65
5. Prinsip 3 R
3 R merupakan singkatan dari Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability. a. Hasil yang diperoleh Return
Return, yakni merupakan hasil yang akan diperoleh oleh Debitur, dalam hal ini ketika telah dimanfaatkan nanti mestilah dapat diantisipasi oleh Kreditur. Artinya
perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, onkos- ongkos, disamping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti untuk cash
flow , kredit lain jika ada, dan sebagainya.
b. Pembayaran Kembali Repayment kemampuan membayar kembali dari pihak Debitur tentu saja mesti
dipertimbangkan. Dan apakah kemampuan membayar tersebut cocok dengan jadwal pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu.
c. Kemampuan menanggung Resiko Risk Bearing Ability Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah sejauh mana terdapatnya
kemampuan Debitur untuk menanggung resiko. Mislnya dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika terdapat menyebabkan timbulnya
kredit macet. Adanya penanggung hutang adalah untuk kepentingan kreditur sehingga
merupakan perjanjian antara Kreditur dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang akan menjadi penanggung hutang, dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Universitas Sumatera Utara
66
1 Kreditur meminta kepada Debitur untuk menyediakan seorang Penanggung
hutang, sehingga adanya penjamin ini diketahui oleh Debitur. Debitur yang mengatur adanya seorang penanggung hutang.
2 Kreditur langsung mengadakan perjanjian penjaminan dengan pihak ketiga,
tanpa atau diluar pengetahuan Debitur. Hal ini tidak dilarang Undang-Undang.
Universitas Sumatera Utara
67
BAB III TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PERSEROAN YANG BERTINDAK
SEBAGAI PENANGGUNG HUTANG JIKA PERSEROAN DINYATAKAN PAILIT YANG TELAH BERBADAN HUKUM
A. Pengertian, Tujuan dan Asas-Asas Kepailitan
Mengenai definisi dari kepailitan sebagaimana terjemahan istilah Belanda ’Faillisement
’ tidak dapat ditemukan dalam peraturan kepailitan Faillisements Verordenings
yang diundangkan dalam staatsblad hindia Belanda tahun 1903 No. 271 juncto Staatsblad tahun 1906 No. 348.
65
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.4 Tahun 1998 UUKUndang- Undang Kepailitan yang lama arti pailit adalah sebagai berikut:
”Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan satu atau lebih
kreditornya”. Definisi tersebut ternyata masih dianut dalam ketentuan pasal 2 ayat 1
Undang-undang No.37 Tahun 2004 UUKPKPU yang mendefinisikan pailit sebagai: ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
65
Bagus Irawan, S.H., M.H. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi Bandung, 2007, hal 15
52
Universitas Sumatera Utara
68
dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Dari definisi diatas, dapat diketahui syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah:
1. Terdapatnya minimal 2 dua orang kreditor; 2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang; dan
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Tujuan Kepailitan adalah sebagai berikut:
a Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa
debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
b Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada
debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau
sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan
1132 KUH Perdata. Didalam penjelasan umum Undang-Undang No.37 Tahun 2004 UUPKPU
disebutkan bahwa undang-undang ini didasarkan pada beberapa asas, asas tersebut antara lain adalah:
66
66
Bagus Irawan, SH., M.H, Opcit. Hal 34
Universitas Sumatera Utara
69
1. Asas Keseimbangan
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya permasalahan penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, dilain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembag kepailitan oleh kreditor yang telah beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan
Usaha dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perubahan perusahaan debitor yang prospektif dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam Kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan terdapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap
debitor dengan tanpa memperdulikan kreditor lainnya. 4.
Asas Integrasi Asas Integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem
hukum formal dan hukum materiilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Universitas Sumatera Utara
70
B. Unsur Kehendak Dalam Penanggungan Hutang
Perjanjian sebagi suatu tindakan hukum mensyaratkan adanya kehendak dan pernyataan kehendak yang ditujukan kepada timbulnya akibat hukum tertentu.
Hukum mengenal beberapa cara untuk menyatakan kehendak dari mulai yang dinyatakan secara tegas-tegas sampai yang diberikan diam-diam.
67
Dalam Pasal 1824 KUHPerdata dengan tegas mengatakan bahwa ”Penanggungan tidak dipersangkakan tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang
tegas”. Istilah penanggungan wajib sebagai terjemahan dari verpliche borgtocht
68
dikatakan penanggungan merupakan suatu perjanjian dan karenannya harus didasarkan sepakat, yang memang dikehendaki para pihak.
Dalam hal penangungan, bahwa ada orang yang mencari pihak ketiga yang mau bertindak sebagai penangung baginya dan kemudian hari menyodorkan orang tersebut
untuk disetujui oleh kreditur. Kalau disetujui, maka dibuatlah perjanjian penangungan, sedang kalau tidak, maka perlu dicari orang lain, kecuali kalau dengan
suatu keputusan pengadilan oleh hakim, calon yang disodorkan dinyatakan memenuhi syarat, maka dibuatlah akta penjamin oleh Notaris.
67
J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hal 182.
68
Kleijin Serie Asser, Handleiding Tot De Boeffening Van het Nederlandsch Burgerlijk Recht, Bij Zondere Overeenkomst, Zwolle, Tjeenk Willink, 1998
Universitas Sumatera Utara
71
C. Bentuk- Bentuk Perusahaan
Bentuk-bentuk perusahaan atau persekutuan dapat berupa perseroan firma, perseroan komanditer, atau perseroan terbatas. Prof. Sukardono dalam menguraikan
bentuk-bentuk perusahaan selalu membedakan antara perserikatan perdata, perserikatan
firma, dan
perseroan. Tirta
midjaja membedakan
antara partnership
perseroan dan companies perseroan perniagaan, perseroan firma, perseroan komanditer, perseroan terbatas, dan perkumpulan koperasi.
