BAB IV KENDALA PELAKSANAAN IMPLEMENTASI CIVIL FORFEITURE
DALAM MONEY LAUNDERING
A. Dilema Beban Pembuktian Terbalik
Ada dilema yang sangat penting untuk dibahas dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan pasal 12B dan pasal
37,pasal 38B UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 di atur tentang beban pembutian terbalik.Benarkah demikian dikaji dari aspek teoretis dan praktik ?
menurut penulis ,tidak.Secara tegas ada kesalahan dan ketidak jelasan perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan pasal 12B UU 311999 yo
UU 202001. Ketentuan pasal 12 B ayat 1 berbunyi : “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraa negara dianggap pemberian apabila
berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan jabatnnya dan berlawanan dengan
kewajiban atau
tugasnya dengan
ketentuan sebagai
berikut: ayang nilainya RP.10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih,pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap diakukan oleh penerima gratifikasi ; b yang nilainya kurang dari RP.10.000.000,00 sepuluh juta rupiah,pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan penuntut umum.” Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di atas.
Pertama , di kaji dari perumusan tindak pidana materiele feit ketentuan tersebut
menimbulkan kesalahan dan ketidak jelasan norma asas beban pembuktian terbalik.
Universitas Sumatera Utara
Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12 b ayat 1 huruf a yang berbunyi, “..yang nilainya Rp.
10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi”, akan tetapi di sisi
lainnya tidak mungkin diterapkan oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggaranegara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”, maka adanya
perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban Jaksa Penuntut
Umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan. Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran ketentuan UU dan tiada
dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legilasi merumuskan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa dibuktikan sebaliknya
malah tidak ada. Kedua, terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma
ketentuan Pasal 12 b UU no. 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional “..dianggap pemberian suap”. Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri
atau penyelenggara negara gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan “ dianggap pemberian suap” akan tetapi sudah termasuk tindakan “penyuapan”. Eksistensi asas
beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional “..dianggap suap” akan tetapi harus kepada 2 unsur
rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan in zijn
Universitas Sumatera Utara
bediening dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban in
stijd met zijn plicht. Ketiga, dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana
khusus dihubungkan dengan Konvensi PBB anti korupsi 2003 KAK 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan UU no. 7 Tahun 2006. Hakikatnya, dari dimensi ini
beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia HAM, bertentangan dengan asas
praduga tidak bersalah presumption of innocence sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah presumption of guilt atau
asas praduga korupsi presumption corruption. Selain itu bersimpangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan
kewajiban pembuktian sebagai mana ketentuan Pasal 66 KUHAP, Pasal 66 ayat 1, 2 dan Pasal 67 ayat 1 huruf i Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional
International Criminal CourtICC, Pasal 11 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 40 ayat 2b butir i semua orang dalam bentuk penahanan apapun
atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 431739 Desember 1988 dan konvensi internasional serta asas legalitas
138
. Beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia “ada”
ditataran kebijakan legislasi akan tetapi “tiada” dan “tidak bisa” dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya.
138
http:vvpolitik.vhukumsiana.vcom 20100402 vasa- pembuktian -terbalik -vvs- praduga- tak-bersalah
Universitas Sumatera Utara
Dengan tolak ukur konteks di atas beban pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku korupsi sehingga mempergunakan sistem
pembuktian negatif atau asas “beyond reasonable doubt”. Kosekuensi logis dimensi demikian beban pembuktian terbalik ini tidak akan bersinggungan dengan HAM,
ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri non-self incrimination, asas hak untuk diam
right to remain silent, hukum pidana materiil serta instrumen hukum Internasional. Kemudian di sisi lainnya, beban pembuktian terbalik dapat dilakukan terhadap harta
kekayaan pelaku korupsi sehingga titik beratnya pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku korupsi. Tegasnya, dari dimensi konteks di atas terhadap
kesalahan pelaku yang diduga telah melakukan korupsi mempergunakan jalur pidana criminal procedure dengan pembuktian negatif atau beyond reasonable doubt
