88 Dari Gambar 24 ini dapat dinyatakan kualitas lingkungan Kota Bogor, jika
dilihat dari emisi dan kapasitas sink gas CO
2
oleh ruang terbuka hijau semakin mengkhawatirkan, karena terjadi semakin tidak seimbangnya antara emisi dan
sink . Di satu pihak emisi yang terus meningkat, namun di lain pihak kapasitas sink
ruang terbuka hijau yang terus menurun. Emisi gas CO
2
dari bahan bakar antropogenik pada tahun 2010 sebanyak 600.216 ton dan pada tahun 2100 menjadi 848.175 ton. Luasan ruang terbuka
hijau tahun 2006 seluas 4.484,62 ha sedangkan pada tahun 2100 tinggal 233,36 ha 1,97. Akibat terjadinya pengurangan luasan ruang terbuka hijau, maka jumlah
sink oleh ruang terbuka hijau juga mengalami penurunan. Jumlah sink oleh ruang
terbuka hijau tahun 2006 sebesar 546,46 ton gas CO
2
, sedangkan pada tahun 2100 sebanyak 26,71 ton. Oleh sebab itu, perlu penambahan jumlah pohon dan luasan
hutan kota. Masalah ini akan dibahas dan disajikan dalam Bab 4.2. dan beberapa skenario penanggulangan yang dapat dilakukan.
4.2. Pembahasan
Sebelum membahas tentang skenario penanggulangan dan pengelolaan gas CO
2
yang berkaitan dengan kebutuhan luasan hutan kota yang penentuannya berdasarkan analisis emisi dan sink menggunakan simulasi model, berikut ini akan
dibahas terlebih dahulu masalah emisi dan daya sink gas CO
2
di Kota Bogor serta hal-hal yang berkaitan dengan permodelan.
4.2.1. Analisis Emisi Gas CO
2
dan Konsentrasi Gas CO
2
Seperti telah dijelaskan dalam Bab 4.1.6. yang menyatakan bahwa rerata konsentrasi gas CO
2
di Kota Bogor pada tahun 20062007 sebesar 389,89 ppmv. Di lokasi yang potensial tercemar yaitu di Warung Jambu, Baranang Siang,
Ekalokasari, Jembatan Merah dan Pasar Bogor rerata konsentrasi gas CO
2
pada musim kemarau adalah 397,27 dan pada musim hujan 395,11 ppmv, sedangkan di
5 lokasi lainnya yakni: Hutan Penelitian Dramaga, Lapangan bola Indraprasta, Bogor Lake Side, Ciremai ujung dan Taman Koleksi Cimanggu rerata konsentrasi
gas CO
2
pada musim kemarau adalah 384,55 dan pada musim hujan 383,89 ppmv.
89 Rendahnya konsentrasi gas ini pada musim penghujan, nampaknya karena
sebagian gas ini larut di dalam air hujan menjadi asam karbonat. Adanya gas CO
2
yang larut dalam air hujan mengakibatkan pH air hujan pada kondisi alami sekali pun selalu kurang dari 7,0 Manahan 2000. Lebih lanjut Manahan 2000
menjelaskan jumlah CO
2
yang terlarut dalam air hujan pada keadaan setimbang dengan konsentrasi CO
2
di udara sebesar 350 ppmv pada suhu udara 25
o
C sebanyak 1,146 x 10
-5
M atau setara dengan 5,04 x 10
-7
kgl. Pembahasan masalah ini selanjutnya akan dibahas khusus pada Bab 4.2.4. tentang pengaruh hujan.
Kota Bogor terkenal dengan sebutan ”Kota Hujan”. Rerata curah hujan sebesar 4.000 mmtahun. Artinya jumlah volume air hujan yang jatuh di Kota
Bogor yang luasnya 11.850 ha selama satu tahun sebanyak 47,4 x 10
10
l. Dengan demikian jumlah gas CO
2
yang larut dalam air hujan setahun sebanyak 239 tontahun.
Selain dari penyebab yang telah disebutkan terdahulu, rendahnya gas CO
2
di musim penghujan, karena jumlah kendaraan yang melewati ke lima jalur pada
lokasi itu lebih rendah. Pada musim kemarau rerata jumlah kendaraan yang melewati ke lima jalur jalan tersebut antara 45.401 - 47.433 kendaraan per hari,
sedangkan pada musim penghujan 34.852 - 45.684 kendaraan per hari.
Gambar 25. Fluktuasi konsentrasi gas CO
2
yang diukur pada menara dengan ketinggian 496 m di Kota Carolina Utara. Sumber: Backwin, et al.,
1998. Hasil pengukuran konsentrasi gas CO
2
ambien di Kota Bogor tahun 20062007 masih sejalan dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Backwin
90 dkk. tahun 1998 di Carolina Utara pada menara dengan ketinggian 496 m. Hasil
pengukurannya mendapatkan data berkisar antara 345 - 375 ppmv. Demikian juga dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Keeling dan Whorf 2005 di
Mauna Loa, Hawaii yang juga menunjukkan bahwa konsentrasi gas ini pada tahun 2004 yakni sebesar 377,38 ppmv http:en.wikipedia.orgwikiCarbon dioxide
2006. Dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi
peningkatan konsentrasi gas CO
2
yang sangat menghawatirkan baik di Bogor maupun di tempat lainnya yaitu sudah melebihi angka 330 ppmv. Konsentrasi gas
CO
2
yang aman seperti pada awal revolusi industri sekitar 300 – 330 ppmv. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mengurangi laju peningkatan
konsentrasi gas ini. Kekhawatiran lainnya adalah emisi gas CO
2
antropogenik yang berasal dari bahan bakar fosil mengandung isotop radioaktif, karena ketika bahan bakar
fosil ini masih berada di dalam batuan bumi mendapatkan radiasi dari batuan yang bersifat radioaktif. Oleh sebab itu, emisi gas CO
2
dari bahan bakar fosil yang terus bertambah akan mengakibatkan jumlah CO
2
radioaktifnya juga terus bertambah. Gas CO
2
alami di udara ambien terdiri dari karbon
12
C, sedangkan isotopnya terdiri dari
13
C dan
14
C. Waktu paruh untuk
12
CO
2
antara 50 – 200 tahun Foley, 1993.
