Efek Iradiasi Gamma Terhadap Aktivitas Anti inflamasi Kitosan Secara In Vitro

(1)

(2)

(3)

(4)

Program Studi : Farmasi

Judul : Efek Iradiasi Gamma Terhadap Aktivitas Anti inflamasi Kitosan SecaraIn Vitro


(5)

iv Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Efek Iradiasi Gamma Terhadap Aktivitas Anti inflamasi Kitosan SecaraIn Vitro


(6)

Nama : Dias Prakatindih Program Studi : Farmasi

Judul : Efek Iradiasi Gamma Terhadap Aktivitas Anti Inflamasi Kitosan SecaraIn Vitro

Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang berasal dari laut yang paling banyak ditemukan. Kitosan berasal dari hasil deasetilasi kitin. Derajat deasetilasi dan berat molekul merupakan parameter utama yang mempengaruhi karakteristik kitosan. Fernandes (2010) menyebutkan bahwa kitosan memiliki aktivitas anti inflamasi secara in vivo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iradiasi gamma terhadap derajat deasetilasi, berat moleku, serta aktivitas anti inflamasinya. Hasil pengamatan menunjukan bahwa kitosan non iradiasi mempunyai DDA 96,658% dan kitosan radiasi 94,073%. Radiasi juga menyebabkan penurunan berat molekul kitosan, semakin besar dosis radiasi semakin rendah berat molekul yang dihasilkan. Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas anti inflamasi kitosan non iradiasi dan kitosan radiasi dengan 3 dosis radiasi yang berbeda masing-masing 50, 100, dan 150 kGy yang dibandingkan dengan Na diklofenak sebagai kontrol positif. Telah diketahui persentase stabilisasi membran sel darah merah kitosan 0 kGy (25,05%), kitosan 50 kGy (36,27%), kitosan 100 kGy (55,87%), dan kitosan 150 kGy (39,92%). Berdasarkan kemampuannya dalam menstabilkan membran sel darah merah, kitosan 100 kGy mempunyai aktivitas anti inflamasi yang tertinggi dan juga sebanding dengan Na diklofenak. Selain itu, hasil uji analisis statistik ANOVA menunjukan bahwa kitosan 100 kGy berbeda secara bermakna dengan kitosan 0, 50, dan 150 kGy tetapi identik dengan Na diklofenak. Hasil ini mebuktikan bahwa kitosan 100 kGy dapat dijadikan sebagai referensi obat anti inflamasi.

Kata kunci : kitosan, derajat deasetilasi, berat molekul, anti inflamasi, Na diklofenak, sel darah merah manusia, stabilisasi membran


(7)

vi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Name : Dias Prakatindih

Program Study : Pharmacy

Tittle : The Effect of Gamma Irradiation on the In Vitro Anti-Inflammatory Activity of Chitosan

Chitosan is one of the most abundant marine-based biopolymers. Chitosan is the product of deacetylation of chitin. The main parameters influencing the characteristics of chitosan are its degree of deacetylation and molecular weight. Fernandes (2010) reported that chitosan had in vivo anti inflammatory effect. The aim of this research is to determine the influence of gamma irradiation on the degree of deacetylation, molecular weight, and its anti inflammatory activity. The results of degree deacetylation showed that unirradiated and iiradiated chitosan have 96,658% and 94,073%, respectively. Irradiation caused the reduction of molecular weight of chitosan, the higher doses of irradiation resulted in lower molecular weight. In this experiment the anti inflammatory activity of uniiradiated and irradiated chitosan in three irradiation doses 50, 100, and 150 kGy was compared with sodium diclofenac as a positive control. The result showed that the percentage membrane stabilization of red blood cell of chitosan 0, 50, 100, and 150 kGy are 25,05%, 36,27%, 55,87% and 39,92%, respectively. The ability to stabilize the membranes of red blood cell, chitosan irradiated with 100 kGy has the higher anti inflammatory activity and also has the same anti inflammatory effect with sodium diclofenac. Moreover, the statistical analysis ANOVA showed that chitosan irradiated with 100 kGy has the significant different with chitosan 0, 50, and 150 kGy but comparable to sodium diclofenac. This result indicated that chitosan irradiated with 100 kGy has a potency to develop as anti inflammatory drug.

Keyword : chitosan, degree of deacetylation, molecular weight, anti inflammatory, sodium diclofenac, human red blood cell, membrane stabilization


(8)

Dengan Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Darmawan Darwis, Apt. selaku pembimbing pertama dan Bapak Yardi, M.Si., Ph.D., Apt. selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan bapak mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya. 2. Bapak Prof. DR. (hc) dr. M.K Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan , Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Si., Apt. selaku Ketua Jurusan Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kepada Ibu Dewi, Ibu Susi, Ibu Ayu, dan Ibu Ilin yang telah memberikan

masukan kepada penulis selama penelitian di BATAN.

6. Kepada Kak Rani, Kak Lisna, Kak Tiwi, Kak Eris, Kak Liken, dan Kak Rahmadi yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis selama penelitian di kampus.

7. Kepada kedua orang tua saya, Ayahanda H. Abdul Ghozi dan Ibunda Hj. Suparti Adik-adikku Felisa Angularsih dan David Pamungkas, dan semua keluarga besar


(9)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang selalu memberikan dorongan moril, materil, spiritual, hingga selesainya skripsi ini.

8. Untuk sahabat-sahabatku “Ngocol”, Syarifatul Mufidah, Afifah Nurul Izzah, Diah Azizah, Melia Puspitasari, Jaga Paramudita, Zakiya Kamila, Desi Syifa Nurmillah, dan Fatmah Syafiqoh yang selalu setia memberikan masukan, tak bosan memberikan dukungan doa dan semangat, serta mendengarkan keluhan, tangisan, dan teriakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan ANDALUSIA dari Farmasi 2010 yang sama-sama berjuang bersama selama 4 tahun untuk menyelesaikan pendidikan ini.

10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, khususnya bagi mahasiswa farmasi, masyarakat pada umumnya dan bagi dunia ilmu pengetahuan.

Ciputat, September 2014 Penulis


(10)

(11)

x

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR ISTILAH... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat penelitian... 4

1.5 Hipotesis... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Kitosan ... 5

2.1.1 Sumber Kitosan... 5

2.1.2 Karakteristik Kitosan ... 6

2.1.3 Proses Pembuatan Kitosan ... 7

2.2 Radiasi ... 9

2.2.1 Macam-macam Radiasi ... 9

2.2.2 Fungsi Radiasi... 10

2.3 Metode Perhitungan Berat Molekul ... 11


(12)

2.4 Inflamasi... 12

2.4.1 Definisi... 12

2.4.2 Mekanisme Inflamasi Akut ... 13

2.4.3 Penyebab Inflamasi ... 15

2.4.4 Tipe Inflamasi ... 16

2.4.5 Mediator Inflamasi ... 17

2.5 Obat Anti Inflamasi... 22

2.5.1 Obat Anti Inflamasi Steroid ... 22

2.5.2 Obat Anti Inflamasi Non Steroid ... 22

2.6 Uji Aktivitas Anti Inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit... 22

2.7 Spektrofotometri UV-VIS ... 24

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 26

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.2 Bahan... 26

3.2.1 Bahan Uji ... 26

3.2.2 Bahan Kimia... 26

3.3 Alat ... 26

3.4 Prosedur Kerja... 27

3.4.1 Penyiapan Kitosan... 27

3.4.2 Iradiasi... 27

3.4.3 Perhitungan Derajat Deasetilasi ... 27

3.4.4 Perhitungan Berat Molekul ... ..27

3.4.5 Uji Aktivitas Anti Inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit... 28

3.4.6 Analisa Data ... ..31

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

4.1 Hasil ... 32

4.1.1 Hasil Derajat Deasetilasi (DDA) Kitosan ... 32


(13)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.1.3 Hasil Uji Efek Stabilisasi Membran Sel Darah Merah Kitosan

Hasil Iradiasi dan Non Radiasi... 35

4.1.4 Hasil Analisa Statistik ... 37

4.2 Pembahasan ... 38

4.2.1 Derajat Deasetilasi (DDA) Kitosan... 38

4.2.2 Berat Molekul Kitosan ... 39

4.2.3 Stabilisasi Membran Sel Darah Merah ... 40

BAB 5 PENUTUP... 44

5.1 Kesimpulan... 44

5.2 Saran... 44

DAFTAR PUSTAKA... 45


(14)

Tabel 1.1 Derajat Deasetilasi (DDA) Kitosan... 33

Tabel 1.2 Tabel Waktu Alir Rata–Rata Tiap Konsentrasi Larutan ... 33

Tabel 1.3 Tabel Viskositas Spesifik dari Berbagai Dosis Radiasi ... 34

Tabel 1.4 Tabel Viskositas Intrinsikdan Berat Molekul ... 34

Tabel 1.5 Efek Stabilisasi Membran SDM dari Larutan Uji dan Kontrol Positif Terhadap Induksi Panas&Larutan Hipotonik Pada Konsentrasi 100 ppm . 36 Tabel 1.6 Nilai Persen Rata-Rata Stabilitas Membran SDM Kitosan dan Natrium Diklofenak Pada Konsentrasi 100 ppm ... 38


(15)

xiv

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 1 Struktur Kitin... 5

Gambar 2 Struktur Kitosan ... 6

Gambar 3 Reaksi Deasetilasi Kitin dengan Basa Kuat Menjadi Kitosan ... 8

Gambar 4 Skema Mekanisme Inflamasi Akut ... 15

Gambar 5 Diagram Metabolisme Asam Arakidonat... 20

Gambar 6 Efek Utama yang Ditimbulkan oleh IL-1 & TNF pada Inflamasi ... 21

Gambar 7 Grafik Hubungan Dosis Radiasi dengan Berat Molekul Kitosan ... 35

Gambar 8 Stabilisasi Membran SDM dari Larutan Uji & Kontrol Positif Terhadap Induksi Panas dan Larutan Hipotonik ... 37


(16)

BM : Berat Molekul COX : Cyclooxygenase

DDA : Degree of Deacetylation HRBC : Human Red Blood Cell Ig : Imunoglobulin

IL : Interleukin kGy : Kilogray

NMR : Nuclear Magnetic Resonance PAF : Platelet Activating Factor PGE/F : Prostaglandin

PGI : Prostasiklin

TNF : Tumor Necrosis Factor TXA : Tromboksan


(17)

xvi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 1 Kerangka Penelitian... 50

Lampiran 2 Pengukuran Berat Molekul Kitosan ... 51

Lampiran 3 Uji Aktivitas Anti Inflamasi Kitosan Pada Konsentrasi 100 ppm... 52

Lampiran 4 Pembuatan Larutan Uji dan Standar ... 53

Lampiran 5 Perhitungan Pembuatan Buffer Asetat dan Buffer Posfat ... 54

Lampiran 6 Spektrum 1H NMR Kitosan 0 kGy dan Kitosan 75 kGy ... 56

Lampiran 7 Perhitungan Derajat Deasetilasi (DDA) Kitosan... 60

Lampiran 8 Hasil Pengukuran Waktu Rata–Rata Kitosan 0, 50, 100, dan 150 kGy pada Konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,3%, dan 0,4% ... 61

