 46.49

Range 12.77

Interquartile Range 9.76

Skewness 1.256 1.014

Kurtosis 2.335 2.619

Tests of Normality

Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Tebal Epitel

P1 .167 4 . .997 4 .991

P4 .252 4 . .947 4 .695

P21 .269 4 . .945 4 .683

K1 .284 4 . .839 4 .193

K4 .347 4 . .851 4 .231

K21 .313 4 . .902 4 .439


(14)

b. Hasil Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances Tebal Epitel

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.543 5 18 .226

c. Hasil Uji One-Way ANOVA

ANOVA Tebal Epitel

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 12243.340 5 2448.668 100.172 .000

Within Groups 440.003 18 24.445


(15)

d. Hasil Uji Post Hoc LSD

Multiple Comparisons Dependent Variable: Tebal Epitel

LSD

(I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

P1

P4 -13.04250* 3.49604 .002 -20.3874 -5.6976

P21 -67.31250* 3.49604 .000 -74.6574 -59.9676

K1 -6.83000 3.49604 .066 -14.1749 .5149

K4 -10.46250* 3.49604 .008 -17.8074 -3.1176

K21 -31.05250* 3.49604 .000 -38.3974 -23.7076

P4

P1 13.04250* 3.49604 .002 5.6976 20.3874

P21 -54.27000* 3.49604 .000 -61.6149 -46.9251

K1 6.21250 3.49604 .092 -1.1324 13.5574

K4 2.58000 3.49604 .470 -4.7649 9.9249

K21 -18.01000* 3.49604 .000 -25.3549 -10.6651

P21

P1 67.31250* 3.49604 .000 59.9676 74.6574

P4 54.27000* 3.49604 .000 46.9251 61.6149

K1 60.48250* 3.49604 .000 53.1376 67.8274

K4 56.85000* 3.49604 .000 49.5051 64.1949

K21 36.26000* 3.49604 .000 28.9151 43.6049

K1

P1 6.83000 3.49604 .066 -.5149 14.1749

P4 -6.21250 3.49604 .092 -13.5574 1.1324

P21 -60.48250* 3.49604 .000 -67.8274 -53.1376

K4 -3.63250 3.49604 .313 -10.9774 3.7124

K21 -24.22250* 3.49604 .000 -31.5674 -16.8776

K4

P1 10.46250* 3.49604 .008 3.1176 17.8074

P4 -2.58000 3.49604 .470 -9.9249 4.7649

P21 -56.85000* 3.49604 .000 -64.1949 -49.5051

K1 3.63250 3.49604 .313 -3.7124 10.9774

K21 -20.59000* 3.49604 .000 -27.9349 -13.2451

K21

P1 31.05250* 3.49604 .000 23.7076 38.3974

P4 18.01000* 3.49604 .000 10.6651 25.3549

P21 -36.26000* 3.49604 .000 -43.6049 -28.9151

K1 24.22250* 3.49604 .000 16.8776 31.5674

K4 20.59000* 3.49604 .000 13.2451 27.9349


(16)

Lampiran 7

FORMAT PENGISIAN DATA

Sampel Ketebalan Reepitelisasi Epidermis (µm)

P1 P4 P21 K1 K4 K21

1 2 3 4

P1 : Kelompok perlakuan hari ke-1 P4 : Kelompok perlakuan hari ke-4 P21 : Kelompok perlakuan hari ke-21 K1 : Kelompok kontrol hari ke-1 K4 : Kelompok kontrol hari ke-4 K21 : Kelompok kontrol hari ke-21


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Ahliadi, S.S., 2014. Pengaruh Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia) (Tonore) Steenis) Terhadap Reepitelisasi Epidermis pada Luka Bakar Tikus Spague dawley. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi.

American Burn Association. 2013. Burn Incidence and Treatment in the United States: 2015. Chicago: ABA. Available from http://www.ameriburn.org/resources_factsheet.php. [Accessed 7 April 2015] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Brunner & Suddarth, 2010. Textbook of Medical-Surgical Nursing. 12th ed. USA: Williams & Wilkins.

Campos, et al., 2008. Pollen Composition and Standarisation of Analytical Methods. Journal of Apicultural Research and Bee World 47(2): 156-163. Eroschenko, V.P., 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. Ed.

11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Farre, R., Frasquet, I., & Sanchez, A., 2004. Propolis and human health. Ars Pharmaceutica, 45(1): 21-43.)

Federer, W.T., 1963. Experimental Design: Theory and Application. New York: Mac. Millan. p.544.

Gowri, S., Vijaya, N., Powar, R., Honnungar, R., & Mallapur, M.D., 2012. Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic Med 34(4): 312-314.


(18)

Marcucci, MC, 1995. Propolis: Chemical Composition, Biological Properties and Therapeutic Activity. Apidologie 26: 83-89.

Martos, M.V., Navajas, Y.R., Lopez, J.F., Alvares, J.A.P., 2008. Functional Properties of Honey, Propolis, and Royal Jelly. Journal of Food Science 73(9): 117-124.

Maulana, R.A., 2014. Faktor Resiko yang Berperan Pada Mortalitas Penderita Luka Bakar Rawat Inap di RSUPH Adam Malik Medan. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Thesis.

Mawarti, H., 2012. Pengaruh Flavonoid Propolis Terhadap Lama Penyembuhan Luka Bakar Grade II Pada Tikus Putih. Jombang: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang.

Mercher, A.L., 2012. Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas. Ed. 12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Moenadjat, Y., 2009. Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana. Ed.4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Murtaza, G., et al., 2014. Caffeic Acid Phenethyl Ester and Therapeutic Potensials. BioMed Research International: 1-9.

Ningsih, D.R., 2009. Potensi Propolis Trigona spp. Pandeglang sebagai Pemacu Pertumbuhan Pada Sapi Peranakan Ongole. Bandung: IPB Scientific Repository. Master Thesis.

Nurmalisa, B.E., 2012. Efektivitas Pemberian Salep Propolis Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Melalui Pengamatan Mikroskopis Yaitu Ketebalan Epitel dan Jumlah Fibroblas. Yogyakarta: PSIK 12 UMY.

Olczyk, P., et al., 2012. Propolis Modulates Vitronectin, Laminin, and Heparan Sulfate/Heparin Expression During Experimental Burn Healing. J Zhejiang University-SCIENCE B (Biomed & Biotechnol) 13(11): 932-941.


(19)

Pakurar, A.S. & Bigbee, J.W., 2004. Digital Histology, an Interactive CD Atlas with Review Text. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Perdanakusuma, D.S., 2009. Surgical Management of Contracture in Head and Neck. Surabaya: Airlangga University School of Medicine.

Pradipta, I.G.N.D.O., 2010. Pengaruh Pemberian Propolis Secara Topikal Terhadap Migrasi Sel Polimorfonukleas Pada Luka Sayat Tikus. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Skripsi.

Rahayu, F., Wiwit Ade FW, Wiwik R., 2013. Pengaruh Pemberian Topikal Gel Lidah Buaya (Aloe chinensis Baker) Terhadap Reepitelisasi Epidermis pada Luka Sayat Kulit Mencit (Mus musculus). Riau: Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

Rahayuningsih, T., 2012. Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio). Profesi 8: 1-13.

Rezende, G.P., Pimenta, F.C., Ribeiro. L., 2006. Antimicrobial Activity of Two Brazilian Commercial Propolis Extracts. Braz J Oral Sci 5(16): 967-970. Rismana, E., Rosidah, I., Prasetyawan, Y., Bunga, O., & Erna, Y., 2013.

Efektivitas Khasiat Pengobatan Luka Bakar Sediaan Gel Mengandung Fraksi Ekstrak Pegagan Berdasarkan Analisis Hidroksiprolin dan Histopatologi Pada Kulit Kelinci. Buletin Penelitian Kesehatan 41(1): 45-60.

Santoso, T., 2010. Perbedaan Kecepatan Kesembuhan Luka Bakar Antara Olesan Propolis 5% dan The Hijau Konsentrasi 6,4gr% Pada Tikus Putih (Rattus novergicus). Yogyakarta: PSIK 10 UMY. Skripsi.

Stein, C. & Kuchler, S., 2013. Targetting Inflammation and Wound Healing by Opioids. Elsevier 34(6): 300-312. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0165614713000473


(20)

Susilo, B., Mertaniasih, N.M., Koendhori, E.B., Agil, M., 2009. Komposisi Kimiawi dan Aktivitas Antimikroba Propolis dari Malang Jawa Timur. J.Penelit. Med. Eksakta 8(1): 23-30.

University of Virginia Health System, 2015. Burns. Available from: http://uvahealth.com/services/plastic-surgery/conditions-treatments/22574. [Accessed 28 April 2015]

Wahyuni, A. 2011. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS). Jakarta: Bamboedoea Communication.

Wasitaatmadja, S.M., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed. 6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.

World Health Organization. 2014. Burns: Fact sheets. Geneva: WHO. Available from http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs365/en/#. [Accessed 7 April 2015]


(21)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka, maka dapat dirumuskan kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Variabel Independen Variabel Dependen

3.2. Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan, maka kerangka teori penelitian ini adalah sebagai berikut.

