Analisis Faktor Eksternal Emiten dan Pengaruhnya Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia

(1)

ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN

PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM

GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA

TESIS

Oleh :

TOFAN ERLANGGA SIDABALOK

087017077/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN

PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM

GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

TOFAN ERLANGGA SIDABALOK

087017077/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : Analisis Faktor Eksternal Emiten dan Pengaruhnya Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia

Nama Mahasiswa : Tofan Erlangga Sidabalok Nomor Pokok : 087017077

Program Studi : Akuntansi

Menyetujui : Komisi Pembimbing,

(Prof.Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS,MBA,CPA) (

Ketua Anggota Iskandar Muda, SE, M.Si,Ak)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA) (Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 15 Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak Anggota : 1. Iskandar Muda, SE, M.si,Ak

2. Dr. HB Tarmizi, SU

3. Drs. Idhar Yahya, MBA,Ak


(5)

PERNYATAAN

Analisis Faktor Eksternal Emiten dan

Pengaruhnya Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

di Bursa Efek Indonesia

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Februari 2013 Penulis,

Tofan Erlangga Sidabalok


(6)

ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN

DI BURSA EFEK INDONESIA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal berupa inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini diharapkan untuk memprediksi pasar modal dalam menetapkan investasi yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko atas investasi yang dilakukan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi berganda. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) selama kurun waktu 111 bulan dari Januari 2003 sampai dengan Maret 2012. Variabel yang digunakan adalah inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank, dan harga emas rupiah sebagai variabel independen dan

Indeks Harga Saham Gabungan sebagai variabel dependen. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independen inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga SBI dan harga emas rupiah berpengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI baik secara simultan maupun secara parsial

Kata kunci : Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga, Harga Emas dan Indeks Harga Saham Gabungan


(7)

EXTERNAL FACTORS ANALYSIS OF THE ISSUER AND EFFECTS ON JOINT STOCK PRICE INDEX

IN INDONESIA STOCK EXCHANGE

ABSTRACT

This study aimed to investigate the influence of external factors such as inflation, exchange rate, interest rates and gold prices on Composite Stock Price Index (CSPI) in Indonesia Stock Exchange. This study is expected to predict the stock market in determining the right investment so as to maximize the benefits and minimize the risks of the investments made. The method of analysis used in this study is the method of multiple regression analysis. This study uses secondary data to the type of time series data (time series) over a period of 111 months from January 2003 to March 2012. The variables used are inflation, exchange rate, interest rates, gold prices and the rupiah as the independent variable and the Jakarta Composite Index as the dependent variable. From the results of this study indicate that the independent variables of inflation, exchange rate, interest rate and gold price rupiah SBI positive influence Composite Stock Price Index at the in Indonesia Stock Exchange either simultaneously or partially

Keywords : Inflation, Dollar Exchange Rate, Interest Rates, Price of Gold and Composite Stock Price Index


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas, penulis menyampaikan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena dorongan rahmat, karunia dan anugerahNya yang berkelimpahan, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Dalam menyelesaikan usulan tesis ini tentu saja penulis banyak menemui kesulitan-kesulitan, kendala-kendala dan hambatan-hambatan, akan tetapi berkat bantuan, bimbingan, petunjuk dan masukan dari berbagai pihak lainnya penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Sekolah Pascasarjana.

2. Bapak Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang, MSIE

3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS,MBA, CPA., selaku Ketua Program Studi Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

, Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang senantiasa dengan sabar dan secara berkesinambungan meningkatkan layanan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Iskandar Muda, SE, M.Si,Ak., selaku Dosen Pembimbing II yang yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

5. Ibu Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak, selaku Anggota Komisi Dosen Pembanding yang yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.


(9)

6. Bapak Dr. HB Tarmizi, SU, selaku Anggota Komisi Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

7. Bapak Drs. Idhar Yahya, selaku Anggota Komisi Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Ayahanda H. Donald Sidabalok dan Ibunda Hj. Sutarjiati, yang senantiasa memberikan doa, cinta, dukungan semangat dalam menyelesaikan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Dewi Tirta Utami yang telah banyak memberikan cinta, doa dan motivasi sepanjang penulis mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

10.Para karyawan dan staf administrasi Pascasarjana USU yang telah banyak membantu dalam hal administrasi kuliah.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penyajian maupun dari segi penyusunannya. Untuk itu penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca guna penyempurnaan tesis ini pada masa yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi rekan mahasiswa/i.

Medan, Februari 2013 Penulis,

Tofan Erlangga Sidabalok


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Tofan Erlangga Sidabalok Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 02 Desember 1984 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Jermal III Gg. Muara No. 5 Medan

Telepon : 08126009250

Pendidikan :

Pekerjaan :

No Tingkat

Pendidikan Nama Pendidikan

1. SD SD Negeri 067241

2. SMP SMP Negeri 13 Medan

3. SMK SMK Negeri 2 Medan

4. S1 Fakultas Ekonomi, Program Studi Akuntansi Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara 5. S2 Sekolah Pascasarjana, Program Studi Akuntansi

Universitas Sumatera Utara

No Tahun Nama Perusahaan Jabatan

1. 2007 - 2010 PT Bank Sumut Staff Adm. Kredit 2. 2010 - Sekarang PTPN IV (Persero) Asisten Urusan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I : PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Originalitas ... 9

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 11 2.1. Landasan Teoritis ... 11

2.1.1. Capital Asset Pricing Model (CAPM) ... 11

2.1.2. Arbitrage Pricing Theory (APT) ... 18

2.1.3. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ... 21

2.1.4. Inflasi... 25

2.1.5. Nilai Tukar Rupiah ... 27

2.1.6. Tingkat Suku Bunga SBI (BI rate) ... 30

2.1.7. Harga Emas ... 34

2.2. Review Penelitian Terdahulu ... 36

BAB III : KERANGKAKONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 42 3.1. Kerangka Konseptual ... 42


(12)

BAB IV : METODE PENELITIAN 45

4.1.Jenis Penelitian ... 45

4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4.3.Metode Pengumpulan Data ... 45

4.4.Definisi Operasionalisasi dan Metode Pengukuran Variabel ... 46

4.5.Metode Analisis Data ... 47

4.5.1. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 48

4.5.2. Uji Kesesuaian ... 50

BAB V : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 52 5.1. Hasil Penelitian ... 52

5.1.1. Deskripsi Data Penelitian ... 52

5.1.2. Uji Asumsi Klasik ... 54

5.1.2.1. Uji Normalitas ... 54

5.1.2.2. Uji Multikolinearitas ... 55

5.1.2.3. Uji Autokorelasi ... 56

5.1.3. Uji Heteroskedastisitas ... 57

5.2. Hasil Penelitian ... 58

5.3. Pembahasan Hasil Penelitian ... 61

BAB V : KESIMPULANDAN SARAN 66 6.1. Kesimpulan ... 66

6.2. Keterbatasan Penelitian ... 66

6.3. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI ... 2

1.2 Perkembangan IHSG, Inflasi, Kurs Dolar, SBI dan Emas... 4

2.1. Revie Penelitian Terdahulu ... 39

4.1. Defenisi dan Pengukuran Variabel Penelitian... 46

5.1. Deskriptif Statistik ... 52

5.2. Hasil Pengujian One Sample Kolmogorov Smirnov Test ... 54

5.3. Hasil Uji Multikolinearitas ... 55

5.4. Nilai Durbin Watson ... 56

5.5. Pengujian Goodness Of Fit ... 58

5.6. Hasil Uji F ... 59


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

3.1. Kerangka Konseptual ... 42 5.1. Hasil Uji Heterokedastisitas ... 57


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data IHSG, SBI, Kurs Dolar, Inflasi dan Price Gold

Bulanan 2003 -2011 ... 71 2. Hasil Regresi SPSS ... 75


(16)

ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN

DI BURSA EFEK INDONESIA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal berupa inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini diharapkan untuk memprediksi pasar modal dalam menetapkan investasi yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko atas investasi yang dilakukan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi berganda. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) selama kurun waktu 111 bulan dari Januari 2003 sampai dengan Maret 2012. Variabel yang digunakan adalah inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank, dan harga emas rupiah sebagai variabel independen dan

Indeks Harga Saham Gabungan sebagai variabel dependen. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independen inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga SBI dan harga emas rupiah berpengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI baik secara simultan maupun secara parsial

Kata kunci : Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga, Harga Emas dan Indeks Harga Saham Gabungan


(17)

EXTERNAL FACTORS ANALYSIS OF THE ISSUER AND EFFECTS ON JOINT STOCK PRICE INDEX

IN INDONESIA STOCK EXCHANGE

ABSTRACT

This study aimed to investigate the influence of external factors such as inflation, exchange rate, interest rates and gold prices on Composite Stock Price Index (CSPI) in Indonesia Stock Exchange. This study is expected to predict the stock market in determining the right investment so as to maximize the benefits and minimize the risks of the investments made. The method of analysis used in this study is the method of multiple regression analysis. This study uses secondary data to the type of time series data (time series) over a period of 111 months from January 2003 to March 2012. The variables used are inflation, exchange rate, interest rates, gold prices and the rupiah as the independent variable and the Jakarta Composite Index as the dependent variable. From the results of this study indicate that the independent variables of inflation, exchange rate, interest rate and gold price rupiah SBI positive influence Composite Stock Price Index at the in Indonesia Stock Exchange either simultaneously or partially

Keywords : Inflation, Dollar Exchange Rate, Interest Rates, Price of Gold and Composite Stock Price Index


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pasar modal merupakan lahan untuk mendapatkan modal investasi, sementara investor pasar modal merupakan lahan untuk menginvestasikan uangnya. Setiap investor dalam mengambil keputusan investasi selalu dihadapkan pada sejumlah alternatif, apakah ia akan menginvestasikan dananya dalam bentuk asset real seperti membeli peralatan produksi dan mengoperasikannya untuk mendapatkan keuntungan, atau memilih melakukan investasi dalam bentuk asset finansial dengan membeli sekuritas yang berpendapatan tetap seperti obligasi, deposito, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau memberi sekuritas yang berpendapatan tidak tetap seperti saham (Wijaya, 2010).

Faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan pasar modal suatu Negara adalah kondisi makroekonomi dan stabilitas politik Negara tersebut, misalnya


(19)

kurs valuta asing (valas), cadangan devisa, inflasi, tingkat suku bunga deposito. Di Indonesia kurs valas mengalami perubahan setiap waktu, ada kalanya rupiah menganut mata uang asing pada saat kondisi Indonesia stabil atau cenderung membaik dari kondisi sebelumnya. Sebaiknya rupiah akan melemah terhadap mata uang asing pada saat kondisi Indonesia memburuk Tentang hubungan atau pengaruh kurs terhadap Indeks Harga Saham itu sendiri sangat berkaitan erat. Hal ini dikarenakan kurs adalah salah satu faktor yang mempengaruhi Indeks Harga Saham, sedangkan Indeks Harga Saham adalah dampak simultan dari berbagai kejadian utama pada fenomena-fenomena ekonomi (Wijaya, 2010).

Menurut Thian dalam Kasim (2010) IHSG merupakan hasil perhitungan dari harga seluruh saham yang tercatat dengan dipengaruhi oleh faktor besarnya nilai kapitalisasi pasar suatu saham. Nilai kapitalisasi pasar itu sendiri adalah nilai seluruh saham yang dihitung berdasarkan harga yang terakhir, dan nilai dasar adalah merupakan nilai yang dihitung berdasarkan harga perdana masing- masing saham. Salah satu tolok ukur untuk mengetahui perkembangan suatu bursa terletak pada perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan/composite Indeksnya.

Tabel 1.1. Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 1999 – 2011 Tahun Indeks Harga

Saham Gabungan (IHSG)

Tahun Indeks Harga Saham Gabungan

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 676.91 41632 392.03 424.94 691.89 1,000.23 1,162.64 1,805.52 2,745.83 1,355.41


(20)

2009 2010 2011

2,534.36 3703.51 3821.99

Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, beberapa tahun

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami peningkatan karena di dukung kondisi makro yang cukup stabil. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh terbentuknya pemerintah baru yang legitimate dan diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik. Dalam tahun 1999, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 1,8% dibandingkan tahun 1998 sebesar -13,2% dengan tingkat inflasi menurun tajam menjadi sebesar 2,01% dibandingkan dengan tingkat inflasi pada tahun sebelumnnya sebesar 77,6% sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tahun 1999 mengalami kenaikan yaitu sebesar 676,91. Setelah mengalami peningkatan pada tahun 1999, pada tahun 2000 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengalami penurunan menjadi 416,32 poin dan pada tahun 2001 mengalami penurunan kembali menjadi 392,03 poin. Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tersebut dipengaruhi baik oleh faktor ekonomi maupun non ekonomi. Faktor ekonomi terutama akibat melemahnya nilai tukar, dan melemahnya kinerja bursa regional. Sementara faktor non ekonomi yang mempengaruhi melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terutama bersumber dari meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap stabilitas keamanan dan politik selama 2001, terjadinya tragedi World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat 11 September 2001 yang diikuti oleh aksi anti Amerika di sejumlah kota besar.

Seiring dengan kenaikan inflasi yang bergerak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat


(21)

suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), maka dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tersebut akan mendorong pertumbuhan uang beredar, hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi. Namun untuk perkembangan Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung mengalami kenaikan, karena adanya minat dari investor untuk menanamkan modalnya di bursa efek. Bila suku bunga cukup tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan uangnya di bank. Sebaliknya, bila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa.

Dalam perekonomian suatu Negara itu biasanya dilihat dari kurs Negara itu sendiri terhadap kurs valas. Apabila kurs menguat, maka secara tidak langsung Indeks Harga Saham juga akan naik, tapi bila kurs itu melemah maka Indeks Harga Saham juga akan turun. Naik turunnya harga saham akan terjadi karena apresiasi rupiah terhadap mata uang asing menyebabkan naik turunnya permintaan saham di pasar modal oleh investor.

Dampak merosotnya nilai tukar rupiah terhadap pasar modal memang dimungkinkan, mengingat sebagian besar perusahaan yang gopublic di BEI mempunyai hutang luar negeri dalam bentuk valuta asing. Di samping itu produk‐produk yang dihasilkan oleh perusahaan publik tersebut banyak menggunakan bahan yang memiliki kandungan impor tinggi. Merosotnya rupiah dimungkinkan menyebabkan jumlah hutang perusahaan dan biaya produksi menjadi bertambah besar jika dinilai dengan rupiah.


(22)

Hubungan antara tingkat suku bunga dengan Indeks Harga Saham, apabila tingkat bunga tinggi maka pemilik modal memilih menabung di Bank. Harga saham sulit diprediksi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar rupiah, harga emas, kondisi ekonomi nasional, kondisi politik, keamanan, kebijakan pemerintah, dan lain-lainnya.

Pengaruh tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar dan harga emas rupiahakan menjadi perhatian bagi penulis didalam penelitian ini. Tingkat suku bunga dan sekuritas adalah dua faktor yang sering diperhatikan sebelum investor melakukan investasi, umumnya tingkat suku bunga mempunyai hubungan yang negatif dengan harga sekuritas. Secara sederhana, jika suku bunga pasar meningkat, maka tingkat return yang disyaratkan investor atau suatu obligasi juga akan meningkat. Suku bunga merupakan besarnya imbalan yang harus dibayarkan atas penggunaan sejumlah uang berdasarkan perjanjian pinjam meminjam. Pemberi pinjaman menetapkan suatu tingkat bunga nominal yang menurunkan daya beli dari sejumlah uang yang dipinjamkan, sehingga tingkat bunga efektif atau riil memberikan hasil yang cukup kepada pemberi pinjaman atas penundaan konsumsi sekarang dan atas resiko kegagalan yang diakibatkan pemberian pinjaman.

Kurs merupakan nilai tukar mata uang suatu negara dan dalam sistem perekonomian manapun sangat sulit untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar mata uang tersebut. Tetapi disisi lain penguatan nilai tukar mata uang suatu negara bisa menekan laju inflasi. Apabila harga-harga barang dan sektor jasa cenderung mengalami kenaikan maka disebut dengan inflasi. Oleh sebab itu untuk mencegah makin meningkatnya inflasi maka jumlah mata uang yang beredar harus sesuai


(23)

dengan kebutuhan, sehingga kestabilan nilai tukar bisa dijaga (permintaan agregat).

Menurut Setyorini dan Supriyadi dalam Thobarry (2009) perkembangan IHSG sebagaimana lazimnya lebih ditentukan oleh perkembangan tingkat bunga. Tetapi sejak ditetapkannya sistem kurs devisa bebas mengambang, pergerakan IHSG seakan mengikuti pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar atau sebaliknya pergerakan rupiah seakan mengikuti pergerakan IHSG. Hal ini memunculkan dugaan bahwa di antara keduanya terdapat hubungan yang sistematis.

Hasil penelitian Pratikno (2009) selama periode bulan Januari 2004 sampai dengan bulan Februari 2009 menunjukkan bahwa secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori yang digunakan sangat signifikan pada α = 5% terhadap IHSG. Dari koefisien masing-masing variabel, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel kurs, SBI dan inflasi sangat signifikan mempengaruhi IHSG.

Selanjutnya penelitian Witjaksono (2010) menggunakan data bulanan dari tahun 2000-2009 untuk tiap variabel penelitian menunjukkan bahwa variabel Tingkat Suku Bunga SBI, dan Kurs Rupiah berpengaruh negatif terhadap IHSG. Sementara variable Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Indeks Nikkei 225 dan Indeks Dow Jones berpengaruh positif terhadap IHSG.

Penelitian yang dilakukan oleh Hardiningsih et al dalam Thobarry (2009) menunjukkan hasil bahwa nilai tukar rupiah terhadap US Dollar berpengaruh negatif terhadap saham. Hasil penelitian Nurdin dalam Thobarry (2009), mengemukakan hasil penelitian bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika


(24)

Serikat tidak berpengaruh terhadap resiko investasi saham. Disisi lain, Utami dan Rahayu dalam Thobarry (2009) serta Suciwati dan Machfoedz dalam Thobarry (2009) hasilnya menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap UD dollar berpengaruh positif terhadap saham.

Sementara itu, penelitian yang mengkaji hubungan antara suku bunga

(interest rate) dengan harga saham terdapat perbedaan hasil penelitian. Granger dalam Thobarry (2009) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif suku bunga terhadap harga saham, tetapi Mok dalam Thobarry (2009) dengan menggunakan model analisis Arima tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kedua variabel ini. Pengaruh signifikan dari suku bunga terhadap harga saham sebagaimana yang ditemukan Granger dalam Thobarry (2009) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara suku bunga terhadap harga saham. Suku bunga yang rendah akan menyebabkan biaya peminjaman yang lebih rendah karena suku bunga yang rendah akan merangsang investasi dan aktivitas ekonomi yang akan menyebabkan harga saham meningkat.