Lampiran 9 Hasil Perhitungan Viskositas Spesifik Kitosan 0, 50, 100, dan 150 kGy pada Konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,0%, dan 0,4% ... 63

Lampiran 10 Nilai Viskositas Intrinsik Kitosan 0, 50, 100, dan 150 kGy pada Konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,3%, dan 0,4%... 66

Lampiran 11 Penentuan Berat Molekul Kitosan ... 67

Lampiran 12 Nilai Absorbansi Larutan Uji Kitosan 0, 50, 100, 150 kGy, dan Na Diklofenak... 68

Lampiran 13 Nilai Absorbansi Kontrol Larutan Uji dan Kontrol Negatif ... 69

Lampiran 14 Penentuan Stabilitas Membran SDM Terhadap Kitosan 0, 50, 100, & 150 kGy pada Konsentrasi 100 ppm ... 70

Lampiran 15 Hasil Uji Statistik Persen Stabilitas Kitosan 0, 50, 100, 150 kGy dan Na Diklofenak pada Konsentrasi 100 ppm ... 72

Lampiran 16 Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi Sukarelawan ... 77

Lampiran 17 Gambar Kitosan Sebelum dan Sesudah Radiasi... 78

Lampiran 18 Foto-Foto Alat Penelitian ... 79


(18)

1.1 Latar Belakang

Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati laut yang melimpah dan beragam. Sumber daya kelautan Indonesia yang melimpah itu dapat berpotensi sebagai obat, contohnya alga, rumput laut, bulu babi, udang, dan lain-lain. Salah satu komoditas laut Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah udang. Dewasa ini pengembangan dan penelitian mengenai udang terus dilakukan, terutama dalam bidang aktivitas farmakologisnya, salah satunya sebagai anti inflamasi (Fernandeset al.,2010).

Udang merupakan salah satu komoditas andalan dari sektor perairan Indonesia yang terus mengalami peningkatan produksi, baik diperoleh dari usaha penangkapan di alam ataupun dari hasil budidaya. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4% per tahunnya. Data tahun 2001 menunjukkan potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Udang juga merupakan salah satu sumberdaya perikanan dengan nilai ekspor terbesar selain dari hasil perikanan lainnya dan umumnya diekspor dalam bentuk beku. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60 - 70% dari berat total udang menjadi limbah (kulit udang) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah kulit udang sebesar 510.266 ton (Darmawanet al., 2007). Namun, proses pengolahan limbah kulit udang tersebut belum dilakukan secara optimal di Indonesia.

Limbah kulit udang mengandung 16,9% protein, 23,5% kitin, dan 24,8% kalsium (Sossrowinoto, 2007). Berdasarkan data tersebut, kulit udang merupakan sumber potensial sebagai bahan baku pembuatan kitin yang selanjutnya dapat menghasilkan kitosan. Kitosan adalah senyawa turunan kitin hasil proses deasetilasi yang mempunyai ikatan (1-4) 2-amido-2-deoksi-β-D-glukosa serta mempunyai karakteristik fisika kimia yang lebih baik dibandingkan dengan kitin. Saat ini kitosan banyak digunakan dalam farmasi sebagai bahan tambahan untuk


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memperbaiki sistem penghantaran obat, mempunyai aktivitas sebagai anti mikroba, anti tumor, anti hiperlipidemia, dan anti inflamasi (Xiaet al.,2011).

Proses peradangan (inflamasi) merupakan suatu respon perlindungan normal terhadap kerusakan jaringan dan merupakan suatu proses yang kompleks disertai dengan aktivasi enzim, pelepasan mediator, ekstravasasi cairan, dan migrasi sel. Mediator-mediator kimia juga berperan sebagai pemberi respon terjadinya inflamasi, mediator tersebut dapat berikatan pada reseptor yang spesifik pada sel target dan dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksis neutrofil, merangsang kontraksi otot polos, memiliki aktivitas enzimatik secara langsung, menginduksi rasa nyeri atau stress oksidatif (Kumaret al., 2010). Stress oksidatif ini telah terbukti berkaitan dengan jalur patogenesis beberapa penyakit seperti aterosklerosis, kanker, kerusakan hati, artritis rematoid dan gangguan syaraf (Kumar, 2011).

Aktivitas biologis dari kitosan dipengaruhi oleh berat molekulnya. Proses pemutusan rantai molekul kitosan dapat dilakukan dengan cara kimia, enzimatik, dan radiasi. Proses radiasi selain digunakan untuk memutus rantai molekul, juga dapat digunakan sebagai proses sterilisasi yang berguna untuk membunuh mikroba. Selain itu, pemutusan rantai molekul kitosan dengan cara radiasi tidak meninggalkan residu seperti pada proses kimia dan enzimatik. Proses radiasi juga tidak menyebabkan bahan yang diradiasi menjadi radioaktif sehingga obat yang dihasilkan dapat dikonsumsi dengan aman. Akhir-akhir ini proses radiasi mendapatkan perhatian yang lebih dalam bidang teknologi karena beberapa faktor diantaranya mempunyai realiabilitas yang baik, dapat diaplikasikan pada produk skala besar, dan lebih ekonomis (Tahtat et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Matsuhashi dan Kume 1997 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas antimikroba dari kitosan yang telah diiradiasi. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi dapat meningkatkan aktivitas biologis dari kitosan.


(20)

Kitosan mempunyai sifat sukar larut dalam air dan pelarut organik lain. Hal ini menyebabkan aplikasi penggunaannya menjadi terbatas. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan kelarutan dari kitosan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah iradiasi, karena iradiasi dapat memperkecil berat molekul kitosan. Semakin rendah berat molekulnya maka kelarutan kitosan semakin meningkat. Kitosan dengan berat molekul yang lebih rendah disebut oligokitosan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fernandes et al., 2010, oligokitosan memiliki aktivitas anti inflamasi lebih tinggi daripada indometasin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oligokitosan dapat menghambat kerja enzim siklooksigenase dan mengurangi produksi prostaglandin. Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai anti inflamasi dengan menghambat ekspresi protein prostaglandin E2 (PGE2) dan kerja enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) (Chou et al., 2003). Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kitosan mempunyai potensi yang besar sebagai alternatif obat anti inflamasi baru yang selektif terhadap COX-2.

Sel darah merah (eritrosit) manusia telah banyak digunakan sebagai model studi interaksi obat dengan membran. Obat seperti anestesi dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dapat mencegah lepasnya hemoglobin (Hb) dari sel darah merah (eritrosit) ketika terjadi kondisi hipotonik. Teori ini digunakan sebagai metode yang sangat berguna untuk menilai aktivitas anti inflamasi dari bermacam-macam senyawa secara in vitro (Kumar, 2011). Melihat adanya potensi yang tinggi pada kitosan hasil iradiasi sebagai anti inflamasi, maka pada penelitian ini akan dilakukan uji aktivitas anti inflamasi kitosan hasil iradiasi secara in vitro dengan metode stabilisasi membran HRBC (Human Red Blood Cell).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Apakah kitosan yang telah diiradiasi memilki aktivitas anti inflamasi secara in-vitro dilihat dari kemampuannya dalam menstabilkan membran sel darah merah?

3. Adakah peningkatan aktivitas anti inflamasi dari kitosan hasil iradiasi dibandingkan dengan kitosan tanpa iradiasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh iradiasi terhadap berat molekul kitosan.

2. Mengetahui apakah kitosan yang telah diiradiasi memilki aktivitas anti inflamasi secara in-vitro dilihat dari kemampuannya dalam menstabilkan membran sel darah merah.

3. Mengetahui ada atau tidaknya peningkatan aktivitas anti inflamasi dari kitosan hasil iradiasi dibandingkan dengan kitosan tanpa iradiasi

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai informasi ilmiah bagi peneliti lanjutan tentang aktivitas anti inflamasi yang terdapat pada kitosan hasil iradiasi.

2. Sebagai pengetahuan dalam bidang ilmu kimia bahan alam dan bidang industri farmasi dalam upaya pengembangan obat anti inflamasi yang dihasilkan dari kitosan hasil iradiasi.

1.5 Hipotesis

Kitosan hasil iradiasi yang diproduksi oleh BATAN mempunyai aktivitas anti inflamasi lebih tinggi dibandingkan dengan kitosan tanpa radiasi, dilihat dari kemampuannya dalam menstabilkan membran sel darah merah.


(22)

(23)

(24)

selektif terhadap kelat ion logam seperti besi, tembaga, kadmium dan magnesium (Shahidi, 1999).

Secara umum kitosan mempunyai bentuk fisik berupa padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal yang tidak berubah dari bentuk kitin. Kitosan mempunyai karakteristik kimia dan biologi sebagai berikut (Dutta, 2004):

Karakteristik Kimia :

• Memiliki gugus amino reaktif

• Memiliki gugus hidroksil reaktif

• Mampu mengkelat logam-logam transisi Karakteristik Biologi :

• Biokompatibel (polimer alami, biodegradabel didalam tubuh manusia, aman, dan tidak toksik)

• Mampu berikatan dengan sel mamalia dan mikroba dengan kuat

• Mempercepat pembentukan osteoblas yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang

• Hemostatik

• Fungistatik dan spermisid

• Antitumor dan antikolesterol

• Mempercepat pembentukan tulang

• Depresan sistem saraf pusat

• Immunoadjuvant

2.1.3 Proses Pembuatan Kitosan

Kitosan dihasilkan dari kulit udang yang diperoleh dari proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) senyawa kitin. Kitin dalam cangkang udang terdapat sebagai mukopolisakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk


(25)

(26)

tersebut dimiliki oleh oligomer dari kitosan (oligokitosan). Oligokitosan merupakan senyawa hasil hidrolisis kitosan, baik secara kimiawi (dengan asam kuat), secara enzimatis (dengan enzim kitosanase), dan menggunakan iradiasi.

2.2 Radiasi

2.2.1 Macam-macam Radiasi

Ada tiga jenis radiasi yang sering kali dipancarkan dari inti radioaktif yaitu radiasi alfa, beta, dan gamma.

1. Partikel Alfa

Radiasi alfa terbentuk oleh partikel zat yang terdiri dari dua proton dan dua neutron. Jadi, partikel alfa sama dengan inti Helium yang kehilangan dua buah elektron. Di dalam udara partikel alfa terdapat dalam rentang kira-kira 5 cm, tetapi di dalam jaringan kurang dari 100µ (Leswara, 2008).

2. Partikel Beta

Radiasi beta ada dua jenis, oleh karena itu kita mengenal dua jenis elektron yaitu negatron (elektron bermuatan negatif) dan positron (elektron bermuatan positif). Positron dan negatron adalah sama, kecuali dalam hal muatannya yaitu +1 dan -1. Elektron – elektron ini dipancarkan dari inti radioaktif yang disebut partikel beta. Partikel beta mempunyai rentang lebih dari 3 meter di dalam udara dan kira-kira 1 mm di dalam jaringan (Leswara, 2008). 3. Radiasi Gamma

Radiasi gamma adalah gelombang elektromagnetik sedangkan radiasi alfa dan beta adalah partikel. Sinar gamma dipancarkan sebagai foton atau kuantum energi dengan kecepatan c = 3,0 x 1010 cm/det. Perbedaan radiasi gamma dengan sinar X dan sinar UV, sinar tampak dan sinar lainnya hanya dalam panjang gelombang atau frekuensinya. Sinar gamma mempunyai penetrasi yang paling


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta besar diantara radiasi – radiasi yang dipancarkan oleh radioisotop (kecuali netrino) dan dapat dengan mudah menembus jaringan lebih dari 30 cm dan timbal (Pb) dengan ketebalan beberapa inci (Leswara, 2008).

