Perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi merupakan dampak dari pertumbuhan perekonomian yang pesat di Kota Jakarta. Pertumbuhan yang pesat
tersebut menyebabkan kebutuhan lahan untuk aktivitas ekonomi semakin meningkat. Ketersediaan lahan yang terbatas di Kota Jakarta berdampak pada
perkembangan lahan terbangun yang meluas ke wilayah-wilayah hinterland. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan
bertambahnya kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas lahan di suatu wilayah tidak akan pernah bertambah. Perkembangan penduduk dan peningkatan
perekonomian kota mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk penggunaan lahan perkotaan yang akan merubah tata ruang kota.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tata guna lahan land use adalah suatu upaya dalam
merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman,
perdagangan, industri, dan lain-lain. Penggunaan lahan di suatu wilayah sudah diatur pada Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW ProvinsiKabupatenKota. Di
RTRW disajikan rencana-rencana tentang pemanfaatan ruang. Akan tetapi, kondisi eksisting penggunaan lahan di suatu wilayah sering kali tidak sesuai
dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan di dalam RTRW oleh Pemerintah daerah setempat. Hal ini dinamakan dengan inkonsistensi pemanfaatan ruang.
Penyimpangan penataan ruang di Kota Bekasi dapat diidentifikasi dari terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan pada kondisi eksisting terhadap
kebijakan yang telah ditetapkan pada RTRW. Untuk itu diperlukan evaluasi konsistensi tata ruang dan sistem monitoring penggunaan lahan lebih dari satu
titik tahun yang digunakan sebagai landasan dalam pengendalian tata ruang wilayah.
1.2 Perumusan Masalah
Peningkatan jumlah penduduk serta peningkatan standar kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup manusia menyebabkan peningkatan terhadap
kebutuhan ketersediaan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Pembangunan kebutuhan fasilitas memerlukan lahan yang tidak sedikit,
sedangkan lahan di Kota Bekasi terbatas. Hal ini menyebabkan perubahan penggunaan lahan non terbangun menjadi lahan terbangun. Pemerintah Kota
Bekasi telah menetapkan alokasi ruang yang terdapat pada RTRW, namun sering kali penggunaan lahan di lapang tidak mengikuti alokasi yang telah ditetapkan.
Hal ini dinamakan dengan penyimpangan atau inkonsistensi pemanfaatan ruang. Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut : 1.
Bagaimana persebaran perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan 2010?
2. Apakah kondisi eksisting penggunaan lahan pada tahun 2003 dan 2010
sudah sesuai dengan kebijakan RTRW 2000-2010 yang ditetapkan oleh pemerintah?
3. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah tahun 2003 dan 2006?
4. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perubahan penggunaan
lahan di Kota Bekasi?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi.
2. Mengidentifikasi dan membandingkan pemanfaatan ruang saat ini dengan
alokasi tata ruang Kota Bekasi. 3.
Mengkaji tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi. 4.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan.
1.4 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai pola perubahan penggunaan lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang sebagai bahan
pertimbangan untuk melakukan evaluasi rencana tata ruang yang sudah dibuat agar dapat menjadi lebih relevan terhadap kondisi yang telah berkembang.
II . TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah
Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al.
2009, wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan
hubungan fungsional satu dengan lainnya. Suatu wilayah yang luas dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki
orde tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih rendah. Secara teoritis,
hirarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur
fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas-kapasitas perekonomiannya Rustiadi et al., 2009.
Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan sarana dan
prasarana pada pusat-pusat wilayah. Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari jumlah sarana pelayanan,
jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah dan jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktivitas sosial
ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi Rustiadi et al., 2009.
Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat yang
berhirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat
dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh wilayah yang berhirarki tinggi.
2. 2 Kota
Kota adalah tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan
dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya Pontoh dan Kustiawan, 2009. Kota sebagai pusat pelayanan selalu berinteraksi dengan wilayah sekitarnya. Dalam
konteks hubungan antara kota sebagai pusat pelayanan dan wilayah sekitarnya sebagai hinterland maka terdapat empat kemungkinan sifat interaksi
Sadyohutomo, 2008. Sifat hubungan yang pertama adalah hubungan saling menguntungkan. Kota berfungsi sebagai pasar dan rantai produk perdagangan dari
pedesaan. Hal ini berdampak positif bagi penduduk sekitar kota dalam memperoleh pekerjaan. Migrasi penduduk desa bagi kota juga memberi manfaat,
yaitu penduduk desa ikut andil dalam menggerakan perekonomian kota. Selain memberikan dampak positif lapangan kerja dan pendapatan,
pembangunan di kota juga dapat merugikan ekonomi wilayah sekitar. Hal ini menunjukkan sifat hubungan yang kedua yaitu hubungan yang merugikan desa.
