49
Rumah Ibadat
A Quo
; dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara
25
yang memiliki kewenangan dan jabatannya, berisi tindakan hukum yang dalam hal ini
adalah tindakan membekukan IMB-RI. Disamping itu, obyek gugatan bersifat konkret, individual, dan final, yaitu yang tertuang dalam bentuk surat,
26
diberikan tidak kepada umum, tetapi kepada subyek hukum tertentu, yaitu Umat Beragama
di Rumah Ibadat
A Quo
. Pembekuan Ijin itu telah definitif, telah menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan. Obyek
gugatan juga bersifat konkret, mengingat obyek yang diatur dalam Keputusan Tata Usaha Negara
27
. Obyek juga bersifat individual mengingat KTUN itu ditujukan kepada Penggugat. Obyek bersifat final, sebab KTUN itu telah berlaku
definitif yaitu Pembekuan Ijin mendirikan bangunan Rumah Ibadat
A Quo
, menimbulkan akibat hukum.
3.2.2. Dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
, dengan dikeluakannya Pembekuan Ijin itu, pembangunan tempat ibadat yang dibutuhkan untuk
menjalankan ibadat menurut keyakinan Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
menjadi terhenti sama sekali. Sehingga, menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
, kepentingan Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
, sangat dirugikan. Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
juga mendalilkan bahwa mereka telah melakukan banyak persiapan untuk mengadakan pembangunan
Rumah Ibadat
A Quo
. Maksudnya, mereka telah mengadakan beberapa perjanjian
25
Selanjutnya disingkat Pejabat TUN.
26
No. 503208-DTKP perihal Pembekuan Ijin tertanggal 14 Pebruari 2008.
27
Selanjutnya disingkat dengan KTUN.
50
kerjasama dengan pihak ketiga yang akan melakukan pembangunan, membeli materialbahan-bahan bangunan yang dibutuhkan dalam pembangunan. Itulah
sebabnya, menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
Pembekuan Ijin merugikan mereka. Karena, Kepala Dinas mengeluarkan obyek sengketa secara
tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, padahal Kepala Dinas seharusnya konsisten mempertahankan dan melaksanakan Surat Keputusan Walikota Bogor
No. 645.8-372 tahun 2006, 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, bukan malah membekukannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
. Mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan, Umat Beragama di Rumah
Ibadat
A Quo
berdalil bahwa berdasarkan UU TUN
28
telah dinyatakan “
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat TUN
”. Mereka telah menerima Pembekuan Ijin 14 Pebruari 2008, sehingga gugatan itu
menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
masih berada dalam tenggang waktu yang ditentukan.
Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
sempat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, yaitu mengingat adanya keadaan yang sangat mendesak, agar
dapat dilakukan pembangunan dan kebutuhan mendesak tempat ibadat serta untuk mencegah mereka semakin dirugikan, maka berdasarkan Pasal 67 Ayat 2 UU
No. 5 tahun 1986
juncto
UU No. 9 tahun 2004 yang menyatakan : “
Para Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu
ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berlangsung sampai ada Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
”. Umat Beragama di
28
Pasal 55 UU No. 5 tahun 1989 j.o. UU No. 9 tahun 2004.
51
Rumah Ibadat
A Quo
memohon kepada Majelis Hakim PTUN Bandung untuk menunda pelaksanaan obyek gugatan.