2.2.2 Fungsi Radiasi

Proses radiasi saat ini banyak digunakan dalam berbagai bidang seperti sterilisasi alat-alat kedokteran, pengawetan bahan makanan, serta digunakan juga untuk diagnosa maupun terapi suatu penyakit yang dalam hal ini digunakan suatu radionuklida. Selain itu radiasi juga dapat berfungsi sebagai salah satu metode untuk memutus bobot molekul suatu senyawa. Proses radiasi adalah metode yang paling menjanjikan, karena prosesnya yang sederhana, dapat dilakukan pada suhu kamar dan tidak ada pemurnian produk yang diperlukan setelah pengolahan. Proses radiasi juga tidak menyebabkan perubahan struktur utama dari suatu senyawa yang diputus berat molekulnya (Chmielewski, 2010).

Sinar radiasi yang umunya digunakan saat ini adalah radiasi sinar gamma. Daya tembus dari sinar gamma memiliki banyak aplikasi dalam kehidupan manusia, dikarenakan sinar gamma dapat menembus beberapa bahan, dan sinar gamma tidak akan membuatnya menjadi radioaktif. Sejauh ini ada tiga radionuklida pemancar gamma yang paling sering digunakan yakni cobalt-60, cesium-137 dan technetium-99m.

1. Cesium -137 digunakan dalam perawatan kanker, mengukur dan mengontrol aliran fluida pada beberapa proses industri, menyelidiki subterranean strata pada oil wells, dan memastikan level pengisian yang tepat untuk paket makanan, obat–obatan dan produk yang lain.


(28)

2. Cobalt-60 bermanfaat untuk: sterilisasi peralatan medis di rumah sakit, pasteurize beberapa makanan dan rempah, sebagai terapi kanker, dan mengukur ketebalan logam dalam stell mills.

3. Tc-99m adalah isotop radioaktif yang paling banyak digunakan secara luas untuk studi diagnosa sebagai radiofarmaka. (Technetium-99m memiliki waktu paruh yang lebih singkat). Radiofarmaka ini digunakan untuk mendiagnosa otak, tulang, hati dan juga mampu menghasilkan pencitraan yang dapat digunakan untuk mendiagnosa aliran darah pasien

2.3 Metode Perhitungan Bobot Molekul 2.3.1 Viskometer(Hwang et al.,1997)

Viskositas merupakan ukuran yang menyatakan kekentalan suatu larutan polimer. Perbandingan antara viskositas larutan polimer terhadap viskositas pelarut murni dapat dipakai untuk menentukan massa molekul nisbi polimer. Keunggulan dari metode ini adalah lebih cepat, lebih mudah, alatnya murah serta perhitungannya lebih sederhana. Alat yang digunakan adalah viskometer Ostwald.

Berat molekul kitin dan kitosan diukur berdasarkan viskositas intrinsik (ƞ ). Sejumlah kitosan dilarutkan dalam 0,05, 0,1, 0,2, dan 0,3 M NaCl/ 0,1 M CH3COOH lalu dimasukkan ke dalam viskometer. Kemudian 10 mL pelarut dimasukkan ke dalam tabung viskometer Ostwald dalam media air pada suhu 25°C. Data yang diperoleh dipetakan pada grafik

ƞ

sp /C terhadap C. Viskositas intrinsik adalah titik pada grafik yang menunjukkan nilai C=0. Berat molekul ditentukan berdasarkan persamaan Mark-Houwink yaitu:


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [ƞ ] = kMα

Keterangan:

[ƞ ] = viskositas intrinsik k = konstanta pelarut α = konstanta

M = berat molekul

2.4 Inflamasi 2.4.1 Definisi

Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap adanya infeksi, iritasi atau zat asing, sebagai upaya mekanisme pertahanan tubuh. Pada reaksi inflamasi akan terjadi pelepasan histamin, bradikinin, prostaglandin, ekstravasasi cairan, migrasi sel, kerusakan jaringan dan perbaikannya yang ditujukan sebagai upaya pertahanan tubuh dan biasanya respon ini terjadi pada beberapa kondisi penyakit yang serius, seperti penyakit kardiovaskular, gangguan inflamasi dan autoimun, kondisi neurodegeneratif, infeksi dan kanker (Kumar et al., 2010 & Chippadaet al.,2011).

Ada empat tanda klinis terjadinya inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), kalor (panas), dolor (rasa nyeri), dan functio laesa (kehilangan fungsi). Kemerahan terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah berkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh (kinin, prostaglandin, dan histamin). Pelepasan histamin menyebabkan dilatasi arteriol. Pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi, dimana plasma masuk ke dalam jaringan interstitial pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Rasa panas pada tempat inflamasi disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah dan mungkin juga dapat disebabkan oleh pirogen (substansi yang menimbulkan demam) yang mengganggu pusat


(30)

pengatur panas pada hipotalamus. Adanya pembengkakan serta pelepasan mediator-mediator kimia menyebabkan timbulnya rasa nyeri. Rasa nyeri dan terjadinya penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dapat menyebabkan gangguan mobilisasi pada daerah yang terkena (Kee & Hayes, 1993).

2.4.2 Mekanisme Inflamasi Akut

Ada dua fase yang terjadi dalam mekanisme inflamasi akut yaitu fase perubahan vaskular dan fase reaksi selular. Fase perubahan vaskular terjadi pada pembuluh darah. Mula-mula akan terjadi vasokonstriksi yaitu penyempitan pembuluh darah terutama pembuluh darah kecil (arteriol). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit tergantung pada kerasnya jejas. Kemudian akan terjadi vasodilatasi yang dimulai dari pembuluh arteriol yang tadinya menyempit lalu diikuti oleh bagian lain pembuluh darah itu. Akibat dilatasi ini, maka aliran darah akan bertambah sehingga pembuluh darah akan penuh terisi darah dan tekanan hidrostatiknya meningkat, yang selanjutnya dapat menyebabkan keluarnya cairan plasma dari pembuluh darah itu. Setelah itu, aliran darah melambat karena permeabilitas kapiler juga bertambah. Sehingga cairan darah dan protein akan keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan darah menjadi kental. Proses tersebut dikenal dengan proses eksudasi. Keseluruhan proses ini terjadi akibat adanya zat kimia yang menyerupai histamin dan prostaglandin (Pringgoutomo, 2002).

Setelah fase vaskuler selesai, terjadi reaksi seluler pada daerah yang mengalami inflamasi. Fase ini dimulai setelah sel darah putih dalam darah berpindah ke tempat cedera atau infeksi. Sel - sel darah putih dan trombosit tertarik ke daerah tersebut oleh zat - zat kimia yang dihasilkan dari sel yang cedera, sel mast, melalui pengaktifan komplemen, dan pembentukan sitokinin yang terjadi setelah antibodi


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berikatan dengan antigen. Tertariknya sel darah putih ke area cedera disebut kemotaksis. Ketika berada di area tersebut, berbagai stimulant menyebabkan sel endotel kapiler dan sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit menghasilkan molekul adhesi komplementer. Neutrofil merupakan sel pertama yang tiba di daerah yang mengalami inflamasi. Neutrofil bekerja dengan memfagositosis, mendegradasi sel debris, serta membunuh mikroba. Neutrofil dapat membunuh mikroorganisme melalui dua cara yaitu menggunakan enzim lisosomal pencernaan dan memproduksi okigen bebas radikal (Corwin & Elizabeth, 2008)

Urutan proses yang terjadi pada leukosit terdiri atas penepian (marginasi), pelekatan (sticking), diapedesis (emigrasi), dan fagositosis. Proses marginasi adalah proses ketika sel darah putih melekat pada sel endotel, sehingga sel darah putih bergerak ke perifer kapiler. Proses ini ditandai dengan terjadinya emigrasi sel darah putih disepanjang kapiler yang kemudian mengelilingi dan memfagositosis sel yang rusak. Trombosit yang memasuki area tersebut merangsang pembekuan untuk mengisolasi infeksi dan mengontrol perdarahan. Sel –sel yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan berperan melakukan penyembuhan (Corwin & Elizabeth, 2008)


(32)

Gambar 4 Skema Mekanisme Inflamasi Akut (Pringgoutomo, 2002)

2.4.3 Penyebab Inflamasi

Penyebab yang paling umum dari proses peradangan antara lain :

1. Infeksi mikrobial (bakteri piogenik, virus)

2. Agen fisik (trauma, radiasi pengion, panas, dan dingin)

3. Cedera kimiawi (korosif, asam, basa, agen pereduksi, dan toksin bakteri)

Jejas

Stimulasi

Saraf Kerusakan Jaringan

Mediator

Permeabilitas meningkat Dilatasi

pembuluh darah

Protein keluar (koloid osmotik darah menurun)

Eksudasi (koloid osmotik diluar pembuluh darah meningkat)

Retardasi marginasi

Statis Emigrasi leukosit

Trombosis Enzim proteolitik

PUS Nekrosis


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Jaringan nekrosis misalnya infark iskemik

5. Reaksi hipersensitivitas misalnya parasit dan basil tuberkolosis (Underwood, 1999).

2.4.4 Tipe Inflamasi

Berdasarkan waktu kejadiannya inflamasi diklasifikasikan menjadi : 1. Inflamasi akut, yaitu inflamasi yang terjadi dalam waktu yang

segera dan hanya dalam waktu yang tidak lama terhadap cedera jaringan. Karakteristik utamanya adalah adanya eksudasi cairan (edema) dan emigrasi sel polimorfonuklear (neutrofil).

2. Inflamasi kronis, yaitu inflamasi yang terjadi dalam waktu dan durasi yang lebih lama dengan melibatkan limfosit serta makrofag dan menimbulkan proliferasi pembuluh darah serta pembentukan jaringan parut.

Berdasarkan pada karakteristik utama inflamasi kronik dan akut, dapat dibedakan menurut jenis eksudat dan variabel morfologi :

a. Inflamasi serosa

Inflamasi serosa dicerminkan oleh akumulasi cairan dalam jaringan dan menunjukkan sedikit peningkatan permeabilitas vaskuler. Pada peritoneum, pleura, dan perikardium keadaan ini dinamakan efusi, namun dapat juga ditemukan ditempat lain (misalnya lepuh karena luka bakar pada kulit).

b. Inflamasi fibrinosa

Inflamasi fibrinosa merupakan keadaan meningkatnya permeabilitas vaskular yang lebih nyata, disertai eksudat yang mengandung fibrinogen dalam jumlah besar. Fibrinogen tersebut akan diubah menjadi fibrin melalui sistem koagulasi. Keterlibatan permukaan serosa (misalnya perikardium atau pleura) disebut dengan istilah perikarditis fibrinosa atau pleuritis fibrinosa.


