27 vi. Inhibitor ko-transporter natrium-glukosa 2 Sodium-Glucose cotransporter
2 inhibitorSGLT 2 Inhibitor SGLT 2 menghadirkan penurunan glukosa tidak bergantung
insulin dengan memblok reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal ginjal dengan menginhibisi SGLT 2. Agen ini menghadirkan penurunan berat badan sedang dan
penurunan tekanan darah. Contohnya adalah canagliflozin, depagliflozin, empagliflozin. Obat ini meningkatkan glukosuria, sehingga efek samping yang
dapat timbul adalah infeksi genitourinary, poliuria, hipotensi, pusing, peningkatan LDL-C dan peningkatan kreatinin sementara ADA, 2015.
2.2.3.3 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2
American Diabetes Association 2015 telah mengeluarkan algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 dengan tahapan sebagai berikut:
a. Tahap 1 Kebanyakan pasien harus memulai dengan perubahan gaya hidup
konseling gaya hidup, edukasi penurunan berat badan, olahraga, dll.. Apabila perubahan gaya hidup saja tidak cukup untuk mempertahankan tujuan glikemik,
monoterapi metformin harus ditambahkan apabila tidak intoleransi dan dikontraindikasikan. Metformin adalah agen farmakologis awal yang lebih disukai
untuk DM tipe 2. b. Tahap 2
Apabila target HbA1C tidak tercapai dalam 3 bulan dengan monoterapi, metformin dapat digunakan kombinasi dengan salah satu dari agen berikut:
Sulfonilurea, Thiazolidindion, inhibitor DPP-4, agonis reseptor GLP-1, penghambat SGLT-2, atau insulin basal Gambar 2.1. Pilihan obat didasarkan
28 pada variasi pasien, penyakit, karakteristik obat, dengan sasaran menurunkan
KGD dan meminimalisir efek samping, terutama hipoglikemia. Obat golongan lain tidak ditampilkan pada Gambar 2.1 misalnya
α-glukosidase inhibitor, kolesevelam, bromokriptin, pramlintide karena biasa digunakan pada keadaan
spesifik, tetapi tidak diutamakan disebabkan efikasinya sederhana, frekuensi pemberian, danatau efek sampingnya. Mulai terapi dengan kombinasi saat
HbA1C ≥9.
c. Tahap 3 DM tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang semakin lama akan
semakin parah dikarenakan progres alaminya sehingga terapi insulin akhirnya banyak diindikasikan untuk pasien ini. Pertimbangan terapi kombinasi dengan
insulin dimulai saat KGD ≥300-350mgdL 16,7-19,4 mmolL danatau HbA1C
≥10-12. Insulin basal sendiri adalah regimen insulin awal yang cocok. Insulin basal biasanya diresepkan dengan metformin dan kemungkinan dengan satu
tambahan agen noninsulin. Apabila insulin basal yang telah dititrasi untuk KGD puasa dapat diterima, tetapi kadar HbA1C masih diatas target, kombinasi terapi
injeksi dapat dipertimbangkan untuk dimulai guna menangani fluktuasi glukosa postprandial. Pilihan menambahkan agonis reseptor GLP1-1 atau insulin saat
makan, yang terdiri dari satu sampai tiga injeksi analog insulin kerja ultra pendek lispro, aspart, glulisine dapat diberikan saat sebelum makan. Atau juga dapat
menggunakan insulin campuran formulasi NPH-regular premixed 7030, 7030 asprat mix. Alternatif terapi “basal-bolus” dengan multipel injeksi harian insulin
pump jarang digunakan dan relatif lebih mahal.
29 Pemilihan agen farmakologis didasarkan pada individu dan pertimbangan
seperti efikasi, biaya, efek samping yang potensial, resiko hipoglikemia, dan preferensi pasien.
Gambar 2.1Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2: rekomendasi umum.
Keterangan: DPP-4-i, inhibitor DPP-4; fx, fraktur; GI, gastrointestinal; GLP-1-RA, reseptor agonis GLP-1; GU, genitourinari; HF, heart failure gagal jantung; Hipo,
hipoglikemia; SGLT2-i, inhibitor SGLT 2; SU, sulfonilurea; TZD, thiazolidindion. Pertimbangkan memulai tahap ini saat A1C
≥9. Pertimbangkan mulai tahap ini saat KGD
≥300 -350 mgdL 16,7-19,4 mmolL danatau A1C
≥10-12, terutama apabila tanda atau ciri katabolik muncul penurunan berat badan, ketosis, dalam hal ini insulin basal + insulin waktu
makan lebih disukai sebagai regimen awal ADA, 2015.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tidak menular PTM merupakan 63 penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun, salah satu dari penyakit
tidak menular tersebut adalah diabetes melitus dimana 3 kematian pada tahun 2008 disebabkan oleh diabetes melitus, pada laki-laki dewasa prevalensi diabetes
adalah 9,8 dan pada wanita 9,2, mencerminkan peningkatan dari 8,3 pada laki-laki dan 7,5 pada wanita pada tahun 1980. Jumlah penderita diabetes
meningkat dari 153 juta di tahun 1980 menjadi 347 juta di tahun 2008 WHO, 2011.
Sebanyak 31 provinsi di Indonesia 93,9 menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang cukup berarti. Diketahui prevalensi diabetes di Indonesia
berdasarkan wawancara tahun 2013 adalah 2,1, angka tersebut lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007 1,1 Kemenkes RI, 2014. Menurut laporan
WHO, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6 dari total penduduk sedangkan posisi
urutan diatasnya yaitu India, China dan Amerika Serikat dan WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 PERKENI, 2011. Senada dengan WHO, International Diabetes Foundation IDF pada
tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Laporan tersebut menunjukkan