T1 312010038 BAB III

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Dalam Bab ini, sesuai dengan judul di atas, diisi Penulis dengan suatu gambaran tentang hasil penelitian dan analisis. Adapun pemaparan gambaran hasil penelitian dan analisis tersebut Penulis lakukan dalam rangka untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini, seperti telah dikemukakan di dalam Bab I skripsi ini.

Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: dalam Sub Bab pertama, Penulis

uraikan isi dari PBM. Dalam Sub Bab kedua, Penulis isi dengan Putusan No.41

serta Putusan No.127. Bab ini diakhiri dengan Sub Bab ketiga, yaitu suatu analisis

tentang bagaimana keberadaan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum yang telah diproyeksikan secara teoritis dalam Bab Tinjauan Kepustakaan mengejawantah di dalam hasil penelitian yang telah dikemukakan dalam sub-sub bab sebelumnya.

3.1. Kaedah dan Asas dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM)

Perlu Penulis kemukakan bahwa PBM diawali dengan suatu uraian tentang pengertian-pengertian mengenai konsep-konsep hukum yang dipergunakan di


(2)

dalamnya1. Dalam PBM itu, dimaksudkan dengan kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik tahun 19452. Sementara itu, PBM

juga mengartikan apa yang disebut dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Menurut PBM tersebut, pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.

Dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas tersebut, Rumah Ibadat, menurut PBM adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.

Mengenai Ormas Keagamaan, dalam PBM itu juga diuraikan organisasi kemasyarakatan keagamaan (OK), adalah organisasi nonpemerintah. Menurut PBM itu, OK bervisi kebangsaan, dibentuk berdasarkan kesamaan agama, oleh warga negara RI secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Berhubungan dengan itu, PBM tersebut juga mendefinisikan Pemuka Agama (PA), yang menunjuk kepada tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin OK maupun yang tidak memimpin OK yang diakui dan atau dihormati

1

Adapun konsep-konsep hukum yang dimaksud dipaparkan mulai Pasal 1 Ayat (1) sampai (8), PBM.

2 Seperti telah Penulis kemukakan di Bab-bab sebelumnya pada Skripsi ini, penyebutan UUD 1945

sebaiknya bukan lagi UUD 1945, namun Ketetapan MPR RI tentang Perubahan UUD 1945, atau Konstitusi saja.


(3)

oleh masyarakat setempat sebagai panutan. Berkaitan dengan itu, dalam PBM juga dicantumkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), suatu forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

Sedangkan yang berhubungan dengan pembangunan rumah ibadat, PBM juga mengakui suatu Panitia Pembangunan Rumah Ibadat atau Panitia, dibentuk oleh umat beragama, OK atau pengurus rumah ibadat.

PBM juga rupanya mengaitkan pembangunan rumah ibadat dengan sistem perijinan. Menurut PBM, Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMB-RI) itu ijin yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota untuk pembangunan rumah ibadat.

3.1.1. Kewajiban Kepala Daerah dalam PBM

Kaedah yang mengatur tugas Kepala Daerah, sebagai satu dari sekian

pihak (party to contract) dalam PBM, terutama yang berkaitan erat dengan isu

skripsi dan penelitian ini, yaitu persamaan perlakuan di depan hukum bagi mereka yang hendak mengekspresikan kebebasan memeluk, beragama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing yang juga penting Penulis kemukakan di sini sebagai temuan atau hasil penelitian adalah

pemeliharaan kerukunan umat beragama3. Kewenangan Kepala Daerah tersebut

kemudian dirinci lebih jauh, yaitu, bahwa Kepala Daerah harus memastikan bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah.

3

Perhatikan kaedah hukum positif tersebut di dalam BAB II, mulai Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 PBM.


(4)

Rincian mengenai hal di atas itu, yaitu, pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur. Pelaksanaan tugas

dan kewajiban gubernur tersebut4, dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen

agama provinsi. Perlu Penulis tambahkan di sini, bahwa Kepala Kantor Departemen Agama (KKDA) adalah unsur dari Pemerintah Pusat, atau Presiden. Sehingga, tugas untuk memelihara kerukunan beragama, termasuk memastikan bahwa persamaan perlakuan mengenai hal itu dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya menjadi tanggung jawab kepala daerah, yaitu Gubenur dan Bupati atau Walikota, namun juga menjadi suatu kontrak, atau tanggung

jawab dan tugas (contractual), karena dirumuskan di dalam peraturan

perundang-udangan, sebagaimana dikemukakan di atas adalah merupakan tanggung jawab

Negara Republik Indonesia yang dikepalai Presiden5.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kabupaten/Kota menjadi tugas dan kewajiban Bupati/Walikota. Perundangan (PBM) yang menjadi satuan amatan penelitian ini juga menegaskan bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban Bupati/Walikota di atas dibantu oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Sedangkan, dalam kaitan dengan itu, rincian tugas dan

kewajiban Gubernur6 meliputi: pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban

masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi; pengkoordinasian kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat

4 Dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 3 Ayat (1) PBM. 5 Lihat Analisis di hlm., 87, Bab ini, infra.


(5)

beragama; dan membina serta mengoordinasikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama. Pelaksanaan tugas itu dapat didelegasikan kepada Wakil Gubernur.

Tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud7 meliputi:

memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di Kabupaten/Kota; mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di Kabupaten/Kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama; menerbitkan IMB-RI.

Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan di atas dapat didelegasikan kepada Wakil Bupati/Wakil Walikota. Apabila tugas-tugas berlangsung di wilayah kecamatan, maka hal itu dilimpahkan kepada camat dan di wilayah

kelurahan/desa dilimpahkan kepada lurah/kepala desa melalui camat8 meliputi:

pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi

terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan;

menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.

7

Pasal 4 PBM.


(6)

Kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas, maka tugas dan

kewajiban lurah/kepala desa9 adalah meliputi: pemeliharaan ketenteraman dan

ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kelurahan/desa; dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama.

Sampai pada uraian tentang tugas-tugas pihak-pihak (the parties to contract)

sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut Penulis, perlu dikemukakan bahwa pada prinsipnya, apabila diperhatikan dengan seksama, tugas-tugas pihak-pihak di atas hakikatnya adalah sama, tidak jauh berbeda antara tugas satu pihak-pihak dan tugas pihak lainnya, sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas; satu diantaranya adalah memastikan persamaan perlakuan di depan hukum.

3.1.2. Pihak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Masih dalam kerangka struktur Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum10,

yang di dalam setiap analisis tidak boleh melupakan identifikasi terhadap

pihak-pihak atau subyek hukum (the parties to contract), atau dalam bahasa yang lebih

teknis yuridis yaitu orang (rechtpersoon), baik itu manusia maupun badan hukum

yang mengemban hak-hak dan kewajiban, terutama dalam konteks penulisan dan penelitian ini adalah kewajiban kontraktual untuk memelihara kerukunan beragama yang perlakuannya harus taat asas atau kaedah hukum sama di hadapan

9 Ibid.

10 Gambaran tentang apa itu Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, dapat dibaca di dalam Buku

yang ditulis oleh Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.


(7)

hukum adalah, masih ada satu pihak lagi yang tidak dapat ditinggalkan memegang

tugas kontraktual dalam PBM di atas, yaitu pihak yang disebut dengan FKUB11.

Menurut PBM, FKUB dibentuk di provinsi dan Kabupaten/Kota dan dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Sifat hubungan antara pihak-pihak tersebut adalah konsultatif. Pihak yang disebut dengan FKUB provinsi, melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung aspirasi OK dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama

dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan FKUB Kabupaten/Kota12 bertugas:

melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung aspirasi OK dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan Bupati/Walikota; melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

3.1.3. Para Pihak dalam Struktur Kepengurusan FKUB menurut PBM Dalam temuan Penulis, dalam struktur FKUB itu dapat dilihat siapa saja pihak-pihak atau unsur-unsur yang merupakan keanggotaan lembaga atau subyek hukum tersebut, yaitu pemuka-pemuka agama setempat. Jumlah anggota FKUB

11 Lihat, rumusan mengenai pihak itu di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 PBM.


(8)

Provinsi paling banyak 21 orang. Sedangkan jumlah anggota FKUB, Kabupaten/Kota paling banyak 17 orang. Komposisi keanggotaan FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal satu orang dari setiap agama yang ada di Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Adapun, struktur kepengurusan FKUB, dimulai dengan kepemimpinan lembaga yaitu, yang dilakukan oleh satu orang ketua, dua orang wakil ketua, satu orang sekretaris, satu orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota. Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dewan Penasihat FKUB itu bertugas: membantu Kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Keanggotaan Dewan Penasehat FKUB Provinsi sebagaimana ditetapkan oleh Gubernur dengan susunan keanggotaan yang terdiri dari Ketua: Wakil Gubernur; sedangkan Wakil Ketuanya adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi; Sekretaris: Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi; Anggota: pimpinan instansi terkait. Sedangkan Dewan Penasehat FKUB Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan susunan keanggotaan yang terdiri dari Ketua yaitu Wakil Bupati/Wakil

Walikota; Wakil Ketua adalah Kepala Kantor Departemen Agama

Kabupaten/Kota, sedangkan Sekretaris adalah Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten/Kota dan Anggota merupakan pimpinan instansi terkait. Gubernur, lebih lanjut mengatur melalui Peraturan Gubernur mengenai FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Provinsi Dan Kabupaten/Kota.


