2.1.2 Film Sebagai Realitas Sosial
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu di buat, film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,dan memproyeksikannya ke
dalam layar Irawanto,1993 :13 dalam Alex Sobur 2002 :127 Film adalah dokumen kehidupan social sebuah komunitas. Film mewakili
realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentik imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada jejak – jeak yang di
tinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan dating. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi
sekedar usaha menampilkan “citra bergerak” moving image namun juga telah di ikuti oleh muatan – muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi
manusia atau gaya hidup. Film juga sudah di anggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri. Karena sifatnya yang
universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan dampak negatif. Victor C.Mambor : http:fsituskunci.tripod.comiteksvictor1.htm
2.1.3 Khalayak Sebagai Penggemar Film di Indonesia
Film Indonesia sekarang ini adalah kelanjutan dari tradisi tontonan rakyat sejak masa tradisional, masa penjajahan sampai masa kemerdekaan ini. Untuk meningkatkan
apresiasi penonton film Indonesia adalah menyempurnakan permainan trik – trik serealistis dan sehalus mungkin, seni acting yang lebih sungguh – sungguh, pembenahan
struktur cerita, pembenahan setting budaya yang lebih dapat di pertanggung jawabkan, penyuguhan gambar yang lebih estetis dan sebagainya
http:geocities.comParis7229film.htm, di akses 17 oktober 2009 . Peningkatan mutu film ini dari genre – genre film nasional yang laris sekarang ini
dapat meningkatkan daya apresiasi film bermutu di lingkungan penonton urban yang marjinal ini, tetapi mungkin juga dapat di tonton oleh golongan penonton yang terpelajar
dan intelektual. Ketidakadilan produksi film nasional sekarang ini terletak pada pelayanannya yang hanya kepada penonton “ berbudaya daerah “. Dugaan sementara
bahwa golongan terpelahar di Indonesia di penbuhi selera seni pertunjukkan oleh film – film yang kondisi atau referensi budayanya cukup baik di apresiasikan oleh mereka.
Namun kondisi semacam itu tidak dapat terus menerus di lakukan Karena film film import tersebut jauh dari sejarah mitos, kondisi dan masalah – masalah Indonesia sendiri.
Untuk membuat film bermutu yang laris di semua golongan dengan latar belakang budaya yang berbeda – beda adalah dengan memberikan kesempatan kepada para sineas
http:geocities.comParis7229film.htm, di akses 17 oktober 2009 . Beberapa karakteristik dari para penonton film Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kelompok 1 Cenderung memilih mutu film sebab menonton film bukan sekedar mencari
hiburan tapi menikmati karya seni film dalam arti yang lebih luas. 2. Kelompok 2
Cendrung mengikuti arus. Pertimbangan mutu film tetap merupakan referensi 3. Kelompok 3
Tidak perlu terlalu memilih, sekedar mencari hiburan saja. Berdasarkan angket penonton 1988 dan 1989 yang di lakukan di Bandung,
penonton film Indonesia adalah sebagian besar berusia antara 15 -25 tahun 90 18
dengan tekanan usia pada 20 – 25 tahun 40 , lelaki 57 dan wanita 43 yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi sebanyak 42 sedangkan 50 mengaku
abstain. Mereka ini mengaku menonton film Indonesia lebih dari selama sebulan 59 adan ad a12 yang menonton lebih dari 5 kali dalam sebulan
http:geocities.comParis7229film.htm, di akses 17 oktober 2009 . Serial film film series adalah film yang biasanya di tayangkan melalui televise
secara berantai dalan jangka wakru tertentu dengan pemeran utama yang sama tetapi kisah yang berbeda. Menurut sifatnya, film di bedakan menjadi : film cerita film story,
film berita newsreel,film documenter documentary film dan film kartun cartoon film.Effendy,2000 : 210 – 216.
2.1.4 Teori Kebutuhan Terhadap Media Massa