Proses Penyembuhan luka bakar

Fase inflamasi Fase proliferasi Fase maturasi

Angiogenesis Pembentukan jaringan

granulasi

Proliferasi fibroblas

Reepitelisasi epidermis

Migrasi keratinosit Proliferasi keratinosit Diferensiasi keratinosit Propolis

Proses reepitelisasi epidermis Pemberian propolis secara

topikal

diteliti tidak diteliti


(22)

3.3. Variabel Penelitian

3.3.1. Variabel Dependen

Adapun variabel dependen pada penelitian ini adalah proses reepitelisasi epidermis.

3.3.2. Variabel Independen

Adapun variabel independen pada penelitian ini adalah pemberian propolis secara topikal

3.3.3. Variabel Terkendali

Adapun variabel terkendali pada penelitian ini adalah: a. Kriteria sampel

b. Makanan dan minuman hewan coba c. Cara pemeliharaan hewan coba d. Prosedur penelitian

e. Dosis propolis

f. Cara pembuatan luka bakar g. Derajat luka bakar

h. Teknik pembuatan sediaan jaringan

3.4. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi

Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur 1. Luka Bakar

Derajat II

Luka bakar yang

mencapai dermis dan terbentuk

Observasi -  Luka Bakar derajat II  Bukan

luka


(23)

gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat. bakar derajat II (derajat I atau III)

2. Reepitelisasi Epidermis

Proses penyembuha n luka ditandai dengan epitel stratum basal sampai stratum korneum yang tidak memiliki lapisan keratin. Mengukur ketebalan epidermis yang baru terbentuk pada tepi luka bakar. Mikroskop cahaya binokuler Olympus CX-22 dengan pembesara n 200x.

µm Rasio

3. Pemberian propolis secara topikal Tindakan yang dilakukan dengan mengoleskan ekstrak propolis yang dijadikan salep dengan konsentrasi 5% pada seluruh

Observasi -  Diberikan propolis  Tidak

diberikan propolis


(24)

permukaan luka bakar derajat II.

3.5. Hipotesis

Melalui berbagai teori dan fakta empirik yang kemudian dituangkan dalam kerangka konsep penelitian, maka hipotesis penelitian ini adalah dengan pemberian propolis secara topikal, maka akan mempercepat proses pembentukan kembali epitel pada luka bakar mencit selama proses penyembuhan luka bakar.


(25)

R

K

P

K1 K2 K3

P1 P2 P3

H1 H4 H21

BAB 4

METODE PENELITIAN

3.6. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan true experimental study dengan post-test only control group design. Penelitian ini menggunakan hewan coba, yaitu mencit (Mus musculus) galur Double Distsch Webster (DDW), yang dibagi secara random menjadi 6 kelompok, yaitu 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Kemudian tiap mencit diberikan luka bakar derajat II. Pada kelompok perlakuan akan diberikan propolis secara topikal dan kelompok kontrol tidak diberikan propolis. Pengambilan jaringan histopatologi kulit dilakukan pada hari ke-1, 4 dan 21 untuk mengamati proses reepitelisasi epidermis. Penentuan waktu pembuatan jaringan histopatologi kulit didasarkan pada fase penyembuhan luka bakar. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1. Skema pembagian hewan coba

Keterangan:

R : Randomisasi K : Kelompok kontrol P : Kelompok perlakuan

K1 : Observasi kelompok kontrol pada hari ke-1 K2 : Observasi kelompok kontrol pada hari ke-4


(26)

K3 : Observasi kelompok kontrol pada hari ke-21 P1 : Observasi kelompok perlakuan pada hari ke-1 P2 : Observasi kelompok perlakuan pada hari ke-4 P3 : Observasi kelompok perlakuan pada hari ke-21 H1 : Hari ke-1 setelah luka bakar

H4 : Hari ke-4 setelah luka bakar H21 : Hari ke-21 setelah luka bakar

: Pengelompokan hewan coba

: Pengambilan jaringan kulit yang dilakukan pada hari yang sama

3.7. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian direncanakan pada bulan Agustus - Oktober 2015. Perawatan dan pemberian intervensi pada hewan coba dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU), pembuatan jaringan histopatologi kulit dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi FK USU, sedangkan pembacaan hasil (pengukuran proses reepitelisasi) dilakukan di Laboratorium Histologi FK USU. Penelitian dilakukan setelah mendapat Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK USU.

3.8. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) galur Double Distsch Webster (DDW).

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah 24 ekor mencit (Mus musculus) galur Double Distsch Webster (DDW) jantan yang diperoleh dari laboratorium Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.


(27)

3.9. Kriteria Inklusi dan Ekslusi 4.4.1. Kriteria Inklusi

1. Galur DDW

2. Jenis kelamin jantan 3. Berat badan 25-35 gram 4. Umur 8-12 minggu

4.4.2. Kriteria Ekslusi

1. Mencit terlihat sakit, tidak aktif bergerak

2. Memiliki kecacatan fisik atau kelainan anatomis

3.10. Besar Sampel

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Federer (Federer, 1963), yaitu:

t = Jumlah kelompok perlakuan (6) n = Jumlah sampel tiap kelompok Maka banyaknya sampel tiap kelompok yang digunakan pada penelitian ini adalah:

( t 1 ) ( n – 1 ) ≥ 15 ( 6 – 1 ) ( n – 1 ) ≥ 15 5 ( n – 1 ) ≥ 15 n – 1 ≥ 3

n ≥ 4 ekor

Karena jumlah kelompok pada penelitian ini adalah 6 kelompok, maka jumlah sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 24 ekor mencit.

3.11. Alat dan Bahan Penelitian 4.6.1. Alat

1. Kandang hewan coba 2. Tempat makan dan minum


(28)

3. Alat pembersih kandang 4. Handscoon

5. Masker 6. Pencukur bulu 7. Stopwatch

8. Plat besi ukuran 1x1 cm 9. Alat pemanas besi 10. Alat bedah minor 11. Tabung kecil tertutup

12. Kotak tempat sediaan jaringan histopatologi 13. Mikroskop cahaya

4.6.2. Bahan

1. Ekstrak propolis

2. Mencit jantan jenis DDW 3. Makanan mencit

4. Minuman mencit 5. Alkohol

6. Formalin 10%

3.12. Prosedur Penelitian

4.7.1. Pembuatan Sediaan Propolis Topikal

Ekstrak propolis dibuat dalam sediaan salep untuk digunakan secara topikal. Basis salep menggunakan adeps lanae dan vaselin album. Pertama-taman, masukkan adeps lanae terlebih dahulu ke dalam lumping kemudian aduk hingga lebur dengan menggunakan alu, kemudian tambahkan vaselin album dan diaduk secara konstan hingga homogen. Selanjutnya, tambahkan ekstrak propolis sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan dan diaduk hingga homogen.

Formula standar dasar salep menurut Agoes Goeswin (2006) adalah: R/ Adeps Lanae 15 g


(29)

m.f salep 100 g

Sediaan salep yang digunakan pada penelitian ini menggunakan konsentrasi propolis 5% dibuat sebanyak 30 g dengan perhitungan sebagai berikut.

R/ Ekstrak propolis 1.5 g Basis salep 28.5 g m.f salep 30 g

4.7.2. Penyiapan Hewan Coba

Mencit jantan sebanyak 24 ekor dibagi menjadi 6 kelompok secara random, yaitu 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok terdapat 4 ekor mencit dengan perlakuan sebagai berikut.

a. Kelompok kontrol

Mencit diberi luka bakar yang telah ditentukan dan diberikan placebo (basis salep). Punggung mencit dicukur kemudian diberi luka bakar menggunakan plat besi yang telah dipanaskan, lalu dilakukan pengambilan sampel jaringan dan penghitungan ketebalan reepitalisasi epidermis pada hari ke-1, 4 dan 21. b. Kelompok perlakuan

Mencit diberi luka bakar yang telah ditentukan dan diberi propolis topikal. Punggung mencit dicukur kemudian diberi luka bakar dengan menggunakan plat besi yang telah dipanaskan, lalu dilakukan pengambilan sampel jaringan dan penghitungan ketebalan reepitalisasi epidermis pada hari ke-1, 4 dan 21.

Kemudian mencit ditempatkan di dalam kandang yang sudah disekat sesuai dengan kelompok perlakuan. Setiap kandang berisi 4 ekor mencit. Kemudian mencit diadaptasikan selama 7 hari dan pada hari ke-8 dilakukan pembuatan luka bakar. Mencit diberi pakan standar dan minum secara ad libitum.

4.7.3. Pembuatan Luka Bakar

Tahap awal menentukan lokasi luka bakar yaitu dibagian punggung mencit. Kemudian bulu dicukur sekitar 2 cm di sekitar kulit yang akan dibuat luka bakar dan kulit didesinfeksi dengan alkohol 70%. Setelah itu, dilakukan pembuatan luka


(30)

bakar pada punggung mencit dengan menggunakan plat besi yang telah dipanaskan menggunakan magnetic stir plate pada suhu 375oC selama 10 menit dan ditempelkan selama 10 detik pada punggung mencit sampai terbentuk luka bakar derajat II, yang ditandai dengan adanya warna kemerahan dan gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat pada kulit mencit.

