Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz (Analisis Putusan No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD FIRDAUS NIM : 1111044100084

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H/ 2015 M


(2)

(3)

(4)

1. Skirpsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil

jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakata, 9 Oktober 2015


(5)

(Analisis Putusan No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsyiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2015.

Perceraian sejatinya dibolehkan dalam Islam. Disaat orang tua harus bercerai dan mereka memiliki anak kecil, maka ibu lebih berhak mengasuhnya daripada ayah, selama tidak ada faktor yang menghalangi sang ibu untuk diutamakan, pada dasarnya anak yang belum mumayyiz itu hak asuhnya jatuh pada ibunya, tapi tidak demikian kenyataannya dengan perkara yang terjadi di Pengadilan Agama Depok, bahwa setelah perceraian terjadi hak asuh anak ditetapkan oleh Majlis Hakim kepada Pemohon (suami). Yang menjadi titik fokus pembahasan skripsi ini adalah pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam menetapkan perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk dengan yang di dasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007.

Adapun tujuan dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara yang menetapkan hak hadhanah keoada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dan untuk mengetahui ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan perkara Nomor. 184/pdt.G/2011.PA.Dpk. yang ditinjau dari hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dengan menggunakan metode penelitian lapangan (field research). Dalam pengumpulan data diperoleh dari wawancara, observasi, dan studi kepustakaan.

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa ketentuan hak asuh anak yang belum mumayyiz ditetapkan kepada bapak tidak sesuai dalam KHI pasal 105 huruf a yang menetapkan hak asuh anak pasca perceraian itu diberikan kepada ibu. Menurut pandangan jumhur ulama bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak Namun Majlis Hakim memiliki pertimbangan lain yang menetapkan hak asuh anak diberikan kepada bapak, baik berdasarkan dari keterangan para saksi, juga berlandaskan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kepentingan anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Kata Kunci : Perceraian, Hadhanah, Mumayyiz. Pembimbing : Dr. Azizah, M.A.


(6)

i

َﻠَﻋ ُمَﻼَّﺴﻟاَو ُةَﻼَّﺼﻟاَو ،ِﻦْﯾِّﺪﻟاَو ﺎَﯿْﻧُّﺪﻟا ِرْﻮُﻣُأ ﻰَﻠَﻋ ُﻦْﯿِﻌَﺘْﺴَﻧ ِﮫِﺑَو ،َﻦْﯿِﻤَﻟﺎَﻌْﻟا ِّبَر ﷲ ُﺪْﻤَﺤْﻟا

ﺎَﻨِّﯿِﺒَﻧ ،َﻦْﯿِﻠَﺳْﺮُﻤْﻟا ِفَﺮْﺷَأ ﻰ

ﻰَﻠَﻋَو ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ

ِﻦْﯾِّﺪﻟا ِمْﻮَﯾ َﻰﻟِإ ٍنﺎَﺴْﺣِﺈِﺑ ْﻢُﮭَﻌِﺒَﺗ ْﻦَﻣَو َﻦْﯿِﻌِﺑﺎَّﺘﻟاَو ِﮫِﺑﺎَﺤْﺻَأَو ِﮫِﻟآ

Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan.

Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “Hak Hadhanah Bagi Anak

Yang Belum Mumayyiz (Analisa Putusan No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk)” telah selesai ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.Sy) strata satu dalam Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih dan

jazakumullah khoiru jaza kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik bapak/ibu dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, maupun para staf yang telah membantu kelancaran administrasi.


(7)

ii

kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi.

4. Dr. H. Kamarusdiana MH. dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan

sokongan dan dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai.

5. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

menyediakan berbagai macam literatur dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syaruf Hiayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi.

6. Kepada Ibunda tercinta Hj. Maysyaroh , kakak-kakak (Ka Tuti, Ka Lela, Ka Nurma,

Bang Ipay, Bang Juhro, Bang Irfan, Bang Abet, Ka Hilwa) yang telah memberikan motivasi serta memberikan nasehat-nasehat kepada penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat dari Keluarga Besar Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah)

(KBPA). Terimakasih atas kebersamaan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Orang tercinta Atiqoh Fathiyah, sahabat-sahabat Legend Kampus ( Nazir, Syaikhoni,

Faris Jamal, Kong Abrar, Badru Tamam (BT) dan seluruh sahabat-sahabat seperjuangan angkatan 2011) yang telah memberikan semangat dan warna kepada penulis selama ini.

9. Serta berbagi pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya, semoga amal baik


(8)

iii

Jakarta, 12 Oktober 2015


(9)

iv

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penellitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II PERCERAIAN DAN HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian perceraian dan Macam-macamnya ... 14

B. Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukumnya ... 20

C. Syarat-sayarat Hadhanah dan Akibat Hukum Hadhanah ... 27

D. Pihak-pihak yang Berhak dalam Hadhanah ... 31

BAB III PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK DI PENGADILAN AGAMA DEPOK A. Profil Pengadilan Agama Depok ... 38

B. Deskripsi Perkara Putusan No. 184/Pdt.G/2011/PA. Dpk ... 44

BAB IV TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TERHADAP HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ A. Pertimbangan Hakim Dalam Memtus perkara ... 57

B. Analisis Penulis Atas Putusan Majlis Hakim Nomor Perkara 184/Pdt.G/2011/PA. Dpk ... 60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran-saran ... 69


(10)

(11)

1

Akad Perkawinan dalam hukum Islam bukan lah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqon galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.1

Pada sisi lain, keharmonisan hubungan suami dan istri merupakan salah satu tujuan utama yang sangat dikehendaki islam. Akad nikah semata-mata dengan harapan akan bertahan selama-lamanya hingga akhir hayat, agar suami dan istri dapat menjadikan rumah sebagai tempat bernaung dan menikmati keindahannya, serta dapat mendidik anak-anak mereka menjadi generasi yang shalih.2 Syara’ membenarkan perkawinan dan mengizinkan perceraian. Dengan terjadinya perceraian tentu akan menimbulkan akibat hukum, diantaranya adalah hak asuh anak (Hadhanah).

1

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012). h. 206.

