Pertanian, Subak dan Pariwisata

2.4. Pertanian, Subak dan Pariwisata

Subak merupakan organisasi sosial, religious dan ekonomis petani yang tidak hanya bergerak dibidang pengaturan air dan pengaturan pola tanam, memiliki otonomi penuh. Subak tidak terkait dengan organisasi lain, termasuk dengan pemerintah. Pada masa lalu otonomi ini sangat mutlak. Organisasi subak mengajarkan pendidikan politik dan kehidupan demokratis yang sangat efektif kepada masyarakat di pedesaan. Semua keputusan dilakukan secara musyawarah dengan kesaksian Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena itu Sangkepan Subak selalu dilakukan di wantilan atau di Jabaan Pura Subak. Sangkepan selalu didahului dengan doa bersama menggunakan canang dan dupa. Oleh karena itu Sangkepan Subak selalu bernuansa magis. Hal ini penting untuk menghasilkan keputusan yang terbaik dan menghindari konflik intern. Keputusan Sangkepan Subak sangat mutlak mengikat seluruh petani. Subak memiliki filosofi Tri Hita Karana dan Tri Mandala yang memberi tatanan kehidupan sosial dan lingkungan yang terbagi sedemikian rupa sehingga menimbulkan kehidupan yang harmonis yaitu selaras, serasi dan seimbang. Dalam konsep Tri Hita Karana atau Tri Mandala, maka Subak dibagi dalam kawasan Parahyangan, Palemahan dan Pawongan. 1 Parahyangan merupakan kawasan suci yaitu Pura Subak sebagai tempat para petani untuk mendekatkan dirinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Semua kegiatan selalu minta petunjuk dan atas ijin Hyang Widhi. 2 Palemahan adalah kawasan persawahan yang menjadi tempat kegiatan produksi petani. Kawasan ini sangat ketat dijaga kesuciannya, sehingga setiap petak pemilikan tetap memiliki bedugul. Bagi petani di Bali, sawah merupakan karunia Tuhan yang diwariskan dari leluhurnya sehingga sawah memiliki nilai religious dan tempat bermukim dan bermain Betari Sri. Pada masa lalu jual beli sawah waris pantang dilakukan. 3 Kawasan ketiga adalah kawasan Pawongan yaitu tempat petani melakukan proses sosialisasi. Masing-masing kawasan ini memiliki tata cara pengaturan hak dan kewajiban anggotanya sehingga memberi masyarakat petani dimensi kehidupan yang lengkap. Pada masa lalu Subak memiliki otonomi yang sangat kuat, termasuk dalam menentukan jual beli tanah sawah yang terjadi di wilayahnya. Jual beli tanah terjadi melalui keputusan Sangkepan Subak. Jual beli hanya terjadi antar anggota subak. Sangat sulit sawah petani dapat dipindahtangankan kepada orang luar. Namun semenjak sertifikat tanah BPPN dijadikan sebagai status hukum kepemilikan tanah yang paling kuat maka otonomi subak dalam jual beli tanah ini menjadi dikebiri. Akhirnya tanah berpindah tangan kepada para investor yang jauh sekali sehingga produktivitas sawah menjadi merosot, munculnya lahan tidur dan lahan ngantuk. Tanah akhirnya menjadi komoditi dagang para spekulan pemilik uang untuk memperoleh keuntungan. Penggunaan tanah sawah yang subur dan produktif untuk tempat pemukiman atau untuk sarana rekreasi dan pariwisata tidak terhindarkan. Penyusutan lahan sawah berlanjut terus di Bali tanpa pernah ada upaya yang serius untuk menghentikannya. Sawah dan petani adalah aset pariwisata. Sawah memberi kehidupan setengah penduduk Bali yang masih mengandalkan hidupnya dari pertanian. Dari kehidupan pertanian lahir nilai-nilai budaya agraris yang sangat luhur yang dijadikan sebagai aset kepariwisataan Pariwisata Budaya. Padahal pariwisata merupakan potensi yang paling kuat untuk merusak nilai-nilai budaya agraris yang diilhami oleh kehidupan petani. Pariwisata menggerogoti luas lahan pertanian dan kompetitor yang paling rakus merebut sumber daya alam yang dimiliki petani yaitu air. Namun demikian pariwisata belum pernah secara serius memberi kepedulian terhadap kehidupan petani dan terhadap kelompok-kelompok tani. Pariwisata tidak mungkin berkembang di Bali jika Subak dan petani tidak ada. Jauh sekali kesenjangan yang terjadi antara langit dan bumi antar dunianya petani yang kumuh dengan dunianya kepariwisataan yang glamour. Banyak kasus-kasus dimana pariwisata melecehkan kehidupan petani, misalnya pemerkosaan para seniman Bali yang diperas untuk menunjukkan hasil cipta karsa berupa seni tari di hotel-hotel dengan upah seadanya yang diangkut dengan truk untuk memuaskan para wisatawan dan untuk mengisi pundi-pundi para maklar seni. Untuk itu dibutuhkan kemauan politik dunia pariwisata untuk ikut memelihara budaya agraris, membantu meningkatkan mutu dan produktivitas petani. Pariwisata memiliki hutang yang besar terhadap petani, karena pariwisata budaya menggunakan petani dan budaya agrarisnya untuk daya tarik pariwisata. Tanpa petani mustahil pariwisata bisa berkembang di Bali. Namun demikian hutang ini dengan angkuh dicibirkan oleh pelaku pariwisata. Pariwisata sangat berkeberatan membuka akses bagi petani untuk melangkah kedalam dapurnya pariwisata. Dapurnya lebih banyak dijejali dengan berbagai komoditi ekspor. Dalihnya adalah kualitas dan kontinyuitas yang tidak memenuhi standar, padahal didalamnya ada unsur kolusi, korupsi dan komisi. Bantuan diperlukan dari pemerintah yang membuat aturan dan kebijakan untuk memberi perlindungan kepada petani dan membangkitkan itikad baik dunia pariwisata agar mau menggandeng petani.

2.5. Variabel Penilai Potensi dan Perkembangan Obyek Wisata