4.7.4. Perawatan Luka Bakar

Mencit yang telah dilukai pada bagian punggungnya masing-masing diberi perawatan berdasarkan kelompoknya. Pada kelompok perlakuan diberikan propolis secara topikal sedangkan pada kelompok kontrol diberikan placebo. Perlakuan tersebut dilakukan mulai dari hari pembuatan luka bakar sampai hari ke-21 sebanyak 2 kali sehari, yaitu pada jam 7 pagi dan jam 7 malam.

4.7.5. Pembuatan Sediaan Jaringan Histopatologi Kulit

Pengambilan sampel kulit dilakukan pada hari ke-1, 4 dan 21. Pengambilan dilakukan setelah mencit dieuthanasia dengan cara dislokasi servikal. Pada bagian yang diberi luka bakar dieksisi kira-kira 2 cm dengan kedalaman sampai subkutis. Selanjutnya jaringan kulit yang telah diambil diletakkan pada tabung kecil berisi formalin 10% yang tertutup. Kemudian tabung-tabung kecil yang telah terisi jaringan hewan coba dibawa ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU untuk dibuat sediaan histopatologi dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE).

4.7.6. Cara Penilaian Ketebalan Reepitelisasi Epidermis

Penilaian mikroskopis sediaan histopatologi kulit luka luka bakar dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX-22 yang dihubungkan dengan komputer dengan pembesaran 200x. Ketebalan reepitelisasi dinilai dengan cara mengukur ketebalan epidermis yang baru terbentuk pada tepi luka. Kemudian hasil penilaian dibandingkan antara kelompok kontrol dan perlakuan.


(31)

3.13. Pengolahan dan Analisis Data 4.8.1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Wahyuni, 2011):

a. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. Apabila data belum lengkap ataupun ada kesalahan, data dilengkapi kembali.

b. Coding

Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.

c. Entry

Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam program komputer. Adapun program yang digunakan adalah SPSS.

d. Cleaning

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer. e. Saving

Penyimpanan data untuk siap dianalisis.

4.8.2. Analisis Data

Data hasil pengamatan proses reepitelisasi epidermis dianalisis menggunakan program statistika untuk melihat pengaruh yang bermakna pada pemberian propolis secara topikal pada luka bakar mencit. Hasil pengukuran diuji dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal (p>0.05) dan uji homogenitas Levene Statistic untuk mengetahui apakah data homogen (p>0.05). Bila data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji parametrik ANOVA (Analysis of Varian) dengan tingkat kepercayaan 95% (α<0.05) untuk mengetahui perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan. Selanjutnya dilakukan uji post hoc LSD untuk mengetahui kelompok-kelompok yang berbeda secara bermakna (p<0.05).


(32)

3.14. Alur Penelitian

Gambar 4.2. Alur Penelitian

24 ekor mencit jantan

Aklimatisasi (1 minggu)

Pemberian propolis topikal 5% 2x/hari

Pembuatan luka bakar pada punggung mencit Kelompok perlakuan

( 12 ekor mencit)

Pemberian placebo 2x/hari

Pengukuran reepitelisasi epidermis secara mikroskopik

Analisis data

Kelompok kontrol ( 12 ekor mencit)

H1: 4 ekor mencit diambil

jaringan dan dibuat sediaan

H1: 4 ekor mencit diambil

jaringan dan dibuat sediaan

8 ekor mencit 8 ekor mencit

H4: 4 ekor mencit diambil

jaringan dan dibuat sediaan

H4: 4 ekor mencit diambil

jaringan dan dibuat sediaan

4 ekor mencit 4 ekor

mencit

H21: 4 ekor mencit diambil

jaringan dan dibuat sediaan

H21: 4 ekor mencit diambil

jaringan dan dibuat sediaan


(33)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.15. HASIL PENELITIAN 5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di jalan dr. Mansyur No.5 Medan, Indonesia. Fakultas ini mulai melaksanakan pendidikan dokter sejak tanggal 20 Agustus 1952 dan mulai menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2006.

Fakultas Kedokteran USU memiliki fasilitas yang lengkap meliputi ruang belajar mengajar dan berbagai fasilitas pendukung, seperti ruang internet, ruang pertemuan, ruang skill lab, perpustakaan, poliklinik, dan masjid. Terdapat 14 laboratorium di Fakultas Kedokteran USU. Penelitian ini diadakan di tiga laoratorium, yaitu Laboratorium Farmakologi, Histologi, dan Patologi Anatomi.

5.1.2 Gambaran Mikroskopis Ketebalan Reepitelisasi Kulit

Penelitan ini mengenai pengaruh pemberian propolis secara topikal terhadap proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit. Mencit yang digunakan sebnayak 24 ekor dan dibagi menjadi 6 kelompok (3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan). Semua mencit diberikan luka bakar derajat 2 dan pada kelompok perlakuan diberikan propolis topikal. Proses pengambilan jaringan kulit dilakukan pada hari ke-1 (H1), ke-4 (H4), dan ke-21 (H-21). Proses reepitelisasi dapat dilihat secara mikroskopis setelah jaringan kulit diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE). Gambaran histopatologis tingkat ketebalan reepitelisasi dapat dilihat pada Gambar 5.1.


(34)

Gambar 5.1. Gambaran histopatologis kulit mencit dengan pewarnaa HE. (a)

Kontrol H1, (b) Perlakuan H1, (c) Kontrol H4, (d) Perlakuan H4, (e) Kontrol H21, dan (f) Perlakuan H21. (Perbesaran 200x, potongan melintang)

Pada Gambar 5.1. terlihat bahwa proses reepitelisasi mulai terjadi sejak hari 1 pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Lapisan epitel pada hari ke-1 tampak lebih tipis daripada hari ke-4 dan 2ke-1. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan epitel terus terjadi setiap harinya. Selain epitel, pada gambar diatas juga terlihat adanya sel fibroblas, jaringan kolagen, dan pada bekas luka juga terdapat serbukan sel radang neutrofil.

5.1.3 Hasil Pengukuran Ketebalan Reepitelisasi Kulit

Epitel pada luka bakar diukur ketebalannya setelah diberikan perlakuan agar dapat dihitung rata-ratanya dan dibandingkan secara statistik. Adapun hasil pengukuran ketebalan epitel dapat dilihat pada tabel berikut.

(a) (b) (c)


(35)

Tabel 5.1. Nilai rata-rata dan standar deviasi pengukuran ketebalan epitel

Perlakuan Jumlah Data Mean ± Standard Deviation (µm)

Kontrol H1 4 14.66 ± 2.47

Perlakuan H1 4 7.83 ± 1.29

Kontrol H4 4 18.29 ± 1.11

Perlakuan H4 4 20.87 ± 4.37

Kontrol H21 4 38.88 ± 5.41

Perlakuan H21 4 75.14 ± 9.45

Berdasarkan hasil data pada Tabel 5.1. terjadi peningkatan ketebalan epitel jaringan kulit pasca luka bakar derajat II pada kontrol hari ke-1 dengan rerata±SD (14.66 ± 2.47 µm) bertambah tebal pada hari ke-4 (18.29 ± 1.11 µm), dan semakin tebal pada hari ke-21 (38.88 ± 5.41 µm).

Hal yang sama terjadi pada kelompok perlakuan yang diberi propolis topikal 5% hari ke-1 dijumpai ketebalan epitel jaringan kulit pasca luka bakar dengan rerata±SD (7.83 ± 1.29 µm) diikuti penambahan ketebalan epitel pada hari ke-4 (20.87 ± 4.37 µm) dan semakin bertambah tebal pada hari ke-21 (75.14 ± 9.45 µm).

Berdasarkan data dari Tabel 5.1. tersebut dapat divisualisasikan dalam diagram batang sebagaimana yang terdapat pada gambar dibawah ini.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Hari ke-1 Hari ke-4 Hari ke-21

K et eba la n E pi te l (µ m ) Kontrol Perlakuan


(36)

5.1.4. Analisis Data

Analisis data penelitian didahului dengan uji normalitas data menggunakan uji Saphiro-Wilk. Hasil uji Saphiro-Wilk menunjukkan bahwa semua kelompok memiliki p>0.05 yang berarti data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan Levene Statistic dan diperoleh p=0.226 yang menunjukkan bahwa data yang didapatkan adalah homogen (p>0.05), maka dilakukan uji parametrik One-Way ANOVA.

Berdasarkan hasil analisis dengan One-Way ANOVA diperoleh hasil signifikan sebesar p=0.0001 (p<0.05), artinya terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata ketebalan epitel pada kelompok kontrol dan perlakuan. Kemudian dilakukan uji Post Hoc untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan antara ketebalan epitel pada tiap kelompok perlakuan.