2


(12)

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.3 Sedangkan menurut KHI, anak adalah orang yang belum genap 21 tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri.4

Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupanya, baik dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam pembentukan akhlaknya. Seseorang yang melakukan tugas hadhanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di atas pundak kedua orang tuanyalah terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana kedua orang tuanya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syarat-syarat yang diperlukan menurut pandangan Islam, maka hendak lah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya. Untuk kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orang tua terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh

3

UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: PT. Citra Umbara, 2003), h. 4.

4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika pressindo,2007),hal.151.


(13)

tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan kerja sama antara ayah dan ibu dalam melakukan tugas ini. Jalinan kerja sama antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orang tua itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan dibesarkan.5

Harapan diatas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apa pun alasanya merupakan malapetaka bagi si anak. Di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya menurut ajaran islam perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam sebuah hadits diingatkan, bahwa “Sesuatu yang halal (dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah adalah perceraian”.(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).6

5

Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana,2010),hal.166.

6

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 1, h. 650. Abu Daud, Sunan Abi Daud , Penerbit SDA, Juz 2, h. 255.


(14)

Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak hukumnya wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.7

Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.8

Pemeliharaan Anak juga mengandung arti sebuah tangung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat terus menerus sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.9

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (a), menyebutkan bahwa dalam terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian, dalam pasal 156 huruf (a), akibat putusnya perkawinan karena perceraian

7

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 293.

8

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 235.

9

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h. 204.


(15)

ialah anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak asuh dari ibunya.10

Dari ketentuan di atas, dapat di lihat bahwa peranan ibu sangatlah penting terhadap anak yang belum mumayyiz apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian. Adapun siapa yang lebih berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz, bila kita melihat argumen di atas, maka yang berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz adalah pihak ibu.

Pada point yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya anak yang belum mumayyiz itu hak asuhnya jatuh pada ibunya, tapi tidak demikian kenyataannya yang terjadi di Pengadilan Agama, banyak pihak yang mengajukan perkara tentang hadhanah anak setelah terjadinya perceraian, dimana anak merupakan hasil dari perkawinan yang selama ini mereka rajut bersama selama perkawinan.

Kemudian bagaimana hakim yang menangani perkara hak hadhanah anak sehingga terjadi penetapan hak tersebut, jika anak yang di perebutkan masih dalam keadaan mumayyiz atau masih dibawah umur tidak jatuh ke tangan ibu, melainkan kepada seorang ayah. Tentunya Majelis Hakim memiliki beberapa pertimbangan hukum terhadap putusan yang ditetapkan.

Oleh karena itu menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti oleh penulis berupa: putusan Majelis Hakim, dasar hukum,alasan-alasan serta implikasi lain dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap

10

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika pressindo,2007),hal.151.


(16)

yang disepakati oleh Majelis Hakim. Inilah yang memotivasi dan mendorong penulis untuk mengkaji dalam skripsi dengan judul “Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz” (Analisa Putusan No. 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk).

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya pembahasan, maka studi ini dibatasi hanya pada kasus Hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz yang terdapat pada putusan Pengadilan Agama Depok No. 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk

2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya baik dari nash maupun fikih, pengasuhan anak yang belum mumayyiz berada pada asuhan ibu, demikian juga diatur dalam hukum materil atau undang-undang. Pada kenyataannya anak yang belum mumayyiz telah diputus oleh hakim, bahwa hadhanah bisa jatuh kepada bapak. Hal ini yang ingin penulis teliti mengenai putusan hakim terhadap hadhanah anak yang belum mumayyiz yang jatuh kepada bapak terhadap perkara hadhanah di pengadilan agama Depok perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk.

Untuk menemukan dan memecahkan masalah yang ada, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:


(17)

a. Apa dasar pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim PA Depok dalam menetapkan Ayah sebagai Pemegang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz?

b. Bagaimana ijtihad majelis hakim dalam memutuskan perkara hak hadhanah kepada bapak dalam putusan perkara nomor. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk ditinjau dari hukum Islam dan per- Undang-undangan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara yang menetapkan hak hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz.

b. Untuk mengetahui ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan perkara Nomor. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk. yang ditinjau dari hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

2. Manfaat Penelitian a. Secara praktis

Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan suatu keputusan.


(18)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di bidang Ilmu hukum Keluarga dan umumnya pada ilmu pengetahuan.

D. Review Studi Terdahulu

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini antara lain:

1. Skripsi oleh Aditya Nur Pratama, tahun 2009 Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, konsentrasi peradilan agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul “Pencabutan Hak Asuh dari Ibu (Studi

Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok No.

430/pdt.G/2006/PA.Dpk). berisi tentang landasan teori seputar hak asuh (hadhanah) anak meliputi pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhanah dan hadhin, masa hadhanah serta analisa terhadap putusan pengadilan Agama tentang pencabutan hak asuh anak dari ibu yang kemudian diberikan kepada ayah. Secara umum, skripsi tersebut membahas tentang pencabutan hak asuh (hadhanah) anak dari ibu kepada ayah sedangkan penulis memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk.

2. Skripsi oleh Sabarudin, tahun 2008, program studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Jakarta. Judul


(19)

“Hadhanah Perspektif Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i dan prakteknya Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/pdt.G/2006/PAJS tentang Hadhanah)”. Pembahasan mengenai hak asuh anak bagi orang tua yang murtad di pengadilan agama Jakarta selatan No. 1185/pdt.G/2006/PAJS serta ditinjau menurut mazhab Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. Secara umum, skripsi tersebut berisi tentang hak asuh (hadhanah) anak bagi orang tua yang murtad dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan dan juga membandingkan antara dua perspektif yaitu Mazhab Imam Hanafi dan Mazhab Syafi’i mengenai Hadhanah, sedangkan penelitian penulis tidak membandingkan keduanya akan tetapi penulis memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk.

3. Skripsi oleh Firman Sulaeman, tahun 2005 Fakultas Syariah dan Hukum , UIN Jakarta. Judul “Hak Pemeliharaan Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi kritis terhadap pasal 105 point A Kompilasi Hukum Islam)’’.

Secara umum skripsi ini membahas tentang Syarat-syarat Hadhanah dan fokus terhadap efektifitas pasal 105 point a Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa hadhanah dilingkungan peradilan agama. Yang menjadi


(20)

persamaan dengan skripsi penulis yakni sama-sama membahas tentang syarat-syarat hadhanah. Perbedaan nya skripsi yang akan dikaji oleh penulis yakni memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No. 184/pdt.G/2011/PA.Dpk.