Sementara itu, dalam pokok sengketa, Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
berdalil bahwa Bangunan Rumah Ibadat
A Quo
telah memperoleh Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin
Mendirikan Bangunan. Namun, menurut unsur Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo,
mereka telah menerima surat Kepala Dinas perihal Pembekuan Ijin dan telah menanggapi diterbitkannya surat Kepala Dinas tersebut, Umat Beragama di
Rumah Ibadat
A Quo
telah mengirim surat kepada Walikota, perihal keberatan dan penolakan atas Pembekuan Ijin yang diterbitkan Kepala Dinas, Kepala Badan
Pengawasan Daerah Kota Bogor, Kepala Bagian Hukum Setdakot Bogor, Kepala Kantor Sat. Pol P.P. Kota Bogor dan Forum PA dan Ormas Agama tertentu se
kota setempat. Menurut Penggugat, dalam rangka memperoleh Surat Keputusan Walikota
tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, mereka telah menempuh proses yang cukup lama dan bertahap serta telah memenuhi
persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam SKB
29
. Pada 10 Maret 2002, penduduk di sekitar tanah milik Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
, seluas 1.721
yang terletak di Taman Yasmin Sektor III Kavling 31 Jalan Ring Road, Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, telah
menandatangani Surat Pernyataan yang pada intinya sebanyak 170 orang tidak keberatan jika di atas sebidang tanah tersebut dibangun sebuah Rumah Ibadat
A Quo
. Penggugat juga mendalilkan bahwa 1 Maret 2003 telah berlangsung musyawarah yang dihadiri 127 orang pemuda Curug Mekar dengan Panitia
29
Tentang isi SKB lihat hlm., 34-47, Supra
.
52
Pembangunan Rumah Ibadat
A Quo
dan dari unsur Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
. Hasil musyawarah tersebut dituliskan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani Ketua Forum Pemuda Curug Mekar dan Penasehat Forum
Pemuda Curug Mekar yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas sebidang tanah tersebut dibangun Rumah Ibadat
A Quo
. Pada 8 Januari 2006 sebanyak 42 warga masyarakat Curug Mekar menandatangani Surat Pernyataan
yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas sebidang tanah tersebut dibangun Rumah Ibadat
A Quo
. Pada 12 Januari 2006 juga telah berlangsung sosialisasi rencana pembangunan gedung Rumah Ibadat
A Quo
yang dihadiri oleh 71 orang penduduk setempat atas nama masyarakat RW. I, II, III, IV dan VI
kelurahan Curug Mekar yang terdiri dari para ketua RW, Ketua RT, Pengurus DKM dan Tokoh Masyarakat. Setelah mendengarkan penjelasan yang
disampaikan oleh Panitia Pembangunan gedung Rumah Ibadat
A Quo
, mereka menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan menyatakan tidak
keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan
masing-masing, serta
meminta dalam
pelaksanaan pembangunan
dan operasionalnya agar menyerap tenaga kerja yang ada di wilayah kelurahan Curug
Mekar. Surat Pernyataan itu diberikan kepada tergugat. Surat pernyataan itu juga diketahui oleh Ketua LPM Kelurahan Curug Mekar dan Lurah Curug Mekar. Pada
14 Januari 2006, setelah mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Kepala Kelurahan dan ketua LPM Kelurahan Curug Mekar tentang adanya rencana
pembangunan Rumah Ibadat
A Quo
di atas tanah tersebut sebanyak 25 orang Tokoh Masyarakat kelurahan Curug Mekar telah menandatangani Surat
Keterangan yang pada intinya mereka memaklumi dan tidak keberatan akan
53
rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Surat pernyataan juga ditandatangani oleh ketua LPM dan Lurah Curug Mekar. Pada 15 Januari 2006, juga telah berlangsung sosialisasi rencana pembangunan
Rumah Ibadat
A Quo
yang dihadiri oleh 40 orang warga masyarakat Perumahan Taman Yasmin Sektor III RW.VIII Kelurahan Curug Mekar. Setelah
mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Panitia Pembangunan Rumah Ibadat
A Quo
, mereka menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan menyatakan tidak keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap
menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Surat Pernyataan itu diketahui
oleh Ketua RW. VIII, Ketua dan Lurah Curug Mekar. Pada 3 Maret 2006, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor juga telah menerbitkan Saran
Teknis Nomor 660.1144DLHK a.n. Umat Beragama dalam rumpun Agama yang sama dengan Umat Rumah Ibadat
A Quo
Jabar, Jalan Pengadilan No.35 Bogor sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah Ibadat
A Quo
tersebut di atas. Pada 14 Maret 2006, Kantor Pertanahan Kota Bogor juga telah menerbitkan
Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan Tanah No. 46020PTPGT-SP2006 atas nama Perkumpulan Umat Beragama
yang sama dengan Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
Jabar sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 15 Maret 2006, Dinas Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor juga telah menerbitkan Penilaian Saran Teknis Lalu Lintas No. 503262-DLLAJ kepada Pihak atas nama Rumah Ibadat
A Quo
sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 12 April 2006, Dinas Binamarga dan Pengairan Kota Bogor juga telah menerbitkan Surat
54
Ijin Pembuatan Jalan Masuk No. 503238018-BINA kepada Pihak atas nama Perkumpulan Umat Beragama yang serumpun dengan umat beragama di Rumah
Ibadat
A Quo
sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 17 April 2006, Kepala Dinas Bina Marga juga telah menerbitkan Surat No.
