58
terkenal adalah Mara Silu yang oleh penulis Karo disebut bermarga Ginting Pase dan masyarakat Batak Timur Raya menyebut marga Damanik. Nama Mara Silu banyak disebut
didalam ”Hikayat Raja-raja Pasai”, ”Sejarah Melayu”, dan ”Parpadanan Na Bolag” dan diyakini sebagai Raja Nagur dari Batak Timur Raya. Menurut catatan MOP dalam
bukunya ”Tuanku Rao” sepenakluk Aceh terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa menghancurkan bandar Pase Aceh pada tahun 1285 dan masuk Islam serta
berganti nama menjadi Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama. Sejak saat itu, kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR pada tahun 1285.
Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi
yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari
Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum diserang oleh laskar Aceh.
Tentang hal ini, McKinnon 2008 menulis:”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the
back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Pada akhirnya, sebagai
dampak serangan Aceh yang terus menerus ke Kota Rentang, maka ARU pindah ke Deli Tua yakni pada pertengahan abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin
Riayat Syah Al Kahar mulai berkuasa di Aceh. McKinnon 2008 menulis “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the
Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.
21
3.5.2. Kisah Putri Hijau
Diatas telah disebut bahwa pasca serangan Aceh ke ARU terdahulu, telah menyebabkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua
adalah seperti benteng pertahanan kombinasi alam dan bentukan manusia yang masih
21
http:pussisunimed.wordpress.com20100125situs-sejarah-2
Universitas Sumatera Utara
59
bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra 1866-1867 maupun
Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto,
penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota HARU berada di sungai ‘Panecitan’ yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat
bahwa raja HARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. HARU mempunyai sebuah
meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis. Temuan lainnya adalah mata uang Aceh yang terbuat dari emas, dimana
masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan
dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar 1991 di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum
Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini
adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan Aceh.
Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari bukti-bukti yang ada itu,
tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam didasarkan pada sebuah meriam
bertuliskan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua Lukman Sinar, 1991. Akan tetapi di
tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian di
sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus hingga terbagi dua. Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus adalah
dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh. Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu ditaklukkan oleh laskar Aceh yang
mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau
Universitas Sumatera Utara
60
disebut bahwa faktor serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk dinikahkan dengan Raja Aceh.
Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu, sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali serangan Aceh ke
Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau
disebut bahwa pasukan Aceh menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh
pasukan Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua. Benteng dapat direbut dan rajanya dapat ditewaskan.
Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng, tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya berlayar menuju Malaka
dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikah
dengan raja Johor apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan. Akhirnya
permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan sebagai wali negeri Aceh di ARU yakni kesultanan DELI.
Putri Hijau Green Princess adalah salah satu ’cerita’ kepahlawanan folk hero yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada tiga kelompok suku yakni Melayu,
Karo dan Aceh. Sebagai cerita rakyat folktale kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan oral milik bersama masyarakat communal, berasal dari satu daerah local
dan diturunkan secara informal Toelken, 1979:31. Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami perubahan baik penambahan maupun
pengurangan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang berbeda-beda. Wan Syaiffuddin 2003 mengemukakan versi cerita dimaksud
seperti: Syair Puteri Hijau A. Rahman, 1962; Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung Said Effendi, 1977; Puteri Hijau Hans M. Nasution, 1984 dan Kisah Puteri Hijau
Burhan AS, 1990. Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan yang
digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni menimbulkan kekaguman para
Universitas Sumatera Utara
pend ”kisa
Putri Sinar
dapa tujua
3.6. •