sedangkan terhadap pengembalian harta kekayaan pelaku korupsi dapat di pergunakan beban pembuktian terbalik oleh karena dimensi ini relatif tidak
bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrument hukum internasional
139
. Dengan dimensi demikian, alternatif pembuktian korupsi yang relatif
memadai adalah diperguna kanteori beban pembutian terbalik keseimbangan
kemungkinan Balanced Probabilty of Principles dari Oliver Stolpe. Pada dasarnya,
teori ini mengkedapkan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan
139
Mardjono,Makalah,”Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan”,disampaikan pada acara seminar mengenai Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hukum, yang dialaksanakan oleh
Lembaga Kriminologi UI,Jakarta,1994,hal 126
Universitas Sumatera Utara
kemerdekaan individu di satu sisi,dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi
lainnya. Konkritnya ,menempatkan pelaku korupsi terhadap perbuatan atau kesalahannya tidak boleh dipergunakan asas beban pembuktian terbalik melainkan
tetap berdasarkan asas “beyond reasonable doubt” oleh karena perlindungan terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan kemerdekaan
seseorang
140
. Dalam konteks ini,kedudukan hak asasi pelaku korupsi di tempatkan dalam
kedudukan level yang paling tinggi dengan mempergunakan Teori “Probabilitas berimbang yang sangat tinggi” Highest Balanced Probability Princes yang tetap
mempergunakan Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif atau berdasarkan asas “beyond reasonable doubt”.kemudian secara bersamaan di satu sisi
khusus terhadap beban pembuktian terbalik dapat dilakukan terhadap harta kekayaan pelaku korupsi dipergunakan teori “Probabilitas Berimbang yang diturunkan “
Lower Probability of Principles. Dalam praktiknya,penerapan teori ini dalam tindak pidana korupsi telah
dilakukan oleh pengadilan tinggi Hong Kong dalam kasus antara Attorey Of Hong Kong
v Lee Kwang Kut dan kasus antara Attorney Genaral of Hong Kong v Hui Kin Hong dan Mahkamah Agung India. Namun demikian, larangan mekanisme
pembuktian terbalik tersebut hanya berlaku dan diterapkan dalam kasus penuntut
140
Andi Hamzah,Perbandingan Pemberantassan Korupsi di berbagai Negara, Jakarta:Sinar Grafika2005,hal21
Universitas Sumatera Utara
pidana antara lain korupsi, namun tidak ada berlaku dalam mekanisme pembuktian keperdataan atau mekanisme “non-criminal proceedings”. Dalam kaitan ini tidak ada
larangan penggunaan mekanismepembuktia terbalik kasus harta kekayaan berasal dari tindak pidana korupsi aset hasil korupsi
Penggunaan mekanisme pembuktian terbalik dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari korupsi atau pencucian uang
dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud, untuk mana yang bersangkutan
harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya. Terhadap permasalahan pertama, dapat di jelaskan bahwa pengaturan
gugatan perdata dimungkinkan di dalam UU PTPK didasarkan alasan-alasan bahwa penyelesaian perkara korupsi secara pidana tidak selalu berhasil mengembalikan uang
negara, disamping tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa memerlukan penanganan yang luar biasa. Tujuan gugatan perdata secara filosofis
untuk memaksimalkan pengembalian keuangan negara dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dasar legitimikasi gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi
terletak pada timbulnya kerugian, dalam hal ini keuangan negara yang dikorupsi tersebut dilakukan dengan cara menggugat perdata. UU PTPK tidak mengatur
mekanisme gugatan perdata meskipun memungkinkan dilakukannya gugatan perdata. Prinsip gugatan perdata dalam perkara korupsi secara umum mengikuti ketentuan
yang diatur dalam HIR, UU PTPK hanya mengatur beberapa hal, yang dapat
Universitas Sumatera Utara
dikatakan sebagai ikhwal yang spesifik, sekaligus merupakan karakteristik gugatan perdata yang membedakan dari gugatan pada umumnya
141
. Letak perbedaan itu karena gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi
dilakukan setelah upaya pidana tidak mungkin lagi dilakukan karena dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu yaitu adanya unsur tidak cukup bukti, tersangka atau
terdakwa meninggal dunia dank arena adanya putusan bebas, sebagaimana ketentuan Pasal 32,33,34 UU PTPK.
Pemerintah sebagai legal standing selayaknya terus menerus melakukan gugatan perdata untuk mengembalikan keuangan negara yang di peroleh dengan cara
melawan hukum. Cara-cara apapun yang dapat dibenarkan menurut hukum harus diupayakan seoptimal mungkin. Prinsipnya bahwa hak negara harus dikembalikan
kepada negara, untuk dipergunakan bagi kepentingan kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan permasalahan yang kedua, UU PTPK mengandung beberapa prinsip gugatan
perdata pengembalian kerugian uang negara. Pertama, prinsip kondisional, maksudnya bahwa gugatan perdata tidak selalu dapat diajukan dalam perkara tindak
pidana korupsi, terbatas pada kondisi-kondisi tertentu.