610319018-BIMA perihal
saran teknis
sehubungan dengan
rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 30 Mei 2006, Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor juga telah menerbitkan Pengesahan Site Plan Pembangunan tersebut di atas No. 645.8705-DTKP kepada GKI Jabar Jalan
Pengadilan No. 35 Bogor sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah Ibadat
A Quo
. Penggugat juga mendalilkan bahwa setelah memeriksa seluruh persyaratan
tersebut di atas, Walikota Bogor memutuskan untuk memberikan IMB yang dimohonkan dengan menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372
tahun 2006 13 Juli 2006. Surat keputusan tersebut atas nama Walikota, ditandatangani oleh Kepala Dinas. Kemudian, Penggugat juga mendalilkan,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan PBM dimana seperti telah dikemukaan dalam uraian hasil penelitian yang pertama di atas.
30
PBM tersebut, menurut dalil Penggugat,
dengan jelas ditegaskan bahwa “
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Daerah Wajib disesuaikan dengan PBM paling
lambat dalam jangka waktu dua tahun
”. Menurut Penggugat, ketentuan tersebut menegaskan bahwa PBM
tergolong sebagai
lex specialis
. Oleh karena itu, ketentuan
31
tentang Bangunan
30
Pasal 29 PBM.
31
Pasal 15 Ayat 1 Perda No.7 tahun 2006.
55
Gedung yang dirujuk Kepala Dinas dalam menerbitkan Surat Pembekuan IMB-RI
A Quo
harus dikesampingkan. Hal ini ditegaskan dengan berpedoman pada asas hukum bahwa
lex specialis derogat legi generalis
dan
lex superior derogat legi inferior.
Dengan demikian, maka Surat Kepala Dinas perihal Pembekuan Ijin tergolong sebagai batal demi hukum
van rechtswege nietig
danatau dapat dibatalkan
vernietig verklaard
. Penggugat juga berdalil bahwa karena dalam satu konsideran
“mengingat” PBM diatur rujukan kepada UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
maka penerapan PBM harus pula sesuai
comply
dengan norma-norma hukum Hak Asasi Manusia pada tingkat Nasional maupun Internasional bahwa
32
“
Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah
”. Hak Asasi Manusia, yaitu hak beragama, menurut Penggugat, termasuk hak untuk mendirikan rumah ibadat,
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana yang juga ditegaskan dalam
konsideran “menimbang” PBM. Pemerintah Indonesia, termasuk Pemerintah Daerah Kota Bogor, terikat untuk melindungi, memajukan,
menegakkan, dan memenuhinya, oleh karena Pemerintah Indonesia telah mengesahkanmeratifikasi
International Convenant on Civil and Political Rights
33
. Dengan diterbitkannya obyek gugatan tersebut, maka Penggugat merasa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk itu, Penggugat telah
mengadukan secara langsung perihal ini kepada Komnas HAM di Jakarta pada 10 Maret 2008, sebagai respons terhadap materi pengaduan tersebut, Komnas HAM
32
Pasal 8 UU No.39 tahun 1999.
33
Tahun 1966 dengan UU No.12 tahun 2005.
56
telah mengirim surat kepada Menteri Agama Republik Indonesia No. 592KPMTIV08 perihal Penolakan Pembekuan Ijin. Pada intinya Komnas
HAM meminta klarifikasi dan perkembangan mengenai permasalahan itu kepada Menteri Agama dalam waktu yang tidak terlalu lama. Surat Komnas HAM
tersebut juga ditembuskan antara lain kepada Mendagri, Walikota Bogor dan Kepala Dinas.
Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
, dalam PBM juga diatur perihal penyelesaian perselisihan.
“
Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat
34
, Selanjutnya
menurut dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dalam PBM disebutkan
,
jika musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh BupatiWalikota dibantu Kepala
Kantor Departemen Agama KabupatenKota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan
mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB KabupatenKota
35
, Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud di
atas tidak dicapai menurut dalil Penggugat, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat
36
.
Menunjuk ketentuan di atas menurut dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
, jelas bahwa bila ada pihak ketiga yang keberatan dengan diterbitkannya IMB-RI di atas, maka langkah pertama yang harus ditempuh
34
Dalam Pasal 21 Ayat 1 PBM. Lihat Uraiannya di hlm.,44, sub-judul 3.1.6. Bab III Skripsi ini, Supra.
35
Ibid ., Ayat 2.
36
Ibid., Ayat 3.
57
adalah bermusyawarah, langkah kedua adalah musyawarah dengan difasilitasi Walikota, dan langkah ketiga adalah mereka menempuh upaya hukum ke
Pengadilan. Tegasnya, bila musyawarah tidak berhasil, maka pihak ketiga yang tidak setuju dengan diterbitkannya IMB-RI seharusnya disarankan oleh tergugat
untuk menempuh upaya hukum ke Pengadilan, agar Pengadilan memutuskannya, tidak dengan cara-cara lain di luar proses hukum.
Didalilkan juga oleh Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
bahwa menurut PBM surat kepada Walikota Bogor Nomor 82MJ-GKI BgrIII2008,
perihal Tindak Lanjut Pertemuan dengan Walikota Bogor 28 Pebruari 2008, Penggugat memohon agar Walikota Bogor dapat menyelenggarakan musyawarah
antara Pengurus Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
dan pihak ketiga yang keberatan diterbitkannya IMB-RI tersebut di atas. Permohonan tersebut merujuk
pada hasil pertemuan sebelumnya, 28 Pebruari 2008 di Rumah Dinas Walikota Bogor antara Walikota Bogor dan yang bersangkutan. Menurut Penggugat, dalam
PBM
37
itu ada wewenang untuk menerbitkan IMB-RI, dan tidak diatur wewenang mencabut danatau membekukan IMB-RI, apalagi Kepala Dinas yang
melakukannya yang nota bene bukan atas nama Walikota dalam kasus pembekuan IMB-RI tersebut di atas. Hal ini cukup jelas, bukan saja karena
bentuk hukum “Pembekuan Ijin” tidak dikenal dalam PBM tersebut, tetapi juga satu-satunya proses hukum yang dapat ditempuh oleh pihak maupun untuk
membatalkan IMB-RI tersebut di atas hanyalah melalui pengadilan. Pembatalan, pencabutan, pembekuan, danatau perbuatan hukum sejenis yang dilakukan di luar
proses peradilan dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo.
37
Pasal 6 Ayat 1.