(9)

3.1.4. Pengaturan tentang Pendirian Rumah Ibadat

Berikut, gambaran public policy Indonesia mengenai Pendirian Rumah

Ibadat, suatu aspek yang menjadi konsen dari penelitian dan penulisan karya tulis

kesarjanaan ini13. Menurut perumus PBM, yang juga hal ini sudah barang tentu

harus dilihat sebagai keinginan (political will) dari pembuat policy tersebut, dalam

hal ini pihak Pemerintah Republik Indonesia adalah bahwa pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh, berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadat yang demikian itu dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. Pembuat PBM juga menyatakan bahwa dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah Kecamatan atau Kabupaten/ Kota atau Provinsi.

Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung, dan memenuhi persyaratan khusus yang meliputi: daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit sembilan puluh orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah; dukungan masyarakat setempat paling sedikit enam puluh orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan rekomendasi tertulis FKUB


(10)

Kabupaten/Kota. Dalam hal persyaratan di atas14 terpenuhi sedangkan persyaratan huruf (b) belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi

tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Rekomendasi FKUB15 merupakan

hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

Permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB-RI dari Bupati/Walikota dan keputusan diberikan paling lambat 90 hari sejak permohonan diajukan. Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

3.1.5. Aspek Perijinan Pemanfaatan Bangunan Gedung Menurut PBM Mengenai perijinan, dalam hal ini perijinan berupa ijin Sementara

Pemanfaatan Bangunan Gedung16, di dalam PBM dirumuskan bahwa

pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian ijin sementara dari Bupati/Walikota dengan memenuhi persyaratan: laik fungsi; dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Persyaratan laik fungsi mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.

14

Ayat (2) huruf (a) PBM. 15

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) huruf (d) PBM.


(11)

Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat itu meliputi: Ijin tertulis pemilik bangunan; rekomendasi tertulis lurah/kepala desa; pelaporan tertulis kepada FKUB Kabupaten/Kota; dan pelaporan tertulis kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.

Surat keterangan pemberian ijin sementara pemanfaatan bangunan-gedung bukan rumah ibadat oleh Bupati/Walikota dimaksud diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota. Surat keterangan pemberian ijin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat dimaksud berlaku paling lama dua tahun. Penerbitan surat keterangan pemberian ijin sementara dapat dilimpahkan kepada camat. Penerbitan surat keterangan pemberian ijin sementara dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota.

3.1.6. Penyelesaian Perselisihan Menurut PBM

Mengenai penyelesaian perselisihan17 akibat pendirian rumah ibadat

diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat. Dalam hal

musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh

Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB Kabupaten/Kota. Apabila penyelesaian perselisihan musyawarah pada tahap kedua itu tidak dicapai, maka


(12)

penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat. Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan.

Dalam kaitan dengan itu, mengenai pengawasan dan penolakan, Gubernur dibantu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi melakukan pengawasan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat. Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap Camat dan Lurah/Kepala Desa serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat.

Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Bupati/Walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota kepada gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Laporan disampaikan setiap enam bulan pada bulan Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.

Mengenai belanja pembinaan dan pengawasan yaitu sebagai terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara nasional didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.


(13)

Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di Provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di Kabupaten/Kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam bagian Penutup, di dalam PBM dicantumkan pengaturan bahwa FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di Provinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk paling lambat satu tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan. FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di Provinsi dan Kabupaten/Kota disesuaikan paling lambat satu tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.

Menyangkut ijin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama, dinyatakan sah dan tetap berlaku. Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB sepanjang tidak terjadi pemindahan lokasi. Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau merniliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama, Bupati/Walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat

dimaksud.18

18

Suatu Prinsip hukum mengatur Public Policy bahwa sesuatu yang telah ada sebelumnya namun belum ada IMB, dibantu pemerintah supaya “dipulihkan” diberikan IMB. Aturan yang datang


(14)

Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama itu paling lambat dalam jangka waktu dua tahun. Pada saat berlakunya Peraturan Bersama, ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. PBM mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

3.2. Pendirian Rumah Ibadat dalam Putusan Pengadilan

Menyusul gambaran hasil penelitian tentang PBM sebagaimana telah dikemukakan di atas, berikut di bawah ini secara berturut-turut dikemukakan gambaran hasil penelitian tentang putusan pengadilan, yang terdiri dari Putusan

No.41/G/2008/PTUN-BDG19 dan Putusan No.127 PK/TUN/200920. Putusan 41

adalah Putusan dimana gambaran tentang bagaimana persamaan perlakuan di depan hukum, khususnya perlakuan terhadap golongan minoritas dalam mendirikan rumah ibadat di Negara Hukum Kesatuan Republik Indonesia sedangkan uraian selanjutnya tentang putusan pengadilan adalah Putusan 127 berisi upaya Kasasi ke MA, dimana aspek perlakuan yang sama di hadapan hukum juga dapat dilihat gambarannya secara langsung.

belakangan tidak serta-merta diinterpretasi membongkar bangunan yang belum berijin sebelumnya.

19 Untuk selanjutnya disingkat dengan Putusan 41. 20


(15)

3.2.1. Pihak-Pihak dalam Putusan 41

Pada Putusan 41, terlibat dua pihak yang bersengketa, yaitu antara Kepala

Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor21 sebagai Tergugat melawan Umat

Beragama di Rumah Ibadat A Quo22 sebagai Penggugat. Kedua belah pihak itu

bersengketa mengenai (obyek) berupa Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Ijin

tertanggal 14 Pebruari 200823. Ijin yang dibekukan adalah surat Ijin mendirikan

bangunan kepada Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo oleh Walikota yaitu

dengan diterbitkannya Surat Keputusan Walikota Bogor No.645.8-372 tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan.

Pembekuan Ijin itu Obyek gugatan,24 Sebab sebagaimana dijelaskan;

“Keputusan Tata Usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, bersifat Konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”.

Pembekuan Ijin memenuhi syarat obyek gugatan yaitu sebagai suatu penetapan tertulis yang diberikan dari Kepala Dinas kepada Umat Beragama di

21 Selanjutnya, dalam skripsi ini pihak tersebut namanya disingkat seperti mulai disingkat dalam

Bab 1 skripsi ini, yaitu Kepala Dinas, Lihat catatan kaki No.27 pada BAB I, Supra.

22 Selanjutnya Pihak Penggugat itu dalam skripsi ini disingkat dengan Umat Beragama di Rumah

Ibadat A Quo, menyesuaikan dengan hlm.,12, skripsi ini, Supra.

23 Selanjutnya disingkat dengan Pembekuan Ijin.

24

Sesuai Pasal 1 Angka (3) UU No.5 tahun 1986 jo. UU No.9 tahun 2004, selanjutnya disingkat dengan UU TUN.


(16)

Rumah Ibadat A Quo; dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara25 yang memiliki kewenangan dan jabatannya, berisi tindakan hukum yang dalam hal ini adalah tindakan membekukan IMB-RI. Disamping itu, obyek gugatan bersifat

konkret, individual, dan final, yaitu yang tertuang dalam bentuk surat,26 diberikan

tidak kepada umum, tetapi kepada subyek hukum tertentu, yaitu Umat Beragama

di Rumah Ibadat A Quo. Pembekuan Ijin itu telah definitif, telah menimbulkan

akibat hukum berupa hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan. Obyek gugatan juga bersifat konkret, mengingat obyek yang diatur dalam Keputusan

Tata Usaha Negara27. Obyek juga bersifat individual mengingat KTUN itu

ditujukan kepada Penggugat. Obyek bersifat final, sebab KTUN itu telah berlaku

definitif yaitu Pembekuan Ijin mendirikan bangunan Rumah Ibadat A Quo,

menimbulkan akibat hukum.

3.2.2. Dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dengan dikeluakannya

Pembekuan Ijin itu, pembangunan tempat ibadat yang dibutuhkan untuk

menjalankan ibadat menurut keyakinan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

menjadi terhenti sama sekali. Sehingga, menurut Umat Beragama di Rumah

Ibadat A Quo, kepentingan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, sangat

dirugikan. Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo juga mendalilkan bahwa

mereka telah melakukan banyak persiapan untuk mengadakan pembangunan

Rumah Ibadat A Quo. Maksudnya, mereka telah mengadakan beberapa perjanjian

25 Selanjutnya disingkat Pejabat TUN.

26 No. 503/208-DTKP perihal Pembekuan Ijin tertanggal 14 Pebruari 2008.


(17)

kerjasama dengan pihak ketiga yang akan melakukan pembangunan, membeli material/bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan dalam pembangunan. Itulah

sebabnya, menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Pembekuan Ijin

merugikan mereka. Karena, Kepala Dinas mengeluarkan obyek sengketa secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, padahal Kepala Dinas seharusnya konsisten mempertahankan dan melaksanakan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun 2006, 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, bukan

malah membekukannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.

Mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan, Umat Beragama di Rumah

Ibadat A Quo berdalil bahwa berdasarkan UU TUN28 telah dinyatakan “Gugatan

dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat TUN”. Mereka telah menerima Pembekuan Ijin 14 Pebruari 2008, sehingga gugatan itu

menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo masih berada dalam tenggang

waktu yang ditentukan.

Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo sempat mengajukan permohonan

kepada Pengadilan, yaitu mengingat adanya keadaan yang sangat mendesak, agar dapat dilakukan pembangunan dan kebutuhan mendesak tempat ibadat serta untuk mencegah mereka semakin dirugikan, maka berdasarkan Pasal 67 Ayat (2) UU

No. 5 tahun 1986 juncto UU No. 9 tahun 2004 yang menyatakan: “Para

Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berlangsung sampai ada Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Umat Beragama di


(18)

Rumah Ibadat A Quo memohon kepada Majelis Hakim PTUN Bandung untuk menunda pelaksanaan obyek gugatan.