Uji Post Hoc yang digunakan adalah uii LSD (Least Significance Difference Test). Hasil dikatakan signifikan atau terdapat perbedaan bermakna bila nilai p<0.05. Hasil uji Post Hoc LSD dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Perbandingan tingkat ketebalan reepitelisasi (Uji Post Hoc LSD)

Perlakuan Signifikasi Antar Kelompok Kontrol H1 vs Perlakuan H1

Kontrol H4 vs Perlakuan H4 Kontrol H21 vs Perlakuan H21

p = 0.066 p = 0.470 p = 0.0001* Dalam Kelompok Kontrol H1 vs Kontrol H4

Kontrol H1 vs Kontrol H21 Kontrol H4 vs Kontrol H21 Perlakuan H1 vs Perlakuan H4 Perlakuan H1 vs Perlakuan H21 Perlakuan H4 vs Perlakuan H21

p = 0.313 p = 0.0001* p = 0.0001* p = 0.002* p = 0.0001* p = 0.0001* *Signifikan : terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05)


(37)

Pada uji Post Hoc terdapat perbedaan bermakna tingkat ketebalan reepitelisasi pada kelompok kontrol dan perlakuan hari ke-21 (p=0.0001), tetapi pada hari ke-1 dan ke-4 tidak terdapat perbedaan bermakna dengan p=0.066 dan p=0.470. Sehingga dapat diartikan bahwa dengan memberikan propolis secara topikal pada hari ke-4 hingga hari ke-21 (fase proliferasi) dapat meningkatkan ketebalan reepitelisasi epidermis dibandingkan dengan pemberian placebo.

Perbandingan di dalam masing-masing kelompok menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pertumbuhan lapisan epitel yang signifikan setiap harinya, kecuali pada kelompok kontrol H1 dan H4. Pada kelompok kontrol H4, terdapat peningkatan ketebalan epitel dibandingkan kelompok kontrol H1 (Tabel 5.1), tetapi tidak bermakna secara statistik (p=0.313). Hal ini menunjukkan bahwa proses reepitelisasi berlangsung lebih lambat pada kelompok kontrol yang tidak diberi propolis.

5.2. PEMBAHASAN

Luka dapat disebabkan oleh trauma yang mengakibatkan rusak atau terputusnya kontinuitas jaringan tubuh. Proses penyembuhan luka sangat diperlukan untuk mendapatkan kembali jaringan tubuh yang utuh. Proses ini sangat kompleks, terdiri dari tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Pada fase proliferasi terjadi proses reepitelisasi, meliputi migrasi, proliferasi, dan diferensiasi keratinosit (Rahayu, 2013).

Berdasarkan hasil pengamatan dan data yang diperoleh pada penelitian ini, terlihat terjadi proses reepitelisasi atau pembentukan epitel mulai muncul pada kelompok hari ke-1. Penambahan pembentukan epitel terus terjadi pada hari ke-4 dan ke-21, walaupun perbedaan yang bermakna antara pemberian propolis topikal 5% dan placebo hanya terlihat pada pengamatan hari ke-21. Pada pengamatan jaringan histopatologis, tampak bahwa pemberian propolis topikal 5% dengan frekuensi 2 kali/hari dapat meningkatkan ketebalan reepitelisasi pada luka bakar mencit dibandingkan pemberian placebo, terlihat dari ukuran lapisan epidermis yang lebih tebal. Hal ini membuktikan bahwa pemberian propolis berperan dalam


(38)

membantu proses reepitelisasi pada epidermis pasca luka bakar, khususnya pada fase proliferasi (hari ke-4 hingga hari ke-21).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Olczyk et al., (2012) menunjukkan bahwa propolis dapat menstimulasi pembentukan glikoprotein laminin dan vitronektin, serta glikosaminoglikan (heparin sulfat/heparin). Fibroblas, keratinosit, dan sel epidermal tidak dapat melakukan perbaikan jaringan luka tanpa adanya ketiga komponen tersebut di jaringan luka. Vitronektin, dengan adanya transforming growth factor-β (TGF-β), menstimulasi migrasi dan proliferasi keratinosit, serta sintesis protein. Laminin berperan dalam migrasi dan proliferasi sel epidermal. Heparin sulfat/heparin menstimulasi pembentukan myofibroblas dan penutupan luka. Propolis dapat meningkatkan konsentrasi laminin, vitronektin, dan heparin sulfat/heparin pada jaringan luka bakar sejak hari ke-3 pemberiannya. Oleh karena itu, sejalan dengan penelitian ini tidak terdapat perbedaan bermakna antara pemberian propolis dan placebo pada hari ke-1 serta terjadi peningkatan ketebalan reepitelisasi yang tinggi pada kelompok perlakuan (Tabel 5.1).

Hasil penelitian ini didukung oleh Sushanta (2010) yang meneliti tentang pengaruh pemberian ekstrak propolis topikal pada proses penyembuhan luka sayat pada 30 ekor tikus jantan galur wistar. Hasil pemeriksaan jaringan kulit secara mikroskopik menunjukkan bahwa pemberian ekstrak propolis topikal dapat meningkatkan ketebalan epitel. Hal ini mengindikasikan bahwa proses penyembuhan berlangsung lebih cepat dan proses inflamasi berlangsung lebih singkat.

Penelitian eksperimental lainnya oleh Nurmalisa (2012) dengan menggunakan 25 ekor tikus jantan strain Sparague Dawley menunjukkan bahwa propolis dapat meningkatkan proses reepitelisasi epidermis kulit pasca luka bakar menjadi lebih cepat. Penelitian ini juga membuktikan bahwa pada pemberian propolis topikal 7.5% terdapat lapisan epitel yang paling tipis 32.83 ± 2.68 (p = 0.022) dibandingkan dengan propolis 2.5% dan 5%.


(39)

Peningkatan proses penyembuhan luka ini diduga karena efek resultan dari semua zat aktif yang terdapat dalam propolis, yaitu flavonoid, Caffeic acid phenethyl ester (CAPE), lilin, asam lemak, asam amino, vitamin, dan mineral (Farre et al., 2004).

Kandungan flavonoid yang tinggi pada propolis mempunyai peranan utama dalam proses penyembuhan luka. Flavonoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba, dan antiinflamasi. Pada saat terjadi luka atau kerusakan jaringan, mediator-mediator inflamasi akan dikeluarkan oleh neutrofil, makrofag, sel endotel, dan sel-sel yang memiliki efek vasomotor penting. Mediator inflamasi akan mempengaruhi fungsi trombosit dan bahkan bertindak sebagai radikal bebas yang sitotoksik. Adanya flavonoid propolis yang kaya akan vitamin dan bertindak sebagai antioksidan dan disebutkan bahwa antioksidan propolis lebih baik daripada vitamin E (Velazquez, et al., 2007 dalam Mawarti, 2012).

Khasiat propolis sebagai antimikroba sudah banyak dilaporkan. Uji kepekaan antimikroba bahan ekstrak propolis pada bakteri Staphylococcus aureus, ternyata 100% (26 dari 26 isolat Staphylococcus aureus) sensitif terhadap ekstrak propolis (Susilo, et al., 2009). Aktivitas antimikroba propolis terhadap 26 spesies mikroorganisme menunjukkan bahwa ekstrak propolis dapat melawan pertumbuhan bakteri dan jamur, terutama bakteri gram positif dan Candida albicans (Rezende, et al., 2006).

Selain itu, adanya kandungan quercetin dan caffeic acid phenethyl ester (CAPE) pada propolis menyebabkan efek antiinflamasi dengan cara menghambat jalur siklooksigenase dan lipooksigenase sehingga asam arakhidonat yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak tidak berubah menjadi mediator-mediator inflamasi, seperti tromboksan, prostaglandin, dan leukotrien (Pradipta, 2010).

Propolis dapat menstimulasi berbagai macam enzim, metabolism sel, sirkulasi, dan pembentukan kolagen. Kandungan vitamin C pada propolis dapat mengaktifkan enzim prolil hidroksilase yang menunjang tahap didroksilasi dalam pembentukan hidroksipolin, suatu integral kolagen yang penting dalam penyembuhan luka (Parolia, el al., 2010 dalam Mawarti, 2012).


(40)

Berdasarkan data yang didapatkan pada penelitian, beberapa penelitian yang mendukung, dan berbagai kandungan yang terdapat pada propolis, menunjukkan bahwa dengan pemberian propolis topikal pada luka bakar mencit dapat meningkatkan ketebalan reepitelisasi epidermis.


(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan secara eksperimental dengan post test only control group design dan analisis data statistik tentang pengaruh pemberian propolis topikal 5% terhadap reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit, dapat disimpulkan bahwa:

a. Terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada pemberian propolis dan placebo pada hari pengamatan ke-21.

b. Pemberian propolis topikal 5% dapat mempercepat proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit selama proses penyembuhan luka bakar.

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah:

a. Dapat dilakukan penelitian sejenis dengan menggunakan propolis topikal dengan konsentrasi yang berbeda.

b. Dapat dilakukan perbandingan antara propolis topikal dengan kontrol positif (obat luka bakar).

c. Dapat dilakukan penelitian sejenis dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan sampel hewan coba yang berbeda.

d. Diharapkan dapat menentukan zat aktif spesifik dan mekanisme kerjanya dalam meningkatkan proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar.

e. Dilakukan pengamatan jaringan histopatologis kulit setiap harinya untuk mengetahui lama pengobatan luka bakar.

f. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, propolis dapat dianjurkan sebagai terapi alternatif luka bakar.


