Aspek Perlindungan Hukum Pengguna Jasa (Penumpang) Transportasi Online Berbasis Aplikasi Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Angkutan Jalan (Studi Pada Dinas Perhubungan Kota Medan)

(1)

78

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis Dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008.

Ahmadi Miru & Sutarrnan Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Arthur Best, Tort Law Course Outlines, Aspen Law And Business, 1997.

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media, Jakarta, 2001.

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

C.S.T. Kansil Dan Christine ST. Kansil, Disiplin Berlalu Lintas DiJalan Raya (Sistem Tanya Jawab), Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, 1989.

E. Suherman, Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung, 1984. E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Mandar Maju, Bandung,

2000.

Hasim Purba, Hukum Pengangkutan Di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005.


(2)

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008. Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar

Maju, Bandung, 2000.

Jhonny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, Bayu Media, Malang, 2005.

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1997.

Lestari Ningrum, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Jakarta, 2008.

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 2011.

Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Universitas Airlangga, Surabaya, 1985.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan Ke Delapan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013.

Purwahid Patrick, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994.

R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid II Hukum Pengangkutan Darat, Rajawali Press, Jakarta, 1981.

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 1985.

_______, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta, 1996.

Salim Abbas, Manajemen Transportasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Setiawan Widagdo, Kamus Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012.


(3)

80

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.

Suwardjoko Warpani, Pengelolaan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, ITB, Bandung, 1990.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. _______, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. _______, Pengantar Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Sution Usman Adji, Hukum Pengangkutan Di Indonesia, Rinka Cipta, Jakarta,

1991.

B. Artikel, Jurnal, Majalah

Sofian Parerungan, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat, Artikel, Hakim Pengadilan Negeri Bangil, Bangil: Pengadilan Negeri Bangil, 2014.

C. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.010/2008 Tentang Besar Santunan


(4)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA (PENUMPANG) PENGANGKUTAN DARAT

ONLINE BERBASIS APLIKASI

D. Hak Dan Kewajiban Penumpang Dalam Jasa Pengangkutan Darat

Online Berbasis Aplikasi

Istilah konsumen atau pengguna jasa dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, dimana secara yuridis formal pengertian konsumen dimuat dalam undang-undang adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 48 Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur definisi konsumen, yaitu sebagai berikut:49

1. Setiap orang, dimana subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah orang disini tidak dibedakan apakah orang individual yang lazim disebut

(natuurlijke person) atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen sebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

2. Pemakai, dimana kata pemakai diartikan sebagai konsumen akhir (ultimate consumer).50

3. Barang dan/atau jasa, dimana barang diartikan sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, Pemakai merupakan pengguna akhir dari hasil produksi yang di buat oleh pelaku usaha.

48

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

49

AZ. Nasution, Op. Cit., hal. 27 50

Penjelasan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


(5)

38

dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam masyarakat, unsur ini merupakan barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran, namun, di era perdagangan sekarang ini, syarat mutlak itu tidak lagi di tuntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer)

perumahan yang telah biasa mengadakan transaksi konsumen tertentu seperti

futures trading dimana keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain, dimana unsur ini merupakan unsur transaksi konsumen yang ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan.

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan, unsur ini menjelaskan bahwa hanya konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya atau keperluan non komersial.

Definisi tersebut di atas sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si konsumen adalah pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.51Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari pakar masalah konsumen yang menyimpulkan bahwa “para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (pengertian konsumen dalam arti sempit).”52 Melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menetapkan hak konsumen, yaitu:53

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.

2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang di janjikan.

51

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis Dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 8

52

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 3

53


(6)

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.

4. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.

5. Hak untuk mendapat advokasi perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan, dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain memperoleh hak-hak seperti yang disebutkan di atas, konsumen juga diwajibkan untuk:54

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa. 3. Membayar sesuai nilai tukar yang di sepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Terdapat juga hak dan kewajiban pengguna jasa dalam jasa pengangkutan darat online berbasis aplikasi. Adapun hak konsumen dalam dalam jasa pengangkutan darat online berbasis aplikasi, yaitu:55

1. Mendapat informasi mengenai penggunaan aplikasi jasa pengangkutan darat

online yang akan digunakan.

2. Mendapat petunjuk mengenai fungsi dalam penggunaan fasilitas serta fitur keamanan dan kenyamanan yang tersedia dalam aplikasi jasa pengangkutan darat online yang akan digunakan.

3. Mendapat jaminan dari penyedia jasa mengenai ketersediaan armada yang akan datang dari aplikasi jasa pengangkutan darat online yang digunakan. 4. Mendapat jaminan keamanan dan keselamatan dari penyedia jasa terhadap

produk aplikasi jasa pengangkutan darat online yang digunakan.

54

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 55

Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Bapak Rezi Selaku Penumpang Go-Jek Online, Tanggal 10 Maret 2016


(7)

40

Sedangkan yang menjadi kewajiban dari konsumen terhadap layanan transportasi online yang akan dipergunakannya adalah sebagai berikut:56

1. Membayar dan menyelesaikan sejumlah pembayaran baik secara tunai maupun metode lain terhadap aplikasi jasa pengangkutan darat online yang digunakan.

2. Membaca pedoman dan petunjuk keselamatan penggunaan aplikasi jasa pengangkutan darat online yang digunakan.

3. Menggunakan pedoman kseselamatan selama berkendara dengan jasa pengangkutan darat online yang digunakan.

4. Memberikan laporan secepat mungkin kepada pelaku usaha mulai dari yang terendah samapai tingkat tertinggi, jika terdapat kesalahan atau kelalaian pengemudi kendaraan dari aplikasi jasa pengangkutan darat online yang digunakan.

E. Syarat-Syarat Dan Prosedural Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Dalam Menggunakan Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi

Syarat dan prosedural bagi pengguna jasa (penumpang) dalam menggunakan jasa pengangkutan darat online berbasis aplikasi diatur di dalam bagian syarat dan ketentuan pada aplikasi jasa pengangkutan darat online, yang mana prosedur penggunaan aplikasi tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Pengguna jasa atau penumpang mengunduh aplikasi jasa pengangkutan darat

online di playstore melalui smartphone pengguna.

2. Pengguna jasa menginstall aplikasi jasa pengangkutan darat online di

smartphone pengguna.

3. Pengguna jasa membuat id dan password pada jasa pengangkutan darat

online di smartphone pengguna.

56

Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Bapak Rezi Selaku Penumpang Go-Jek Online, Tanggal 10 Maret 2016


(8)

4. Pengguna jasa memasukkan nama, email, dan alamat lengkap pengguna jasa pada aplikasi jasa pengangkutan darat online di smartphone pengguna.

