SISTEM PENGAWASAN TERHADAP KONSTRUKSI BANGUNAN MENURUT HUKUM PERIZINAN
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Istilah bangunan memiliki pengertian yang sangat luas dan sangat kompleks. Menurut hukum bangunan yang ada di Negara Belanda, dikenal dengan istilah
“Bouwrecht”, diketahui bahwa bangunan itu bisa berbentuk antara lain : 1 Bangunan di bawah tanah yang dikenal dengan istilah sub-structure,
2 Bangunan di atas permukaan tanah yang dikenal dengan istilah upper-structure 3 Struktur bangunan rendah atau struktur bangunan bertingkat rendah
4 Struktur bangunan tinggi atau struktur bangunan bertingkat tinggi 5 Struktur bentang lebar bentang panjang, atau
6 Struktur bentang pendek 7 dan sebagainya
1
Istilah bangunan memiliki pengertian yang sangat luas dan sangat kompleks, maka sehubungan dengan hal itu, pada tanggal 7 Mei 1999 Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pengertian bangunan dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang menyebutkan : “Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan
1
Rudi Gunawan, Pengantar Ilmu Bangunan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2007, hlm. 61
Hemat Tarigan: Sistem Pengawasan Terhadap Konstruksi Bangunan Menurut Hukum Perizinan , 2008. USU e-Repository © 2008
atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya,
untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lainnya”.
2
Dari uraian ini pun dapat dilihat bahwa bangunan yang merupakan wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi tersebut, juga masih sangat luas sekali pengertiannya.
Sehubungan dengan itu, dalam rangka menghadapi dan menyikapi kemajuan teknologi, baik informasi maupun arsitektur dan rekayasa, maka pemerintah
memandang perlu mengeluarkan sebuah Undang-Undang khusus tentang bangunan gedung, maka pada tanggal 16 Desember 2002 lahirlah Undang-Undang No. 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lahirnya Undang-Undang tentang bangunan gedung ini, maka yang dimaksud
dengan konstruksi bangunan dalam penelitian tesis ini adalah bangunan gedung yang sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, menyebutkan “Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas danatau di dalam tanah danatau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melanjutkan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus”.
3
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,
2
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999, tentang Jasa Konstruksi, Pasal 1 angka 2
3
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 1 angka 1
Hemat Tarigan: Sistem Pengawasan Terhadap Konstruksi Bangunan Menurut Hukum Perizinan , 2008. USU e-Repository © 2008
maka mulailah bergulir permasalahan dalam penelitian tesis ini yaitu dalam hal “Pengawasan atau Sistem Pengawasan”. Karena, sekalipun Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 tidak menyinggung soal pengawasan tetapi di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 sebagai Peraturan Pelaksana
Undang-Undang ini, dijelaskan mengenai bidang yang perlu mendapatkan pengawasan yaitu : “Pengawasan konstruksi, pengawasan pemanfaatan dan
pengawasan pembongkaran bangunan gedung”.
4
Sementara, siapa yang menjadi pengawas bangunan, diatur pada Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yang mengatakan :
”Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang
mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserah terimakan”.
5
Dengan demikian, pengawasan tentang pelaksanaan pembangunan konstruksi bangunan gedung sudah sedemikian baiknya, karena termasuk melibatkan ahli
profesional yang diantaranya dikenal sebagai anggota HAKI Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia.
Dengan sistem pengawasan seperti ini, seyogianya mendirikan bangunan gedung tidak lagi ditemukan hal-hal yang berkaitan dengan perubahan struktur
bangunan yang tidak sesuai dengan bestek, kegagalan pekerjaan konstruksi maupun kegagalan bangunan. Tetapi di dalam kenyataan sehari-hari, terutama di kota besar
4
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005, Pasal 1 angka 1
5
Pasal 1 Ayat 11 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Hemat Tarigan: Sistem Pengawasan Terhadap Konstruksi Bangunan Menurut Hukum Perizinan , 2008. USU e-Repository © 2008
seperti di Medan dan Jakarta, pengawasan ini masih dianggap belum terlaksana dengan baik. Artinya masih banyak kasus-kasus bangunan gedung yang tidak sesuai
dengan bestek dan IMB, sehingga dapat dikategorikan sebagai kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan. Contoh-contoh dari kegagalan itu untuk Kota
Medan, antara lain : 1. Hotel J.W. Marriot di Jalan Putri Hijau
2. Royal Crown Condominium di Jalan Mangkubumi 3. Cambridge Condominium, di Jalan Zainal Arifin
6
Khusus untuk Hotel J.W. Marriot sudah berdiridibangun 27 lantai atau lebih kurang ketinggian 75 meter, disuruh potong oleh Walikota Medan karena yang
diizinkan dalam IMB hanya sampai 12 tingkat lantai. Tetapi pengembang Hotel J.W. Marriot Medan, PT. Kurnia Tetap Mulia bersikukuh untuk mempertahankan
ketinggian bangunan hingga 27 lantai atau lebih dari 12 lantai yang diperbolehkan oleh Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota Medan. Pengembang berpendapat
bahwa hotel itu berada di luar kawasan keselamatan operasional penerbangan Bandara Polonia.
7
Dan pada saat tesis ini dikerjakan, proses penyelesaian perselisihan rumah tinggal di Jalan Berastagi No. 8 Medan belum dapat diselesaikan, kasusnya adalah
bahwa pemilik rumah No. 8 tersebut melakukan renovasi, sesuai dengan IMB hanya diizinkan sampai 2 dua lantai tingkat. Tetapi di dalam pelaksanaannya atau
6
www.pemkomedan.go.id. Diakses 27 Desember 2007 Hotel J.W. Marriot dan Masalah Bangunan Tinggi di Kota Medan, baca juga Koran
Harian Analisa Medan, 27 Nopember 2007, hlm. 28
7
Koran Harian Kompas, Jakarta, 11 Oktober 2007, hlm. 24
Hemat Tarigan: Sistem Pengawasan Terhadap Konstruksi Bangunan Menurut Hukum Perizinan , 2008. USU e-Repository © 2008
kenyataan, dibangun menjadi 3 tiga lantaitingkat. Sehingga hal ini mengakibatkan rumah sebelah kiranya No. 10 menjadi retak-retak atau rusak dan tidak layak untuk
dihuni. Dari uraian masalah dan kasus-kasus di atas dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa sistem pengawasan konstruksi bangunan khususnya bangunan gedung masih lemah, rumit dan mungkin belum ada koordinasi dari pihak-pihak yang berkompeten
sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan yaitu ingin mengetahui lebih jelas sistem pengawasan
konstruksi bangunan gedung yang ingtegral seperti yang diinginkan oleh hukum perizinan.
Di samping itu, ingin mengetahui sanksi apa yang dapat diberikan terhadap adanya pelaksanaan konstruksi bangunan yang menyimpang dari hukum perizinan.
2. Permasalahan