58
Oleh karena Pembekuan Ijin IMB-RI tersebut di atas dilakukan oleh pejabat danatau instansi yang tidak berwenang, dalam hal ini adalah Kepala
Dinas, maka Surat Pembekuan Ijin tersebut batal demi hukum danatau dapat dibatalkan. Penggugat merujuk hukum administrasi bahwa Surat Pembekuaan
IMB tidak memenuhi syarat formil struktur Surat Keputusan seorang Pejabat TUN. Tidak seperti halnya Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun
2006 tersebut di atas yang dilengkapi dengan konsideran Menimbang, Mengingat, Memutuskan dan Menetapkan, Surat Pembekuan IMB-RI tersebut sama sekali
tidak dilengkapi dengan Konsideran apa pun, kata Penggugat. Selanjutnya, dalam dalil yang diajukan Penggugat di Pengadilan,
Pembekuan Ijin melanggar AAUPB, yang dapat dijadikan sebagai suatu alas Gugatan yang kuat dan sah ke Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam UU
TUN
38
. Mengutip buku, Penggugat berdalil, bahwa AAUPB yang telah dilanggar oleh Kepala Dinas itu adalah
39
asas kecermatan formal. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa dalam mempersiapkan penerbitan Surat Pembekuan IMB-RI
tersebut harus dilakukan dengan sikap jujur dari instansi yang mengeluarkan Keputusan tersebut. Pada waktu mempersiapkan Surat Pembekuan IMB-RI itu,
instansi yang bersangkutan harus sudah memperoleh gambaran yang jelas mengenai semua fakta-fakta yang relevan maupun semua kepentingan yang
tersangkut, utamanya kepentingan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Asas lainya yang juga dilanggar adalah asas
fair play
. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa instansi yang mengeluarkan Surat
38
Pasal 53 Ayat 2 huruf b UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN.
39
Buku yang dimaksud oleh Penggugat di atas, ditulis oleh Indroharto, Hukum Acara PTUN, Sinar Harapan, Jakarta., 1993, hlm., 177-184.
59
Pembekuan IMB-RI itu harus bersikap tidak menghalang-halangi kesempatan pihak yang menerima IMB-RI untuk melanjutkan pembangunan rumah ibadat
yang IMB-nya telah diterbitkan sebelumnya 13 Juli 2006. Disamping itu ada pula, menurut Penggugat, asas selanjutnya yang juga dilanggar, yaitu asas
kepercayaan dan asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa apabila Badan atau Pejabat TUN telah menimbulkan
harapan-harapan dengan janji-janji, maka janji-janji semacam itu jangan diingkari baca:dibekukan
40
. Dalam asas ini ditegaskan pula bahwa kalau melakukan penolakan atas suatu permohonan dalam hal ini adalah pembekuan IMB-RI
tersebut, bila hal tersebut dilakukan hanya sekedar dengan menunjuk saja pada peraturan kebijakan yang telah dikeluarkan
41
, maka hal itu tidak dapat dibenarkan karena kurang kuat dasar hukumnya. Tak kalah penting, juga masih menurut dalil
Penggugat, terlanggarnya asas kecermatan materiil. Asas ini pada intinya menghendaki agar kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari diterbitkannya
Surat Pembekuan Ijin itu jangan sampai melampaui yang diperlukan untuk melindungi suatu kepentingan yang harus dilakukan dengan cara mengeluarkan
keputusan yang bersangkutan. Jelas bahwa Surat Pembekuan IMB-RI yang diterbitkan oleh Kepala Dinas, nyata-nyata telah menimbulkan pelanggaran hak
asasi manusia dan tergolong sebagai yang melampaui keperluan untuk melindungi suatu kepentingan tertentu yang
nota bene
patut diduga sejauh ini tidak jelas kepentingannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo
.
40
Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Janji yang tidak dapat ditarik kembali itu disebut dengan unconditional promise.
41
D
alam kasus ini adalah Pasal 15 Ayat 1 Perda No.7 tahun 2006 dan Rekomendasi No. 601389-Pem tanggal 15 Pebruari 2006.
60
Berdasarkan dalil-dalil di atas, menurut Penggugat, terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa obyek gugatan bukan saja bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
42
. Demikian, menurut Penggugat, alasan- alasan untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam UU TUN
43
telah terpenuhi. Berdasarkan dalil-dalil itu, mereka memohon kepada Majelis Hakim
PTUN yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut untuk memutuskan
44
menunda pelaksanaan Pembekuan Ijin. Sedangkan dalam Pokok Sengketa, dimohon agar Majelis Hakim mengabulkan gugatan Umat Beragama di Rumah
Ibadat
A Quo
untuk seluruhnya; menyatakan batal atau tidak sah Pembekuan Ijin; memerintahkan Kepala Dinas untuk mencabut Pembekuan Ijin dan menghukum
Kepala Dinas untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara tersebut.
3.2.3. Jawaban Kepala Dinas