5. Pengguna jasa kemudian melakukan login, dan memilih menu pengangkutan yang terdapat dalam aplikasi jasa pengangkutan darat online di smartphone

pengguna.

6. Pengguna jasa memilih metode pembayaran tunai atau pendebetan melalui akun pengguna atas pelaksanaan pengangkutan jasa pengangkutan darat

online di smartphone pengguna.

7. Pengguna jasa dapat melihat keberadaan posisi driver yang akan mengantarkannya ketempat tujuan pada aplikasi jasa pengangkutan darat

online di smartphone pengguna.

8. Setelah dilakukan pengangkutan maka perusahaan jasa pengangkutan darat

online akan meminta pembayaran sesuai dengan tarif dan jarak yang telah ditentukan dan di pilih oleh pengguna jasa.

Syarat dan ketentuan tersebut tentunya harus benar-benar diketahui oleh pengguna jasa, dimana hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam perjanjian pengangkutan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam pengangkutan darat online.

F. Bentuk Perlindungan Hukum Yang Diberikan Pemerintah Bagi Pengguna Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi

Perlindungan hukum bagi penumpang adalah suatu masalah yang besar dengan persaingan global yang terus berkembang sehingga perlindungan hukum


(9)

42

sangat dibutuhkan dalam persaingan global.57Dilihat dari aspek perlindungan hukum bagi konsumen jasa angkutan, tidak ditegakkannya perlindungan hukum sangat tidak ideal dan dalam praktek merugikan bagi konsumen, karena pada tiap kecelakaan alat angkutan darat tidak pernah terdengar dipermasalahkannya tanggung jawab pengusaha kendaraan angkutan umum. Pemerintah dalam rangka mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa angkutan umum, memberikan bentuk perlindungan hukum berupa:58

1. Perlindungan Hukum Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pengaturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan undang-undang tersebut disebutkan bahwa “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” 59 Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.60

57

Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit., hal. 23 58

E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 163

59

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlundungan Konsumen

60

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 4 Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki


(10)

hak dan posisi yang berimbang dan mereka dapat menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.61

Hukum perlindungan konsumen yang berlaku saat ini memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Pengertian perlindungan konsumen yang termaktub dalam undang-undang ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa bagi konsumen, dan menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.62

“Hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.”

AZ Nasution berpendapat bahwa:

63

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Hal ini dapat di lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas karena hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang didalamnya terdapat kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan

61

Ibid., hal. 5 62

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 8

63

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media, Jakarta, 2001, hal. 11


(11)

44

pihak lain.64

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yakni yang berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Maksud dari asas-asas tersebut yakni sebagai berikut:

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.65

Pada dasarnya lahir dan dibentuknya undang-undang perlindungan konsumen bertujuan untuk:66

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

64

Ibid.,hal. 12 65

Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

66


(12)

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi dalam tiga bagian utama yaitu:

1. Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya.

2. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi.

3. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab.

Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu kedudukan yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini menyangkut bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen, dimana seringkali konsumen tak berdaya mengahadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha.67

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formiil makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai

67


(13)

46

sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya merasakan dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang guna melindungi hak-hak konsumen yang sering diabaikan produsen yang hanya memikirkan keuntungan semata dan tidak terlepas untuk melindungi produsen yang jujur.68

Pada era perdagangan bebas dimana arus barang dan jasa dapat masuk kesemua negara dengan bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan yang jujur. Persaingan yang jujur adalah suatu persaingan dimana konsumen dapat memilih barang atau jasa karena jaminan kulitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu pola perlindungan konsumen perlu diarahkan pada pola kerjasama antar negara, antara semua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur, hal ini sangat penting tidak hanya bagi konsumen tetapi bagi produsen sendiri diantara keduanya dapat memperoleh keuntungan dengan kesetaraan posisi antara produsen dan konsumen, perlindungan terhadap konsumen sangat menjadi hal yang sangat penting di berbagai negara bahkan negara maju yang tercatat sebagai

68


(14)

negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen.69

Terkait dengan pertanggungjawaban didalamnya terdapat prinsip tanggung jawab yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.70

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault). Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Prinsip ini tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang harus dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUH Perdata yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dalam hukum perlindungan konsumen dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Adanya perbuatan melanggar hukum, perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.71

69

Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 33

70

Shidarta, Op. Cit., hal. 59 71


(15)

48

b. Adanya unsur kesalahan, dimana kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan, dan perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya.72

c. Adanya kerugian yang diderita, adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.

Dalam arti objektif, sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya, sedangkan dalam arti subjektif sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya.

73

Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.74

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability). Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si

72

Purwahid Patrick, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 10-11

73

Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Universitas Airlangga, Surabaya, 1985, hal. 57

74


(16)

tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik. Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha.75

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabiity). Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.76 Contohnya dapat dilihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.77 Sekalipun demikian, dalam ada penegasan prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi,78

75

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 95

76

Shidarta, Op. Cit., hal. 62 77Ibid

., hal. 96 78

Pasal 44 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkatan Udara

artinya bagasi kabin/tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya


(17)

50

sepanjang bukti kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, beban pembuktian ada padi si penumpang.79

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur. Pada prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya harus ada. Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Karena itu, pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen. Di dalam negeri konsep

strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam Pasal 1367 dan Pasal 1368 KUH Perdata. Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya, sedangkan Pasal 1368 KUH Perdata tentang tanggung jawab pemilik atau

79Ibid.


(18)

pemakai seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh pemilik barang atau pemilik atau pemakai binatang.80

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability). Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian jasa

laundry misalnya jika barang konsumen hilang atau rusak maka ganti kerugian hanya dibatasi yaitu 10 (sepuluh) kali dari biaya pencucian. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.81

Peranan undang-undang perlindungan konsumen dalam melindungi hak konsumen dapat dilihat dalam ketentuan dan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sebagaimana tercantum dalam Pasal 7, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

80

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 115-119 81Ibid


(19)

52

Perlindungan Konsumen. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumenmenjelaskan bahwa kewajiban pelaku usaha yang di atur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu:82

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Terdapat juga larangan dimana pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:83

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.

3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

82

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 83


(20)

7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.

9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.

10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas dapat dilihat bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sangat melindungi semua hak-hak konsumen dari perbuatan melawan hukum atau kelalaian pelaku usaha, dimana poin-poin dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan apa saja yang harus dilakukan pelaku usaha untuk melindungi segala hal yang menjadi hak-hak dari konsumen itu sendiri.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menyertakan pemerintah untuk memberikan peranan dan tanggung jawab dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen sebagaimana dinyatakan bahwa “pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.84

84

Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa “pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin


(21)

54

diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan asas keseimbangan kepentingan.”

Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Menteri ini melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Beberapa tugas pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen sebagai berikut:85

1. Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. Sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah, untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait, dimana tugas-tugas koordinasi yang dimaksud adalah:86

a. Menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen.

b. Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

c. Meningkatkan peran BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga.

d. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing.

e. Meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.

f. Meneliti terhadap barang dan/atau jasa yang beredar yang menyangkut perlindungan konsumen.

g. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa.

85

Pasal 4-6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

86

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen


(22)

h. Meningkatkan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang/jasa.

i. Meningkatkan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku.

2. Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah, untuk mengembangkan LPKSM, menteri juga perlu melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis.87 Tugas-tugas koordinasi yang dimaksud adalah:88

a. Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

b. Melakukan pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.

c. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen yang dimaksud untuk meningkatkan sumber daya manusia.

3. Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen, menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis sebagai berikut:89

a. Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen.

b. Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa. c. Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu

barang.

87

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

88

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

89

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen


(23)

56

d. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya.

2. Perlindungan Hukum Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Perlindungan hukum dalam undang-undang ini terlihat secara tegas, dimana dinyatakan bahwa “angkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukannya pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/atau pengiriman barang.” Penjelasan pasal dalam undang-undang ini kemudian menambahkan bahwa wajib angkut ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan umum tidak melakukan perbedaan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan, sepanjang pengguna jasa angkutan telah memenuhi persyaratan perjanjian pengangkutan yang telah disepakati.90

90

Pasal 138 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Perjanjian pengangkutan disini tidak harus diwujudkan dalam bentuk kontrak tertentu (tertulis). Perjanjian pengangkutan dapat terjadi secara lisan. Bahkan dalam hal tertentu, misalnya ketika penumpang yang telah memasuki angkutan umum ke suatu tujuan tertentu, maka ia dianggap telah melakukan perjanjian atau telah disepakati secara diam-diam semua persyaratan perjanjian angkutan. Dengan demikian para pihak terlibat disini telah mengadakan perjanjian pengangkutan. Sebagai konsekuensinya, pengangkutan (atau produsen dalam konteks hukum konsumen) harus atau wajib mengangkut penumpang tersebut sampai ke tempat tujuan yang disepakati.


(24)

Pengangkutan tidak boleh melakukan tindakan diskriminasi dalam mengangkut penumpang. Dalam melakukan angkutan umum tersebut, pengangkut harus mematuhi penetapan tarif angkutan yang dibuat pemerintah. Tarif angkutan terdiri dari tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang.91

91

Pasal 181 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Selain pengaturan perjanjian pengangkutan yang berkaitan dengan kewajiban mengangkut di atas, bagian terpenting lain dalam hukum pengangkutan yang dapat memberikan perlindungan konsumen adalah pengaturan tanggung jawab pengangkut. Kemudian seberapa besar perlindungan konsumen yang dapat diberikan pengaturan tanggung jawab ini sangat bergantung kepada prinsip tanggung jawab pengangkut yang dianut suatu undang-undang.


(25)

58 BAB IV

BENTUK GANTI RUGI YANG DIBERIKAN BAGI PENUMPANG JASA PENGANGKUTAN DARAT ONLINE BERBASIS APLIKASI DALAM

HAL TERJADI KECELAKAAN

D. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi Atas Keselamatan Penumpang

Pada perjanjian pengakutan, pengangkut memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan dari tempat asal ke tujuan tertentu yang disepakati dan menjaga keselamatannya hingga sampai tujuan tersebut. Apabila pengakut telah melaksanakan kewajibannya, ia terikat pada konsekuensi yang dipikulnya berupa tanggung kepada pengirim barang atau penumpang. Dari kewajiban pengakut di atas timbul tanggung jawab pengangkut. Segala sesuatu yang menganggu keselataman barang atau penumpang menjadi tanggung jawab pengangkutan, dengan demikian berarti wajib menaggung segala kerugian yang diderita pengirim barang atau penumpang.

Wujud tanggung jawab tersebut adalah ganti rugi, dimana ketentuan tanggung jawab pengkutan inilah yang dapat dijadikan sebagai instrumen perlindungan konsumen penggunan jasa angkutan umum. Berdasarkan ketentuan di atas, maka konsumen angkutan umum memiliki hak untuk dilayani secara benar dan layak oleh pelaku usaha. Konsumen juga berhak atas keselamatan dan kenyamanan atas jasa angkutan umum yang digunakan. Untuk menjamin adanya keselamatan tersebut, maka pelayanan harus dengan standar mutu yang baik,


(26)

pelaku usaha harus menggunakan kendaraan yang benar-benar laik jalan untuk mengangkut penumpang.

Konsumen juga secara tegas memiliki hak untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha jika penumpang atau konsumen, jika penumpang mengalami kerugian akibat kecelakaan lalu lintas atau kerugian lainnya. Konsumen juga memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi jika ia mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya. Didalam hukum pengangkutan dikenal 3 (tiga) macam prinsip tanggung jawab, yakni:92

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Adanya Unsur Kesalahan (Fault Liability, Liability Based On Fault)

Berdasarkan konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability), kelalaian atau kesalahan produsen yang berakibat pada timbulnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu hak konsumen untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada produsen. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pasal diatas sesungguhnya tidak merumuskan arti perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), tetapi hanya mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikualifikasikannya sebagai perbuatan melawan hukum, unsure-unsur dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:

92

E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal. 19


(27)

60

1. Pertama,pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.

2. Kedua,produsen tidak melaksanakan kewajibannya untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk digunakan.

3. Ketiga,konsumen menderita kerugian.

4. Keempat,kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen).

Pengertian perbuatan dalamperbuatan melawan hukum ini tidak hanya perbuatan positif, tetapi juga negatif, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu yang seharusnya menurut hukum orang harus berbuat. Pengertian kesalahan disini pun adalah dalam pengertian umum, yaitu baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. Adapun yang menjadi ukuran atau kriteria perbuatan pelaku adalah perbuatan manusia normal yang dapat membedakan kapan dia harus melakukan sesuatu dan kapan dia tidak melakukan sesuatu.