Gas
14
CO
2
dengan waktu paruh sekitar 5.700 tahun tidak memberikan sumbangan meningkatnya gas CO
2
. Sumbangan isotop
13
CO
2
dari bahan bakar fosil sebesar 1 saja, sedangkan 99 lainnya terdiri dari
12
CO
2
yang tidak bersifat radioaktif http:www.radix.net~bobgfaqsscq.CO2rise.html. Peneliti
lain menyatakan bahwa emisi dari bahan bakar minyak dan gas sebanyak 1,1 berupa gas
13
CO
2
dan 98,9 gas
12
CO
2
http:homepage.mac.comuriarte carbon13.html. Dari keduanya dapat dinyatakan bahwa senyawa gas CO
2
yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, sekitar 1,0 - 1,1 mengandung senyawa
radioaktif
13
CO
2
. Dengan adanya gas CO
2
yang berifat radioaktif di udara ambien yang kemudian dapat terserap masuk ke dalam jaringan daun, maka organ tumbuhan
juga potensial mengandung
13
C. Para ahli mengukur kandungan
13
C dan
12
C
91 dengan notasi
δ
13
C dalam ‰ yang terdapat di dalam jaringan tumbuhan dengan rumus http:homepage.mac. comuriartecarbon13. html:
Dari beberapa sampel yang diambil dari tegakan di California Utara mendapatkan hasil nisbah
13
C
12
C sekitar 1 terdapat pada jaringan tumbuhan http:homepage.mac.comuriarte carbon13.html. Dengan demikian emisi gas
CO
2
yang sebagian mengandung
13
CO
2
, selain mengakibatkan adanya gas CO
2
yang bersifat radioaktif, juga mengakibatkan organ tumbuhan juga dapat me- ngandung
13
C yang juga bersifat radioaktif. Dari kenyataan ini nampaknya semakin maraknya kasus penyakit kanker
belakangan ini diantaranya disebabkan oleh paparan dan hirupan udara yang mengandung
13
CO
2
yang bersifat radioaktif. Apabila gas yang bersifat radioaktif ini dihirup, maka gas CO
2
radioaktif akan masuk ke dalam paru yang akan membentuk H
2 13
CO
3
dan Hb-
13
CO
2
dalam darah dan dialirkan ke seluruh tubuh. Beberapa bahan lainnya yang bersifat radioaktif dan bahaya yang ditimbulkannya
dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Beberapa jenis bahan radioaktif dan efek yang ditimbulkan
Jenis Radioaktif
Jenis Radiasi Organ yang
Terkena Waktu Paruh
Efek yang Ditimbulkan
Strontium 90 Beta
Otot 28 tahun
Kanker tulang Strontium 89
Beta Otot
51 hari Kanker tulang
Cesium 137 Beta-gamma
Jaringan lunak, Organ kelamin
27 hari Jaringan gonad
Karbon 14 Beta-gamma
Seluruh tubuh 5760 tahun
- Iodin 129
Beta-gamma Tiroid
17 juta tahun Kanker Tiroid
Iodin 131 Beta-gamma
Tiroid 8 hari
Kanker Tiroid Kripton 85
Beta -
10,7 tahun -
Tritium
3
H Beta
Seluruh tubuh 12,3 tahun
Gonad Sumber: Waldbott 1978: 266
4.2.2. Daya Sink dan Klasifikasi Daya Sink Tanaman Hutan Kota
Dari hasil penelitian tentang daya sink gas CO
2
yang menggunakan alat dan penelitian berikutnya yang menggunakan metode karbohidrat setelah diuji
13
C
12
C sampel –
13
C
12
Cstandar -------------------------------------------------- x 1.000
13
C
12
C standar
92 dengan uji-t pada taraf kepercayaan 95 menyatakan bahwa kedua metode
tersebut tidak berbeda nyata lihat Bab 4.1.9.2. Oleh sebab itu, metode karbo- hidrat digunakan untuk mengukur daya sink gas CO
2
untuk 25 jenis tanaman yang tumbuh di Kebun Raya Bogor dan 21 jenis tanaman di Hutan Penelitian Dramaga.
Hasil penelitian baik untuk tanaman di Kebun Raya Bogor maupun di Hutan Penelitian Dramaga yang kemudian dibuat klasifikasi daya sink-nya secara
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46. Daya sink gas CO
2
dan klasifikasi daya sink tanaman di Kebun Raya Bogor dan di Hutan Penelitian Dramaga
No Nama Jenis
Sink CO
2
kg pohon
-1
tahun
-1
Klasifikasi Daya Sink
1. C. excelsa
1
0,20 Sr
2. H. mengarawan
2
0,42 Sr 3.
