55
kasus nama pengganti dalam satu pekerjaan seseorang Antoniades, 1992. Yang melihat dan menilai serta menikmati suatu karya arsitektur adalah pengguna, pengamat, dan
pengkritisi. Merekalah yang dapat mengukur sejauh mana tema metafora diterapkan ke dalam bangunan dan apakah metafora yang dimaksud oleh perancang sama dengan
metafora yang dilihat oleh pengguna. Metafora yang baik adalah yang tidak bisaditemukan oleh pengguna atau kritikus. Dalam hal ini metafora merupakan ‘rahasia kecil’ pencipta
Antoniades, 1992. Begitulah metafora dalam arsitektur yang mengibaratkan arsitektur sebagai sebuah bahasa yang dapat mengandung sebuah pesan di dalamnya. Ketika kata dan
imaji tidak mampu lagi menyampaikan pesan, arsitektur dalam bahasa metafora menjawabnya dengan bentuk, ruang dan fungsi.
3.4. Interpretasi Tema
Penerapan arsitektur metafora pada bangunan adalah dengan mencoba atau berusaha memindahkan keterangan dari suatu subjek ke subjek lain serta mencoba atau
berusaha untuk melihat suatu subjek seakan-akan sesuatu hal yang lain. Dalam proyek Medan Wax Sculpture Museum ini, metafora yang akan diterapkan pada bangunan adalah
metafora Legenda Putri Hijau. Legenda Putri Hijau adalah kisah yang popular bagi masyarakat kota Medan. Selain itu, legenda ini juga memiliki peran tertentu dalam
perjalanan sejarah kota Medan, yaitu dengan sejarah Kerajaan Haru, di Deli Tua. Alur cerita kisah Putri Hijau akan ditansformasikan dengan metafora menjadi wujud bangunan
sebuah museum patung lilin yang di dalamnya akan berisi patung-patong tokoh yang berperan penting dalam perjalanan sejarah kota Medan.
3.5. Kerajaan HAru dan Legenda Putri Hijau
3.5.1. Kerajaan HAru
Sumber-sumber klasik tentang Aru banyak didasarkan pada tulisan penguasa Portugis di Melaka yakni Mendez Pinto, pengembara China, kisah Pararaton maupun
Sejarah Melayu. Sumber tersebut mengetengahkan bahwa di Sumatra Utara sekarang terdapat satu kerajaan yang besar yakni HAru. Namun, hingga saat ini belum ada suatu
kesimpulan utuh yang menyatakan asal muasal dan lokasi kerajaan Aru, dan lagi disertai adanya tarik menarik antara Karo, Melayu dan Aceh hingga Batak Timur.
Universitas Sumatera Utara
56
Dalam banyak literatur, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti. Namun, McKinnon menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan
belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau
Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti
diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei
Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan.
Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli.
Penulis Karo mengemukakan bahwa HAru adalah asal kata ”Karo” yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat kerajaan Aru
adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro 1979 sependapat dan mengakui bahwa
centrum kerajaan ini berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan Batak Timur, Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa HAru berada di Balur
Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali
Mukhayat Syah pada tahun 1492-1537. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan HAru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke
Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak
Karo. Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah
kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh
Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang 1986. Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat
ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai- Khan. Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang
Universitas Sumatera Utara
57
kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.
Namun, seperti yang telah diingatkan oleh Prof. Wolters bahwa data-data yang bersumber dari tulisan China dari abad ke 13-15 bukan nyata dari penelitian namun sebatas
pengamatan pintas. Oleh sebab itu, pembuktian terhadap tulisan itu harus diarahkan kedalam tanah ekskavasi yakni untuk merekontruksi jejak-jejak peradaban HARU di
lokasi dimaksud. Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang
karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis banyak ditemukan batu kubur nisan yang terbuat dari batu Cadas Volcanoic tuff dengan ornamentasi Jawi dan nisan sejenis banyak
ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan portugis bertuliskan aksara Arab dan
Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-
Lo-Tan Hut-Sing Sultan Husin dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-
kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh
Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.
Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti
Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton 1966, yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah
nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
Palapa”. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ”Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ”2005.
Demikian pula dalam hikayat ”Parpadanan Na Bolag” yang mengisahkan kerajaan ”Nagur” yakni kerajaan Batak Timur Raya. Dalam catatan pengembara asing, kerajaan ini
sering disebut ”Nakur”, atau ”Nakureh” maupun ”Jakur”. Kerajaan ini, menurut M.O. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao 1964 berdiri pada abad ke 6-12. Rajanya yang
Universitas Sumatera Utara
58
terkenal adalah Mara Silu yang oleh penulis Karo disebut bermarga Ginting Pase dan masyarakat Batak Timur Raya menyebut marga Damanik. Nama Mara Silu banyak disebut
didalam ”Hikayat Raja-raja Pasai”, ”Sejarah Melayu”, dan ”Parpadanan Na Bolag” dan diyakini sebagai Raja Nagur dari Batak Timur Raya. Menurut catatan MOP dalam
bukunya ”Tuanku Rao” sepenakluk Aceh terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa menghancurkan bandar Pase Aceh pada tahun 1285 dan masuk Islam serta
berganti nama menjadi Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama. Sejak saat itu, kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR pada tahun 1285.
Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi
yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari
Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum diserang oleh laskar Aceh.
Tentang hal ini, McKinnon 2008 menulis:”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the
back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Pada akhirnya, sebagai
dampak serangan Aceh yang terus menerus ke Kota Rentang, maka ARU pindah ke Deli Tua yakni pada pertengahan abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin
Riayat Syah Al Kahar mulai berkuasa di Aceh. McKinnon 2008 menulis “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the
Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.
21
3.5.2. Kisah Putri Hijau