Unsur Persamaan Kedua Terjemahan

7. Allah mendapati engkau seorang yang sesat, lalu Allah menunjukkan jalan kepada engkau 8. Dan Allah mendapati engkau seorang yang fakir lalu dia memberikan kecukupan -kepada engkau- 9. Adapun anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang 10. Adapun para peminta-minta, maka janganlah engkau menghardikannya 11. Adapun nikmat Tuhan engkau, maka hendaklah engkau mengungkapkannya-terhadap diri engkau- Surat al-Insyirah: 38 1. Bukankah dada engkau telah Kami lapangkan 2. Dan Kami buang dari engkau –beban yang memberatkan pundak- engkau 3. Yang memberatkan punggung engkau 4. Dan Kami tinggikan nama engkau 5. Maka sesungguhnya bersama segala kesukaran ada kemudahan yang besar 6. Sesungguhnya bersama segala kesukaraan itu ada kemudahaannya -yang lain lagi-. 7. Maka karena itu, apabila engkau telah selesai dari sesuatu pekerjaan, bekerjalah lebih keras lagi 8. Dan kepada Tuhan engkau sendiri –dalam melaksanakan tugas dakwah- engkau berharap.

C. Unsur Persamaan Kedua Terjemahan

38 Hasbi, Al Bayan Tafsir Penejelas Al-Qur’anul Karim. h. 1563-1564. 43 1. Unsur Persamaan Surat adh-Dhuha Di ayat pertama Allah swt memulainya dengan harf qasam sumpah dengan huruf wâw و dan dhuhâ ﻰﺤ sebagai muqsamu bih-nya ﻪ ﺴﻘﻣ, obyek yang digunakan untuk bersumpah. Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa sumpah al-Qur’an dengan wâw mengandung makna pengagungan terhadap muqsamu bih ﺴﻘﻣ ﻪ . Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa sumpah Allah dengan sebagian makhluk-Nya menunjukkan bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang besar. Kedua penafsir baik Mahmud Yunus maupun Hasbi ash Shidieqy menafsirkan kata ﻰﺤﻀﻟا dengan kata matahari atau lebih tepatnya ketika matahari pagi yang terbit. Artinya bahwa kedua penafsir tidak menggunakan secara terjemahan harfiah, padahal kita tahu bahwa kata adh Dhuha dikalangan umat muslim Indonesia sudah begitu populer digunakan untuk melaksanakan waktu shalat sunah dhuha yang sekurangnya 2 rakaat, atau 4 rakaat, atau sampai 8 rakaat pada sekitar pukul enam sampai sepuluh pagi. Kata ﻰﺤﻀﻟا adh Dhuha secara umum digunakan dalam arti sesuatu yang nampak dengan jelas . Dalam tafsirnya Quraish Shihab menggambarkan kata adh Dhuha adalah ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya ketika itu memancar dengan menerangi seluruh penjuru, pada saat yang sama ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikitpun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan. 39 39 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an Vol 15, Jakarta: Lentera Hati, 2002. h. 327. 44 Pada ayat ketiga, kedua penafsir memaknai keseluruhan ayat tersebut dengan tidak meninggalkan dan membenci. ﻚ دو dengan tasydid ada juga yang membacanya ﻚ دو tanpa tasydid, keduanya diambil dari kata عدو yang makna dasarnya berarti meninggalkan. Menarik juga melihat pendapat ar Arghib al- Ashfahani yang berpendapat bahwa kata: عدو berasal dari kata ﺪﻟا ﺔ ad-da’ah dan mengartikannya dengan “doa untuk seorang musafir semoga Tuhan meringankan baginya kesulitan-kesulitan perjalanan”. Dari sini kemudian wadda’a kemudian diartikan sebagai ucapan selamat kepada orang yang meninggalkan suatu tempat. Kemudian kata ﻰ qala dalam kamus al ashri kata qala berarti benci 40 . Sejurus dengan itu Quraish Shihab berpendapat benci disini bukan hanya benci biasa namun benci yang diartikan sebagai kebencian yang sangat . Terhadap terjemahan Mahmud dan Hasbi Penulis tidak melihat adanya perbedaan, keduanya memakai penerjemahan secara semantik leksikal. Implikasi dari pemilihan kata makna semantik leksikal terhadap ayat-ayat tersebut, penerjemahan akan terasa lebih efektif dan