T. indica
1
1,49 Sr 4.
N. lappaceum
1
2,19 Sr
5. H. odorata
2
4,23 Sr 6.
E. cristagalli
1
4,55 Sr
7. M. grandiflora
1
8,26 Sr 8.
P. dulce
1
8,48 Sr
9. P. indicus
1
11,12 Rd
10. P. affinis
2
12,63 Rd 11.
A. mangium
2
15,19 Rd 12.
S. indicum
2
16,50 Rd 13.
I. bijuga
1
19,25 Rd
14. K. anthotheca
1
21,90 Rd
15. D. retusa
2
24,24 Rd 16.
C. pulcherrima
1
30,95 Rd 17.
C. guinensis
2
34,15 Rd 18.
M. elengi
1
34,29 Rd
19. P. alata
2
36,19 Rd 20.
M. kauki
1
41,78 Rd
21. D. regia
1
42,20 Rd
22. A. auriculiformis
2
48,68 Rd 23.
S. wallichii
2
63,31 Sd 24.
A. muricata
1
75,29 Sd
25. K. senegalensis
2
83,86 Sd 26.
S. macrophylla
1
114,03 Sd 27.
C. grandis
1
116,25 Sd
28. A. heterophyllus
1
126,51 Sd
93 No Nama
Jenis Sink
CO
2
kg pohon
-1
tahun
-1
Klasifikasi Daya Sink
29. T. grandis
2
135,27 Sd 30.
L. speciosa
2
160,14 At 31.
A. pavoniana
1
221,18 At
32. C. parthenoxylon
2
227,21 At 33.
S. mahagoni
2
295,73 At 34.
P. pinnata
1
329,76 At
35. F. decioiens
1
404,83 At
36. B. roxburghiana
2
442,63 At 37.
F. benjamina
1
535,90 Tg
38. T. verrucossum
2
562,09 Tg 39.
D. excelsum
1
720,49 Tg
40. C. odoratum
1
756,59 Tg
41. S. zeylanica
2
1603,20 Tg 42.
Cassia sp.
1
5.295,47 St
43. S. saman
1
28.488,39 St
Keterangan:
1
Tanaman di Kebun Raya Bogor
2
Tanaman di Hutan Penelitian Dramaga
Klasifikasi
satuan dalam kg pohon
-1
tahun
-1
Sr Sangat Rendah 9,99
At Agak tinggi 150-500 Rd Rendah
10 – 49,9 Tg Tinggi
500-2.000 Sd Sedang
50 – 150 St Sangat Tinggi 2.000
Rerata Nilai Daya Sink
Satuan kgpohontahun Sangat Rendah
3,90 Agak Tinggi 305,91
Rendah 28,00
Tinggi 835,65
Sedang 102,07
Sangat Tinggi 16.891,93
Rerata nilai daya sink agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi akan diper- gunakan pada simulasi program Powersim. Nilai rerata sink agak tinggi sebesar
305,91 kgpohontahun, tinggi 835,65 kgpohontahun dan sangat tinggi sebesar 16.891,93 kgpohontahun.
Dari tabel tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa daya sink gas CO
2
sangat bervariasi menurut jenis tanaman. Hal ini sangat sesuai dengan pernyataan Salisbury dan Ross 1992 yang menyatakan bahwa daya sink gas CO
2
bervariasi menurut jenis. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa secara garis besar
tumbuhan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yakni: C3, C4 dan CAM
94 crassulacean acid metabolisms. Sebanyak 95 dari tumbuhan tingkat tinggi
yang ada di dunia ini tergolong ke dalam jenis tumbuhan C3 http:www.serc. si.edulabsco2c3_c4_plants.jsp, sisanya tergolong jenis C4 dan CAM, semen-
tara ahli lainnya menyatakan jenis C3 85 dari total populasi tumbuhan tingkat tinggi yang ada di permukaan dunia ini http:homepage.mac.comuriarte
carbon13.html.. Contoh jenis C3 adalah padi, kedelai dan umumnya tumbuhan kehutanan, sedangkan contoh tumbuhan C4 adalah tebu, sorgum dan jagung.
Perbedaan karakteristik tumbuhan C3, C4 dan CAM adalah sebagai berikut: Tabel 47. Beberapa ciri fotosintetik antara tumbuhan C3, C4 dan CAM
Ciri Jenis Tumbuhan
C3 C4
CAM Anatomi daun
Sel fotosintesis tak punya
berkas yang jelas
Sel seludang berkas tertata
dengan baik, kaya dengan organel
Tidak ada sel palisade, vakuola
besar pada sel mesofil
Enzim karboksilasi Rubisko
PEP karboksilase, lalu rubisko
Gelap: karbok- silase. Terang:
terutama rubisko
Nisbah kebutuhan energi antara
CO
2
:ATP:NADPH 1:3:2 1:5:2
1: 6,5:2
Nisbah transpirasi g H
2
Og peningkatan bobot
kering 450-950 250-350
18-125
Nisbah klorofil daun a b
2,8 ± 0,4 3,9 ± 0,6
2,5 - 3,0 Kebutuhan Na
+
Tidak Ya
Ya Titik kompensasi
CO
2
µmol mol
-1
CO
2
30-70 0-10
0 - 5 saat gelap
Fotosintesis dihambat oleh 21 O
2
Ya Tidak Ya Fotorespirasi
Ya Hanya di seludang
berkas Ada di petang
hari Suhu optimum bagi
fotosintesis 15-25
C 30-47 C ±
35 C
Produksi bahan kering tonhath
22 ± 0,3 39 ± 17
Rendah dan sangat beragam
Maksimum yang tercatat
34-39 50-54 Sumber : Salisbury dan Ross 1992 : 75
95 Telah dijelaskan terdahulu bahwa konsentrasi gas CO
2
ambien terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena gas ini merupakan bahan baku
fotosintesis, maka peningkatan konsentrasi gas ini di udara ambien akan meng- akibatkan meningkatnya laju fotosintesis tanaman.
Henderson et al.,
1995 menyatakan bahwa peningkatan laju fotosintesis tanaman berbeda-beda menurut jenisnya. Berat kering tanaman C4 meningkat
sebesar 22 lebih besar, ketika diberi paparan gas ini dua kali lipat lebih besar dari yang ada pada masa sekarang ini, sedangkan untuk tanaman C3 pening-
katannya sebanyak 41 lebih besar.
4.2.3. Pengujian Model
Sebelum model digunakan, model harus diuji terlebih dahulu, apakah model tersebut sudah baik atau tidak. Model analisis penentuan kebutuhan luasan hutan
kota yang berfungsi sebagai sink gas CO
2
antropogenik yang dipergunakan dalam penelitian ini sudah dapat dinyatakan baik, berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut ini: 1.
Semua komponen sistem dalam batasan sistem yang telah ditetapkan sudah lengkap, baik yang bertindak sebagai masukan, proses maupun sebagai ke-
luaran gas CO
2
dengan kendala adanya keterbatasan lahan Gambar 6. 2.
Tanggap perilaku populasi manusia sama dengan perilaku lahan terbangun lihat Lampiran 5. Lahan terbangun yang dibutuhkan mengikuti pola jumlah
penduduk dengan kebutuhan per orang sebesar 0,007 ha. Daya dukung popu- lasi sebanyak 1,3 juta orang pada hamparan lahan terbangun seluas 8.032 ha.
3. Grafik pertumbuhan populasi manusia, lahan terbangun dan jumlah emisi gas
CO
2
perilakunya bersifat goal seeking pertumbuhan terbatas. Pola kecen- derungan seperti itu dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.
4. Dengan memasukkan nilai jumlah CO
2
sisa yakni besaran emisi dikurangi dengan sink oleh ruang terbuka hijau sama dengan nol, maka kebutuhan
luasan hutan kotanya pun menjadi nol. 5.
Jika populasi manusia dijadikan nol, maka emisi gas CO
2
dan kebutuhan luasan hutan kota juga akan menjadi nol.
96
4.2.4. Pengaruh Hujan
Ketika air hujan turun ke bumi, butiran air hujan akan bersinggungan dengan molekul gas CO
2
. Gas ini akan larut ke dalam air hujan. Menurut Manahan 2000 jumlah CO
2
yang terlarut dalam air hujan pada keadaan setim- bang dengan konsentrasi CO
2
di udara sebesar 350 ppmv pada suhu udara 25
o
C sebanyak 1,146 x 10
-5
M atau setara dengan 5,04 x 10
-7
kgl. Nilai kelarutan gas CO
2
dan jumlah air hujan yang turun di Kota Bogor selama setahun sebanyak 474 x 10
11
l. Kedua nilai ini akan digunakan pada model. Dari hasil simulasi seperti dapat dilihat pada Gambar 26 dapat dikemukakan
bahwa, walaupun gas CO
2
sebagian dapat dibersihkan oleh air hujan, namun konsentrasinya di udara ambien terus meningkat dari tahun ketahun. Oleh sebab
itu, perlu tambahan luasan hutan kota untuk menurunkannya.
Tahun Gas CO2 ppm
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 389,890
389,892 389,894
389,896
Gambar 26. Konsentrasi gas CO
2
yang terus bertambah, walau sebagian telah dibersihkan oleh air hujan.
Berikut ini disajikan hasil simulasi berupa nilai kebutuhan luasan hutan kota jika dilengkapi dengan adanya pengaruh hujan. Jenis pohon yang digunakan pada
penambahan luasan hutan kota yang baru adalah jenis berdaya sink sangat tinggi. Kebutuhan luasan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 27.
97
Tahun Kebutuhan Luas
an H K ha
2.020 2.040 2.060 2.080 2.100
150 200
250 300
Gambar 27. Kebutuhan luasan hutan kota dengan tanaman berdaya sink sangat
tinggi ha Dari Gambar 27 menunjukkan bahwa kebutuhan luasan hutan kota sejak
tahun 2017 sampai tahun 2100 berkisar antara 300 – 280 ha. Nilai kelarutan gas CO
2
dalam air hujan yakni sebesar 5,04 x 10
-7
kgl Manahan 2000. Dari hasil perhitungan kota Bogor yang luasnya 11.850 ha
dengan curah hujan sebesar 4.000 mmtahun, maka gas CO
2
yang larut dalam air hujan selama satu tahun sebanyak 239 tontahun. Nilai ini sangat tidak berarti jika
dibandingkan dengan jumlah emisi gas CO
2
antropogenik di Kota Bogor pada tahun 2010 sebanyak 600.216 ton dan pada tahun 2100 menjadi 848.175 ton.
