menunjukkan adanya ikatan ulur C=O dari gugus asetamida yang terdapat pada rantai utama kitosan sedangkan pada daerah 1597,06 cm
-1
menunjukkan adanya gugus N-H yang mengalami deformasi angular dari gugus amino kitosan. Perbandingan spektrum
FT-IR antara kitosan yang digunakan pada penelitian dengan standarnya dapat dilihat pada lampiran.
Hasil analisa spektrum infra merah untuk karboksimetil kitosan menunjukkan munculnya puncak serapan gugus fungsi baru diantaranya adalah puncak serapan
pada dearah panjang gelombang 3448,72 cm
-1
yang merupakan serapan dari vibrasi ulur O-H yang tumpang tindih dengan vibrasi ulur N-H. Pita serapan dari ikatan ulur
C-H alifatis bergeser dari 2877,79 cm
-1
menjadi 2924,09 cm
-1
. Pada daerah serapan 1411,89 cm
-1
menunjukkan adanya gugus karboksimetil yang telah terbentuk pada rantai kitosan. Serapan pada daerah 1072,42 cm
-1
menunjukkan adanya ikatan glikosida ulur C-O-C dan ulur C-O yang menunjukkan bahwa terbentuk ikatan eter
yang mendukung bahwa reaksi karboksimetilasi telah terjadi. Berdasarkan hasil analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa reaksi
karboksimetilasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan telah terjadi yang ditandai dengan munculnya puncak-puncak serapan yang khas untuk senyawa karboksimetil
kitosan.
4.4.3 Penentuan Derajat Deasetilasi
Derajat deasetilasi kitosan dapat diukur dengan berbagai metode dan yang paling lazim digunakan adalah metode garis dasar spektroskopi IR Transformasi Fourier
FTIR yang pertama kali digunakan oleh Moore dan Robert pada 1977. Kitin yang terdeasetilasi sempurna 100 menghasilkan nilai A
1655
= 1,33. Dengan diperolehnya perbandingan absorbansi antara bilangan gelombang 1655 cm
-1
serapan pita amida I dan 3450 cm
-1
serapan gugus hidroksil, maka DD kitosan dapat dihitung sebagai berikut :
�� = − [ �
� ×
, ] ×
Universitas Sumatera Utara
Maka, derajat deasetilasi kitosan dan karboksimetil kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditentukan dengan menggunakan rumus diatas.
Derajat deasetilasi kitosan �� = − [
, ,
× ,
] ×
= − [ ,
, ×
, ] ×
= − , ×
= ,
Derajat deasetilasi karboksimetil kitosan �� = − [
, ,
× ,
] ×
= − [ ,
, ×
, ] ×
= − , ×
= ,
Berdasarkan Proton Laboratories Inc. Julianti, 2012 yang menyatakan bahwa kitosan memiliki derajat deasetilas
i ≥ 70, maka dapat dinyatakan bahwa pada proses pembuatan karboksimetil kitosan diperoleh harga derajat deasetilasi yang lebih tinggi
dari molekul kitosan.
Universitas Sumatera Utara
4.4.4 Penentuan pH Optimum pada Proses Adsorpsi Ion Timbal Pb
2+
dengan menggunakan Karboksimetil Kitosan
Salah satu parameter yang sangat penting dalam proses adsorpsi ion logam adalah derajat keasaman atau pH larutan. Hal ini terjadi karena setiap logam yang terkandung
dalam limbah membutuhkan kondisi penyerapan yang berbeda-beda. Pada penelitian ini, adsorben ion Pb
2+
yang digunakan adalah serbuk karboksimetil kitosan yang telah lolos ayakan 100 mesh. Variasi pH pada proses adsorpsi adalah 2, 3, 4, 5 dan 6.
Konsentrasi ion Pb
2+
yang digunakan adalah 5 mgL sebanyak 20 mL dengan massa adsorben 0,1 gram dan dengan waktu pengadukan selama 30 menit.
Penentuan kadar logam berat timbal Pb
2+
dalam larutan standar sebelum dan setelah penambahan karboksimetil kitosan untuk menentukan pH optimum
penyerapan dilakukan dengan mengukur nilai absorbansi dan konsentrasi ion Pb
2+
menggunakan alat Spektrofotometer Serapan Atom. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terjadi penurunan konsentrasi ion timbal
Pb
2+
dalam larutan setelah penambahan serbuk karboksimetil kitosan. Konsentrasi awal larutan standar logam timbal yang digunakan sebesar 5 mgL dan setelah
penambahan karboksimetil kitosan berkurang menjadi 1,8792; 1,3462; 0,9781; 0,3695 dan 1,9099 mgL dengan variasi pH 2; 3; 4; 5 dan 6. Dengan kata lain, persentase
penurunan konsentrasi ion timbal Pb
2+
setelah penambahan karboksimetil kitosan dengan pH 2; 3; 4; 5 dan 6 masing-masing sebesar 62,42; 73,08; 80,44; 92,61
dan 61,80. Data persentase penurunan kadar ion timbal Pb
2+
dengan penambahan karboksimetil kitosan dapat dilihat pada tabel 4.3. Berdasarkan data
tersebut diatas, maka persentase adsorpsi pada berbagai pH dapat kita gambarkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.2 Persen Adsorpsi pada Variasi pH Larutan Pb
2+
Berdasarkan gambar 4.2 diatas dapat kita lihat bahwa berawal dari pH 2, persen adsorbsi ion Pb
2+
terus mengalami kenaikan hingga mencapai titik optimum yaitu pada pH 5 dengan persen adsorbsi yang diperoleh sebesar 92,61. Menurut Mc. Kay
1987 pH mempengaruhi daya adsorpsi dimana pH yang terlalu rendah akan mengurangi penyerapan ion logam ke dalam kitosan disebabkan terjadinya persaingan
antara ion logam dengan H
+
untuk menempati gugus amino bebas. Sedangkan pada pH 6, persen ion Pb
2+
yang teradsorpsi mengalami penurunan yaitu sebesar 61,80. Hal ini terjadi karena pada pH yang mendekati pH netral, ion-ion logam mengalami
reaksi hidrolisis dalam larutan sehingga logam tersebut tidak stabil dalam bentuk ion logam semula dan kemampuan menyerap adsorben menjadi menurun.
Mekanisme yang terjadi adalah kitosan sebagai polimer kationik dapat mengikat logam Pb ataupun logam berat lainnya yang bertindak sebagai asam Lewis
karena kitosan memiliki gugus fungsi amino -NH
2
sebagai basa Lewis yang sangat reaktif dimana gugus amino tersebut akan berikatan dengan logam Pb membentuk
ikatan kovalen. Karboksimetil kitosan adalah salah satu polimer organik yang paling cocok sebagai adsorben logam. Struktur kimianya yang fleksibel dan hidrofilik
menyebabkan karboksimetil kitosan adalah zat yang tepat digunakan dalam mengkompleks logam. Gugus hidroksil sangat mudah terprotonasi dalam larutan asam
menghasilkan gaya elektrostatik untuk menarik bagian yang bersifat anionik dari kompleks logam. Sedangkan gugus amino menyediakan sisi aktif untuk mengkelat
logam Mourya dkk., 2010.
62.42 73.08
80.44 92.61
61.8
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
2 3
4 5
6
A d
so r
p si
pH Larutan Pb
2+
Universitas Sumatera Utara
4.5 Reaksi