Dari beberapa judul skripsi di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi yang akan penulis bahas. Adapun penelitian ini memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No.184/pdt.G/2011/PA.Dpk.

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penulis untuk menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.11 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan optimal dengan menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah adalah pendekatan normatif.

11

Samiaji Sarosa, penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, Cet-1 (Jakarta: permata puri media, 2012), h.3.


(21)

2. Sumber Data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian berupa data primer dan data sekunder.12 Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan Hukum Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah: pertama, putusan Peradilan Agama dengan perkara Nomor 184/pdt.G/2011/PA.Dpk tentang hadhanah, kedua, peraturan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang akan digunakan oleh penulis sebagai tinjauan terhadap analisis putusan tersebut dan buku-buku yang akan membahas langsung mengenai hadhanah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ialah merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.13 Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun berupa analisis dari penulis lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya megumpulkan data, metode yang dipergunakan sebagai berikut:

12

Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008) h. 141.

13

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), Cet. XXI, hal. 6.


(22)

a. Interview/ wawancara

Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan bertanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dengan berlandaskan kepada tujuan penyelidian.14 Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data yang diperlukan penulis yang berupa data yang tidak tertulis.Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Drs. Agus Abdullah, M.H. (Hakim Pengadilan Agama Depok 2007-2012, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan 2012-sekarang).

b. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal variable berupa catatan, surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainya. 4. Pedoman Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman penulisan Skripsi tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah BAB perbab, dimana antara BAB yang satu dengan BAB yang lainnya memiliki keterkaitan. Sistematika penulisan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

14

Iin Tri Rahayu, Tristiadi Ardi Ardani, Observasi dan Wawancara, Ed-1, Cet-1, (Malang: Bayu Media Publishing, 2004), h. 1


(23)

BAB I Merupakan bab pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi ini, dengan uraian bahasan meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Berkenaan dengan Pengertian perceraian dan macam-macam nya, Pengertian Hadhanah dan Dasar hukumnya, Syarat-syarat Hadhanah dan akibat hukum Hadhanah, dan Pihak-pihak yang berhak dalam Hadhanah.

BAB III Bab ini menjelaskan deskripsi hadhanah kepada bapak di pengadilan agama Depok yang meliputi: Profil Pengadilan Agama Depok, Duduk Perkara Putusan, Salinan Putusan.

BAB IV Bab ini membahas akanTinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Agama Depok Terhadap Hadhanah Bagi Anak Belum Mumayyiz yang meliputi: Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara, Ijtihad Majelis Hakim Dalam Memutuskn Perkara, dan Analisis penulis dalam perkara Nomor 184/pdt.G/2011/PA.Dpk tentang hadhanah.

BAB V merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dalam penyusunan skripsi ini.Sekaligus memberikan saran yang mungkin dapat membantu mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.


(24)

BAB II

PERCERAIAN DAN HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Perceraian

Kata “cerai” menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus hubungan sebagai suami istri. Kemudian, kata “perceraian”

mengandung arti: perpisahan, perihal bercerai (antara suami dan istri), perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti: tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-bini (suami-istri).15

Jadi secara yuridis istilah perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami dan istri atau berhenti berlaki-bini (suami-istri) sebagaimana diartikan dalam kamus besar Bahasa Indonesia di atas.

Secara singkat, perceraian didefinisikan sebagai melepas tali perkawinan dengan kata talak atau kata yang sepadan artinya dengan talak.16

Perceraian sejatinya dibolehkan dalam Islam. Namun disisi lain, perkawinan diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan kekal. Meskipun demikian, terkadang muncul keadaan-keadaan yang menyebabkan cita-cita suci perkawinan gagal terwujud. Namun demikian

15

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 185.

16

Yayan Sopyan, Islam Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum


(25)

perceraian dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.17 Meskipun begitu, perceraian merupakan sesuatu hal yang sangat dibenci dalam Islam meskipun kebolehannya sangat jelas dan hanya boleh dilakukan ketika tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh kedua belah pihak.18

Ada beberapa bentuk perceraian yang diakui dalam Islam: (a) perceraian karena kematian suami atau istri; (b) talak, yang berasal dari pihak suami; (c) al-ila’; (d) khuluk, dan; (e) mubara’ah, yang berasal dari pihak istri; (f) li’an; (g) fasakh.19

Suatu Perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, baik cerai talak maupun cerai gugat atau karena sebab-sebab lain. Talak sendiri merupakan metode perceraian yang paling sederhana, dan secara hukum hanya bisa dilaksanakan oleh suami karena alasan tertentu atau tanpa alasan sama sekali, pada prinsipnya seorang suami bisa menceraikan istrinya melalui pernyataan sederhana: “Saya menceraikan kamu!”

sebaliknya, istri juga bisa mengakhiri perkawinan melalui khuluk dengan kerelaan suami, atau dengan fasakh melalui putusan pengadilan.20

17

Haifah A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan, hlm. 232.

18

Seperti dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh ibnu umar.Lihat dalam sulayman ibn

Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al Fikr, tt), juz I, h. 661.

19

Asaf A.A. fyzee, Outline of Muhammad Law, (London:Oxford University Press, 1995), cet. II, h. 139.

20


(26)

Menurut ketentuan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Putusannya perkawinan karena kematian sering disebut oleh masyarakat dengan sebutan cerai mati. Sedangkan putusannya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu cerai gugat dan cerai talak.21

1. Cerai Talak

Cerai talak biasanya hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, Islam menetapkan hak talak itu berada di tangan suami, yakni memiliki hak mentalak tiga kali talak. Namun demikian hak itu tidak dapat digunakan suami begitu saja dengan sewenang-wenang. Suami yang hendak melakukan talak terhadap istrinya harus didepan pengadilan agama yang berwenang. Berikut penjelasan talak lebih rinci:

Talak berasal dari bahasa Arab yaitu kata “Thalak” artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.22 menurut istilah syarak talak adalah:

“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.23

Jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Ini

21

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006), h.192.

22

H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta, Pustaka Amani, 2002. hlm. 202.

