Analisis opsi pola penggunaan lahan di wilayah pesisir kecamatan Muara gembong kabupaten Bekasi

(1)

ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN

DI WILAYAH PESISIR

KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI

NOVIAN JAMIL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ABSTRAK

Novian Jamil, Analisis Opsi pola penggunaan lahan di wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong kabupaten bekasi, dibawah bimbingan Dr.Ir. Akhmad Fauzi M.Sc Sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja dan Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA sebagai anggota.

Konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di kawasan pesisir Kecamatan Muara Gembong dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, mencapai 1 582 ha. Tingginya konversi ini, dipicu oleh potensi hasil lahan tambak yang hanya dinilai secara ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai ekologi. Pada sisi lain konversi ini memicu peningkatan lahan pemukiman bagi petani tambak, di sepanjang kawasan sempadan sungai. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem wilayah pesisir, yang menimbulkan dampak ekonomi dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk :1) menentukan kesesuaian peruntukan lahan sehingga dapat diperhitungkan dalam penilaian manfaat ekonomi secara lebih komprehensif, 2) menilai manfaat ekonomi dari opsi perubahan penggunaan lahan, 3) menganalisis optimalisasi konversi penggunaan lahan wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat konversi mangrove menjadi tambak, disebabkan oleh kesesuaian lahan mangrove untuk tambak, serta net revenue yang paling tinggi (Rp 56,4 juta/ ha) dibanding konversi ke penggunaan lainnya. Namun karena tidak memperhitungkan daya dukung lahan telah, mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas dari 1,9 ton/ha pada tahun 1994 menjadi 1,2 ton/hektar tahun 2000.

Analisis kesesuaiaan lahan, menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove, sesuai untuk tambak, namun tingkat konversi yang berlebihan, telah menurunkan produktivitas tambak hingga 70 %. Hal ini disebabkan lebih dari 90 % lahan tambak yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong merupakan tambak konventional, sehingga konsumsi pakan ikan tergantung jasad renik yang terdapat pada ekosistem mangrove. Daya dukung lahan tambak yang dinilai dari produksi maksimal, telah melebihi daya dukungnya yang hanya 7 782 ha, Sementara luas lahan tambak mencapai 8 914 ha.

Total Economic Value (TEV) manggrove yang terdiri dari manfaat langsung (menghasilkan kayu, arang dan perikanan laut), serta manfaat tidak langsung (sebagai penahan abrasi pantai serta sumber hara dan tempat pemijah ikan) mencapai Rp. 345, 57 juta, dengan option value yang terdiri nilai manfaat dari keanekaragaman hayati dengan nilai Rp 142,500 ha/tahun. Dengan demikian konversi mangrove akan mengakibatkan terjadinya Economic loss. TEV lahan tambak sebesar Rp 28 394 382,- serta memiliki manfaat langsung yaitu menghasilkan ikan bandeng dan udang. Net Present Value (NPV) tambak sebesar Rp 28,39 juta, pemukiman Rp -9,8 juta untuk kurun waktu 10 tahun.

Lahan mangrove yang saat ini hanya mencapai 398 ha, harus ditingkatkan menjadi 1,490 ha, Penggunaan lahan pemukiman di pinggir sungai harus dihilangkan karena tidak memenuhi prasyarat pendirian pemukiman, serta menyalahi ketentuan tata ruang (sempadan sungai).


(3)

ABSTRACT

Novian Jamil An analysis of land use pattern in coastal zone of Muara Gembong district, Bekasi Regency. Under supervision Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc , Prof. Dr. Daniel R Monintja, Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA.

The Conversion of mangrove forest for fish pond in muara gembong the accounted to 1 582 for the last decade, the conversion was mostly degraded by high value of fish pond without taking into account it’s ecological aspects . in addition land conversion has also the demand for housing settlement for fish farmers in the area. These forest all together in duct result degradation and ecological destructiveness in coastal area

This research is aimed to (1) identify land suitability for coastal activities (2). Identify land value for option scenario land use of coastal area (3). to analyst optimal land conversion in muara gembong sub district .

Result show that increased in mangrove conversion for fish for fish pond is duo to suitability of mangrove area for shrimp pond brackish water with total revenue of Rp 56.6 million /ha. Composed to other uses, however without taking into account it’s carrying capacity productivity had declined from 1.9 ton /ha in 1994 to 1.2 ton/ha in 2000.

Land compatibly analysis shows that mangrove area are suitable for brackish water pond. However over conversion has reduced pond productivity almost 70 %. This due to the fact that 90 % at brackish water land in muara gembong in conventional brackish water pond which feed consumption depend on organic matter on mangrove is. Carrying capacity of shrimp pond is only 7782 ha while current area is around 8914 ha.

Total Economic Value of mangrove; (1) direct value (wood, charcoal and fisheries), and (2) indirect value (beach abrasion control, nutrient and fish nursery ground) are Rp. 345, 57 million, and (3). Option value Rp 142.500 ha/year. Conversion of mangrove will cause economic loss. TEV of fish fond land is Rp 28 394 382,- and direct value are to produce mild fish and shrimp. NPV of fish fond are Rp 28,39 million, residential Rp – 9,8 million in time range 20 year.

According to mangrove land optimizing analyst, current use for mangrove is only 398 ha, that could be increase to be 1,490 ha. Land use for residential in bank of river have been used up because is not suitable for housing criteria and regional planning.


(4)

ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN

DI WILAYAH PESISIR

KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI

NOVIAN JAMIL

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Management Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(5)

Judul Disertasi : Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi

Nama : Novian Jamil

NIM : P31600005

Disetujui : Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Anggota

Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA Anggota

Diketahui : Ketua Departemen Management

Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(6)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir.

Bogor, Januari 2007


(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor,

tahun 2007 Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar doctor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dapat kami selesaikan. Disertasi ini merupakan hasil penelitian dengan tema yang dipilih adalah masalah pertanahan yang berkaitan dengan penggunaan dan penguasaan, sehingga menimbulkan hambatan terhadap pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, yang dengan tulus memberi bimbingan dan arahan agar penulis dapat berpikir logis dan memahami akar permasalahan sehingga dapat merampungkan penelitian ini. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar memberi arahan, motivasi serta semangat pada penulis agar penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sesegera mungkin. Kepada Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA, selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberi dorongan agar penulis dapat secepatnya menyelesaikan penelitian, dan telah memberikan arahan penyajian dan pembahasan hasil penelitian serta koreksi penulisan.

Kemudian yang terpenting, ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada keluarga penulis, Dr. Ir Reti Wafda .MTp, yang telah membantu dan mendampingi penulis untuk melewati masa studi yang panjang dan melelahkan. Anak-anak penulis Fahri Van Renov dan Reisa Renova yang dengan kepolosan dan kelucuannya, menjadi pendorong bagi penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini.

Selanjutnya penghargaan dan terima kasih yang tulus diucapkan kepada Orang tua penulis, Prof. Drs. Djamil Bakar (almarhum), dan Dra. Nurmalia Djamil serta bapak mertua penulis Yoseph Enda Mangkuto dan ibu mertua penulis Dahniar (almarhum), serta kakak-adek penulis Syahrazad Jamil SH,MM, Machruzar Jamil SH, Dr. Ramona Sari Jamil, Ir. Erianton Ramdani Jamil dan Meiliza Jamil .SE. dan Keluarga yang tidak putus-putusnya memberikan bantuan moril dan meteril, serta doanya.


(9)

Kakak dan adek istri penulis Yasmon, Dra Delfitris, Veltrinyon, Alex, Ir.faizil Fitris Mt, Drs Gesriyel, Rita Okraini, Taufikra dan Rahmatika beserta keluarganya yang tidak putus-putusnya memberikan bantuan moril dan meteril, serta doanya.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Gubernur Sumatera Barat beserta staf, yang telah menugaskan dan memberikan bantuan pembiayaan kuliah bagi penulis pada program studi SPL Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri , M.Sc. selaku ketua program studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut, serta Bapak Prof. Dr. Ir Dietrich D Bengen, DEA yang pernah membimbing penulis dalam proses penulisan disertasi ini, juga kepada dosen-dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, yang telah membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat.

Pada kesempatan yang baik ini, secara khusus penulis sampaikan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Fachri Akhmad M.Sc, Bapak Ir. H Nurmawan, Bapak Dr. Ir. Sudaryono. M.Sc. Bapak Dr Ir. Leksono MT. Bapak Drs Irwan Jalil dan teman-teman dari SPL

Akhir kata, meskipun jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait.