(42)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan sensitif. Kulit bervariasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya. Kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir, dan preputium. Sedangkan kulit yang tebal dan tegang, terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat pada muka, kulit lembut terdapat pada leher dan badan, sedangkan kulit dengan rambut kasar terdapat pada kepala (Wasitaatmadja, 2011).

Secara histologis, kulit terdiri atas dua lapisan (Eroschenko, 2012), yaitu: a. Epidermis

Epidermis adalah lapisan nonvaskular yang dilapisi epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk dengan jenis dan lapisan sel yang berbeda-beda. Terdapat empat jenis sel di epidermis kulit, dengan keratinosit sebagai sel dominan. Keratinosit membelah, tumbuh bergerak ke atas, dan mengalami keratinisasi atau kornifikasi, dan membentuk lapisan epidermis protektif bagi kulit. Selain itu terdapat juga jenis sel lainnya yang jumlahnya lebih sedikit di epidermis, yaitu melanosit, sel langerhans, dan sel Merkel.

Terdapat lima lapisan sel pada epidermis, yaitu:

1) Stratum basal (germinativum), adalah lapisan paling dalam atau dasar di epidermis. Lapisan ini terdiri dari satu lapisan sel kolumnar hingga kuboid yang terletak pada membran basalis yang memisahkan epidermis dan dermis. Sel di stratum basal berfungsi sebagai sel induk bagi epidermis. Karena itu, di lapisan ini banyak ditemukan aktivitas mitosis. Sel membelah dan mengalami pematangan sewaktu bermigrasi ke atas menuju lapisan superfisial.

2) Stratum spinosum, terdiri dari empat sampai enam tumpukan sel. Pada sediaan histologik rutin, sel di lapisan ini menciut. Akibatnya, ruang interseluler


(43)

memperlihatkan banyak tonjolan sitoplasma, atau spina (duri), yang keluar dari permukaannya. Pembentukan filamen keratin berlanjut di lapisan ini yang kemudian tersusun membentuk berkas tonofilamen. Tonofilamen mempertahankan kohesi diantara sel dan menghasilkan resistensi terhadap abrasi epidermis.

3) Stratum granulosum, terdiri dari 3-5 lapis sel gepeng yang berisi granula keratohialin basofilik. Kombinasi granula keratohialin dan tonofilamen di sel ini menghasilkan keratin lunak kulit.

4) Stratum lucidum, yang translusen dan kurang jelas. Lapisan ini hanya ditemukan pada kulit tebal. Sel-selnya tersusun rapat dan tidak memiliki nukleus atau organel dan telah mati. Sel-sel gepeng ini mengandung filamen keratin yang padat.

5) Stratum korneum, adalah lapisan kulit kelima dan paling luar. Semua nukleus dan organel telah lenyap dari sel. Stratum korneum terutama terdiri dari sel mati yang gepeng berisi filamen keratin lunak. Sel superfisial berkeratin di lapisan ini secara terus-menerus dilepaskan atau mengalami deskuamasi serta diganti oleh sel baru yang muncul dari stratum basal di sebelah dalam. Selama proses keratinisasi, enzim-enzim hidrolitik merusak nukleus dan organel sitoplasma yang kemudian lenyap ketika sel terisi oleh keratin.

b. Dermis

Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang mengikat epidermis. Dermis juga mengandung derivatif epidermal misalnya kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan folikel rambut. lapisan dermis dibentuk oleh dua lapisan, yaitu stratum papillare dan stratum reticulare.

Stratum papillare dibentuk oleh banyak tonjolan ke atas pada lapisan superfisial dermis. Tonjolan ini disebut papillae, yang saling menjalin dengan evaginasi epidermis, disebut cristae cutis (epidermal ridges). Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar tidak teratur, kapiler, pembuluh darah, fibroblas, makrofag, dan sel jaringan ikat longgar lainnya.


(44)

Stratum reticulare adalah lapisan dermis yang lebih dalam. Lapisan ini lebih dalam dan ditandai oleh serat jaringan ikat padat tidak teratur (terutama kolagen tipe I), dan kurang seluler dibandingkan dengan stratum papillare. Tidak terdapat batas yang jelas antara kedua lapisan dermis karena stratum papillare menyatu dengan stratum reticulare.

Dibawah lapisan dermis terdapat hipodermis, atau jaringan subkutan, yaitu jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada organ-organ dibawahnya, memungkinkan kulit bergeser diatasnya. Hipodermis sering mengandung sel-sel lemak dengan jumlah yang bervariasi (Mescher, 2012). Selain itu, pada lapisan hipodermis juga terdapat pembuluh darah, saraf, dan limfe (Wasitaatmadja, 2011).

Gambar 2.1. Histologi kulit

Sumber: Mescher A.L., 2012.

2.2. Luka Bakar 2.2.1. Definisi

Luka adalah kerusakan atau gangguan integritas normal dari kulit dan jaringan pada tubuh. Luka merupakan proses mekanik seperti insisi bedah atau luka fisik karena api (Taylor et al. dalam Nurmalisa, 2012). Brunner dan Suddarth (2010) menyatakan bahwa luka merupakan terganggunya kontinuitas sel-sel yang kemudian diikuti dengan penyembuhan luka sebagai respon dari kerusakan tersebut.


(45)

Sedangkan luka bakar (combustion) merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma suhu/termal (Grace dan Borley, 2006). Menurut Moenadjat (2009) luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah. Dalamnya luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan agen tersebut (Brunner dan Suddarth, 2010).

2.2.2. Klasifikasi

2.2.2.1. Bedasarkan Penyebabnya

Menurut Grace dan Borley (2006), klasifikasi luka bakar berdasarkan penyebabnya adalah:

a. Trauma suhu/termal, dapat disebabkan oleh paparan terhadap sumber panas yang kering (api, logam panas) atau lembab (cairan atau gas panas).

b. Trauma listrik, dapat menyebabkan kulit hangus dan kerusakan jaringan lebih dalam akibat arus listrik yang menjalar. Selain itu, juga dapat menyebabkan henti jantung.

c. Trauma kimiawi, dapat disebabkan karena kelalaian, kecelakaan kerja, baik di pabrik ataupun laboratorium, dan akibat penggunaan gas beracun dalam peperangan. Kandungan zat kimia yang bersifat asam atau basa dapat menyebabkan kerusakan jaringan kulit.

d. Trauma radiasi, awalnya dengan kedalaman sebagian, tetapi dapat berlanjut ke bagian kulit yang lebih dalam. Trauma ini berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi (Rahayuningsih, 2012).


(46)

2.2.2.2. Bedasarkan Kedalaman Kerusakan Jaringan (Luka)

Klasifikasi luka bakar berdasarkan kerusakan jaringan luka (Moenadjat, 2009), antara lain:

a. Luka bakar derajat I

Kerusakan jaringan terbatas pada bagian permukaan (superfisial) yaitu epidermis, sehingga dermal-epidermal junction tetap utuh. Kulit kering, hiperemik memberikan efloresensi berupa eritema. Terdapat nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Tidak ada masalah klinis yang berarti dan penyembuhan luka bakar (regenerasi epitel) terjadi secara spontan dalam waktu 5-7 hari.

b. Luka bakar derajat II (partial thickness burn)

Kerusakan meliputi seluruh ketebalan epidermis dan sebagian superfisial dermis. Menimbulkan reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi. Luka bakar derajat II dibedakan menjadi dua, yaitu dangkal dan dalam.

Pada luka bakar derajat II dangkal (Superficial partial thickness burn), terdapat kerusakan mengenai epidermis dan sepertiga bagian superfisial dermis. Hal ini menyebabkan dermal-epidermal junction mengalami kerusakan, sehingga terjadi epidermolisis yang diikuti terbentuknya lepuh (bula, blister). Lepuh ini merupakan karakteristik luka bakar derajat dua dangkal. Bila epidermis terlepas (terkelupas), terlihat dasar luka kemerahankadang pucatedematus, dam eksudatif. Penyembuhan terjadi secara spontan, umumnya memerlukan waktu antara 10-14 hari.

Pada luka bakar derajat II dalam (Deep partian thickness burn), terdapat kerusakan mengenai dua pertiga bagian superfisial dermis. Sehingga apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea terkena. Sering dijumpai eskar tipis di permukaan (harus dibedakan eskar pada luka bakar derajat III). Penyembuhan biasanya memerlukan waktu lebih dari dua minggu.


(47)

c. Luka bakar derajat III (Full thickness burn)

Kerusakan meliputi seluruh bagian kulit dan lapisan yang lebih dalam. Kulit yang terbakar tampak lebih putih atau pucat karena terbentuk eskar (jaringan yang mengalami kerusakan akibat trauma termis). Terjadi kerusakan / kematian pada ujung-ujung saraf sensoris sehingga penderita hilang sensasi dan tidak merasakan nyeri. Proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama.