23


(27)

terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak dalam talak raj’i.24

Adapun hukum talak kepada isteri ada kalanya wajib, ada kalanya sunnah, ada kalanya haram, makruh dan halal. Hal itu tergantung kepada keadaan suami isteri itu sendiri.25

a. Macam-macam Talak

Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) Talak raj’i

Talak raj’i yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan istri benar-benar sudah digauli.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Talak (65) : 1

                                                                                24

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 191.

25

H.A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Penerbit Pustaka Al-Husna Jakarta, cetakan: Pertama 1994) h. 5.


(28)

Artinya:

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Dan barang siapa melanggar hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa suami boleh untuk merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Oleh karenanya, manakala istri telah diceraikan dua kali, kemudian dirujuk atau dinikahi setelah sampai masa iddahnya, sebaiknya ia tidak diceraikan lagi.

2). Talak ba’in

Talak ba’in adalah talak ketiga, talak sebelum berhubungan badan dan talak karena imbalan harta. Talak ba’in terbagi menjadi dua; ba’in kecil (bainunah sughra), yaitu selain talak tiga, dan ba’in besar (bainunah kubra) dan bain besar, yaitu talak tiga.26

Hukum talak ba’in kecil memutuskan ikatan perkawinan sesaat talak tersebut berlaku. Dengan terputusnya ikatan perkawinan, maka status istri yang telah dicerai menjadi wanita asing. Bekas suami tidak diperbolehkan berhubungan mesra

26


(29)

dengannya dan keduanya tidak saling mewarisi, jika suami meninggal di tengah masa ‘iddah ataupun setelahnya. Suami boleh kembali hidup bersama istri yang telah ditalaknya dengan talak ba’in kecil itu dengan akad baru dan memberi mahar baru, tanpa dia harus menikah dulu dengan lelaki lain. Jika itu terjadi, maka sang istri kembali padanya dengan sisa talak yang dimilikinya. Jika sebelumnya ditalak satu, maka setelah pernikahan kedua tersebut tersisa dua talak lagi. Tapi jika sebelumnya ditalak dua, maka hanya tersisa satu talak lagi.27

Hukum talak ba’in besar juga memutuskan ikatan perkawinan, sama seperti talak ba’in kecil, termasuk juga konsekuensi hukum-hukumnya. Hanya saja, setelah talak ba’in besar dijatuhkan, suami tidak dapat mengembalikan ikatan hubungan suami-istri dengan bekas istrinya kecuali apabila sang istri menikah lebih dulu dengan lelaki lain dengan pernikahan yang sah dan melakukan hubungan badan, bukan dengan niat menghalalkan (nikah tahlil).28

2. Cerai Gugat

Gugatan perceraian hanya dilakukan para istri, karena dalam hukum Islam, istri tidak mempunyai hak mentalak suami. Dalam hukum perkawinan agama islam sendiri diberi hak untuk menuntut

27

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.) h. 455.

28


(30)

perceraian dari sang suami dengan cara khulu’. Adapun alasan terjadinya perceraian terdapat dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.29

B. Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukum Hadhanah

Dalam pegertianya“Hadhanah” berasal dari bahasa arab yang mempunyai arti antara lain: Hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya). Hadhanah, menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu didekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat melindungi dan memelihara anaknya sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.30

Adapun Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah SWT. QS al-Tahrim (66): 6:

                                    29

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 2005), h. 247

30


(31)

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS Al-Tahrim(66) ayat 6):31

Pada ayat ini, orang tua diperintahkan Allah SWT, untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.32

Dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud:

ﺔﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﳍ ﻝﺎﻘﻓ

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﺔﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ

" :

ﻲﺤﻜﻨﺗ ﱂ ﺎﻣ ﻪﺑ ﻖﺣﺍ ﺖﻧﺍ

"

)

ﺪﲪﺍ ﻩﺍﻭﺭ

,

ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍﻭ

,

(

ﻢﻛﺎﳊﺍ ﻪﺤﺤﺻﻭ

Artinya:

Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, hadist Shahih menurut hakim.33

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan nya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak

31

Al-Quran dan Terjemahanya, Jakarta, kementrian Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alquran, 2009.

32

Tihami, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 217.

33

Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’asy as-Sajastani al-Azdiry, Sunan Abi Dawud, (Qahirah: Dar al-Hadit, 1998), Juz II, h. 292.


(32)

yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunya lah yang berkewajiban melakukan hadhanah.34

Adapun pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu dan bapaknya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang.35

a. Hadhanah dalam perspektif fikih

Para ulama fikih mendefinisikan: Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.36

Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah). Dalam hadhanah, terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan. Sedangkan pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan

34

Tihami, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 217.

35

Slamet Abidin dan H. Aminudin, fiqh Munakahat 2, hlm. 172.

36

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Terjemahan), Cet I, jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 237.


(33)

profesional, sedangkan hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia bukan profesional: dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik.37

Peunoh Daly, mengemukakan definisi Hadhanah adalah pekerjaan yang berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak yang masih kecil, bodoh atau lemah fisik.38

Dalam hukum perdata Islam di Indonesia, dikatakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.39

Menurut Wahbah al Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.40

Dalam meniti kehidupanya di dunia, seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk kedalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan

37

H. Abd Rahman Ghazaly. , Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006),h. 175

38

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h.399.

39

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h.67.

40

Wahbah al Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr,1984), hal. 279.


(34)

dalam Islam, yakni Hadhanah, memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.

Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Neng Djubaedah anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:41

1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan. 2. Hak anak dalam kesucian keturunanya. 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4. Hak anak dalam menerima susuan.

5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.

6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau warisan demi kelangsungan hidupnya.

7. Hak asuh dalam bidang pendidikan dan pengajaran. b. Hadhanah dalam Perspektif Hukum positif

1) Perspektif UU No 1 Tahun 1974

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fikih.

Barulah setelah diberlakukanya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres Nomor Tahun

41

Neng Djubaedah,dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005), h. 177.


(35)

1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya.42

Kendati demikian, secara global sebenarnya UUP telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan. Di dalam pasal 41 point 1 dan 2 dinyatakan:

Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah:

(1) Baik ibu atau Bapak, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan keputusan.

(2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.43

Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak dimuat dalam Bab X mulai pasal 45-49

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

42

Abdul Mannan, “Problematika Hadhanah dan Hubunganya dengan Praktik Hukum

Acara DiPeradilan Agama, dalam, mimbar hukum” No. 49 THN.IX 2000, h. 69.