Oleh karena hujan tidak berperan nyata dalam menurunkan konsentrasi gas CO
2
ambien dan setelah dibuat simulasi dengan memasukkan pengaruh hujan, ternyata luasan hutan kota yang dibutuhkan sama dengan tanpa pengaruh hujan,
maka penentuan kebutuhan luasan hutan kota untuk selanjutnya, pengaruh hujan tidak dimasukkan dalam model.
4.2.5. Analisis Kecukupan Luasan Hutan Kota Menggunakan Tanaman Berdaya
Sink Gas CO
2
Sangat Tinggi dengan Model Tidak Dipe- ngaruhi Hujan.
Oleh karena hasil uji verifikasi dan validasi menyatakan bahwa model ini sudah baik, maka dilakukan simulasi untuk menentukan kebutuhan luasan hutan
kota yang berfungsi sebagai sink gas CO
2
antropogenik. Untuk melakukan simulasi, nilai daya sink gas CO
2
oleh beberapa bentuk ruang terbuka hijau digunakan data seperti tercantum pada Tabel 12, sedangkan nilai kelas daya sink
pohon hutan kota digunakan nilai rerata daya sink berdasarkan nilai rerata kelas.
98
Tahun Rosot RTH
k g
2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 100.000.000
200.000.000 300.000.000
400.000.000 500.000.000
Tahun Emisi Gas CO2 kg
2.020 2.040
2.060 2.080 2.100
600.000.000 700.000.000
800.000.000
Tahun Luas RTH
ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 1.000
2.000 3.000
4.000
Program diagram alir dan data selengkapnya yang digunakan dalam Program Powersim dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
Untuk melihat kecenderungan jumlah emisi gas CO
2
, luasan ruang terbuka hijau dan daya sink-nya dilakukan simulasi. Hasil simulasi dapat dilihat pada
Gambar 28. Dari gambar ini dapat dinyatakan bahwa gas CO
2
dari bahan bakar minyak dan gas terus meningkat sementara daya sink ruang terbuka hijau terus
menurun karena luasan ruang terbuka hijau yang terus menurun.
a
b c
Gambar 28. Hasil simulasi: a. Emisi gas CO
2
, b. Luas RTH dan c. Daya sink RTH
Dari Gambar ini dapat dinyatakan pula bahwa lingkungan Kota Bogor ditinjau dari emisi dan sink gas CO
2
sudah sangat mengkhawatirkan. Emisi gas CO
2
pada tahun 2010 sebanyak 600.216 ton dan pada tahun 2100 menjadi 848.175 ton, sementara luasan ruang terbuka hijau pada tahun 2010 seluas
3.865,34 ha dan pada tahun 2100 seluas 233,26 ha. Luasan ruang terbuka hijau yang terus menurun mengakibatkan daya sink ruang terbuka hijau yang semula
pada tahun 2010 sebanyak 470.883 ton dan pada tahun 2100 sebesar 26.714 ton.
99
Tahun Gas CO2
pp m
2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 389,875
389,880 389,885
389,890
Tahun Gas CO2
pp m
2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 389,890
389,891 389,892
389,893 389,894
389,895 389,896
Hasil simulasi yang terdapat pada Gambar 29 menunjukkan bahwa kon- sentrasi gas CO
2
jika tidak dilengkapi dengan penambahan luasan hutan kota akan meningkat menjadi 389,8964 ppmv pada tahun 2100, sedangkan jika dilengkapi
dengan luasan hutan kota yang sesuai dengan kebutuhan akan menurun menjadi 389,8752 ppmv pada tahun 2100.
Gambar 29. Konsentrasi CO
2
ambien hasil simulasi dari tahun 2005 – 2095. a Tanpa penambahan luasan HK, b Dengan penambahan HK.
Berikut ini akan dibahas beberapa skenario yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah emisi gas CO
2
dan atau menurunkan konsentrasi ambien gas CO
2
.
4.2.5.1. Skenario Variasi Jenis Daya Sink Gas CO
2
Hasil dari penelitian yang telah dibahas pada Bab 4.2.2. yang mengha- silkan 6 kelas daya sink yakni sangat tinggi, tinggi, agak tinggi, sedang, rendah
dan sangat rendah, maka dilakukan simulasi berdasarkan variasi daya sink. Yang pertama digunakan adalah nilai daya sink sangat tinggi. Simulasi dengan nilai sink
sangat tinggi
terdapat pada Gambar 30. b
a
100
Tahun Jumlah Pohon
anakan
1
Phn_Remaja
2
Phn_Dewasa
3
Phn_Tua
4
Phn_Renta
5 2.020
2.060 2.100
10.000 20.000
30.000 40.000
50.000 1
2
3 4 5
1 2
3 4
5 1
2 3
4 5
1 2
3 4
5 1
2 3
4 5
Tahun Luas H
K ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 150
200 250
300
a b Gambar 30. Hasil Simulasi. a. Kebutuhan jumlah bibit dan perkembangannya
b. Kebutuhan luasan HK dengan jenis berdaya sink sangat tinggi. Kebutuhan penambahan luasan hutan kota yang baru dengan jenis berdaya
sink sangat tinggi, dari hasil simulasi menghasilkan jumlah kebutuhan bibit per
tahun yang bervariasi seperti terlihat pada Gambar 30a dan kebutuhan luasan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 30b. Dari simulasi ini pula dapat
dikemukakan bahwa jumlah bibit yang diperlukan terus meningkat sejak tahun 2007. Kebutuhan bibit tertinggi pada tahun 2017 sebanyak 54.766 bibit. Setelah
tahun 2017 kebutuhan bibit terus menurun. Kebutuhan bibit pada tahun 2100 sebanyak 191 bibit. Dari Gambar 30b dapat dinyatakan kebutuhan luasan hutan
kota mulai meningkat sejak tahun 2007 yakni menjadi 147,87 ha. Kebutuhan luasan hutan kota tertinggi terjadi pada tahun 2019 - 2021 seluas 302,45 ha.
