Para fuqaha membolehkan untuk melakukan hadhanah bagi wanita oleh pria yang muhrim baginya, baik anak tersebut masih kecil,
disenangi atau tidak disenangi pengasuh laki-laki, ketika tidak ada wanita yang berhak melakukan hadhanah baginya.
b. Pengasuh yang bukan mahram boleh dinikahi.
Jika ada orang yang bukan muhrim bagi anak, maka itu diperbolehkan dengan syarat pengasuh tersebut memenuhi kriteria hadhanah, yakni
adanya wanita yang ikut membantu laki-laki tersebut dalam mengasuh anak.
24
D. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hak Asuh
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah ini milik wanita ibu atau yang
mewakilinya atau hak anak yang diasuh tersebut. Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat
dan mendidik anak merupakan hak pengasuh ibu atau yang mewakilinya. Dengan alasan bahwa apabila pengasuh ini menggugurkan haknya, sekalipun tanpa imbalan,
boleh ia lakukan dan hak itu gugur. Akan tetapi jika hadhanah ini hak anak, maka menurut mereka, hak itu tidak dapat digugurkan.
25
24
Huzemah T. Yanggo, Fiqih Anak, Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, Jakarta. Al-Mawardi, 2004, h. 134
25
Al-Kasani, Badai’ al-Shanai’, Mesir. Maktabah al Ilmiyah, 1996, Juz VII, h. 234
Sedangkan menurut jumhur ulama bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama, antara kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili guru besar fikih Islam
di Universitas Damascus, Suriah hak hadhanah itu berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan
adalah hak anak yang diasuh.
26
Akibat hukum dari perbedaan pendapat para ulama tentang hak hadhanah ini adalah sebagai berikut :
27
a. Apabila kedua ibu bapak enggan untuk mengasuh anaknya, maka mereka
bisa dipaksa, selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh anak tersebut.
b. Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, seperti nenek
dan bibinya, maka ibu tidak boleh dipaksa. Karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk menggunakan haknya.
c. Menurut ulama Madzhab Hanafi, apabila istri menuntut khulu’ pada suaminya
dengan syarat anak dipelihara oleh suaminya, maka khulu’nya sah, tetapi
syaratnya batal, karena pengasuhan anak merupakan hak ibu. Akan tetapi jumhur ulama tidak sependapat dengan ulama Madzhab Hanafi, karena
menurut mereka hak pengasuhan anak adalah hak berserikat yang tidak bisa digugurkan. Apabila terjadi perpisahan antara suami istri tersebut, maka boleh
26
Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan, op.cit, h. 117
27
Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Hukum Islam, Jakarta. Prenada Media Group, 2008, edisi pertama, cet ke 1, h. 117-118
saja anak berada di bawah asuhan ibu, tetapi biaya pengasuhan harus ditanggung ayah.
d. Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa ayah tidak bisa mengambil anak
dari ibunya apabila mereka bercerai, kecuali ada alasan syara’ yang membolehkannya, seperti ibu itu gila atau dipenjara.
E. Hak Asuh Anak Jika Istri Nusyuz