Sementara itu, dalam pokok sengketa, Umat Beragama di Rumah Ibadat A

Quo berdalil bahwa Bangunan Rumah Ibadat A Quo telah memperoleh Surat

Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan. Namun, menurut unsur Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, mereka telah menerima surat Kepala Dinas perihal Pembekuan Ijin dan telah menanggapi diterbitkannya surat Kepala Dinas tersebut, Umat Beragama di

Rumah Ibadat A Quo telah mengirim surat kepada Walikota, perihal keberatan

dan penolakan atas Pembekuan Ijin yang diterbitkan Kepala Dinas, Kepala Badan Pengawasan Daerah Kota Bogor, Kepala Bagian Hukum Setdakot Bogor, Kepala Kantor Sat. Pol P.P. Kota Bogor dan Forum PA dan Ormas Agama tertentu se kota setempat.

Menurut Penggugat, dalam rangka memperoleh Surat Keputusan Walikota tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, mereka telah menempuh proses yang cukup lama dan bertahap serta telah memenuhi

persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam SKB29. Pada 10 Maret 2002,

penduduk di sekitar tanah milik Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, seluas

1.721 yang terletak di Taman Yasmin Sektor III Kavling 31 Jalan Ring Road,

Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, telah menandatangani Surat Pernyataan yang pada intinya sebanyak 170 orang tidak

keberatan jika di atas sebidang tanah tersebut dibangun sebuah Rumah Ibadat A

Quo. Penggugat juga mendalilkan bahwa 1 Maret 2003 telah berlangsung

musyawarah yang dihadiri 127 orang pemuda Curug Mekar dengan Panitia

29


(19)

Pembangunan Rumah Ibadat A Quo dan dari unsur Umat Beragama di Rumah

Ibadat A Quo. Hasil musyawarah tersebut dituliskan dalam bentuk berita acara

yang ditandatangani Ketua Forum Pemuda Curug Mekar dan Penasehat Forum Pemuda Curug Mekar yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas

sebidang tanah tersebut dibangun Rumah Ibadat A Quo. Pada 8 Januari 2006

sebanyak 42 warga masyarakat Curug Mekar menandatangani Surat Pernyataan yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas sebidang tanah tersebut

dibangun Rumah Ibadat A Quo. Pada 12 Januari 2006 juga telah berlangsung

sosialisasi rencana pembangunan gedung Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh

71 orang penduduk setempat atas nama masyarakat RW. I, II, III, IV dan VI kelurahan Curug Mekar yang terdiri dari para ketua RW, Ketua RT, Pengurus DKM dan Tokoh Masyarakat. Setelah mendengarkan penjelasan yang

disampaikan oleh Panitia Pembangunan gedung Rumah Ibadat A Quo, mereka

menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan menyatakan tidak keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan

masing-masing, serta meminta dalam pelaksanaan pembangunan dan

operasionalnya agar menyerap tenaga kerja yang ada di wilayah kelurahan Curug Mekar. Surat Pernyataan itu diberikan kepada tergugat. Surat pernyataan itu juga diketahui oleh Ketua LPM Kelurahan Curug Mekar dan Lurah Curug Mekar. Pada 14 Januari 2006, setelah mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Kepala Kelurahan dan ketua LPM Kelurahan Curug Mekar tentang adanya rencana

pembangunan Rumah Ibadat A Quo di atas tanah tersebut sebanyak 25 orang

Tokoh Masyarakat kelurahan Curug Mekar telah menandatangani Surat Keterangan yang pada intinya mereka memaklumi dan tidak keberatan akan


(20)

rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Surat pernyataan juga ditandatangani oleh ketua LPM dan Lurah Curug Mekar. Pada 15 Januari 2006, juga telah berlangsung sosialisasi rencana pembangunan

Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh 40 orang warga masyarakat Perumahan

Taman Yasmin Sektor III RW.VIII Kelurahan Curug Mekar. Setelah mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Panitia Pembangunan Rumah

Ibadat A Quo, mereka menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan

menyatakan tidak keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Surat Pernyataan itu diketahui oleh Ketua RW. VIII, Ketua dan Lurah Curug Mekar. Pada 3 Maret 2006, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor juga telah menerbitkan Saran Teknis Nomor 660.1/144/DLHK a.n. Umat Beragama dalam rumpun Agama yang

sama dengan Umat Rumah Ibadat A Quo Jabar, Jalan Pengadilan No.35 Bogor

sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah Ibadat A Quo tersebut di atas.

Pada 14 Maret 2006, Kantor Pertanahan Kota Bogor juga telah menerbitkan Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan Tanah No. 460/20/PTPGT-SP/2006 atas nama Perkumpulan Umat Beragama

yang sama dengan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Jabar sehubungan

dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 15 Maret 2006, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor juga telah menerbitkan Penilaian Saran

Teknis Lalu Lintas No. 503/262-DLLAJ kepada Pihak atas nama Rumah Ibadat A

Quo sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 12 April


(21)

Ijin Pembuatan Jalan Masuk No. 503/238/018-BINA kepada Pihak atas nama Perkumpulan Umat Beragama yang serumpun dengan umat beragama di Rumah

Ibadat A Quo sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 17

April 2006, Kepala Dinas Bina Marga juga telah menerbitkan Surat No.

610/319/018-BIMA perihal saran teknis sehubungan dengan rencana

pembangunan tersebut di atas. Pada 30 Mei 2006, Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor juga telah menerbitkan Pengesahan Site Plan Pembangunan tersebut di atas No. 645.8/705-DTKP kepada GKI Jabar Jalan Pengadilan No. 35 Bogor sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah

Ibadat A Quo.

Penggugat juga mendalilkan bahwa setelah memeriksa seluruh persyaratan tersebut di atas, Walikota Bogor memutuskan untuk memberikan IMB yang dimohonkan dengan menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun 2006 13 Juli 2006. Surat keputusan tersebut atas nama Walikota, ditandatangani oleh Kepala Dinas. Kemudian, Penggugat juga mendalilkan, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan PBM dimana seperti telah dikemukaan

dalam uraian hasil penelitian yang pertama di atas.30 PBM tersebut, menurut dalil

Penggugat, dengan jelas ditegaskan bahwa “peraturan perundang-undangan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah Daerah Wajib disesuaikan dengan PBM paling lambat dalam jangka waktu dua tahun”.

Menurut Penggugat, ketentuan tersebut menegaskan bahwa PBM

tergolong sebagai lex specialis. Oleh karena itu, ketentuan31 tentang Bangunan

30

Pasal 29 PBM.

31


(22)

Gedung yang dirujuk Kepala Dinas dalam menerbitkan Surat Pembekuan IMB-RI A Quo harus dikesampingkan. Hal ini ditegaskan dengan berpedoman pada asas

hukum bahwa lex specialis derogat legi generalis dan lex superior derogat legi

inferior. Dengan demikian, maka Surat Kepala Dinas perihal Pembekuan Ijin

tergolong sebagai batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan/atau dapat

dibatalkan (vernietig verklaard).

Penggugat juga berdalil bahwa karena dalam satu konsideran “mengingat”

PBM diatur rujukan kepada UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

maka penerapan PBM harus pula sesuai (comply) dengan norma-norma hukum

Hak Asasi Manusia pada tingkat Nasional maupun Internasional bahwa32

“Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah”. Hak Asasi Manusia, yaitu hak beragama, menurut Penggugat, termasuk hak untuk mendirikan rumah ibadat, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana yang juga ditegaskan

dalam konsideran “menimbang” PBM. Pemerintah Indonesia, termasuk

Pemerintah Daerah Kota Bogor, terikat untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya, oleh karena Pemerintah Indonesia telah

mengesahkan/meratifikasi International Convenant on Civil and Political

Rights33. Dengan diterbitkannya obyek gugatan tersebut, maka Penggugat merasa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk itu, Penggugat telah mengadukan secara langsung perihal ini kepada Komnas HAM di Jakarta pada 10 Maret 2008, sebagai respons terhadap materi pengaduan tersebut, Komnas HAM

32

Pasal 8 UU No.39 tahun 1999.

33


(23)

telah mengirim surat kepada Menteri Agama Republik Indonesia No. 592/K/PMT/IV/08 perihal Penolakan Pembekuan Ijin. Pada intinya Komnas HAM meminta klarifikasi dan perkembangan mengenai permasalahan itu kepada Menteri Agama dalam waktu yang tidak terlalu lama. Surat Komnas HAM tersebut juga ditembuskan antara lain kepada Mendagri, Walikota Bogor dan Kepala Dinas.

Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dalam PBM juga diatur

perihal penyelesaian perselisihan.

“Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat34, Selanjutnya menurut dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dalam PBM disebutkan, jika musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB Kabupaten/Kota35, Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud di atas tidak dicapai menurut dalil Penggugat, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat36.

Menunjuk ketentuan di atas menurut dalil Umat Beragama di Rumah

Ibadat A Quo, jelas bahwa bila ada pihak ketiga yang keberatan dengan

diterbitkannya IMB-RI di atas, maka langkah pertama yang harus ditempuh

34 Dalam Pasal 21 Ayat (1) PBM. Lihat Uraiannya di hlm.,44, sub-judul 3.1.6. Bab III Skripsi ini,

Supra.

35

Ibid., Ayat (2).

36


(24)

adalah bermusyawarah, langkah kedua adalah musyawarah dengan difasilitasi Walikota, dan langkah ketiga adalah mereka menempuh upaya hukum ke Pengadilan. Tegasnya, bila musyawarah tidak berhasil, maka pihak ketiga yang tidak setuju dengan diterbitkannya IMB-RI seharusnya disarankan oleh tergugat untuk menempuh upaya hukum ke Pengadilan, agar Pengadilan memutuskannya, tidak dengan cara-cara lain di luar proses hukum.