Dalam penerapan ketentuan pasal di atas, memberikan beban kepada penggugat (pihak yang dirugikan) untuk membuktikan, bahwa kerugian yang ia deritanya itu merupakan akibat dari perbuatan tergugat. Di dalam hukum pengangkutan, prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan diterapkan dalam moda angkutan kereta api. Badan penyelenggara bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh pengguna jasa dan atau pihak ketiga yang menderita kerugian


(28)

dalam pengangkutan tersebut dan akan menuntut badan penyelenggara (pengangkut), maka ia harus membuktikan kesalahan pengangkut.93

Tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut. Tanggung jawab yang telah disebutkan ini sesuai dengan isi ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata, dimana tanggung jawab semacam ini juga dikenal dalam common law system.94

2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga (Presumption Of Liabilty)

Menurut prinsip tanggungjawabpraduga, tergugat (pengangkut)dianggap selalu bertanggungjawabatas segala kerugian yang timbul.Tergugat dapat membebaskantanggung jawabnya, apabila ia dapatmembuktikan bahwa dirinya tidakbersalah (absence of fault).Pada dasarnya prinsip tanggungjawab berdasar praduga ini jugamerupakan tanggung jawab berdasarkesalahan, hanya saja kesalahandengan pembalikan bebanpembuktian kepada pihak tergugat.Prinsip tanggung jawab atas dasarpraduga ini juga diterapkan Pasal KUH Dagang yang menyatakan:

“Pengangkutan diwajibkan membayar ganti rugi yang disebabkan karena tidak diserahkannya barang seluruhnya atau sebagian atau karena kerusakan barang, kecuali bilamana ia membuktikan bahwa tidak

93

Menurut Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

94


(29)

62

diserahkannya barang atau kerusakan itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang sepantasnya tidak dapat lagi dicegah atau dihindarinya, akibat sifat, keadaan atau cacat benda sendiri atau dari kesalahan pengirim.”

Jadi, apabila penggugat akan mengajukan tuntutan untuk memperoleh ganti rugi tidak perlu membuktikan kesalahan tergugat (pengangkut). Penggugat cukup menunjukkan bahwa kecelakaan atau kerugian yang menimpa dirinya itu terjadi selama masa pengangkutan atau periode tanggung jawab pengangkut. Kemudian apabila pengangkut berupaya untuk membebaskan tanggungjawabnya, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sebagai imbalan adanya pembalikan beban pembuktian tersebut, maka prinsip tanggung jawab berdasar praduga ini diiringi adanya ketentuan pembatasan tanggung jawab. Tanggung jawab pengangkut untuk memberikan ganti rugi dibatasi sampai pada jumlah maksimal tertentu.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (No Fault Liability, Strict Liability, Absolute Liability)

Dalam prinsip tanggung jawab mutlak pengangkut tergugat sebagai selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah. Dengan kata lain, didalam prinsip tanggung jawab mutlak ini kesalahan dipandang sebagai suatu hal yang tidak relevan untuk dipermasalahkan, apakah dalam kenyataannya ada atau tidak. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam kepustakaan biasa dikenal dengan istilah strict liability atau absolute liability. Dari kedua istilah tersebut ada yang menyamakannya, tetapi ada pula yang membedakannya. Ada perbedaan antara strict liability dengan absolute liability


(30)

dengan memperhatikan ada tidaknya kemungkinan bagi tergugat untuk membebaskan diri dari tanggungjawabnya. Dalam strict liability, dalam hal tertentu dimungkinkan adanya pembebasan tanggungjawab, sedangkan dalam

absolute liability tidak ada kemungkinan untuk membebaskan tanggungjawab tersebut.

Penggunaan istilah strict liability dan absolute liability sering kali bergantian. Meskipun baik secara teoretis maupun praktik sulit diadakan perbedaan diantara keduannya, ada perbedaan pokoknya. Didalam strict liability

perbuatan yang menyebabkan kerugian yang dituntut itu harus dilakukan oleh yang bertanggungjawab. Dengan perkataan lain, di dalam strict liability terdapat hubungan kausalitas antara orang-orang yang benar-benar bertanggungjawab dan kerugian. Di dalam strict liability, semua hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab (usual defences) tetap diakui, kecuali hal-hal yang mengarah pada kenyataan tidak bersalah, karena kesalahan tidak diperlukan lagi.

Pada absolute liability, tanggung jawab akan timbul kapan saja keadaan yang menimbulkan tanggung jawab tersebut tanpa mempermasalahkan oleh siapa dan bagaimana terjadinya kerugian tersebut. Dengan demikian, didalam absolute liability tidak diperlukan hubungan kausalitas, dan hal-hal yang membebaskan tanggungjawab hanya yang dinyatakan secara tegas. Tidak ada ukuran yang pasti dalam membedakan istilah strict liability dengan absolute liability. Namun demikian, terdapat indikasi yang diterima umum, bahwa didalam strictliability

pihak yang bertanggung jawab dapat membebaskan diri dari tanggungjawab berdasarkan alas an yang sudah dikenal (usual defences) di dalam absolute


(31)

64

liability, alasan-alasanumum pembebasan tanggungjawab tidak berlaku, kecuali secara khusus ditentukan dalam suatu instrument khusus, seperti konvensi internasional atau peraturan perundang-undangan nasional.

Tanggung jawab akan timbul begitu kerugian terjadi tanpa mempersoalkan siapa penyebabnya dan bagaimana terjadinya. Dengan penjelasan di atas, terlihat bahwa hanya tanggung jawab mutlak yang dapat memberikan perlindungan bagi konsumen jika konsumen mengalami kerugian akibat penyelenggaraan pengangkutan tersebut. Ketentuan prinsip pertanggungjawaban mutlak juga tercantum dalam dalam UU LLAJ, dinyatakan bahwa “pengusaha angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan angkutan.” Dari ketentuan ini jelas sekali, bahwa undang-undang ini menerapkan tanggung jawab atas dasar adanya unsur kesalahan pengangkut. Jika penumpang atau konsumen akan menuntut pengangkut atau produsen, maka harus dibuktikan adanya kesalahan atau kelalaian pengangkut.

Ciri khas tanggung jawab pengangkut berdasarkan tanggung mutlak adanya pembatasan tanggung jawab dalam wujud pembatasan jumlah maksimal ganti rugi. Ini merupakan imbalan (quid pro quo) atas digunakannya prinsip tanggung jawab yang tidak memperhatikan adanya unsur kesalahan. UU LLAJ tidak menerapkan pembatasan tersebut dan hanya menentukan bahwa ganti rugi


(32)

yang dimaksud adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita penumpang, pengiriman barang atau pihak ketiga.95

E. Bentuk Ganti Rugi Yang Diberikan Bagi Penumpang Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi Dalam Hal Terjadi Kecelakaan

Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa besarnya ganti rugi yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan yang harus dibayar kepada pengguna jasa atau pihak ketiga adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga. Tidak termasuk dalam pengertian kerugian yang secara nyata diderita antara lain seperti keuntungan yang diharapkan akan diperoleh, kekurangnyamanan yang diakibatkan karena kondisi bjalan atau jembatan yang dilalui selama perjalanan, dan biaya atas pelayanan yang sudah dinikmati.