Selanjutnya, penelitian tentang hubungan antara inflasi dengan harga saham seperti yang dilakukan oleh Widjojo dalam Thobarry (2003) menyatakan bahwa makin tinggi inflasi akan semakin menurunkan tingkat profitabilitas perusahaan. Turunnya profit perusahaan adalah informasi yang buruk bagi para trader di bursa saham dan dapat mengakibatkan turunnya harga saham perusahaan tersebut.

Hasil penelitian untuk variabel emas dunia juga memberikan kesimpulan yang berlawanan. Penelitian yang dilakukan oleh Twite dalam Witjaksono (2010) menemukan hasil bahwa emas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi


(25)

secara positif pergerakan indeks saham di Australia, sementara Smith dalam Witjaksono (2010) menunjukkan bahwa harga emas dunia mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pergerakan indeks harga saham di Amerika Serikat.

Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian tentang pengaruh tingkat suku bunga, harga minyak dunia, harga emas dunia, kurs rupiah, serta indeks cenderung tidak konsisten atau berbeda antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Dengan adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian ini, serta pengaruh ekonomi dunia yang memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia, maka penelitian ini mengambil judul “Analisis Faktor Eksternal Emiten dan Pengaruhnya terhadap IHSG di BEI”

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Apakah Faktor Eksternal berupa inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara parsial dan simultan?”.

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal berupa inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).


(26)

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi yang berarti bagi daerah yang menjadi lokasi penelitian :

1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam menganalisis pasar modal.

2. Bagi Investor, sebagai bahan pertimbangan untuk memprediksi pasar modal dalam menetapkan investasi yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko atas investasi yang dilakukan.

3. Bagi akademisi diharapkan dapat memberikan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama pada bidang penelitian yang sejenis.

1.5.Originalitas Penelitian

Penelitian ini berbentuk replikasi. Replikasi penelitian ini juga dilatarbelakangi belum ditemukannya keseragaman kesimpulan tentang Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga Bank dan Harga Emas Rupiah terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Replikasi penelitian ini dilakukan terhadap referensi hasil jurnal dan tesis terdahulu, seperti hasil jurnal penelitian Raharjo (2010) dalam studi mengenai Pengaruh Inflasi, Nilai Kurs Rupiah dan Tingkat Suku Bunga terhadap Harga Saham di Bursa Efek Indonesia, Tesis penelitian Witjaksono (2010) dalam studi mengenai Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG (studi kasus pada IHSG di BEI selama periode 2000-2009) dan Tesis penelitian Pratikno (2009) dalam studi mengenai Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, SBI dan Indeks Dow


(27)

Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Perbedaan penelitian di atas dengan replikasi penelitian ini : 1) Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengmbil tahun yang berbeda yaitu bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Maret 2012 sedangkan penelitian referensi terdahulu antara tahun 2000 sampai dengan 2009.

2) Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas rupiah sebagai variabel bebas dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai variabel terikat. Sedangkan referensi penelitian terdahulu menggunakan variabel bebas yang beragam dan tidak menggunakan variabel harga emas dunia.

BAB II


(28)

2.1 Landasan Teoritis

Untuk mendukung studi ini digunakan beberapa teori yang relevan serta berkaitan dengan pokok bahasan dalam studi sebagai berikut :

2.1.1. Capital Asset Pricing Model (CAPM)

Financial Accounting Standar Board (FASB) mendefinisikan nilai tukar sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. Gain atau loss transaksi mata uang asing akan dimasukkan dalam laba bersih pada periode terjadinya transaksi nilai tukar. Dalam usaha untuk menentukan apakah kerugian dari nilai tukar berpengaruh terhadap reaksi pasar modal maka digunakan harga saham sebagai proxy.

Tujuan utama investor untuk melakukan investasi adalah untuk memperoleh return (tingkat pengembalian). Semua investor ingin agar investasinya mendapatkan return yang setinggi-tingginya. Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa return dari investasi adalah tidak pasti. Ketidakpastian dari investasi inilah yang dinamakan dengan risiko, yang diukur dengan varian dari return.

Bodie et al. (2005) menjelaskan bahwa Capital Asset Pricing Model (CAPM) merupakan hasil utama dari ekonomi keuangan modern. Capital Asset Pricing Model (CAPM) memberikan prediksi yang tepat antara hubungan risiko sebuah aset dan tingkat harapan pengembalian (expected return). Walaupun

Capital Asset Pricing Model belum dapat dibuktikan secara empiris, Capital Asset Pricing Model sudah luas digunakan karena Capital Asset Pricing Model akurasi yang cukup pada aplikasi penting.


(29)

Capital Asset Pricing Model (CAPM) mencoba untuk menjelaskan hubungan antara risk dan return. Dalam penilaian mengenai risiko biasanya saham biasa digolongkan sebagai investasi yang berisiko. Risiko sendiri berarti kemungkinan penyimpangan perolehan aktual dari perolehan yang diharapkan (possibility), sedangkan derajat risiko (degree of risk) adalah jumlah dari kemungkinan fluktuasi (amount of potential fluctuation).

Risiko ada dua macam, yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Risiko sistematis adalah risiko yang dialami oleh semua investasi tanpa terkecuali. Oleh karena itu risiko ini dinamakan juga risiko pasar (market risk). Namun demikian besar kecilnya risiko sistematis tiap investasi, termasuk juga saham, sangat berbeda. Sedang risiko tidak sistematis adalah risiko yang hanya dialami oleh investasi tersebut, yang bisa disebabkan oleh faktor manajemen, ciri khusus jenis industri, jenis persaingan usaha dan sebagainya (Francis, 1988).

Untuk mengatasi risiko ini maka biasanya investor mengkombinasikan investasinya dalam berbagai macam asset, yang dinamakan portofolio. Markowitz (1952) mengembangkan suatu bentuk diversifikasi yang efisien, yang bisa menurunkan risiko tanpa menurunkan return portofolio. Markowitz menyarankan agar portofolio seharusnya adalah pengkombinasian asset-asset yang berkorelasi kurang dari positip sempurna agar dapat mengurangi risiko.

Sharpe (1965) menyempurnakan model portofolio Markowitz diambah dengan asumsi: (1) adanya tingkat bebas risiko; (3) investasi bisa dipecah-pecah dalam bentuk yang sekecil mungkin; (3) adanya kebebasan short sales (4) semua aktiva bisa diperjual belikan. Dengan demikian maka portofolio yang efisien suatu


(30)

garis pasar modal (capital market line) yang intersepnya adalah tingkat bebas risiko (rf). Untuk mengambarkan trade-off antara risiko dan return untuk seluruh surat berharga, baik yang efisien maupun yang tidak, maka ukuran yang dipakai

bukanlah varian, tetapi adalah risiko sistematisnya (β). Hubungan antara risiko sistematis dengan return tersebut apabila digambarkan dalam suatu model akan membentuk Capital Asset Pricing Model (CAPM). Model tersebut bisa dituliskan:

E(Ri) = Rf + [E(Rm)-Rf]βi

Dimana E(Ri) adalah return yang diharapkan dari surat berharga i adalah fungsi dari risiko sistematisnya (β). Sedangkan slope/kemiringannya [E(Rm)-Rf] dinamakan dengan harga risiko atau premi risiko, yaitu selisih antara return pasar yang diharapkan (E(Rm)) dengan tingkat bebas risiko (Rf).

Namun demikian dalam kenyataannya akan senantiasa terdapat surat-surat berharga yang returnnya di luar yang diharapkan CAPM. Penyebabnya antara lain: (1) adanya biaya transaksi; (2) adanya pajak capital gain yang membuat para investor enggan menjual surat-surat berharga yang ternilai rendah oleh CAPM (undervalued); (3) adanya ketidaksempurnaan informasi pasar. Oleh karena itulah dalam kenyataannya CAPM lebih merupakan sebuah band daripada sebuah garis (Fuller & FarrellJr., 1987). Demikian pula apabila unsur tingkat bebas risiko (Rf) dihilangkan dari model, karena dalam kenyataan tidak mungkin investor bisa meminjam dan meminjamkan pada tingkat yang sama, maka akan membentuk Zero Beta CAPM (Elton & Gruber, 1991), dengan model sebagai berikut:


(31)

Dimana Rz adalah asset yang tidak berkorelasi dengan portofolio pasar, atau mempunyai β =0. Rz ini misalnya adalah obligasi pemerintah yang berjangka panjang, yang mempunyai return riil yang tetap, mudah diperjual-belikan, dan bisa dipecah-pecah dalam satuan yang kecil-kecil.

Berbagai pengujian CAPM dengan data empiris telah banyak dilakukan. Pengujian oleh Black, Jansen dan Scholes, juga oleh Fama dan MacBeth menggabungkan saham-saham menjadi portofolio untuk menaksir β tiap-tiap portofolio, kemudian melakukan regresi cross sectional antara rata-rata return dengan β tiap-tiap portofolio. Ada juga pengujian yang menggunakan surat-surat berharga individual, misalnya oleh Linzerberger, Ramaswamy dan Gibbons.

Hasil pengujian tersebut rata-rata membuktikan bahwa: (1) intersep CAPM secara signifikan tidak sama dengan tingkat bebas risiko, hal ini membuktikan bahwa Zero Beta CAPM lebih berlaku di dunia nyata; (2) kemiringan/slope dari persamaan CAPM (a1) ternyata lebih rendah daripada yang diramalkan (Rm-Rf); (3) tidak ada bukti bahwa hubungan antara risiko sistematis dan return tidak linear, hal ini masih sesuai dengan spesifikasi CAPM; (4) Faktor-faktor selain β ternyata berperan di dalam menerangkan return surat berharga, misalnya P/E rasio, besar kecilnya perusahaan, jenis perusahaan, musiman dan sebagainya (Weston & Copeland, 1992).