Bogor, Januari 2007

Novian Jamil NRP P31600005


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 2

I.3 Tujuan Penelitian ... 4

I.4 Manfaat Penelitian... 5

I.5 Hipotesis Penelitian... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

II.1 Pengertian Wilayah Pesisir ... 6

II.2 Ekosistem di Wilayah Pesisir ... 7

II.3 Fungsi Wilayah Pesisir... 9

II.3.1 Manfaat Ekologis ... 9

II.3.2 Manfaat Ekonomi... 10

II.4 Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir ... 10

II.4.1. Penggunaan Lahan ( Land Use) ... 11

II.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan ... 12

II.4.3. Konsep Sewa Lahan ( Land Rent )... 14

II.4.4. Faktor – faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan 15

II.5 Kesesuaian Lahan ... 15

II.5.1 Kesesuaian Lahan Untuk Tambak... 15

Aspek Ekologi ... 15

Aspek Tanah ... 16

Aspek Biologis ... 16

Aspek Sosial Ekonomi ... 16

II.5.2 Kesesuaian Lahan Untuk Pemukiman... 17


(11)

II.5.4 Analisis Kesesuaian Lahan Tegalan... 17

II.6 Data Envelopment Analysis Produktivitas Penggunaan Lahan 18

II.7 Konsep Valuasi Ekonomi... 21

II.8 Metode Valuasi Ekonomi... 22

II.8.1 Valuasi Ekonomi Berdasarkan Manfaat ... 23

II.8.2 Valuasi Ekonomi Berdasarkan Biaya... 24

II.9 Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan ... 26

II.9.1 Template dan Model Simulasi ... 27

II.10 Pembangunan Berkelanjutan ... 28

II.11 Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan ... 29

II.11.1 Dimensi Ekologis ... 29

II.11.2 Dimensi Ekonomi... 31

II.11.3 Dimensi Sosial ... 36

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

III.1 Kerangka Pemecahan Masalah... 39

III.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 41

III. 3 Jenis dan Sumber Data ... 41

III.4 Pengolahan Data ... 43

III.5 Analisis Data ... 43

III.5.1 Analisis Kesesuaian Lahan... 44

III.5.2 Analisis Total Economic Value... 46

Use Value... 46

Future Value... 47

Foregone Benefit... 48

III.5.3. Analisa Net Present Value... 48

III.5.4 Analisis Simulasi Optimalisasi ... 48

III.5.5 Data Envelope Analysis ... 50

III.5.6 Analisis Degradasi Sumberdaya Lahan... 51

III.5.7 Model Simulasi Degradasi ... 52

IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... 54

IV.1 Deskripsi Umum ... 54

IV.2 Keadaan Alam ... 55


(12)

IV.4 Kependudukan... 57

IV.5 Mata Pencaharian ... 58

IV.6 Pendidikan... 60

IV.7 Media Komunikasi dan Perhubungan... 60

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

V.1 Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong... 62

V.2 Produktivitas Maksimal ... 63

V.2.1 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak ... 63

V.2.2 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Sawah ... 67

V.2.3 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan ... 69

V.3 Efisiensi Penggunaan lahan... 72

V.3.1 Efisiensi Penggunaan Lahan Sawah... 73

V.3.2 Efisiensi Penggunaan Lahan Tambak ... 74

V.3.3 Efisiensi Penggunaan Lahan Tegalan... 75

V.3.4 Efisiensi Penggunaan Lahan Pemukiman... 77

V.3.5 Efisiensi Penggunaan Lahan Magrove ... 78

V.4 Analisis Kesesuaian Lahan di Kecamatan Muara Gembong .. 79

V.4.1 Kesesuaian Lahan untuk Tambak ... 80

V.4.2 Kesesuaian Lahan untuk Mangrove ... 83

V.4.3 Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman... 88

V.4.4 Kesesuaian Lahan untuk Sawah... 94

V.4.5 Kesesuaian Lahan untuk Tegalan... 97

V.5 Analisis Total ekonomi Value (TEV) ... 99

V.5.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 99

V.5.2 Analisis Financial Penggunaan Lahan Tambak ... 103

V.5.3 Analisis Financial Penggunaan Lahan Tegalan ... 104

V.5.4 Analisis Financial Penggunaan Lahan Sawah ... 105

V.5.5 Analisis Financial Penggunaan Lahan Pemukiman 105

V.6 Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan ... 106

V.7 Hasil Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan ... 107

V.8 Analisis Degredasi Sumberdaya Lahan ... 108

V.9 Konsep pengembangan Wilayah Pesisir ... 114


(13)

V.11 Implikasi Kebijakan ... 118

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

VI.1 Kesimpulan ... 123

VI.2 Saran-saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 126


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong... 3

2. Luas Wilayah Kecamatan Muara Gembong berdasarkan Penggunaan Lahan pada Tahun 2000... 56

3. Jumlah Penduduk Kecamatan Muara Gembong Per Desa Pada Tahun 2000... 57

4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Muara Gembong ... 59

5 Harga Rata-Rata Budidaya Tambak di Kecamatan Muara Gembong .... 59

6 Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Muara Gembong ... 60

7 Produktivitas Lahan Tambak Udang Kecamatan Muara Gembong ... 64

8 Produktivitas Lahan Tambak Bandeng ... 66

9 Produktivitas Lahan Sawah ... 68

10 Produktivitas Tanaman Jagung ... 70

11 Produktivitas Ubikayu ... 71

12 Kesesuaian Lahan untuk Tambak ... 81

13 Kesesuaian Lahan untuk Mangrove ... 84

14 Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman ... 89

15 Kesesuaian Lahan untuk Sawah... 95

16 Kesesuaian Lahan untuk Tegalan ... 97

17 Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di Kecamatan Muara Gembong ... 103

18 Economic Loss PerubahanPenggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong ... 107


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Grafik Effisiensi Frontier ... 20

2. Metode Valuasi Ekonomi ... 23

3. Kerangka Pemecahan Masalah ... 42

4. Kerangka Analisis Total Economic Valuation ... 46

5. Peta Administrasi Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi... 54

6. Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak Udang... 65

7. Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak Bandeng ... 67

8. Produktivitas Maksimal untuk Lahan Sawah ... 69

9. Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan Tanaman Jagung ... 70

10. Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu... 72

11. Efisiensi Frontier Penggunaan Lahan Sawah 1990 - 2000... 73

12. Efisiensi Frontier Penggunaan Lahan Tambak Udang... 74

13. Efisiensi Lahan Tambak Bandeng ... 75

14. Efisiensi Penggunaan Lahan Tegalan Tanaman Jagung ... 76

15. Analisis Efisiensi Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu ... 77

16. Efisiensi Penggunaan Lahan Untuk Pemukiman... 78

17. Efisiensi Pengelolaan Lahan Mangrove ... 79

18. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tambak... 82

19. Peta Kesesuaian Lahan untuk Mangrove ... 85

20. Peta Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman... 91

21. Peta Kesesuaian Lahan untuk Sawah ... 96

22. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tegalan... 98

23. Simulasi Degradasi Lahan di Kecamatan Muara Gembong... 110

24. Simulasi Pemanfaatan Lahan Pemukiman ... 111

25. Simulasi Potensi Lahan Ekonomi ... 112


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kesesuaian Lahan untuk Tambak Bandeng Kecamatan Muara

Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996... 131

2 Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996... 132

3 Kesesuaian Lahan untuk Tegalan Jagung Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996 . ... 133

4 Kesesuaian Lahan untuk Mangrove Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996... 134

5 Kesesuaian Lahan untuk Sawah Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996... 135

6 Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Tambak ... 136

7 Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Sawah ... 138

8 Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Tegalan ... 140

9 Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Pemukiman... 142

10 Model Optimalisasi Penggunaan Lahan di kecamatan Muara gembong ... 144


(17)

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Hampir semua propinsi di Indonesia memiliki kawasaan pesisir yang berfungsi sebagai penghubung antar pulau dan antar wilayah. Pada wilayah pesisir, banyak tersedia sumberdaya alam dengan nilai ekonomi yang tinggi. Ini disebabkan karena daerah pesisir memiliki interaksi antara kehidupan di wilayah darat dan laut, sehingga tercipta suatu sistem ekologis yang unik.

Pada dasarnya, wilayah pesisir memiliki beberapa sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya alam. Ekosistem wilayah pesisir dapat bersifat alami maupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, agroindustri dan kawasan pemukiman. Adapun sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan tidak dapat pulih. Keterkaitan antara ekosistem dan ketersediaan sumberdaya sangat dipengaruhi oleh aktifitas dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Contoh kegiatan di wilayah pesisir yang memanfaatkan pengaruh kelautan sebagai dasar kegiatan adalah hutan mangrove, kawasan pariwisata, kawasan pemukiman, tambak, sawah pasang surut, dan industri.

Berdasarkan dimensi ekologis, wilayah pesisir memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai jasa pendukung kehidupan, jasa kenyamanan, penyedia sumberdaya alam dan penerima limbah (Ortolano 1984). Apabila salah satu ekosistem terganggu oleh aktivitas yang ada diatasnya maka dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus agar tidak terjadi kerusakan akibat ekploitasi berlebihan pada sumberdaya alam di wilayah pesisir.

Penggunaan lahan di wilayah pesisir merupakan gambaran aktifitas yang terdapat di wilayah pesisir. Sifat ekosistem wilayah pesisir yang sangat rentan


(18)

terhadap perubahan, sementara penggunaan lahan wilayah pesisir yang bersifat dinamis dan cenderung untuk berubah-ubah, menyebabkan proses perubahan bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir berjalan terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan penduduknya. Namun dalam pemanfaatannya, apabila terjadi gangguan dan kerusakan di wilayah pesisir, maka dapat mengganggu aktivitas pembangunan dan lingkungan sekitarnya (Dahuri et al 1996). Sebagai contoh, apabila penanganan limbah kawasan industri tidak dikendalikan, maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran yang berdampak kepada berkurangnya ketersediaan sumberdaya ikan di laut.