141
Gugatan Perdata sesuai dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata jika dipraktekkan untuk menangani kasus korupsi memakan waktu yang sangat panjang ceperti kasus
gugatan terhadap kasus Supersemar yang melibatkan mantan Presiden Suharto . Dalam gugatan tersebut, Suharto digugat untuk membayar ganti rugi materiil sebesar USD 400 juta dan Rp.185,9
Milyar yang kemudian pada tahap akhir Suharto meninggal dunia sehingga secara hukum digantikan kepada ahli warisnya namun putusan pegadilan pada akhirnya memutus Suharto tidak bersalah,
padahal proses peradilan berjalan sangat panjang sampai bertahun tahun sementara hasilnya tidak maksimal. Kasus lainnya adalah kasus PT Goro Batara Sakti yang melibatkan Tommy Suharto yang
diajukan Perum Bulog.Kasus tersebut berakhir dengan ditolaknya gugatan Perum Bulog dan bahkan Perum Bulog dihukum membayar ganti rugi materil sebesar Rp.5 Milyar, HS.Eka Iskandar, Model
Ideal Mengembalikan Harta Korupsi,http:antikorupsi.orgindo,html.diakses terakhir kali pada tanggal 28 Agustus 2009
.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, perinsip gugatan untuk jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara. Prinsip ini menunjukkan bahwa gugatan perdata tidak mencakup
keseluruhan jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK. Gugatan perdata hanya terbatas pada tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian
keuangan negara, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU PTPK. Ketiga, prinsip gugatan perdata sebagai komplemen prosedur perampasan untuk
negara. Berdasarkan ketentuan pasal 38C UU PTPK memungkinkan dilakukan gugatan perdata khusus untuk basil korupsi yang belum dilakukan perampasan untuk
negara. Selain prinsip-prinsip yang diatur dalam UU PTPK, terdapat prinsip-prinsip dalam Konvensi Anti Korupsi yang telah diratifikasi oleh Indonesia
142
. Prinsip ini sangat penting di samping karena telah menjadi hukum nasional,
juha dapat menjadi arah harmonisasi hukum internasional dengan prinsip-prinsip yang diterima oleh dunia internasioal. Prinsip-prinsip tersebut meliputi : Pertama,
prinsip “assets recovery, yang memfokuskan pada pencegahan transportasi hasil korupsi. Pendekatan ini dikaitkan dengan prinsip dengan kerja sama regional,
interregional, dan multilateral yang ditargetkan untuk memerangi pencucian uang
142
Ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 dalam Lembaran Negara Nomor 32 Tahun 2006 tertanggal 18 April 2006 berimplikasi
pada hukum Pidana antara lain adalah dengan mengkaji konsep unsur unsur tindak pidana yang lebih menitik beratkan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan dan konsep daardader strafrect,karena
dalam konvensi PBB 2003 hanya menitikberatkan kepada 3 unsur yaitu mengetahui knowledge,kesenjangan intent dan dengan adanya tujuan purpose dengan prinsip melindungi
kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik selain negara dann menganut pendekatan yang komprehensif dalam menghadapi korupsi yang melibatkan dua atau lebih negara sehingga
pengaturannya terletak pada prosedur bagaimana melacak,menyita dan mengembalikan aset negara dan pengaturan kerjasama dengan negara lain, Romli Atmasasmita,3, Pengantar hukum Pidana
Internasional bagian II,Jakarta,Hecca Mitra utama,2004 ,hal 142-143
Universitas Sumatera Utara
money laundering. Kedua, prinsip gugatan perdata sebagai alternatif pengembalian aset negara. Sebenarnya, perampasan menjadi inti pengembalian aset, sedangkan
gugatan perdata menjadi komplemen atau alternatif ketika aset yang dikorupsi belum berhasil dilakukan perampasan confiscation. Pengembalian aset melalui gugatan
perdata dimungkinkan berdasarkan Pasal 53 Article 53 Konvensi Anti Korupsi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa gugatan perdata sebagaimana diatur
gugatan perdata sebagaimana diatur Konvensi Anti Korupsi tersebut dikenal dengan instrument “civil forfeiture” yang dibedakan dengan “criminal forfeiture”. Civil
forfeiture merupakan gugatan untuk pengembalian aset, sedangkan criminal
forfeiture merupakan tuntutan pidana terhadap orang.
B. Penafsiran asas Praduga tidak bersalah