ringan untuk dibaca. Serta berusaha untuk menghindari penalaran rasio yang berlebihan ra’yu yang dikhawatirkan akan menjauhkan penerjemahan dari arti kata dasarnya. Pada ayat ke empat, baik Mahmud dan Hasbi menerjemahkan al akhirah dan al uula dengan akhirat dan dunia. Secara leksikal dapat dipahamai bahwa kata al akhirah berarti yang akhir atau sesudah dan tidak selalu diartikan sebagai akhirat . Dalam tafsirnya Hasbi ash Shiddieqy memberikan catatan opsi terjemahan “sesungguhnya penghabisan urusan engkau adalah lebih baik dari 40 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: al -Ashri, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. kelima, 1998. h. 1469 45 permulaan.” 41 Umumnya kata al akhirah dimaknai akhirat apabila kata tersebut bergandengan dengan kata dar atau kita sering dengar dengan dar al akhirah yang artinya tempat akhirat. Dan kata al uula berarti sesuatu yang pertama atau berada diawal . Namun kedua penerjemah lebih memilih menerjemahkannya dengan kata akhirat dan dunia artinya tanpa kita sadari corak penerjemahan pada saat itu sangat berpengaruh pada pola pikir umat islam Indonesia yang lebih mementingkan negri akhirat daripada hidupnya di dunia. Seragam dengan tahun-tahun itu banyak buku-buku terjemahan yang beredar di Indonseia dengan tema-tema sufistik. Berbeda dengan apa yang Penulis temukan pada terjemahan Quraish Shihab. Kata akhirat dan uula diartikan sebagai masa datang dalam kehidupan dunia, Shihab beranggapan bahwa konteks ayat ini berbicara tentang kehidupan yang berkaitan dengan ketidakhadiran wahyu saat itu. 42 Artinya bahwa pemaknaan yang dilakukan oleh Mahmud Yunus lebih kepada teks bukan konteksnya yang saat itu berkaitan dengan kegelisahan Rasul karena lamanya wahyu yang tak kunjung ia terima dari Allah swt begitupun dengan Habis ash Shiddieqy, namun saja Hasbi di sini memberikan catatan opsi terjemahan yang Penulis lihat sebagai terjemahan dengan pendekatan kontekstual. Kemudian kata ﻰ ﺮﺘﻓ fatardha, keduanya menerjemahkan denga kata suka , dalam kamus al-ashri kata radha berarti senang, puas dan rela. Walaupun kata ridho sendiri sudah cukup populer dengan bahasa Indonesia yang memang banyak mengadopsi kata asing khususnya Arab dan Inggris ini tidak mereka pakai. Artinya bahwa penerjemahan dengan kata suka merupakan penerjemahan 41 Hasbi, Al Bayan Tafsir Penejelas Al-Qur’anul Karim. h. 1559. 42 Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an Vol 15, h. 332 46 dengan gaya terjemahan semantik leksikal Penulis lihat sebagai terjemahan keduanya menggunakan pendekatan kontekstual. Kata ﺎﻟﺎ dhallan yang ada pada ayat ketujuh surat ad Dhuha baik Yunus maupun Hasbi memadankannya dengan kata sesat. Kata - ﻀﻳ dhalla- yadhillu yakni kehilangan jalan atau bingung tidak mengetahui arah. Makna ini berkembang hingga bermakna binasa, terkubur dan dalam pengertian immaterial yakni sesat dari jalan kebajikan atau antonim dari makna hidayah. Pengertian umum terakhir ini yang lebih populer dikuping bahwa padanan kata dhallan adalah sesat. Pengertian tersebut dibantah oleh Fakhruddin ar Razi dengan berpendapat bahwa dua puluh kata dhallan yang terdapat dalam al Qur’an tidak logis atau terlalu remeh untuk diabadikan dalam ayat apalagi menjadi bukti betapa besar anugerah Allah kepada Rasul-Nya. Istilah dhâlalan kesesatan di sini tidak berarti “tidak adanya iman, tauhid, kesalehan, dan kebajikan”. Namun, dengan merujuk pada ayat-ayat di atas dan pendapat banyak mufasir, istilah ini bermakna “tidak memahami rahasia- rahasia kenabian, hukum-hukum tertentu dalam Islam dan fakta-fakta tersembunyi lainnya”. Akan tetapi setelah ditunjuk sebagai Nabi, Muhammad saw pun menguasai semua itu dengan bantuan dan bimbingan Allah. Dapat disimpulkan kata dhallan yang dalam berbagai bentuknya berarti segala sesuatu yang tidak atau belum mengantar pada kebenaran . Setiap tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh keberan adalah dhallan. Persamaan makna pada kedua penerjemah berikutnya adalah pada ayat kesepuluh kemudian pada ayat kesebelas tidak terlihatnya perbedaan. Keduanya 47 menerjemahkan dengan gaya terjemahan semantik leksikal. Implikasi dari pemilihan kata makna semantik leksikal terhadap ayat-ayat tersebut, penerjemahan akan terasa lebih efektif dan ringan untuk dibaca. Serta berusaha untuk menghindari penalaran rasio ra’yu berlebihan yang dikhawatirkan akan menjauhkan penerjemahan dari kata dasarnya. 2. Unsur Persamaan Surat al-Insyirah Ayat-ayat al-Insyirah diutarakan dalam suatu nada kecintaan dan kasih sayang yang mesra yang memperlihatkan perhatian besar Allah, Sang Pemelihara Yang Maha Agung kepada Nabi saw. Ayat pertama menunjuk pada karunia terbesar Allah, kata حﺮ nasyarah diambil dari kata حﺮ syaraha yang antara lain berarti memperluas, melapangkan baik secara material maupun immaterial. Kedua penerjemah memadankan kata tersebut dengan kata melapangkan dan tidak ada perbedaan yang terlihat pada ayat pertama. Menurut Quraish Shihab jika kata nasyarah dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat material, maka kata tersebut juga berarti memotong atau membedah sedangkan bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat immaterial, maka ia mengandung makna membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya. 43 Senada dengan itu dalam tafsirnya Hasbi ash Shiddieqy memberi footnote dalam terjemahan kata tersebut yakni: dengan jalan mendantangnkan kesenangan dan menampakkan aneka rupa hikmah dan hukum yang tadinya tersembunyi. 44 Pada ayat kedua, baik Mahmud Yunus dan Hasbi ash Shiddieqy mengartikan kata رزو wizra dengan kata beban. Kata wizr dalam kamus berarti 43 Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an Vol 15. h. 354 44 Hasbi, Al Bayan: Tafsir Penjelas Al-Qur-anul Karim. h. 1563. 48 Pada ayat ketiga dan keempat kedua penerjemah menerjemahkan dengan sangat singkat dan jelas dengan menunjukkan kata memilih kata yang mudah dicerna dan diartikan secara semantik leksikal dan juga tidak menyalahi maksud al Qur’an. Secara leksikal kata ﻓر rafa’a berarti mengangkat atau meninggikan, baik yang berobjek material gunung atau bukit seperti dalam surat al Baqarah2: 63 berikut: “dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung Thursina di atasmu seraya Kami berfirman: Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa. Maupun immaterial seperti derajat dan kedudukan yang terdapat dalam surat az Zhukruf43: 32 berikut: ☺ ☺ ☺ 45 Shihab, Tafsir al Misbah: : Pesan dan Keserasian al-Qur’an Vol 15. h. 357. 49 ⌫ ⌧ ⌫ ☺ ☺ “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” Kedua penerjemah baik Mahmud dan Hasbi memadankan kata rafa’a dengan kata meninggikan atau memuliakan seperti kata rafa’a berarti makna immaterial seperti yang terdapat dalam surat az Zhukruf ayat 32 di atas.Pada ayat keempat pula Penulis lihat adanya pernerjemahan yang sama pada kata ﺮآذ dzikr, kedua penerjemah menggunakan kata nama untuk memandankan kata dzikr. Menurut pengertian secara bahasa kata dzikr adalah menghadirkan sesuatu di dalam benak, baik diucapkan dengan lisan maupun tidak, dan baik ia bertujuan untuk mengingat kembali apa yang telah diluapkan maupun untuk lebih memantapkan sesuatu yang tetap dalam ingatan. Seperti kata Dzikrullah adalah menghadirkan kemaujudan Allah, kebesaran dan keagungan-Nya, baik dengan maupun tanpa diucapkan dengan lisan. Lebih jauh kata dzikr berkembang