Hampir setiap sektor pembangunan menaruh kepentingan yang kuat terhadap wilayah pesisir beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini dikarenakan lahan-lahan di wilayah pesisir beserta sumber daya yang dimilikinya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, sampai saat ini manfaat ekonomi dari lahan tersebut biasanya hanya dihitung berdasarkan nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan oleh lahan tersebut (disebut juga dengan penilaian ekonomi secara langsung), tanpa memperhitungkan dengan hasil lahan yang tidak digunakan (non use benefit). Padahal dalam ekonomi sumberdaya dan lingkungan, semua pemanfaatan sumberdaya baik aktual dan potensial, harus diperhitungkan termasuk biaya untuk mengekstraksinya. Pengeluaran biaya mewakili berbagai nilai yaitu nilai langsung maupun nilai tidak langsung, nilai manfaat dan non manfaat, serta nilai pilihan yang hilang. Semua nilai tersebut dapat dihitung menggunakan pendekatan Total Economic Valuation (TEV). I.2. Perumusan Masalah

Ekosistem wilayah pesisir merupakan daerah yang sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan akan memberikan tekanan pada lahan dan menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan. Oleh sebab itu, maka penanganannya perlu dilakukan secara komprehensif.

Permasalahan yang sering muncul di wilayah pesisir adalah masalah ekploitasi sumberdaya pesisir yang berlebihan, padahal dampak yang ditimbulkan akan berakibat panjang terhadap lingkungan. Kebanyakan investor mengekploitasi sumberdaya pesisir hanya melihat profit semata. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat pula menyebabkan adanya eksploitasi yang berlebihan


(19)

ini. Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh kebutuhan akan lahan produktif oleh penduduk yang semakin meningkat. Tabel 1 berikut ini memberikan gambaran pola penggunaan lahan pesisir di wilayah Muara Gembong dari tahun 1943, 1990 dan tahun 2000.

Tabel 1 Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong (ha)

Penggunaan Lahan 1943 1990 2000

Hutan Mangrove 10082 2411 398

Permukiman 91 262 399

Sawah Irigasi 0 0 2090

Tambak/empang 1051 5631 8914

Tegalan 0 529 405

Lain-lain 2898 4423 1103

Total 14122 13257 13311

Sumber : Evaluasi Tata Ruang Kabupaten Bekasi (2000)

Banyak kasus yang dapat dilihat pada beberapa wilayah sepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa khususnya di wilayah pantai Utara Bekasi , dimana ekploitasi sumberdaya yang berlebihan menurunkan kualitas lingkungan dan bahkan menurunnya hasil produksi lahan yang mereka manfaatkan sebagai komoditas budidaya. Dengan terjadinya degradasi lingkungan, akan berdampak terhadap segala aspek kehidupan. Salah satu faktor yang menyebabkan degradasi ini adalah pengelolaan yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Untuk mengantisipasi dampak negatif degradasi lahan tersebut, pemerintah daerah kabupaten Bekasi pada tahun 1992 telah mengeluarkan kebijakan RT/RW. Tetapi perencanaan tata ruang yang ditetapkan dalam RT/RW tersebut lebih banyak didasarkan atas penggunaan lahan dalam bentuk fisik. Sementara evaluasi penilaian ekonomi yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan belum pernah dilakukan menyebabkan banyak penggunaan lahan yang terjadi tidak memperhatikan pengaruh faktor ekologis disamping faktor ekonomi. Padahal pengaruh aspek ekonomi dan ekologis sangat mempengaruhi dalam peningkatan potensi ekonomi lahan di kecamatan Muara Gembong.

Perencanaan dalam skala kecil seperti tingkat desa juga kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya timbul peruntukan lahan yang tidak


(20)

mengacu terhadap kesesuaian lahan dan melampaui daya dukung lahan tersebut. Dalam prinsip pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sesuai dengan pembangunan wilayah yang berkelanjutan, maka perubahan penggunaan lahan harus didasarkan daya dukung lingkungan. Permasalahan mendasar dalam pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan adalah bagaimana mengalokasikan berbagai macam kegiatan pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara optimal berdasarkan perhitungan-perhitungan efisiensi dan optimalisasi.

Penelitian menyangkut analisis ekonomi lahan wilayah pesisir pernah dilakukan di Filipina oleh Trinidad et al (1996). Namun dalam kajiannya, mereka tidak melihat keterkaitan lingkungan dalam penggunaan lahan (sistem ekologis) dan daya dukung lahan (carrying capacity) untuk kasus Indonesia khususnya wilayah pantura penelitian serupa belum banyak di lakukan.

Melihat beberapa pemikiran diatas, maka perlu kiranya dilakukan kajian penggunaan lahan pesisir yang tidak saja melihat nilai ekonomi dari lahan berdasarkan opsi penggunaan, tetapi juga menilai keterkaitan dari fungsi ekologi dan daya dukung lahan di wilayah pesisir. Dengan demikian, permasalahan pokok yang perlu menjadi perhatian dan penanganan adalah :

1. Adanya perubahan penggunaan lahan (dalam kasus ini adalah lahan tambak dan lahan sawah) yang besar, sehingga kelestarian lingkungan menjadi tidak terjaga.

2. Tidak adanya penilaian terhadap kesesuaian dan daya dukung dari perubahan penggunaan lahan tersebut yang dapat mendukung keberlanjutan aktivitas perekonomian masyarakat.

3. Tidak adanya penilaian perubahan penggunaan lahan tersebut yang melihat manfaat ekonomi lahan secara menyeluruh (total).

4. Tidak adanya perkiraan perubahan penggunaan akibat adanya degradasi lahan, yang dapat menjadi masukan bagi kebijakan pengelolaan pembangunan dan wilayah.

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:


(21)

1. Mengidentifikasi perubahan pola penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.

2. Menentukan kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong sehingga dapat diperhitungkan dalam penilaian manfaat ekonomi secara lebih komprehensif.

3. Menilai manfaat ekonomi dari opsi perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.

4. Menganalisis optimisasi konversi penggunaan lahan wilayah pesisir di Kecamatan Muara Gembong.

I.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara lain:

1. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang berwenang dan berkepentingan dalam penentuan kebijakan penggunaan lahan wilayah pesisir di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat dengan mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan dan optimal.

2. Sebagai bahan informasi (studi pustaka atau literatur) bagi pihak yang berkepentingan.

I.5. Hipotesis Penelitian

Terdapat beberapa hipotesis yang disusun untuk mendukung penelitian ini, yaitu:

1. Pola perubahan penggunaan lahan yang berlangsung di Kecamatan Muara Gembong, tidak sesuai dengan kesesuaian dan daya dukung lahan.

2. Nilai ekonomi lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan terhadap opsi (alternatif) penggunaannya.

3. Efisiensi dan efektivitas konversi lahan di wilayah pesisir dipengaruhi oleh nilai ekonomi lahannya.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Defenisi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan darat, apabila dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir memiliki dua batasan, yang terdiri dari garis pantai yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan garis pantai yang tegak lurus dengan garis pantai. Tetapi untuk batasan garis pantai yang sejajar dengan garis pantai menurut Bengen (2001) lebih mudah dalam hal pengelolaannya.

Menurut Soegiarto (1976) di Indonesia batasan wilayah pesisir. diklasifikasikan berdasarkan potensi sumberdaya di wilayah tersebut serta karakteristik wilayah tersebut. Sedangkan defenisi wilayah pesisir berdasarkan Rapat kerja National Proyek MREP tahun 1994 dalam Dahuri et al. (1996) menetapkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan, yang berarti membagi dua bagian wilayah antara darat dan laut, untuk wilayah darat pada wilayah pesisir, daratan yang dimaksud adalah daratan yang masih dipengaruhi oleh keadaan air laut, sedangkan untuk laut adalah kawasan laut yang dipengaruhi oleh wilayah darat.

Menurut Dahuri et al. (1996) dalam perencanaan wilayah pesisir perlu melihat batasan melalui dua sisi, sisi pertama lebih mengarah kepada pendekatan adaminstrasi sedangkan sisi kedua lebih mengarah kepada pendekatan eko-biogeografis. Dalam pendekatan administrasi, daratan sebagai batasan wilayah pesisir, desa dan kecamatan karena dalam hal pengelolaan batasan ini sangat mempengaruhi didalam mengambil kebijakan. Sedangkan untuk batas kearah laut, batasan telah tertuang didalam kebijakan pemerintah pada UU No 33/2004, tentang wilayah laut untuk propinsi sejauh 12 mil dari garis pantai, sedangkan untuk wilayah administrasi Kabupaten 1/3 dari wilayah yang telah ditetapkan untuk propinsi. Wilayah ini dapat dijadikan sebagai satu kawasan pada satu batas administrasi pemerintahan, maupun wilayah lintas batas administrasi sesuai dengan kepentingan pengelolahan wilayah pesisir.

