Volume dan Kapasitas Paru

Selain itu, kita juga mengenal beberapa istilah lain seperti: 1. Kapasitas vital paksa KVP, yaitu pengukuran kapasitas vital yang didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin. Volume udara ini dalam keadaan normal nilainya kurang lebih sama dengan kapasitas vital, tetapi pada orang yang menderita obstruksi saluran nafas akan mengalami pengurangan yang nyata karena penutupan prematur saluran nafas yang kecil dan akibat udara yang terperangkap. 2. Volume Ekspirasi Paksa VEP, yaitu volume udara yang dapat diekspirasikan dalam waktu standar selama tindakan KVP. Biasanya VEP diukur selama detik pertama ekspirasi yang dipaksakan, ini disebut VEP1.VEP merupakan petunjuk yang sangat berharga untuk mengetahui adanya gangguan kapasitas ventilasi dan nilai yang kurang dari 1 L selama detik pertama menunjukkan adanya gangguan fungsi yang berat.VEP sebaiknya selalu dihubungkan dengan KVP atau KV. Individu normal dapat menghembuskan nafas sekitar 80 dari kapasitas vitalnya dalam satu detik, dinyatakan sebagai rasio VEP1KVP. Tidak banyak perbedaan apakah KVP atau KV yang dipergunakan sebagai rasio, hasilnya kurang lebih sama. Rasio ini besar sekali manfaatnya untuk membedakan antara penyakit-penyakit yang menyebabkan obstruksi saluran nafas dan penyakit-penyakit yang menyebabkan paru-paru tidak dapat mengembang sepenuhnya. Pada penyakit obstruktif seperti bronkitis kronik atau emfisema, terjadi pengurangan VEP1 yang lebih besar dibandingkan dengan kapasitas vital kapasitas vital mungkin normal, sehingga rasio VEP1KVP kurang dari 80.Pada obstruksi saluran nafas yang lebih berat, seperti yang sering terjadi pada asma akut, kapasitas ini dapat berkurang menjadi 20. 3. Arus puncak ekspirasi APE, yaitu mengukur seberapa besar kekuatan seseorang mengeluarkan udara dengan ekspirasi maksimal. Ini adalah salah satu cara mengukur fungsi jalan udara yang pada umumnya dipengaruhi oleh banyak penyakit, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis PPOK. Pada penyakit paru-paru tersebut aliran udara pada saat pengeluaran akan mengalami penurunan karena penyempitan atau obstruksi jalan nafas. APE ini memiliki harga skala yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tinggi badan, umur dan jenis kelamin.Seseorang dikatakan masih dalam batas skala normal, jika nilai prediksi APE-nya antara 80 - 120. Nilai prediksi adalah hasil bagi nilai aktual APE subyek penelitian dengan nilai normal APE standarnya, lalu dikalikan 100 Sylvia, 1995. Gambar 2.2. Diagram Nilai Arus Puncak Ekspirasi 2.5.Pemeriksaan Faal Paru Pemeriksaan faal paru bertujuan untuk mengukur kemampuan paru dalam tiga tahap respirasi meliputi pemeriksaan ventilasi, difusi, dan perfusi. Hasil pemeriksaan itu digunakan untuk menilai status kesehatan atau fungsi paru individu yang diperiksa Yunus dkk., 2003. Pada pemeriksaan penunjang faal paru, spirometer merupakan pemeriksaan gold standart.Bila spirometer tidak tersedia dapat digunakan APE. Peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti spirometer hanya terdapat di rumah sakit besar saja, seringkali jauh dari jangkauan puskesmas Yunus, 2003. Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi merupakan pengukuran jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer. Tujuan pemeriksaan ini adalah mengukur secara objektif arus udara pada saluran nafas besar Menaldi, 2001. Dalam setiap pemeriksaan APE sebaiknya dilakukan 3 kali tiupan,kemudian diambil angka tertinggi. Tiupan dilakukan setelah inspirasi dalam,dilanjutkan tiupan dengan cepat dan kuat Pradjnaparamita, 1997. Nilai yang dianggap reprodusibel ialah jika perbedaan antara 2 nilai yang didapat 10 untuk 3 kali maneuver atau 15 untuk 4 kali maneuver dihitung dari nilai APE tertinggi Alsagaff dan Mangunegoro, 1993. Indikasi Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi di antaranya : a. Monitor efek dari polusi udara seperit asap rokok terhadap fungsi paru b. Monitor pasien yang terkena asma c. Monitor pasien COPD Menaldi, 2001 Ada tiga macam cara pengukuran APE, yaitu: a. APE sesaat 1 Dapat dilakukan setiap waktu 2 Untuk mengetahui adanya obstruksi saluran nafas 3 Untuk mengetahui seberapa berat obstruksi saat itu, terutama untuk yang sudah mengetahui standard normalnya. 4 Nilai APE sesaat selalu dibandingkan dengan nilai tertinggi untuk mendapatkan persentase. b. APE tertinggi 1 Sebagai standard nilai normal seseorang 2 Sebagai pembanding untuk nilai persentase 3 APE tertinggi didapat dari nilai APE tertinggi dari hasil monitor APE setiap hari 2 kali sehari pagi dan sore selama 2 minggu. c. APE variasi harian 1 Mengetahui nilai tertinggi standard normal seseorang 2 Mengetahui stabilitas asma asma yang terkontrol, asma yang terkontrol adalah yang memiliki variasi harian 20 GINA, 2002; Pradjnaparamita, 1997. Harga normal nilai Arus Puncak Ekspirasi APE untuk laki-laki adalah 500- 700 Lmenit, sedangkan untuk perempuan 380-500 Lmenit. Variasi dari nilai APE pada populasi umum ditentukan oleh umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan, dan merokok Jain,1998. Interpretasi pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi menurut Menaldi 2001 adalah: a. Obstruksi : 80 dari nilai dugaan atau pada orang dewasa jika didapatkan nilai APE 200 Lmenit b. Obstruksi akut : 80 dari nilai terbaik Jika didapat nilai 15, maka dianggap obstruksi saluran nafas yang ada belum terkontrol. Gambar 2.3. WrightPeak Flow Meter