43

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata= Burgerlijk

Wetboek: dengan tambahan Undang-undang Pokok Agrarian dan Undang-undang Perkawinan,


(36)

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.44 Dalam penjelasan UU No 1 tahun 1974 yang dimaksud “Kekuasaan” dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah.

Pasal-pasal diatas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap diatas segala-galanya. Artinya semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan nonmaterialnya. Semangat pengasuhan material dan nonmaterial inilah yang akan dipertegas oleh KHI seperti dibawah ini.

44

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata= Burgerlijk

Wetboek: dengan tambahan Undang-undang Pokok Agrarian dan Undang-undang Perkawinan,


(37)

2.Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI di dalam pasal-pasalnya menggunakan istilah Pemeliharaan anak yang dimuat dalam Bab XIV pasal 98-106. Beberapa pasal yang penting akan dikutipkan disini:

Pasal 98 :

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 105 :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharanya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Pasal 106 :

mengenai harta anak yang belum mumamyyiz itu orang tua wajib merawat dan mengembangkan harta anak tersebut.45

C. Syarat-syarat dan Akibat Hukum Hadhanah

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh) di kemudian hari. Disamping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu, dan orang

45

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika pressindo,2007),hal.151.


(38)

yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah wanita. Persoalanya, disaat orang tua harus cerai dan mereka punya anak kecil, maka ibu lebih berhak mengasuhnya daripada ayah, selama tidak ada faktor yang menghalangi sang ibu untuk diutamakan, atau anak layak untuk diberi pilihan.46

Peristiwa perceraian apapun alasanya merupakan malapetaka bagi si anak. Disaat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya.Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi partumbuhan mental seorang anak.Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak.Itulah sebabnya menurut ajaran Islam perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan.

Untuk menghindarkan hal itu pula mengapa agama Islam menganjurkan agar lebih hati-hati dalam memilih jodoh, dengan memeperhitungkan faktor-faktor pendukung untuk lestarinya hubungan suami-istri, dan sebaliknya. Memang diakui tidak tertutup kemungkinan adanya perceraian kendatipun dari semula calon suami-istri sudah penuh hati-hati menjatuhkan pilihan. Namun, adanya faktor ketidak hati-hatian akan memperlebar kemungkinan tersebut.47

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua disebut sebagai hadhin dan anak yang diasuh disebut madhun atau hadhinah.Baik masih

46

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan) jilid II, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008.) h. 455.

47


(39)

dalam ikatan perkawinan atau setelah perceraian, kedua orang tua berkewajiban untuk memelihara anaknya dengan baik. Adapun syarat-syarat dari hadhin adalah sebagai berikut:48

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukanya itu belum dinyatakan memenuhi persayaratan artinya ia belum berhak mendapatkan tugas mengasuh anak.

2. Berfikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain dan jelas ia tidak berhak untuk mendapatkan hak mengasuh anak

3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan isalam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya dan akan merasa kesulitan melepaskan diri dari pengaruh agama orang yang mengasuhnya dan inilah bahaya terbesar yang akan dialami si anak.

4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang

48

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan


(40)

komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.

5. Mampu Mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan si anak atau berpotensi membuat anak dilalaikan dan disia-siakan, maka tidak berhak mengasuh anak.49

6. Ibu kandung belum menikah dengan laki-laki lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah pengasuh selain ibu kandung juga disyaratkan tidak menikah dengan orang yang bukan mahram sianak? Para ulama mengajukan syarat seperti itu berdasarkan hadits di atas karena si suami juga akan memperlakukan anak ni dengan keras dan rasa tidak suka. Lebih dari itu, wanita pengasuh yang telah menikah akan disibukan oleh tuntutan memenuhi hak suaminya. Lain halnya jika wanita pengasuh ini adalah kerabat dan mahram anak yang diasuh.50 7. Orang yang mengasuh haruslah seseorang yang merdeka. Syarat ini

diajukan oleh mayoritas ulama. Menurut mereka, orang yang dalam kepemilikan orang lain tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, sehingga ia tidak dapat menjadi wali bagai orang lain. Padahal, hak asuh anak ini sama dengan hak perwalian.51

49

Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 674.

50

Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 674.

51

Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 675.


(41)

Dan apabila syarat-syarat tersebut tidak dapat terpenuhi oleh orang tua yang mengasuh, maka gugur lah hak asuh nya terhadap anak tersebut.

Para ulama sepakat bahwa, dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa orang yang mengasuh haruslah berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, bukan penari, bukan peminum khamar, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya.Adapun tujuan dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut diatas adalah untuk memelihara dan menjamin keadaan anak dan pertumbuhan moralnya.52 D. Pihak-pihak yang berhak dalam hadhanah

Ketika hak asuh anak merupakan hak dasar asuh ibu, maka para ulama ahli fiqh menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluarga dari pihak ayah. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut:53

1. Ibu anak tersebut

2. Nenek dari pihak ibu dan terus keatas 3. Nenek dari pihak Ayah

4. Saudara kandung perempuan anak tersebut 5. Saudara Perempuan Ibu

6. Saudara perempuan Ayah

7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah

52

M. Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet.17, (Jakarta: lentera, 2006), h.416.

53


(42)

9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya 10.Saudara perempuan ibu yang seibu dengan nya (bibi) 11.Saudara perempuan yang seayah dengannya (bibi) 12.Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 13.Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung 14.Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu 15.Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah 16.Bibi yang sekandung dengan ayah

17.Bibi yang seibu dengan ayah 18.Bibi yang seayah dengan ayah 19.Bibinya ibu dari pihak ibunya 20.Bibinya ayah dari pihak ibunya 21.Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22.Bibinya ayah dari pihak ayah.54

Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas, atau ada akan tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memiliki hubungan darah (nasab) denganya sesuai dengan urutan masing-masing. Pengasuhan anak beralih kepada.55

1. Ayah kandung anak itu

2. Kakek dari pihak ayah dan terus keatas

54

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid II, (Beirut Dar Fikr, 1983), h. 527.

