HUBUNGAN UTANG PIUTANG DENGAN RIBA

2.5. HUBUNGAN UTANG PIUTANG DENGAN RIBA

Akad utang piutang dimaksud untuk mengasihi diantara sesama manusia, menolong mereka dalam menghadapi berbagai urusan, dan memudahkan denyut nadi kehidupan. Akad utang piutang bukanlah salah satu sarana untuk memperoleh penghasilan dan bukan pula cara untuk mengekploitasi orang lain. Oleh karena itu orang yang berutang tidak boleh mengembalikan kepada orang yang memberi utang keuali apa yang telah diutangkan atau yang serupa dengannya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih “setiap piutang yang mendatangkan man faat adalah riba”. (Sabiq, 2009,237)

Riba menurut bahasa berarti tambahan atau berlebih, sedangkan menurut terminologi ulama fiqih mendefinisikannya dengan :

ل ابم ل ام ةضو اعم في ض وع لاب ل ام لضف Artinya:

Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta. ( Syafi’I, 2004, 260)

Dalam al- Qur’an Allah SWT sudah jelas-jelas melarang pelaksanaan riba seperti yang terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 275 yang berbunyi:

Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.(QS.al- Baqarah, 275). (Depag RI, 69)

Ayat di atas juga dikuatkan oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:

Artinya: Dari Jabir R.A berkata Rasullullah SAW mengutuk pemakan riba, wakilnya, dan penulisannya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka sama-sama dikutuk. (H.R Muslim) (muhammad, 1992,172)

Selanjutnya Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘alih:

Artinya: Dari Abu Said al-Khudri r.a menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Janganlah menjual emas dengan emas kecuali jika sama nilainya dan janganlah kamu menambah sebagian atas sebagian yang lainnya dan janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali sama nilainya dan janganlah kamu menambah sebagian atas sebagian yang lainnya, janganlah kamu menjual yang tidak kelihatan dengan yang kelihatan. (H.R Muttafaqun ‘alaih)

Hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi melarang jual beli emas dengan emas kecuali yang sama nilainya, kemudian Nabi juga melarang adanya nilai tambah dalam jual beli yang mengakibatkan salah satu pihak yang melangsungkan akad yang dirugikan.

Riba merupakan pemerasan manusia sesama manusia di mana sebagian manusia hidup dengan kekayaan yang berlimpah dan hanya menggoyangkan kakinya sementara orang yang yang berhutang memeras keringat dan mencari tambahan harta kekayaan untuk melunasi hutang. Jumhur Ulama membagi Riba dalam dua bagian Yaitu:

2.5.1. Riba Fadhal Riba Fadhal yaitu jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut, misalnya pertukaran 1 gram emas dengan 1,5 gram emas, oleh karena itu jika melaksanakan akad jual beli antara barang yang sejenis tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. ( Rusdy, juz II, 129)

Tentang keharaman riba Fadhal ini dikuatkan oleh hadis Nabi yang berbunyi:

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda (juallah) emas dengan emas sama timbangannya, sama bandingannya, barang siapa menambah atau minta tambahan, maka termasuk

riba.” (HR.Muslim). (Abdul Baqi,juz II, 1211)

Hadis lain yang menjadi dasar hukum keharaman riba fadhal ini adalah:

Artinya: Dari ‘Ubadah bin Shamid Rasulullah SAW bersabda: (boleh jual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,

kurma dengan kurma,garam dengan garam hendaklah sama banyaknya dan dengan tunai, tetapi apabila berlainan macamnya bolehlah kalian jual sekehendak hati kalian jika dia tunai. (HR.Muslim). (Yaqub,1992,180)

Hadis di atas menjelaskan bahwa yang berlaku pada riba Fadhal ialah pada benda emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam.

Para Fuqaha berbeda pendapat tentang riba Fadhal ini antara lain:

1. Ulama berpegang pada zahir di atas bahwa riba itu hanya terbatas pada beberapa macam sesuai dengan yang disebutkan di atas, maka pada barang yang lain tidak berlaku padanya riba Fadhal, pendapat ini dipegang oleh Qatadah, Thawus, Usman al-Basthi, Ibn Aqil al-Hambali dan golongan Dairiyah. (Muhammad,1992,120)

2. Sedangkan Amar, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat ditakar, dapat ditimbang dapat dimasuki riba.

3. As-Syafi’I dan Ahmad dalam suatu riwayat berpendapat bahwa riba itu termasuk padanya emas, perak dan tiap-tiap makanan yang memakai takaran dan timbangan .Sedangkan Maliki memandang riba Fadhal itu hanya pada makanan pokok (yang bisa menguatkan tubuh).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa para Fuqaha telah sepakat tentang keharaman riba Fadhal, untuk semua jual beli yang disebutkan di atas, kecuali sama kualitas dan kuantitasnya dan di berikan secara tunai.

2.5.2. Riba Nasi’ah Riba Nasi’ah yaitu tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang berutang dari orang yang berutang sebagai

imbalan penundaan pembayaran hutang. (Zuhdi, 1993, 100) Riba Nasiah ini riba yang dilakukan masyarakat jahiliyah. Riba nasiah ini juga dikenal dengan riba hutang karena pelaksanaan riba ini menyangkut dengan hutang piutang, dan merupakan praktek riba nyata di larang dalam Islam, larena dianggap sebagai penimbunan kekayaan secara tidak wajar dan mendapatkan keuntungan tanpa melakukan usaha. Kelebihan pembayaran karena penundaan waktu pembayaran yang akhirnya jumlah hutang semakin membengkak.

Ibnu Abas, Usamah Ibn Jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir dan lain-lain berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba

Nasi’ah, pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi SAW bersabda:

ةئسنلا فيلاا ابر لا Artinya: Tidak ada riba kecuali pada riba nasiah.

Hadis di atas dapat diartikan bahwa riba nasi’ah adalah riba terberat dibandingkan dengan riba lainnya. Hal ini sama halnya

dengan pernyataan “Tidak ada Ulama di daerah ini kecuali Ahmad”, padahal kenyataannya juga ada Ulama selain Ahmad.

Hanya saja Ahmad merupakan Ulama yang paling disegani. (al- Zuhaili, 174)

Ibn Daqieqil’id berkata bahwa hikmah pengharaman riba adalah untuk menghapus penganiayaan, karena mengambil

tambahan dari pokok modal adalah perbuatan aniaya. Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa riba merupakan perikatan yang menimbulkan kemudharatan baik pada mental seseorang maupun pada masyarakat. Seseorang yang sudah terbiasa mendapat keuntungan dengan mudah melalui riba akan malas berusaha sehingga dengan sendiri mental masyarakat menjadi jelek.

Antara hutang piutang mempunyai hubungan yang erat. Dilihat dari tujuan dari tujuan hutang piutang bertujuan untuk mewujudkan rasa saling tolong- menolong diantara sesama sekaligus memelihara kelancaran dan ketertiban dalam