maknanya sehingga diartikan juga dengan nama atau sebutan. Gejala seperti ini tidak sampai mencakup pada gejala perubahan makna seperti yang telah dijelaskan Penulis pada bab ke II. Persamaan penerjemahan kedua penerjemah baik Mahumd Yunus dan Hasbi ash Shiddieqy berikutnya terdapat pada ayat kelima, keenam dan delapan. Pada ayat kelima dan keenam: 50 fa inna maa al-usri yusran, inna maa al-usri yusran. Kalimat normalnya inna yusran maa al-usri, tapi ditekankan ke maa al- usri nya sehingga jadi seperti kalimat di atas. al-usru dibaca al-usri karena ketemu maa sebelumnya, sedang yusrun dibaca yusran karena ketemu inna kata usrun diberi alif lam al menjadi al-usru. Dalam bahasa Arab berubah dari nakirah ke marifat yang boleh diartikan ‘usrun kesulitan difficulty, al ‘usru kesulitan itu the difficulty. Maka yusrun kemudahan relief dan al-yusru kemudahan itu the relief sehingga makna ayat tersebut fa inna maa al-usri yusran sebab sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada kemudahan because verily with THE difficulty there is relief . Inna maa al-usri yusran sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada kemudahan verily with THE difficulty there is relief. Kata al-usri disebut dua kali dan yusran juga disebut dua kali, orang Arab apabila mengulang kata marifat tertentu yakni al-usri dalam dua kalimat yang sama berarti kata marifat itu adalah benda yang sama, sedang kata yusran yang diulang dua kali berupa nakirah yang menunjukkan benda yang berbeda. Sehingga kata al-usri disebut dua kali tapi bendanya satu karena marifat sedangkan kata yusran disebut dua kali bendanya dua karena nakirah maka disimpulkan bersama satu kesulitan ada dua kemudahan. Penguraian pada ayat ini mengungkap makna tersirat dari sekedar apa yang tersurat, namun kedua penerjemah baik Mahmud dan Hasbi sama-sama menerjemahkannya dengan gaya bahasa yang ringkas dan terlihat penerjemahan yang lebih dekat dengan teks bahasa sumber. 51 Disamping persamaan penerjemahan secara semantik leksikal terhadap kata dalam ayat-ayat surat tersebut, persamaan lainnya bisa dilihat dalam kedua kata tafsir ini, keduanya sama-sama menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya menakjubkan dan mengesankan. Mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas juga mengikutsertakan banyak problematika sosial-budaya dan menuntaskannya dengan prespektif al-Qur’an. Keduanya merupakan kitab tafsir yang banyak bicara soal kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya. Dengan penekanan pada tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut. Dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan perdaban manusia. Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, keduanya sama-sama menggunakan metode munasabah atau keserasian, pendekatan secara munasabah atau keserasian dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan menggunakan pendekatan struktural semantik yang ada di dalam al-Qur’an. Tafsir munasabah juga merupakan analisis tentang suatu metode yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Memahami al-Qur’an secara sepenggal-sepenggal akan menyebabkan pemahaman yang dangkal tentang suatu fenomena, lalu menimbulkan sikap yang simplistik dengan kesimpulan yang salah. Al-Qur’an harus ditanggapi sebagai kitab hidayah dari Allah swt untuk memandu manusia kepada kebenaran dan sesuai untuk semua zaman. Kedua penafsir mengikuti ketertiban ayat sebagaimana yang tersusun dalam al-Qur’an. Misalnya dalam menafsirkan juz 52 amma, kedua penafsir membahas ayat-ayat mengikuti susunan, kemudian mengemukakan makna secara global seperti yang dimaksudkan dalam ayat tersebut..

D. Unsur Perbedaan Surat Kedua Terjemahan