Keadaan ini terus menurun walaupun penurunannya agak landai. Kebutuhan tahun 2100 seluas 277,39 ha.
Keadaan ini akan sangat berlainan, jika yang ditanam jenis yang memiliki
daya sink yang tinggi. Dengan memasukkan nilai daya sink gas CO
2
yang tinggi ke dalam program, grafik jumlah bibit dan kebutuhan luasannya dapat dilihat pada
Gambar 31a dan 31b. Kebutuhan bibit mulai ada pada tahun 2007 sebanyak 31.565 bibit. Kebutuhan tertinggi pada tahun 2017 sebanyak 1.106.522 yang terus
menurun dan pada tahun 2100 sebanyak 3.856 bibit tanaman. Luasan hutan kota yang dibutuhkan mulai muncul pada tahun 2007 yakni seluas 271,0 ha yang terus
meningkat dan mencapai puncaknya tahun 2019 - 2021 seluas 6.517 ha yang kemudian menurun sampai akhirnya tahun 2100 menjadi 5.505 ha.
101
Tahun Jumlah Pohon
anakan
1
Phn_Remaja
2
Phn_Dewasa
3
Phn_Tua
4
Phn_Renta
5 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100
500.000 1.000.000
1 2
3 4 5
1 2
3 4
5 1
2 3
4 5
1 2
3 4
5 1
2 3
4 5
Tahun Luas H K
ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000
Jika dikaji berdasarkan luasannya, maka kebutuhan luasan hutan kota
dengan jenis tanaman berdaya sink tinggi seluas 5.504,06 ha. Ini berarti
menempati lahan seluas 46,45 dari seluruh wilayah kota. Hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat seluas 67,78 lahan dipergunakan untuk lahan
terbangun yang dibutuhkan oleh penduduk sampai tahun 2100 sebanyak 1,3 juta orang. Dengan skenario penggunaan jenis tanaman berdaya sink tinggi, maka
jumlah lahan terbangun, ruang terbuka hijau dan hutan kota akan melebihi angka 100 yakni sebesar 116,20 Dengan demikian penggunaan jenis tanaman
berdaya sink tinggi tidak dianjurkan untuk dipergunakan dalam program penanaman di areal hutan kota yang baru.
a b Gambar 31. a. Jumlah bibit dan perkembangannya. b. Luasan hutan kota yang
diperlukan dengan penggunaan tanaman berdaya sink tinggi.
Dari keterangan yang telah disampaikan tadi maka simulasi dengan nilai daya sink agak tinggi dan yang lebih rendah dari itu menjadi tidak perlu untuk
dikaji lagi, karena akan menghasilkan nilai kebutuhan luasan hutan kota yang lebih besar lagi.
Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk menekan kebutuhan luasan hutan kota adalah: pengkayaan pada areal bervegetasi jarang, penurunan laju
pertambahan penduduk dan penghematan bahan bakar. Masalah ini akan dibahas pada Bab 4.2.5.2, Bab 4.2.5.3 dan Bab 4.2.5.4.
4.2.5.2. Skenario Variasi Laju Pertambahan Penduduk
Berikut ini disajikan skenario variasi laju pertambahan penduduk sebesar 1, 2 dan 3,06. Dengan menggunakan nilai laju pertambahan penduduk
sebesar 3,06 per tahun, maka penduduk dengan skenario lahan terbangun 70
102
Tahun Kebutuhan Luasan H
K ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 200
300 400
500 600
700
Tahun Kebutuhan Luasan HK
ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 200
300 400
500 600
700
Tahun Kebutuhan Luasan HK
ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 200
300 400
500 600
700
m
2
orang, dengan bangunan 1 lantai, maka pada tahun 2100 penduduk Kota Bogor menjadi 1,3 juta orang.
Jika laju pertambahan penduduk sebesar 3,06, maka kebutuhan luasan hutan kota bervariasi seperti grafik yang terdapat pada Gambar 32c. Namun, jika
laju pertambahan penduduk masing-masing 1 dan 2, maka kebutuhan luasan lahan hutan kotanya seperti terlihat pada Gambar 32a dan 32b.
a b
c
Gambar 32. Kebutuhan luasan hutan kota pada skenario laju pertambahan penduduk a. 1 per tahun. b. 2 per tahun, dan c 3,06 per
tahun. Dari gambar ini dapat dikemukakan bahwa kebutuhan luasan hutan kota
untuk laju pertambahan penduduk sebesar 1, 2 dan 3,06 per tahun tidak berbeda. Oleh sebab itu, pengurangan laju pertambahan penduduk bukan merupa-
kan prioritas yang perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan luasan hutan kota.