Kondisi ini ditimbulkan akibat adanya ketimpangan dalam sistem ekonomi desa- kota, yaitu nilai tukar yang tidak seimbang antara produk pedesaan dengan produk
perkotaan, surplus dari wilayah pedesaan banyak diserap ke kota, dan alokasi dana pembangunan yang tidak seimbang antara desa dan kota.
Sifat hubungan
desa-kota yang
ketiga yaitu hubungan
tidak menguntungkan untuk pemerintah kota, tetapi menguntungkan desa. Pertumbuhan
penduduk kota dikarenakan pertumbuhan penduduk alami kelahiran dikurangi kematian dan ditambah adanya migrasi penduduk desa-kota. Migrasi masuk kota
mengakibatkan beban kota meningkat dalam hal penyediaan prasarana dan utilitas penduduk kota. Sementara itu, penduduk migrant tidak banyak menyumbangkan
pendapatan bagi pemerintah kota, karena sebagian besar mereka bekerja di sektor informal yang luput dari pajak. Hal ini menimbulkan masalah perkotaan, antara
lain munculnya pemukiman kumuh, pendudukan liar, beban prasarana kota yang melebihi kapasitas, dan kemacetan lalu lintas.
Sifat hubungan yang keempat yaitu interaksi yang saling merugikan kedua belah pihak. Misalnya migrasi para petani muda ke kota karena tertarik gaya
hidup kota, tetapi tidak mempunyai keahlian di sektor perkotaan. Di kota merek menjadi pengangguran atau pelaku tindak kriminal. Akibatnya desa kehilangan
tenaga produktif, sedangkan kota menanggung beban sosial pengangguran.
2. 3 Lahan dan Penggunaan Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007, lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana
faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun
sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat- akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial
dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep ini. Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi campur
tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil dan spiritual Arsyad, 2006. Barlowe 1978 membagi penggunaan
lahan menjadi 10 jenis, yaitu : 1 lahan pemukiman; 2 lahan industri dan perdagangan; 3 lahan bercocok tanam; 4 lahan peternakan dan penggembalaan;
5 lahan hutan ; 6 lahan mineral atau pertambangan; 7 lahan rekreasi; 8 lahan pelayanan jasa; 9 lahan transportasi; dan 10 lahan tempat pembuangan.
Menurut Arsyad 2006 penggunaan lahan dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan seperti penggunaan lahan tegalan, kebun kopi, kebun
karet, padang rumput, sawah, hutan lindung, hutan produksi, padang alang-alang, dan lain sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian dibagi berdasarkan atas
penggunaan kota dan desa permukiman, industri, rekreasi, dan pertambangan. Hampir setiap aktivitas manusia melibatkan penggunaan lahan dan karena
jumlah aktivitas manusia bertambah dengan cepat, maka lahan menjadi sumber yang langka. Keputusan untuk mengubah pola penggunaan lahan mungkin
memberikan keuntungan atau kerugian yang besar, baik ditinjau dari pengertian
ekonomis, maupun terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, membuat keputusan tentang penggunaan lahan merupakan aktivitas politik, dan sangat
dipengaruhi keadaan sosial dan ekonomi Sitorus, 2004.
2. 4 Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan
berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda.
Wahyunto et al., 2001, dalam Wirustyastuko D 2010. Perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta
penggunaan lahan pada titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan
penggunaan lahan. Berdasarkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam periode
waktu tertentu dapat dibangun model perubahan penggunaan lahan yang mampu memprediksi penggunaan lahan yang akan terjadi Munibah, et al., 2006. Hal ini
telah dilakukan oleh Munibah 2008 dengan membangun model perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan Cellular Automata CA. Model ini
menghasilkan peta prediksi penggunaan lahan di tahun 2018 dan 2030. Kemudian dilanjutkan dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan luas lahan
pertanian dan luas lahan pemukiman, baik berdasarkan peta penggunaan lahan aktual 2006 maupun prediksi 2018 dan 2030.
Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible tidak dapat diubah. Contohnya, lahan sawah yang dikonversikan menjadi pemukiman
atau berbagai aktivitas urban sangat mempunyai kemungkinan yang kecil untuk dikembalikan lagi menjadi lahan sawah. Perubahan penggunaan lahan yang paling
intensif adalah lahan sawah dan hutan yang dikonversi menjadi pemukiman sebagai akibat dari pertambahan penduduk Bappeda Kota Bogor, 2006. Secara
umum, struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : a Struktur permintaan atau kebutuhan
lahan; b Struktur penawaran atau ketersediaan lahan; c Struktur penguasaan
teknologi yang berdampak pada produktifitas sumberdaya alam Saefulhakim, 1999.