(34)

c. Inflamasi supuratif atau purulen

Pola ini ditandai oleh eksudat purulen (pus atau nanah) yang terdiri atas leukosit dan sel – sel nekrotik. Istilah abses mengacu kepada kumpulan inflamasi purulen setempat yang disertai dengan nekrosis likuefaksi (misalnya abses stafilokokus).

d. Ulkus

Ulkus merupakan erosi lokal pada permukaan epitel yang ditimbulkan oleh jaringan nekrotik yang mengelupas atau mengalami inflamasi (misalnya ulkus lambung) (Richard, et.al 2006).

2.4.5 Mediator Inflamasi

Selama berlangsungnya proses inflamasi banyak mediator kimia yang dilepaskan dari plasma, sel atau jaringan yang rusak. Mediator inflamasi dibagi dalam beberapa kelompok :

1. Amin vasoaktif : histamin dan serotonin

2. Protein plasma : komplemen, kinin, dan sistem pembekuan

3. Metabolit asam arakidonat : prostaglandin, leukotrien, dan lipoksin 4. Platelet-Activating Factor (PAF)

5. Sitokin dan kemokin 6. Nitrogen oksida

7. Konstituen lisosom pada leukosit 8. Radikal bebas yang berasal dari oksigen 9. Neuropeptida dan mediator lainnya

Beberapa mediator inflamasi yang penting antara lain : a. Histamin dan Serotonin

Histamin dan serotonin merupakan dua dari beberapa mediator pertama dalam proses inflamasi. Pelepasan histamin dan serotonin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta permeabilitas vaskuler. Kedua mediator ini berasal dari sel mast, basofil, dan trombosit. Beberapa faktor yang menyebabkan pelepasan amin dari sel mast adalah sebagai berikut :

1. Adanya agen fisik (trauma atau panas) 2. Reaksi imun yang melibatkan Ig E

3. Fragmen komplemen C3a serta C5a (anafilatoksin) 4. Sitokin (IL 1 serta IL 8)

5. Faktor–faktor pelepasan histamin yang berasal dari leukosit.

b. Komplemen C3a dan C5a

C3a dan C5a disebut juga sebagai anafilatoksin. Anafilatoksin mampu memicu degranulasi pada sel endotelial, mastosit, dan fagosit yang lebih lanjut memicu respon peradangan. C3a dan C5a merupakan polipeptida yang berfungsi layaknya sitokin yang hanya dilepaskan pada area peradangan. C3a dan C5a akan menstimulasi pelepasan histamin dari sel mast dan dengan demikian terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi. C5a juga mengaktifkan metabolisme arakidonat sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi tambahan.

c. Bradikinin

Pelepasan bradikinin menyebabkan timbulnya rasa nyeri, vasodilatasi dan edema/ pembengkakan yang terjadi dalam proses inflamasi. Bradikinin bukan merupakan zat kemotaksis. Bradikinin dihasilkan dari pemecahan protein plasma kininogen oleh enzim protease spesifik (kalikrein). Kalikrein juga memiliki aktivitas kemotaktik dan menyebabkan agregasi neutrofil.


(36)

d. Prostaglandin

Prostaglandin merupakan golongan asam lemak rantai panjang turunan dari asam arakidonat dan disintesis oleh berbagai jenis sel. Prostaglandin dihasilkan melalui jalur siklooksigenase. Terdapat beberapa jenis prostaglandin antara lain prostaglandin I2 (prostasiklin) dan prostaglandin E2 yang menyebabkan vasodilatasi. Selain itu prostaglandin E2 juga dapat meningkatkan sensitivitas terhadap rangsangan nyeri dan dapat memediasi demam (Richardet al., 2006).

Prostaglandin memiliki sejumlah efek fisiologi dan farmakologi luas, antara lain terhadap otot polos (dinding pembuluh, rahim, bronchi, dan lambung – usus), agregasi trombosit, produksi hormon, lipolisis di depot lemak dan SSP. Senyawa ini terbentuk bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida yang terdapat di daerah tersebut menjadi asam arakidonat yang kemudian sebagiannya diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi asam enderoperoksida dan seterusnya menjadi zat – zat prostaglandin. Bagian lain dari arakidonat diubah oleh enzim lipoksigenase menjadi zat-zat leukotrien (Tjay & Rahardja, 2007).


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 5 Diagram metabolisme asam arakidonat

(Tjay dan Rahardja, 2007)

e. TNF dan IL-1

TNF dan IL-1 merupakan sitokin utama yang memediasi inflamasi. Kedua sitokin ini terutama diproduksi oleh sel-sel makrofag aktif. Kerjanya yang paling penting dalam proses inflamasi meliputi efek pada endothelium, leukosit, dan induksi reaksi sistemik fase akut. Sekresi TNF dan IL-1 distimulasi oleh endotoksin, kompleks imun, toksin, jejas fisik, dan berbagai produk inflamasi. TNF dan IL-1 menginduksi aktivasi endotel yang meliputi induksi molekul adhesi endotel dan mediator kimia (sitokin lainnya seperti IL-6, IL-8, faktor pertumbuhan, PGI2, PAF

Fosfolipida membran sel Lipooksigenase Asam arakidonat Siklooksigenase Asam hidroperoksida Endoperoksida Leukotrien Peradangan, vasokonstriksi, dan permeabilitas meningkat

COX - 1 COX - 2

Tromboksan (TXA2) Vasokonstriksi, bronko -konstriksi, dan agregasi meningkat Prostasiklin (PGI2) Proteksi lambung, vasodilatasi, dan antiagregasi Prostaglandin (PGE2/ PGF2) Peradangan


(38)

dan nitrit oksida). Kedua sitokin ini juga menginduksi enzim-enzim yang berkaitan dengan remodeling matriks dan peningkatan trombogenisitas endotel.

IL-1 dan TNF menginduksi respon fase akut sistemik yang menyertai infeksi atau jejas seperti demam, anoreksia, letargi, neutrofilia, pelepasan kortikotropin serta kortikosteroid, dan efek hemodinamik akibat oleh syok septik-hipotensi, penurunan resistensi vaskular, peningkatan frekuensi jantung serta asidosis.

Gambar 6 Berbagai efek utama yang ditimbulkan oleh IL-1 dan TNF pada inflamasi (Richard, 2006)

Produk bakteri, kompleks imun, toksin, jejas fisik,

sitokin lainnya

AKTIVASI MAKROFAG

(dan sel lainnya)

IL-1 / TNF

Reaksi Fase Akut

Demam, tidur, selera makan, protein fase akut meningkat, efek

hemodinamik (syok), neutrofilia

Efek Endotelial

Daya rekat leukosit, sintesis PGI, aktivitas prokoagulan meningkat, aktivitas

antikoagulan menurun, IL-1, IL-8, IL-16, PDGF

meningkat

Efek Fibroblas

Proliferasi, sintesis kolagen, kolagenase, protease, sintesis PGE meningkat

Efek Leukosit


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.5 Obat Anti Inflamasi

2.5.1 Obat Anti Inflamasi Steroid

Kortikosteroid seperti deksametason, prednison, prednisolon, seringkali digunakan sebagai obat anti inflamasi. Kelompok obat ini dapat mengendalikan anti inflamasi dengan menekan atau mencegah banyak komponen dari proses inflamasi pada tempat cedera. Kortikosteroid disintesis secara alami di korteks adrenal dan merupakan hasil biosintesis dari kolesterol. Mekanisme kerja anti inflamasi steroid adalah mengambat berbagai sel yang memproduksi faktor-faktor penting untuk membangkitkan respon radang (Gilman, 2008).

2.5.2 Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Obat – obat yang termasuk dalam golongan ini adalah indometasin, asam mefenamat, ibu profen, asam salisilat, diklofenak, dan fenilbutazon. Mekanisme kerja dari obat ini adalah menghambat sintesis prostaglandin atau siklooksigenase, dimana enzim tersebut mengkatalisis pembentukan asam arakidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan (Gilman, 2008).

2.6 Uji Aktivitas Anti inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit

Berbagai metode dapat digunakan untuk menguji aktivitas anti inflamasi dari suatu obat, kandungan kimia, maupun herbal. Metode yang dapat dilakukan secara in vivo antara lain pembentukan edema buatan, eritema, iritasi dengan panas, pembentukan kantong granuloma, iritasi pleura, dan penumpukan kristal sinovitis (Vogel, 2002 & Turner, 1965). Selain itu, metode in vitro juga dapat dilakukan unutk menguji aktivitas anti inflamasi, antara lain pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP), menghambat denaturasi protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran lisosomal, pengujian fibrinolitik dan agregasi platelet (Oyedapoet al.,2010).


(40)

Sel darah merah manusia (eritrosit) telah digunakan sebagai suatu model untuk mempelajari interaksi antara obat dengan membran. Obat-obatan seperti anastetik transquilisers dan obat anti inflamasi non steoid dapat menstabilkan eritrosit untuk melawan terjadinya haemolisis hipotonik pada konsentrasi rendah. Ketika sel darah merah mengalami stress hipotonik, pelepasan hemoglobin (Hb) dari sel darah merah dapat dicegah oleh agen anti inflamasi (Kumar, 2011).

Membran sel darah merah merupakan analog dari membran lisosomal. Enzim lisosomal yang dilepaskan selama inflamasi menyebabkan berbagai gangguan pada jaringan, kerusakan makromolekul, dan peroksidasi lipid yang dianggap dapat bertanggung jawab pada kondisi patologis tertentu seperti serangan jantung, syok septik, rheumatoid artritis, dan lain - lain. Aktivitas ekstraseluler dari enzim ini dianggap berhubungan pada inflamasi akut dan kronik (Chippadaet al.,2011).

Stabilisasi dari membran lisosomal merupakan hal yang sangat penting pada respon inflamasi dengan menghambat pelepasan konstituen lisosomal yang mengaktifkan neutrofil seperti enzim, bakterisidal, dan protease, yang dapat menyebabkan peradangan pada jaringan dan kerusakan selama extra cellular releaseatau dengan menstabilkan membran lisosomal (Kumar et al., 2011).

Kerusakan pada membran lisosomal biasanya memicu pelepasan fosfolipase A2 yang menyebabkan hidrolisis fosfolipid untuk memproduksi mediator inflamasi. Stabilisasi membran pada sel ini menghambat lisis dan pelepasan isi dari sitoplasma yang ikut membatasi kerusakan jaringan dan eksaserbasi dari respon inflamasi. Oleh karena itu, diharapkan senyawa dengan aktivitas penstabil membran dapat memberikan perlindungan secara signifikan pada membran sel dalam melawan pelepasan zat-zat penyebab luka (Karunanithi, 2012).


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.7 Spektofotometri UV-Vis

Metode spektrofotometri ultraviolet dan sinar tampak telah banyak diterapkan untuk penetapan senyawa-senyawa organik yang umumnya dipergunakan untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil. Prinsip kerjanya berdasarkan pada penyerapan cahaya atau energi radiasi oleh suatu larutan. Jumlah cahaya atau energi radiasi yang diserap memungkinkan pengukuran jumlah zat penyerap dalam larutan secara kuantitatif (Triyati, 1985).

Spektrum elektromagnetik pada spektrofotometri UV-Vis adalah 200-750 nm. Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang 200-400 nm, sementara sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400 - 750 nm (Gholib, 2007).

Metode spektrofotometri ultraviolet dan sinar tampak didasarkan pada penggunaan hukum Lambert-Beer. Hukum tersebut menyatakan bahwa jumlah radiasi cahaya tampak, ultraviolet dan cahaya-cahaya lain yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan (Triyati, 1985). Hubungan antara intensitas, tebal medium dan konsentrasi zat digambarkan dengan persamaan yang sesuai dengan Hukum Lambert-Beers, yakni :

Keterangan : A : Absorban a : absorptivitas b : tebal kuvet (cm) c : konsentrasi A = a . b . c


(42)

Mekanisme kerja spektrofotometer UV –Vis dapat diuraikan sebagai berikut :

1. suatu sumber cahaya dipancarkan melalui monokromator.

2. Monokromator menguraikan sinar yang masuk dari sumber cahaya tersebut menjadi pita-pita panjang gelombang yang diinginkan untuk pengukuran suatu zat tertentu, yang menunjukkan bahwa setiap gugus kromofor mempunyai panjang gelombang maksimum yang berbeda. 3. Dari monokromator tadi cahaya/energi radiasi diteruskan dan diserap

oleh suatu larutan yang akan diperiksa di dalam kuvet.

4. Kemudian jumlah cahaya yang diserap oleh larutan akan menghasilkan signal elektrik pada detektor, yang mana signal elektrik ini sebanding dengan cahaya yang diserap oleh larutan tersebut.

5. Besarnya signal elektrik yang dialirkan ke pencatat dapat dilihat sebagai angka (Triyati, 1985).


(43)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2014 di Laboratorium Kelompok Bahan Kesehatan, Bidang Proses Radiasi, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jalan Lebak Bulus Raya No.9 Pasar Jumat Jakarta Selatan serta di Laboratorium Pharmacy Sterile Technology (PST).FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2 Bahan

3.2.1 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan adalah kitosan yang diproduksi oleh (Badan Tenaga Nuklir Nasional) BATAN, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) dan sel darah merah manusia.

3.2.2 Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah NaCl (Merck), dapar posfat pH 7,4 (0,15 M), natrium diklofenak (P.T Indofarma), asam asetat (Merck), natrium asetat (Merck), natrium hidroksida, alkohol, dan aquades.

3.3 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Iradiator gamma IRKA, Spektrofotometer UV-Vis (U 2910), sentrifugator, tabung EDTA, tabung sentrifus, autoklaf (All American), spuit, gelas ukur, timbangan analitik (Acculab BL-2015), pH meter, water bath, gelas kimia, labu ukur, labu erlemeyer, mikropipet, tips, pipet tetes, batang pengaduk, spatula, termometer, viskometer Ostwald (Cannon P 865), laminar air flow, NMR (Jeol JNM ECA-500), kuvet, dan kaca arloji.


(44)

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Penyiapan Kitosan

Kitosan yang akan digunakan, diproduksi oleh BATAN. Kitosan ini berasal dari limbah kulit udang yang diambil bagian punggungnya. Selanjutnya diproses secara kimiawi melalui proses deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi.

3.4.2 Iradiasi

Pada proses ini dilakukan iradiasi terhadap kitosan. Sumber radiasi menggunakan radiasi gamma 60Co dengan berbagai dosis iradiasi. Kitosan dikemas dalam 3 (tiga) kantong plastk klip dan masing-masing diberi label 50, 100, dan 150 kGy. Kemudian kitosan yang telah dikemas tersebut di masukan kedalam iradiator. Iradiasi dilakukan dengan kecepatan dosis 10 kGy/jam.

3.4.3 Perhitungan Derajat Deasetilasi

Derajat deasetilasi diukur menggunakan instrument 1H NMR. Kitosan dilarutkan dalam D2O dan asam asetat D2O. Kemudian kitosan yang telah dilarutkan diinjeksikan kedalam insterumen 1H NMR (Jeol JNM ECA-500).

3.4.4 Perhitungan Bobot Molekul

Dibuat larutan kitosan dari setiap dosis iradiasi dengan konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,3%, dan 0,4% dalam larutan buffer asetat pH 4,3. Kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah itu sebanyak 10 mL pelarut dimasukkan ke dalam tabung viskometer Ostwald dalam media air pada suhu 25°C. Lalu cairan dihisap dengan menggunakan pushball sampai melewati 2 batas. Kemudian siapkan stopwatch, lalu kendurkan cairan sampai batas pertama lalu mulai penghitungan. Hasil yang diperoleh dicatat. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali. Langkah


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sama juga dilakukan pada masing-masing larutan kitosan. Viskositas spesifik dihitung dengan persamaan dibawah ini :

ƞ sp

=

dimanaƞ spadalah viskositas spesifik, t2 adalah waktu alir untuk larutan dan t1 adalah waktu alir untuk pelarut Viskositas intrinsik diperoleh dengan memplotkan hasil ƞ sp/C terhadap C. Kemudian bobot molekul kitosan dihitung dengan menggunakan persamaan Mark-Houwink.

[ƞ ] = kMvα

Keterangan:

[ƞ ] = viskositas intrinsic (mL/gr) Mv = berat molekul viskositas rata-rata

kdan α= tetapan khas untuk polimer dan pelarutnya ( k = 1,181 x 10-3&α= 0,93 pada suhu 25°C )

(Hwang et al.,2000)

3.4.5 Uji Aktivitas Anti inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit 3.4.5.1 Pembuatan Larutan yang Dibutuhkan

a. Pembuatan Dapar Posfat (0,15 M pH 7,4)

Sebanyak 2,67 gram dinatrium hydrogen posfat dihidrat (Na2HPO4. 2H2O) dilarutkan dalam 100 mL aquades. Kemudian sebanyak 2,07 gram natrium dihidrogen posfat monohidrat (NaH2PO4. H2O) dilarutkan dalam 100 mL aquades. Kemudian 81 mL larutan Na2HPO4. 2H2O (0,15 M) dicampurkan dengan 19 mL larutan NaH2PO4. H2O (0,15 M) pada suhu ruang (Ruzin, 1999). Kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf 121°C selama 15 menit.


(46)

b. Pembuatan Larutan Isosalin

Sebanyak 0,85 gram NaCl dilarutkan dalam dapar posfat 0,15 M pH 7,4 kemudian di add hingga volumenya 100 mL (Kumar et al., 2011 dan Oyedapo et al., 2010). Kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf 121°C selama 15 menit.

c. Pembuatan Larutan Hiposalin

Sebanyak 0,25 gram NaCl dilarutkan dalam dapar posfat 0,15 M pH 7,4 kemudian di add hingga volumenya 100 mL (Kumar et, al., 2011 dan Oyedapo et al., 2010). Kemudian di sterilisasi menggunakan autoklaf 121°C selama 15 menit.

d. Penyiapan Konsentrasi Sampel Uji Dan Na Diklofenak 5 mg kitosan dari masing-masing dosis radiasi dilarutkan dalam 0,5 mL asam asetat lalu diencerkan dengan aquades sampai 50 mL (100 ppm) pada suhu ruang. Kemudian 5 mg Na diklofenak dilarutkan dalam 0,5 mL NaOH lalu diencerkan dengan aquades sampai 50 mL (100 ppm) pada suhu ruang.

3.4.5.2 Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah

Sel darah manusia dikumpulkan dari volunteer yang tidak mengonsumsi NSAID selama 2 minggu. Sel darah merah tersebut di masukan kedalam tabung EDTA, kemudian didiamkan selama 24 jam. Supernatan yang diperoleh dipisahkan, kemudian residu yang diperoleh dipindahkan kedalam tabung sentrifus dan ditambahkan isosalin hingga 8 mL. Sentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 27°C. Supernatan yang dihasilkan dipisahkan, kemudian residu yang dihasilkan dicuci kembali dengan menggunakan larutan


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta isosalin dan disentrifugasi kembali. Proses tersebut diulangi sebanyak 3 kali hingga larutan isosalin berwarna jernih. Lalu dibuat suspensi sel darah merah 10% dengan mencampurkan sejumlah volume sel darah dan diresuspensi menggunakan larutan isosalin (Oyedapoet al.,2010)

3.4.5.3 Pengujian Aktivitas Anti Inflamasi Kitosan Terhadap Stabilisasi Membran Eritrosit

a. Pembuatan Larutan Uji

Dibuat larutan uji dengan mencampurkan 1 ml larutan sampel, 1 ml dapar posfat, 2 ml hiposalin dan 0,5 ml suspensi 10% sel darah merah.

b. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Dibuat dengan mencampurkan 1 ml larutan Na diklofenak, 1 ml dapar posfat, 2 ml hiposalin, dan 0,5 ml suspensi 10% sel darah merah.

c. Pembuatan Larutan Kontrol Larutan Uji

Dibuat dengan mencampurkan 1 ml larutan sampel, 1 ml dapar posfat, 2 ml hiposalin, dan 0,5 ml larutan isosalin sebagai pengganti suspensi sel darah merah.

d. Pembuatan Kontrol Negatif

Dibuat dengan mencampurkan 1 ml aquades sebagai pengganti larutan sampel, 1 ml dapar posfat, 2 ml hiposalin, dan 0,5 ml suspensi 10% sel darah merah.

Setiap larutan kemudian diinkubasi pada suhu 56°C selama 30 menit dan disentrifugasi kembali pada 5000 rpm selama 10 menit. Cairan supernatan yang diperoleh mengandung hemoglobin, cairan tersebut diambil dan diukur absorbansinya


(48)

pada panjang gelombang 560 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasilnya kemudian dimasukan ke dalam rumus dibawah ini :

%

= 100 { x 100%}

(Oyedapoet al.,2010)

3.4.6 Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Saphiro Wilk untuk melihat distribusi data dan dianalisis dengan uji Levene untuk melihat homogenitas data. Jika data terdistribusi normal dan homogenitas maka dilanjutkan dengan uji Analisis of Varians (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercayaaan 95% sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak. Jika terdapat perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan metode LSD (Santoso, 2008).


(49)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Hasil Derajat Deasetilasi Kitosan

Kitosan dihasilkan dari kulit udang yang diperoleh dari proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) senyawa kitin. Kitosan produksi BATAN yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kulit udang yang diambil bagian punggungnya saja. Kulit udang tersebut kemudian diproses menjadi kitin melalui dua tahapan yaitu pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi). Proses deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan masing–masing menggunakan NaOH 1 N dan HCl 1 N. Setelah melalui dua tahapan tersebut dilakukan proses deasetilasi untuk menghasilkan kitosan. Proses deasetilasi yang dilakukan menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50% selama 8 jam sambil dipanaskan pada suhu 95°C.

Untuk mengetahui berapa banyak kitosan yang telah terbentuk maka dilakukan pengukuran derajat deasetilasi. Spektroskopi NMR merupakan salah satu metode yang paling akurat untuk mengukur derajat deasetilasi. Pada penelitian ini digunakan dua sampel kitosan, kitosan non radiasi dan kitosan yang diiradiasi dengan dosis 75 kGy. Lampiran 6 menunjukkan spektrum NMR dari kitosan hasil iradiasi dan non radiasi. Derajat deasetilasi dapat dihitung dengan menggunakan integral dari peak proton H1 N-glukosamin, peak proton H1 N-Asetilglukosamin, dan peak dari tiga proton pada gugus asetil (H-Ac).