(a) derajat I (b) derajat II (c) derajat III

Gambar 2.2. Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan

Sumber: University of Virginia Health System, 2015.

2.2.3. Komplikasi

Komplikasi luka bakar berdasarkan waktu terjadinya, yaitu segera, awal, dan lanjut. Komplikasi segera luka bakar adalah sindrom kompartemen dari luka bakar sirkumferensial. Sebagai contoh, luka bakar pada ekstremitas mengakibatkan iskemia ekstremitas dan luka bakar toraks dapat menyebabkan hipoksia oleh karena gagal napas rekstriktif (Grace dan Borley, 2006).

Adapun komplikasi awal luka bakar meliputi hiperkalemia akibat adanya sitolisis pada luka bakar yang luas, gagal ginjal akut (kombinasi dari hipovolemia, sepsis, dan toksin jaringan), infeksi, dan ulkus akibat stres (ulkus Curling) (Grace dan Borley, 2006).

Sedangkan komplikasi lanjut luka bakar adalah terjadinya kontraktur. Kontraktur adalah kontraksi yang menetap dari kulit dan atau jaringan dibawahnya yang menyebabkan deformitas dan keterbatasan gerak. Kelainan ini disebabkan karena tarikan parut abnormal pasca penyembuhan luka bakar (Perdanakusuma, 2009).


(48)

2.2.4. Proses Penyembuhan Luka Bakar

Penyembuhan luka bakar merupakan proses yang kompleks. Proses ini melibatkan banyak jenis sel dan mediator yang mengatur perbaikan jaringan. Berhasilnya penyembuhan luka dan regenerasi jaringan tergantung pada proses hemostasis, inflamasi, sistesis matriks, proliferasi, kontraksi luka, dan perbaikan jaringan dalam mengembalikan fungsi jaringan (Santoso, 2010).

Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase, yaitu: a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang timbul segera setelah terjadinya luka hingga 3-4 hari. Pada fase ini terjadi dua aktivitas fisiologis, yaitu hemostasis (pembekuan darah) dan fase inflamasi seluler. Selama proses hemostasis, pembuluh darah yang terputus pada luka yang menyebabkan perdarahan akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus (retraksi), dan reaksi hemostasis (Nurmalisa, 2012).

Jaringan yang rusak dan sel mast akan mengeluarkan histamin dan mediator lain sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang tidak rusak. Hal ini juga akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan cairan yang kaya protein berpindah ke ruang interstisial. Terjadilah perbedaan tekanan onkotik yang akhirnya menyebabkan edema atau pembengkakan (Santoso, 2010).

Aktivitas kedua adalah fase inflamasi seluler, dimana terjadi proses migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag keluar dari kapiler dan masuk ke daerah yang rusak sebagai reaksi terhadap agen kemotaktik yang dipacu oleh adanya cedera (Santoso, 2010). Selanjutnya, leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu dalam mencerna bakteri dan kotoran luka. Sedangkan makrofag akan menelan mikroorganisme dan sel-sel debris melalui proses fagositosis. Selain itu, makrofag juga akan mengeluarkan angiogenesis growth factor (AGF) yang merangsang pertumbuhan sel epitel dan pembuluh darah baru serta menarik fibroblas (Pradipta, 2010).


(49)

b. Fase Proliferasi

Fase ini berlangsung sejak berakhirnya fase inflamasi hingga akhir minggu ketiga. Aktivitas utama selama fase ini adalah angiogenesis dan membentuk kembali permukaan luka melalui proses epitelisasi (Nurmalisa, 2012).

Angiogenesis berperan penting pada proses penyembuhan luka. Pembuluh kapiler baru akan membawa oksigen yang cukup ke daerah luka karena biasanya terdapat keadaan hipoksia dan turunnya tekanan oksigen (Pradipta, 2010).

Peran fibroblas juga sangat besar pada proses ini. Fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka. Kemudian fibroblas akan berproliferasi dan mengeluarkan beberapa substansi, seperti kolagen, elastin, asam hialuronat, fibronektin, dan proteoglikans. Substansi ini berperan dalam membangun jaringan baru (Pradipta, 2010).

Pada proses epitelisasi, fibroblas mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi dimulai dari pinggir luka hingga membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Untuk membantu jaringan tersebut menutup luka, fibroblas akan mengubah strukturnya menjadi myofibloblas yang berperan dalam kontraksi jaringan. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel kulit dan lapisan kolagen telah terbentuk (Pradipta, 2010).

c. Fase Maturasi

Fase ini merupakan tahap akhir proses penyembuhan luka. Fase ini berlangsung dari akhir minggu ketiga hingga berbulan-bulan, bahkan lebih dari satu tahun, bergantung pada derajat dan luas luka bakar. Pada fase ini, terjadi proses penyerapan kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Jaringan kolagen parut terus diatur dan meningkatkan kekuatannya selama beberapa bulan. Pada akhirnya biasanya timbul jaringan parut yang terdiri atas sedikit sel yang berpigmen (melanosit) dan memiliki warna yang lebih terang daripada kulit normal, pucat tipis, lemas, dan tak ada rasa sakit maupun gatal (Nurmalisa, 2012).


(50)

(51)

2.3.1. Komposisi Propolis

Komposisi propolis sangat bervariasi tergantung pada letak geografisnya. Propolis mengandung zat gizi yang lengkap dan kompleks, seperti terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Komposisi Propolis

Komposisi (%) Kandungan

Resin

Lilin lebah (wax) Minyak esensial Asam lemak Polen

Senyawa organik lain dan mineral 45-55% 7.55-35% 5-10% 5% 5% 5%

Flavonoid, asam fenol, dan ester Lilin lebah

Minyak volatile

Kebanyakan dari lilin lebah

Protein dan asam amino. Arginin dan prolin yang terbanyak.

14 senyawa mikroorganik (Fe dan Zn terbanyak, yang lain: Au, Ag, Cs, Hg, K, dan Sb), keton, lakton, quinon, steroid, asam benzoik dan esternya. Vitamin B1, B2, B3, B6.

Sumber: Farre et al., 2004.

2.3.2. Manfaat Propolis Pada Proses Penyembuhan Luka Bakar

Beberapa tahun terakhir, propolis telah menjadi pusat perhatian para peneliti di dunia. Hal ini disebabkan karena manfaatnya baik sebagai obat ataupun industri kimia. Manfaat tersebut diantaranya sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Penelitian oleh Olczyk, et al., menunjukkan bahwa propolis dapat menstimulasi peningkatan vitronectin, laminin, dan heparan sulfate / heparin yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka bakar. Hal ini berupa stimulasi migrasi keratinosit, proliferasi sel epidermis dan fibroblas, yang berperan dalam proses reepitelisasi dan penutupan luka (Olczyk, et al., 2012).


(52)

Senyawa kimia pada propolis yang bermanfaat dalam proses penyembuhan luka bakar, diantaranya adalah:

a. Flavonoid

Propolis mempunyai kandungan flavonoid yang paling banyak dibandingkan dengan produk lebah lain, seperti madu, royal jelly, dan pollen. Flavonoid yang terkandung didalam propolis bersifat antioksidan yang dapat mencegah infeksi dan mempercepat regenerasi epitel (Nurmalisa, 2012).

Aktivitas propolis dalam melawan beberapa jenis bakteri telah banyak dilaporkan. Propolis dapat membunuh bakteri gram positif (Staphylococcus aureus), bakteri gram negatif (Salmonella sp.), dan berbagai bakteri patogen anaerob di mulut (Mawarti, 2012). Aktivitas antibakteri ini disebabkan karena kandungan flavonoid dan asam aromatik dan ester yang terkandung dalam resin propolis. Galangin, pinocembrin, dan pinostrobin adalah senyawa didalam flavonoid yang memiliki efek terbesar dalam melawan bakteri. Selain itu, ferulic dan caffeic acid juga berperan dalam aktivitas antibakteri ini (Marcucci, 1995).

Quercetin, kaemferol, epigenin, dan luteolin yang terkandung dalam flavonoid berperan dalam meningkatkan tumbuhnya jaringan baru sebagai akibat dari sifat tissue strengthening dan regenerative effect berbagai senyawa tersebut (Nurmalisa, 2012).

Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) adalah komponen bioaktif alami yang diperoleh dari flavonoid propolis melalui proses ekstraksi pada sarang lebah. CAPE adalah senyawa polifenol dengan cincin catechol yang berperan penting dalam berbagai aktivitas biologis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa CAPE efektif dalam melawan berbagai keadaan patologis, seperti infeksi, stres oksidatif, inflamasi, kanker, diabetes, neurodegenerasi, dan kecemasan. CAPE menghambat reaksi oksidatif yang berlebihan akibat adanya proses inflamasi maupun metabolisme sel pada luka. CAPE menghambat pelepasan asam arakhidonat dari membran sel serta menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2 sehingga tidak terbentuk mediator-mediator inflamasi (Murtaza, et al., 2014).