Pendekatan eko-biogeografis meliputi kondisi ekologi, biologi serta ekosistem wilayah (darat dan laut) dan semua jenis biota yang hidup didalamnya, serta kondisi geografis wilayah yang menentukan faktor alam yang membentuk


(23)

dan mempengaruhi evolusi dan perubahan wilayah tersebut. Wilayah ini dapat didasarkan atas karakteristik eko-biogeografis yang sama dan relatif homogen dalam satu kawasan tertentu, tapi dapat juga didasarkan atas metode sedimen sel yaitu karena pengaruh dinamika alam seperti angin, sedimentasi, arus pasang surut dan arus pantai terhadap pola perubahan garis pantai. Wilayah ini sangat tergantung dari penelitian awal untuk menentukan batas wilayah.

II.2. Ekosistem Di Wilayah Pesisir

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari rumah tangga mahluk hidup serta kajian hubungan timbal balik dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati sekitarnya. Ekologi mempunyai satuan pokok yang disebut ekosistem. Ekosistem adalah satuan kehidupan dari satu komunitas berbagai jenis makluk hidup dan benda mati yang saling berinteraksi dalam membentuk suatu sistem. Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang didalamnya terdapat berbagai fenomena kehidupan menurut prinsip tatanan dan hukum alam atau ekologi, seperti keseimbangan, kompetisi dan evolusi (Odum 1976)

Wilayah ekosistem pesisir ada yang secara terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat. Di wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumber daya pesisir. Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade).

Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi

barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, industri dan pemukiman. Di dalam wilayah pesisir, ekosistem-ekosistem tersebut saling berinteraksi. Sistem ini dapat terjaga dengan baik apabila pemanfaatannya sesuai dengan daya dukung dari sistem tersebut (Dahuri et al 1996) .

Kondisi ekosistem harus dipertahankan, walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik karena setiap biota yang ada dan hidup di dalamnya menjadi tua dan mati lalu untuk selanjutnya digantikan oleh biota lainnya. Namun bila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses


(24)

pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang (dapat sampai berpuluh bahkan beribu tahun). Lama waktu pemulihan ekosistem ini akan tergantung pada: 1. Kondisi atau tingkat kerapuhan ekosistem.

2. Lamanya terjadi gangguan.

3. Frekuensi terjadinya gangguan ini (misalnya terjadi secara berulang-ulang). Tingkat kerapuhan suatu ekosistem sangat tergantung pada kondisi parameter pendukungnya seperti keadaan vegetasi dan satwa, kondisi topografi, tanah, iklim dan keterlibatan manusia di dalamnya. Pendekatan ekologis terhadap ekosistem, dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran maupun untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia terutama pada tingkat jumlah pemakaian yang berlebihan (eksploitatif).

Salah satu jenis ekosistem di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas di pesisir atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini merupakan salah satu unsur yang dominan dalam ekosistem di wilayah pesisir. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Selain itu, hutan mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang berfungsi sebagai pelindung dari gempuran ombak (Bengen 2001). Beberapa penelitian menyatakan bahwa kedangkalan pantai sangat dipengaruhi oleh penyebaran dan luas hutan mangrove. Makin dangkal dan landai suatu pantai, penyebaran hutan mangrove akan semakin luas dan semakin baik pula. Daya adaptasi mangrove yang khas adalah kemampuannya untuk dapat terus hidup di perairan yang dangkal (Witjaksono 2002).

Dilihat dari aspek biologis, hutan mangrove sangat penting dalam memelihara kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati di wilayah pesisir. Secara bioekologis dalam ekosistem hutan mangrove banyak terdapat hewan muda yang sedang tumbuh dan berkembang, karena selain kaya akan unsur hara, dalam hutan mangrove hewan muda tersebut juga terlindung dari predator. Selain itu, ekosistem ini adalah daerah asuhan (nursery ground) dan perkembangbiakan (spawning ground) bagi beberapa hewan perairan. Oleh karena


(25)

itu, ekosistem hutan mangrove dapat dipandang sebagai suatu unit fungsional dari seluruh sistem estuaria (Bengen 2001).

II.3. Fungsi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara daratan dan lautan, mempunyai fungsi pokok yang dapat diklasifikasikan berdasarkan manfaat dari wilayah pesisir tersebut, yaitu: (1) manfaat ekologis (2) manfaat ekonomi dan. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing manfaat.

II.3.1. Manfaat Ekologis

Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah cara pengelolaan kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsional yang tercakup dalam empat fungsi pokok wilayah pesisir bagi manusia. Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan. Ekosistem alamiah juga menyediakan sumber daya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi.

Wilayah pesisir berfungsi sebagai penyedia sumber daya alam, sehingga pemanfaatan sumber daya pesisir harus dilakukan dengan cermat agar efeknya tidak merusak lingkungan sekitar. Sumber daya pesisir terdiri dari sumber daya yang tak dapat pulih (non-renewable resources) dan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources). Kriteria pemanfaatan untuk sumber daya yang dapat pulih (renewable resources) adalah bila laju ekstraksinya tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu (Clark 1996).

Kemampuan wilayah pesisir dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, mengakibatkan wilayah (perairan) pesisir sering dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah. Oleh karena itu harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak melebihi kapasitas daya asimilasinya. Daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima limbah


(26)

dalam jumlah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Dahuri et al .1996).

II.3.2. Manfaat Ekonomi

Sumberdaya alam seperti hutan, ikan dan sebagainya merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa.

Menurut Fauzi (2000b), pengelolaan semberdaya alam yang baik dapat menambah kesejahteraan umat manusia. Sebaliknya, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Secara sosial ekonomi, manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan wilayah pesisir serta sumber daya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, terutama mereka yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Kualitas dan jumlah permintaan terhadap sumberdaya alam ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar (kualitas) kehidupannya. Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan penting lainnya adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin.

II.4. Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir

Dalam penelitian ini lahan didefinisikan berdasarkan definisi wilayah pesisir untuk daratan. Sedangkan spesifikasi dari lahan sebenarnya lebih mengarah kepada suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land resources) adalah kondisi dan sumber daya yang dapat dieksploitasi manusia. Kemudian Soepardi (1977) menambahkan bahwa tanah (soil) adalah bahan mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan.

Pada dasarnya tanah merupakan komoditi yang mempunyai nilai yang meningkat terus menerus karena tanah itu luasannya tetap selain itu tanah juga memliki potensi estetika, nilai politik, fisik dan sosial. Nilai-nilai ini dimiliki oleh sumberdaya tanah apabila mempunyai manfaat atau potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan. Penawaran akan lahan jumlahnya akan selalu tetap, sementara permintaan akan lahan terus meningkat. Selain itu, sifat keterbatasan


(27)

tanah berhubungan dengan sifatnya yang mudah untuk ditransfer (Bambang 1982).

II.4.1. Penggunaan Lahan

Menurut Anderson dalam Suburi (1999) penggunaan lahan adalah bentuk penggunaan kegiatan manusia terhadap lahan (aktivitas manusia di atas lahan) termasuk keadaan alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Aktivitas tersebut menyebabkan terjadinya penggunaan lahan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan peruntukannya.

Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan menjadi sepuluh kelas sebagai berikut: (1) lahan pemukiman, (2) lahan industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan mineral/pertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan pelayanan jasa, (9) lahan transportasiasi, dan (10) lahan tempat pembuangan. Kelas penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu:

Pemukiman dan Industri. Meliputi sebagian besar penggunaan lahan di perkotaan, tetapi hanya sebagian kecil dari penggunaan lahan seluruhnya.

Pertanian. Meliputi areal tanaman pertanian, yaitu pangan dan perkebunan yang merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya.

Padang Rumput dan Penggembalaan. Meliputi penggunaan lahan untuk peternakan termasuk komplek peternakan.

Perhutanan. Meliputi penggunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan belukar.

Lain-lain. Meliputi penggunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya, pertambangan, pembuangan sampah dan lainnya.

Selanjutnya Barlowe (1978) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan lahan didasarkan atas kegunaannya seperti untuk perumahan dipengaruhi urbanisasi, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, perubahan distribusi umur penduduk, tingkat dan keadaan pendidikan, perubahan formasi pemilik rumah. Industri atau perdagangan dipengaruhi oleh jenis, besar, bentuk dan lokasi usaha, dan adanya pasar potensial. Pertanian dipengaruhi pola konsumsi produk pertanian, produktivitas lahan dan permintaan lahan non


(28)

pertanian. Rekreasi dipengaruhi jumlah populasi, tingkat pendapatan, waktu senggang, sarana transportasiasi, penggunaan non rekreasi.

Menurut Dahuri et al. (1996), ekosistem wilayah pesisir memiliki potensi ekonomi dan ekologi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaan lahan di wilayah pesisir perlu direncanakan dengan matang.

Di Indonesia, penggunaan lahan di wilayah pesisir meliputi kehutanan, pertanian, perikanan budidaya, pemukiman dan perkotaan serta pariwisata. Untuk itu, perlu pedoman umum dalam penggunaan lahan di wilayah pesisir agar tidak mengganggu ekosistem wilayah pesisir yang ada di sekitarnya.