2.6 Kerangka Konsep

Per okok Ringan Per okok Sedang Rokok Karbon M onoksida Nikot in Tar Bronkokonst rikt or Penyempit an pada bronkus Penurunan Arus Puncak Ekspirasi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otitis Media Akut OMA merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu dimana telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius Tortora, 2009. Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu efusi telinga tengah yang akan berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, adanya tanda inflamasi akut, serta munculnya gejala otalgia, iritabilitas, dan demam Linsk et al., 2002; Kaneshiro, 2010; WHO, 2006. Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran nafas atas. Pada anak-anak semakin sering terserang infeksi saluran nafas, makin besar kemungkinan terkena OMA Djaafar, 2007. Penyebab Otitis Media Akut didominasi oleh infeksi bakteri dan sepertiga kasus disebabkan oleh virus. Sepertiga kasus dari infeksi bakteri disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan sepertiga kasus untuk Haemophilus influenza Worrall, 2007. Di negara-negara dengan ekonomi rendah, khususnya Indonesia, OMA termasuk penyakit yang umum terjadi WHO, 2007. Oleh karena itu, OMA perlu mendapat perhatian khusus agar penyakit ini dapat dicegah dan tidak terus berkembang. Pada penderita yang sudah atau rentan terkena OMA perlu mendapatkan penangan yang adekuat dan layak agar tidak berkembang menjadi Otitis Media Supuratif Kronik OMSK. Pada tiap-tiap negara OMA memiliki angka kejadian yang bervariasi Aboet, 2006. Center for Disease Control and Prevention CDC mempunyai suatu program yang disebut CDC’s Active Bacterial Core Surveillance ABCs menunjukkan bahwa kasus OMA terjadi sebanyak enam juta kasus per tahun di Amerika Serikat. Selain itu, Meropol et al. 2008 juga menyatakan bahwa terdapat 45-62 pemberian antibiotik pada anak- anak di Amerika Serikat disebabkan terkena OMA. Studi lain melaporkan bahwa 70 dari anak-anak mengalami 1 kali serangan OMA sebelum berusia 2 tahun. Di Indonesia, belum ada data yang akurat untuk menunjukkan prevalensi, insidensi maupun angka kejadian OMA. Penelitian oleh Titisari yang dilakukan di Departemen THT FKUI RSCM poli THT RSAB Harapan Kita menunjukkan terdapat 43 pasien yang mengalami OMA antara Agustus 2004 sampai Februari 2005. OMA adalah penyakit yang lazim terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal itu disebabkan posisi tuba eustachius anak- anak pada fase perkembangan telinga tengah lebih horizontal, pendek, dan lebar dengan drainase yang minimal dibandingkan usia dewasa Tortora, 2009. Faktor- faktor lain yang mempengaruhi kerjadian OMA yaitu banyaknya paparan asap rokok, waktu pemberian ASI eksklusif, lingkungan bermain dan tempat tinggal anak, penurunan sistem imun, serta riwayat OMA pada keluarga. Gejala yang serius seperti demam, otalgia dan otorrhea dapat mengganggu aktivitas sehari-hari anak dan memiliki dampak negatif yang besar pada kualitas hidup mereka Wang et al., 2011. Puncak kejadian OMA terjadi antara usia 6 sampai 12 bulan dan lebih dari 80 anak-anak didiagnosis dengan OMA pada usia 3 tahun Coticchia, 2013. OMA apabila tidak ditangani dengan antibiotik yang tepat dapat menimbulkan komplikasi, yaitu OMSK, meningitis dan abses otak Djaafar, 2007. Untuk itu pencegahan ataupun penanganan terhadap OMA sangat penting, sehingga informasi akan faktor-faktor resiko OMA sangat dibutuhkan. Maka peneliti tertarik ingin melakukan penelitian tentang karakteristik pasien yang menderita Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik penderita Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2014.