4.2.5.3. Skenario Variasi Penghematan Bahan Bakar Minyak dan Gas
Penghematan bahan bakar minyak dan gas secara teoritis dapat memper- kecil kebutuhan luasan hutan kota, karena upaya ini dapat memperkecil jumlah
103
Tahun Kebutuhan HK ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 150
200 250
300 350
400
Tahun Kebutuhan HK ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 150
200 250
300 350
400
Tahun K
ebutuhan HK ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 150
200 250
300 350
emisi gas CO
2
. Berikut ini disajikan hasil simulasi kebutuhan luasan hutan kota pada berbagai upaya penghematan bahan bakar 10, 20 dan 30.
a
b
c
Gambar 33. Kebutuhan luasan hutan kota pada berbagai upaya penghematan bahan bakar. a. Penghematan 10, b. Penghematan 20 dan c.
Penghematan 30. Dari Gambar 33 dapat dinyatakan bahwa pada skenario penghematan
sebesar 10, kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2009 seluas 152,03 ha dan mencapai puncaknya tahun 2021 seluas 428,55 ha. Pada tahun
2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 385,69 ha Gambar 32a. Pada skenario penghematan sebanyak 20 menghasilkan simulasi kebutuhan penambahan
luasan hutan baru muncul tahun 2012 seluas 164,30 ha dan mencapai puncaknya tahun 2023-2024 seluas 396,52 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota
sebesar 360,75 ha Gambar 32 b. Sedangkan pada skenario penghematan sebesar 30, kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2014 seluas 153,08
ha dan mencapai puncaknya tahun 2026-2027 seluas 365,11 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 336,10 ha Gambar 33c. Dari Gambar 33
dapat dinyatakan bahwa penghematan bahan bakar sebanyak lebih dari 30 dapat menekan kebutuhan luasan hutan kota.
104
Tahun Kebutuhan HK ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 145
150 155
Tahun Kebuituhan H K
Gabun g
an ha
2.020 2.040
2.060 2.080
2.100 145
146 147
148
4.2.5.4. Skenario Pengkayaan pada Areal Bervegetasi Jarang dan Upaya Gabungan
Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk memperkecil kebutuhan pe- nambahan luasan hutan kota yang baru adalah dengan upaya pengkayaan pada
areal bervegetasi jarang dan upaya gabungan yaitu berupa gabungan upaya peng- gunaan jenis tanaman berdaya sink sangat tinggi, laju pertambahan penduduk
hanya 1 dan dilakukan penghematan bahan bakar sebesar 30 serta upaya pengkayaan pada areal bervegetasi jarang. Hasil simulasi berupa kebutuhan luasan
hutan kota dapat dilihat pada Gambar 34.
a b
Gambar 34. Kebutuhan luasan hutan kota pada skenario: a Pengkayaan pada areal bervegetasi jarang b. Upaya gabungan
Dari gambar ini terlihat bahwa pada skenario pengkayaan pada areal bervegetasi jarang kebutuhan luasan hutan kota baru muncul mulai tahun 2007
sebesar 151,00 ha yang kemudian agak mendatar sampai tahun 2090 sekitar 150 ha dan pada tahun 2091-2092 mengalami peningkatan menjadi sekitar 151,00 ha
dan pada tahun 2093 sampai 2100 menjadi sekitar 158,00 ha. Pada skenario ini terlihat kebutuhan hutan kota walaupun naik turun namun kisarannya tidak terlalu
lebar seperti skenario yang telah dipaparkan terdahulu. Pada skenario pengkayaan pada areal bervegetasi jarang kebutuhan luasan hutan kota berkisar antara 145 -
158 ha per tahun. Simulasi pada skenario gabungan memperlihatkan kebutuhan hutan kota
mulai muncul pada tahun 2014 dengan luasan 148,39 ha yang kemudian menurun dengan landai, akhirnya pada tahun 2100 menjadi 147,84 ha. Terlihat kebutuhan
hutan kota pada skenario ini berkisar antara 145 - 148 ha per tahun. Walaupun
105 kisarannya agak sama dengan skenario pengkayaan, namun polanya berbeda lihat
Gambar 34.
4.2.6. Daya Dukung Kependudukan
Mengingat Kota Bogor jaraknya hanya 60 km dari DKI Jakarta, maka Kota Bogor merupakan tempat pilihan permukiman yang baik bagi para pekerja
yang bekerja di DKI Jakarta. Telah dijelaskan pada Bab. 4.1.2. tentang kepen- dudukan yang menyatakan, jika laju pertambahan penduduk sampai tahun 2100
tetap sebesar 3,06 per tahun, maka jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2100 sebanyak 15 juta orang. Jika hal ini terjadi, maka perlu dikaji bagaimana
dampaknya terhadap kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO
2
antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas. Berikut ini disajikan simulasi kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi
sebagai sink gas CO
2
antropogenik yang bervariasi berdasarkan jumlah penduduk yang dianalisis berdasarkan jumlah daya dukung lantai bangunan. Satu kali daya
dukung artinya lahan terbangun per orang untuk permukiman, perkantoran dan lain sebagainya dengan bangunan 1 lantai yang kebutuhan luasnya 70 m
2
per orang. Angka ini diperoleh dari keadaan penggunaan lahan terbangun dan jumlah
penduduk pada tahun 2003 - 2005. Dua kali daya dukung nilainya sebesar 702 m
2
per orang yang dicapai dengan bangunan 2 lantai dan tiga kali daya dukung sama dengan 703 m
2
per orang dengan bangunan 3 lantai dan seterusnya. Nilai kebutuhan lahan terbangun sebesar itu dengan memperhatikan persentase ruang
terbuka hijau tetap dipertahankan sekitar 32, karena sebesar 68,00 diper- untukkan untuk lahan terbangun. Persentase luasan harus lebih dari 30 untuk
mengikuti ketentuan UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa 30 lahan kota harus disediakan untuk ruang terbuka hijau.