Konsep perlindungan konsumen sebagaimana diimplementasikan dalam undang-undang harus sejalan dengan teori yang menyatakan hukum sebagai alat perubahan sosial masyarakat (law is a tool as a social engineering). Hukum diartikan sebagai seperangkat aturan yang berfungsi sebagai alat untuk mengidentifikasi dan menyesuaikan berbagai kepentingan masyarakat yang saling bersinggungan dengan mengupayakan timbulnya benturan dan kerugian yang seminimal mungkin. Dengan kata lain hukum menekankan pada fungsi hukum sebagai alat penyelesaian berbagai permasalahan (problem solving) dalam

95

Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan


(33)

66

masyarakat, artinya dengan eksistensi undang-undang diharapkan tidak hanya melindungi masyarakat umum sebagai konsumen tetapi juga sebagai alat untuk meminimalisir terjadinya kerugian akibat terjadinya benturan antar pelaku usaha dan konsumen sebagai akibat dari adanya kelalaian pelaku usaha.96

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Adapun ketentuan pasal-pasal yang mengatur prinsip tanggung jawab dan ganti rugi kepada konsumen akibat adanya kelalaian pelaku usaha yaitu sebagai berikut: Pasal 19 UUPK

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 23 UUPK

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24 UUPK

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut.

96

Sofian Parerungan, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat, Artikel, Hakim Pengadilan Negeri Bangil, Bangil: Pengadilan Negeri Bangil, 2014, hal. 2


(34)

b. Pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut

Pasal 27 UUPK

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan.

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari.

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum terkait dengan tuntutan ganti kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat adanya kelalaian pelaku usaha yang didasarkan pada tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum. Apabila tuntutan berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dan penggugat (produsen dan konsumen) terikat dalam suatu perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.

Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban, berupa kewajiban atas prestasi dalam perikatan. Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam yaitu debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, debitur terlambat memenuhi


(35)

68

perikatan, dan debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.97 Tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi adalah sebagai akibat penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak yang dikenal dengan asas pacta sunt servanda.98

Kerugian akibat keterlambatan pemberangkatan biasanya disebabkan oleh masalah teknis kendaraan atau kesepakatan untuk menunggu penumpang yang terlambat. Penyedia jasa angkutan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian akibat ketinggalan bus karena kesalahan penumpang.Terdapat pula kewajiban ganti rugi dan tanggung jawab pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan, yaitu:

Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian pihak ketigapun dapat menuntut ganti kerugian. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang harus dipenuhi yaitu adanya perbuatan melawan hukum, ada kerugian, ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian, dan ada kesalahan. Sementara kerugian yang ditimbulkan akibat kecelakaan di jalan ditanggung oleh jasa raharja.

99

97

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 2011 hal. 23

98

R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 42

99

Pasal 240 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan


(36)

1. Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi 2. Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan

angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi Ketentuan sebagaimana dimaksud tidak berlaku jika:

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan pengemudi.

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau.

c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Apabila korban kecelakaan lalu lintas meninggal dunia maka pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum memberikan ganti kerugian wajib kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman, namun tidak serta merta menggugurkan tuntutan perkara pidana.100

100

Pasal 235 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Tetapi untuk penumpang yang tanpa tiket (illegal), dimana penumpang ikut menumpang pada angkutan darat tidak dapat menuntut ganti rugi sebagimana yang telah ditetapkan oleh undang-undang karena penumpang illegal tidak memiliki tiket yang secara hukum menjadi bukti dokumen perjalanan, bukti pembayaran serta bukti untuk mendapatkan fasilitas/pelayanan. Tetapi berbeda halnya dengan pengangkutan


(37)

70

yang tidak menggunakan fasilitas tiket, maka subyek hukum akan mendapatkan perlindungan hukum.

F. Ketentuan Hukum Mengenai Pemberian Asuransi Bagi Penumpang Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi Yang Menjadi Korban Kecelakaan

Ketentuan hukum mengenai ganti kerugian yang terdapat dalam undang-undang terhadap kecelakaan pengangkutan dijelaskan bahwa “perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.”101

1. Jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat, pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Dalam hal terjadi pelanggaran lalu lintas yang berakibat kecelakaan lalu lintas dan menimbulkan kerugian bagi orang lain, menentukan bentuk pertanggungjawaban yang harus diberikan sebagai berikut:

2. Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat kecelakaan lalu lintas sedang dan berat, pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan

101

Pasal 188 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan


(38)

angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.102

Untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita akibat kecelakaan lalu lintas adalah dengan cara melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian terdekat, kemudian pihak kepolisian akan melakukan upaya-upaya berikut ini:103

1. Mendatangi tempat kejadian dengan segera. 2. Menolong korban.

3. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara. 4. Mengolah tempat kejadian perkara.

5. Mengatur kelancaran arus lalu lintas. 6. Mengamankan barang bukti.

7. Melakukan penyidikan perkara.

Dalam hal ada cukup bukti adanya pidana dalam kecelakaan lalu lintas tersebut saat dilakukan penyidikan maka akan dilanjutkan dengan penuntutan melalui sidang di pengadilan. Sedangkan apabila tidak terdapat cukup bukti, penyidikan akan dihentikan. Mengenai besaran jumlah ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.104

102

Pasal 235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

103

Pasal 227 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

104

Pasal 236 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Selain melalui putusan pengadilan, penyelesaian ganti kerugian juga dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara pihak yang terlibat. Jadi, selain melalui proses hukum


(39)

72

di pengadilan, penyelesaian ganti kerugian dapat diperoleh melalui cara negosiasi di antara para pihak yang terlibat.105

Kemudian dalam pasal berikutnya, yakni dinyatakan bahwa “perusahaan angkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.”106

1. Penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat angkutan penumpang umum, seperti antara lain mobil pariwisata, mobil sewa dan lain-lain.

Dalam hal ini perusahaan pengangkutan mengasuransikan tanggung jawabnya kepada PT. Jasa Raharja.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Jo Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang menetapkan bahwa korban yang berhak atas santunan yaitu:

2. Jaminan ganda seperti kendaraan bermotor umum yang berada dalam kapal ferry, apabila kapal ferry di maksud mengalami kecelakaan, kepada penumpang yang menjadi korban diberikan jaminan ganda.

3. Setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan.

105

Pasal 236 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

106

Pasal 189 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan


(40)

4. Korban yang mayatnya tidak diketemukan, penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan atau hilang didasarkan kepada putusan pengadilan.

Cara memperoleh santunan agi korban kecelakaan adalah dengan menghubungi kantor jasa raharja terdekat mengisi formulirpengajuan dengan melampirkan laporan polisi tentangkecelakaan lalu lintas dari unit laka satlantas setempat dan atau dari instansi berwenang lainnya, keterangan kesehatan dari dokter yang merawat, identitas korban atau ahli waris korban, yang mana formulir pengajuan tersebut diberikan jasa raharja secara cuma-cuma. Selain itu perlu dilengkapi bukti lain yang diperlukan, dalam hal korban luka-luka kuitansi biaya rawatan dan pengobatan yang asli dan sah, dalam hal korban meninggal dunia surat kartu keluarga atau surat nikah (bagi yang penumpang atau korban yang sudah menikah).

Terdapat juga ketentuan lain yang perlu diperhatikan seperti jenis santunan baik berupa berupa penggantian biaya rawatan dan pengobatan (sesuai ketentuan), santunan kematian, santunan cacat tetap, ahli waris dan kadaluarsa masa pengajuan santunan. Hak santunan menjadi gugur atau kadaluwarsa jika permintaan diajukan dalam waktu lebih dari 6 (enam) bulan setelah terjadinya kecelakaan, atau tidak dilakukan penagihan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah hak atas korban kecelakaan pengangkutan darat yang dimaksud disetujui oleh jasa raharja. Besarnya jumlah santunan menurut undang-undang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.010/2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.010/2008, dimana besaran santunan bagi


(41)

74

yang meninggal duniasebesar Rp. 25.000.000, catat tetap (maksimal)sebesar Rp.25.000.000, biaya rawatan (maksimal) sebesar Rp. 10.000.000, dan biaya penguburan sebesar Rp. 2.000.000.107

107


(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

1. Aturan-aturan hukum jasa pengangkutan darat online berbasis aplikasi diantaranya berkaitan dengan izin, perusahaan aplikasi jasa pengangkutan darat online tidak memiliki izin usaha dibidang transportasi, melainkan mengantongi surat izin usaha perdagangan. Kegiatan perdagangan jasa yang melalui sistem elektronik, saat ini diatur dalam undang-undang perdagangan yang pada intinya, ketentuan dalam undang-undang mewajibkan pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik untuk menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar. Mengingat penting dan strateginya peranan lalu lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka lalu lintas dan angkutan jalan di kuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Keseluruhan dari pada hal tersebut dicerminkan dalam satu undang-undang yang utuh yaitu undang-undang yang mengatur lalulintas dan angkutan jalan ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.

2. Perlindungan hukum bagi penumpang adalah suatu masalah yang besar dengan persaingan global yang terus berkembang sehingga perlindungan hukum sangat dibutuhkan dalam persaingan global. Pemerintah dalam rangka


(43)

76

mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa angkutan umum, khusunya terhadap pengguna jasa (penumpang) pengangkutan darat

online berbasis aplikasi dimana bentuk perlindungan hukum berupa perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.

3. Bentuk ganti rugi yang diberikan bagi pengguna jasa (penumpang) pengangkutan darat online berbasis aplikasi dalam hal terjadi kecelakaan adalah mendapat ganti kerugian. Ketentuan hukum mengenai ganti kerugian yang terdapat dalam undang-undang terhadap kecelakaan pengangkutan dijelaskan bahwa “perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan. Terdapat juga ketentuan lain yang perlu diperhatikan seperti jenis santunan baik berupa berupa penggantian biaya rawatan dan pengobatan (sesuai ketentuan), santunan kematian, dan santunan cacat tetap.

D. Saran

1. Sebaiknya pemerintah membuat regulasi khusus mengenai pengangkutan darat berbasis aplikasi online, agar tercupta bentuk perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan penumpang.

2. Seharusnya perusahaan penyedia jasa pengangkutan darat berbasis aplikasi


(44)

darat, walaupun status kedudukannya hanya sebagai penghubung, namun perusahaan sharusnya mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen. 3. Seharusnya penumpang lebuh bijak menggunakan pengangkutan darat

berbasis aplikasi online, bukan hanya mencari alternatif mudah dan mengesampingkan aspek keselamatan berkendara.


(45)

17 BAB II

ATURAN HUKUM JASA PENGANGKUTAN DARAT ONLINE BERBASIS APLIKASI

D. Pengertian Hukum Pengangkutan Darat

Kata pengangkutan berasal dari kata dasar angkut yang berarti mengangkat dan membawa. Dalam kamus hukum tercantum bahwa, pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 20 Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Pengangkutan adalah “orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.”21

Pengertian pengangkutan menurut hukum dagang adalah “orang yang baik karena penggunaan penyediaan kapal menururt waktu (carter waktu) atau penggunaan penyediaan kapal menurut perjalanan (carter perjalanan), baik dengan suatu persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya atau sebagian melalui laut.”22

20

Setiawan Widagdo, Kamus Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012, hal. 413 21

Siti Utari, Pengangkutan Laut, Balai Pustaka, Jakarta, 1994. hal. 6 22

Pasal 466 Buku II Tentang Pengangkutan Barang Kitab Undang Undang Hukum Dagang


(46)

kegiatan pemuatan penumpang atau barang kedalam alat pengangkut, pemindahan penumpang atau barang ketempat tujuan dengan alat pengangkut, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang disepakati.23Sedangkan hukum pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal-balik, yang mana pihak pengangkut mengikat diri untuk untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ketempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.24

Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke lain tempat, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar ongkosnya.25

Untuk menciptakan hukum tersebut dibutuhkan bukti sebagai jaminan bilamana salah satu pihak (jasa angkutan atau penumpang) telah memenuhi Perjanjian pengangkutan menimbulkan akibat hukum bagi pelaku usaha dan penumpang sebagai hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik dikenal sebagai pembeda atau pembagian perjanjian karena menimbulkan hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian pengangkutan disebut perjanjian timbal balik, yaitu konsumen mendapat hak layanan pengangkutan dengan kewajiban membayar biaya pengangkutan, penyelenggara angkutan, memperoleh hak menerima pembayaran jasa pengangkutan dengan kewajiban menyelenggarakan pelayanan angkutan.