Pengujian CAPM di BEJ antara lain oleh Suad Husnan pada tahun 1990 (Husnan, 1993), menggunakan metode yang sama dengan Black, Jensen, Scholes pada tahun 1972, hasilnya adalah banyak β yang signifikan secara statistik dan standar CAPM tidak berlaku di BEJ, tetapi yang belaku adalah Zero Beta CAPM.


(32)

Uji lainnyadi BEJ dilakukan oleh Henny (Husnan, 2001) menggunakan metode yang sama denga Lintner. Regresi tahap pertama menggunakan model pasar untuk menaksir β, sedangkan regresi yang kedua menggunakan cross sectional, hasilnya menunjukkan bahwa Zero Beta CAPM lebih berlaku di BEJ daripada standar CAPM.

Untuk kasus di Bursa Efek Surabaya (BES), pengujian CAPM empiris dilakukan oleh Sumanto tahun 1993 menggunakan metode yang sama dengan metode Lintner, dengan menggunakan data return bulanan saham individual dari tahun 1991 sampai dengan 1993 sebanyak 120 sampel saham. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir semua β adalah signifikan. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang tidak linear antara return dengan β. Intersep persaman empiris secara secara signifikan tidak sama dengan persamaan teoritis, yaitu secara signifikan lebih rendah dari 0 (Sumanto, 2003).

Saham berisiko dapat dikombinasi dalam sebuah portfolio menjadi investasi yang lebih rendah risiko daripada saham biasa tunggal. Diversifikasi akan mengurangi risiko sistematis (systematic risk), tetapi tidak dapat mengurangi risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk). Unsystematic risk adalah bagian dari risiko yang tidak umum dalam sebuah perusahaan yang dapat dipisahkan. Systematic risksystematic risk. adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan yang berhubungan dengan seluruh pergerakan pasar saham dan tidak dapat dihindari. Informasi keuangan mengenai sebuah perusahaan dapat membantu dalam menentukan jumlah.


(33)

Investor biasanya menghindari risiko, investor menginginkan perolehan tambahan (additional returns) untuk menanggung risiko tambahan (additional risks). Oleh karena itu saham berisiko tinggi (High-risk securities) harus mempunyai harga yang menghasilkan perolehan lebih tinggi daripada perolehan yang diharapkan dari saham berisiko lebih rendah. Persamaan risiko dan perolehan (Equation Risk and Return) adalah :

Rs = Rf + Rp

Rs = Expected Return on a given risky security

Rf = Risk-free rate

Rp = Risk premium

Bila nilai β = 1 artinya adanya hubungan yang sempurna dengan kinerja

seluruh pasar seperti yang diukur indek pasar (market index), contohnya nilai yang diukur oleh Dow-Jones Industrials dan Standard and Poor’s 500-stock-index.

Hubungan ini dapat digambarkan dalam contoh pada gambar. β adalah ukuran

dari hubungan paralel dari sebuah saham biasa dengan seluruh tren dalam pasar

saham. Bila β > 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih tinggi

daripada pasar. β < 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih rendah

daripada indek pasar secara umum (general market index). Perubahan persamaan risiko dan perolehan (Equation Risk and Return) dengan memasukan faktor β dinyatakan sebagai :

Rs = Rf + βs (Rm – Rf) Rs = Expected Return on a given risky security


(34)

Rf = Risk-free rate

Rm = Expected return on the stock market as a whole

βs = Stock’s beta, yang dihitung berdasarkan waktu tertentu

CAPM bertahan bahwa harga saham tidak akan dipengaruhi oleh

unsystematic risk, dan saham yang menawarkan risiko yang relatif lebih tinggi (higher βs) akan dihargai relatif lebih daripada saham yang menawarkan risiko lebih rendah (lower βs). Riset empiris mendukung argumen mengenai βs sebagai prediktor yang baik untuk memprediksi nilai saham di masa yang akan datang (future stock prices).

CAPM dikritik sebagai penyebab masalah kompetisi di Amerika Serikat. Manajer di sebuah perusahaan di Amerika Serikat yang menggunakan CAPM terpaksa membuat investasi yang aman dalam jangka pendek dan perolehannya dapat diprediksi dalam jangka pendek daripada investasi yang aman dan perolehan dalam jangka panjang. Para peneliti telah menggunakan CAPM untuk menguji hipotesa yang berhubungan dengan hipotesa pasar efisien.

Market Model

Markowitz mengusulkan sebuah model untuk menjelaskan korelasi diantara return sekuritas. Model ini mengasumsikan bahawa return dari sekuritas ke-i tergantung pada sebuah faktor yang mendasari, nilai yang diwakili oleh indeks, dalam notasi matematika dinyatakan sebagai:


(35)

ri = return sekuritas i Bi = Beta dari sekuritas i

F = indeks (belum tentu indeks pasar) ui = error term

(walaupun selanjutnya Markowitz mengusulkan bahwa persamaan itu seharusnya tidak linier, karena ada faktor lain yang mendasarinya) lalu pada tahun 1963, William Sharpe menguji persamaan tersebut sebagai penjelasan bagaimana return sekuritas cenderung naik dan turun seiring dengan naik turunnya indeks umum pasar, secara spesifik Sharpe menggunakan persamaan sebagai berikut :

rit = ai + Bi.rmt + uit

rit = return dari aset i pada periode t

rmt = return dari indeks pasar pada periode t

ai = komponen non-pasar dari return aset i

Bi = rasio kovarian dari return aset i dan return indeks pasar terhadap varians return indeks pasar

uit = zero mean random error term

Model ini disebut model pasar indeks tunggal (single index market model) atau sering disebut market model. Dilihat disini pada model markowitz, indeks-nya belum tentu indeks pasar, tetapi pada market model digunakan indeks pasar.


(36)

Ross (1976) merumuskan model keseimbangan yang disebut Arbitrage Pricing Theory (APT), yang menyatakan bahwa dua kesempatan investasi yang mempunyai sifat yang identik sama tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Dalam hal ini hukum yang dianut oleh APT adalah hukum satu harga (the law of one price). Suatu aktiva yang memiliki karakteristik sama (identik sama) jika dijual dengan harga yang berbeda, maka akan terdapat kesempatan untuk melakukan arbitrage dengan membeli aktiva yang berharga murah dan pada saat yang sama menjualnya dengan harga yang lebih tinggi sehingga memperoleh laba tanpa risiko (Husnan, 2000).

Dalam perekonomian suatu negara terdapat empat pasar yang telah dikenal yaitu: pasar modal, pasar uang, pasar valuta asing maupun pasar barang. Dari keempat pasar tersebut yang saling terkait erat serta yang mencerminkan hukum satu harga (the law of one price) umumnya tiga pasar yaitu : pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing. Ketiga pasar mempunyai keseimbangan dan identik sama sehingga tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Jika tidak terjadi keseimbangan dari pasar-pasar tersebut, maka akan terjadi proses arbitrage dari pasar yang satu ke pasar yang lain sebagaimana diuraikan di atas.

Terkait dengan pasar modal, model APT dinyatakan bahwa tingkat keuntungan dari saham yang diperdagangkan di pasar modal terdiri dari dua komponen, yaitu: tingkat keuntungan normal atau tingkat keuntungan yang diharapkan dan tingkat keuntungan yang tidak pasti atau berisiko (Husnan, 2000). Tingkat keuntungan yang diharapkan merupakan bagian dari tingkat keuntungan sesungguhnya yang diharapkan oleh investor. Tingkat keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki oleh investor. Sedangkan tingkat


(37)

keuntungan yang tidak pasti atau be bagian tingkat keuntungan yang bersumber dari informasi yang bersifat tidak diharapkan. Investor dalam menjalankan aktivitasnya menghadapi dua macam risiko, yaitu: risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Kedua risiko tersebut mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan investor. Risiko tidak sistematis dari satu perusahaan tidak berkorelasi dengan perusahaan lainnya. Sebaliknya, risiko sistematis akan berkorelasi terhadap setiap perusahaan (saham). Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi risiko sistematis adalah sama, misalnya: tingkat inflasi, tingkat bunga dan variabel-variabel lainnya atau sering disebut dengan variabel makroekonomi. Oleh karena itu perubahan variabel makroekonomi akan berdampak pada seluruh perusahaan (saham). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa kemungkinan terdapat perbedaan besar kecilnya perubahan variabel makroekonomi terhadap harga saham.

Model faktor mendasarkan diri pada anggapan bahwa adanya hubungan linear antara harga suatu saham dengan harga seluruh saham yang ada di bursa yang diwakili oleh indeks pasar. Atas dasar anggapan itu, maka tingkat keuntungan suatu saham akan berkorelasi dengan perubahan harga pasar (Sharpe, Alexander, Bailey (1999). Sebagai proses penghasil imbalan, model faktor berusaha untuk mencakup kekuatan-kekuatan perekonomian utama yang secara sistematis menggerakkan atau mempengaruhi harga semua saham. Secara implisit, dalam susunan model faktor terdapat asumsi bahwa imbalan antara dua saham akan berkorelasi, yaitu bergerak bersama-hanya melalui reaksi yang sama terhadap satu atau lebih faktor yang ditentukan oleh model. Model faktor dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung untuk menghitung


(38)

imbalan harapan, varian, maupun kovarian dari setiap saham. Hasilnya, model faktor adalah alat yang bermanfaat untuk manajemen portfolio (Sharpe, Alexander, Bailey, 1999).