Hasil perhitungan Derajat Deasetilasi (DDA) dari kitosan iradiasi dan non radiasi dapat dilihat pada tabel 1.1.


(50)

Tabel 1.1 Derajat Deasetilasi (DDA) Kitosan Radiasi dan Non Radiasi Dosis Radiasi

(kGy)

Integral Proton

DDA (%)

IH1-GlcN IH1-GlcNAc

0 0,839 0,029 96,66

75 1 0,063 94,07

dimana IH1-GlcN adalah integral H dari N-Glukosamin dan IH1-GlcNAc adalah integral H dari N-Asetilglukosamin. Derajat deasetilasi kitosan non radiasi sebesar 96,66% dan kitosan radiasi sebesar 94,07%.

4.1.2. Hasil Berat Molekul Kitosan

Berat molekul kitosan diukur menggunakan viskometer Otswald Cannon P 865. Setiap konsentrasi larutan uji diukur pada suhu 25°C. Setelah dilakukan pengukuran diperoleh nilai pada tabel 1.2.

Tabel 1.2 Tabel Waktu Alir Rata-Rata Tiap Konsentrasi Larutan Dosis Radiasi

(kGy)

Waktu Alir Rata-Rata (detik) Tiap Konsentrasi

0,1% 0,2% 0,3% 0,4%

0 78,99 168,86 295,65 497,69

50 51,73 70,42 94,76 126,16

100 38,44 46,18 53,92 62,12

150 37,39 43,25 50,09 57,42

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi dosis radiasi maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing larutan untuk mengalir pada pipa kapiler dengan jarak tertentu. Hasil menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi larutan uji maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengalir pada pipa kapiler. Hasil yang diperoleh pada tabel diatas kemudian diukur viskositas spesifiknya. Hasil perhitungan viskositas spesifik dapat dilihat pada tabel 1.3


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 1.3 Tabel Viskositas Spesifik dari Berbagai Dosis Radiasi

Dosis Radiasi (kGy)

sp dari Masing-Masing Konsentrasi Larutan

0,1% 0,2% 0,3% 0,4%

0 1,464 4,269 8,225 14,528

50 0,614 1,197 1,957 2,936

100 0,199 0,441 0,682 0,938

150 0,167 0,349 0,563 0,792

sp = 2 1

1

dimana t1 adalah waktu yang dibutuhkan pelarut untuk mengalir pada pipa kapiler yaitu 32,053 detik dan t2 adalah waktu yang dibutukan masing-masing larutan untuk mengalir pada pipa kapiler. Dari hasil perhitungan dapat diperoleh hasil bahwa semakin tinggi dosis radiasi maka semakin kecil nilai viskositas spesifik dimana nilai viskositas spesifik semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi larutan. Nilai viskositas spesifik yang diperoleh kemudian diplotkan dalam grafik sp/C dan diperoleh nilai viskositas intrinsik seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 1.4 Tabel Viskositas Intrinsik dan Berat Molekul Dosis Radiasi

(kGy) α K [ ]

Mv (Da)

0 0,93 1,181x10-3 11,4 19.256,405

50 0,93 1,181x10-3 4,9 7.767,204

100 0,93 1,181x10-3 2,1 3.123,135

150 0,93 1,181x10-3 1,6 2.362,672

[ ] = Kx Mvα

dimana α dan K adalah konstanta yang ditentukan berdasarkan pelarut yang digunakan, yaitu α = 0,93 dan K = 1,181x10-3. Hubungan dosis radiasi dengan berat molekul dapat dilihat dengan jelas pada grafik dibawah ini.


(52)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000

0 50 100 150

B

e

ra

t

M

o

le

k

u

l

(D

a

)


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta darah merah pada tabel 1.5 dan gambar 8 serta perhitungannya pada lampiran 14.

Tabel 1.5 Efek Stabilisasi membran SDM dari larutan uji dan kontrol positif terhadap induksi panas dan larutan hipotonik pada konsentrasi 100 ppm.

Larutan A Larutan A % S Rata-rata

% S

Uji I (Kitosan 0 kGy)

1,067

Kontrol Lar.Uji I

0,011 24,83

25,05

1,091 0,010 23,06

1,032 0,010 27,25

Uji II (Kitosan 50 kGy)

0,971

Kontrol Lar.Uji II

0,010 31,60

36,27

0,811 0,011 43,06

0,933 0,008 34,16

Uji III (Kitosan 100 kGy)

0,627

Kontrol Lar.Uji III

0,012 56,22

55,87

0,647 0,013 54,87

0,622 0,011 56,51

Uji IV (Kitosan 150 kGy)

0,898

Kontrol Lar.Uji IV

0,011 36,86

39,92

0,897 0,012 37,01

0,771 0,011 45,90

Uji V (Na Diklofenak) 0,622 Kontrol Lar.Uji V 0,002 55,87 55,58

0,685 0,003 51,45

0,572 0,002 59,43

Keterangan :

A : Absorbansi

%S : Persentase Stabilitas Membran SDM

Persentase stabilitas membran sel darah merah dihitung dengan rumus dibawah ini :


(54)

Gambar 8. Stabilisas positif t Berdasark menggunakan me menunjukkan bahw aktivitas tertinggi s secara statistik, y berbeda secara berm Na diklofenak seba

4.1.4. Hasil Anal Data pers kGy, 100 kGy,da persyaratan yaitu Shapiro-Wilkdan uj stabilitas membran s

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 Kito 0 % Stabilitas 25.05

P e rs e n ta se S ta b il it a s (% )

lisasi membran SDM rata-rata dari larutan uji d if terhadap induksi panas dan larutan hipotonik arkan perhitungan hasil uji aktivitas anti infla metode stabilisasi membran sel darah mer hwa kitosan hasil iradiasi dengan dosis 100 kGy i sebagai anti inflamasi. Hal ini juga ditunjang d k, yang menunjukkan bahwa kitosan hasil iradi ermakna terhadap larutan uji yang lain namun ide bagai kontrol positif.

Analisa Statistik

ersen stabilitas membran sel darah merah kitosa ,dan 150 kGy pada konsentrasi 100μ g/ml di tu uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil uj n uji homogenitasLevenemenunjukkan bahwa dat

an sel darah merah terdistribusi normal dan homoge Kito 0 Kito 50 Kito 100 Kito 150 Na Diklo

25.05 36.28 55.87 39.93 55.59

ji dan kontrol onik.

nflamasi dengan erah manusia, Gy mempunyai dengan analisa adiasi 100 kGy identik terhadap

osan 0 kGy, 50 dilakukan uji l uji normalitas data nilai persen ogen (p≥0,05). Na Diklo 55.59 Kito 0 Kito 50 Kito 100 Kito 150 Na Diklo


(55)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 1.6 Nilai Persen Rata-Rata Stabilitas Membran Sel Darah Merah

Kitosan dan Natrium Diklofenak pada Konsentrasi 100 ppm Sampel Uji % Rata-rata Stabilitas

Natrium Diklofenak 55,58

Kitosan 0 kGy 25,05

Kitosan 50 kGy 36,27

Kitosan 100 kGy 55,87

Kitosan 150 kGy 39,92

Hasil analisa statistik ANOVA menunjukkan bahwa persen stabilitas berbeda secara bermakna (p<0,05) kemudian dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) terhadap persen stabilitas kelompok. Persen stabilitas kitosan 100 kGy berbeda secara bermakna terhadap kitosan 0, 50, dan 150 kGy. Namun identik terhadap Na Diklofenak sebagai kontrol positif.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Derajat Deasetilasi (DDA) Kitosan

Parameter utama yang mempengaruhi karakteristik kitosan adalah derajat deasetilasi dan berat molekul. Dua parameter tersebut dapat berpengaruh pada kelarutan, sifat reologi serta sifat fisik dari kitosan. Derajat deasetilasi diukur untuk mengetahui berapa banyak gugus asetil yang telah hilang. Semakin besar derajat deasetilasinya maka semakin banyak kitosan yang telah terbentuk. Ketika derajat deasetilasi kitin telah mencapai 50%, ini menyebabkannya larut dalam asam dan disebut sebagai kitosan. Kelarutan ini disebabkan oleh adanya gugus NH2 pada posisi C-2 pada gugus D-Glukosamin. Gugus NH2 tersebut membuat kitosan bersifat polikationik sehingga dapat lebih larut dalam asam serta membuat aplikasi penggunaan kitosan semakin besar.

Berikut ini adalah beberapa formula yang dapat digunakan untuk menghitung derajat deasetilasi dari kitosan :


(56)

(%) = x 100 (1)

(%) = [1 x 100 (2)

(%) = x 100 (3)

Formula (1) dan (2) tidak dapat digunakan karena peak pada H-Ac mengalami overlapping dengan asam asetat pada sampel (Lavertu, 2003). Oleh karena itu perhitungan DDA hanya dapat dihitung dengan menggunakan formula (3). Dari hasil pengamatan diperoleh DDA kitosan non radiasi sebesar 96,658% dan DDA kitosan hasil iradiasi sebesar 94,073%. Hasil ini menunjukkan bahwa proses deasetilasi kitin menjadi kitosan yang dilakukan oleh BATAN telah mampu menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi. Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan yang dilakukan menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50% selama 8 jam sambil dipanaskan pada suhu 95°C.

Derajat deasetilasi yang tinggi menunjukan semakin banyak gugus asetil yang diubah menjadi gugus amino. Gugus amino bebas dalam bentuk NH2 maupun dalam keadaan terprotonasi NH3+dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis yang dimiliki oleh kitosan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa derajat deasetilasi yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas biologis yang dimiliki kitosan (Park et.al.,2011). Berdasarkan hasil ini juga dapat dilihat bahwa radiasi tidak menyebabkan peningkatan derajat deasetilasi kitosan karena radiasi tidak menyebabkan pemutusan pada gugus asetil pada stuktur kitin.

4.2.2. Berat Molekul Kitosan

Berat molekul dapat mempengaruhi karakteristik fisika dari suatu polimer seperti kitosan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur berat molekul kitosan adalah metode viskometer menggunakan viskometer


(57)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cannon. Metode ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu lebih mudah, lebih cepat, dan cara perhitungannya yang sederhana.

Prinsip pengukuran dengan menggunakan metode ini adalah dengan mengukur waktu yang dibutuhkan oleh sejumlah cairan tertentu untuk mengalir pada pipa kapiler pada jarak tertentu dan gaya yang disebabkan oleh berat cairan itu sendiri. Dari tabel 1.4 terlihat bahwa kitosan yang tidak diradiasi mempunyai berat molekul viskositas (Mv) sebesar 19.256,405 dalton. Iradiasi dengan dosis 50, 100, dan 150 kGy menyebabkan penurunan berat molekul kitosan menjadi masing-masing 7.767,204 Da, 3.123,135 Da, dan 2.362,672 Da. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi dosis radiasi yang digunakan maka semakin kecil berat molekul yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena radiasi menyebabkan pemutusan rantai utama kitosan pada ikatan 1,4 glikosida sehingga menjadi kitosan dengan rantai yang lebih pendek. Semakin pendek jumlah rantai polimer maka semakin kecil berat molekulnya. Polimer dengan jumlah rantai yang panjang mempunyai berat molekul yang besar dan viskositas yang besar pula.