Didalilkan juga oleh Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo bahwa

menurut PBM surat kepada Walikota Bogor Nomor 82/MJ-GKI Bgr/III/2008, perihal Tindak Lanjut Pertemuan dengan Walikota Bogor 28 Pebruari 2008, Penggugat memohon agar Walikota Bogor dapat menyelenggarakan musyawarah

antara Pengurus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dan pihak ketiga yang

keberatan diterbitkannya IMB-RI tersebut di atas. Permohonan tersebut merujuk pada hasil pertemuan sebelumnya, 28 Pebruari 2008 di Rumah Dinas Walikota Bogor antara Walikota Bogor dan yang bersangkutan. Menurut Penggugat, dalam

PBM37 itu ada wewenang untuk menerbitkan IMB-RI, dan tidak diatur wewenang

mencabut dan/atau membekukan IMB-RI, apalagi Kepala Dinas yang melakukannya yang nota bene bukan atas nama Walikota (dalam kasus pembekuan IMB-RI tersebut di atas). Hal ini cukup jelas, bukan saja karena bentuk hukum “Pembekuan Ijin” tidak dikenal dalam PBM tersebut, tetapi juga satu-satunya proses hukum yang dapat ditempuh oleh pihak maupun untuk membatalkan IMB-RI tersebut di atas hanyalah melalui pengadilan. Pembatalan, pencabutan, pembekuan, dan/atau perbuatan hukum sejenis yang dilakukan di luar proses peradilan dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum, demikian

dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.


(25)

Oleh karena Pembekuan Ijin IMB-RI tersebut di atas dilakukan oleh pejabat dan/atau instansi yang tidak berwenang, dalam hal ini adalah Kepala Dinas, maka Surat Pembekuan Ijin tersebut batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan. Penggugat merujuk hukum administrasi bahwa Surat Pembekuaan IMB tidak memenuhi syarat formil struktur Surat Keputusan seorang Pejabat TUN. Tidak seperti halnya Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun 2006 tersebut di atas yang dilengkapi dengan konsideran Menimbang, Mengingat, Memutuskan dan Menetapkan, Surat Pembekuan IMB-RI tersebut sama sekali tidak dilengkapi dengan Konsideran apa pun, kata Penggugat.

Selanjutnya, dalam dalil yang diajukan Penggugat di Pengadilan, Pembekuan Ijin melanggar AAUPB, yang dapat dijadikan sebagai suatu alas Gugatan yang kuat dan sah ke Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam UU

TUN38. Mengutip buku, Penggugat berdalil, bahwa AAUPB yang telah dilanggar

oleh Kepala Dinas itu adalah39 asas kecermatan formal. Asas ini pada intinya

menegaskan bahwa dalam mempersiapkan penerbitan Surat Pembekuan IMB-RI tersebut harus dilakukan dengan sikap jujur dari instansi yang mengeluarkan Keputusan tersebut. Pada waktu mempersiapkan Surat Pembekuan IMB-RI itu, instansi yang bersangkutan harus sudah memperoleh gambaran yang jelas mengenai semua fakta-fakta yang relevan maupun semua kepentingan yang tersangkut, utamanya kepentingan perlindungan, pemajuan, penegakan dan

pemenuhan hak asasi manusia. Asas lainya yang juga dilanggar adalah asas fair

play. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa instansi yang mengeluarkan Surat

38 Pasal 53 Ayat (2) huruf (b) UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986

tentang PTUN.

39

Buku yang dimaksud oleh Penggugat di atas, ditulis oleh Indroharto, Hukum Acara PTUN, Sinar Harapan, Jakarta., 1993, hlm., 177-184.


(26)

Pembekuan IMB-RI itu harus bersikap tidak menghalang-halangi kesempatan pihak yang menerima IMB-RI untuk melanjutkan pembangunan rumah ibadat yang IMB-nya telah diterbitkan sebelumnya (13 Juli 2006). Disamping itu ada pula, menurut Penggugat, asas selanjutnya yang juga dilanggar, yaitu asas kepercayaan dan asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa apabila Badan atau Pejabat TUN telah menimbulkan harapan-harapan dengan janji-janji, maka janji-janji semacam itu jangan diingkari

(baca:dibekukan)40. Dalam asas ini ditegaskan pula bahwa kalau melakukan

penolakan atas suatu permohonan (dalam hal ini adalah pembekuan IMB-RI) tersebut, bila hal tersebut dilakukan hanya sekedar dengan menunjuk saja pada

peraturan kebijakan yang telah dikeluarkan41, maka hal itu tidak dapat dibenarkan

karena kurang kuat dasar hukumnya. Tak kalah penting, juga masih menurut dalil Penggugat, terlanggarnya asas kecermatan materiil. Asas ini pada intinya menghendaki agar kerugian yang ditimbulkan (sebagai akibat dari diterbitkannya Surat Pembekuan Ijin) itu jangan sampai melampaui yang diperlukan untuk melindungi suatu kepentingan yang harus dilakukan dengan cara mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Jelas bahwa Surat Pembekuan IMB-RI yang diterbitkan oleh Kepala Dinas, nyata-nyata telah menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia dan tergolong sebagai yang melampaui keperluan untuk melindungi

suatu kepentingan tertentu yang nota bene patut diduga sejauh ini tidak jelas

kepentingannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.

40

Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Janji yang tidak dapat ditarik kembali itu disebut dengan unconditional promise.

41

Dalam kasus ini adalah Pasal 15 Ayat (1) Perda No.7 tahun 2006 dan Rekomendasi No. 601/389-Pem tanggal 15 Pebruari 2006.


(27)

Berdasarkan dalil-dalil di atas, menurut Penggugat, terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa obyek gugatan bukan saja bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku42. Demikian, menurut Penggugat,

alasan-alasan untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam UU TUN43 telah

terpenuhi. Berdasarkan dalil-dalil itu, mereka memohon kepada Majelis Hakim

PTUN yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut untuk memutuskan44

menunda pelaksanaan Pembekuan Ijin. Sedangkan dalam Pokok Sengketa, dimohon agar Majelis Hakim mengabulkan gugatan Umat Beragama di Rumah

Ibadat A Quo untuk seluruhnya; menyatakan batal atau tidak sah Pembekuan Ijin;

memerintahkan Kepala Dinas untuk mencabut Pembekuan Ijin dan menghukum Kepala Dinas untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara tersebut.

3.2.3. Jawaban Kepala Dinas

Dalam Eksepsi, Kepala Dinas telah mengajukan sejumlah sanggahan kepada dalil-dalil yang diajukan pihak Penggugat, sebagaimana telah Penulis

kemukakan di atas. Menurut Kepala Dinas, ada disqualificatoir exceptie,

mengingat gugatan ditandatangani dan diajukan oleh pihak yang tidak mempunyai

wewenang (legitima persona in standi judicio) untuk bertindak sebagai kuasa para

penggugat. Menurut Kepala Dinas, dalam surat gugatan Penggugat tertanggal 7

Mei 2008, pada halaman pertama paragraf terakhir dinyatakan bahwa: “Para

Penggugat dengan ini memberikan surat kuasa khusus tanggal 6 Mei 2008 kepada empat orang.” Menurut Kepala Dinas, dengan adanya pernyataan “memberikan

42 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta PBM atau Peraturan Bersama Menteri

Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006/No. 8 tahun 2006.

43 Pasal 53 Ayat (2) huruf (a) dan (b) UU No. 9 tahun 2004.


(28)

Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2008” kepada empat orang yang menandatangani surat gugatan tertanggal 7 Mei 2008 tersebut, maka jelaslah

bahwa yang diberikan oleh Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo kepada

empat orang tersebut adalah benda (zaak) berupa kertas45, yaitu Surat Kuasa

tertanggal 6 Mei 2008, bukan kuasa/kewenangan (lastgeving) untuk bertindak.

Sehingga dengan demikian, menurut Kepala Dinas, antara Para Penggugat dan empat orang tersebut tidaklah terjadi perbuatan hukum pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 KUHPerdata diatur bahwa:

“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan” .

Menurut Kepala Dinas, dalam rumusan ketentuan undang-undang46 di atas

itu jelas diatur bahwa Perjanjian Kuasa itu perbuatan pemberian Kuasa, bukan pemberian benda berupa Surat Kuasa. Dengan kata lain, secara hukum pemberian benda berupa kertas Surat Kuasa tidaklah berarti atau identik dengan pemberian kuasa, melainkan hanya semata-mata pemberian Surat, bukan pemberian hak atau wewenang.

Menurut Kepala Dinas, bahwa di dalam surat gugatan tertanggal 7 Mei

2008 pada halaman pertama paragraf terakhir dinyatakan “Para Penggugat

dengan ini memberikan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2008...”, tidak ada

45

Mungkin, apakah Kepala Dinas menganggap bahwa Kertas yang dimaksudkan itu hanya toilet paper? Menerima kuasa di “Kepala” Kepala Dinas dan menerima kuasa di “kepala” para penerima kuasa tidak ada persamaan perlakuan? Sikap para Hakim mengenai hal ini dapat dilihat pada hlm., 76-77, infra.