23

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 4.

24

Sution Usman Adji ,Hukum Pengangkutan Di Indonesia, Rinka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 6-7

25


(47)

19

prestasinya. Keselamatan di jalan menjadi tanggung jawab bagi semua pihak namun jika terjadi kecelakaan umumnya penumpang yang memiliki bukti tersebut mendapatkan jaminan kecelakaan yang dijamin oleh pemerintah.26

1. Asas konsensual, asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut dan udara dibuat secara tidak tertulis (lisan), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis, melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan antara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat secara tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan undang-undang.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat diketahui bahwa pengangkutan adalah suatu proses kegiatan perpindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat menggunakan alat pengangkutan yang berupa kendaraan.

Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan, yaitu asas konsensual, asas koordinasi, asas campuran, dan asas tidak ada hak retensi.

2. Asas koordinasi, asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan pelayanan jasa, asas sub ordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuhan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.

26


(48)

3. Asas campuran, dimana perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberi kuasa dari pengirim (pengguna jasa/konsumen) kepada pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim (pengguna jasa/konsumen) kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim (pengguna jasa/konsumen) kepada pengangkut. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam perjanjian pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain.

4. Asas tidak ada retensi, yakni penggunaan hak retensi dalam perjanjian pengangkutan tidak dibenarkan. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan.

Tujuan pengangkutan dengan kendaraan bermotor secara khusus diatur dalam undang-undang, dimana dinyatakan bahwa pengangkutan dengan kendaraan bermotor bertujuan untuk:

1. Terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.

2. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa.

3. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.27

Tujuan pengangkutan menurut, yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan dengan selamat, biaya pengangkutan lunas. Tujuan ini merupakan keadaan yang dicapai setelah perbuatan selesai dilakukan atau berakhir. Tiba di tempat akhir pengangkutan artinya sampai di tempat yang ditetapkan dalam

27

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas Dan Angkutan Jalan


(49)

21

perjanjian pengangkutan.28 Dengan selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, kemusnahan, tetap seperti semula. Jika yang diangkut itu penumpang, selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak menderita sakit, tidak menderita luka, tidak meninggal dunia, ini tujuan dari pihak pengirim atau penumpang selaku konsumen.29

Pengertian dengan selamat disini terbatas pada tidak ada pengaruh akibat dari perbuatan,keadaan, kejadian yang datang dari luar barang atau diri penumpang, yang menjadi tanggung jawab pengangkut. Jika pengaruh itu dating dari dalam barang, misalnya terlampau masak, mudah busuk, atau datang dari dalam diri penumpang sendiri misalnya kelalaian, mengidap suatu penyakit, maka pengangkut tidak bertanggung jawab. Tujuan dari pihak pengangkut adalah memperoleh pembayaran biaya pengangkutan. Pembayaran ini dilakukan pada awal pengangkutan oleh pengirim atau penumpang, atau pada akhir pengangkutan setelah penyerahan barang kepada penerima dan penerima membayar biaya pengangkutan.30

Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, dan perseorangan. Subjek hukum pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan, antara lain:31

1. Pengangkut

28

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 70 29

Ibid., hal. 71 30

Ibid., hal. 72 31

Lestari Ningrum, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 140


(50)

Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang, dapat berstatus badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, ataupun perorangan yang berusaha di bidang jasa pengangkutan. Ciri dan karakteristik pengangkut, antara lain perusahaan penyelenggaraan angkutan, menggunakan alat pengangkut mekanik, penerbit dokumen angkutan.

2. Pengirim (Consigner, Shipper)

Pengirim adalah pihak yang mengingatkan diri pada perjanjian pengangkutan untuk dapat membayar biaya angkutan atas barang yang diangkut. Pengirim yang tidak mengambil barangnya dari tempat penyimpanan yang ditetapkan dalam jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan biaya penyimpanan barang. Apabila ada keterlambatan pemberangkatan oleh pengangkut, pengangkut wajib membayar ganti rugi sejumlah biaya angkut yang telah dibayar oleh pengirim. Ciri dan karakteristik pengirim, antara lain pemilik barang yang berstatus pihak dalam perjanjian, membayar biaya angkutan, pemegang dokumen angkutan.

3. Penumpang (Passanger)

Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut atau semua orang atau badan hukum pengguna jasa angkutan, baik darat, laut, maupun udara. Ciri dan karakteristik penumpang, antara lain orang yang berstatus pihak dalam perjanjian, membayar biaya angkutan, pemegang dokumen angkutan.


(51)

23

Ekspeditur adalah orang/badan hukum yang pekerjaannya mencarikan pengangkut barang di darat atau di perairan untuk kepentingan pengirim. Ekspeditur adalah pengusaha yang menjalankan perusahaan di bidang usaha ekspedisi muatan barang, seperti ekspedisi muatan kereta api, ekspedisi muatan kapal laut dan ekspedisi muatan pesawat udara. Ekspeditur mengurus berbagai macam dokumen dan formalitas yang berlaku guna memasukkan dan/atau mengeluarkan barang dari alat angkut atau gudang stasiun/pelabuhan/bandara. Ciri dan karakteristik ekspeditur, antara lain perusahaan perantara pencari pengangkut barang, bertindak untuk dan atas nama pengirim, dan menerima provisi dari pengirim.

5. Agen Perjalanan (Travel Agent)

Agen perjalanan adalah pihak yang mencarikan penumpang bagi pengangkut. Agen perjalanan ini bertindak atas nama pengangkut dan menyediakan fasilitas angkutan kepada penumpang dengan cara menjual tiket/karcis kepada penumpang dan penumpang membayar biaya angkutan yang kemudian oleh agen perjalanan disetorkan kepada pengangkut dan pihak agen perjalanan mendapat provisi dari pihak pengangkut. Hubungan hukum yang terjadi adalah pemberian kuasa keagenan (contract ofrepresentative agency). Ciri dan karakteristik agen perjalanan, antara lain perusahaan perantara pencari penumpang, bertindak untuk dan atas nama pengangkut, dan menerima provisi dari pengangkut.


(52)

Perusahaan muat bongkar adalah perusahaan yang menjalankan bisnis bidang jasa pemuatan barang ke kapal (loading) dan pembongkaran barang dari kapal (unloading). Perusahaan ini merupakan perusahaan yang berdiri sendiri atau dapat juga merupakan bagian dari perusahaan pengangkut. Apabila perusahaan muat bongkar merupakan bagian dari perusahaan pengangkut, dari segi hukum pengangkutan, perbuatan muat bongkar adalah perbuatan pengangkut dalam penyelenggaraan pengangkutan dan segala perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengusaha muat bongkar dan pekerjanya merupakan tanggung jawab pengangkut. Apabila perusahaan muat bongkar merupakan perusahaan yang berdiri sendiri, perbuatannya dapat sebagai pelaksanaan pemberian kuasa dari pengirim dalam hal pemuatan atau pelaksanaan pemberian kuasa dari penerima dalam hal pembongkaran.

7. Perusahaan Pergudangan (Warehousing)

Perusahaan pergudangan adalah perusahaan yang bergerak dibidang bisnis jasa penyimpanan barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke dalam kapal atau menunggu pengeluarannya dari gudang pelabuhan yang berada di bawah pengawasan dinas bea dan cukai. Ada tiga macam gudang, yaitu:

a. Gudang bebas adalah gudang penyimpanan/penimbunan barang yang sudah bebas dari segala kewajiban dan pemeriksaan dinas bea dan cukai.

b. Gudang entrepot adalah gudang penyimpanan/penimbunan barang yang belum diketahui status dan tujuannya serta berada di bawah pengawasan dinas bea dan cukai karena tidak dipenuhinya kewajiban oleh importirnya.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus , karena berkat dan anugerahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Aspek Perlindungan Hukum Pengguna Jasa (Penumpang) Transportasi Online Berbasis Aplikasi Di Tinjau Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Angkutan Jalan (Studi Pada Dinas Perhubungan Kota Medan). Adapun skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat utama dalam kelulusan di perkuliahan Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa yang didalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terelepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK.Saidin,SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.Jelly Leviza,S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

5. Prof.Dr.HasimPurba,SH,M.HUM selaku Ketua Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I. ucapan terimakasih saya ucapkan kepada Bapak yang sudah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini serta waktu bimbingan yang diberikan agar skripsi ini diselesaikan dengan baik.

6. Bapak Syamsul Rizal,SH,M.HUM., Selaku Ketua Program Kekhusuan Perdata BW.

7. Ibu Aflah,SH.M.HUM, Selaku dosen Pembimbing II. Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada ibu atas segala waktu dan juga ilmu serta bimbingan,saran dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

8. Kepada Dinas Perhubungan Kota Medan, pengemudi dan penumpang transportasi online berbasis aplikasi (Go-Jek Online) yang telah memberikan saya kesempatan untuk melakukan riset dan memberikan informasi serta bahan yang berkaitan dengan skripsi ini.

9. Kepada Ayah saya yang sangat saya banggakan dan cintai Marolop Hasudungan Sidabutar,SH dan Ibunda yang saya sangat banggakan dan cintai Telly.Thelma Rotinsulu,Ba yang dengan cinta kasih dan waktu daripada orangtua saya yang telah membesarkan, mendidik, mendoakan dan mendukung penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan Formal Strata Satu (S1) ini.

10.Kepada saudara-saudari saya yang sangat saya cintai. Merlyn Angela Sidabutar, David Klery Sidabutar, dan Gery Sirait yang menjadi penghibur


(3)

11.Kepada Josua Valdys Rusli Tarigan yang terkasih dan telah memberikan semangat, doa dan perhatian untuk penyelesaian skripsi ini.

12.Kepada sahabat-sahabat saya terkasih Aquila Siregar, Chintya Pardede, Yuni Sitorus terimakasih untuk waktu dan pengalaman yang telah kita lalui bersama selama 4 tahun ini, sukses buat kita semua sahabat-sahabatku. Kepada seluruh angkatan 2012 Fakultas Hukum USU. Terkhusus Dikson , Liza, Sonya, Stanny, Gloria, Eva, Meisura, Ray Hogan, Muhammad Fathur, Michael, Tommy, Didi, Arip, Yusrin , Dora, Sandra, Emy, William, Reza, Satria , Jonathan, Dodi ,Rika , kak Fena dan kak Novita pokoknya semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 13.Kepada keluarga besar saya dari pihak Sidabutar dan Rotinsulu yang

berada di Manado, Jakarta dan Medan terimakasih atas doa dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menjadi perbaikan dan pembelajaran bagi penulis selanjutnya.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, 18 Juni 2016 Penulis

Ivana Sarah Sidabutar (120200432)


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian... 9

F. Sistematika Penulisan ... 13

G. Keaslian Penulisan ... 15

BAB II ATURAN HUKUM JASA PENGANGKUTAN DARAT ONLINE BERBASIS APLIKASI ... 17

A. Pengertian Hukum Pengangkutan Darat ... 17

B. Hak Dan Kewajiban Penyedia Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi Dalam Melaksanakan Kegiatan Pengangkutan Darat ... 25

C. Aturan-Aturan Hukum Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi ... 30


(5)

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA (PENUMPANG) PENGANGKUTAN DARAT ONLINE BERBASIS APLIKASI ... 36

A. Hak-Hak Penumpang Dalam Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi... 36 B. Syarat-Syarat Dan Prosedural Bagi Pengguna Jasa

(Penumpang) Dalam Menggunakan Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi ... 39 C. Bentuk Perlindungan Hukum Yang Diberikan Pemerintah

Bagi Pengguna Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi ... 40

BAB IV BENTUK GANTI RUGI YANG DIBERIKAN BAGI

PENUMPANG JASA PENGANGKUTAN DARAT ONLINE BERBASIS APLIKASI DALAM HAL TERJADI KECELAKAAN ... 57

A. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi Atas Keselamatan Penumpang... 57 B. Bentuk Ganti Rugi Yang Diberikan Bagi Penumpang Jasa

Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi Dalam Hal Terjadi Kecelakaan... 64 C. Ketentuan Hukum Mengenai Pemberian Asuransi Bagi

Penumpang Jasa Pengangkutan Darat Online Berbasis Aplikasi Yang Menjadi Korban Kecelakaan... 68


(6)

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Kredit Perumahan Menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi Pada Perumahan Alamanda Indah Medan Selayang)

1 35 87

Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009

10 93 88

Perlindungan Hukum Terhadap Data Diri Pengguna Transportasi Umum Berbasis Aplikasi Online Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

9 67 123

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online yang Mengalami Kecelakaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2 45 99

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA ANGKUTAN TAKSI DALAM HAL TERJADINYA KETIDAKSESUAIAN TARIF BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DAN UNDANG-UNDANG NOM.

0 0 1

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online yang Mengalami Kecelakaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2 7 8

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online yang Mengalami Kecelakaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 1

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online yang Mengalami Kecelakaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 1 18

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online yang Mengalami Kecelakaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 5 26

Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Online yang Mengalami Kecelakaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 0 4