(53)

c. Lilin dan asam lemak

Lilin yang terkandung didalam propolis mengandung ikatan ester, asam lemak, dan rantai alkohol hidrokarbon yang sebagian besar tidak aktif secara kimia. Lilin propolis mengandung mikroelemen yang berperan dalam mengobati luka bakar (Nurmalisa, 2012).

d. Polen dan Asam amino

Polen merupakan penyumbang kadar protein dalam propolis. Dari semua asam amino yang terdapat dalam propolis, arginin dan prolin tergolong yang terbanyak, yakni 45,8%. Arginin dapat menstimulasi regenerasi jaringan karena berperan dalam produksi asam nukleat (DNA) (Susanto, 2010).

e. Mineral dan vitamin

Komposisi mineral yang terkandung dalam propolis sangat lengkap. Mineral yang terbanyak pada propolis adalah kalium, magnesium, kalsium, fosfat, dan besi (Campos, et al., 2008). Mineral berperan penting dalam fungsi imunitas, antioksidan, penyembuhan luka, dll. (Moenadjat, 2009).

Vitamin yang terkandung didalam propolis. Diantaranya β-Carotene, B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B5 (asam pantotenat) , B6 (piridoksin), C (asam askorbat), H (biotin), asam folat, dan vitamin E (tokoferol) (Campos, 2008). Vitamin berguna dalam sintesis protein, memperbaiki fungsi imunitas, dan berperan sebagai antioksidan, juga dibutuhkan pada proses penyembuhan luka. (Moenadjat, 2009).


(54)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada negara dengan pendapatan rendah-menengah, dimana lebih dari 95% angka kejadian luka bakar menyebabkan kematian (mortalitas). Bagaimanapun juga, kematian bukanlah satu-satunya akibat dari luka bakar. Banyak penderita luka bakar yang akhirnya mengalami kecacatan (morbiditas), hal ini tak jarang menimbulkan stigma dan penolakan masyarakat (Gowri, et al., 2012).

Pada tahun 2014, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa terdapat 265.000 kematian yang terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia akibat luka bakar. Di India, lebih dari satu juta orang menderita luka bakar sedang-berat per tahun. Di Bangladesh, Columbia, Mesir, dan Pakistan, 17% anak dengan luka bakar menderita kecacatan sementara dan 18% menderita kecacatan permanen. Sedangkan di Nepal, luka bakar merupakan penyebab kedua cedera tertinggi, dengan 5% kecacatan.

Menurut data American Burn Association (2015), di Amerika Serikat terdapat 486.000 kasus luka bakar yang menerima penanganan medis, 40.000 diantaranya harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, sebanyak 3.240 kematian terjadi setiap tahunnya akibat luka bakar. Penyebab terbanyak terjadinya luka bakar adalah karena trauma akibat kecelakaan kebakaran, kecelakaan kendaraan, terhirup asap, kontak dengan listrik, zat kimia, dan benda panas.

Di Indonesia, prevalensi luka bakar pada tahun 2013 adalah sebesar 0.7% dan telah mengalami penurunan sebesar 1.5% dibandingkan pada tahun 2008 (2.2%). Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka Belitung (1.4%) (Depkes, 2013). Berdasarkan data rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan, terdapat 353 kasus luka bakar pada tahun 2011-2014 dengan


(55)

penyebab terbanyak adalah flame burn injury (174 kasus, 50,4%) (Maulana, 2014).

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap paparan yang berasal dari sumber panas, listrik, zat kimia, dan radiasi. Hal ini akan menimbulkan gejala berupa nyeri, pembengkakan, dan terbentuknya lepuhan (Grace dan Borley, 2006). Semua luka bakar (kecuali luka bakar ringan atau luka bakar derajat I) dapat menimbulkan komplikasi berupa shock, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, infeksi sekunder, dan lain-lain (Rismana, et al., 2013).

Permasalahan yang dialami oleh penderita luka bakar, selain komplikasi, adalah proses penyembuhan luka bakar yang lama. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Pertama, fase inflamasi yang berlangsung sejak terjadinya luka hingga 3-4 hari. Pada fase ini terjadi perubahan vaskuler dan proliferasi seluler. Daerah luka mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin, serta mulai timbul epitelisasi. Kedua, fase proliferasi yang berlangsung sejak berakhirnya fase inflamasi hingga hari ke-21. Pada fase inflamasi, terjadi proliferasi fibroblas, angiogenesis, dan proses epitelisasi. Ketiga, fase maturasi, terjadi sejak hari ke-21 hingga 1-2 tahun dimana terjadi proses pematangan kolagen, penurunan aktivitas seluler dan vaskuler. Bentuk akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal (Pradipta, 2010).

Epitelisasi merupakan proses yang penting pada saat penyembuhan luka bakar karena epitel melindungi tubuh dari paparan lingkungan. Selain itu, epitel juga berguna dalam melindungi tubuh dari invasi bakteri, trauma, dan kehilangan cairan. Semakin cepat proses reepitelisasi epidermis, maka semakin cepat proses penyembuhan luka. Oleh karena itu, diperlukan suatu terapi yang dapat digunakan untuk mempercepat proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar (Ahliadi, 2014).

Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai terapi biologis alternatif untuk penanganan luka bakar adalah propolis. Propolis adalah sejenis resin yang dikumpulkan lebah dari berbagai tumbuhan. Resin ini kemudian


(56)

dicampur dengan saliva dan berbagai enzim dalam lebah sehingga menghasilkan resin baru yang berbeda dengan resin asalnya. Senyawa ini juga digunakan lebah untuk membangun sarangnya (Ningsih, 2009).

Propolis telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional, karena propolis memiliki kandungan yang berfungsi dalam proses penyembuhan luka, yaitu flavonoid. Flavonoid memiliki banyak manfaat antara lain sebagai sebagai antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan (Martos, et al., 2008).

Efek antioksidan propolis ditunjukkan oleh kandungan yang terdapat dalam flavonoid, yaitu caffeic acid phenetyl ester (CAPE) yang merupakan antioksidan tingkat tinggi. CAPE menghambat reaksi oksidatif yang berlebihan akibat adanya proses inflamasi maupun metabolisme sel pada luka. CAPE menghambat pelepasan asam arakhidonat dari membran sel serta menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2 sehingga tidak terbentuk mediator-mediator inflamasi (Murtaza, et al., 2014).

Efek antimikroba propolis penting untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang rentan terjadi saat luka. Infeksi sekunder sering disebabkan oleh bakteri patogen, seperti Staphylococcus, Streptococcus, dan pneumococcus. Bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh melalui jaringan yang rusak akibat luka bakar. Infeksi yang terjadi tidak hanya menyebabkan efek lokal, namun juga sistemik (Pradipta, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Meresta dan Meresta (1985) menunjukkan bahwa ekstrak propolis dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Hal ini disebabkan karena adanya senyawa galangin, pinocembrin, dan pinostrobin yang terkandung dalam flavonoid propolis memiliki efek terkuat dalam melawan bakteri tersebut (Marcucci, 1995). Selain itu, terdapat kandungan caffeolylguinic acid dan cinnamon acid yang keduanya juga memiliki efek antimikroba (Marwanti, 2012).

Penelitian Olczyk, et al. (2012) menunjukkan bahwa propolis juga terbukti dalam menstimulasi pembentukan dan aktivitas glikoprotein seperti vitronectin, laminin, dan glikosaminoglikan, yaitu heparin sulfate/heparin. Vitronectin dan laminin menstimulasi proliferasi dan migrasi keratinosit dan sel epidermal. Sedangkan heparin sulfate/heparin berperan dalam pembentukan myofibroblas


(57)

dan proses penutupan luka. Oleh karena itu, propolis dapat mempercepat penyembuhan luka bakar dan proses reepitelisasi epidermis.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh pemberian propolis secara topikal terhadap proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit (Mus musculus).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Bagaimana pengaruh pemberian propolis secara topikal terhadap proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit (Mus musculus).

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian propolis secara topikal terhadap proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit (Mus musculus).

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui ketebalan epitel (epidermis) yang terbentuk pada luka bakar mencit dengan pemberian propolis topikal pada hari ke-1, 4, dan 21.

2. Mengetahui ketebalan epitel (epidermis) yang terbentuk pada luka bakar mencit tanpa pemberian propolis pada hari ke-1, 4, dan 21.

3. Membandingkan ketebalan epitel (epidermis) yang terbentuk pada luka bakar dengan pemberian propolis dan tanpa pemberian propolis.


(58)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan tentang propolis sebagai terapi alternatif luka bakar.

2. Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang manfaat propolis sebagai terapi alternatif luka bakar.