II.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan

Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya (Roll 1983). Perubahan jumlah penduduk, pengetahuan dan teknologi mengakibatkan perubahan dalam keinginan, selera atau standar kebudayaan dan ideologinya. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan perubahan dalam tata kehidupan dan sistem perekonomian yang mendasari perubahan penguasaan dan penggunaan lahan (Murphy 1974).

Perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di wilayah pesisir. Dampak yang terlihat dapat dilihat pada pengembangan usaha pertanian, dimana kegiatan kontruksi seperti saluran irigasi, drainase dan penebangan hutan dapat menggangu pola aliran alami daerah tersebut. Gangguan lain dapat dilihat pada penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan.

Ada empat faktor utama yang menentukan suply lahan untuk berbagai kegunaan, yaitu : (1) sifat fisik tanah, (2) ekonomi, (3) institusi dan (4) teknologi. Sifat fisik tanah seperti sinar matahari, temperatur, hujan dan sistem pengaturan air, topografi dan drainase, lapisan permukaan tanah dan mineral dibawahnya, dan lokasi tanah dan keberadaan fasilitas-fasilitas seperti pasar dan angkutan. Faktor ekonomi seperti permintaan, harga, persaingan yang mempengaruhi persediaan sumber daya lahan. Peranan lembaga atau institusi meliputi aspek dari budaya dan tindakan kita seperti, budaya dalam masyarakat, pemerintahan, hukum,


(29)

pendapatan masyarakat dan konsep hak kekayaan. Sementara dari sisi teknologi berkaitan dengan kemampuan kita untuk memanfaatkan teknologi yang tersedia agar penggunaannya maksimal (Barlowe 1978).

Alih fungsi lahan merupakan permasalahan yang sifatnya global dan lokal. Permasalahan alih fungsi lahan meliputi tiga aspek yaitu: (1) Efisiensi alokasi dan distribusi lahan dari aspek ekonomi, (2) Alih fungsi yang terkait dengan pemerataan dan keadilan, dan (3) Keterkaitan dengan degredasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Oleh karena itu perlu pemecahan secara parsial sehingga diperoleh hasil yang spesifik dari setiap bentuk alih fungsi lahan tersebut, misalnya alih fungsi lahan produktif dan non-produktif kepada peruntukan pertanian, perikanan budidaya dan konservasi.

Perubahan penggunaan lahan (alih fungsi lahan) tidak dapat dihindari dan merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat. Hal ini tercermin dari perubahan pemanfaatan sumberdaya lahan dan terjadinya pergeseran fungsi-fungsi tertentu ke bentuk fungsi lain baik lahan produktif maupun lahan tidak produktif.

Menurut aliran struktural, perubahan pola spasial (tata ruang) disebabkan oleh switching sirkuit kapital dari orientasi produksi dan akumulasi menuju investasi kapital dan dana konsumsi yang mapan, sampai pada investasi riset dan teknologi serta pengeluaran sosial (seperti pendidikan dan kesehatan) untuk reproduksi tenaga kerja. Sedangkan aliran rasionalisme justru menempatkan individu konsumen yang berpikir dan bertindak rasional sebagai penyebab perubahan pola spasial tersebut. Artinya, pemilik kapital akan menggunakan modalnya sesuai dengan tuntutan pasar atau kehendak konsumen, baik dalam pilihan lokasi dan bentuknya maupun soal harga dan kemudahan lainnya (Pahl 1979).

Parengkuan (1991) menyatakan masalah ketersediaan lahan semakin parah dengan adanya kasus-kasus seperti lahan-lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu, pada saat akan di implementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya. Perubahan guna lahan mudah saja terjadi yang kemudian disahkan pada evaluasi rencana berikutnya (Winarso 1995). Keadaan ini tentu tidak benar, bahkan sering pula menyulut ketidakpuasan masyarakat karena perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan rencana yang telah


(30)

diketahui masyarakat. Perubahan juga mempunyai dampak yang besar terhadap pengeluaran publik, terutama jika perubahan itu untuk guna lahan yang lebih komersial seperti daerah wisata dan lain sebagainya. Ade et al. (1999).

Pada dasarnya perubahan penggunaan lahan yang terjadi diwilayah pesisir ,lebih kepada masalah nilai ekonomi lahan (land rent). Untuk menghambat laju konversi lahan-lahan di wilayah pesisir ada beberapa konsep yang dapat dilakukan salah satunya dengan menerapkan konsep perencanaan wilayah pesisir secara terpadu.

II.4.3. Konsep Sewa Lahan (Land Rent)

Menurut Pearce dan Turner (1990) pengertian land rent berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang diturunkan dari lahan tersebut. Semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat. Perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan. Pada dasarnya, harga lahan merupakan nilai lahan di pasar lahan yang bersumber dari total land rent atas masing-masing sifat intristik yang dimiliki lahan. Sifat intristik yang dimiliki lahan tidak semata-mata aspek fisik lahan seperti kesuburan tapi juga aspek-aspek lain seperti faktor lokasi, sosial dan kependudukan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa meningkatnya harga lahan per satuan luas lahan di suatu lokasi merupakan manifestasi dari peningkatan land rent di lokasi yang bersangkutan.

Land rent menurut ekonom neo-klasikal seperti Alfred Marshall, merupakan pendapatan yang dapat diturunkan dari kepemilikan lahan dan hasil limpahan sumberdaya lain di alam. Di luar pengertian land rent, maka dapat saja melakukan menyewa (rent) sumberdaya lainnya (seperti menyewa sesuatu dengan cara membayar uang untuk menggunakan setiap barang yang dimiliki seperti rumah, kendaraan, dan lainnya), yang apabila telah selesai waktu pemakaiannya, maka barang-barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan keadaan fisik yang sama seperti sebelumnya (Ricardo 1975).

II.4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan

Ada dua faktor utama yang mempengaruhi penggunaan lahan yakni faktor supply dan faktor demand (permintaan). Faktor penawaran sebagai dijelaskan


(31)

sebelumnya di tentukan oleh empat hal yaitu sifat fisik tanah , ekonomi, institusi dan teknologi .

Demand dipengaruhi oleh situasi yang berkaitan dengan faktor demografik, (seperti komposisi umur, jenis kelamin), tingkat pendapatan, konsolidasi lahan, pengaturan tata ruang, kebijakan perencanaan lingkungan serta periode waktu seperti waktu yang diperlukan untuk pembangunan dan peningkatan jasa seiring dengan waktu (Barlowe 1978).

Dari keempat faktor utama yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, kecendrungan terjadi perubahan penggunaan lahan diIndonesia lebih diakibatkan faktor ekonomi dan Institusi.

II.5. Kesesuaian Lahan

Menurut Sitorus (1985) kesesuiaan lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu, penggambaran ini dilakukan dengan menganalisis dalam bentuk klasifikasi kesesuaiaannya. Sedangkan hasil penilaian dapat dipergunakan sebagai dasar pemilihan didalam merencanakan aktivitas kegiatan diatasnya.

Sedangkan di wilayah pesisir, aktivitas penggunaan lahan sering berdampak negatif terhadap potensi ekologi yang terkandung didalamnya, hal ini sering terjadi pada konversi hutan mangrove menjadi tambak. Untuk itu analisis kesesuian lahan diwilayah pesisir harus mengkaji ekologis didalammnya.

II.5.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tambak

Lokasi merupakan langkah awal yang perlu diperhatikan dalam budidaya. Dalam pemilihan lokasi tambak ini tidak hanya untuk menentukan kecocokan lahan sebagai media saja, tetapi juga untuk mendukung modifikasi desain tambak, tata letak tambak, pembuatan konstruksi tambak, dan manajemen yang akan diterapkan (Afrianto dan Liviawaty, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada 4 aspek utama yang perlu diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi tambak, seperti aspek ekologis, tanah, biologis dan sosial ekonomi.

a. Aspek Ekologis.

Ditinjau dari segi ekologis, keadaan alam sumber air dan iklim di Indonesia sangat menunjang usaha budidaya tambak walaupun secara ekologis kondisi lingkungan menunjang. Secara ekologis paling sedikitnya ada 7 faktor yang perlu


(32)

dipertimbangkan untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi tambak, yaitu: a. Iklim dan suhu lingkungan

Informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim dan suhu lingkungan di suatu tempat sangat membantu untuk menentukan lokasi lahan yang memenuhi syarat, parameter iklim yang perlu diperhatikan oleh petani tambak adalah data hujan dan angin. a) pasang surut air, b) salinitas, c) arus air, d) pola hujan,e) rembesan , f) polusi e) kuantitas dan kualitas air yang merupakan kebutuhan mutlak bagi tambak. Sumber air yang digunakan untuk mengairi tambak harus memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang tahun. Menurut Boyd (1991) Ada 6 (enam) parameter kualitas air yang perlu diperhatikan bagi pertambakan, yaitu: Bersih, Derajat Keasaman (pH), Daya Mengikat Asam (DMA), Produktivitas primer, Tingkat sedimentasi yang rendah dan Kelarutan oksigen (DO) dalam air tinggi.

b. Aspek Tanah

Tanah merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas tambak, sebab tanah mempunyai kemampuan untuk menyerap atau melepaskan zat hara tanaman yang dibutuhkan oleh fitoplankton atau vegetasi air lainnya yang hidup di dalam tambak. Di samping itu, tanah juga merupakan komponen utama dalam pembuatan petakan tambak, pematang, saluran air dan pintu air serta mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas air.

c. Aspek Biologi

Dilihat dari aspek biologi ada lima kriteria didalam analisis kesesuaiaan lahan untuk budidaya tambak yang meliputi sebagai berikut: a. Sumber Benih b. Sifat Organisme yang akan dibudidaya c. Organisme lain d. Vegetasi di sekitar Tambak e. Kelestarian Lingkungan

d. Aspek Sosial Ekonomi.