55


(43)

3. Saudara laki-laki sekandung 4. Saudara laki-laki seayah

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 7. Paman yang seayah dengan ayah

8. Pamanya ayah yang sekandung

9. Pamanya ayah yang seayah dengan ayah56

Apabila tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut atau ada, tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu:

1. Ayah ibu (kakek) 2. Saudara laki-laki seibu

3. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 4. Paman yang seibu dengan ayah

5. Paman yang sekandung dengan ibu 6. Paman yang seayah dengan ibu.57

Selanjutnya jika anak tersebut tidak memiliki kerabat sama sekali, maka Hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.

56

Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga, cet-4 (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005) h. 452.

57

Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga, cet-4 (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005) h. 452.


(44)

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf a, anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya diganti oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu 2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.58

Dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 1tahun 1974 tentang perkawinan dinyatakan : (1) Baik ibu atau Bapak, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan keputusan. (2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

58

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, Akademia Presindo 2007), h. 151.


(45)

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa hak pemeliharaan anak itu diberikan kepada ibunya, jika ia diceraikan oleh suaminya, ketika anak tersebut masih kecil.59

Kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak itu adalah ibu kandungnya sendiri, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, saudara perempuan (kakak perempuan), bibi dari pihak ibu, anak perempuan saudara perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, bibi dari pihak ayah, adn kalangan madzhab kerabat lain sesuai dengan urutan ahli waris.60

Imam Malik berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya.Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.61

Kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai dari ibu kandung, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, saudara perempuan, bibi dari pihak ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapatkkan bagian warisan ashabah sesuai dengan tata urutan pembagian harta warisan.

59

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih para Mujtahid, penerjemah, Drs. Imam Ghazali Said & Drs. Achmad Zaidun. (Jakarta: Pustaka Amani,2007),

60

Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 668.

61


(46)

Pendapat kalangan mazhab Syafi’i ini sama dengan pendapat kalangan mazhab Hanafi.62

Kalangan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai dari ibu kandung, nenek dari pihak ibu, kakek dan ibu kakek, bibi dari kedua orang tuanya, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, bibi dari kedua orangtua, bibinya ibu, bibinya ayah, bibinya ibu dari jalur ibu, bibinya ayah dari jalur ibu, bibinya ayah dari pihak ayah, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah, kemudian kalangan madzhab kerabat dari urutan yang paling dekat.63

Menurut feminis, ketentuan fiqh yang memberikan prioritas hak hadhanah pada isteri dinilai bias jender dan merugikan laki-laki. Alasan yang diapakai oleh fuqoha selama ini bahwa isteri lebih mempunyai jiwa keibuan disbanding suami, ternyata terbantahkan.Karena dalam realitas sehari-hari sungguh banyak bukti yang menunjukan bahwa ibu tidak selamanya berjiwa keibuan dan justru laki-laki lebih semangat dalam mengasuh dan memelihara anak.Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa sebaiknya penentuan hak hadhanah tidak diprioritaskan kepada salah satu pihak suami atau istri saja.Melainkan diserahkan

62

Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 669.

63

Abu Malik Kamal bin As-sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah; penerjemah, Khairul Amru Harahap, faisal soleh. Cet. 1,( Jakarta: pustaka Azzam, 2007.), h. 669.


(47)

kepada kebijakan suami istri melalui musyawarah atau kebijakan hakim bila musyawarah tidak berhasil- berdasarkan pertimbangan-pertimbangan obyektif yang memungkinkan dan lebih menjamin perkembangan anak tidak mengalami hambatan. Dengan sendirinya, penentuan hak hadhanah dengan cara demikian diharapkan tidak melahirkan diskriminasi antara suami dan istri.64

64

Mesraini, Fiqh Munakahat (Jakarta ,Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren) cet I, Agustus 2008. h. 172.


(48)

BAB III

PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK DI PENGADILAN AGAMA DEPOK

A. Profil Pengadilan Agama Depok 1. Sejarah Pengadilan Agama Depok

Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung.

Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasioanalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya.65

Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia

65

Di akses yang bersumber dari www.pa-depok.go.id pada tanggal 14 September 2015


(49)

Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”.

Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari (sebelum pemekaran adalah 6 Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan.66

Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang.67

Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum

66

Di akses yang bersumber dari www.pa-depok.go.id pada tanggal 14 September 2015

67


(50)

dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang. selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT”danMisi : “Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”.68

1. Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok

Pengadilan Agama Depok sebagai underbow Mahkamah Agung RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas dasar itu maka Pengadilan Agama depok telah menjabarkan visi dan misi tersebut dalam visi dan misi Pengadilan Agama Depok, yaitu :Visi Pengadilan Agama depok adalah "Terwujudnya Pengadilan Agama Depok Yang Agung".

Hal ini mengandung makna bahwa Pengadilan Agama Depok siap bersama-sama peradilan lainnya meningkatkan kinerja yang lebih baik

68


(51)

demi menjaga kehormatan dan martabat serta wibawa peradilan yang didedikasikan dalam bentuk misi Pengadilan Agama Depok, yaitu : 1. Meningkatkan pelayanan penerimaan perkara.

2. Membuka akses publik seluas-luasnya.

3. Mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat dan dengan biaya ringan;

4. Mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan dapat dilaksanakan (eksekutabel).

5. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.

6. Meningkatkan pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku aparat Pengadilan agar berlaku jujur dan berwibawa serta agar Peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.69 2. Tugas Pokok Dan Fungsi Pengadilan Agama Depok

Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2010 tentang Peradilan Agama.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :

69


(52)

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi;

2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya; 3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di

lingkungan Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan kecuali biaya perkara);

4. Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan

pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

6. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/ tabungan, pensiunan dan sebagainya;


(53)

7. Pelaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, pelaksanaan hisab rukyat, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya.

3. Kekuasaan atau Yuridiksi

Tiap Pengadilan Agama mempnyai wilayah hukum tertentu. Dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang.70

Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok.

Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19’ 00” – 6o 28’ 00” Lintang Selatan dan 106o 43’ 00” – 106o 55’ 30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek.

Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2.

Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005

70


(54)

sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar.

Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesansggrahan dan Kali Cikeas.