(29)

dalam bagian selanjutnya penjelasan kedudukan hukum empat orang yang menandatangani Surat Gugatan tersebut, sebagai kuasa dari wakil Umat Beragama

di Rumah Ibadat A Quo dalam menandatangani dan mengajukan surat gugatan

tersebut. Dengan demikian, menurut Kepala Dinas, Surat Gugatan tersebut semata-mata penuturan bahwa orang dengan nama tertentu hanyalah memberikan Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008 kepada empat orang lainnya yang menandatangani Surat Gugatan tersebut, bukanlah menyatakan diwakili oleh empat orang tersebut. Sekalipun Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008 tersebut ada dan dilampirkan, Surat Kuasa tersebut tidaklah digunakan sebagai dasar kewenangan bagi empat orang tersebut untuk bertindak atas nama dan

mewakili orang-orang, wakil dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam

mengajukan dan menandatangani surat gugatan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka yang seharusnya menandatangani dan mengajukan surat gugatan tertanggal

7 Mei 2008 tersebut adalah wakil dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

bukan empat orang di atas, karena dalam perkara itu yang terjadi adalah

pemberian benda47 in casu Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008. Menurut

Kepala Dinas, Surat Kuasa tersebut telah tidak digunakan sebagai dasar kewenangan bagi empat orang untuk menandatangani dan mengajukan Surat Gugatan tertanggal 7 Mei 2008, yang seharusnya ditandatangani dan diajukan

oleh Wakil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo maka Surat Gugatan

tertanggal 7 Mei 2008 tersebut telah ditandatangani dan diajukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan untuk itu, oleh karenanya, menurut

47

Menyedihkan, aparat Pertahanan Sipil, membangun suatu argumentasi yang cenderung menyepelekan instrumen-instrumen catatan Sipil di atas kertas, kalau benar mereka sama-sekali tidak mengerti ada kuasa di benda/kertas itu.


(30)

hukum gugatan tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Menyangkut exceptie obscur libell, Kepala Dinas mengatakan bahwa

pihak yang mengajukan gugatan adalah tidak jelas. Menurut Kepala Dinas, dalam surat gugatan tertanggal 7 Mei 2008 dinyatakan bahwa sejumlah Wakil Umat

Beragama di Rumah Ibadat A Quo adalah disebut Para Penggugat. Dengan

menyebutkan diri mereka sebagai „Para‟ Penggugat, bukan Penggugat, maka pihak yang menggugat dalam perkara tersebut lebih dari satu subyek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. Dengan demikian oleh karena hal tersebut, surat gugatan menjadi tidak jelas atau malah kontradiktif karena disebutkan bahwa Para Penggugat mengajukan gugatan betindak dalam kedudukan dan jabatannya masing-masing.

Hal ini berarti bahwa ada tiga orang mengajukan gugatan bertindak dalam kapasitasnya selaku organ dari satu subyek hukum, yaitu Umat Beragama di

Rumah Ibadat A Quo. Akibatnya, gugatan tersebut sangat tidak jelas siapa

Penggugatnya, apakah tiga orang sebagai tiga subyek hukum yang masing-masing berdiri sendiri di antara mereka yang bertindak secara bersamaan sehingga mereka menyebutkan diri mereka sebagai Para Penggugat, ataukah Umat Beragama di

Rumah Ibadat A Quo sebagai satu subyek hukum yang diwakili oleh tiga orang

tersebut sebagai organ dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Dengan

tidak jelasnya siapa Penggugat dalam gugatan perkara tersebut, maka, menurut Kepala Dinas, dalam perkara tersebut menjadi tidak jelas pula kepentingan pihak

mana yang dirugikan oleh Tergugat: Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

ataukah Para Penggugat? Apabila tiga wakil yang mengajukan gugatan mewakili


(31)

mereka menyebutkan diri mereka sebagai Para Penggugat? Oleh karena gugatan

tersebut diajukan oleh pihak yang subyek hukumnya tidak jelas (obscuur libel),

maka, menurut Kepala Dinas, menurut hukum gugatan tersebut haruslah

dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Sedangkan jawaban mengenai tidak ada kualifikasi perbuatan melawan

hukum yang dilakukan tergugat (onrechtmatige overheids daad), Kepala Dinas

menegaskan bahwa dalam surat gugatan tidak disebutkan kualifikasi tentang

perbuatan Kepala Dinas dalam menerbitkan objek gugatan.48 Obyek gugatan di

PTUN adalah Keputusan TUN yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau bertentangan dengan AAUPB, yang disebut

dengan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige overheids

daad). Suatu Keputusan TUN yang dinyatakan batal atau tidak sah adalah sebagai

akibat hukum dari Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige

overheids daad) yang dilakukan Pejabat TUN yang mengeluarkan suatu keputusan. Sementara, menurut Kepala Dinas, dalam surat gugatan tertanggal 7 Mei 2008 itu baik dalam posita maupun dalam petitum tidak tercantum kualifikasi yang menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Penguasa (onrechtmatige overheids daad) sebagai dasar untuk menuntut obyek

gugatan dinyatakan batal atau tidak sah, oleh karenanya menurut hukum gugatan

tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Berdasarkan Eksepsi: disqualificatoir exceptie; exceptie obscuur libel; dan

tidak ada kualifikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat, maka

48

Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) UU No. 9 tahun 2004 juncto UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN.


(32)

menurut Kepala Dinas, adalah beralasan menurut hukum gugatan tersebut

haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

Menanggapi dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam

Penundaan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, Kepala Dinas menegaskan bahwa permohonan penundaan tersebut haruslah ditolak oleh karena gugatan ditandatangani dan diajukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan untuk bertindak. Tidak terdapat keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan penundaan pelaksanaan Surat Tergugat Nomor

503/208-DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal Pembekuan Ijin49. Apabila

dikabulkan, menurut Kepala Dinas, maka dapat menimbulkan keresahan di masyarakat sebagaimana disampaikan oleh warga RT 06, RT 08/RW 08 Curug

Mekar, Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan Rumah Ibadat A Quo) dan

Pihak Ketiga.

Sedangkan menjawab dalil lainnya dalam pokok perkara, Kepala Dinas mengatakan bahwa seluruh dalil yang telah Tergugat kemukakan Dalam Eksepsi mohon dianggap termuat dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan bagian dalam Pokok Perkara. Kepala Dinas juga mengatakan bahwa ia menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Para Penggugat dalam Gugatan kecuali yang diakui secara tegas oleh Tergugat. Surat Tergugat No. 503/208-DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal Pembekuan Ijin telah diterbitkan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku50, yang berbunyi: “Ijin yang

49

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) UU No.5 tahun 1986 juncto UU No. 9 tahun 2004 tentang PTUN.

50

Peraturan Daerah Kota Bogor (Perda) No. 7 tahun 2006 tentang Bangunan Gedung Pasal 15 Ayat (1).


(33)

telah diterbitkan dapat dibekukan apabila ternyata terdapat pengaduan pihak ketiga, atau pelanggaran, atau kesalahan teknis dalam mendirikan bangunan”.

Jawaban lain dari Kepala Dinas adalah, sebelum menerbitkan objek gugatan, Tergugat telah beberapa kali menerima pengaduan dari warga RT.06, RT.08 RW.08 Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan

Rumah Ibadat A Quo), dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu se-Kota Bogor

yang menyampaikan bahwa pembangunan Rumah Ibadat A Quo yang terletak di

Jl.K.H. Abdullah bin Nuh No. 31 Bogor telah menimbulkan keresahan masyarakat. Menurut Kepala Dinas secara resmi warga RT.06, RT.08 RW.08

Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan Rumah Ibadat A

Quo), dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu se-Kota Bogor tersebut

menyampaikan pengaduannya melalui Surat tertanggal 1 Oktober 2006.

Berdasarkan ketentuan 51 dengan adanya pengaduan dari masyarakat, dalam hal

ini warga RT. 06 RT.08 RW.08 Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi

Pembangunan Rumah Ibadat A Quo) dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu

se-Kota Bogor, Tergugat menerbitkan objek gugatan untuk membekukan IMB-RI A Quo. Dengan demikian, objek gugatan tersebut adalah sah karena telah diterbitkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Kepala Dinas menolak dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa PBM hanyalah bersifat pedoman bagi pembangunan rumah ibadat. Namun dalam

pelaksanaannya, tetaplah bagi Tergugat yang menjadi dasar hukum adalah Perda52

tersebut untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap semua bangunan yang berada di wilayah Kota Bogor demi ketertiban umum masyarakat, dengan

51

Perda No. 7 tahun 2006 Pasal 15 Ayat (1).

52


(34)

demikian, objek gugatan tersebut adalah sah karena telah diterbitkan sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku53. Berdasarkan Perda tersebut, maka

tindakan untuk „membekukan‟ suatu Ijin Mendirikan Bangunan masih tetap valid dan berlaku untuk kepentingan masyarakat di wilayah Kota Bogor. Oleh karenanya, menurut Kepala Dinas dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa Walikota tidak lagi berwenang untuk membekukan suatu Ijin Mendirikan Bangunan adalah dalil yang keliru dan harus ditolak. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Kepala Dinas mohon kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut agar kiranya berkenan menjatuhkan putusan, dalam eksepsi untuk mengabulkan Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya; menyatakan Gugatan Para

Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Sedangkan dalam

penundaan, Kepala Dinas menolak permohonan penundaan pelaksanaan objek

sengketa Surat Tergugat No.503/208 – DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal

Pembekuan Ijin. Dalam pokok perkara, primair, Kepala Dinas memohon kepada Majelis Hakim untuk menolak Gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya; menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara. Sedangkan di dalam subsidair, Kepala Dinas memohon kepada Majelis Hakim untuk Putusan yang

seadil-adilnya (ex Aequo et Bono).

3.2.4. Replik-Duplik dan Pembuktian Para Pihak

Atas jawaban Kepala Dinas tersebut, Umat Beragama di Rumah Ibadat A

Quo mengajukan Replik pada tanggal 3 Juli 2008. Dan atas Replik, Kepala Dinas

mengajukan Duplik, 10 Juli 2008 yang selengkapnya termuat dalam Berita Acara

Persidangan. Dalam pembuktian, Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

53


(35)

menguatkan dalil gugatan dengan bukti-bukti tertulis54 berupa foto copy yang telah ditempeli materai cukup. Tiga orang saksi yang memberikan kesaksian mereka pada tanggal 17 Juli 2008 dan tanggal 24 Juli 2008, dibawah sumpah antara lain menerangkan bahwa mereka adalah anggota Umat Beragama di

Rumah Ibadat A Quo yang diberi tugas untuk mencari solusi karena penuhnya

Rumah Ibadat A Quo sehingga perlu didirikan Rumah Ibadat A Quo untuk

menampung sekitar 200 KK umat yang ada di Rumah Ibadat A Quo sehingga

perlu didirikan Rumah Ibadat A Quo. Inisiatif datangnya dari kedua belah pihak,

baik dari umat maupun pengurus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo ada

kesepakatan, karena adanya kebutuhan, dimana apabila umat sedang melakukan

ibadat di Rumah Ibadat A Quo, Rumah Ibadat A Quo sangat padat sehingga

meluber, mengganggu lalu lintas. Disaksikan juga, bahwa saksi sendiri mencari

lokasi untuk mendirikan Rumah Ibadat A Quo, kemudian ada lokasi yang dapat

digunakan untuk tempat ibadat. Kapling di lokasi milik developer dibeli pada

tahun 2001 oleh pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Setelah dibeli

maka ada sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo dengan pemerintah dan

masyarakat. Sosialisasi dilakukan sejak tahun 2002 sampai dengan juli 2006 yaitu

keluarnya IMB. IMB keluar setelah 5 bulan. Pembangunan Rumah Ibadat A Quo

dilakukan setelah keluar Ijin, baru dibangun yaitu dengan melakukan peletakan

batu pertama pendirian Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh Pemerintah Kota

Bogor termasuk Walikota dan tokoh masyarakat. Tanggal 7 Januari 2007 dilakukan peletakan batu pertama, dan pemancangan tiang yang diborongkan kepada Pemborong. Menurut saksi, ada tiga kali penghentian sementara

54

Diberi tanda P-1 sampai P-25. P adalah singkatan dari kata Penggugat (Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo).


(36)

pembangunan. Pemborong hanya mengerjakan pondasi (sistem jet file). Yang memborong pengerjaan pembangunan dilakukan oleh pihak Umat Beragama di

Rumah Ibadat A Quo sendiri dengan tidak melakukan tender, walaupun

sebelumya diadakan tender, karena ada anggota umat yang mampu melakukan pekerjaan pembangunan. Setelah ada pembekuan IMB, maka pengerjaan

pembangunan Rumah Ibadat A Quo berhenti. Yang menerima surat pembekuan

IMB adalah Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Ada pertemuan sehari

sebelum peletakan batu pertama atas undangan pihak Umat Beragama di Rumah

Ibadat A Quo. Yang hadir dalam pertemuan adalah unsur-unsur pemerintah

setempat, Kepala Keamanan Desa, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), tokoh masyarakat di lingkungan lain dari lingkungan di luar lingkungan di

mana Rumah Ibadat A Quo didirikan. Tidak ada penolakan dari yang hadir dalam

pertemuan. Dengan adanya pembangunan Rumah Ibadat A Quo situasi

masyarakat biasa-biasa saja. Ada pemberitaan di media setempat selama tiga hari

berturut-turut tentang pendirian Rumah Ibadat A Quo yang tidak punya Ijin. Berita

tersebut tidak ditanggapi oleh pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

karena tidak ada konfirmasi. Tidak ada surat keberatan dari masyarakat mengenai

pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Pembangunan Rumah Ibadat A Quo tidak

mengganggu lalu lintas dan menimbulkan kebisingan. Dengan adanya surat pembekuan IMB menimbulkan kerugian materiil dan immaterial. Target awal

penyelesaian pembangunan Rumah Ibadat A Quo adalah akhir tahun 2007,

kemudian rencana selanjutnya adalah september 2009. Sudah 15 % penyelesaian

pembangunan Rumah Ibadat A Quo . Sosialisasi resminya telah dilakukan 3 kali,

yang hadir pada bulan Maret 2013 sebanyak 170 orang. Ada juga Pemuda Curug Mekar. Pengajuan pembuatan IMB sejak bulan Maret 2006. IMB keluar bulan Juli


(37)

2006. Sebelum keluarnya IMB ada pertemuan di kantor Kesbang yang dihadiri oleh pemerintah yang menyepakati keluarnya IMB. Ada 70 orang yang hadir dalam sosialisasi kedua dengan 1 orang yang menyatakan keberatan. Tidak ada hambatan selama proses pembuatan IMB. Setelah keluar IMB tidak ada penolakan atau demonstrasi. Disaksikan bahwa saksi tidak tahu dalam Perda Pemkot punya wewenang untuk membekukan IMB. Di lokasi pembangunan dipasang papan plang IMB. Pada saat sosialisasi ada pernyataan tidak keberatan

dari warga. Lokasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo di Perumahan Taman

Yasmin di RW.08 Kelurahan Curug Mekar. Lokasi tanah bukan diperuntukkan untuk perumahan tetapi masih wilayah perumahan. Lokasi tanah pembangunan

Rumah Ibadat A Quo kemudian diterangkan batas-batasnya oleh saksi. Tidak ada

keberatan dari Pihak yang berbatasan. Sesuai satu bukti di atas, warga tidak

keberatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Keterangan saksi selanjutnya,

yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Persidangan tanggal 17 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut, dianggap telah termasuk dalam Putusan.

Sementara itu, disaksikan pula keterangan Ketua LPM Kelurahan setempat bahwa saat sosialisasi hadir 70 orang warga. Dari 70 orang tersebut 69 orang tidak

keberatan dan 1 orang keberatan terhadap pendirian Rumah Ibadat A Quo yaitu

Ketua DKM. Ketua DKM menyatakan keberatan atas pendirian Rumah Ibadat A

Quo, akan tetapi apabila pendiriannya telah sesuai dengan prosedur maka tidak

keberatan. Lokasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo juga disaksikan dan

katanya di tempat sosialisasi di aula Kelurahan Curug Mekar, diundang Lurah Curug Mekar. Disaksikan pertemuan di Kesbang Kota yang bersangkutan sebelum peletakan batu pertama, dihadiri aparat dan Walikota diwakili. Ada


(38)

komitmen dari pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo bahwa setelah berdiri maka Rumah Ibadat yang sama harus ditutup. Ada dari Forum PA yang mendemo dimana pesertanya di luar masyarakat Curug Mekar dan sebagian warga Curug Mekar. Dua bulan jarak waktu antara demo, keluar pembekuan IMB. Pada tanggal 19 Agustus 2006 dilakukan peletakan batu pertama. Tanggal 18 Agustus

2006, di Kecamatan ada acara sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo

yang dihadiri Ketua dan Sekretaris Umat Beragama yang serumpun dengan Umat

Beragama di Rumah Ibadat A Quo Kota setempat, PA dan warga masyarakat

Curug Mekar. Tidak ada yang keberatan dalam sosialisasi tersebut dan ada 13 poin kesepakatan. Diantaranya, kesepakatan untuk membina kerukunan umat beragama di lingkungan masyarakat Curug Mekar, tidak mempengaruhi

keyakinan orang lain, apabila Rumah Ibadat A Quo sudah berdiri maka Rumah

Ibadat yang sama atau tempat-tempat yang dijadikan tempat ibadat harus ditutup.

Selain Rumah Ibadat A Quo yang didemo adalah Pihak di batas-batas Rumah

Ibadat A Quo, tetapi yang dibekukan ijinnya hanya Rumah Ibadat A Quo. Saksi

heran dengan tidak adanya pembicaraan sebelum keluarnya pembekuan IMB. Yang diundang saat sosialisasi adalah para ketua lingkungan dan tokoh masyarakat Curug Mekar. Ada 3 sampai 4 kali demo. Yang menegur untuk menghentikan pekerjaan pembangunan adalah pihak kelurahan. Hadir dalam pertemuan Kesbang, Pemerintah Kota yang diwakili Asisten Daerah I Kanwil Depag. Benar sesuai bukti adalah tanda tangan peserta sosialisasi. Setelah

peletakan batu pertama pembangunan Rumah Ibadat A Quo baru 6 bulan

kemudian ada demo. Yang melakukan demo dari kader-kader partai politik

tertentu. Sesuai bukti, ada warga yang menolak pendirian Rumah Ibadat A Quo.


(39)

Kesbang yang dihadiri Lurah, Kesbang. Warga tanda tangan untuk mengetahui

adanya sosialisasi bukan menyetujui pendirian Rumah Ibadat A Quo. LPM tidak,

bereaksi dengan adanya surat Pembekuan Ijin. Saksi ikut tanda tangan saat sosialisasi. Ada kader Parol tertentu yang demo. Keberatan warga tidak diajukan kepada LPM. Keberatan warga disampaikan kepada Lurah. Saksi belum pernah menerima tembusan surat keberatan warga. Saksi tinggal di lingkungan setempat

sejak tahun 1991. Jarak antara rumah Saksi dengan Rumah Ibadat A Quo adalah

800 meter, berbatasan langsung dengan Rumah Ibadat A Quo di Jalan yang

diberikan pemerintah. Jalan tersebut adalah jalan raya propinsi. Saksi melarang

kepada warga untuk menjadi koordinator pembangunan Rumah Ibadat A Quo

tetapi untuk menjadi pekerja (kuli) dipersilahkan, warga yang bekerja lingkungan Kampung Cijahe. Ada Ketua Keamanan, dulunya Ketua lingkungan. Barangkali ada keterkaitan dengan pemilihan Walikota Bogor. Warga yang demo adalah kader dari partai politik. Keterangan Saksi selanjutnya, yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam berita Acara Persidangan tanggal 24 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian putusan tersebut, dianggap telah termasuk dalam putusan. Disaksikan juga adanya sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat di lingkungan, yang mengundang para ketua lingkungan. Khusus RT tersangkut diundang seluruh warga untuk mengikuti sosialisasi. Saksi tahu ada peletakan

batu pertama pendirian Rumah Ibadat A Quo tidak menyaksikan langsung. Saksi

tahu adanya surat pembekuan Ijin. Bukti memerlihatkan tanda tangan Saksi. Saat sosialisasi tanggal 16 Januari 2006 ada tanda tangan warga yang menyatakan

tidak keberatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Maksud tanda tangan Saksi

dalam surat keberatan adalah untuk membenarkan tanda tangan dan foto copy KTP warga setempat. Saksi tahu adanya pengumpulan tanda tangan warga yang


(40)

keberatan atas pendirian Rumah Ibadat A Quo. Yang mengumpulkan tanda tangan berganti-ganti mengunjungi rumah warga satu persatu sehingga menimbulkan keresahan. Ada tanda tangan surat tanggal 14 Pebruari 2006 setelah ada yang datang kerumah Saksi jam 9 malam untuk minta tanda tangan, tidak membaca surat yang ditandatangani, surat berisi tanda tangan keesokan harinya tanpa konfirmasi lagi terhadap tanda tangan tersebut. Diketahui ada surat pembekuan

Ijin pendirian Rumah Ibadat A Quo esok hari setelah mengetahui isi surat

keberatan warga. Saksi tinggal di lingkungan itu Kelurahan Curug Mekar, Rumah

dibelakang Rumah Ibadat A Quo tidak ada suara bising dan komplain dari warga

yang ditimbulkan dari pembangunan. Saksi tinggal di Curug Mekar sejak tahun 1995. Banyak warga baru yang menetap di daerah Saksi. Keterangan Saksi selanjutnya, yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Persidangan tanggal 24 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut, dianggap telah termasuk dalam Putusan.

Di pihak yang lain, Kepala Dinas menguatkan dalil sangkalannya

mengajukan alat bukti tertulis berupa foto copy surat-surat55 yang telah ditempeli

materai cukup. Tajuk suatu koran.

Untuk menguatkan dalil-dalil Jawabannya, selain bukti surat, Kepala Dinas juga telah mengajukan 2 (dua) orang Saksi pada tanggal 31 Juli 2008. Memberikan keterangan dibawah sumpah antara lain bahwa ada anggota Dewan melakukan sidak 1 bulan setelah Saksi mengadukan penolakan warga ke DPRD

Bogor. Setelah pernyataan lisan Anggota Dewan yang menetapkan status quo

maka kegiatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo berhenti, tetapi kemudian

bulan April ada kegiatan pembangunan lagi. Setelah ada kegiatan pembangunan


(41)

lagi maka Saksi menulis surat ke Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo untuk menghentikan kegiatan. Setelah ada surat dari Saksi kegiatan pembangunan berhenti, tetapi kemudian dilanjutkan lagi kegiatan pembangunan. Sebelum ada

pendirian Rumah Ibadat A Quo, tidak ada rumah ibadat disekitar rumah warga.

Ada tempat peribadatan di suatu Ruko kerena sudah ada persetujuan dari warga sekitar. Jarak dari rumah Saksi ke Ruko tempat peribadatan sekitar 1 kilometer.

RT.08 tidak ada Rumah Ibadat A Quo. Saksi membuat surat penolakan dan

mengadukan ke DPRD Bogor karena IMB tersebut tidak fair, maka Saksi datang

ke DPRD untuk mempertanyakan mengapa IMB bisa keluar sedangkan ada warga yang keberatan. Saksi tidak menandatangani surat-surat yang disodorkan panitia pembangunan rumah ibadat. Atas saran Anggota Dewan saksi mengajukan surat penolakan warga ke Dinas Tata Kota Bogor, dan pegawai Dinas Tata Kota bogor mengatakan bahwa surat penolakan warga harus dilegalisasi oleh RT., RW., Kelurahan dan Kecamatan setempat. Kemudian Saksi melegalisasinya diserahkan ke Dinas Tata Kota Bogor. Yang menandatangani surat pengantar penolakan warga adalah perwakilan warga Curug Mekar. Saksi tidak diberitahu mengenai upaya pembatalan IMB melalui pengadilan. Saksi tidak datang ke rumah-rumah warga meminta tanda tangan. Saksi menjelaskan bahwa tanda tangan dan foto copy KTP warga untuk diserahkan ke Dinas Tata Kota dan DPRD Bogor. Lokasi

Rumah Ibadat A Quo di luar komplek Perumahan tetapi masih di wilayah RT.

Saksi. Keresahan warga karena tidak nyaman merasa terganggu karena suara dan mayoritas warga beragama tidak sama dengan umat yang mendirikan rumah ibadat yang pendiriannya ditentang, serta resah berdasarkan akidah Saksi. Keresahan akidah menurut Saksi adalah sesuai kitab suci agama Saksi yaitu bahwa Saksi tidak boleh ikut menyetujui melecehkan ayat-ayat suci kitab sucinya


(42)

Saksi. Pengumpulan tanda tangan dan foto copy KTP warga atas inisiatif Saksi

sendiri. Warga membuat tanda tangan penolakan pendirian Rumah Ibadat A Quo

sebelum acara sosialisasi tanggal 15 Januari 2006. Tidak ada pertemuan untuk mengumpulkan tanda tangan warga. Saksi tidak tahu jumlah seluruh warga Curug Mekar. Situasi cukup kondusif di RT. 08 setelah keluar IMB. Saksi tidak diberitahu oleh developer mengenai lokasi yang diperuntukan tempat ibadat. Saksi pernah dihubungi Keluarga Umat beragama tertentu yaitu (KMB). Tembok

pembatasan 2,5 meter di belakang Rumah Ibadat A Quo sudah ada sebelum

pendirian Rumah Ibadat A Quo. Sesuai tata Wilayah Kelurahan maka lokasi

Rumah Ibadat A Quo berada di RT Saksi. Keterangan Saksi selanjutnya, yang isi

selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Persidangan tanggal 31 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut, dianggap telah terrnasuk dalam Putusan.

Saksi kedua memberikan keterangan di bawah sumpah antara lain bahwa

tidak setuju pendirian Rumah Ibadat A Quo sekitar 50%. Dalam silaturahmi warga

yang menyampaikan kepada Saksi tentang penolakan terhadap pembangunan

Rumah Ibadat A Quo. Adanya surat pernyataan penolakan puas dengan

penghentian pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Saksi merasa terganggu

kenyamanan beraktifitas karena adanya Rumah Ibadat A Quo di dalam komunitas

agama yang berbeda dengan umat yang beribadat di Rumah Ibadat A Quo. Tidak

tahu dan tidak diundang mengenai sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo.

Saksi menyerahkan tanda tangan warga yang tidak setuju pendirian Rumah Ibadat A Quo kepada yang merupakan sesepuh yang dipercaya oleh Saksi, rumah saksi dengan rumah yang bersangkutan sekitar 150 meter. Saksi sering bertemu, tidak ikut ke DPRD dan Dinas Tata Kota Bogor. Saksi tidak tahu peraturan


(43)

perundang-undangan pembekuan IMB. Tidak ada paksaan untuk menyerahkan tanda tangan

warga yang menolak pendirian Rumah Ibadat A Quo. Keterangan Saksi

selanjutnya, yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Persidangan tanggal 31 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut, dianggap telah termasuk dalam Putusan.

3.2.5. Kesimpulan Pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

Selanjutnya Para Penggugat telah mengajukan Kesimpulan tertanggal 21 Agustus 2008 dan Kepala Dinas telah mengajukan Kesimpulan tertanggal 11 Agustus 2008, yang selengkapnya adalah sebagaimana termuat dalam Berita Acara Persidangan tertanggal 21 Agustus 2008. Untuk menyingkat uraian di dalam Putusan tersebut, maka segala sesuatu yang terjadi di persidangan dan telah termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan Persidangan adalah merupakan bagian tak terpisahkan dari Putusan tersebut.

3.2.6. Eksepsi Kepala Dinas & Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

Terhadap gugatan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, Kepala Dinas

dalam Jawabannya tertanggal 28 Juni 2008, telah mengajukan Eksepsi-eksepsi yang pada pokoknya adalah bahwa surat gugatan ditandatangani dan diajukan oleh pihak yang tidak mempunyai wewenang untuk bertindak sebagai Kuasa Para

Penggugat (Legitime Persona In Standi Judicio). Pihak yang mengajukan gugatan

adalah tidak jelas (Obscur Libel). Tidak ada kualifikasi perbuatan melanggar

hukum yang dilakukan Tergugat (Onrechtmatige Overheids Daad). Namun,

terhadap Eksepsi-eksepsi itu Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo telah


(1)

menerbitkan IMB-RI. IMB-RI dapat diterbitkan karena Rumah Ibadat A Quo telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan Walikota Bogor. Dengan adanya Pembekuan Ijin maka terlihat bahwa Walikota Bogor tidak dapat secara konsisten mempertanggungjawabkan keputusannya yang telah memberikan ijin.

Sementara itu ada Kepala Dinas yang melaksanakan tugas dibawah Walikota dan bertanggung jawab kepada Walikota. Seharusnya Kepala Dinas tidak berwenang membekukan ijin yang di keluarkan Walikota. Sebagai Pejabat TUN Kepala Dinas harus pula menaati peraturan perundang-undangan dan tidak bertindak sewenang-wenang dengan mengeluarkan Pembekuan Ijin. Karena hal

tersebut merugikan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, yang seharusnya

dilindungi kepentingannya. Selain itu Kepala Dinas harus tunduk pada Putusan PTUN, sebab kedudukannya yang sama di depan hukum dengan rakyat biasa.

Pihak lainnya yang juga berperan dalam menjamin persamaan perlakuan di depan hukum selain Kepala Negara dan Kepala Daerah yaitu OK, dalam PBM dijelaskan bahwa OK bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan

agama oleh warga negara republik Indonesia.92 Walaupun OK Tidak seperti

Kepala Negara dan Kepala Daerah yang memiliki tugas dan kewajiban sebagaimana diamanatkan dalam PBM, OK tetap saja juga memiliki kewajiban memelihara kerukunan umat beragama, dengan cara bahwa OK harus menyadari bahwa masing-masing umat beragama juga memiliki hak yang sama dengan mereka. Umat Beragama dapat menjalankan ibadat secara berdampingan tanpa merugikan hak yang lain. Apabila ada OK yang merasa keberatan dengan

diterbitkannya IMB-RI A Quo mereka harus menyampaikan hal tersebut pada


(2)

pihak yang bertugas untuk itu dalam hal ini yaitu FKUB Kabupaten/Kota. Dan harus pula disertai dengan alasan yang sebenarnya.

Demikian pula PA sebagai panutan yang dihormati masyarakat sudah selayaknya memberikan contoh yang baik, memberikan arahan-arahan serta pengertian kepada masyarakat, untuk memelihara kerukunan hidup beragama. Dengan sikap saling merhargai dan menghormati hak-hak umat beragama. Dan

apabila merasa dirugikan oleh karena diterbitkannya IMB-RI A Quo harus pula

menempuh jalur yang telah ditetapkan dalam PBM.

Pihak yang tidak kalah penting yaitu FKUB yang dibentuk di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada dasarnya FKUB Provinsi dan FKUB Kabupaten/Kota

memiliki tugas 93 yang sama hanya saja FKUB Kabupaten/Kota juga mempunyai

tugas untuk memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah

ibadat. Apabila dikaitkan dengan kasus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

seharusnya FKUB Kabupaten/Kota yang menampung aspirasi OK, PA dan

masyarakat yang merasa keberatan dengan diterbitkannya IMB-RI A Quo. Dan

baru kemudian FKUB Kabupaten/Kota menyalurkan aspirasi tersebut kepada Walikota. FKUB juga seharusnya dapat berinisiatif memfasilitasi mereka untuk melakukan musyawarah.

Pihak selanjutnya adalah pihak yang bertugas untuk mengajukan permohonan pendirian rumah ibadat yaitu panitia pembangunan rumah ibadat.

Dalam putusan satuan amatan Penulis Panitia Pembangunan Rumah Ibadat A

Quo, telah memenuhi syarat-syarat permohonan pendirian rumah ibadat

sebagaimana diatur dalam PBM, sehingga IMB-RI A Quo diterbitkan oleh

Walikota. Hal ini berarti bahwa Panitia Pembangunan Rumah Ibadat A Quo telah

93


(3)

memenuhi kewajibannya. Dengan demikian pembangunan Rumah Ibadat A Quo dapat dilaksanakan, tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Selain itu Panitia

Pembangunan Rumah Ibadat A Quo dan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

juga harus memastikan bahwa pembangunan tersebut tidak menimbulkan gangguan bagi pihak lain.

Lembaga Pengadilan adalah pihak yang berperan dalam hal penyelesaian

perselisihan (at the last resort) yang terjadi akibat pendirian rumah ibadat apabila

penyelesaian perselisihan secara musyawarah dan musyawarah dengan didampingi Bupati/Walikota dibantu KKDA Kabupaten/Kota tidak tercapai. Pihak-Pihak di atas yang merasa dirugikan dapat menuntut haknya di Pengadilan. Pengadilan berperan penting dalam memperjuangkan asas persamaan perlakuan di depan hukum. PTUN Bandung telah menyelesaikan Kasus Umat Beragama di

Rumah Ibadat A Quo, memperhatikan dengan seksama bahwa tindakan Kepala

Dinas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, demikian pula dalam Upaya Banding dan Permohonan PK oleh Kepala Dinas di Mahkamah Agung dinyatakan ditolak. Demikian analisis mengenai pihak-pihak yang mengemban kewajiban untuk memastikan ada persamaan perlakuan di depan hukum.

Analisis Penulis lanjutkan dengan unsur kontrak lainnya sesuai pengertian

kontrak yang telah Penulis kemukakan pada Bab II94, unsur selanjutnya yaitu

adanya Prestasi atau kewajiban para pihak. Bahwa Pihak-Pihak tersebut dalam PBM akan memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dalam hal ini adalah diberikannya tugas kepada pihak-pihak tersebut di atas oleh pembuat PBM untuk memelihara kerukunan umat beragama. Pihak-Pihak di dalam PBM harus

94


(4)

melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam PBM95 menuruti asas persamaan perlakuan di depan hukum. Walaupun pada prinsipnya tugas dan kewajiban yang diemban Pihak-Pihak dalam PBM adalah sama, namun tidak dapat tercapai tujuannya apabila salah satu pihak tidak melakukan tugasnya, lalai atau bahkan mengingkarinya.

Baik pemerintah maupun rakyat sama-sama melaksanakan perintah dalam PBM. Disini antara pemerintah dan rakyat mempunyai kedudukan yang sama, hanya saja yang berbeda adalah fungsinya bahwa pemerintah mengatur dan rakyat

diatur.96 PBM memberikan tugas kepada Pemerintah untuk mengatur umat

beragama di Negara Republik Indonesia dengan taat kepada perlakuan yang sama di depan hukum. Sedangkan rakyat diminta untuk menaati aturan dalam PBM atau pemerintah yang menjalankan tugas menurut PBM demi terpeliharanya kerukunan

umat beragama, dan menuntut hak tersebut ke PTUN melalui judicial review

apabila mereka dirugikan oleh perbuatan TUN.

Dalam hal pendirian rumah ibadat yang diatur dalam PBM pihak yang hendak mendirikan rumah ibadat (umat beragama) harus memenuhi syarat-syarat

dalam PBM97 di sana dikatakan bahwa selain memenuhi persyaratan administratif

dan persyaratan teknis bangunan gedung pendirian rumah ibadat harus memenuhi

persyaratan khusus98. Syarat khusus tersebut adalah bahwa pengguna rumah

ibadat paling sedikit sembilan puluh orang, adanya dukungan masyarakat setempat paling sedikit enam puluh orang, rekomendasi tertulis KKDA

95

Periksa Kembali, hlm., 35-40, Bab ini, Supra.

96

Lihat hlm., 24, Bab II, Supra.

97

Lihat hlm., 42-43, Bab ini, Supra.

98


(5)

Kabupaten/Kota dan rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota. Menurut Penulis hal ini justru akan meniadakan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum. Apabila ada kelompok minoritas agama hendak mendirikan rumah ibadat yang mayoritas masyarakatnya beragama lain, mereka akan mengalami kesulitan

seperti halnya terjadi pada kasus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam

Putusan satuan amatan Penelitian ini yang telah Penulis kemukakan di atas.

Bahwa Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo harus meminta persetujuan dari

masyarakat sekitar Rumah Ibadat A Quo, bahkan setelah mendapat persetujuan

masih ada saja masyarakat yang menyakatan tidak memberikan persetujuan dan menjadi alasan diterbitkannya Pembekuan Ijin oleh Kepala Dinas. Padahal disitu ada pula rekomendasi tertulis dari KKDA dan FKUB Kabupaten/Kota yang sudah jelas kewenangan. Ini berarti hahwa boleh tidaknya mendirikan rumah ibadat ditentukan oleh pendapat masyarakat mayoritas. Hal ini menunjukkan bahwa kurang dihormatinya persamaan perlakuan di depan hukum. Maka menurut Penulis sebaiknya tidak perlu ada ketentuan mengenai syarat khusus tersebut, yang justru akan berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia yaitu terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama. Di samping itu keputusan yang dibuat oleh Kepala Dinas adalah tidak benar. Penulis sependapat dengan

pertimbangan hakim dalam Putusan 4199 yang diantaranya menyatakan bahwa

penerbitan objek sengketa A Quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 Ayat

(2) Perda No.7 tahun 2006 dan bahwa Kepala Dinas seharusnya memperhatikan Pasal 21 PBM, mengenai penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat. Menurut Penulis hakim dalam Putusan 41 maupun dalam Putusan 127 Mahkamah

agung dalam sengketa TUN antara Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo

99


(6)

dengan Kepala Dinas telah memanifestasi prinsip persamaan perlakuan di depan

hukum dengan memperhatikan kepentingan Umat Beragama di Rumah Ibadat A

Quo yang dirugikan oleh Pejabat TUN dalam hal ini Kepala Dinas, bahwa

seharusnya Kepala Dinas tidak hanya mendengar keterangan dari pihak yang berkeberatan dengan diterbitkannya IMB-RI tetapi juga mendengar keterangan

dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dan memberi kesempatan kepada

mereka untuk memberikan penjelasan sebelum diterbitkannya objek sengketa A

Quo.

Selanjutnya, bagi pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya seperti dikemukakan di atas, ada suatu mekanisme bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut haknya yaitu melalui pengadilan yang berdasarkan hukum.