3. Memberikan informasi serta sebagai tambahan kepustakaan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.


(59)

ABSTRAK

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Penanganan yang efektif sangat diperlukan dalam mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Propolis adalah salah satu produk lebah yang memiliki kandungan flavonoid tinggi. Propolis berperan sebagai antimikroba, antiinflamasi, antioksidan, dan mempercepat regenerasi jaringan. Propolis dapat menstimulasi pembentukan vitronektin, laminin, dan heparan sulfat/heparin yang berperan dalam proses reepitelisasi epidermis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian propolis topikal 5% terhadap proses penyembuhan luka bakar, khususnya proses reepitelisasi epidermis.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain post-test only control group dengan menggunakan mencit (Mus musculus) galur Double Distsch Webster (DDW). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 24 ekor mencit jantan dan dibagi secara acak menjadi 6 kelompok: 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Semua mencit diberikan luka bakar derajat II pada bagian punggung. Pada kelompok perlakuan diberikan propolis topikal 5% sebanyak 2 kali/hari, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan dasar salep (vaselin album dan adeps lanae). Pengambilan jaringan kulit dilakukan pada hari ke-1, ke-4, dan ke-21 dan dilakukan pengukuran ketebalan reepitelisasi epidermis dengan menggunakan mikroskop.

Hasil uji statistik one way-ANOVA diikuti uji post-hoc LSD terhadap ketebalan epitel pada kelompok perlakuan dan kontrol menunjukkan perbedaan bermakna (p=0.0001) pada hari pengamatan ke-21 dengan rata-rata±SD (K21=38.88±5.41 µm, P21=75.14±9.45 µm). Hal ini membuktikan bahwa pemberian propolis dapat meningkatkan ketebalan epitel pada luka bakar sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa propolis topikal 5% berkhasiat dalam proses penyembuhan luka bakar derajat II sehingga dapat digunakan sebagai terapi alternatif dalam penanganan luka bakar.


(60)

ABSTRACT

Burn injury is a public health problem with high morbidity and mortality rate in the world. Effective treatment is needed in accelerating wound healing process. Propolis is the bee product with high flavonoid content and act as an antimicrobial, anti-inflammatory, antioxidant, and improve tissues regeneration. Propolis can stimulate accumulation of vitronectin, laminin, and heparan sulfate/heparin, which play an important roles during reepithelization of epidermis.

The aim of this study was to determine the effect of topical propolis 5% on burn wound healing, especially reepithelization of epidermis.

An experimental study with post-test only control group design used Double Distsch Webster (DDW) strain of mice (Mus musculus). The samples were 24 male mice, divided randomly into 6 groups: 3 control groups and 3 treatment groups. All the mice were given second-degree burns on the back. In treatment groups were treated with topical propolis 5% twice daily, and control groups with a placebo (Vaseline album and adeps lanae). Reepithelization of epidermis was assessed by measuring epithelial thickness on day 1, 4, and 21 after injury.

Results of one way-ANOVA followed by LSD Post Hoc test on epithelial thickness between treatment and control groups showed a significant difference (p<0.0001) with mean±SD (K21=38.88±5.41 µm and P21=75.14±9.45 µm). It proved that administration of topical propolis can increase the epithelial thickness compared with placebo.

In conclusion, topical propolis 5% have beneficial effects in burn healing, hence it might be used as an alternative therapy of burns.


(61)

PENGARUH PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL

TERHADAP PROSES REEPITELISASI EPIDERMIS

PADA LUKA BAKAR MENCIT (Mus musculus)

Oleh:

RAUDHAH SARI

120100143

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(62)

PENGARUH PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL

TERHADAP PROSES REEPITELISASI EPIDERMIS

PADA LUKA BAKAR MENCIT (Mus musculus)

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

RAUDHAH SARI

NIM : 120100143

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(63)

(64)

ABSTRAK

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Penanganan yang efektif sangat diperlukan dalam mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Propolis adalah salah satu produk lebah yang memiliki kandungan flavonoid tinggi. Propolis berperan sebagai antimikroba, antiinflamasi, antioksidan, dan mempercepat regenerasi jaringan. Propolis dapat menstimulasi pembentukan vitronektin, laminin, dan heparan sulfat/heparin yang berperan dalam proses reepitelisasi epidermis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian propolis topikal 5% terhadap proses penyembuhan luka bakar, khususnya proses reepitelisasi epidermis.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain post-test only control group dengan menggunakan mencit (Mus musculus) galur Double Distsch Webster (DDW). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 24 ekor mencit jantan dan dibagi secara acak menjadi 6 kelompok: 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Semua mencit diberikan luka bakar derajat II pada bagian punggung. Pada kelompok perlakuan diberikan propolis topikal 5% sebanyak 2 kali/hari, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan dasar salep (vaselin album dan adeps lanae). Pengambilan jaringan kulit dilakukan pada hari ke-1, ke-4, dan ke-21 dan dilakukan pengukuran ketebalan reepitelisasi epidermis dengan menggunakan mikroskop.

Hasil uji statistik one way-ANOVA diikuti uji post-hoc LSD terhadap ketebalan epitel pada kelompok perlakuan dan kontrol menunjukkan perbedaan bermakna (p=0.0001) pada hari pengamatan ke-21 dengan rata-rata±SD (K21=38.88±5.41 µm, P21=75.14±9.45 µm). Hal ini membuktikan bahwa pemberian propolis dapat meningkatkan ketebalan epitel pada luka bakar sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa propolis topikal 5% berkhasiat dalam proses penyembuhan luka bakar derajat II sehingga dapat digunakan sebagai terapi alternatif dalam penanganan luka bakar.


(1)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN……… i

ABSTRAK……… ii

ABSTRACT ……… iii

KATA PENGANTAR ………. iv

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR TABEL……… ix

DAFTAR GAMBAR ………... x

DAFTAR LAMPIRAN……… xi

BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Rumusan Masalah ……… 4

1.3. Tujuan Penelitian ……… 4

1.4. Manfaat Penelitian ………. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……… 6

2.1. Anatomi dan Histologi Kulit ……….. 6

2.2. Luka Bakar ………. 8

2.2.1. Definisi ………. 8

2.2.2. Klasifikasi ……… 9

2.2.3. Komplikasi ………... 11

2.2.4. Proses Penyembuhan Luka Bakar ……… 12

2.3. Propolis ……….. 14

2.3.1. Komposisi Propolis ………. 15

2.3.2. Manfaat Propolis Pada Proses Penyembuhan Luka Bakar ……….. 15


(2)

vii

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ……. 18

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ……….. 18

3.2. Kerangka Teori Penelitian ……….. 18

3.3. Variabel Penelitian ………. 19

3.3.1. Variabel Dependen……… 19

3.3.2. Variabel Independen ………. 19

3.3.3. Variabel Terkendali ……….. 19

3.4. Definisi Operasional ……….. 19

3.5. Hipotesis ……… 21

BAB 4 METODE PENELITIAN……….. 22

4.1. Jenis Penelitian……… 22

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ……… 23

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian……….. 23

4.3.1. Populasi Penelitian……… 23

4.3.2. Sampel Penelitian ……… 23

4.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ……… 24

4.4.1. Kriteria Inklusi ……… 24

4.4.2. Kriteria Ekslusi ……… 24

4.5. Besar Sampel ……….. 24

4.6. Alat dan Bahan Penelitian ……….. 24

4.6.1. Alat……… 24

4.6.2. Bahan……… 25

4.7. Prosedur Penelitian ………. 25

4.7.1. Pembuatan Sediaan Propolis Topikal ……….. 25

4.7.2. Penyiapan Hewan Coba……… 26

4.7.3. Pembuatan Luka Bakar ……… 26

4.7.4. Perawatan Luka Bakar ………. 27

4.7.5. Pembuatan Sediaan Jaringan Histopatologi Kulit ……… 27

4.7.6. Cara Penilaian Ketebalan Reepitelisasi Epidermis ……. 27


(3)

viii

4.8. Pengolahan dan Analisis Data ……… 28

4.8.1. Pengolahan Data ……….. 28

4.8.2. Analisis Data ……… 28

4.9. Alur Penelitian ……… 29

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 30

5.1. Hasil Penelitian ………... 30

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 30

5.1.2. Gambaran Mikroskopis Ketebalan Reepitelisasi Kulit … 30 5.1.3. Hasil Pengukuran Ketebalan Reepitelisasi Kulit ………. 31

5.1.4. Analisis Data ……… 33

5.2. Pembahasan ……… 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 38

6.1. Kesimpulan ……… 38

6.2. Saran ……….. 38

DAFTAR PUSTAKA ………. 39 LAMPIRAN


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Komposisi propolis ……….……….. 15 3.1. Definisi operasional ……….. 19 5.1. Nilai rata-rata dan standar deviasi pengukuran ketebalan epitel…… 32 5.2. Perbandingan tingkat ketebalan reepitelisasi (uji Post Hoc LSD) …. 34


(5)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Histologi kulit ……… 8

2.2. Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan ………. 11

2.3. Proses penyembuhan luka ………. 14

4.1. Skema pembagian hewan coba ……….. 22

4.2. Alur penelitian ……….. 29

5.1. Gambaran histopatopatologis kulit mencit dengan pewarnaan HE …… 31


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti Lampiran 2 Ethical Clereance Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Lampiran 4 Surat Selesai Penelitian

Lampiran 5 Tahap Pembuatan Sediaan Histopatologi Lampiran 6 Output Data Hasil Penelitian

Lampiran 7 Format Pengisian Data