4.2.3. Stabilisasi Membran Sel Darah Merah

Stabilisasi membran sel darah merah merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas anti inflamasi secara invitro. Hal ini disebabkan karena membran sel darah merah manusia analog dengan membran lisosom yang dapat mempengaruhi proses inflamasi. Stabilitas membran lisosom ini dapat membatasi respon inflamasi yang terjadi dengan cara mencegah pelepasan isi dari lisosom yang dapat mengaktifkan neutrofil seperti enzim dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan dan cairan ekstraseluler. Oleh karena itu stabilitas membran sel darah merah yang diinduksi dengan panas dan larutan hipotonik dapat digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui stabilitas membran lisosom (Chippadaet.al,.2011).

Kestabilan sel darah merah manusia dapat dilihat ketika sel darah merah diinduksi oleh panas maupun stress hipotonik. Hal tersebut menyebabkan


(58)

terbentuknya stress oksidatif yang dapat menggangu kestabilan biomembrannya. Stress oksidatif dapat menyebabkan oksidasi lipid dan protein sehinggu memicu kerusakan membran yang ditandai dengan terjadinya hemolisis. Besar kecilnya hemolisis yang terjadi pada membran sel darah merah yang diinduksi panas dan larutan hipotonik dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui aktivitas anti inflamasi dari kitosan (Kumar, 2011).

Aktivitas anti inflamasi dari kitosan dapat dilihat dari adanya penurunan absorbansi pada campuran larutan uji. Semakin kecil nilai absorbansi yang dihasilkan maka semakin kecil hemolisis yang terjadi, sehingga semakin besar aktivitas anti inflamasi yang dimiliki oleh sampel. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 560 nm dengan Na diklofenak sebagai kontrol positif. Na diklofenak digunakan sebagai kontrol positif karena Na diklofenak merupakan obat anti inflamasi non steroid yang bekerja dengan cara mencegah pelepasan mediator anti inflamasi sehingga dapat menghambat sintesis prostaglandin atau siklooksigenase (Gilmanet al.,1985). Selain itu Na diklofenak dipilih karena Na diklofenak merupakan OAINS yang banyak digunakan untuk mengobati inflamasi serta mudah didapatkan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada kitosan 0, 50, 100, dan 150 kGy pada konsentrasi 100 ppm, kitosan 100 kGy memiliki aktivitas anti inflamasi yang lebih besar. Konsentrasi 100 ppm dipilih karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yousef et.al,. 2012 konsentrasi 100 ppm dapat menekan induksi bakteri lipopolisakarida (LPS) dan sitokin TNF-α yang dapat berpengaruh pada jalur patogenesis penyakit radang usus.

Hasil persentase stabilitas kitosan 0 kGy sebesar 25,05%, kitosan 50 kGy sebesar 36,27%, kitosan 100 kGy sebesar 55,87%, dan kitosan 150 kGy sebesar 39,92%. Kitosan 100 kGy mempunyai aktivitas anti inflamasi yang paling besar, dimana hasil ini juga sebanding dengan persen stabilitas Na diklofenak yaitu sebesar 55,58%. Hal ini juga ditunjang dengan analisa statistik dimana kelompok perlakuan kitosan 100 kGy mempunyai nilai signufikansi yang lebih


(59)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari 0,05 dibandingkan dengan kitosan 0, 50, dan 150 kGy, namun sebanding dengan nilai signifikansi Na diklofenak sebagai kontrol positif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Leelaprakash dan Mohan 2010, Na diklofenak pada konsentrasi 100 ppm mampu menghambat hemolisis sel darah merah sebesar 51%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mittal et.al ,.2013 juga menyebutkan bahwa Na diklofenak pada konsentrasi 100 ppm mempunyai kemampuan untuk menghambat hemolisis sel darah merah sebesar 57,25%.

Kitosan dapat bekerja sebagai anti inflamasi melalui mekanisme penyerapan ion-ion proton yang dilepaskan pada area yang mengalami inflamasi. Hal ini disebabkan oleh gugus amino bebas yang dimiliki oleh kitosan dapat berprotonasi pada ion-ion proton yang dilepaskan pada area inflamasi. Akibatnya terjadi penurunan pH dan dapat mengurangi rasa sakit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aranaz et.al,. 2009 efek anti inflamasi yang terjadi disebabkan karena adanya penyerapan bradikinin yang merupakan salah satu mediator inflamasi yang dapat menimbulkan rasa sakit.

Mekanisme kerja lain dari kitosan sebagai anti inflamasi terjadi melalui hidrolisis asam kitosan menjadi glukosamin hidroklorida maupun bentuk sulfat, posfat ataupun bentuk garam yang lainnya. Monosakarida tersebut merupakan unit struktural dari proteoglikan yang terkandung didalam jaringan penghubung maupun kartilago, dimana jaringan-jaringan tersebut akan mengalami perbaikan atau beregenerasi dengan menyerap monosakarida tersebut secara langsung ketika mengalami kerusakan atau inflamasi. Adanya gugus amino bebas pada kitosan juga menyebabkan kitosan dapat menetralkan asam lambung dan dapat mengobati penyakit tukak lambung (Xiaet.al,.2011).

Beberapa mekanisme tersebut menyebutkan bahwa efek anti inflamasi yang ditimbulkan disebabkan oleh adanya gugus amino bebas yang dimiliki oleh kitosan. Dilihat dari berat molekulnya, maka kitosan dengan berat molekul rendah mempunyai gugus amino bebas yang lebih reaktif dibandingkan dengan kitosan berat molekul tinggi. Sehingga gugus amino bebas yang dimiliki oleh kitosan


(60)

dengan berat molekul rendah dapat dengan mudah bereaksi dan menghasilkan respon anti inflamasi. Kitosan dengan dosis iradiasi 100 kGy memiliki aktivitas anti inflamasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kitosan 0, 50, dan 150 kGy. Kitosan 100 kGy mempunyai berat molekul yang lebih rendah dari pada kitosan 0 kGy dan 50 kGy. Namun pada kitosan 150 kGy aktivitas anti inflamasi yang dihasilkan mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan terjadi karena terlalu banyaknya rantai kitosan dengan gugus amino bebas reaktif yang terdapat didalamnya. Akumulasi gugus amino bebas reaktif yang berlebihan dapat menghasilkan respon inflamasi sehingga tidak dapat menstabilkan membran sel darah merah (Aranaz.,et.al, 2009)

Senyawa dengan sifat menstabilkan membran dikenal karena kemampuannya untuk mengganggu proses awal fase reaksi inflamasi, dimana pembentukan phospholipase A2, enzim yang akan membentuk mediator inflamasi, dicegah. Pelepasan phospholipase A2 dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan memicu terbentuknya radikal bebas. Phospholipase A2 dapat merubah phospholipid di dalam membran sel menjadi asam arakhidonat yang sangat reaktif dan dengan cepat dimetabolisme oleh enzim siklooksigenase menjadi prostaglandin. Prostaglandin merupakan komponen utama yang dapat menginduksi rasa sakit dan inflamasi (Kumaret.al,.2012).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungannya antara muatan positif yang dimiliki oleh kitosan dengan kemampuannya dalam menstabilkan membran (Aranaz et.al,. 2009). Membran sel darah merah akan berinteraksi dengan kitosan sehingga dapat menghambat aktivitas perusak membrannya. Hal ini disebabkan karena membran sel darah merah yang mempunyai muatan negatif akan berikatan dengan muatan positif yang dimiliki oleh kitosan sehingga kitosan akan melindungi membran sel darah merah dari induksi panas maupun larutan hipotonik yang dapat menyebabkan terjadinya hemolisis.


(61)

44

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Kitosan iradiasi mempunyai derajat deasetilasi sebesar 94,07%. dan

kitosan non iradiasi sebesar 96,66%.

2. Iradiasi dapat memutus rantai utama kitosan. Semakin tinggi dosis radiasi semakin rendah berat molekul yang dihasilkan.

3. Iradiasi sampai pada dosis tertentu dapat meningkatkan aktivitas biologis kitosan sebagai anti inflamasi.

4. Kitosan 100 kGy dengan berat molekul viskositas rata-rata (Mv) 3x103 dalton mempunyai aktivitas anti inflamasi paling tinggi. Hasil ini dilihat dari kemampuannya dalam menstabilkan membran sel darah merah yaitu sebesar 55,87% pada konsentrasi 100 ppm.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui adanya peningkatan maupun penurunan daya anti inflamasi pada kitosan iradiasi diatas 150 kGy.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan kitosan iradiasi 100 kGy pada berbagai konsentrasi untuk mengetahui daya anti inflamasi optimum.


(62)

Abreu F. dan Campana-Filho S.P. 2005. Preparation and Characterization of Carboxymethylchitosan. Polímeros: Ciencia e Tecnologia, vol. 15, n2, p. 79-83

Aranaz, Inmaculada, Mengibar Marian, dan Harris Ruth et al. 2009. Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology 3 : 203– 230.

Chippada S.C., Volluri S.S., Bammidi S.R., dan Vangalapati M. 2011. In Vitro Anti Inflammatory Activity Of Methanolic Extract Of Centella Asiatica By HRBC Membran Stabilisation. RASAYAN J.Chem 4 : 2, 457-460

Chmielewski, dan Andrzej G. 2010. Chitosan and radiation chemistry. Radiation Physics and Chemistry 79, 272–275

Chou, T.Z. C., Fu, E., dan Shen, E.C. 2003. Chitosan inhibits prostaglandin E2 formation and cyclooxygenase-2 induction in lipopolysaccharide-treated RAW 264.7 macrophages. Biochemical and Biophysical Research communications 308 (2): 403-407

Corwin, Elizabeth J. 2008. Handbook of Pathophysiology 3th edition. Philadephia:

Lippincort Williams & Wilkins ; 138-143

Darmawan, Mulyaningsih, dan Firdaus. 2007. Karakteristik Khitosan yang Dihasilkan dari Limbah Kulit Udang dan Daya Hambatnya terhadap Pertumbuhan Candida albicans.Logika 4:2

Dutta P.Kumar, Dutta Joydeep, dan Tripathi VS. 2004. Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties, and Aplication. Journal of Scientific and Industrial Research Vol. 63 pp 20-31

Fernandes, Joao C., Eaton, Peter, Nascimento, Henrique et al. 2008. Effects of Chitooligosaccharides on Human Red Blood Cell Morphology and Membran Protein Structure. Biomacromolecules 9, 3346–3352.

Fernandes, Spindola, Sousa et al. 2010. Anti-Inflammatory Activity of Chitooligosaccharides in Vivo. Journal Marine Drugs 2010, 8, 1763-1768.


(63)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gilman, A.G., Theodore, W.R., Alan, S.N., dan Palmer, T. 2008. Goodman and Gilman’s: The pharmacological basis of therapeutics, 18thEd, Vol.II. USA: McGraw-Hill, 638-669, 1685

Heard, D.H. dan Seaman, G.V.F. 1960.The Influence of pH and Ionic Strength on the Electrokinetic Stability of the Human Erythrocyte Membran. Journal of General Physiology Volume 43.