2. Deskripsi Perkara Putusan No.184/Pdt.G/2011/PA.Dpk

Pada perkara Nomor 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk diketahui bahwa antara pemohon dan termohon telah melangsungkan pernikahan pada bulam Desember tahun 2003 yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama kecamatan pancoran mas, Kota Depok. Jadi pernikahan antara pemohon dan termohon itu adalah sah menurut Hukum karena merupakan pernikahan yang dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah. Dari perkawinan tersebut pemohon dan termohon telah dikaruniai dua orang anak.71

Rumah tangga antara pemohon dan termohon pada awalnya rukun dan harmonis tetapi sejak bulan desember tahun 2004 sampai tahun 2008 antara pemohon dan termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan termohon sering meninggalkan rumah tangga tanpa seizin pemohon, dan anak-anak ditelantarkan begitu saja. Termohon suka

71


(55)

berbohong masalah keuangan seperti termohon mengambil tabungan anak-anak, menggadaikan motor tanpa seizin Pemohon dengan alasan untuk operasi orang tuanya, akan tetapi setelah Pemohon mendesak menanyakan kepada orang tuanya ternyata tidak benar orang tuanya tidak dioperasi, Kemudian Pemohon bertanya kepada Termohon dikemanakan uangnya Termohon diam saja malah Termohon minta di kembalikan ke rumah orang tuanya/minta cerai. Termohon tidak ada tanggung jawab dalam rumah tangga dengan pergi meninggalkan anak-anak dan tanpa seizin pemohon.72

Akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut yang terus berlanjut, kemudian sekitar bulan desember tahun 2008 sampai tahun 2011 antara pemohon dan termohon telah pisah rumah, hingga saat ini berjalan selama 3 tahun lamanya dan selama itu pula usaha untuk rukun tidak membuahkan hasil karena termohon tidak berubah sikapnya. Kejadian diatas menuturkan bahwa antara pemohon dan termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi sehingga rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah tidak dapat tercapai. Pemohon merasa menderita lahir dan batin dan sudah tidak mungkin lagi untuk meneruskan rumah tangga dengan pemohon serta tidak ada jalan terbaik kecuali perceraian. Dengan kondisi rumah tangga yang sudah tak dapat di rukunkan kembali maka pemohon memohon kepada majlis hakim untuk dapat bisa mengucapkan

72


(1)

Halaman 15 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk Termohon sehingganya tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangganya;

Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan antara Pemohon dan Termohon dalam membina rumah tangga sudah tidak harmonis sehingga sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana maksud dari Al Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (INPRES Nomor 1 Tahun 1991);

Menimbang, bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

Menimbang, bahwa ikatan batin menurut penjelasan pasal tersebut merupakan unsur yang penting dalam suatu perkawinan, apabila ikatan batin sudah tidak ada lagi, maka perkawinan tersebut sudah tidak utuh lagi, sehingga mempertahankan perkawinan tersebut merupakan hal yang sia-sia dan tidak akan bermanfaat bagi kedua belah pihak;

Menimbang, bahwa adanya kehendak yang kuat dari Pemohon untuk bercerai dari Termohon dan Termohonpun tidak keberatan terhadap permohonan cerai dari Pemohon dalam perkara a quo sudah merupakan petunjuk bahwa antara Pemohon dan Termohon sudah tidak terdapat ikatan batin lagi;

Menimbang, bahwa dalam kondisi tidak harmonis tersebut Majelis Hakim berpendapat ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon tidak utuh lagi (broken Marriage) yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana tersebut di atas, tanpa mempersoalkan siapa yang salah sehingga antara Pemohon dan Termohon sulit untuk dapat dirukunkan kembali untuk membina rumah tangga bersama sehingga permohonan Pemohon telah memenuhi maksud Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta penjelasannya Jis pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor : 23 tahun 2004, Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian permohonan Pemohon untuk bercerai dari Termohon cukup beralasan dan tidak melawan hukum;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-petimbangan tersebut di atas cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan permohonan Pemohon dengan memberi izin kepada Pemohon ( NAMA PEMOHON ) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon ( NAMA TERMOHON ) di depan sidang Pengadilan Agama Depok ;

Menimbang, bahwa sebagai akibat dari pada perceraian Pemohon akan memberikan kepada Termohon berupa nafkah iddah kepada Termohon setiap harinya sebanyak Rp


(2)

Halaman 16 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk 50.000,- ( lima puluh ribu rupiah ) sehingga jumlah setiap bulannya sebanyak Rp 1.500.000,- ( satu juta lima ratus ribu rupiah ) dan akan memberikan mut’ah berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an;

Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut Termohon memberikan jawabannya secara lisan yaitu tidak menerima pemberian nafkah iddah tersebut dan Termohon minta kepada Pemohon untuk memberikan nafkah iddahnya setiap hari sebanyak Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah ) tetapi Termohon menerima mut’ah yang akan diberikan oleh Pemohon tersebut oleh karenanya Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut ;

Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 149 Kompilasi hukum Islam bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib;

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda; b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isterinya selama dalam

iddah;

Menimbang, bahwa Pemohon akan memberikan mut’ah kepada Termohon berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an dan Termohonpun menerima terhadap kesanggupan dari Pemohon tersebut, dengan diterimanya kesanggupan dari Pemohon tersebut oleh Termohon maka Majelis Hakim menghukum Pemohon untuk memberikan mut’ah kepada Termohon berupa seperangkat alat shalat dan Al-qur’an yang amarnya akan disebutkan dalam amar putusan ini;

Menimbang, bahwa sesuai dengan maksud pasal 153 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, jika perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari ;

Menimbang, bahwa karena Pemohon akan memberikan nafkah iddah terhadap Termohon setiap harinya sebanyak Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah ) sehingga jumlah sebulannya sebanyak Rp 1.500.000,- ( satu juta lima ratus ribu rupiah) namun Termohonpun tidak menerimanya dan minta agar Pemohon memberikan nafkah iddah setiap harinya sebanyak Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah );

Menimbang, bahwa Pemohon dengan Termohon sama-sama tidak membuktikan tentang penghasilan Pemohon yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk mengeluarkannya tetapi berdasarkan keterangan saksi-saksi baik dari Pemohon maupun dari Termohon menerangkan bahwa saksi-saksi tidak mengetahui di mana Pemohon bekerja dan berapa gajinya;

Menimbang, bahwa dengan memperhatikan kesanggupan dari Pemohon yang akan memberikan nafkah iddah setiap harinya kepada Termohon sebanyak Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa pemberian


(3)

Halaman 17 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk Pemohon tersebut cukup layak oleh karenanya Majelis Hakim mengabulkan sesuai dengan kesanggupan dari Pemohon tersebut;

Menimbang, bahwa karena nafkah iddah sesuai dengan kesanggupan dari pemohon setiap harinya sebanyak Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah ) dikali sebulan sehingga berjumlah Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) tentunya harus dikali 3 (tiga) bulan sesuai dengan pasal 153 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam sehingga jumlah seluruhnya selama masa iddah sebanyak Rp. 4.500.000,- ( empat juta lima ratus ribu rupiah) yang amarnya akan disebutkan dalam amar putusan ini;

Menimbang, bahwa Pemohon juga mohon agar anak –anak Pemohon dengan Termohon yang bernama :

1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal TANGGAL; 2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal TANGGAL ;

Mohon supaya ditetapkan hak asuhnya pada Pemohon dengan alasan anak-anak tersebut sekarang bersama dengan Pemohon;

Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut Termohon juga memberikan jawabannya secara lisan yaitu mohon agar anak-anak Pemohon dengan Termohon supaya ditetapkan hak asuhnya ada pada Termohon mengingat anak-anak masih di bawah umur yang masih memerlukan kasih sayang ibunya meskipun selama ini Termohon masih suka bertemu dengan anak-anak dan Pemohon juga tidak mempersulit untuk bertemu dengan anak-anak tersebut;

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalilnya bahwa Pemohon dengan Termohon mempunyai anak 2 (dua) orang sebagaimana tersebut, Pemohon mengajukan bukti tertulis berupa P2 dan P3;

Menimbang, bahwa terhadap bukti P2 dan P3 tersebut Majelis Hakim dapat menerima bukti tersebut karena bukti tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk mengeluarkannya dan telah bermateraikan cukup dan telah dicocokan dengan aslinya ternyata sesuai dan Termohon juga mengakui dan membenarkannya;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P2 dan P3 tersebut terbukti bahwa Pemohon dengan Termohon mempunyai anak 2 (dua) orang yang bernama :

1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal 8 Mei 2004; 2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal 02 Juni 2005;

Menimbang, bahwa sesuai dengan keterangan saksi-saksi dari Pemohon dan Termohon kecuali ayah Termohon menerangkan bahwa Pemohon sayang, perhatian, sanggup untuk merawat dan memelihara anak-anaknya ;

Menimbang, bahwa setelahnya memperhatikan usia anak-anak Pemohon dengan Termohon tersebut yang masih di bawah umur dan Pemohon juga menghendaki agar hak


(4)

Halaman 18 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk asuk anak ditetapkan pada Pemohon bahkan Termohon juga sebagai ibunya mohon agar anak ditetapkan hak asunya pada Termohon;

Menimbang, bahwa sesuai dengan pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

Menimbang, bahwa karena anak-anak Pemohon dan Termohon sekarang bersama dengan Pemohon maka sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadlanah ( pemeliharaan anak ) adalah kemaslahatan dan kepentingan anak bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor : 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut telah cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan Pemohon dengan menetapkan anak yang bernama ;

1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal 8 Mei 2004; 2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal 02 Juni 2005;

berada di bawah hadlanah Pemohon yang amarnya akan disebutkan dalam amar putusan ini;

Menimbang, bahwa meskipun anak Pemohon dengan Termohon hak asuhnya ditetapkan pada Pemohon tetapi Majelis Hakim melarang Pemohon untuk mempersulit jika Termohon akan atau ingin bertemu, menyalurkan kasih sayangnya, membawanya berlibur anak tersebut dan mengembalikannya kepada Pemohon dengan catatan tidak mengganggu kesehatan dan pendidikannya tetapi harus seizin Pemohon ;

Menimbang, bahwa karena perkara ini dalam bidang perkawinan, maka sesuai pasal 89 (1) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2006 dan telah diubah pula dengan Undang-Undang Nomor : 50 tahun 2009 segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon;

Memperhatikan segala pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta hukum syara’ berhubungan dengan perkara ini ;

M E N G A D I L I


(5)

Halaman 19 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk 2. Memberikan izin kepada Pemohon ( NAMA PEMOHON ) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon ( NAMA TERMOHON ) di depan sidang Pengadilan Agama Depok;

3. Menghukum Pemohon untuk membayar atau memberikan kepada Termohon berupa; 3.1. Mut’ah seperangkat alat shalat dan Al-qur’an;

3.2. Nafkah selama masa iddah seluruhnya berjumlah Rp.4.500.000,- ( empat juta lima ratus ribu rupiah);

4. Menetapkan anak yang bernama :

4.1. NAMA ANAK , perempuan lahir tanggal 8 Mei 2004; 4.2. NAMA ANAK , laki-laki lahir tanggal 02 Juni 2005; berada di bawah hadlanah Pemohon ;

5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp 171.000,- ( seratus tujuh puluh satu ribu rupiah )

Demikian putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok pada hari Kamis tanggal 05 Mei 2011 M. bertepatan dengan tanggal 01 Jumadil Akhir 1432 H. oleh Drs. AGUS ABDULAH, M.H., sebagai Ketua Majelis, Hj. SUCIATI S.H., dan Dra. Hj. ROGAYAH masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut pada hari itu juga dibacakan oleh Ketua Majelis tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan didampingi Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh Drs. H. ASOP RIDWAN, M.H., sebagai Panitera yang dihadiri oleh Pemohon dan Termohon.

HAKIM-HAKIM ANGGOTA KETUA MAJELIS

Ttd ttd

Hj. SUCIATI, S.H. Drs. AGUS ABDULAH, M.H.

ttd

Dra. Hj. ROGAYAH


(6)

Halaman 20 dari 21 hal, Putusan Nomor : 184/Pdt.G/2011/PA.Dpk ttd

Drs. H. ASOP RIDWAN, M.H. Perincian biaya perkara :

1. Pendaftaran Rp. 30.000,- 2. Proses Rp. 30.000,- 3. Panggilan Pemohon Rp. 50.000,- 4. Panggilan Termohon Rp. 50.000,- 5. Redaksi Rp. 5.000,- 6. Materai Rp. 6.000,+

Jumlah Rp. 171.000,-

Putusan ini telah di anonimasi Panitera Pengadilan Agama Depok

Drs Entoh Abd Fatah