Model multi faktor mengasumsikan bahwa proses penentuan harga saham melibatkan beberapa faktor. Artinya terdapat beberapa kemungkinan bahwa lebih dari satu faktor penyebab (pervasive factor) dalam perekonomian yang mempengaruhi harga saham. Situasi ekonomi mempengaruhi hampir semua perusahaan. Jadi perubahan dari perekonomian yang diramalkan memiliki dampak yang besar terhadap harga sebagian besar saham.

Sebagai contoh ada dua sumber resiko ekonomi makro yaitu GDP dan tingkat bunga yang tidak dapat dipastikan kondisinya terhadap harga saham. Menurut Bodie, Kane dan Marcus (2006), secara sederhana model multi faktor persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:

Ri = E(ri ) + βiGDPGDP + βiIRIR + ei

Dua faktor pada sisi kanan persamaan atas faktor sistematis di dalam perekonomian. Sebagaimana model faktor tunggal, kedua faktor makro ini mempunyai nilai ekspektasi nol : menunjukkan perubahan pada variabel ini yang sebelumnya tidak diantisipasi. Koefisien pada setiap faktor pada persamaan di atas mengukur sensitivitas imbal hasil saham atas faktor tersebut. Untuk alasan ini, koefisien sering kali disebut sebagai sensitivitas faktor (factor sensitivity), pembebanan faktor (factor loading), atau beta faktor (factor beta) dan e

(2.5)

i

2.1.3 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)


(39)

Pasar modal merupakan alternatif penghimpunan dana selain sistem perbankan. Menurut Husnan (1998), pasar modal adalah pasar dari berbagai instrument keuangan (sekuritas) jangka panjang yang dapat diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang (obligasi) maupun modal sendiri (saham) yang diterbitkan pemerintah dan perusahaan swasta. Sedangkan undang‐undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal memberikan pengertian pasar modal sebagai suatu kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek (Bapepam, 2006). Pengertian lainnya, pasar modal adalah salah satu sumber pembiayaan eksternal jangka panjang bagi dunia usaha khususnya perusahaan yang go public

dan sebagai wahana investasi bagi masyarakat (Harianto dan Sudomo, 1998). Kepemilikan saham oleh masyarakat melalui pasar modal, dapat menjadikan masyarakat bisa menikmati keberhasilan perusahaan melalui pembagian dividen dan peningkatan harga saham yang diharapkan. Kepemilikan saham oleh masyarakat juga dapat memberikan pengaruh positif terhadap pengelolaan perusahaan melalui pengawasan langsung oleh masyarakat.

Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan, kebutuhan untuk memberikan informasi yang lebih lengkap kepada masyarakat mengenai perkembangan bursa juga semakin meningkat. Salah satu informasi yang diperlukan tersebut adalah harga saham sebagai cerminan dari pergerakan harga saham.


(40)

Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam Thobarry (2009) Indeks harga saham merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga saham. Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima fungsi yaitu: 1. Sebagai indikator tren pasar,

2. Sebagai indikator tingkat keuntungan,

3. Sebagai tolok ukur (benchmark) kinerja suatu portofolio, 4. Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif, 5. Memfasilitasi berkembangnya produk derivatif.

Ada beberapa macam pendekatan atau metode perhitungan yang digunakan untuk menghitung indeks, yaitu: (1) menghitung rata‐rata (arithmetic mean) harga saham yang masuk dalam anggota indeks, (2) menghitung (geometric mean) dari indeks individual saham yang masuk anggota indeks, (3) menghitung rata‐rata tertimbang nilai pasar. Umumnya semua indeks harga saham gabungan

(composite) menggunakan metode rata‐rata tertimbang termasuk di Bursa Efek Indonesia.

Menurut BEI dalam Thobarry (2009) sekarang ini PT. Bursa Efek Indonesia memiliki 8 macam harga saham yang secara terus menerus disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik, sebagai salah satu pedoman bagi investor untuk berinvestasi di pasar modal.

Ke delapan macam indeks tersebut adalah:

a. Harga Saham Gabungan (IHSG), menggunakan semua emiten yang tercatat sebagai komponen perhitungan indeks

b. Indeks Sektoral, menggunakan semua emiten yang termasuk dalam masing-masing sektor.


(41)

c. Indeks LQ45, menggunakan 45 emiten yang dipilih berdasarkan criteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. d. Jakarta Islamic Index (JII), menggunakan 30 emiten yang masuk dalam

kriteria syariah dan termasuk saham yang memiliki kapitalisasi besar dan likuiditas tinggi.

e. Indeks Kompas100, menggunakan 100 saham yang dipilih berdasarkan kriteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan.

f. Indeks Papan Utama, menggunakan emiten yang masuk dalam criteria papan utama.

g. Indeks Papan Pengembangan, menggunakan emiten yang masuk dalam kriteria papan pengembangan.

h. Indeks Individual, yaitu harga saham masing-masing emiten.

Seluruh indeks yang ada di BEI menggunakan metode perhitungan yang sama, yaitu metode rata‐rata tertimbang berdasarkan jumlah saham tercatat. Perbedaan utama yang terdapat pada masing‐masing indeks adalah jumlah emiten dan nilai dasar yang digunakan untuk penghitungan indeks. Misalnya untuk Indeks LQ45 menggunakan 45 saham untuk perhitungan indeks sedangkan Jakarta Islamic Index (JII) menggunakan 30 saham untuk perhitungan indeks. Indeks‐indeks tersebut ditampilkan terus menerus melalui display wall di lantai bursa dan disebarkan ke masyarakat luas oleh data vendor melalui data feed.

Dewasa ini Indeks Harga Saham dijadikan barometer kesehatan ekonomi di suatu negara dan juga sebagai landasan analisis statistik atas pasar terakhir. Fenomena ekonomi tersebut meliputi mikro dan makro ekonomi. Fenomena


(42)

makro diantaranya perubahan nilai tukar, suku bunga, tingkat inflasi. Perubahan harga saham setiap hari perdagangan akan membentuk IHS. Angka indeks dibuat sedemikian rupa hingga dapat digunakan untuk mengukur kinerja saham yang dicatat di bursa efek, dimana return dan risiko pasar tersebut dihitung. Return

portofolio diharapkan meningkat jika HIS cenderung meningkat, demikian sebaliknya return tersebut menurun jika IHS cenderung menurun. Bahkan saat ini IHS dapat dijadikan barometer yang menunjukkan kesehatan ekonomi suatu negara dan dapat sebagai dasar dalam menganalisis kondisi pasar (BEI dalam Thobarry, 2009). Apabila terjadi peningkatan IHS maka kondisi pasar bagus. IHS digunakan oleh investor dalam melihat kondisi bursa yang akan digunakan untuk mengambil suatu keputusan saat melakukan transaksi saham. IHS berlaku untuk saham individu/kelompok sedangkan harga saham gabungan (IHSG) menggunakan data semua saham yang tercatat di suatu bursa efek.

2.1.4. Inflasi

Inflasi adalah proses kenaikan harga- harga umum barang-barang secara terus menerus. Tapi kenaikan harga tersebut tidak selalu dalam prosentase yang sama (Nopirin, 2000). Kenaikan harga tersebut diukur dengan beberapa cara antara lain dengan,: a. Indeks biaya hidup (consumer price index), b. Indeks harga perdagangan besar (whole sale price index).dan c. GNP Deflator.

Inflasi mempengaruhi perekonomian melalui pendapatan dan kekayaan, dan melalui perubahan tingkat dan efisiensi produksi. Inflasi yang tidak bisa diramalkan biasanya menguntungkan para debitur, pencari dana, dan spekulator pengambil risiko. Inflasi akan merugikan para kreditur, kelompok berpendapatan tetap, dan investor yang tidak berani berisiko (Samuelson, 1994).


(43)

Inflasi adalah ukuran ekonomi yang memberikan gambaran tentang meningkatnya harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi pada suatu sistem perekonomian (Suseno dalam Prihantini, 2009). Menurut Herman (2003), inflasi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan harga-harga pada umumnya atau turunnya nilai mata uang yang beredar. Indikator inflasi adalah sebagai berikut (www.bi.go.id):

a. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang di konsumsi oleh masyarakat. Tingkat inflasi di Indonesia biasanya diukur dengan IHK. b. Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan

pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.

Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money). Di samping itu, inflasi yang tinggi juga bisa mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya. Sebaliknya jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan, maka hal ini akan merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya risiko daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil (Tandelilin, 2001). Jadi inflasi yang tinggi menyebabkan


(44)

menurunnya keuntungan suatu perusahan, sehingga menyebabkan efek ekuitas menjadi kurang kompetitif (Ang, 1997).

Kenaikan tingkat inflasi yang mendadak dan besar di suatu Negara akan menyebabkan meningkatnya impor oleh negara tersebut terhadap pelbagai barang dan jasa dari luar negeri, sehingga semakin diperlukan banyak valuta asing untuk membayar transaksi impor tersebut. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap valuta asing di pasar valuta asing. Inflasi yang meningkat secara mendadak tersebut, juga memungkinkan tereduksinya kemampuan ekspor nasional negara yang bersangkutan, sehingga akan mengurangi supply terhadap valuta asing di dalam negerinya (Atmadja, 2002).