Menurut Kaiser dan Weiss, dalam Pontoh dan Sudrajat 2005 secara konsepsional proses perubahan penggunaan lahan di pinggir kota dipengaruhi
oleh : 1 Urban Interest, yaitu meningkatnya kebutuhan lahan kota, sehingga kawasan pinggir kota menjadi potensial dan guna lahan yang ada mulai bergeser;
2 Posisi strategis dan dinamika kota menjadi bahan pertimbangan bagi pengusaha untuk membeli dan mengembangkan lahan di perkotaan; 3 Mulai
diprogram untuk pembangunan, dibangun dan dihuni oleh penduduk.
2. 5 Tata Ruang, Penataan Ruang, dan Pengendalian Ruang
Menurut UU No. 26 Tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang
menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 pasal 3 dikemukakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c.
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang
tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, danatau sanksi pidana denda.
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang,
baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan
sarana infrastruktur, pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, atau pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, danatau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, antara lain berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi atau penalti.
Pengenaan sanksi merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam undang-undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat
ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
2. 6 Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dilakukan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang sudah sesuai dengan RTRW yang
telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Bentuk realisasi dari RTRW adalah pemanfaatan ruang yang terjadi di suatu
wilayah. Kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari RTRW.
Dirjen Penataan Ruang 2003 menyatakan, bahwa inkonsistensi tata ruang dapat disebabkan oleh permasalahan lain, yaitu :
1. Adanya ketidakseragaman standar peta skala, legenda, notasi, sumber
yang dapat menyebabkan kesulitan dalam pemberian perizinan dan evaluasi pemanfaatan ruang.
2. Lemahnya fungsi otoritas, perangkat yang kurang memadai, dan sistem
kelembagaan yang memiliki wewenang dalam pengawasan dan pengendalian pembangunan.
3. Belum efektifnya pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan
pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan antara lain karena belum adanya petunjuk teknis, operasional, dan peran serta masyarakat dalam penataan
ruang sebagai penjabaran dari PP No. 691996.
2.7 Tinjauan Studi-studi Terdahulu
Anjani 2010 dalam penelitiannya mengenai dinamika penggunaan lahan dan penataan ruang di Kabupaten Bekasi mengemukakan bahwa pola konversi
terbesar terjadi pada peningkatan lahan terbangun 8790,24 ha dan penurunan TPLK 5457,9 ha. Dalam rencana tata ruang Kabupaten Bekasi banyak terjadi
perubahan yang dilatarbelakangi oleh adanya pemekaran wilayah. Penyimpangan penggunaan lahan Kabupaten Bekasi terhadap alokasi ruang pada kurun waktu
1995-2000 terjadi pada kawasan pemukiman sebesar 13056,97 ha dan umumnya terletak di bagian Utara Kabupaten Bekasi. Penyimpangan penggunaan lahan pada
kurun waktu 2006-2009 bervariasi hampir di seluruh bagian Kabupaten Bekasi. Hasil penelitian dari Ruswandi et al. 2007 mendeskripsikan bahwa
selama kurun waktu 10 tahun 1992-2002 telah terjadi konversi lahan pertanian di Kabupaten Bandung Utara yang memiliki pola konsentris. Dalam hal ini
konversi terjadi mulai dari pusat kota kecamatan sentral, kemudian bergerak ke arah luar menjauh dari pusat kota. Mulyani 2010 melakukan penelitian di lokasi
yang sama mengenai penggunaan lahan dan pola perubahan penggunaan lahan pada tahun 1998-2008. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan telah terjadi
peningkatan jenis penggunaan lahan terbangun sebesar 264 ha per tahun. Hal ini mengindikasikan adanya penambahan pembangunan baik berupa fasilitas-fasilitas
umum maupun pemukiman penduduk. Hasil penelitian dari Putri 2009 mengenai perubahan penggunaan lahan
pada tahun 1997 dan tahun 2007 di Kabupaten Tangerang, menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan didominasi oleh konversi lahan pertanian TPLB
dan TPLK menjadi lahan terbangun. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten
Tangerang menunjukkan adanya pola konsentris yang dipengaruhi oleh jarak terhadap pusat kegiatan, yaitu DKI Jakarta dan Kota Tangerang. Selain jarak
terhadap pusat kegiatan, jaringan jalan diduga juga mempengaruhi pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tanggerang. Hal ini terlihat pada pola
memanjang perubahan penggunaan lahan dari arah Timur ke Barat di bagian tengah Kabupaten Tangerang yang dilalui jalan Tol Nasional Jakarta-Merak.
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Bekasi Gambar 1 dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Februari 2011 sampai
Desember 2011.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian