2.1.7 Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas
Pada dasarnya berita merupakan laporan dari peristiwa. Peristiwa disini adalah realitas atau fakta yang diliput oleh wartawan dan pada gilirannya
akan dilaporkan secara terbuka melalui media massa Birrowo,2004:168 Peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan berita oleh media massa akan
melalui proses penyeleksian terlebih dahulu, hanya peristiwa yang memenuhi kriteria kelayakan informasi yang akan menjadi berita.
Aspek-aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media.Hal ini merupakan bagian dari intergral
dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas.Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok
yang ada di masyarakat.
2.1.8. Analisis Framing
Gagasan ide mengenai framing, pertama kali dilontarkan Beterson tahun 1955 Sudibyo dalam Sobur,2001:161. Frame pada awalnya dimaknai
sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, dan yang menyediakan kategori-
kategori standart untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman 1974 yang menandai frame sebagai
kepingan-kepingan perilaku strips of behavior yang membimbing individu dalam membaca realitas. Realitas itu sendiri tercipta dalam konsepsi
wartawan.Sehingga berbagai hal yang terjadi seperti factor dan orang, didistribusikan menjadi peristiwa yang kemudian disajikan untuk khalayak.
Sobur,2001:162 G.J Aditjobdro mendefinisikan framing sebagai metode penyajian
realitas dimana kebenaraan tengtang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan istilah yang punya
konotasi tertentu, dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya Sudibyo dalam Sobur, 2001:165.
Pada analisis framing yang kita lihat adalah bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai sebuah kasus atau peristiwa yang ada
dalam berita. Maka jelas adanya framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu analisis untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa, actor,
kelompok, atau apa sajalah dibingkai oleh media dan pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi yang dilakukan oleh media. Eriyanto,
2005:3 Analisis framing dalam ranah studi komunikasi mewakili tradisi yang
mengedepankan pendekatan multidisipliner untuk menganalisa fenomena atau aktivitas komunikasi yang ada.Perspektif komunikasi framing dipakai untuk
membedakan cara-cara atau ideology media saat mengkonstruksi fakta. Karena konsep itu framing selalu berkaitan erat dengan proses seleksi issue dan
bagaimana menonjolkan aspek issue atau realitas tersebut dalam berita. Disini framing dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas
sehingga issue tertentu mendapatkan alokasi yang besar daripada issue-issue yang lain.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih faktarealitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin
melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih included dan apa yang
dibuang excluded. Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan.
Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek
tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan
media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan
aspek atau peristiwa yang lain. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana
fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan
dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih
tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu; penempatan yang mencolok menempatkan di headline depan, atau bagian belakang,
pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orangperistiwa
yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya.
Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih
aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar
dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh
khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol dan mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi
khalayak dalam memahami realitas. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh
dari lapangan psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan
psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam
membentuk skema tentang diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Teori framingmisalnya banyak berhubungan dengan teori mengenai skema atau
kognitif; bagaimana seseorang memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu. Misalnya, teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya
tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi yang dapat
ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab akibat. Atribusi tersebut dipengaruhi baik oleh faktor personal maupun pengaruh
lingkungan eksternal. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada
dasarnya secara aktif mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan
manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai
akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.
Dimensi psikologis. Framing sangat berhubungan dengan dimensi psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan
untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan oleh publik. Upaya membuat pesan dalam hal
ini teks berita lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf paling awal
tidak dapat dilepaskan dari aspek psikologi. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan dunia yang kompleks itu bukan
hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai perspektifdimensi tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini
dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa jadi
digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda juga.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky Eriyanto, 2002:72 membuat serangkaian penelitian lewat studi eksperimental bagaimana pesan
yang dibingkai atau dibungkus secara berbeda akan dimaknai dan dipahami secara berbeda pula oleh khalayak. Pemaknaan dan pemahaman khalayak
tidak tergantung pada realitas atau fakta, tetapi tergantung pada bagaimana realitas itu disajikan; bagaimana pesan dibingkai dengan kemasan tertentu
yang menyebabkan pemahaman tertentu dalam benak khalayak. Penelitian Kahneman dan Tversky tersebut menunjukkan bagaimana pendapat
khalayak bisa dibentuk oleh frame yang dibangun oleh pertanyaan. Realitas yang hendak ditanyakan adalah sama, tetapi pertanyaan yang
diajukan berbeda dengan penonjolan pada bagian tertentu dan penekanan pada bagian yang lain.
Dimensi sosiologis. Selain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama
dapat ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana
organisasi dari ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama. Ini menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks
yang menyertakan di dalamnya praktik profesional. Pendekatan semacam ini untuk membedakan pekerja media sebagai individu sebagaimana dalam
pendekatan sosiologis. Melihat berita dan media seperti ini berarti menempatkan berita sebagai institusi sosial. Berita ditempatkan, dicari, dan
disebarkan lewat praktik profesional dalam organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses institusional. Praktik ini
menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu dilaporkan. Berita adalah produk dari institusi sosial dan melekat dalam hubungannya dengan
institusi lainnya. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi.
Konsep framing mengacu pada perspektif dramaturgi yang dipelopori Erving Goffman. Dramaturgi adalah sebuah kerangka analisis
dari presentasi simbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas seperti layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan
berperan menurut karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana dalam
suatu panggung untuk menciptakan kesan yang meyakinkan kepada khalayak. Dalam perpektif media, seperti dikatakan P.K Manning
Eriyanto, 2002:81 pendekatan dramaturgi tersebut mempunyai dua pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan aktor menampilkan dirinya
dengan simbol, dan penampilan masing-masing. Media karenanya dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya lengkap
dengan simbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor.
Realitas yang terbentuk karenanya dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya.
Dalam pandangan Goffman, ketika seseorang menafsirkan realitas tidak dengan konsepsi hampa. Seseorang selalu mengorganisasi peristiwa
tiap hari. Pengalaman dan realitas yang diorganisasikan tersebut menjadi realitas yang dialami oleh seseorang. Dalam perspektif Goffman, frame
mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman hidup kita supaya kita bisa memahaminya. Menurut Goffman,
sebuah frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut
menjadi punya arti dan makna. Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung tiap hari.
2.1.9. Proses Framing Entman