2.1.5. Nilai Tukar Rupiah

Dalam kehidupan perekonomian global dewasa ini hampir tak ada satupun negara di dunia yang bisa menghindari perekonomiannya dari pengaruh valuta asing, khususnya terhadap pengaruh US Dollar. Ketika suku bunga dollar naik, para investor asing menjual sahamnya untuk ditempatkan di bank dalam bentuk dollar. Otomatis harga saham menjadi turun. Selain itu, karena bunga mata uang dollar mengalami kenaikan maka otomatis Bank Indonesia akan segera menaikan tingkat suku bunganya. Tujuannya agar jangan sampai investor lebih suka memegang dollar daripada rupiah. Jika investor memburu dollar otomatis mereka akan menjual rupiah dan nilai rupiahnya bisa anjlok sehingga perekonomian terancam stagnasi bahkan depresi. Kenaikan suku bunga Bank Indonesia ini akan membuat banyak investor menjual sahamnya guna ditempatkan di bank. Bukan


(45)

hanya karena rate of return investasi di bank lebih tinggi tetapi juga bisa karena ancaman hutang dollar sebagian perusahaan.

Nilai tukar merupakan perbandingan nilai atau harga dua mata uang. Pengertian nilai tukar mata uang menurut FASB adalah rasio antara suatu unit mata uang dengan sejumlah mata uang lain yang bisa ditukar pada waktu tertentu. Perbedaan nilai tukar riil dengan nilai tukar nominal penting untuk dipahami karena keduanya mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap risiko nilai tukar (Sartono, 2001). Perubahan nilai tukar nominal akan diikuti oleh perubahan harga yang sama yang menjadikan perubahan tersebut tidak berpengaruh terhadap posisi persaingan relatif antara perusahaan domestik dengan pesaing luar negerinya dan tidak ada pengaruh terhadap aliran kas.

Menurut Nopirin (2000) menjelaskan bahwa nilai tukar merupakan semacam harga didalam pertukaran tersebut. Demikian pula pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, maka akan terjadi perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut. Perbandingan inilah yang seringkali disebut nilai tukar atau kurs (exchange rate). Sejalan dengan hal tersebut, Harianto dan Sudomo (1998) mendefinisikan bahwa nilai tukar rupiah adalah harga rupiah mata uang negara lain. Kebijakan nilai tukar dilakukan untuk mengendalikan transaksi neraca pembayaran. Nilai tukar yang rendah relative terhadap mata uang negara lain akan mendorong peningkatan ekspor dan dapat mengurangi laju pertumbuhan impor.

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai tukar (exchange rate) yaitu pendekatan moneter (monetary approach) dan pendekatan pasar asset (asset market approach). Pada pendekatan moneter, nilai tukar


(46)

didefinisikan sebagai harga dimana mata uang asing (foreign currency/foreign money) dijual belikan terhadap mata uang domestik (domestic currency/domestic money) dan harga tersebut berhubungan dengan penawaran dan permintaan uang. Kontribusi perubahan nilai tukar terhadap keseimbangan penawaran dan permintaan uang digunakan hubungan absolute purchasing power parity (PPP) yang merupakan keseimbangan antara harga domestik P dan konversi kurs valuta asing ke dalam mata uang domestik eP* dengan rumus P = eP* atau e = P/P* (Batiz and Batiz dalam Hardiningsih, et. al., 2002).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar yaitu faktor fundamental, faktor teknis dan sentimen pasar (Madura dalam Maski dan Widyastuti, 2003). Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relative pendapatan antar negara, ekspektasi pasar dan interfensi bank sentral. Faktor teknis berkaitan dengan kondisi permintaan dan penawaran devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka harga valas akan naik dan begitu pula sebaliknya. Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal (Arifin dalam

Maski dan Widyastuti, 2003).

Berdasarkan perkembangan system moneter internasional pada umumnya dikenal beberapa macam system penetapan nilai tukar sebagai berikut (Puspita, 2005):


(47)

2. Floating exchange rate system atau sistem nilai tukar mengambang, dimana nilai tukar suatu mata uang valuta asing ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran pada bursa valuta asing, terdiri dari freely floating rate atau

clean float dan managed float atau dirty float.

3. Pegged exchange rate system atau sistem nilai tukar terkait dilakukan dengan mengaitkan nilai mata uang suatu negara dengan nilai mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu. Di Indonesia berbagai sistem nilai tukar tersebut setelah diterapkan selama beberapa periode sebagai berikut:

a. Fixed exchange rate system (tahun 1964 hingga 15 November 1978)

b. Floating exchange rate system (15 November 1978 hingga 14 Agustus 1997)

c. Floating exchange rate system (14 Agustus 1997 sampai sekarang)

Kondisi sosial, politik, dan keamanan sangat berpengaruh terhadap penguatan nilai tukar. Walaupun tingkat bunga dipertahankan tinggi, tetapi kondisi sosial, politik, dan keamanan belum stabil, maka nilai tukar masih terdepresiasi karena para investor asing tidak berani berinvestasi karena tidak adanya jaminan keamanan. Kestabilan nilai rupiah dapat diukur dari nilai rupiah terhadap barang-barang dalam negeri dan luar negeri. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang-barang dalam negeri tercermin dari tingkat inflasi, sementara kestabilan nilai rupiah luar negeri tercermin dari nilai tukar rupiah (kurs) terhadap uang negara lain (Iljas dalam Tauhid, 2002).


(48)

Pemerintah melalui Bank Indonesia akan menaikan tingkat suku bunga guna mengontrol peredaran uang di masyarakat atau dalam arti luas mengontrol perekonomian nasional. Dengan menaikan bunga SBI berarti bank-bank dan lembaga keuangan lainya akan terdorong untuk membeli SBI. Adanya bunga yang tinggi dalam SBI membuat bank dan lembaga keuangan yang menikmatinya ini otomatis akan memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk produk-produknya. Tujuannya agar mampu menarik sebanyak mungkin dana masyarakat yang akan dipergunakan untuk membeli SBI lagi. Jika ini terjadi berarti tujuan dasar pemerintah telah tercapai. Bunga yang tinggi ini tentunya akan berdampak pada alokasi dana investasi para investor. Investasi pada produk perbankan seperti deposito atau tabungan jelas lebih kecil resikonya dibandingkan invetasi dalam bentuk saham. Karenanya investor akan menjual saham dan dananya kemudian akan ditempatkan di bank. Penjualan saham secara serentak ini akan berdampak pada penurunan harga saham secara signifikan.

Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan system diskonto. SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless), dan seluruh kepemilikan maupun transaksinya dicatat dalam sarana Bank Indonesia BI. Pihak-pihak yang dapat memiliki SBI adalah bank umum dan masyarakat. Bank dapat membeli SBI di pasar perdana sementara masyarakat hanya diperbolehkan membeli di pasar sekunder. (Witjaksono, 2010)

Penerbitan SBI di pasar perdana dilakukan dengan mekanisme lelang pada setiap hari Rabu atau hari kerja berikutnya (dalam hal hari dimaksud adalah hari libur). SBI diterbitkan dengan jangka waktu (tenor) 1 bulan sampai dengan 12


(49)

bulan dengan satuan unit terkecil sebesar Rp1 juta. Saat ini Bank Indonesia menerbitkan SBI dengan tenor 1 bulan dan 3 bulan. Penerbitan SBI tenor 1 bulan dilakukan secara mingguan sedangkan SBI tenor 3 bulan dilakukan secara triwulanan. Peserta lelang SBI terdiri dari bank umum dan pialang pasar uang Rupiah dan Valas (www.bi.go.id).

Metode lelang penerbitan SBI dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) cara yaitu melalui Variable Rate Tender (peserta lelang mengajukan penawaran kuantitas dengan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh Bank Indonesia) dan dengan Fixed Rate Tender (peserta lelang mengajukan penawaran kuantitas dengan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh Bank Indonesia).

Sejak awal Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan mekanisme BI rate (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan oleh Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan. Definisi BI rate sendiri menurut Bank Indonesia adalah suku bunga instrument sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada Rapat Dewan Gubernur triwulanan untuk berlaku selama triwulan berjalan, kecuali ditetapkan berbeda oleh Rapat Dewan Gubernur bulanan dalam triwulan yang sama (www.bi.go.id).

BI rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI 1 bulan hasil lelang operasi pasar terbuka berada di sekitar BI rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga pasar uang antar bank


(50)

dan suku bunga jangka yang lebih panjang. Perubahan BI rate (SBI tenor 1 bulan) ditetapkan secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps).

BI rate ditetapkan oleh dewan gubernur dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

1) Rekomendasi BI rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi

2) Berbagai informasi lainnya seperti indikator makro ekonomi, survey, pendapat ahli, hasil-hasil riset ekonomi, dan lain-lain.

Saat ini Bank Indonesia menggunakan tingkat suku bunga SBI sebagai salah satu instrumen untuk mengedalikan inflasi. Apabila inflasi dirasakan cukup tinggi maka Bank Indonesia akan menaikkan tingkat suku bunga SBI untuk meredam kenaikan inflasi. Perubahan tingkat suku bunga SBI akan memberikan pengaruh bagi pasar modal dan pasar keuangan.

Apabila tingkat suku bunga naik maka secara langsung akan meningkatkan beban bunga. Perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi akan mendapatkan dampak yang sangat berat terhadap kenaikan tingkat bunga. Kenaikan tingkat bunga ini dapat mengurangi profitabilitas perusahaan sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap harga saham perusahaan yang bersangkutan.

Selain kenaikan beban bunga, tingkat suku bunga SBI yang tinggi dapat menyebabkan investor tertarik untuk memindahkan dananya ke deposito. Hal ini terjadi karena kenaikan tingkat suku bunga SBI akan diikuti oleh bank-bank komersial untuk menaikkan tingkat suku bunga simpanan. Apabila tingkat suku bunga deposito lebih tinggi dari tingkat pengembalian yang diharapkan oleh


(51)

investor, tentu investor akan mengalihkan dananya ke deposito. Terlebih lagi investasi di deposito sendiri merupakan salah satu jenis investasi yang bebas resiko. Pengalihan dana oleh investor dari pasar modal ke deposito tentu akan mengakibatkan penjualan saham besar-besaran sehingga akan menyebabkan penurunan indeks harga saham.

Bagi masyarakat sendiri, tingkat suku bunga yang tinggi berarti tingkat inflasi di negara tersebut cukup tinggi. Dengan adanya inflasi yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya tingkat konsumsi riil masyarakat sebab nilai uang yang dipegang masyarakat berkurang. Ini akan menyebabkan konsumsi masyarakat atas barang yang dihasilkan perusahaan akan menurun pula. Hal ini tentu akan mengurangi tingkat pendapatan perusahaan sehingga akan mempengaruhi tingkat keuntungan perusahaan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan tersebut (Sunariyah dalam

Witjaksono, 2010).

2.1.7. Harga Emas

Sejak tahun 1968, harga emas yang dijadikan patokan seluruh dunia adalah harga emas berdasarkan standar pasar emas London (en.wikipedia.org). Sistem ini dinamakan London Gold Fixing. London Gold Fixing adalah prosedur dimana harga emas ditentukan dua kali sehari setiap hari kerja di pasar London oleh lima anggota Pasar London Gold Fixing Ltd (www.goldfixing.com). Kelima anggota tersebut adalah :

1. Bank of Nova Scottia 2. Barclays Capital 3. Deutsche Bank


(52)

4. HSBC

5. Societe Generale

Proses penentuan harga adalah melalui lelang diantara kelima member tersebut. Pada setiap awal tiap periode perdagangan, Presiden London Gold Fixing Ltd akan mengumumkan suatu harga tertentu.Kemudian kelima anggota tersebut akan mengabarkan harga tersebut kepada dealer. Dealer inilah yang berhubungan langsung dengan para pembeli sebenarnya dari emas yang diperdagangkan tersebut. Posisi akhir harga yang ditawarkan oleh setiap dealer kepada anggota Gold London Fixing merupakan posisi bersih dari hasil akumulasi permintaan dan penawaran klien mereka. Dari sinilah harga emas akan terbentuk. Apabila permintaan lebih banyak dari penawaran, secara otomatis harga akan naik, demikian pula sebaliknya. Penentuan harga yang pasti menunggu hingga tercapainya titik keseimbangan. Ketika harga sudah pasti, maka Presiden akan mengakhiri rapat dan mengatakan “There are no flags, and we're fixed”.

Proses penentuan harga emas dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 10.30 (harga emas Gold A.M) dan pukul 15.00 (harga emas Gold P.M). Harga emas ditentukan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, Poundsterling Inggris, dan Euro. Pada umumnya Gold P.M dianggap sebagai harga penutupan pada hari perdagangan dan sering digunakan sebagai patokan nilai kontrak emas di seluruh

dunia

Emas merupakan salah satu bentuk investasi yang cenderung bebas resiko (Sunariyah, 2006). Emas banyak dipilih sebagai salah satu bentuk investasi karena nilainya cenderung stabil dan naik. Sangat jarang sekali harga emas turun. Dan lagi, emas adalah alat yang dapat digunakan untuk menangkal inflasi yang kerap


(53)

terjadi setiap tahunnya. Ketika akan berinvestasi, investor akan memilih investasi yang memiliki tingkat imbal balik tinggi dengan resiko tertentu atau tingkat imbal balik tertentu dengan resiko yang rendah. Investasi di pasar saham tentunya lebih berisiko daripada berinvestasi di emas, karena tingkat pengembaliannya yang secara umum relatif lebih tinggi dari emas (www.investopedia.com).

Kenaikan harga emas akan mendorong investor untuk memilih berinvestasi di emas daripada di pasar modal. Sebab dengan resiko yang relatif lebih rendah, emas dapat memberikan hasil imbal balik yang baik dengan kenaikan harganya (Roberts dalam Witjaksono, 2010). Ketika banyak investor yang mengalihkan portofolionya investasi kedalam bentuk emas batangan, hal ini akan mengakibatkan turunnya indeks harga saham di negara yang bersangkutan karena aksi jual yang dilakukan investor.

2.2.Review Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian telah dilakukan dalam menganalisis pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan suku bunga terhadap pasar modal Indonesia. Beberapa penelitian terdahulu yaitu :

Raharjo (2010) dalam studi mengenai Pengaruh Inflasi, Nilai Kurs Rupiah dan Tingkat Suku Bunga terhadap Harga Saham di Bursa Efek Indonesia. Variabel yang diteliti adalah pengaruh inflasi, nilai kurs rupiah dan tingkat suku bunga terhadap harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian ini


(54)

menggunakan data tahun 2007 sampai dengan tahun 2008. Analisis data dilakukan dengan uji asumsi klasik dan pengujian hipotesis dengan model regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan secara simultan inflasi, nilai kurs rupiah dan tingkat suku bunga selama periode tahun 2007-2009 berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Secara parsial hanya inflasi yang berpengaruh signifikan terhadap harga saham, sedangkan nilai kurs rupiah dan tingkat suku bunga tidak berpengaruh signifikan.

Witjaksono (2010) dalam studi mengenai Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG (studi kasus pada IHSG di BEI selama periode 2000-2009). Variabel yang diteliti adalah pengaruh variabel Tingkat Suku Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi berganda yang dilakukan dengan SPSS 16. Salah satu syarat untuk melakukan uji analisis berganda perlu dilakukan uji asumsi klasik. Hal ini diperlukan agar persamaan regresi yang dihasilkan bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimator). Selain itu untuk menilai goodness of fit suatu model dilakukan uji koefisien determinasi, uji F, dan uji t. Penelitian ini menggunakan data bulanan dari tahun 2000-2009 untuk tiap variabel penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel Tingkat Suku Bunga SBI, dan Kurs Rupiah berpengaruh negatif terhadap IHSG. Sementara variable Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Indeks Nikkei 225 dan Indeks Dow Jones berpengaruh positif terhadap IHSG. Selain itu diperoleh bahwa nilai adjusted R square adalah 96.1%. Ini berarti 96.1%


(55)

pergerakan IHSG dapat diprediksi dari pergerakan ketujuh variabel independen tersebut.

Pratikno (2009) dalam studi mengenai Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, SBI dan Indeks Dow Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Variabel yang diteliti adalah pengaruh nilai tukar rupiah, inflasi, SBI, Indeks Dow Jones terehadap Pergerakan IHSG. Data yang dipakai adalah data sekunder yaitu data SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Dow Jones dan IHSG bulan Januari 2004 sampai dengan Februari 2009) (62 observasi). Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori

yang digunakan sangat signifikan pada α = 5% terhadap IHSG. Dari koefisien

masing-masing variabel, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel kurs, SBI dan inflasi sangat signifikan mempengaruhi IHSG.

Thobarry (2009) dalam studi mengenai Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga, Laju Inflasi dan Pertumbuhan GDP Terhadap Indeks Harga Saham Sektor Properti (Kajian Empiris Pada Bursa Efek Indonesia Periode Pengamatan Tahun 2000-2008). Variabel yang diteliti adalah pengaruh indikator ekonomi makro, tingkat inflasi, suku bunga, kurs, dan pertumbuhan terhadap indeks harga saham sektor property selama periode tahun 2000-2008. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan regresi linier berganda. Data diperoleh dari Monthly Statictic, Indonesia Stock Exchange, Indikator ekonomi dari Badan Pusat Statistik, Laporan bulanan Bank Indonesia dan Indonesian Capital Market Directory. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan data


(56)

dikumpulkan dengan teknik mencatat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel nilai tukar memiliki pengaruh positif signifikan dan variabel inflasi berpengaruh negatif signifikan terhadap indeks harga saham sektor properti, sedangkan variabel suku bunga dan pertumbuhan GDP hanya signifikan bila diuji secara bersamaan dan tidak berpengaruh signifikan bila diuji secara parsial.

Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu Nama/Tahun

Peneliti

Judul Penelitian Variabel yang Digunakan

Hasil yang Diperoleh

Raharjo (2010) Pengaruh Inflasi, Nilai Kurs Rupiah dan Tingkat Suku Bunga terhadap Harga Saham di Bursa Efek Indonesia

Inflasi (X1) Nilai Kus Rupiah (X2), Tingkat Suku Bunga (X3) terhadap Harga Saham (Y)

Hasil penelitian menunjukkan secara simultan inflasi, nilai kurs rupiah dan tingkat suku bunga selama periode tahun 2007-2009 berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Secara parsial hanya inflasi yang berpengaruh signifikan terhadap harga saham, sedangkan nilai kurs rupiah dan tingkat suku bunga tidak berpengaruh signifikan.

Witjaksono (2010)

Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG (studi kasus pada IHSG di BEI selama periode 2000-2009)

Tingkat Suku Bunga SBI (X1), Harga Minyak Dunia (X2), Harga Emas Dunia (X3), Kurs Rupiah (X4), Indeks Nikkei 225 (X5), dan Indeks Dow Jones (X6

variabel Tingkat Suku Bunga SBI, dan Kurs Rupiah berpengaruh negatif terhadap IHSG. Sementara variable Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Indeks Nikkei 225 dan Indeks Dow Jones berpengaruh positif terhadap IHSG. Selain itu diperoleh bahwa nilai adjusted R square adalah 96.1%. Ini berarti 96.1%

pergerakan IHSG dapat diprediksi dari pergerakan ketujuh variabel independen tersebut.

) terhadap IHSG (Y)

Pratikno (2009) Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, SBI dan Indeks Dow Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI)

Nilai Tukar Rupiah (X1), Inflasi (X2), SBI (X3), Indeks Dow Jones (X4) dan Pergerakan IHSG (Y)

Secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori yang digunakan sangat signifikan pada α = 5% terhadap IHSG. Dari koefisien masing-masing variabel, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variebl kurs, SBI dan inflasi sangat signifikan mempengaruhi IHSG Thobarry (2009) Analisis Pengaruh

Nilai Tukar, Suku Bunga, Laju Inflasi dan Pertumbuhan GDP Terhadap Indeks Harga Saham Sektor Properti (Kajian Empiris Pada Bursa Efek Indonesia

Nilai Tukar (X1), Suku Bunga (X2), Laju Inflasi (X3) dan

Pertumbuhan GDP

(X4)Terhadap Indeks Harga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel nilai tukar memiliki pengaruh positif signifikan dan variabel inflasi berpengaruh negatif signifikan terhadap indeks harga saham sektor properti, sedangkan variabel suku bunga dan pertumbuhan GDP hanya


(1)

38 Februari 2009 1285.48 8.6 11980 8.74 952.00

39 Januari 2009 1332.67 9.17 11355 9.77 919.50

40 Desem ber 2008 1355.41 11.06 10950 10.83 869.75

41 Novem ber 2008 1241.54 11.68 12151 11.24 814.50

42 Okt ober 2008 1256.7 11.77 10600 10.98 730.75

43 Sept em ber 2008 1832.51 12.14 9378 9.71 884.50

44 Agust us 2008 2165.94 11.85 9153 9.28 832.50

45 Juli 2008 2304.51 11.9 9118 9.23 918.00

46 Juni 2008 2349.1 11.03 9225 8.73 930.25

47 Mei 2008 2444.35 10.38 9318 8.31 885.75

48 April 2008 2304.52 8.96 9234 7.99 871.00

49 Maret 2008 2447.30 8.17 9217 7.96 933.50

50 Februari 2008 2721.94 7.4 9051 7.93 971.50

51 Januari 2008 2627.25 7.36 9291 8.00 923.25

52 Desem ber 2007 2745.83 6.59 9419 8.00 833.75

53 Novem ber 2007 2688.33 6.71 9376 8.25 783.50

54 Okt ober 2007 2643.49 6.88 9103 8.25 789.50

55 Sept em ber 2007 2359.21 6.95 9137 8.25 743.00

56 Agust us 2007 2194.34 6.51 9410 8.25 672.00

57 Juli 2007 2348.67 6.06 9186 8.25 665.50

58 Juni 2007 2139.28 5.77 9054 8.50 650.50

59 Mei 2007 2084.32 6.01 8828 8.75 659.10

60 April 2007 1999.17 6.29 9083 9.00 677.00

61 Maret 2007 1830.92 6.52 9118 9.00 661.75

62 Februari 2007 1740.97 6.3 9160 9.25 664.20

63 Januari 2007 1757.26 6.26 9090 9.50 650.50

64 Desem ber 2006 1805.52 6.6 9020 9.75 635.70

65 Novem ber 2006 1718.96 5.27 9165 10.25 646.70

66 Okt ober 2006 1582.63 6.29 9110 10.75 603.75

67 Sept em ber 2006 1534.61 14.55 9235 11.25 599.25

68 Agust us 2006 1431.26 14.9 9100 11.75 623.50

69 Juli 2006 1351.65 15.15 9070 12.25 632.50

70 Juni 2006 1310.26 15.53 9300 12.50 613.50


(2)

74 Februari 2006 1230.66 17.92 9230 12.74 556.00

75 Januari 2006 1232.32 17.03 9395 12.75 568.75

76 Desem ber 2005 1162.64 17.11 9830 12.75 513.00

77 Novem ber 2005 1096.64 18.38 10035 12.25 495.65

78 Okt ober 2005 1066.22 17.89 10090 11.00 470.75

79 Sept em ber 2005 1079.28 9.06 10310 10.00 473.25

80 Agust us 2005 1050.09 8.33 10240 9.51 433.25

81 Juli 2005 1182.30 7.84 9819 8.49 429.00

82 Juni 2005 1122.38 7.42 9713 8.25 437.10

83 Mei 2005 1088.17 7.4 9495 7.95 414.45

84 April 2005 1029.61 8.12 9570 7.70 435.70

85 Maret 2005 1080.17 8.81 9480 7.44 427.50

86 Februari 2005 1073.83 7.15 9260 7.43 435.45

87 Januari 2005 1045.44 7.32 9165 7.42 422.15

88 Desem ber 2004 1,000.23 6.4 9290 7.43 438.00

89 Novem ber 2004 977.77 6.18 9018 7.41 453.40

90 Okt ober 2004 860.49 6.22 9090 7.41 425.55

91 Sept em ber 2004 820.13 6.27 9170 7.39 415.65

92 Agust us 2004 754.7 6.67 9328 7.37 407.25

93 Juli 2004 756.98 7.2 9168 7.36 391.40

94 Juni 2004 732.4 6.83 9415 7.34 395.80

95 Mei 2004 732.52 6.47 9210 7.32 393.25

96 April 2004 783.41 5.92 8661 7.33 388.50

97 Maret 2004 735.68 5.11 8587 7.42 423.70

98 Februari 2004 761.08 4.6 8447 7.48 395.85

99 Januari 2004 752.93 4.82 8441 7.84 399.75

100 Desem ber 2003 691.9 5.16 8465 8.31 417.25

101 Novem ber 2003 617.08 5.53 8537 8.49 398.35

102 Okt ober 2003 625.55 6.48 8495 8.48 386.25

103 Sept em ber 2003 597.65 6.33 8389 8.66 388.00

104 Agust us 2003 529.67 6.51 8535 8.91 375.60

105 Juli 2003 507.98 6.27 8505 9.10 354.75

106 Juni 2003 505.5 6.98 8285 9.53 346.00

107 Mei 2003 494.78 7.15 8279 10.44 361.40

108 April 2003 450.86 7.62 8675 10.06 336.75

109 Maret 2003 398 7.17 8908 11.40 334.85

110 Februari 2003 399.22 7.6 8905 12.24 347.45


(3)

Lampiran 2 : Hasil Uji Regresi Berganda

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Emas_x4, Dollar_X2, Inflasi_X1, SBI_X3b

. Enter

a. Dependent Variable: IHSG_Y b. All requested variables entered.

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change

F Change df1

1 .958a .917 .914 319.03812 .917 293.805 4

Model Summaryb

Model Change Statistics Durbin-Watson

df2 Sig. F Change

1 106a .000 1.277

a. Predictors: (Constant), Emas_x4, Dollar_X2, Inflasi_X1, SBI_X3 b. Dependent Variable: IHSG_Y

ANOVA Model

a

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 119620163.997 4 29905040.999 293.805 .000b Residual 10789244.051 106 101785.321

Total 130409408.048 110 a. Dependent Variable: IHSG_Y

b. Predictors: (Constant), Emas_x4, Dollar_X2, Inflasi_X1, SBI_X3

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 1826.241 469.588 3.889 .000

Inflasi_X1 20.415 14.940 .069 1.366 .175

Dollar_X2 -.171 .045 -.110 -3.826 .000

SBI_X3 -50.750 30.747 -.096 -1.651 .102


(4)

Coefficientsa

Model 95.0% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance

1

(Constant) 895.238 2757.244

Inflasi_X1 -9.205 50.036 -.364 .132 .038 .303

Dollar_X2 -.260 -.083 -.137 -.348 -.107 .942

SBI_X3 -111.709 10.209 -.602 -.158 -.046 .230

Emas_x4 2.213 2.590 .951 .926 .706 .596

Coefficientsa

Model Collinearity

Statistics VIF

1

(Constant)

Inflasi_X1 3.304

Dollar_X2 1.061

SBI_X3 4.342

Emas_x4 1.678

a. Dependent Variable: IHSG_Y

Collinearity Diagnosticsa

Model Dimension Eigenvalue Condition Index Variance Proportions

(Constant) Inflasi_X1 Dollar_X2 SBI_X3

1

1 4.616 1.000 .00 .00 .00 .00

2 .302 3.911 .00 .06 .00 .00

3 .071 8.082 .01 .35 .01 .01

4 .010 21.820 .02 .45 .13 .84

5 .002 43.572 .97 .14 .86 .14

Collinearity Diagnosticsa

Model Dimension Variance Proportions

Emas_x4

1

1 .00

2 .23

3 .34

4 .35

5 .07


(5)

(6)

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 111

Normal Parametersa,b Mean 0E-7

Std. Deviation 313.18371098 Most Extreme Differences

Absolute .052

Positive .052

Negative -.047

Kolmogorov-Smirnov Z .547

Asymp. Sig. (2-tailed) .925

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

IHSG_Y 111 388.44 4131.00 1947.4117 1088.82509

Inflasi_X1 111 2.41 18.38 7.5271 3.70096

Dollar_X2 111 8279.00 12151.00 9277.3694 699.26572

SBI_X3 111 3.82 12.75 8.3725 2.06141

Emas_x4 111 334.85 1813.50 825.7000 414.70021