Hopkinson, D.A., Spencer, N., dan Harris, H. 1964.Genetical Studies on Human Red Cell Acid Phosphatase. Medical Research Council Human Biochemical Genetics Research Unit, and Department of Biochemistry. Human Genetics 16 (1).

Hwang J.K., dan Shin H.H. 2000. Rheological properties of chitosan solutions. Korea-Australia Rheology Journal 12 (3/4) pp. 175-17

Hwang J.K., Hong, Sang-Pill, dan Kim, Choi-Tai. 1997. Effect of Molecular Weight and NaCl Concentration on Dilute Solution Properties of Chitosan. Journal Food and Science Vol.2 (1) p 1-5.

Karunanithi M, C., David R, M., Jegadeesan, dan S. Kavimani. 2012. Comparative GCMs Analysis And In Vitro Screening Of Four Species Of Mucuna. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Researc, 5(4); 239-243

Kee J.L and Hayes E.R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : EGC

Kim, Seo Won. 2011. Chitin, Chitosan, Oligosaccharides and Their Derivatives. USA:CRC Press

Kumar N, Sampath. 2011. Evaluation Of RBC Membran Stabilization And Antioxidant Activity Of Bombax Ceiba In An In Vitro Method. International Journal of Pharma and Bio Sciences 2 : 1

Kumar S. & Vivek KR. 2011. InVitro AntiArthritic Activity Of Isolated Fractions From Methanolic Extract Of Asystasia dalzelliana Leaves. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research, 4(3); 5253


(64)

Kumar, Vijender, Bhat Ali Zulfiqar, dan Kumar Dinesh et al. 2012. Evaluation Of Anti Inflammatory Potential Of Leaf Extracts Of Skimmia Anquetilia. Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine 627-630.

Kumar, Vijender, Z.A.Bhat, Dinesh Kumar, Puja Bohra, dan S.Sheela. 2010. In Vitro Anti Inflammatory Activity Of Leaf Extracts Of Basella Alba Linn.Var.Alba. International Journal of Drug Development & Research 3 : 2

Kumirska, Jolanta, Czerwicka Malgorzata, dan Kaczynski Zbigniew et al. 2010. Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. Marine Drugs 2010, 8, 1567-1636

Lavertu, M., Xia, Z., dan Serreqi, A.N. et al. 2002. A validated1H NMR method for the determination of the degree of deacetylation of chitosan. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis 32, 1149-1158.

Leelaprakash,G. dan Dass, Mohan S. 2010. Invitro Anti-Inflammatory Activity of Methanol Extract of Enicostemma Axillare. International Journal of Drug Development and Research 3, 189-196

Leswara, DR.Nelly D. 2008. Buku Ajar Radiofarmasi. Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.Jakarta : EGC

Matsuhashi S. dan Kume T. 1997.Enhancement of Antimicrobial Activity of Chitosan by Irradiation. Journal of the Science of Food and Agriculture 73 : 2 (237-241)

Mittal, Suchita, Dixit, Praveen K.,Gautam, Rupesh K.,dan Gupta M.M. 2013.In Vitro Anti Inflammatory Activity of Hydroalcoholic Extract of Asparagus Racemosus Roots. International Journal of Research in Pharmaceutical Sciences 2, 203-206.

Nugroho, Agung, Nurhayati N.D., dan Utami Budi. 2011. Sintesis Dan Karakterisasi

Membran Kitosan Untuk Aplikasi Sensor Deteksi Logam Berat.Molekul, Vol. 6.

No. 2. 2011: 123 - 136

Oyedapo O.O., Akinpelu B.A., Akinwunmi K.F., Adeyinka M.O., dan Sipeolu F.O. 2010.Red Blood Cell Membran Stabilizing Potentials Of Extracts Of Lantana


(65)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Camara and Its Fractions. International Journal of Plant Physiology and Biochemistry. 2 (4), pp 46-51

Prasanth KV.Harish dan Tharanathan R.N. 2007. Chitin/ Chitosan: Modifications and Their Unlimited Application Potential – An Overview. Trends in Food Science & Technology 18, 117–131

Pringgoutomo S., 2002.Patologi I (umum), Ed.1. Jakarta: Sagung Seto

Richard N.Mitchel et al. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Robbins dan Cotran, Ed 7.Jakarta : EGC

Rinaudo, Marguerite. 2006. Chitin and Chitosan : Properties and Applications. Progress in Polymer Science. Elsevier 31, 603–632.

Rohman, Abdul, dan Prof. Dr. Ibnu Gholib Gandjar. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ruzin SE. 1999.Plant Microtechnique and Microscopy. Inggris: Oxford University Press

Santoso S. 2008.Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 16.PT. Elex Media Komputindo. Jakarta ; 237-247

Shahidi, Fereidoon, Arachchi J.K.V., dan Jeon Y.J. 1999.Food applications of chitin and chitosans. Trends in Food Science & Technology 10 (1999) 37–51 Shirwaikar, Arun, Devi, Sarala, dan Siju, E.N. 2011. Antiinflammatory activity of

Thespesia populnea fruits by Membran Stabilization. International Journal of Pharm Tech Research Vol.3 No.4 pp 2060-2063.

Sossrowinoto, Prasna Ruseno. 2007. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Untuk Produksi Bahan Baku Kitin dan Enzim. Institut Pertanian Bogor.

Tahtat Djamel, Mahlous Mohamed, Benamer Samah, Khodja N.Assia, dan Youcef S.Larbi.2012. Effect of molecular weight on radiation chemical degradation

yield of chain scission of γ-irradiated chitosan in solid state and in aqueous solution.Radiation Physics and Chemistry 81, 659–665

Tjay, Drs.Tan Hoan dan Rahardja Kirana. 2007. Obat – Obat Penting. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo


(66)

Triyati, Etty. 1985. Spektrofotometer Ultra-Violet Dan Sinar Tampak Serta Aplikasinya Dalam Oseanologi.Oseana, 10 (1) : 39–47

Turner, A. 1965. Screening Methods In Pharmacology. Academy Press, New York : 101-117, 152 -163.

Underwood J.C.E. 1999.Patologi Umum dan Sistemik Volume 1. Jakarta : EGC Vogel, H.G., W. H, Vogel. 2002. Drug Discovery and Evaluation. Pharmacological

Assay. Springer, Verlag Berlin, Heidelberg.

Xia, Wenshui, Ping Liu, Jiali Zhang, dan Jie Chen. 2011. Biological activities of chitosan and chitooligosaccharides. Journal Food Hydrocolloids 25 : 170-179.

Yin, Heng, Du, Yuguang, dan Zhang, Junzeng. 2009. Low Molecular Weight and Oligomeric Chitosans and Their Bioactivities. Current Topics in Medicinal Chemistry 9, 1546–1559.


(67)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 1. Kerangka Penelitian

UjiIn VitroAnti inflamasi menggunakan metode stabilisasi membran sel

darah merah

Kitosan Produksi BATAN

Iradiasi dengan Gamma60Co

50 kGy 100 kGy 150 kGy Non iradiasi

UjiIn VitroAnti inflamasi Identifikasi Berat Molekul

Identifikasi DD dengan H NMR


(68)

Lampiran 2. Pengukuran Berat Molekul Kitosan

Kitosan Produksi BATAN non iradiasi dan iradiasi dibuat dengan konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,3%, dan 0,4% dalam buffer

asetat pH 4,3

Didiamkan selama 24 jam

Cairan dihisap dengan menggunakan pushball sampai melewati 2 batas

Cairan dikendurkan sampai batas pertama lalu mulai penghitungan dengan stopwatch

Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali (triplo)

Diperoleh viskositas spesifik dan viskostas intrinsik

Dihitung dengan persamaan Mark Houwink

Berat Molekul Kitosan

10 mL pelarut dimasukkan ke dalam tabung viskometer dalam media air suhu 25°C


(69)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 3. Uji Aktivitas Anti Inflamasi Kitosan pada Konsentrasi 100 ppm

Kitosan 0 kGy

Kitosan 50 kGy

Kitosan 100 kGy

Kitosan 150 kGy

Di + 1 mL dapar posfat, 2 mL hiposalin, 0,5 mL suspensi SDM 10%

Diinkubasi pada suhu 56°C selama 30 menit

Disentrifus pada 5000 rpm selama 10 menit

Supernatan dipisahkan


(70)

Lampiran 4. Pembuatan Larutan Uji dan Standar

1. Larutan Uji dengan Konsentrasi 100 ppm

Ditimbang 5 mg kitosan dari masing-masing dosis radiasi kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml. Lalu dilarutkan dengan 0,5 mL asam asetat 1%, kemudian diamkan selama 24 jam, setelah larut kemudian diencerkan dengan aquades sampai tanda batas.

2. Larutan Na diklofenak dengan Konsentrasi 100 ppm

Ditimbang 5 mg Na diklofenak kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml. Lalu dilarutkan dalam 0,5 mL NaOH, setelah larut kemudian ditambahkan aquades sampai tanda batas.


(71)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 5. Perhitungan Pembuatan Larutan Buffer Asetat dan Buffer Posfat

1. Buffer asetat pH 4,3

Dibuat larutan asam asetat 0,2 M dan natrium asetat 0,1 M 0,2 M CH3COOH 1000 mL

0,2 = masa x 1000

60,04116 x 1000

= 0,2 x 60,04116 = 12,008 gram

Berat CH3COOH yang ditimbang adalah 12,008 gram 0,1 M CH3COONa 1000 mL

0,1 = masa x 1000 82,034 x 1000

= 0,1 x 82,034 = 8,2034 gram

Berat CH3COONa yang ditimbang adalah 8,2034 gram

Untuk membuat buffer asetat pH 4,3 sebanyak 250 mL maka :

= log[ H+] 4,3 = log[10-4,3] [ +] = Ka x [ asam ] [ garam ]

10-4,3=1,75 x 10-5

x

[ , ] [( ) , ] 10-4,3=1,75 x 10-5

x

,

( , )

10-4,3 x (25–0,1 a) =1,75 x 10-5x 0,2 a 1,253 x 10-3–5,012 x 10-6a = 3,5 x 10-6a 1,253 x 10-3= 3,5 x 10-6a + 5,012 x 10-6a

1,253 x 10-3= 8,512 x 10-6a a = ,

,

=

147,20 mL CH3COOH = a = 147,20 mL


(1)

76

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kesimpulan :

1. Kelompok perlakuan yang memiliki aktivitas anti inflamasi yang sebanding dengan kontrol adalah kitosan 100 kGy. Hal ini ditunjukan dengan nilai signufikansi kitosan 100 kGy yang lebih dari 0,05 dibandingkan dengan kitosan 0, 50, dan 150 kGy, namun sebanding dengan nilai signifikansi Na diklofenak sebagai kontrol positif.

2. Kelompok perlakuan kitosan 50 dan 150 kGy memiliki aktivitas anti inflamasi yang hampir sama dilihat dari nilai signifikansi kedua kelompok uji tersebut.


(2)

(3)

78

Kitosan Sebelum Radiasi


(4)

Oven Laminar Air Flow Autoklaf

pH Meter Spektrofotometer UV-Vis NMR


(5)

(6)