Dalam budidaya tambak masalah aspek sosial dipelihat dari beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut. a. Lokasi peruntukan dan status lahan b. Transportasi c. Tenaga kerja d. Ketersediaan alat dan bahan e. Ketersediaan pasar dan harga yang stabil


(33)

II.5.2. Kesesuaiaan Lahan Untuk Pemukiman

Pemukiman merupakan tempat dimana sejumlah penduduk tinggal dan melakukan kegiatan sehari-harinya. Untuk keperluan tersebut diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan seperti rumah, septic tank, jalan, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya. Karena bangunan-bangunan tersebut didirikan di atas tanah maka sifat-sifat tanah pun perlu diperhatikan. Sifat-sifat tersebut antara lain adalah klasifikasi tanah berdasar atas besar butir dan sifat geologi, potensi mengembang dan mengerut tanah, tata air atau drainase tanah, tebal tanah sampai ke hamparan batuan, kepekaan erosi, bahaya banjir, lereng, daya menyangga tanah (daya dukung tanah), potensi terjadi korosi, lapisan organik, mudah tidaknya tanah digali, dan sebagainya.

II.5.3. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Sawah Irigasi

Lahan untuk irigasi memerlukan syarat-syarat yang berbeda dengan lahan tanpa irigasi, sehingga perlu disusun kriteria-kriteria khusus untuk tujuan ini. Di bawah ini dikemukakan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Arsyad (1989), yang banyak digunakan dalam survai tanah untuk irigasi oleh Institut Pertanian Bogor.

Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Irigasi (Land Classification for

Irrigation) terutama bertujuan untuk menetapkan penggunaan tanah dan air secara tepat, meliputi perencanaan (design) sistem jaringan irigasi dan drainase, luas usaha tani, kebutuhan air untuk irigasi, dan untuk menentukan ongkos-ongkos pembayaran kembali kredit serta operasi dan pemeliharaan.

II.5.4. Analisis Kesesuaian Lahan Tegalan

Untuk tanaman upland (tanaman pertanian) faktor–faktor yang mempengaruhi kesesuaiaan lahan untuk tegalan meliputi a. Kedalaman efektif tanah b. Ketebalan gambut c. Ketebalan peaty mineral d. Ukuran partikel atau tekstur dari bahan mineral e. Lereng f. Drainase g. Defisiensi kesuburan h. Salinitas i. Persentase Na dapat dipertukarkan j. Bahaya subsiden dan Kualitas air


(34)

II.6. Data Envelopment Analysis Produktivitas Penggunaan Lahan

Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam bukunya permodelan sumberdaya perikanan dan Kelautan, Data envelopment analysis merupakan metode pendekatan nonparametric yang cukup baik untuk aplikasi yang luas dan mudah dilakukan berkaitan dengan defenisi ekonomi teknologi yang terfokus pada kapasitas output dan input. Pendekatan yang berorientasi pada pendekatan input dan output ini dikemukakan pertamakali oleh Carnes et al. (1978) dan kemudian dikembangkan oleh Fare et al. (1994).

DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian dari pengambil keputusan (Korhonen et al dalam Fauzi & Anna 1998), teknik ini didasarkan pada pemograman matematis untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala, DEA bertujuan mengukur keragaan relatif dari unit analisa pada kondisi keberadaan multiple input dan output.

Selain kemampuan DEA dalam mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu, DEA dapat digunakan dalam mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, serta tingkat input atau output yang riil maupun nondiskret. DEA juga dapat menentukan tingkat potensi maksimal dari effort atau variable input secara umum dan laju utilisasi optimalnya.

Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio pembagian antara output dan input. Dalam menggunakan metode DEA ini, pengukuran efisinesi ini menjadi tidak tepat apabila berhadapan dengan data multiple input dan output yang berkaitan dengan sumber daya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat diatasi dengan menggunakan pengukuran efisiensi relative yang dibobot yaitu pembagian antara jumlah output yang sudah dibobot dan jumlah input yang sudah dibobot. Namun, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA , dimana efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan.


(35)

Oleh karena itu, didalam DEA efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relative efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100% . secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan 10 dan dengan kendala yang diberikan pada Persamaan 11 dan 12.

Pemecahan masalah pemograman matematis diatas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah keefisiensi. Jadi jika nilai = 1, unit ke-m tersebut dikatakan efisien relative terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil dari 1 maka unit lain dikatakan lebih efisien relative terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimalkan unit m.

Salah satu kendala dari pemecahan persamaan diatas adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit di pecahkan melalui pemograman linier. Namun, dengan melakukan linieritas, persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan linier. Sehingga pemecahan melalui pemograman linier dapat dilakukan. Linierisasi persamaan di atas menghasilkan persamaan 12 dan dengan kendala yang diberikan pada persamaan 13, 14,dan 15.

Salah satu manfaat dilakukan linierisasi adalah kita dapat melakukan pemecahan pemograman linier diatas dengan pemecahan dual, sebagaimana ciri yang dimiliki oleh program linier, pemecahan baik primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun pemecahan dengan dual seringkali lebih sederhana, sebab dimensi kendala berkurang. Primal dan dual variable dari persamaan diatas dapat dilihat pada persamaan 16 dan dengan kendala pada persamaan 17, 18,dan 19.

Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafis apa yang disebut

efficiency frontier, dari enam unit yang menghasilkan dua jenis output y1 dan y2. Pada gambar berikut, titik E1 sampai E6 menggambarkan unit pada efficiency frontier dengan DEA, titik-titik E1, E3 dan E4 menggambarkan unit yang efisien karena tepat berada di efficiency frontier, sekaligus menjadi “amplop” (envelope) yang menutupi seluruh set data yang ada. Unit E5 dan E6 berada dalam “Envelop” tersebut sehingga dikatakan tidak efisien. Amplop data ditutup ke horizontal akses dengan E4Y1, sementara ke vertikal aksis ditutup dengan E1Y2.


(36)

Y1 Y1’

Y2

Y2’

E1 E5’

E5”

E2’ E3

E4 E6’

E5

E6

Sumber : Fauzi , Ana (2004)

Gambar 1 Grafik Effisiensi Frontier

Dari gambar di atas terlihat bahwa kelompok terdekat (perunit) untuk unit E5 adalah E1 dan E2, dan target efisien dari E5 adalah E5’. Target tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan output E5 secara proporsional (pro rata) antara Y1 dan Y2. peningkatan tersebut diperoleh dengan pembobotan unit E1 dan E2. Namun, jika misalnya output Y2 tidak dapat ditingkatkan, pilihan target efisisen berikutnya dari E5 adalah titik E5 yang sepenuhnya mengandalkan peningkatan output Y1. Sementara itu untuk unit E6, target efisien telah didomonasi oleh E4 sebab dengan output Y1 yang sama, E4 memiliki output Y2 yang lebih banyak dari E6.

Pengukuran efisiensi dengan DEA sebagaimana pengukuran efisiensi lain, terkait dengan aspek produksi dari aktivitas ekonomi yang diamati. Dari sisi teoritis, fungsi produksi berkaitan dengan return to scale yang menghubungkan bagaimana output bereaksi terhadap perubahan input. Didalam model DEA yang dikembangkan oleh CCR, efisiensi diukur dengan asumsi bahwa fungsi produksi besifat constant return to scale (CRS) artinya, jika input dinaikkan dari dua kali lipat, misalnya output juga meningkat secara proporsional (dua kali lipat). Model ini sangat bersifat linier dan sangat mudah diformulasikan serta dikerjakan dalam program linier. Namun model yang didasarkan pada constant return to scale ini tidak selalu tepat bila diaplikasikan pada aktivitas produksi yang mengalami non constant return to scale. Beberapa fungsi produksi, seperti produksi perikanan,


(37)

bersifat decreasing return to scale. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, model asal dari CCRS ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker et al.

(1984) dan dikenal dengan model BCC DEA, yang memungkinkan kita melakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale. Kedua pendekatan DEA tersebut merupakan pendekatan dasar yang digunakan dalam analisis DEA.

II.7. Konsep Valuasi Ekonomi

Valuasi ekonomi merupakan suatu pemberian nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar ada atau tidak. Akar konsep ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neoclassical economic theory) yang menekankan pada kepuasan dan keperluan konsumen (Fauzi 2000a). Konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total ini pada dasarnya sama dengan manfaat bersih (net benefit) yang diperoleh dari sumberdaya alam. Di dalam konsep ini, nilai yang dikonsumsi oleh seorang individu dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama use value (nilai guna) dan non-use value (Nilai Tidak Guna) (Krutila, 1967).

Menurut Fauzi (2000a), komponen pertama, yakni use value pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan (berburu, memancing, rekreasi, dsb). Nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan dan kayu yang bisa dijual maupun untuk konsumsi langsung. Use value secara lebih rinci diklasifikasikan kembali kedalam

direct use value (nilai kegunaan langsung) dan indirect use value (nilai kegunaan tidak langsung). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, dan lainnya baik secara komersial maupun non komersial. Sementara indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Termasuk di dalam kategori

indirect use value ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan nursery ground dari suatu ekosistem.


(38)

Komponen non-use value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Non-use value bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Secara detail, kategori non-use value ini dibagi lagi kedalam sub-class yakni: Existence Value, Bequest Value dan

Option Value. value Penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsic dari sumberdaya alam. Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang. Sementara, option value diartikan sebagai nilai pilihan untuk memanfaatkannya. Option value, mengandung makna ketidakpastian. Nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari sumber daya alam yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa mendatang. Jika kita yakin akan preferensi dan ketersediaan sumber daya alam di masa mendatang, maka nilai option value kita akan nol. Sebaliknya jika tidak yakin, maka nilai option value-nya akan positif. Misalnya kita mau membayar "premium" (nilai opsi) agar opsi untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari sumber daya alam tetap terbuka. Quasi-option dan existence value merupakan konsep yang kurang jelas, karena tidak ada definisi yang pasti. Pearce dan Turner (1990) mendefenisikannya sebagai nilai yang dimiliki seseorang atau sumberdaya alam yang mewakili penilaian orang atau spesies lain.

II.8. Metode Valuasi Ekonomi

Pada umumnya banyak metode yang dipergunakan dalam menghitung valuasi ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan. Akan tetapi metode-metode tersebut merupakan turunan dari metode-metode yang lebih umum berupa analisis biaya manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA). Sehingga dalam perhitungannya pun metode valuasi ekonomi mempunyai dua pendekatan yakni pendekatan manfaat (benefit) dan pendekatan biaya (cost) (Fauzi, 2000a). Secara rinci, pendekatan valuasi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.


(39)

Sumber : Fauzi (2000a)

Gambar 2. Metode Valuasi Ekonomi

II.8.1. Valuasi Ekonomi Berdasarkan Manfaat (Benefit-based Valuation) Metode Valuasi berdasarkan sisi manfaat dikelompokkan dalam dua kategori umum, yaitu Actual Market Price atau produktivitas yang berupa Effect of Production (EOP) dan Human Capital Approach (HCA) atau Loss of Earnings Approach (LEA) dan Surrogate Markets (Nilai Pasar Pengganti) atau

Complementary Goods. Pendekatan Effect on Production (EOP), pada dasarnya melihat pengaruh produksi sumberdaya alam akibat adanya intervensi terhadap sumberdaya alam. Pendekatan ini melihat bahwa perubahan kualitas lingkungan akan mempengaruhi produktivitas dan biaya produksi yang pada akhirnya mempengaruhi harga dan produksi (Fauzi 2000a). Nilai yang sering diukur adalah nilai kegunaan langsung (Ruitenbeck 1992).

Dalam pendekatan Loss of Earnings atau Human Capital Approach

(HCA), Selain sumberdaya yang dianggap sebagai asset produksi, tenaga kerja juga dilihat sebagai human capital. Meskipun pendekatan ini tidak mengukur

Valuasi Ekonomi

Actual Market Price

- Effect on Production (EOP) - Loss of

Earnings (Human Capital Approach)

Nilai dengan Pendekatan Biaya

(Cost-Based Valuation)

Surrogate Market

- Travel Cost - Wage

Differerntial - Property Values

- Replacement Cost - Shadow Project - Preventive Expenditure - Relocation Cost Nilai dengan Pendekatan Manfaat


(40)

benefit secara langsung, namun pendekatan ini menggunakan nilai minimum untuk mengukur kompensasi yang diberikan apabila kehilangan nyawa atau sakit dan sebagainya. Pendekatan ini sering menjadi kontroversi mengingat adanya faktor etis dan kultural yang sering tidak bisa diukur dengan nilai moneter semata (Fauzi 2000a).

Metode Surrogate Market dikembangkan dari teori atribut atau karakteristik Lancaster (1966). Pada dasarnya metode ini menggunakan barang dan jasa substitusi atau komplementer untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak teramati (Fauzi, 2000b). Metode ini terdiri dari:

1. Travel Cost Method (TCM)

Metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Dengan mengetahui pola ekspenditur, dapat dikaji berapa nilai yang diberikan konsumen pada sumberdaya alam dan lingkungan. Jika biaya ekspenditur nol, maka utilitas marjinal sumberdaya alam tersebut adalah nol.

2. Property Value Approach

Metode ini mengkaji nilai amenities dari lingkungan berdasarkan nilai dari aset-aset properti seperti lahan atau rumah. Namun pendekatan ini sering dipadukan dengan teknik statistika sehingga kemungkinan timbul bias cukup potensial.

3. Wage Differential Approach

Metode ini menggunakan tingkat upah sebagai tolok ukur kualitas lingkungan. Perbedaan tingkat upah antara pekerja yang bekerja di daerah terpolusi dengan yang tidak terpolusi dapat dilihat dari indikasi tingkat kerusakan lingkungannya. Sama dengan Property Value, pendekatan ini sering dipadukan dengan teknik statistika sehingga sangat sensitif terhadap spesifikasi model.

II.8.2. Valuasi Ekonomi Berdasarkan Biaya ( Cost-based Valuation)

Sulitnya pengolahan data pada penilaian ekonomi dari sisi manfaat, lebih dikarenakan banyaknya data yang sulit dikonversi kedalam nilai moneter. Alternatif lainnya adalah menilainya dari segi biaya. Dengan demikian biaya


(41)

menjadi tolok ukur untuk menilai manfaat dari lingkungan (Fauzi 2000b). Beberapa metode yang sering digunakan untuk valuasi berdasarkan biaya, antara lain:

1. Replacement Cost

Metode berdasarkan pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk mengganti aset produktif yang rusak akibat dampak lingkungan yang kurang baik. Biaya tersebut digunakan sebagai perkiraan minimum manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan. Pendekatan ini bisa digunakan untuk menilai indirect use values pada kondisi dimana data ekologi sulit diperoleh. Akan tetapi pendekatan ini bisa menimbulkan penilaian yang berlebih atas willingness to pay, jika yang tersedia hanya indikator-indikator fisik semata.

2. Shadow Project

Prinsipnya sama dengan Replacement Cost, hanya pada metode ini investasi digunakan sebagai acuan turunnya produktifitas akibat kerusakan.

3. Preventive Expenditure

Metode ini merujuk kepada metode pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk mencegah terjadi degradasi lingkungan. Metode ini berguna untuk mengukur

indirect use values dimana teknologi pencegahan kerusakan lingkungan tersedia.

4. Relocation Cost

Metode ini didasari dari pemikiran individu yang merasa terancam dengan kondisi lingkungan yang memburuk, sehingga bermigrasi ke tempat lain. Biaya relokasi menjadi acuan untuk mengukur hilangnya manfaat akibat menurunnya kualitas lingkungan. Pendekatan ini berguna bagi penilaian relokasi massal. Kelemahannya bisa menimbulkan understate karena bisa saja manfaat yang diperoleh di lokasi baru jauh lebih rendah dari lokasi asal.

Selain metode diatas, valuasi ekonomi juga mempunyai metode yang berdasarkan pada pendekatan survey. Metode yang paling populer dalam pendekatan ini adalah Contingen Valuation Method (CVM). Pendekatan CVM berdasarkan dari keinginan membayar sekelompok masyarakat (Willingness to Pay) dan keinginan untuk menerima kerusakan suatu lingkungan perairan


(42)

(Willingness to Accept). Pendekatan memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan, terutama adalah timbulnya bias. Bias terjadi karena adanya nilai yang overstate atau yang understate dari nilai yang sebenarnya. Bias ini muncul dari kesalahan dalam merancang dan menerapkan strategi dan kesalahan dalam rancangan penelitian (Fauzi, 2000b).

Masalah yang sering timbul dalam menilai dampak lingkungan adalah minimnya data yang tersedia dan biaya untuk melakukan penelitian secara komprehensif. Menurut Fauzi (2000b), salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan menilai perkiraan benefit dari tempat lain, hasilnya ditransfer untuk memperoleh perkiraan kasar mengenai manfaat dari lingkungan. Metode ini dikenal dengan nama benefit transfer. Berbagai pertimbangan, terutama masalah biaya, manfaat, desain dan koleksi data untuk keperluan di tempat asal perlu dipikirkan secara matang sebelum teknik ini dilaksanakan karena belum adanya kesepakatan baku dalam menggunakan metode ini (Fauzi 2000b). Krupnick (1993) dalam Fauzi (2000c), menyatakan kapan dan dalam situasi yang bagaimana benefit transfer bisa. Metode benefit transfer dapat dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama baik dari segi tempat maupun segi karakteristik pasar. Oleh karena itu sulit dilakukan untuk sumberdaya alam wetland (seperti mangrove dan sejenisnya) karena nilai yang diperoleh akan sangat tergantung pada tempat dan karakteristik populasi.