Dengan pendekatan ini, jika lahan terbangun dengan 1 lantai penduduknya telah menggunakan lahan sebesar 68, maka pertambahan penduduk berikutnya meng-
gunakan bangunan berlantai dua, demikian seterusnya. Dengan demikian, berapa pun jumlah penduduk Kota Bogor, ruang terbuka hijau tetap dapat disediakan
seluas 32 sementara lahan terbangunnya sebesar 68 dari luasan Kota Bogor.
106
Tahun Jml
P enduduk
2,020 2,040 2,060 2,080 2,100 1,000,000
1,500,000 2,000,000
2,500,000
Tahun Kebutuhan Luasan H K
ha
2,020 2,040 2,060 2,080 2,100 500
1,000 1,500
Bangunan baik perumahan maupun bangunan lainnya jika disediakan dua lantai, maka jumlah penduduk yang dapat ditampung serta luasan ruang terbuka
hijau dan luasan hutan kota yang diperlukan sebagai sink gas CO
2
antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas sebagai hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar
35.
Gambar 35 . Skenario bangunan 2 lantai: a. Perkembangan jumlah penduduk, b. Kebutuhan luasan hutan kota.
Dari Gambar 35 dapat dikemukakan bahwa jika bangunan hanya dua lantai, maka jumlah penduduk yang dapat ditampung hanya sebanyak 2,5 juta
orang. Sementara luasan hutan kota yang dibutuhkan bervariasi seperti terlihat pada Gambar 35b.
4.2.7. Implikasi Kebijakan
Setelah diketahui luasan hutan kota menurut kajian emisi dan sink gas CO
2
sangat kurang, maka diperlukan penambahan luasan hutan kota. Guna membantu menekan kebutuhan luasan hutan kota, beberapa kebijakan yang harus dilakukan
oleh Pemerintah Kota Bogor adalah sebagai berikut: 1. Upaya untuk memperke- cil jumlah emisi gas CO
2
antara lain berupa: penghematan bahan bakar, peng- gunaan bahan bakar minyak dan gas serta penggunaan mobil surya dan mobil
hibrida dan upaya untuk memperbesar daya sink antara lain penambahan luasan hutan kota dengan jenis berdaya sink sangat tinggi, pengkayaan areal bervegetasi
jarang dan juga penurunan nilai laju konversi luasan ruang terbuka hijau. Beberapa upaya dan kelengkapan instrumen yang dapat disarankan kepada
Pemerintah Daerah Kota Bogor adalah:
107 1.
Pemerintah daerah perlu menaati UU Tata ruang No. 26 tahun 2007 yang menyatakan ruang terbuka hijau harus 30 dari luas kota. Pembangunan
lahan terbangun disarankan bangunan secara vertikal berlantai dua untuk jumlah penduduk sebanyak 2,5 juta orang pada lahan terbangun seluas
8.032,11 ha. Sisanya untuk ruang terbuka hijau dan hutan kota. Luasan hutan kota yang dibutuhkan dari tahun 2017 sampai 2100 bervariasi
sekitar 1.400 ha. 2.
Pemerintah Daerah Kota Bogor perlu mengukuhkan areal kebun koleksi tanaman di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Cimanggu,
Istana Presiden, Arboretum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan serta Konservasi Alam Gunung Batu, karena secara fisik ekosistem telah
berupa hutan kota. 3.
Kelembagaan dengan pengaturan yang jelas serta diperlukan adanya perangkat perundangan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Bogor yang
dapat mendukung penyelenggaraan hutan kota lebih baik. 4.
Guna menekan nilai kebutuhan luasan hutan kota Pemda Kota Bogor perlu melakukan kampanye dan usaha lainnya untuk penghematan bahan bakar
sampai 30, pengkayaan pada areal bervegetasi jarang dengan jenis pohon berdaya sink sangat tinggi.
5. Mengingat emisi gas CO
2
dari LPG lebih rendah kadarnya dibandingkan dengan bahan bakar minyak lainnya, maka penggunaan bahan bakar gas
dapat disarankan untuk dikembangkan di Kota Bogor sebagai pengganti atau pelengkap penggunaan bahan bakar minyak. Jika alternatif ini
ditempuh, maka pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas SPBG dan konversi penggunaan minyak tanah ke Epliji, harus sudah mulai
dipikirkan teknis pelaksanaannya. 6.
Penggunaan mobil hibrida yakni mobil dengan mesin penggerak berbahan bakar bensin atau solar yang dilengkapi dengan penggerak listrik.
7. Pembatasan jumlah penduduk.