Dari uraian-uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penggolongan perusahaan adalah sebagai berikut:
69
1. Bentuk perusahaan yang diatur dalam KUHS - Perseroan maatschap
2. Bentuk perusahaan yang diatur dalam KUHD - Perseroan Firma
- Perseroan Komanditer - Perseroan Terbatas
3. Bentuk perusahaan yang diatur dalam KUHD peraturan khusus - Koperasi
- Perusahaan negarapersero perum perjan Perkumpulan dalam arti luas ada yang berbadan hukum dan ada pula yang tidak
berbadan hukum. Perkumpulan yang berbadan hukum adalah Perseroan Terbatas
69
Farida Hasyim, Hukum Dagang, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal.135 Kitab Undang-undang Hukum Sipil KUHS atau Burgelijk wetboek Indonesia BW
Universitas Sumatera Utara
72
PT yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Koperasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992. Adapun yang tidak berbadan
hukum adalah:
70
1. Persekutuan Perdata diatur dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUHPerdata.
2. Persekutuan dengan Firma, diatur dalam Pasal 1618 sampai dengan 35 KUHD. Persekutuan Komaditer diatur dalam Pasal 1816 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1652 KUHPerdata dan Pasal 19 sampai dengan 21 KUHD. Perseroan adalah bentuk perusahaan yang diatur dalam KUHPerdata dan
KUHD. Artinya peraturan-peraturan mengenai perseroan pada umumnya juga berlaku untuk perusahaan lainnya, KUHD ataupun perusahaan khusus lainnya tidak mengatur
secara tersendiri. Dalam Pasal 16 KUHD disebutkan bahwa yang dinamakan perseroan firma
adalah tiap-tiap perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dibawah satu nama bersama. Oleh karena suatu perusahaan memakai firma bersama,
maka terjadilah perseroan firma. Menurut Pasal 1618 KUHPerdata, Maatschap atau perseroan adalah suatu
persetujuan dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan. Dalam
bentuk perusahaa ini, terdapat beberapa orang yang mengadakan persetujuan akan berusaha bersama-sama guna memperoleh keuntungan, dan untuk mencapai tujuan
70
Farida hasyim, Opcit., hal 136
Universitas Sumatera Utara
73
itu mereka masing-masing berjanji akan menyerahkan uang atau barang-barang atau menyediakan kekuatan kerjakerajinan. Misalnya kerja sama pengacara-pengacara
dan lain sebagainya. Maatschap
Persekutuan Perdata bukanlah bentuk perusahaan tetapi merupakan bentuk perjanjian hal ini dikarenakan tidak berlaku bagi pihak luar hanya
berlaku bagi pihak perjanjian, dan juga bukan lah badan hukum karena terikat hanya para pemodal pelaku saja subjek hak pribadi. Peraturan yang mengaturnya
merupakan hukum perjanjian dan peraturan tersebut dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Mengenai modal menurut Pasal 1618 KUHPerdata disebutkan bahwa anggota harus memasukkan sesuatu sebagai sumbangannya. Perseroan mempunyai tujuan
antara lain untuk menjalankan bersama suatu pekerjaan tetap, misalnya kerja sama dengan pengacara, dengan arsitek-arsitek, dan lain-lain, Asalkan perseroan itu tidak
dijalankan atas nama bersama yang disebut firma. Perseroan bukanlah suatu badan hukum dengan harta kekayaan tersendiri terhadap pihak ketiga. Yang ada adalah
harta tersendiri terhadap anggota-anggotanya satu sama lain, dan tidak dapat dibagi- bagikan tanpa persetujuan seluruh anggotanya.
Berakhirnya suatu perseroan diatur dalam Pasal 1646 KUHPerdata sebagai berikut:
71
1. Dengan lewatnya waktu dimana perseroan telah diadakan;
71
Ibid., hal 139
Universitas Sumatera Utara
74
2. Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok perseroan;
3. Atas kehendak semata-mata dari beberapa orang atau seorang persero; 4. Jika salah seorang persero meninggal atau ditaruh dibawah pengampuan atau
dinyatakan pailit; Apabila suatu persero berakhir, maka diadakanlah pemisahan dan pembagian
harta perseroan antara para anggotanya, yang dilakukan sebagai berikut: 1. Setiap anggota mengambil kembali setiap harga sero sebanyak jumlah yang
disetorkannya semula; 2. Sisa harta yang merupakan laba dibagi-bagikan menurut ketentuan Undang-
undang; 3. Apabila perseroan mengalami kerugian, kerugian itu ditanggung oleh para
anggotanya menurut ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian.
D. Akibat Kepailitan Terhadap Kekayaan Perseroan Terbatas
Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena
dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar hutang atau hutang-hutangnya.
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut manakala perusahaan atau orang pribadi tersebut tidak sanggup atau tidak mau
membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, dari pada pihak kreditur ramai-ramai
Universitas Sumatera Utara
75
mengeroyok debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan
adil. Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat
pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 23 Undang-Undang Kepailitan menegaskan bahwa
semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan
keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karenanya gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak dan
kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan terhadap atau oleh kurator. Begitu pula segala gugatan hukum dengan tujuan untuk memenuhi perikatan dari
harta pailit selama dalam kepailitan, walaupun diajukan kepada debitur pailit sendiri, hanya dapat diajukan dengan laporan atau pencocokannya.
Akibat hukum lain yang juga sangat penting dari pernyataan pailit adalah seperti yang ditegaskan dalam pasal 41 yaitu bahwa untuk kepentingan harta pailit
dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum
pernyataan pailit ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
76
Pembatalan inipun hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitur dan pihak dengan siapa
perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur, kecuali
perbuatan hukum yang dilakukan debitur wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau karena undang-undang, misalnya kewajiban pembayaran pajak. Bahkan atas
hibah yang dilakukan debitur pun dapat dimintakan pembatalannya apabila kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan debitur mengetahui
atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur pasal 43.
Menurut Pasal 55 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 para kreditor dapat dibagi dalam beberapa golongan:
1. Golongan Separatisen, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, biasanya disebut kreditor
preferen, yaitu para kreditor yang mempunyai hak didahulukan, disebut demikian karena para kreditor yang telah diberikan hak untuk mengeksekusi sendiri haknya
dan melaksanakan seolah-olah tidak ikut campur. Dengan kata lain, kreditor ini dapat menyelesaikan secara terpisah diluar urusan kepailitan. Meskipun demikian
untuk melaksankannya menurut ketentuan undang-undang para kreditor tidak bisa langsung begitu saja melaksankannya.
2. Golongan dengan hak privilege, yaitu orang-orang yang mempunyai tagihan yang diberikan kedudukan istimewa. Sebagai contoh, penjual barang yang belum
Universitas Sumatera Utara
77
menerima bayarannya, mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dan pendapatan penjualan barang yang bersangkutan setelah itu barulah kreditor
lainnya kreditor konkuren. Khusus terhadap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau
hak agunan atau kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Pemegang hak tanggungan di sini adalah pemegang hipotik yang
berhak untuk segera mengeksekusi haknya sebagaimana diperjanjikan sesuai pasal 1178 KUHPerdata dan berdasarkan pasal 6 dan pasal 20 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Pemegang hak
tersebut di
atas tentunya
wajib memberikan
pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil penjualan barang yang menjadi agunan dan menyerahkan kepada kurator sisa hasil penjualan setelah dikurangi
jumlah utang, bunga dan biaya. Apabila hasil penjualan dimaksud tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, maka pemegang hak tersebut dapat mengajukan
tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan utang.
Akibat hukum lainnya adalah adanya hak retensi yang diatur dalam pasal 59 yaitu hak kreditur untuk menahan barang-barang kepunyaan debitur hingga
dibayarnya suatu utang tidak kehilangan hak untuk menahan barang dengan diucapkannya pernyataan pailit. Apabila kurator bermaksud untuk menebus barang-
Universitas Sumatera Utara
78
barang tersebut, maka kurator wajib melunasi utang debitur pailit tersebut terlebih dahulu.
Namun demikian kepailitan mempunyai akibat-akibat penting terutama bagi debitur, baik materil maupun moril. Sejak diucapkannya putusan kepailitan oleh
hakim, maka putusan tersebut membawa akibat terhadap diri si pailit dan harta kekayaan si pailit.
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, kreditur atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :
a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur, atau b. menunjuk kurator sementara untuk :
72
1 Mengawasi pengelolaan usaha debitur dan
2 Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengadilan atau penggunaan
kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator.
Dengan dinyatakan pailit, maka si berhutang demu hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap harta kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan,
begitu pula hak untuk mengurusnya, terhitung mulai hari dimana keputusan kepailitan itu diputuskan.
Dari gambaran tersebut diatas dapat dinyatkan bahwa si pailit hanya kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap harta kekayaannya. Sesudah
dijatuhkan keputusan pailit, maka pengurusan dan si pailit masih berwenang
72
www. Akibat Kepailitan, tgl 20 Mei 2010
Universitas Sumatera Utara
79
melakukan perbuatan-perbuatan dalam bidang harta kekayaannya, asal perbuatan itu menguntungkan budel, sedangkan perbuatan yang tidak membawa manfaat bagi
budel tidak mengikat budel. Selanjutnya bagi si pailit tidak kehilangan hak dan kecakapannya untuk
melakukan perbuatan hukum, yaitu dalam bidang hukum keluarga seolah-olah tidak ada kepailitan. Jadi seorang debitur yang dinyatakan pailit tidak kehilangan
kemampuannya untuk bertindak dalam hukum dan ia sekali-kali tidak diletakkan di bawah pengampunan.
Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitur mengenai piutang mereka
yang belum dibayar. Pengakuan suatu piutang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap debitur seperti suatu putusan pengadilan uang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 sudah lebih lengkap mengatur
masalah penundaan kewajiban debitur untuk membayar utang-utangnya dengan maksud debitur yang memiliki itikad baik untuk menyelesaikan seluruh atau sebagian
utang-utangnya dengan cara damai. Keadaan demikian dikenal dengan keadaan surseance
, dimana yang pailit dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan niaga atau komersial untuk suatu pengunduran umum dari kewajibannya untuk
membayar utang-utangnya dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian, baik seluruh atau sebagian utang kepada kreditor.
Universitas Sumatera Utara
80
Keadaan surseance dapat diajukan:
73
1. harus persetujuan lebih ½ kreditor konkuren yang hanya diakui atau sementara diakui pasal 229;
2. hadir dan mewakili paling sedikit 23 dan tagihan yang diakui atau sementara diakui;
3. persetujuan lebih dan ½ jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak bentuk panitia kreditor tetap tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 23 bagian seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang;
4. diumumkan di 2 dua koran dan Berita Negara RI; 5. apabila PKPU tetap disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak
boleh melebihi 270 hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan Pasal 228 ayat 6.
Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang
mendukungnya. Oleh karena itu, perubahan dilakukan terhadap Undang-undang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan
yang dipandang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.
Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari adanya:
74
73
Farida Hasyim, Hukum Dagang, opcit., hal 179
Universitas Sumatera Utara
81
1. Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
2. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para
kreditor lainnya. 3. Kecurangan- kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor
sendiri. Permohonan Pailit terhadap Debitor yang telah menikah
Permohonan Pailit yang dijatuhkan pada Debitor yang telah menikah, haruslah ada persetujuan antara suami atau istrinya, hal ini terjadi apabila adanya
pencampuran harta. Dalam pasal 119 KUHPerdata
75
menyebutkan bahwa mulai saat perkawinan dilangsugkan semi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan
suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin diadakan ketetntuan lain.
Oleh karena itu bagi mereka yang menikah berdasarkan KUHPerdata, untuk mengajukan permohonan pilit haruslah ada persetujuan dari suami atau isterinya
kecuali diantara mereka melakukan perjanjian perkawinan. Dalam UU No.1 Tahun 1974 yang mengatur tentang Perkawinan khususnya
dalam hal harta kekayaan ini menjadi tidak berlaku sehingga membawa akibat adanya pemisahan antara harta asal dan harta bersama dari suami dan isteri tersebut.
74
Dalam penjelasan umum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Fokusmedia, hal.121.
75
R. Soebekti, Aneka Perjanjian, Cetakan VI, Alumni, Bandung, 1987, hal.47
Universitas Sumatera Utara
82
Sedangkan Pasal 232a KUHPerdata menyangkut harta perkawinan, sekali berlaku KUHPerdata, maka akan berlaku untuk seterusnya perkawinan putus dan mereka
mengadakan perkawinan ulang, maka akibat hukum terhadap harta perkawinan tersebut demi hukum akan hidup kembali. Ini berarti, bahwa ketentuan KUHPerdata
sepanjang menyangkut harta perkawinan bagi mereka yang menikah berdasarkan KUHPerdata sampai saat ini masih berlaku sekalipun terlah berlaku UU Perkawinan.
Apabila seseorang menikah berdasarkan KUHPerdata tanpa mengadalan perjanjian perkawinan dan salah satu dari mereka suami atau istri dinyatakan pailit,
maka kepailitan tersebut akan meliputi harta bersama Pasal 20 UUK.
76
Sebagai konsekuensinya
adalah bahwa
seluruh harta
bersama tersebut
akan dipertanggungjawabkan untuk kepentingan para kreditornya.
Bila suami atau istri yang dinyatakan pailit itu mempunyai barang yang tidak termasuk dalam persatuan harta perkawinan, barang ini pun diperuntukkan bagi utang
yang mengikat debitor pailit yang bersifat pribadi. Bilamana istri dinyatakan pailit, maka kepailitan tersebut juga meliputi harta bersama, oleh karena itu suami akan
kehilangan hak untuk mengelola harta bersama karena pengurusan mengenai harta tersebut ada pada kurator.
76
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Edisi Revisi, UMM Press, Malang, hal 35.
Universitas Sumatera Utara
83
Menurut UU Perkawinan dikenal adanya pemisahan antara harta asal dan harta bersama. Didalam Pasal 35-37 UU No. 1 Tahun 1974 diatur mengenai harta
benda dalam perkawinan sebagai berikut:
77
1. Bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adlah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.
2. Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan mengenai perbuatannya. 3. Bilamana perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Dalam UUK
78
bila seorang suami dinyatakan pailit, istri diperbolehkan mengambil kembali semua barang bergerak dan barang tidak bergerak kepunyaan
sendiri, yang tidak termasuk dalam persatuan harta perkawinan. Apabila selama perkawinan, telah diwariskan, dihibahwasiatkan, dihibahkan barang-barang bergerak
kepada istri, maka apabila terjadi perselisihan atas barang tersebut harus dapat dibuktikan telah terjadinya tindakan hukum pewarisan, hibah wasiat, atau hibah
tersebut.
77
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Kedua, 1986, hal.102.
78
Lihat Pasal 60 UUK No.4 Tahun 1998
Universitas Sumatera Utara
84
E. Tanggung jawab Direksi dalam Perseroan
Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 memberikan otoritas bertindak dan pertanggung jawaban kepada Direksi dalam konteks yang berbeda. Artinya ketika
Perseroam belum memperoleh status badan hukum, maka tugas Direksi adalah dengan sistem kolektif, sedangkan jika Perseroan telah memperoleh status badan
hukum, maka tugas Direksi adalah dengan sistem kolegial dan dapat juga dengan sistem individual.
Dalam hal pertangung jawaban selalu dikaitkan dengan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan peraturan atau kaedah, melainkan
merupakan suatu pertimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lain.
79
Pertanggung jawaban direksi selalu dikaitkan dengan hak dan kewajiban yang diamanatkan oleh Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007,
anggaran dasar dan RUPS. Dan jika tidak melakukan sesuai dengan hak dan dan kewajiban tersebut maka direksi tersebut telah melakukan pelanggaran breach of
duties yang merupakan syarat permintaan pertanggung jawaban baik dari segi
hukum perdata maupun hukum pidana.
a. Pertanggung jawaban Direksi dari segi Perdata
Pertanggung jawaban Direksi secara hukum perdata dalam pengelolaan perseroan diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda
79
Sudikni Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005, hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
85
antara 2 dua orang, yang memberi hak kepada yang 1 satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya untuk diwajibkan memenuhi
tuntutan itu.
80
Sesuatu yang dapat di tuntut disebut prestasi sedangkan apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasi dikategorikan telah melakukan wanprestasi. Prestasi
performance adalah pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh para pihak yang telah mengikat diri dalam kontrak tersebut. Bentuk-bentuk prestasi yang
ditentukan oleh hukum perdata adalah memuat unsur-unsur untuk menyerahkan sesuatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
81
Wanprestasi atau cidera janji adalah tidak terlaksananya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap para pihak. Tindakan
wanprestasi dapat terjadi karena sengaja, kelalaian atau tanpa kelalaian. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan
untuk menuntut wanprestasi untuk memberikan ganti rugi. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat berupa tidak melaksanakan atau memenuhi
prestasi, terlambat memenuhi prestasi dan tidak sempurna memenuhi prestasi.
82
Namun wanprestasi tidak secara otomatis memberikan hak kepada kreditur untuk meminta debitur membayar kerugian, melainkan harus dilakukan somasi sesuai
dengan pasal 1238 KUHPerdata.
80
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta :PT.Intermasa, 1979 cetakan ke 14, hal 101.
81
Pasal 1234 KUHPerdata
82
Ningrum N.Sirait. Asosiasi Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan : Pustaka Bangsa Press.2003. hal 14
Universitas Sumatera Utara
86
Oleh karena itu pertanggung jawaban anggota Direksi adalah didasarkan kepada penggangkatannya dan penugasannya yang diatur dalam Undang-undang Perseroan
Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, maka pertanggung jawaban anggota Direksi secara hukum perdata pun didasarkan kepada perikatan yang lahir dari Undang-undang,
yaitu perbuatan yang melanggar hukum. Bahwa dalam Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan: “tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.” Dengan
demikian pertanggung jawaban secara perdata oleh Direksi dalam penggelolaan perseroan adalah tanggung jawab direksi untuk mengganti kerugian perseroan atau
pihak ketiga akibat perbuatan anggota direksi itu sendiri yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada perseroan atau pihak ketiga.
Namun walaupun begitu tentu muncul persoalan apa yang membuat anggota direksi dinyatakan melanggar hukum jika tindakan yang dilakukannya murni adalah
kepentingan perseroan, bukanlah perseroan itu yang harus bertanggung jawab. Pembelaan diri yang dilakukan oleh direksi menurut Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 adalah dengan memakai prinsip Business Judment Rule. Dalam memahami pertanggung jawaban direksi secara hukum perdata, maka
kita harus memahami arti perbuatan melawan hukum secara perdata yang dikenal dengan onrechtmatigedaad terkait dengan pengelolaan perseroan.
Universitas Sumatera Utara
87
Menurut Wirjono Prodjodikoro,
83
bahwa pengertian perbuatan melanggar hukum termasuk suatu perbuatan, yang memperkosa suatu hak hukum orang lain,
atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau yang bertentangan dengan kesusilaan goeden zeden atau dengan suatu kepantasan dalam masyarakat
perihal memperhatikan kepentingan orang lain indruist tegen de zordvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt tenaanzein van anders persoon ot
goet. Pertanggungjawaban hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata
dan juga Pasal 366 KUHPerdata adalah berdasarkan titik tolak perbuatan atas perbuatan sendiri, namun selain itu, masih ada pertanggung jawaban selain atas
perbuatan sendiri juga karena perbuatan orang lain yang melanggar hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan :” Seorang tidak saja
bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang yang
menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip pertanggung jawaban
pengganti. Undang-undang dapat menentukan pertanggung jawaban penganti jika, ada terjadi hal yaitu seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan-
perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila seseorang itu mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain.
83
Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudur Hukum Perdata, Bandung : Vorkink-Van Hoeve, cetakan ketiga, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
88
Dalam hal ini diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan teh delegation principle. Demikian juga seorang majikan
dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmani dilakukan oleh buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang
sebagai perbuatan majikan the servant act is the master act in law Kesimpulan yang dapat diambil adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah perbuatan sebagai berikut: 1. memperkosa hak hukum orang lain atau sering disebut dengan bertentangan
dengan hak orang lain. 2. bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat.
3. bertentangan dengan kesusilaan 4. bertentangan dengan suatu kepantasan dalam masyarakat perihal memperhatikan
kepentingan orang lain. Oleh karena pengangkatan anggota Direksi melahirkan hubungan hukum, dan
juga melahirkan hak dan kewajiban. Pelanggaran terhadap ”kewajiban” seperti inilah yang kemudian menimbulkan ”hak” menuntut. Hal ini tentulah identik dengan prinsip
pertanggung jawaban hukum yang selalu terkait dengan perbuatan hukum, baik perbuatan sendiri maupun perbuatan orang lain yang berada dibawah tanggung
jawabnya. Oleh karena direksi tidak bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tetapi
dapat juga bertanggung jawab atas perbuatan yang kuasanya atau bawahannya yang melanggar hukum. Dengan prinsip pengelolaan Perseroan yang diatur secara normatif
Universitas Sumatera Utara
89
dalam Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, bila dilanggar dapat diminta pertanggung jawaban secara hukum perdata.
Pertanggung jawaban secara perdata oleh Dreksi ini adalah sebagai akibat dari pengelolaan perseroan yang salah, atau telah melakukan pelanggaran breach of
duties dan melanggar prinsip itikad baik yang mengakibatkan kerugian. Dengan
demikian prinsip pertanggung jawaban secara hukum perdata terhadap direksi dalam pengelolaan Perseroan adalah dengan prinsip pertanggung jawaban hukum untuk
mengganti kerugian atas perbuatan yang melanggar atau melawan hukum. Ketentuan Pasal 97 UUPT diawali dengan rumusan ayat 1 yang menyatakan
bahwa “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat 1 UUPT, dimana dikatakan bahwa direksi dalam
menjalankan tugas kepengurusannya harus: a.
memperhatikan kepentingan Perseroan; b.
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c.
memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan dalam undang-undang khususnya Pndang-undang perseroan Terbatas dan
anggaran dasar. Dari ketentuan ini diketahui bahwa tindakan direksi adalah tindakan yang
memiliki tanggung jawab keperdataan. Sebagimana pengurus Perseroan, direksi adalah agen dari perseroan, dan karenanya tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Apa
yang dilakukan oleh direksi yang berada diluar batasan kewenangan yang diberikan
Universitas Sumatera Utara
90
kepadanya harus dapat dipertanggung jawabkan olehnya. Dalam hal ini ada tiga jenis pertanggung jawaban yang harus dipikul oleh direksi, yaitu:
84
a. pertanggung jawaban terhadap Perseroan;
b. pertanggung jawaban terhadap pemegang saham;
c. pertanggung jawaban terhadap kreditor.
Bentuk pertanggung jawaban direksi terhadap perseroan, pemegang saham dan kreditor ini selanjutnya tercermin dalam berbagai ketentuan atau pasal dalam
Undang-undang Perseroan Terbatas, beberapa diantaranya dapat disebutkan, yaitu: 1.
Pasal 37 ayat 3 UUPT yang menyatakan bahwa dieksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang
beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali saham oleh perseroan yang batal demi hukum.
2. Pasal 69 ayat 3 UUPT menyatakan dalam hal laporan keuangan yang
disediakan ternyata tidak benar danatau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab
terhadap pihak yang dirugikan. 3.
Pasal 95 ayat 5 UUPT menyatakan bahwa dalam hal ternyata pengangkatan anggota direksi menjadi batal sebagai akibat tidak memenuhi persyaratan
pengangkatannya, maka meskipun perbuatan hukum yang dilakukan untuk
84
Gunawan Widjaja, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik Perseroan Terbatas, Opcit., hal 77
Universitas Sumatera Utara
91
dan ats nama perseroan oleh anggota direksi yang bersangkutan tetap bertanggung jawab terhadap kerugian perseroan.
4. Pasal 97 ayat 3 UUPT menyatakan bahwa setiap anggota direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.
5. Pasal 101 ayat 2 UUPT menyatakan bahwa setiap anggota Direksi yang
tidak melaksanakan kewajibannya melaporkan kepada perseroan saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan danatau keluarganya dalam
Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus, dan akibatnya menimbulkan kerugian bagi perseroan, bertanggung jawab
secara pribadi atas kerugian perseroan. 6.
Pasal 104 ayat 2 UUPT yang menyatakan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk
membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh
kewajiban yang tidak dilunasi dari harta pailit tersebut. 7.
Pasal 97 ayat 6 UUPT yang memberikan hak kepada pemegang saham yang mewakili paling sedikit 110 satu per sepuluh bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara, atas nama perseroan, untuk mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan
atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Universitas Sumatera Utara
92
Kegiatan pengurusan perseroan ini tidak pernah dapat dipisahkan dari tugas perwakilan direksi yang diatur dalam Pasal 98 UUPT. Sebagai pengurus perseroan,
direksi akan mewakili perseroan dalam setiap tindakan atau perbuatan hukum perseroan dengan pihak ketiga.
Dalam Pasal 97 ayat 2 UUPT menyatakan bahwa: “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dilaksankan setiap anggota direksi dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab”. Sejalan dengan sifat pertanggung jawaban perdata yang melekat pada direksi dalam melakukan pengurusan terhadap perseroan. Pasal 97 ayat
2 UUPT menekankan pada arti itikad baik, dan sesuai dengan kewenangan yang diberikan atau dibebankan kepadanya serta menurut aturan main yang berlaku.
Selama dan sepanjang direksi melakukan pengurusan dengan itikad baik, dan dalam batasan atau koridor serta menurut ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka
direksi senantiasa dilindungi oleh Business Judment Rule
85
. Bahwa dalam Pasal 97 ayat 2 UUPT ini, anggota direksi wajib melaksanakan
tugasnya dengan itikad in good faith dan dengan penuh tanggung jawab and with full sense of responsibility
. Apabila direksi tersebut ternyata terbukti bersalah karena sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty-nya tersebut, maka
terhadap kerugian yang didertita perseroan, perseroan berhak untuk menuntutnya dari direksi tersebut.
Tanggung jawab terhadap kerugian perseroan ini dapat ditujukan baik terhadap perseroan itu sendiri, tiap-tiap pemegang saham atau kreditor dalam hal terjadinya
85
Ibid., hal 79.
Universitas Sumatera Utara
93
kepailitan Perseroan. Para pemegang saham atau pun kreditor yang diugikan sebagai akibat berkurangnya harta kekayaaan perseroan karena tidak adanya itikad baik
direksi yang terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam bertindak, berbuat atau mengambil keputusan, berhak untuk menggugat direksi.
Yang mewakili perseroan sebagai penggugat adalah para pemegang saham yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mewakili jumlah 110 sepersepuluh
pemegang saham perseroan. Gugatan dilakukan untuk dan atas nama perseroan terhadap direksi perseroan, yang atas kesalahan atau kelalaiannya telah menyebabkan
kerugian pada perseroan derivative action. Selain itu setiap pemegang saham yang dirugikan juga dapat secara sendiri-
sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama pribadi pemegang saham terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan direksi yang
merugikan pemegang saham. Bagi kreditor yang digugat adalah tanggung jawab sepenuhnya atas setiap
ketidakbenaran informasi yang disampaikan oleh perseroan terhadap pihak ketiga, yang mengakibatkan terjadinya kerugian pada harta kekayaan Perseroan sehingga
tidak cukup membayar kewajiban perseroan terhadap pihak ketiga. Tanggung jawab secara renteng direksi sebagai satu kesatuan adalah tanggung
jawab bersama secara kolektif yang berlaku bagi seluruh anggota direksi. Dengan diberinya tanggung jawab kolegial ini, dimaksudkan agar sesama anggota direksi:
1. Dilakukan keterbukaan atau transparansi, atau disclosure sesama
anggota direksi, mengenai setiap tindakan dan atau perbuatan hukum
Universitas Sumatera Utara
94
yang hendak diambil atau telah diambil oleh satu atau lebih masing- masing
anggota direksi
atas hal-hal
yang berada
dalam kewenangannya, demikian pula kepemilikan saham yang dimiliki
anggota direksi yang bersangkutan danatau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain agar dalam daftar khusus.
2. dilakukan check and balance tentang kegiatan, tindakan atau
keputusan yang menghendaki agar sedapat mungkin atau seyogyanya diambil berdasarkan pada keputusan rapat direksi. Dengan
pertanggung jawaban secara tanggung renteng ini diharapkan dapat saling mengawasi diantara sesama anggota direksi Perseroan atas
setiap perbuatan, tindakan atau keputusan direksi yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap fiduciary duty,
yang menyebabkan tidak berlakunnya business judment rule. Ketentuan Pasal 97 ayat 5 UUPT menggambarkan dengan jelas makna dari
itikad baik good faith dan prinsip kehati-hatian due care dalam business judgment rule
bagi setiap anggota direksi. Setiap pembuktian yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa direksi telah melanggar fiduciary dury atau telah melakukan
kelalaian berat gross negligence, kecurangan fraud, dan hal-hal yang didalamnya memiliki unsur atau menerbitkan terjadinya benturan kepentingan Conflict of
interest , atau perbuatan yang melanggar hukum illegality, maka prinsip business
judgment rule tidak lagi melindungi direksi secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
95
Dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat 4 UUPT, tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab renteng bagi seluruh anggota direksi. Jadi anggota
direksi yang ingin bebas dari tanggung jawab renteng tersebut maka ia harus dapat membuktikan sebaliknya, bahwa:
86
1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 3.
Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;
4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut; Dan Pasal 97 ayat 5 UUPT ini secara tidak langsung memberikan beban
pembuktian pada pihak yang menyatakan bahwa direksi tidak berhak atas perlindungan business judgment rule. Dengan demikian berarti seorang yang hendak
menggugat direksi harus membuktikan: 1.
Kesalahan atau kelalaian telah dilakukan oleh direksi; 2.
Direksi telah melakuan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian; 3.
Mempunyai benturan kepentingan atau sesama anggota direksi dan atau keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang mengakibatkan kerugian;
86
Ibid., hal 82
Universitas Sumatera Utara
96
4. Direksi tidak telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut. Berhasil atau tidaknya pembuktian tersebut membawa akibat bahwa seluruh
anggota direksi menjadi tanggung jawab renteng atas seluruh kewajiban sebagai akibat kerugian yang disebabkan oleh keputusan direksi yang bersangkutan.
Ada 9 sembilan pasal dalam UUPT tersebut yang secara tegas mengatur mengenai tanggung jawab pribadi masing-masing anggota direksi maupun tanggung
jawab renteng semua anggota direksi perseroan. Kesembilan pasal tersebut adalah: 1.
Pasal 37 ayat 3 UUPT dikaitkan dengan kewajiban direksi untuk menjamin bahwa dalam transaksi pembelian kembali saham perseroan, baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh perseroan, direksi wajib memastikan bahwa pembelian tersebut dilakukan dengan cara dan proses yang telah di
tentukan, yaitu: 2.
Pasal 69 ayat 3 UUPT, yang terjadi dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar danatau menyesatkan, anggota direksi dan
anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.
3. Pasal 72 ayat 6 UUPT, yang berhubungan dengan pembagian dividen
interem yang dilakukan direksi dengan persetujuan dewan komisaris sebelum tahun bukum perseroan berakhir, namun ternyata setelah akhir tahun buku
diketahui dan perseroan diketahui dan perseroan terbukti menderita kerugian, sedangkan pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interem yang
Universitas Sumatera Utara
97
dibagikan tersebut kepada perseroan. Jadi dalam hal ini unsur-unsur kehati- hatian guna menghindari kesalahan sangatlah ditekankan.
4. Pasal 95 ayat 5 UUPT, dalam hal terjadinya pembatalan pengangkatan
anggota direksi karena tidak memenuhi persyaratan pengangkatan, maka meskipun perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama
perseroan oleh anggota direksi sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab perseroan, namun dengan demikian
anggota direksi yang bersangkutan tetap bertanggung jawab atas kerugian yang dialami perseroan.
5. Pasal 97 ayat 3 UUPT terkait dengan tanggung jawab penuh setiap anggota
direksi secara pribadi, manakala dalam melaksanakan tugas pengurusannya terhadap perseroan telah menerbitkan kerugian perseroan, sebagai akibat dari
kesalahan atau kelalaian direksi dalam menjalankan tugasnya sendiri. Tanggung jawab tersebut berubah menjadi tanggung jawab renteng manakala
keanggotaan direksi terdiri atas 2 dua anggota atau lebih Pasal 97 ayat 4 UUPT.
6. Pasal 101 ayat 1 UUPT dengan sanksi tanggung jawab pada Pasal 101 ayat
2 UUPT
tentang keterbukaan
disclosure yang
dikaitkan dengankemungkinan terjadinya benturan kepentingan.
7. Pasal 104 ayat 2 UUPT, yang berlaku dalam hal kepailitan, baik karena
permohonan perseroan maupun permohonan pihak ketiga, terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
Universitas Sumatera Utara
98
seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut. 8.
penjelasan pasal 117 ayat 2 UUPT yang terkait dengan diabaikannya kewajiban untuk meminta persetujuan atau bantuan kepada dewan komisaris
sebelum direksi melakukan perbuatan hukum tertentu. Meskipun UUPT menyatakan bahwa perbuatan hukum tetap mengikat
Perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik, hal tersebut tetap dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi anggota
Direksi, manakala terjadi kerugian pada perseroan. Kelalaian berat atau kesalahan pada sisi direksi tidak memberikan perlindungan business judment
rule terhadapnya.
9. Pasal 102 ayat 4 UUPT yang berhubungan dengan diabaikannya kewajiban
untuk meminta persetujuan atau bantaun kepada RUPS. Dengan penafsiran analogi dengan ketentuan yang diberikan dalam penjelasan
Pasal 117 ayat 2 UUPT, jelas bahwa meskipun UUPT menyatakan bahwa perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lainnya dalam
perbuatan hukum tersebut beritikad baik, kelalaian berat atau kesalahan pada sisi direksi tidak memberikan kepanya perlindungan business judgment rule.
Dalam hal yang demikian terhadap direksi tersebut dapat dikenakan tanggung jawab pribadi, manakala terjadi kerugian pada perseroan.
Universitas Sumatera Utara
99
Selain dituntut pertanggung jawaban yang diatur dalam UUPT tersebut, secara umum direksi dituntut berdasarkan ketentuan umum yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, terkait dengan masalah: 1.
Tuntutan pengembalian harta kekayaan perseroan yang diambil secara tidak sah oleh direksi.
2. Tuntutan pengembalian keuntungan yang seyogyanya dinikmati oleh
perseroan. 3.
Pembatalan kontrak yang dilakukan secara langsung oleh perseroan melalui gugatan di Pengadilan Negeri, atau Actio Pauliana oleh kreditor perseroan,
baik dalam rangka kepailitan atau tidak.
b. Pertanggung jawaban Direksi dari segi Pidana
Jika anggota Direksi diwajibakan oleh suatu norma untuk berperilaku tertentu, maka perilaku yang sebaliknya adalah merupakan syarat untuk diminta pertanggung
jawaban. Demikian juga jika perilaku yang dilarang atau diwajibkan kepada anggota Direksi itu adalah dalam lingkup hukum pidana, maka pertanggung jawaban pidana
justru ada karena adanya tindak pidana. Oleh karena itu setiap adanya tindak pidana dan apa pun penyebabnya maka diminta pertanggung jawabannya.
Dalam hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” memiliki 4 empat makna, yaitu:
87
87
T, Suhaimi, Pertanggung jawaban Pidana Direksi, Bandung, 2009 cetakan pertama. Hal 90
Universitas Sumatera Utara
100
Pertama, “sifat melawan hukum” diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang
termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua, kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik, dengan
demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
Ketiga, “sifat melawan hukum” mengandung pengertian semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi.
Keempat, “sifat melawan hukum” material mengandung 2 dua pandangan. Pandangan pertama, dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat Undang- undang dalam rumusan delik. Dan kedua, dari sudut sumber hukumnya, ”sifat
melawan hukum” mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.
Dalam berbuat, tindakan badan hukum dilakukan oleh orang-orangnya tau organnya. Tetapi tidak semua tindakan orang dari badan hukum tersebut merupakan
tindakan badan hukum, tetapi bergantung pada bentuk hubungan antara orang tersebut dengan badan hukum itu.
88
Secara singkat, pertanggung jawaban tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
89
88
Rachmat Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta: 1977, hal.86.
89
Ibid, hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
101
1. untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggung jawaban didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata.
2. untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil dari badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum itu, dapat
dipertanggung jawabkan berdasar Pasal 1367 KUHPerdata. 3. untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai
hubungan kerja dengan badan hukum, untuk pertanggungjawabannya dapat dipilih Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUHPerdata.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak membuat rincian yang tegas apa yang dimaksud dengan tindak pidana. Namun
dalam pasal-pasalnya secara langsung mengatakan perbuatan apa yang dapat dipidana dan apa sebabnya dipidana. Sebagai contoh, misalnya Pasal 403 KUHPidana
menyatakan: ”Pengurus atau Komisaris yang tidak bernama, maskapai, andil Bumiputera
atau perkumpulan koperasi, selain dari apa yang tersebut dalam Pasal 398, membantu atau mengizinkan perbuatan yang berlawanan dengan anggaran
dasar, sehingga Perseroan atau perkumpulan itu tidak dapat mencukupi kewajibannya atau harus dibubarkan dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.
150.000,- seratus limapuluh ribu rupiah”. Dari ketentuan pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikatakan telah
terjadi tindak pidana, dapat dihukum pelaku dan hukuman apa yang diberikan adalah harus memenuhi unsur: 1 adanya pelaku; 2 adanya perbuatan; 3. Adanya hubungan
Universitas Sumatera Utara
102
sebab akibat; dan 4 adanya sanksi hukuman pidana. Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana RUU KUHPidana merumuskan lain
90
KUHPidana lebih tegas mendefinisikan pengertian tindak pidana dalam pasal- pasalnya, yaitu pasal 11 ayat 1: ”tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagi perbuatan yang dilarang dan diancam pidana”, pasal 11 ayat 2 menyatakan :”untuk
dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat”, dan Pasal 11 ayat 3 menyatakan: :setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali
ada alasan pembenar. Pengertian tentang tindak pidana sebagaimana disebut diatas tentunya
membawa konsekuensi dipisahkannya tindak pidana dengan pertanggung jawaban pidana. Jika ketentuan pada pasal tersebut diatas dijadikan sebagai pedoman untuk
menentukan apa suatu peristiwa merupakan tindak pidana tau bukan, maka unsur- unsur tindak pidana tersebut adalah adanya subjek sebagai pelaku tindak pidana yang
dapat diminta pertanggung jawaban, adanya perbuatan melakukan yang dilarang atau tidak melakukan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum atau bertentangan
90
Lihat hasil rapat juli 2005 Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dalam Rancangan Undang-undang Republik
Indonesia tentang Kitab Undang-undnag Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
103
dengan kesadaran hukum masyarakat, kecuali ada alasan pembenar dan adanya kesalahan dalam diri pelaku dalam melakukan tindak pidana.
Pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang yang melakukan perbuatan kriminal dan mampu bertanggung jawab. Oleh karena itu Direksi haruslah
bertanggung jawab secara pidana atas kebijakan yang dilakukan dalam mengelola perseroan. Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Direksi akan menjadi
tanggung jawab korporasi jika:
91
a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintah oleh Direksi yang memiliki posisi directing mind dari perseroan.
b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan perseroan; c. Tindak pidana itu dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam
rangka tugasnya dalam perseroan; d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
perseroan; e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf
untuk dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana; f. Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan dan unsur
kesalahan, kedua unsur tersebut diatas tidak harus terdapat pada satu orang saja. Menurut Pasal 155 UUPT yang menentukan bahwa ketentuan mengenai
tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris atas dasar kesalahan dan kelalaian
91
Sutan Remy, Sjahdeni-1, Pertanggung jawaban Pidana Korporasi, Jakarta : PT. Grafitti Pers, 2006 hal. 118-121.
Universitas Sumatera Utara
104
yang diatur dalam Undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tentang Hukum Pidana.
Dengan mempedomani ketentuan Pasal 155 UUPT tersebut, jelaslah Direksi dapat dijerat dengan ketentuan hukum pidana, jika ia melakukan kesalahan atau
kelalaian didalam pengelolaan perseroan. Pasal 155 UUPT tersebut adalah satu-satunya Pasal pengaturan penentuan
Tindak Pidana dalam Pengelolaan perseroan. Walaupun pada kenyataan pasal tersebut tidak diletakkan pada bab ketentuan pidana, tetapi ditempatkan pada Bab XII
ketentuan lain-lain. Unsur kesalahan tersiri dari 2 dua jenis, yaitu:
1. Kesengajaan dolus; 2. Kealpaan atau kelalaian Culpa.
Alasan-alasan kalangan yang menolak suatu perseroan dapat dianggap dapat melakukan sebuah tindak pidana melalui adagium universitas delingquere nonprotest
ini adalah sebagai berikut:
92
1. Perusahaan tidak mempunyai mens rea keinginan untuk berbuat jahat 2. Perusahaan bukan merupakan seorang pribadi meskipun perusahaan dapat
melakukan berbagai perbuatan hukum uang biasaya dilakuakn oleh seorang pribadi.
92
Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
105
3. Perusahaan tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan yang aktual no soul to be damned and no body to be kicked
4. Menurut doktrin ultra vires, dimana jika ada kejahatan yang dilakukan oleh Direksi suatu perusahaan, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan diluar anggaran
dasar dari perusahaan yang bersangkutan, sehingga menurut doktrin ultra vires, yang bertanggung jawab adalah Direksinya secara pribadi atau secara bersama-
sama dengan Direksi lain, tetapi bukan perusahaan yang harus bertanggung jawab.
Pada prinsipnya tanggung jawab direksi pada badan hukum perseroan terbatas yang jatuh pailit sama saja seperti tanggung jawab direksi pada perseroan terbatas
yang berjalan normal. Merupakan ketentuan umum, bahwa sepanjang beritikad baik, direksi dari suatu perseroan yang mengalami kepailitan pada dasarnya tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban secara financial. Dalam hal perseroan dinyatakan pailit dan kepailitan itu terjadi karena
kesalahan atau kelalaian direksi, maka UUPT mengatur secara khusus tanggung jawab direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut Tidak semua
kepailitan akan membawa direksi kearah pertanggungjawaban yang ditentukan dalam Pasal 90 ayat 2 UUPT, melainkan hanya yang karena kesalahan direksi saja atau
sebagai akibat kotor kelalaian, penipuan, konflik kepentingan atau ilegalitas gross negligence, fraud, conflict of interest
atau illegality yang dimungkinkan dimintanya pertanggungjawaban direksi secara pribadi.
Universitas Sumatera Utara
106
Tindakan direksi yang dengan sengaja tidak membayar kewajiban yang telah jatuh tempo sehingga menyebabkan perseroan dimohonkan kepailitan pada akhirnya
jatuh dalam keadaan pailit berdasarkan putusan pengadilan jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap business judgement rule. Dalam konsepsi fiduciary
duty terkandung duty of care and skill atau duty of loyality and good faith, yang pelanggarannya mengakibatkan breach of duty dari direksi tersebut, yang dapat
membawanya kepada pertanggungjawaban pribadi terhadap kerugian yang diderita oleh perseroan, pemegang saham maupun pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
perseroan. Berbeda dengan konsepsi fiduciary duty, dalam konsepsi business judgement
rule, seorang direksi baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi atas kepailitan perseroan terbatas jika ia terbukti telah salah atau melakukan kotor
kelalaian, penipuan, konflik kepentingan atau ilegalitas gross negligence, fraud, conflict of interest atau illegality
Mengenai seberapa banyak harta direksi dapat disita bila diasumsikan kepailitan perusahaan diakibatkan kelalaian atau kelalaian direksi, maka jawabannya mengacu
pada Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU. Disitu dikatakan kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan. Artinya, selama perusahaan tersebut masih berstatus pailit dan terbukti kepailitan diakibatkan kesalahan dan kelalaian direksi
maka secara tanggung renteng kekayaan yang diperoleh direksi selama kepailitan akan menjadi harta pailit.
Universitas Sumatera Utara
107
Untuk komisaris, UU PT tidak menyebutkan secara spesifik tanggung jawab komisaris seandainya terjadi kepailitan. Sebab, berbeda dengan direksi yang bertugas
menjalankan dan mengurus perseroan, peran komisaris lebih pada mengawasi dan memberikan nasihat kepada direksi. Namun, tidak tertutup kemungkinan komisaris
juga mengemban tanggung jawab direksi termasuk bertanggungjawab bila terjadi kepailitan--apabila komisaris melakukan tindakan perseroan dalam keadaan dan
jangka waktu tertentu. Konsekuensinya, sebagaimana diatur pada Pasal 100 ayat3 UU PT, bagi komisaris yang melakukan pengurusan perseroan dalam jangka waktu
tertentu berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga.
Universitas Sumatera Utara
108
BAB IV PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP HARTA PAILIT
PERSEROAN TERBATAS PADA PERADILAN
A. Arah Pengembangan Kompetensi Pengadilan Niaga dan Hakim Pengadilan Niaga