Teknik valuasi ekonomi dengan pendekatan tertentu sering tidak berlaku pada kondisi kenyataan dimana sebegitu kompleksnya lingkungan dan sumberdaya alam yang diteliti. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, para peneliti mengembangkan suatu pendekatan yang disebut Multi-criteria Analysis.

Pendekatan ini merupakan kombinasi dari pnedekatan dan metode yang terdahulu. Dengan tujuan hasil dari penelitiannya lebih mendekati pada kebenaran dan solusi yang keluar lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan.

II.9. Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan

Menurut Fauzi dan Anna (2004), degradasi dapat diartikan penurunan kualitas /kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan (dalam bentuk fisik), dimana sumberdaya alam yang dapat diperbaharui ini berkurang kemampauan alaminya dalam beregenarsi sesuai kapasitas produksinya. keadaan ini bisa


(43)

disebabkan karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia, Fauzi dan Anna (2004) juga mengatakan kebanyakan degradasi yang terjadi di wilayah pesisir dan laut Indonesia akibat aktivitas produksi, penangkapan dan ekploitasi serta aktivitas non produksi, seperti pencemaran akibat limbah domestic maupun industri.

Untuk melakukan perhitungan degradasi, analisis lebih mengarah kepada lahan ekonomis yang dilihat dari sisi aspek penggunan lahan pemukiman dan dari sisi aspek lahan Budidaya yang meliputi lahan sawah, tambak, tegalan. Untuk menghitung degradasi lahan menggunakan keseimbangan lahan dan unit rent dari lahan dengan menggunakan Persamaan 20 pada metodologi penelitian .

II.9.1. Template dan Model Simulasi

Untuk memudahkan analisa degradasi maka dilakukan analisa secara model simulasi dengan menggunakan vensim. Adapun tujuan penggunaan template ini adalah untuk mempermudah pengguna dalam melakukan analisis sumber daya alam pesisir dan laut sehingga dapat lebih efisien baik dari segi waktu , ketelitian dan pola berfikir (system thinking)

Perhitungan degradasi lahan di wilayah pesisir mengalamai modifikasi dari perhitungan baasisi mengingat adanya perubahan peruntukan lahan lahan ekonomis dan non ekonomis dalam simulasi template gambar berikut digambarkan keterkaitan lima variable stok yang mempengaruhi degradasi lahan yaitu : potensi lahan ekonomis, stok lahan ekonomi, penggunaan lahan pemukiman, kesuburan lahan dan perkembangan penduduk dan perkembangan penduduk. Sebagaimana terlihat pada gambar, laju degradasi lahan dihitung berdasarkan laju erosi lahan akaibat penggunaan lahan ekonomi dan laju degradasi kesuburan lahan yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian dan kegiatan non ekonomi seperti lahan pemukiman. Perubahan laju degradasi lahan pada prisipnya dipengaruhi oleh perubahan laju konversi dari potensi lahan ekonolmi menjadi stok lahan ekonomi oleh pertanian dan laju konversi dari lahan ekonomi menjadi lahan pemukiman. Laju konversi yang kedua ini akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir. Pemanfaaatan lahan ekonomi seperti untuk pertanian, akan mempengaruhi tingkat


(1)

ABSTRAK

Novian Jamil, Analisis Opsi pola penggunaan lahan di wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong kabupaten bekasi, dibawah bimbingan Dr.Ir. Akhmad Fauzi M.Sc Sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja dan Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA sebagai anggota.

Konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di kawasan pesisir Kecamatan Muara Gembong dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, mencapai 1 582 ha. Tingginya konversi ini, dipicu oleh potensi hasil lahan tambak yang hanya dinilai secara ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai ekologi. Pada sisi lain konversi ini memicu peningkatan lahan pemukiman bagi petani tambak, di sepanjang kawasan sempadan sungai. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem wilayah pesisir, yang menimbulkan dampak ekonomi dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk :1) menentukan kesesuaian peruntukan lahan sehingga dapat diperhitungkan dalam penilaian manfaat ekonomi secara lebih komprehensif, 2) menilai manfaat ekonomi dari opsi perubahan penggunaan lahan, 3) menganalisis optimalisasi konversi penggunaan lahan wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat konversi mangrove menjadi tambak, disebabkan oleh kesesuaian lahan mangrove untuk tambak, serta net revenue yang paling tinggi (Rp 56,4 juta/ ha) dibanding konversi ke penggunaan lainnya. Namun karena tidak memperhitungkan daya dukung lahan telah, mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas dari 1,9 ton/ha pada tahun 1994 menjadi 1,2 ton/hektar tahun 2000.

Analisis kesesuaiaan lahan, menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove, sesuai untuk tambak, namun tingkat konversi yang berlebihan, telah menurunkan produktivitas tambak hingga 70 %. Hal ini disebabkan lebih dari 90 % lahan tambak yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong merupakan tambak konventional, sehingga konsumsi pakan ikan tergantung jasad renik yang terdapat pada ekosistem mangrove. Daya dukung lahan tambak yang dinilai dari produksi maksimal, telah melebihi daya dukungnya yang hanya 7 782 ha, Sementara luas lahan tambak mencapai 8 914 ha.

Total Economic Value (TEV) manggrove yang terdiri dari manfaat langsung (menghasilkan kayu, arang dan perikanan laut), serta manfaat tidak langsung (sebagai penahan abrasi pantai serta sumber hara dan tempat pemijah ikan) mencapai Rp. 345, 57 juta, dengan option value yang terdiri nilai manfaat dari keanekaragaman hayati dengan nilai Rp 142,500 ha/tahun. Dengan demikian konversi mangrove akan mengakibatkan terjadinya Economic loss. TEV lahan tambak sebesar Rp 28 394 382,- serta memiliki manfaat langsung yaitu menghasilkan ikan bandeng dan udang. Net Present Value (NPV) tambak sebesar Rp 28,39 juta, pemukiman Rp -9,8 juta untuk kurun waktu 10 tahun.

Lahan mangrove yang saat ini hanya mencapai 398 ha, harus ditingkatkan menjadi 1,490 ha, Penggunaan lahan pemukiman di pinggir sungai harus dihilangkan karena tidak memenuhi prasyarat pendirian pemukiman, serta menyalahi ketentuan tata ruang (sempadan sungai).


(2)

ABSTRACT

Novian Jamil An analysis of land use pattern in coastal zone of Muara Gembong district, Bekasi Regency. Under supervision Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc , Prof. Dr. Daniel R Monintja, Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA.

The Conversion of mangrove forest for fish pond in muara gembong the accounted to 1 582 for the last decade, the conversion was mostly degraded by high value of fish pond without taking into account it’s ecological aspects . in addition land conversion has also the demand for housing settlement for fish farmers in the area. These forest all together in duct result degradation and ecological destructiveness in coastal area

This research is aimed to (1) identify land suitability for coastal activities (2). Identify land value for option scenario land use of coastal area (3). to analyst optimal land conversion in muara gembong sub district .

Result show that increased in mangrove conversion for fish for fish pond is duo to suitability of mangrove area for shrimp pond brackish water with total revenue of Rp 56.6 million /ha. Composed to other uses, however without taking into account it’s carrying capacity productivity had declined from 1.9 ton /ha in 1994 to 1.2 ton/ha in 2000.

Land compatibly analysis shows that mangrove area are suitable for brackish water pond. However over conversion has reduced pond productivity almost 70 %. This due to the fact that 90 % at brackish water land in muara gembong in conventional brackish water pond which feed consumption depend on organic matter on mangrove is. Carrying capacity of shrimp pond is only 7782 ha while current area is around 8914 ha.

Total Economic Value of mangrove; (1) direct value (wood, charcoal and fisheries), and (2) indirect value (beach abrasion control, nutrient and fish nursery ground) are Rp. 345, 57 million, and (3). Option value Rp 142.500 ha/year. Conversion of mangrove will cause economic loss. TEV of fish fond land is Rp 28 394 382,- and direct value are to produce mild fish and shrimp. NPV of fish fond are Rp 28,39 million, residential Rp – 9,8 million in time range 20 year.

According to mangrove land optimizing analyst, current use for mangrove is only 398 ha, that could be increase to be 1,490 ha. Land use for residential in bank of river have been used up because is not suitable for housing criteria and regional planning.


(3)

ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN

DI WILAYAH PESISIR

KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI

NOVIAN JAMIL

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Management Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(4)

Judul Disertasi : Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi

Nama : Novian Jamil

NIM : P31600005

Disetujui : Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Anggota

Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA Anggota

Diketahui : Ketua Departemen Management

Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(5)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir.

Bogor, Januari 2007


(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor,

tahun 2007 Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya